Post on 08-Apr-2019
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB IV
TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PERPU NO 1 TAHUN 2014
DALAM HAL IHWAL KEGENTINGAN MEMAKSA
A. Analisis terhadap Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Syarat
Dalam Hal Ihwal Kegentingan Memaksa.
Secara histori penerbitan Perpu oleh Presiden sebelum Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sangat variatif memiliki corak dan karakter masing-masing yang
unik. Dari bidang begitu rupa ragam warnanya, meliputi urusan pertahanan, keamanan,
politik, ekonomi, hukum, agama dan sosial. Dari urusan perang sampai urusan lalu
lintas. Dari urusan pajak dan perbankan hingga urusan haji. Dari urusan prajurit dan
militer sampai urusan tenaga kerja. Dan juga terkait dengan gerakan perlawanan
DII/TII, Permesta, PKI, GAM, dan Teroris. Padahal syarat Penerbitan Perpu oleh
Presiden baik UUD belum diamandemen ataupun setelah diamandemen redaksi dari
Pasal 22 tetap sama tidak diutak-atik sedikitpun, yaitu “dalam hal ihwal kegentingan
memaksa”. Penafsiran hal ihwal kegentingan memaksa inilah yang masih belum jelas
pakemnya sehingga penafsiran antara Presiden satu dengan Presiden yang lain
berbeda-beda. Karena penafsiran “dalam hal ihwal kegentingan memaksa” oleh setiap
Presiden berbeda-beda dan bersifat subyektif, maka hak istimewa yang dimiliki oleh
Presiden di bidang legislasi ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang yang hanya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digunakan untuk menyelamatkan kekuasaannya serta golongan atau partai nya tetapi
untuk kepentingan seluruh rakyat yang telah memenuhi syarat umum ataupun syarat
khusus perihal kegentingan memaksa sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 22 UUD
NRI 1945.
Dalam teori-teori yang berkaitan dengan hukum tata negara darurat,
disebutkan bahwa “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 22 UUD NRI 1945 lebih menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang
bersifat mendesak atau urgensi yang terkait dengan waktu yang terbatas.
Parameter kegentingan memaksa sebagai syarat untuk menerbitkan Perpu
menurut Jimly Asshiddiqie, yaitu: adanya unsur ancaman yang membahayakan
(dangerous threat); adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable
necessity); dan/atau adanya unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
dipilih langsung oleh rakyat, yang merupakan pembatalan dari Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh
DPRD (delegative) tidak memenuhi ketiga unsur parameter kegentingan memaksa
menurut yang dipaparkan Jimly Asshiddiqie, Pasalnya dari penerbitan Perpu tersebut
tidak ada unsur ancaman membahayakan, kekosongan hukum, ataupun keterbatasan
waktu yang bersifat prinsipil, adanya penolakan dari sebagian besar masyarakat,
adanya pro kontra di kalangan masyarakat, serta suara rakyat yang berbeda-beda
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
antara satu dengan yang lain, hal ini adalah suatu proses yang wajar dalam kehidupan
alam demokrasi. Justru jika Presiden yang awalnya menyetujui bahkan yang
mempunyai inisiatif pembentukan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah dimana RUU nya berasal dari Presiden dan diajukan
ke DPR berdasarkan Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) serta telah dibahas
bersama oleh DPR dan Presiden untuk mengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah adalah RUU yang diusulkan berdasarkan inisiatif
Presiden. Bila kemudian timbul ketidaksetujuan / penolakan terhadap materi yang
terkandung dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut seharusnya dapat ditempuh
dengan melakukan legislative review atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi
untuk menguji kelayakan proses pembentukan Undang-Undang tersebut secara formil
maupun pengujian materiil undang-undang tersebut, bukan dengan menetapkan Perpu
atas Undang-Undang yang telah disetujui dan disahkan tersebut karena hal ini justru
menimbulkan disharmoni antara kedua lembaga Negara (eksekutif dan legislatif) dan
menimbulkan komplikasi ketatanegaraan. Kekosongan hukum pun juga tidak ada,
pasalnya peraturan tentang Pilkada sudah ada dan disetujui bersama oleh Presiden dan
DPR tanpa ada catatan keberatan sebelumnya. Kemudian parameter unsur
keterbatasan waktu juga tidak terpenuhi, pasalnya pemilihan kepala daerah secara
serentak masih diselenggarakan pada bulan Desember 2015, sehingga hal ini tidak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
mencerminkan adanya kegentingan memaksa.
Dalam sistem UUDS 1950 dan Konstitusi RIS hal yang serupa dengan Perpu
dinamakan “Undang-Undang Darurat”. Meskipun serupa dan mempunyai fungsi sama,
tetapi terdapat perbedaan perumusan antara UUD 1945 dengan UUD 1950 dan
Konstitusi RIS, yaitu:
1. Menurut UUD 1945 wewenang membuat Perpu ada pada Presiden. Menurut
UUDS 1950 dan Konstitusi RIS wewenang itu ada pada pemerintah. Perbedaan
ini sebagai pencerminan perbedaan sistem pemerintahan. UUD 1945 bersistem
Presidensil, penyelenggaraan pemerintahan dilakukan oleh Presiden. UUDS 1950
dan Konstitusi RIS bersistem parlementer, pemerintahan diselenggarakan Presiden
dan kabinet yang disebut Pemerintah.
2. Menurut UUD 1945, Perpu dibuat dalam “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Menurut UUDS 1950 dan Konstitusi RIS, Undang-Undang Darurat dikeluarkan
“karena keadaan yang mendesak”. Secara kebahasaan pengertian yang
dipergunakan oleh UUDS dan Konstitusi RIS lebih mudah dimengerti dan
sekaligus menunjukkan bentuknya sebagai undang-undang (meskipun darurat)
daripada pengertian yang dipakai dalam UUD 1945 sebagai suatu bentuk
Peraturan Pemerintah.
Keadaan bahaya dengan upaya luar biasa itu dikemukakan beberapa faham,
yaitu harus ada keseimbangan antara bahaya dengan upaya, supaya kewenangan itu
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
tidak berlebihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar tersebut.
Teori Keseimbangan (evenwichtstheorie, evenredigheidpostulaat) yang dikemukakan
oleh Prof. Mr. R. Kraneburg, bahwa keadaan bahaya itu adalah sesuatu yang
abnormal, maka untuk mengatasi bahaya itu hukum nya pun dalam keadaan biasa
harus dipandang abnormal dan luar biasa, mungkin dalam keadaan normal tindakan
penguasa itu masuk ke dalam kategori onrechmating, akan tetapi oleh karena keadaan
bahaya atau abnormal, maka tindakan Penguasa itu adalah sah dan dapat dibenarkan
(gerechtvaadigd).
Menurut Herman Sihombing dalam bukunya Hukum Tata Negara Darurat Di
Indonesia, yang dimaksud dengan teori keseimbangan (evenredigheidstheorie) seperti
yang dikemukakan oleh R. Kranenburg diatas, harus seimbang antara bahaya yang
mengancam dengan upaya/pranata dan wewenang luar biasa yang diberikan kepada
Penguasa. Dasarnya dapat diterima, akan tetapi dalam mengukur sejauh mana dan
seluas mana kekuasaan luar biasa itu diberikan untuk dapat mengimbangi bahkan
untuk menghapuskan bahaya itu adalah sukar. Sehingga upaya harus lebih besar dan
harus lebih kuat dan dari bahaya yang ada supaya efektif dapat dijalankan menghadapi
bahaya tersebut.
Baik R. Kranenburg maupun Mr. A.A.L.F. Van Dullemen, masing-masing
dalam karya mereka dikutip untuk membuktikan perlunya teori keseimbangan bahaya
dan upaya dalam HTN Darurat. Faham yang dikembangkan dan diuraikan oleh Mr.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Van Dullemen setelah Perang Dunia II selesai ialah bagaimana supaya dalam keadaan
bahaya (Staatsnoodrecht) hak-hak asasi manusia tetap dihargai secara patut
sebagaimana layaknya, demikian juga UUD dan peraturan hukum yang lain tidak
dihapuskan seluruhnya, namun hanya dalam waktu singkat, sementara dan bukan
untuk selamanya. Mr. A.A.L.F. Van Dullemen telah membatasi dengan ketat dan amat
terbatas Hukum Tata Negara Darurat (Staatsnoodrecht) itu dengan mengemukakan:
Aan welke eischen zullen nu de nieuwu noodregelen z.i moeten voldoen om door hem
als “recht” te kunnen wordrn erkend? Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam satu
peraturan darurat, yaitu:
1. Kepentingan tertinggi Negara yaitu: adanya atau eksistensi Negara itu sendiri (het
hoogste staatsbelang-het bestaan zelf van den Staat-op het spel stond en
afhankelijk was van het al of niet maken der getroffen regeling)
2. Bahwa peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu (deze regeling
noodzakelijk was)
3. Bahwa noodregeling itu bersifat sementara, provosoir, selama keadaan masih
darurat saja, dan sesudah itu diperlakukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi
aturan darurat yang berlaku.
4. Ketika dibuat peraturan darurat itu Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengadakan
sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Mr. Van Dullemen menambahkan dalam buku yang berjudul Staatsnoodrecht
en Rechtsstaat, yang langsung menghubungkan antara HTN Darurat dengan Negara
Hukum dan Hukum Negara, dengan menyatakan: “Tidak sah jika salah satu syarat dari
yang empat di atas tidak dipenuhi dalam keadaan darurat. Dan aturan yang dibuat
tidak memenuhi empat syarat tersebut maka tidak sah dan tidak akan diakui
keabsahannya, hanyalah yang memenuhi syarat itu dapat diakui dan disahkan selaku
Hukum Tata Negara Darurat tertulis.
Menurut Bagir Manan, Perpu bisa diterbitkan apabila sudah memenuhi unsur
kegentingan memaksa yang menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) Ada krisis
(crisis), dan (ii) Ada kemendesakan (emergency). Perpu Nomor 1 Tahun 2014
tersebut sama sekali tidak mencerminkan adanya krisis maupun kemendesakan, karena
dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia baru pertama kali ini UU yang dibatalkan
oleh Perpu dalam hitungan hari, selain itu pemilihan kepala daerah secara serentak
masih diselenggarakan pada bulan Desember 2015, sehingga hal ini tidak
mencerminkan adanya kegentingan yang memaksa ataupun kemendesakan yang
bersifat prompt immediately, yaitu apa yang genting dan apa yang harus diatasi secara
segera.
Jika syarat umum ataupun syarat khusus penerbitan Perpu sudah terpenuhi,
maka langkah yang dilakukan oleh Presiden seperti yang telah diamanatkan oleh
konstitusi baru bisa dijalankan, namun Presiden juga tidak boleh lambat dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
menangani masalah kegentingan yang memaksa yang terjadi dalam suatu negara
karena jika terlambat maka sangat sulit keadaan akan kembali baik seperti semula.
Maka jika hal ini terjadi bisa menggunakan teori keseimbangan (evenwichtstheorie,
evenredigheidpostulaat) seperti yang telah dikemukakan oleh Van Dullemen dan
Kranenburg yaitu harus ada keseimbangan antara bahaya dengan upaya, supaya
kewenangan itu tidak berlebihan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang
besar tersebut. Atau Presiden justru harus mengupayakan solusi yang lebih besar dari
bahaya tersebut supaya bahaya atau kegentingan yang terjadi di suatu negara bisa
dihapuskan atau ditekan dengan upaya yang lebih besar.
Menurut pendapat Andi Irmanputra Sidin (Pendapat Ahli dalam Persidangan di
Mahkamah Konstitusi Pada Tanggal 8 Januari 2015) untuk menerbitkan Perpu itu ada
syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum dari diterbitkannya Perpu adalah:
1. Materi Perpu adalah materi Undang-Undang dan bukanlah materi untuk
melaksanakan Undang-undang dan juga bukan materi yang telah diatur dalam
UUD;
2. Bukan “hak subjektif” semata namun hak subjektif Presiden haruslah
memenuhi kondisi-kondisi konstitusional pada saat mengeluarkan Perpu;
3. Tidak boleh disalahgunakan yang artinya Perpu tidak boleh dikeluarkan hanya
berdasarkan kebutuhan atau dikarenakan terganggunya kepentingan pribadi,
kelompok, atau parpol dari pengusul atau pendukung Presiden;
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4. Perpu ditetapkan untuk mengatasi kekosongan hukum dan ketidakpastian
hukum;
5. Perpu yang diterbitkan memiliki akibat “sontak segera (prompt immediately)”
untuk memecahkan persoalan hukum;
6. Dalam “konsideran menimbang” Perpu tersebut harus mampu menjelaskan
kondisi subjektif Perpu tersebut yang dapat menjabarkan syarat kegentingan
yang memaksa sehingga rakyat c.q DPR dapat menilai secara terukur
dikeluarkannya Perpu tersebut.
Sedangkan Parameter adanya kegentingan memaksa yang merupakan sebagai
syarat khusus untuk menetapkan Perpu menurut Putusan MK No 138/PUU-VII/2009,
apabila:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalahhukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadikekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuatUndang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yangcukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untukdiselesaikan.Pada faktanya tidak ada kebutuhan yang mendesak serta tidak adanya
kekosongan hukum terkait pemilihan kepala daerah. Pemilihan Kepala Daerah sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang dipilih secara demokratis oleh DPRD. Sementara rumusan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, menyatakan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.Penafsiran dari “dipilih
secara demokratis” memiliki tafsiran konstitusi dapat dipilih langsung oleh rakyat atau
oleh DPRD (Delegative). Pengertian demokratis dalam hal ini tidak mutlak harus
dipilih secara langsung oleh rakyat secara luas, karena dalam perkembangannya
konsepsi demokrasi itu sendiri seiring berjalannya waktu secara universal juga
mengalami perubahan dan pembaharuan secara teoritik-praktis. Lain halnya jika UUD
NRI 1945 menyebutkan secara jelas “… dipilih langsung oleh rakyat”, maka tidak ada
penafsiran lain, jika Pilkada dipilih langsung oleh DPRD maka akan melanggar
konstitusi. Sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) maupun
sistem pemilihan langsung (demokrasi langsung) sama-sama masuk kategori sistem
yang demokratis sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013, bertanggal 19 Mei 2014, sehingga dengan demikian tidak benar
apabila Kepala Daerah dipilih oleh DPRD merupakan pelanggaran HAM yang
diidentifikasi dari besarnya penolakan terhadap RUU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Serta apabila merujuk pada prinsipnya bahwa kepala daerah pada tingkat
Provinsi (Gubernur) adalah merupakan wakil dari Pemerintah Pusat. Dengan
demikian, terdapat ambivalensi dalam pelaksanaan peran dan fungsinya sebagai wakil
Pemerintah Pusat, karena dilakukan pemilihan secara langsung. Kemudian, dalam
konteks administratif juga terjadi hal yang sama dalam penerapan prinsip-prinsip
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
hukum tata pemerintahan. Alasan lainnya adalah bahwa rakyat telah melakukan pilihan
langsung kepada wakilnya yaitu anggota DPRD, dengan demikian penyelenggaraannya
pun dapat diwakilkan kepada para anggota dewan yang terpilih, hanya kemudian
rakyat menuntut pertanggung jawaban penuh kepada para wakilnya tersebut. Serta
masih banyak alasan-alasan lainnya yang meliputi aspek stabilitas politik, keamanan
dan ketertiban umum, efisiensi, dan efektifitas, terkait dengan tujuan pembangunan
perekonomian nasional, serta fungsi anggaran, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing daerah adalah terdapat perbedaan
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dengan adanya perbedaan tersebut,
maka dapat mempengaruhi tingkat perkembangan dan kesejahteraan antar daerah yang
satu dengan yang lainnya berbeda-beda yang menyebabkan ketidakadilan regional,
olehnya demikian perlu diprioritaskan kepentingan akan kebutuhan-kebutuhan dasar
meliputi kesejahteraan masyarakat, kesehatan, tingkat pendidikan, dan lapangan
pekerjaan yang memadai.
Alasan yang dikemukakan oleh Presiden dalam konsideran Perpu Nomor 1
Tahun 2014 adalah karena banyaknya penolakan oleh rakyat terkait pengesahan
Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dipilih oleh DPRD
sehingga Presiden perlu mengeluarkan Perpu, hal ini tidak bisa dijadikan alasan
kegentingan memaksa karena pada dasarnya lahirnya Undang-Undang Nomor 22
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
tahun 2014 yang pada intinya Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh
DPRD ini selain ada penolakan tetapi tidak sedikit juga yang setuju karena hal ini
sejalan dengan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang memasukkan Pilkada pada
rezim pemerintah daerah bukan termasuk rezim pemilu lagi, sehingga MK tidak berhak
mengadili sengketa Pilkada, serta apabila Pilkada sudah masuk rezim pemerintah
daerah tentunya yang menyelenggarakan Pilkada ini bukan lagi organ pemilu yaitu
KPU, karena KPU hanya boleh menyelenggarakan Pemilu kecuali ada undang-undang
lain yang mengatur hal tersebut, dalam artian apabila Pilkada tetap diselenggarakan
oleh KPU berarti hal ini berseberangan dengan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013
dengan hasil Pilkada bukan termasuk rezim Pemilu akan tetapi rezim Pemerintah
Daerah, oleh sebab itu saat ini yang dinyatakan rezim pemilu oleh MK hanyalah
pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini sejalan dengan Pasal 22 E
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Salah satu kriteria Parameter kegentingan memaksa menurut Putusan MK
Nomor 138/PUU-VII/2009 poin (2) dan (3) yaitu, adanya kekosongan hukum. Hal ini
pun tidak benar karena Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah tidak
kosong atau tidak memadai saat Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ditetapkan. Hal ini justru
mengabaikan fakta sebab RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
disetujui menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 26
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
September 2014. RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama dan selanjutnya
disetujui dalam Paripurna DPR menjadi undang-undang dan disahkan oleh Presiden
menjadi undang-undang, telah sejalan secara konstitusional sesuai dengan ketentuan
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Pada saat rapat paripurna DPR tersebut, tidak ada
satupun catatan keberatan dari Presiden perihal hasil pembahasan RUU tersebut. Suatu
hal yang tidak tepat jika kemudian Presiden mengatakan bahwa terjadi kekosongan
hukum karena Undang-Undang Pilkada sudah disetujui dan disahkan oleh Presiden
tanpa satupun catatan keberatan.
Selanjutnya kekhawatiran Presiden bahwa pemilihan kepala daerah melalui
DPRD akan menjadi kepanjangan tangan dari sifat oligarki (pemerintahan yang
dijalankan oleh beberapa pihak yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu).
Hal ini tidaklah tepat karena hanya didasarkan kekhawatiran yang tidak mendasar dan
berlebihan.Fakta politik menunjukkan bahwa pengisian anggota DPRD didasarkan atas
hasil Pemilu sehingga tidak dapat dikuasai oleh kelompok tertentu saja, apalagi Pemilu
diikuti oleh partai politik yang telah memenuhi syarat menurut
Undang-Undang.Siapapun yang terpilih itulah para wakil rakyat di daerah, sehingga
tidak lagi bicara golongan ataupun kelompok tertentu.
Apabila disuatu Negara terjadi suatu keadaan yang genting/darurat dan telah
memenuhi syarat umum ataupun syarat khusus, maka Presiden selaku kepala
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Pemerintahan wajib melakukan upaya luar biasa karena darurat, untuk meniadakan
atau menghilangkan bahaya demi hidupnya (keberlangsungan) Negara tersebut. Teori
keseimbangan dalam keadaan bahaya negara (staatsnoodrecht), seimbang antara
bahaya dengan upaya yang dipakai untuk menghapuskan atau menghadapi bahaya
tersebut, teori ini juga dipergunakan dalam hal noodtoestand dan overmacht, serta
dalam melakukan pembelaan terpaksa (noodzakelijke verdediging) sesungguhnya
sangat sulit dan masih kurang dimengerti penggunaannya dalam praktik. Oleh karena
itu daya upaya itu harus jauh lebih kuat dan lebih besar untuk menghadapi bahaya atau
darurat tersebut, karena jika tidak maka bahaya itu akan sulit untuk dihapuskan.
Relativitas teori keseimbangan akan tergantung kepada hal-hal sebagai berikut:
1. Daya upaya negara dan pemerintah yang menghadapinya;
2. Bagaimana supaya bahaya itu secepatnya hapus atau berkurang, sehingga tidak
membahayakan lagi;
3. Hendaklah upaya itu lebih besar jika mungkin wewenang itu harus besar, lebih
besar dibandingkan dengan darurat yang dihadapi.
4. Dibentuk peraturan dalam keadaan bahaya atau kegentingan memaksa sejak dini
karena bahaya adalah suatu hal yang tidak dapat dipastikan kapan tibanya, kapan
(soal waktu) terjadinya menimpa suatu negara, meskipun dapat diperkirakan atau
diperhitungkan dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang paling
mungkin.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Hak istimewa yang diberikan oleh Presiden dalam bidang legislasi ini harus
digunakan jika parameter kegentingan memaksa atau keadaan bahaya terpenuhi karena
jika digunakan secara sewenang-wenang kekuasaan ini akan terjadi kediktatoran.
Kemungkinan lebih besar penyalahgunaan kekuasaan akan dilakukan oleh
Penguasa bahaya seperti dicontohkan dalam kasus Pemerintahan Nazi (Hitler),
menggunakan alasan bahaya (darurat) itu menghapuskan seluruh ketentuan UUD
(Weimar Konstitusi 1919 yang terkenal sangat demokratis itu) menjadi kekuasaan
diktator oleh Nazi, dengan menyalahgunakan Pasal 48, yaitu: Kekuasaan Presiden
Republik Weimar Jerman menyatakan bahaya Negara dan kekuasaan luar biasa di
tangan Presiden, dan ketentuan ini disebut Diktatur des Reichsprasidenten. Sedangkan
Pasal 76 Konstitusi Weimar mengatur tentang perubahan UUD atau disebut:
Verfassungsandernde Gesetze. Pasal-pasal tersebut disalahgunakan oleh Nazi untuk
keuntungan golongan sendiri dan menghapuskan seluruh Konstitusi Weimar itu sendiri
dan mengubah struktur Negara dan Pemerintahan Demokrasi menjadi
Diktatur-Fuhrerssistem. Oleh sebab itu, Pembatasan materi Perpu dalam
penyelenggaraan pemerintahan saja adalah hal yang sangat fundamental untuk menjaga
keberlangsungan checks and balances. Apabila Presiden berwenang untuk menetapkan
Perpu terhadap lembaga negara lainnya termasuk KPU dan Bawaslu yang lahir dari
Pasal 22 E UUD NRI 1945 maka esensi independen dari lembaga penyelenggara
Pemilu akan hilang. Lembaga kepresidenan akan superior diatas lembaga negara
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
lainnya termasuk superior di atas lembaga tinggi negara dan pada akhirnya akan
menciptakan kediktatoran konstitusi.
Untuk mencegah penyimpangan tersebut, Perpu semestinya hanya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi
Negara).Jadi tidak boleh dikeluarkan Perpu yang bersifat ketatanegaraan dan hal-hal
yang berkaitan dengan perlindungan dan jaminan hak-hak dasar rakyat.Hal-hal yang
bersifat ketatanegaraan, misalnya yang berkaitan denganlembaga-lembaga Negara,
kewarganegaraan, teritorial Negara, dan hak dasar rakyat tidak boleh diatur oleh
Perpu.Karena tanpa pembatasan, Perpu bisa menjadi instrumen kediktatoran dalam
penyelenggaraan Negara. Selain itu, untuk menghindari memaknai materi/substansi
Perpu adalah materi/substansi Undang-Undang yang tak terbatas. Perpu yang
dimaknai tak terbatas rentan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power).
B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Penetapan Perpu oleh Presiden dalam Hal
Ihwal Kegentingan Memaksa
Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, seringkali terjadi peristiwa dan
kondisi-kondisi yang bersifat abnormal, baik dibidang politik, hukum, ekonomi, sosial,
bencana alam dan sebagainya, dimana instrumen hukum positif yang ada seringkali
tidak mampu berperan sebagai solusi, sehingga diperlukan adanya norma-norma
hukum yang bersifat khusus baik dari segi substansinya maupun proses
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
pembentukannya sehingga dalam kondisi-kondisi seperti itulah Perpu sangat
diperlukan sebagai instrumen hukum laksana undang-undang yang berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat. Sehingga disini Presiden selaku kepala pemerintahan
diberikan kewenangan khusus oleh konstitusi untuk membuat peraturan yang sejajar
dengan undang-undang demi menyelamatkan roda pemerintahan.
Bahkan tidak hanya Presiden / khalifah saja yang diberikan kesempatan yang
luas dalam membuat aturan hukum atau qanun, gubernur dalam kapasitasnya sebagai
wakil khalifah di daerah diberikan kesempatan yang sama seperti khalifah dalam hal
membuat qanun. Begitupun dengan qadhi / hakim juga diberikan kesempatan yang
luas untuk berijtihad menggali sebuah hukum yang tidak terdapat dalam al-qur’an
maupun al-sunnah. Namun demikian qanun yang dibuat tidak boleh bertentangan
dengan syara’.
Sebagaimana riwayat yang menceritakan Gubernur Mu’adz ibn Jabal suatu ketika
ditanya Rasul tentang caranya dalam mengambil keputusan jika aturan tersebut tidak
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Rasulullah SAW bersabda:
عرضإذاتقضيكيف ة:قال؟كتباهللفيتجدلمفان:قال.بكتاباهللآقضي:قالقضاء؟ل فبس
ةفيتجدلمفان:قال.وسلمعليهصلىرسول قالوسلم؟عليهصلىرسولس
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
وفقالذيالحمدهلل:وقالصدره،.وسلمعليهصلىرسولفضرب.الووالرأيياجتهد
[داوودابورواه.]ورسولهيرضلمارسول
Bagaimana kamu memutuskan ketika ada suatu permasalahan yang diajukan kepadamu? “Mu’adz r.a menjawab: “Aku akan memutuskannya menggunakan Kitabullah”.Apabila kamu tidak menemukan dalam Kitabullah? Mu’adz r.a menjawab: “Aku akanmemutuskan nya dengan Sunnah Rasul Nya”. Rasulullah SAW bertanya lagi, “Jikakamu tidak menemukannya dalam Sunnah Rasul Nya? Mu’adz r.a menjawab: Akuakan berijtihad dengan ra’yi (pendapat) ku dan tidak akan teledor didalamnya”.Rasulullah SAW lalu menepuk-nepuk dada Mu’adz seraya berkata : “Segala puji bagiAllah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yangdiridloi Nya. (HR. Abu Daud)
Presiden bisa menerbitkan Perpu yang setara / sederajat dengan UU tanpa
melibatkan DPR ketika dalam suatu negara terjadi keadaan yang genting / darurat
dengan mekanisme pembuatannya lebih cepat dibandingkan pembuatan
undang-undang secara umum, pembuatan suatu peraturan apabila terjadi keadaan
genting disuatu negara. Pengertian darurat secara luas, yaitu: Datangnya kondisi
bahaya atau kesulitan yang amat berat, sehingga membuat khawatir akan terjadi
kerusakan (dhahar) tatanan suatu masyarakat, atau sesuatu yang menyakiti jiwa,
anggota, tubuh, kehormatan, akal, harta atau yang berkaitan dengannya. Pada saat itu
boleh melakukan apa yang seharusnya diharamkan atau tidak boleh, atau
meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda waktu pelaksanaannya untuk
menghindari kemudharatan yang diperkirkan dapat menimpa suatu negara, masyarakat
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
atau dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’.Seperti
dalam kaidah fiqhiyah :
تصرف االما و بالمصلحةمKebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan.
Bahaya yang ada dalam suatu negara harus segera diselamatkan dengan
membuat suatu kebijakan yang menguntungkan dalam semua aspek dan semua segi
untuk memakmurkan seluruh rakyat dan melindungi segenap bangsa ,maka kaidah ini
untuk menghindari bahaya yang ada di suatu Negara dan supaya mendapatkan
manfaat.
Seperti dalam kaidah fiqhiyah:
.المصالحجلبمناولىدرءالمفاسد
Menghindaribahaya harus lebih diutamakan dari meraih manfaat.
Kelonggaran yang diberikan oleh Islam tentunya juga masih dibatasi oleh
syari’at yaitu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits serta untuk
kemaslahatan seluruh umat. Sehingga Islam sendiri mempunyai parameter atau
batasan-batasan suatu keadaan yang dianggap sudah memenuhi unsur darurat/genting,
supaya hukumnya jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang halal dan mana
yang haram, mana yang boleh dilakukan dan mana yang boleh dilanggar karena hal
darurat itu. Agar tidak semua orang mengklaim adanya darurat pada dirinya atau
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
darurat yang menimpa suatu negara, dan mereka membenarkan perbuatannya.
Batasan-batasan darurat yaitu:
1. Darurat harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan kata lain kekhawatiran
akan datangnya bahaya benar-benar ada dalam kenyataan dan hal itu diketahui
melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada; atau jika
seseorang merasa yakin akan adanya bahaya yang hakiki terhadap lima
kebutuhan yag sangat mendasar yaitu agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta.
Apabila tidak ada satupun diantara lima kebutuhan yang mendasar, maka tidak
dibenarkan melanggar ketentuan hukum asal yang umum, baik yang
mengharamkan atau yang menghalalkan.
2. Orang yang terpaksa tidak punya pilihan lain kecuali melanggar
perintah-perintah atau larangan-larangan syara’ atau tidak ada cara lain yang
dibenarkan untuk menghindari kemudaratan selain melanggar hukum, Dalam
contoh pemerintahan, misalnya di dalam suatu negara ada suatu permasalahan
yang sangat genting yang akan membahayakan keberlangsungan kehidupan
suatu negara, sementara belum ada undang-undang yang mengatur mengenai
permasalahan tersebut, dan Presiden tidak mempunyai pilihan lain, maka dalam
case seperti ini Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan
amanat oleh konstitusi untuk mengeluarkan Perpu tanpa melalui persidangan
oleh DPR demi menyelamatkan suatu negara.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3. Bahwa kemudharatan itu memang memaksa(adanya emergency) dimana ia
betul-betul khawatir akan hilangnya jiwa atau anggota tubuh, seperti jika
seseorang dipaksa untuk memakan bangkai dengan ancaman yang
menghawatirkan hilangnya jiwa atau sebagian anggota tubuhnya sedangkan
dihadapannya ada hal yang halal dan baik; atau ia khawatir akan tidak kuat
berjalan sehingga ia tertinggal tanpa teman. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah
menegaskan bahwa setiap yang membolehkan bertayamum maka ia juga
membolehkan makanan yang haram. Maka kekhawatiran akan terjadinya
sesuatu yang keji pada anggota tubuh lahir seperti kekhawatiran akan lamanya
sakit, dipandang sebagai hal membolehkan mengerjakan yang haram. Dalam
contoh pemerintahan kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai
keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menurut suatu tindakan
segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu. Atau telah ada
tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak
diatur segera, akan menimbulkan gangguan, baik bagi masyarakat maupun
terhadap jalannya pemerintahan.
4. Dalam hal keadaan darurat tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syara’ pokok
yaitu memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan
amanah, menghindari kemudharatan, serta memelihara prinsip keberagamaan
serta pokok-pokok kaidah Islam. Contoh dan penjelasan dari ulama Syafi’iyah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
berkaitan dengan jual beli dengan serah terima tanpa ijab qabul yang banyak
berlaku pada masa sekarang (al-mu’athah), jika diadukan pada hakim, maka
perbuatan ini tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’ itu tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan darurat. Oleh
sebab itu ulama Syafi’iah tidak membolehkan jual beli tanpa ijab qabul (bai’
al-ta’athi) karena dalam pandangan mereka hal itu berbenturan dengan dalil
syara’, yaitu sabda Rasulullah SAW: “Jual beli itu hanya sah jika
masing-masing pihak sama-sama rela.” Dengan kata lain harus ada ijab qabul
untuk menunjukkan kerelaan. Sebenarnya pandangan ini masih kurang
mendalam (nazhrah suthhiyah), sebab setiap yang menunjukkan kerelaan
dalam ‘urf syara’ baik secara eksplisit maupun implisit dapat berlangsung
transaksi dengannya. Termasuk didalamnya, keadaan serah terima bahkan
kadang-kadang perbuatan itu lebih kuat dalalah dibandingkan dengan ucapan /
perkataan.
5. Bahwa keadaan darurat itu membatasi diri pada hal yang dibenarkan
melakukannya, pandangan jumhur fuqaha tentang darurat pada batas yang
paling rendah atau dalam kadar semestinya untuk menghindari kemudharatan
karena membolehkan yang haram itu adalah darurat, dan darurat dinilai
menurut tingkatannya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6. Dalam keadaan darurat berobat, hendaknya yang haram itu dipakai
berdasarkan resep dokter yang adil dan dipercaya baik dalam masalah agama
maupun ilmunya, dan tidak boleh ada obat selain dari yang diharamkan atau
cara lain yang dapat menggantikan yang haram sehingga syarat-syarat yang
terdahulu itu terpenuhi, yaitu bahwa melakukan yang haram itu merupakan
satu-satunya jalan baginya.
7. Harus berlalu satu hari satu malam bagi orang yang terpaksa dalam masalah
makanan. Dalam pandangan penganut aliran Zhahiriah tanpa memperoleh
makanan yang yang halal, dan tidak ada makanan kecuali yang haram.
Penetapan batas waktu selama satu hari satu malam ini diambil dari
Rasululullah SAW yang terdahulu mengenai pembolehan makan bangkai yang
pengertiannya bahwa apabila telah datang pagi dan sore dan seseorang tidak
memperoleh makanan untuk masa tersebut padanya atau yang dikenal dengan
istilah al-shabuh dan al-ghubuq.
8. Jika pemimpin dalam keadaan darurat yang merata, dapat mengetahui dengan
yakin akan adanya kezaliman, atau kemudharatan yang nyata atau adanya
keadaan yang membahayakan negara apabila negara tidak mengamalkan
tuntutan prinsip darurat. Berdasarkan hal tersebut, sebagian ulama’ fiqh
bersikap toleran dalam urusan-urusan hubungan luar negeri, atau urusan
perdagangan antar negara. Demikian juga sebagian ulama membolehkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
membayar bunga riba dari pinjaman luar negeri yang merupakan kebutuhan
umum negara.
9. Hendaknya sasaran pembatalan transaksi karena darurat itu adalah
menciptakan keadilan, atau tidak merusak prinsip keseimbangan diantara dua
pihak yang bertransaksi.
Keadaan-keadaan darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak itu membuat
seseorang boleh mengerjakan yeng terlarang dalam syara’. Semua yang dilarang di
dalam Islam, selain kufur, zina dan membunuh, dibolehkan melakukannya ketika
darurat, dengan syarat tidak menempatkannya sebagai hal-hal yang dibolehkan atau
untuk bersenang-senang atau membuat suatu kebijakan yang melonggarkan
golongannya untuk lebih mudah menikmati fasilitas umum, kebal hukum, ataupun
korupsi.
تصرف االما و بالمصلحةمKebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan.
Yakni efek-efek dari kemudaratan itu harus dihapuskan dan
dihilangkan, dan kaidah terakhir ini bersandar pada sabda Rasul SAW:
رر رارال وال
Tidak boleh ada kemudaratan dan tidak boleh pula memudaratkan orang lain.
Artinya bahwa dalam Islam itu tidak dibenarkan memudaratkan orang lain.
Maksudnya, tidak dibolehkan membuat seseorang terkena mudarat, dalam hal-hal yang
berada di tangannya berupa milik atau manfa’at pada umumnya. Dan tidak dibenarkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
merusak orang lain dan juga membalas kerusakan yang sama dengan yang dialami
seseorang. Seperti contoh dalam Pemerintahan seorang khalifah / Presiden tidak
dibenarkan membuat kebijakan yang memudharatkan rakyatnya tetapi menguntungkan
bagi dirinya atau kelompok tertentu. Misalnya: Pembuatan Undang-Undang tentang
Buruh atau Undang-Undang tentang Tenaga Kerja. Dimana Pemimpin membuat
kebijakan yang lebih menguntungkan pengusaha dan mendzalimi pekerja, adanya
mekanisme outsourcing,tidak ada pegawai tetap apabila karyawan usianya sudah tidak
produktif maka kontraknya akan berakhir dan tidak mendapatkan pesangon, dalam
case ini kebijakan yang dibuat oleh pemimpin hanya menguntungkan oleh pengusaha
tanpa memperhatikan nasib karyawan/buruh.
.المصالحجلبمناولىدرءالمفاسد
Menghindari bahaya harus lebih diutamakan dari meraih manfaat.
Dalam kaidah ini, pemerintah harus membuat kebijaksanaan politik dan
perundang-undangan sesuai dengan skala prioritas. Jika dalam suatu masalah terdapat
dua hal yang bertentangan, di satu sisi menguntungkan tapi di sisi lain menimbulkan
bahaya, maka yang harus didahulukan adalah prinsip menghindari bahaya. Seperti
contoh perizinan perjudian, lokalisasi pelacuran dan minuman keras akan
mendatangkan untung besar bagi devisa negara. Namun bahaya yang diakibatkannya
dan kerusakan generasi muda yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Demikian juga
dengan kewenangan luar biasa Presiden dalam membuat Perpu dalam hal ihwal
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
kegentingan memaksa, apabila dalam suatu negara terdapat mengakomodir hal
tersebut, maka Presiden selaku kepala pemerintahan mempunyai kewenangan untuk
menerbitkan Perpu untuk menyelematkan negara dari krisis dan mengeluarkan
kebijakan dengan baik untuk kepentingan seluruh rakyat sesuai dengan yang
diamanatkan oleh konstitusi.
Kelonggaran yang diberikan oleh Islam apabila terjadi suatu hal yang darurat
juga harus memenuhi unsur kemaslahatan untuk umum, tidak boleh mengambil suatu
keputusan untuk kepentingan pribadi, Hal ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi:
.الخاصةالمصلحةعلىمقدمةالعامةالمصلحة
Kemaslahatan umum yang lebih luas harus diutamakan atas kemaslahatan yang khusus(golongan atau kelompok tertentu).
Berdasarkan kaidah ini, untuk melindungi kemaslahatan masyarakat yang lebih
luas, Demikian juga dengan kewenangan Presiden dalam menerbitkan Perpu, meskipun
dalam hal ini pembuatan Perpu tidak melibatkan DPR sebagai lembaga legislatif.
materi Perpu harus untuk kemaslahatan seluruh rakyat secara umum, tidak boleh
hanya untuk kepentingan golongan tertentu, kepentingan politik apalagi hanya
pencitraan belaka.