eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog...

169
PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Transcript of eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog...

Page 1: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN

TERSANGKA DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA INDONESIA

Page 2: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan
Page 3: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN

TERSANGKA DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA INDONESIA

ES/ BOBOH TIPQIBO UPSOBEP-T/I/-N/I/-N/LO/

EDITOR:

DR. ABDUL HALIM BARKATULLAH, S.H., M.Hum.

Page 4: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia © Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.; Editor: Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., M.Hum.

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. All rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Badung: 2018 viii+ 159 hal.; 160 mm ISBN: 978-602-72748-9-1

Cetakan I: September 2018

Diterbitkan oleh Penerbit Nusa Media PO BOX 137 Ujungberung, Bandung

Disain cover: Tata Letak: Nusamed Studio

Page 5: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

KATA PENGANTAR

Maha Puji Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga buku

“PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA INDONESIA” ini bisa diselesaikan sesuai dengan target

yang telah ditentukan. Selain itu tak lupa bacaan salawat patut diucapkan

untuk Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang berpengaruh besar pada

peradaban manusia hingga menjadi sekarang ini.

Buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak buku tentang

praperadilan untuk membantu mahasiswa agar lebih mudah memahami

materi di samping kuliah dan buku-buku wajib lainnya karena, belajar

dari satu buku saja tidaklah cukup.

Penulis yakin bahwa buku ini banyak kekurangannya, maka oleh karena

itu setiap kritik yang bermaksud untuk menyempurnakan buku ini disambut

dengan gembira.

Semoga buku ini bermanfaat bagi para mahasiswa Fakultas Hukum pada

khususnya dan dunia hukum pada umumnya.

Banjarmasin, 7 Agustus 2018

Penulis

Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.

Page 6: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan
Page 7: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA

A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia —17

B. Eksistensi Lembaga Pra Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/

PUU-XII/2014 —60

C. Urgensi Pemberian Kewenangan Bagi Lembaga Praperadilan Dalam Menentukan

Batas Penyidikan Terhadap Tersangka Korupsi —63

BAB III

JANGKA WAKTU PENYIDIKAN OLEH KPK BERDASARKAN PUTUSAN

PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

A. Pengaturan Tentang Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia —87

B. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Pasca Penetapan Tersangka Berdasarkan Putusan Pra Peradilan —97

C. Kedudukan Tersangka dalam Hukum Acara Pidana —112

D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka Dalam Perspektif Hukum Acara

Pidana —113

E. Landasan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan oleh KPK Setelah Penetapan Tersangka

Berdasarkan Putusan Praperadilan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia —121

Page 8: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BAB IV PENGATURAN MASA YANG AKAN DATANG TERKAIT

KEWENANGAN LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM MEMBERIKAN

BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA

PUTUSAN PRAPERADILAN

A. Pengaturan Lembaga Pra Peradilan Dalam Ius Constituendum —145

B. Pengaturan Penyidikan dalam Ius Constituendum —149

C. Konsep Baru Pengaturan Batas Waktu Penyidikan KPK Dalam Lembaga

Praperadilan —151

BAB V

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

BIOGRAFI PENUILIS

Page 9: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BAB I

PENDAHULUAN

Hampir setiap hari kita disuguhkan episode-episode baru tindakan

korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan ini dengan modus

yang beragam. Masyarakat semakin hari semakin resah akan kasus korupsi

ini. Ironis melihat tindak pidana korupsi saat ini bukan menjadi kejahatan

terselubung, namun sudah menjadi tindak pidana yang dilakukan secara

terang-terangan. Para pelaku melakukannya tak lagi secara sembunyi-

sembunyi dan cenderung dilakukan secara berjamaah serta dengan modus

operandi yang bermacam-macam demi berjalannya praktek haram korupsi.

Perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat pesat dan sistemik.

Praktik haram korupsi sebagai tindakan yang melanggar hukum sekarang

sudah dianggap biasa bahkan sudah menjadi budaya. Ada selentingan

bahwa tidak melakukan korupsi dianggap sebagai pejabat yang “munafik”.

Inilah pikiran-pikiran yang harus dimusnahkan, terlebih sebagai pejabat

negara melayani warga negara. Praktik korupsi sejatinya merusak sistem

pembangunan negara indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun dirancang

oleh Founding Father kita dan hingga kini belum terihat signifikan, akibat

perilaku menyimpang para pejabat negara yang korupsi baik itu di ranah

Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.

Tindak pidana korupsi sejatinya dapat merusak tatanan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Korupsi juga mampu merusak stabilitas keamanan

nasional, menghambat cita-cita pembangunan, dan mengganggu kehidupan

sosial ekonomi bangsa indonesia. Perilaku korup membuat kerugian negara

yang sedemikian besar, membuat program pembangunan bangsa terhambat.

Hingga ada akhirnya, harus disadari tindak pidana korupsi merupakan

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Sesungguhnya reformasi hukum terkait dengan pemberantasan tindak

pidana korupsi sekarang sudah dilaksanakan. Reformasi dari perangkat

Page 10: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

2 BAB I

hukum, seperti aturan-aturan dan para aparat penegak hukum dilakukan

secara besar-besaran. Menjadi langkah nyata ketika lahir Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan

diberlakukannya Undang-undang ini, memberi harapan besar agar praktik

korupsi menjadi berkurang dan memberi efek jera bagi koruptor. Inilah

memang fenomena yang terjadi, Korupsi sudah menjadi kebiasaan bahkan

membudaya hampir di seluruh elemen pemerintahan dan aparatur penegak

hukum. Lihatlah sekarang, para bekas menteri, gubernur, walikota, polisi,

hakim, jaksa bahkan pengusaha juga terjerat korupsi. Semakin ketat aturan

dan tegasnya aparat hukum, ternyata tidak membuat korupsi berkurang.

Wewenang penyidikan sebagaimana dalam Peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan kepolisian sebagai suatu subsistem

peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002

tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas kepolisian yang

terkait dengan sebagai subsistem peradilan pidana adalah fungsi penyelidikan

(pasal 1 ayat 4 KUHAP), Pasal 14 ayat 1 huruf a KUHAP dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002.

Di samping itu juga dalam fungsi penyidikan Kepolisian mempunyai

wewenang secara umum dalam tindak pidana apapun (Pasal 1 ayat 1 KUHAP

dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Dalam hal ini negara Indonesia

merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945, yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Hukum di sini mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan

sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan

manusia lainnya.1

Seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana sesuai dengan

bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan penangkapan. Dalam

Pasal 17 KUHAP. Setelah adanya penangkapan perbuatan hukum yang

dilakukan oleh polisi adalah melakukan penyidikan, dan hal ini tentunya

polisi juga melakukan perbuatan hukum kembali dengan cara melakukan

penahanan kepada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana,

penahanan yang dilakukan oleh penyidik terbatas waktunya misalnya untuk

penahanan tahap awal polisi dapat melakukan penahanan atau dengan

cara mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (model Serse; A,6) selama 20

hari (Pasal 20, 21, 24 KUHAP) dan apabila pemeriksaan penyidikan belum

1 Sidik Sunaryo, System Peradilan Pidana, (Universitas Muhammadiyah: Malang, 2005), hlm. 227.

Page 11: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 3

selesai maka penahanan tersebut ditambah kembali oleh jaksa selama 40

hari (Pasal 24 KUHAP). Karena dalam pasal 24 ayat (2) KUHAP menggunakan

kalimat “paling lama 40 hari” berarti secara umum yuridis memberikan

perpanjangan penahanan.2

Dikecualikan apabila ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal

24 KUHAP, maka jangka waktu penahanan dalam tingkat pemeriksaan

penyidikan dapat ditambah lagi oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari

+ 30 hari menjadi 60 hari sesuai dengan Pasal 29 KUHAP.

“Tersangka atau Terdakwa yang menderita gangguan fisik atau mental yang berat dibuktikan dengan cara surat keterangan dokter atau Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih”.

KUHAP belum mengatur tentang batas waktu penyidikan terutama batas

penyidikan terhadap tersangka korupsi. Selain itu penyidikan yang dilakukan

oleh polisi yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu bisa berbulan-

bulan dan bertahun-tahun.

Dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi adalah proses penyidikan

karena merupakan tahap awal dalam proses peradilan pidana, oleh karena

itu proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam

upaya penegakkan aturan-aturan hukum pidana terhadap berbagai peristiwa

yang terjadi.

Belum adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan terkait dengan

limitasi jangka waktu penyidikan mengakibatkan posisi seseorang yang

diduga keras melakukan tindak pidana statusnya terkatung-katung dan

prosesnya biasanya berbulan-bulan. Meskipun tidak jarang proses penyidikan

ini sangat cepat tapi untuk kasus yang tidak jelas pula. Artinya tidak ada

standar yang jelas dalam KUHAP mengenai waktu masa penyidikan.3

Sebagai negara yang menganut sistem due process model sudah menjadi

kewajiban bagi Indonesia untuk mengedepankan hak-hak yang dimiliki oleh

tersangkanya dalam proses beracara pidana. Hak adalah merupakan sesuatu

yang diberikan kepada seseorang tersangka, terdakwa dan terpidana. Apabila

hak ini dilanggar, maka hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana atau

terhukum telah dilanggar atau tidak dihormati.4 Kepada tersangka telah

difasilitasi dalam pemenuhan haknya misalnya saja hak untuk pemeriksaan

dengan segera mungkin, hak memberi keterangan secara bebas maupun hak

2 H. M.A Kuffal, S.H, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hlm. 81.

3 Zenes Saut P S, Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh KPK Dalam Hal Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Padjajaran Bandung.

4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 54.

Page 12: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

4 BAB I

untuk mendapatkan bantuan hukum. Hak-hak tersebut diberikan kepada

tersangka disamping untuk tegaknya kepastian hukum, dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan terhadap hak asasi dan harkat martabatnya.5

Dalam upaya menjamin tegaknya hak-hak tersangka perihal tersebut

telah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yaitu Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya

akan disebut sebagai KUHAP). Hak-hak tersebut diantaranya terdapat dalam

ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 156 KUHAP yang utamanya mengatur

perihal proses pemeriksaan tersangka. Hak-hak tersebut pada dasarnya tidak

boleh disimpangi dan harus dijunjung tinggi sebagaimana mestinya. Tetapi

seringkali dalam upaya memperoleh kebenaran suatu perkara pihak aparat

penegak hukum (penyidik) dalam melakukan tindakan yang melanggar

hak-hak tersebut terutama apabila dalam peraturan perundang-undangan

terdapat adanya celah untuk melakukan hal tersebut. Pada prinsipnya

keterangan tersangka yang diberikan merupakan keterangan terdakwa

yang diberikan diluar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu

menemukan bukti disidang dengan didukung suatu alat bukti sah lainnya,

dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan tersangka/terdakwa

ketika diperiksa penyidik kemudian keterangan tersebut dicatat dalam berita

acara penyidikan ditandatangani oleh penyidik dan tersangka/terdakwa.6

Tata cara penyidikan telah diatur dalam KUHAP maupun kewenangan

dari penyidik sendiri.7 Pendekatan KUHAP mengenai dasar pemberian

wewenang kepada penyidik bukan didasarkan atas kekuasaan, melainkan

berdasarkan pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya,

kepada masing-masing pejabat tersebut diberikan kewenangan yang

disesuaikan/diselaraskan dengan berat-ringannya kewajiban dan

tanggung jawab masing-masing serta kedudukan, tingkat kepangkatan

dan pengetahuannya.8

Mengenai penempatan tersebut dimaksudkan agar terdakwa terlebih

dahulu mendengar, melihat alat bukti yang lain, dan telah diperlihatkannya

barang bukti. Dengan demkian diharapkan terdakwa benar-benar dapat

merenungi, menyadari apa yang didakwakan, meskipun bukan berarti

terdakwa harus membenarkan atau mengiyakan setiap alat bukti yang

5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 338.

6 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 103.

7 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 43.

8 Djoko Prakoso, Peranan Psikologi dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 44.

Page 13: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 5

dikemukakan dalam sidang.9 Namun untuk mengupayakan agar tersangka

memberi keterangan dengan jelas dalam pemeriksaan penyidik sering

melanggar hak-hak mereka sebagai tersangka.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perbuatan yang sedemikian

rupa akan berakibat suatu kondisi yang tidak seimbang antara aparat penegak

hukum dengan tersangka. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan

yang dianut dalam KUHAP dimana dalam setiap penegakan hukum harus

berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap

kepentingan dan ketertiban masyarakat.10

Dalam proses pemeriksaan sebelum persidangan sampai tahap

penuntutan sangat rentan terjadi pelanggaran yang pada ujungnya akan

merugikan tersangka yang pada akhirnya dalam tahap persidangan. Pada

kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa kenaifan hukum seperti ini

diberlakukan dengan bangga oleh manusia selama berabad-abad lamanya.

Bahkan, digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional

sejak masa kejayaan Romawi di Eropa Barat. Ini menjadi bukti kuat bahwa

berbagai teori dan praktik hukum tidak selamanya berjalan seiring dengan

perkembangan rasio manusia.11

Pada masa itu banyak masyarakat tidak memandang keadaan tersebut

sebagai suatu hal yang salah. Untuk timbulnya suatu keadaan hukum, maka

harus ada suatu tindakan sosial yang oleh masyarakat dianggap sebagai yang

salah, sedemikian salahnya sehingga selalu tidak diadakan sesuatu tindakan,

maka pranata yang dijunjung tinggi dalam masyarakat akan terinjak.12

Pada hakikatnya kualitas penegakan hukum tidak dapat dilepaskan

dari tujuan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas

pembangunan yang berkelanjutan (“sustainable development/sustainable

society”).13 Sementara hukum sendiri bertujuan untuk mengadakan

keselamatan, bahagia dan tata tertib dalam masyarakat itu.14

Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia.

Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan

9 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 79.

10 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 38. 11 Munir Fuady,Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2006), hlm. 22. 12 T,O,Ihromi, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984),

hlm. 47. 13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, 3, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2013), hlm. 249. 14 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut

Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3.

Page 14: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

6 BAB I

KUHAP dalam lingkungan penegak hukum. Dalam Pasal 1 butir (10) KUHAP

menyatakan:

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”15

Praperadilan tidak diatur dalam ketentuan Herzien Inlandsch

Reglement yang selanjutnya disebut (HIR). Keberadaan praperadilan dalam

KUHAP merupakan hal yang baru dan digunakan untuk melindungi hak-

hak tersangka dalam proses penyidikan. Sehinga ada ruang keadilan bagi

tersangka untuk mencari keadilan, dalam masa kolonial Belanda praperadilan

tidak diatur. Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat

terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda,

yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya

dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa

dalam hal ini pihak penjajah.16 Sehingga penting keberadaan praperadilan

dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia.

Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap tegaknya hak-hak

yang dimiliki tersangka KUHAP mengatur tentang lembaga Praperadilan.

Pengaturan lembaga Praperadilan dalam KUHAP, merupakan adopsi atas

lembaga habeas corpus dari sistem peradilan pidana Anglo-Saxon. Namun

wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses peradilan jauh lebih

terbatas dibandingkan dengan wewenang hakim komisaris di negara-

negara dengan tradisi civil law di Eropa daratan (rechter-commissaris, jugde

d’instruction, juez de intruciœn, juiz intruçœo dan sebagainya).17 Praperadilan

berawal dari gagasan Adnan Buyung Nasution bersama beberapa pakar

hukum antara lain Gregory Churchill, lawyer Amerika Serikat (yang sedang

menjadi dosen di Universitas Indonesia), Adnan Buyung Nsution kemudian

merumuskannya menjadi praperadilan yang dikenal dalam KUHAP.18

Praperadilan sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan hak-hak asasi

15 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 6.

16 Ibid, hlm. 8. 17 Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam

KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 106. 18 Ibid, hlm. 106-107.

Page 15: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 7

manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A sampai 28J kepada KUHAP

khususnya ketentuan Pasal 28D. Dengan adanya lembaga praperadilan,

diharapkan dapat menjadi sarana kontrol bagi aparat penegak hukum

dalam menjalankan kewenangannya. Praperadilan sebagai satu kesatuan

tidak terlepas dari struktur dan administrasi yudisial Pengadilan Negeri.

Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas

praperadilan, berada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana

Ketua Pengadilan Negeri.19

Praperadilan memberikan keuntungan kepada tersangka dari

kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam melakukan proses

penyidikan. Untuk memberikan perlindungan kepada orang yang diduga

sebagai tersangka dari kewenangan aparat penegak hukum. KUHAP telah

menyediakan lembaga praperadilan memiliki tugas untuk menjaga ketertiban

pemeriksaan pendahuluan dalam rangka melindungi seseorang yang diduga

tersangka terhadap tindakan-tindakan penyidik dan/atau penuntut yang

melanggar hukum dan merugikan tersangka.20 Perlindungan terhadap hak-

hak tersangka bisa diperjuangkan dalam proses praperadilan, sehingga proses

yang dijalankan lebih transparan dan adil.

Upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan maupun tahap

penuntutan oleh lembaga yang berwenang dapat dilakukan kontrol melalui

lembaga praperadilan. Tujuan dibentuknya lembaga praperadilan agar hak-

hak tersangka dapat dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun

penahanan yang tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun

penuntutan. Walaupun lembaga tersebut telah diatur dalam KUHAP,

namun dalam aplikasinya masih terdapat beberapa kelemahan baik dalam

formulasinya maupun dalam penerapannya di pengadilan, sehingga tidak

memberikan perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia tersangka.

Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum merupakan

faktor utama dalam memaksimalkan keberadaan lembaga praperadilan.

Ketidaktahuan masyarakat disebabkan tidak jalannya informasi dari

pemerintah. Terbatasnya pengetahuan publik tentang mekanisme

praperadilan merupakan indikasi adanya suatu penyimpangan dari asas

transparansi dan akuntabilitas publik, dimana pemerintah seharusnya

melancarkan kebebasan aliran informasi mengenai mekanisme

permintaan praperadilan.

19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 12.

20 S. Tanusubroto, Peranan PraPeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.10.

Page 16: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

8 BAB I

Pengaturan praperadilan diatur dalam ketentuan Pasal 77 sampai dengan

Pasal 83 KUHAP. Mengenai wewenang praperadilan dalam Ketentuan Pasal

77 KUHAP dinyatakan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan

memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini

tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/XII-PUU/2014

ketentuan mengenai syarat-syarat permohonan praperadilan ditambah

dengan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek

praperadilan. Mengenai alasan disetujuinya penambahan syarat praperadilan

dapat diambil dari pertimbangan hakim anggota Anwar Usman yang tertuang

dalam risalah sidang perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan:

“Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah „penetapan tersangka oleh penyidik‟ yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.”21

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga merubah konstruksi dari

praperadilan itu sendiri. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi konstruksi

dari praperadilan awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus

sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya

penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, serta permintaan

ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo kewenangannya diperluas

dengan menambahkan pengujian mengenai sah tidaknya penggeledahan,

21 Pendapat tersebut dikutip oleh Hakim Anggota Anwar Usman dari pendapat Shidarta, 2013, hlm. 207-214.

Page 17: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 9

sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan tersangka. Meskipun

putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena

dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap bersifat final

dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap KUHAP.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperluas kewenangan materi

uji dalam praperadilan.

Selain itu Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, 17 dan

Pasal 21 ayat (1) dengan menambakan frase “minimal dua alat bukti” dalam

proses penetapan tersangka dan penyidikan. Hulu pertimbangan putusan

ini adalah contoh pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti atau

(illegal secured evidence) yang menjadi pengaturan dari exclusionary rules,

yaitu dari kasus Dominique Khan yang disangkakan melakukan perkosaan

terhadap Nafissatou Diallo tahun 2011 di Magistrates Court New York, karena

perolehan alat bukti penegak hukum dianggap melanggar Rights of Protection

by the State, Disciplining the Police dan The Legitimacy of the Verdict.22 Selain itu

mengenai ketentuan dua alat bukti ini juga diambil dari ketentuan dalam

Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah lahir sebelum penambahan

dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Peraturan dalam Undang-

Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diasumsikan sebagai tanda

awal perubahan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Beberapa kasus korupsi di Indonesia telah mempergunakan lembaga

praperadilan dalam hal penetapan tersangka. Berikut adalah kasus-kasus

yang mengajukan praperadilan terhadap status tersangka:23

NO KASUS KETERANGAN

1 Miryam Haryani di Kasus Keterangan Palsu

Miryam Haryani mengajukan gugatan praperadilan dengan permohonan agar status tersangka dugaan pemberian keterangan palsu dicabut. Miryam menyebut KPK tidak berwenang mengadili perkara yang disangkakan padanya. Hakim tunggal Asiadi Sembiring akhirnya menolak gugatan praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani. Majelis hakim menyatakan penetapan status tersangka Miryam di KPK tetap sah. Hakim menegaskan, langkah KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka pemberian keterangan tidak benar dalam persidangan dugaan korupsi e-KTP sudah memenuhi dua alat bukti. Penetapan tersangka dinyatakan hakim sesuai dengan prosedur.

22 Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan Mendatang), (Jakarta: Diadit Media, 2015), hlm. 4-5.

23 https://news.detik.com/berita/3509949/kpk-vs-tersangka-korupsi-di-5- praperadilan-terakhir. diakses pada 28 September 2017 Pukul 13.00 Wib

Page 18: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

10 BAB I

NO KASUS KETERANGAN

2 Rohadi di Kasus Suap dan Gratiftkasi

status tersangka suap dan gratifikasi digugat oleh keluarga Rohadi melalui praperadilan sebanyak 2 kali. Pertama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada November 2016, anak bungsu Rohadi, Reyhan Satria Hanggara, mengajukan gugatan praperadilan ketiga terkait status tersangka Rohadi di kasus pencucian uang. Gugatan diajukan melalui pengacara Tonin Singarimbun. Lagi- lagi gugatan itu dimentahkan hakim. Gugatan tak dapat diterima dengan alasan kasus Rohadi yang lain, yakni terkait suap dan gratifikasi, telah disidangkan di Pengadilan Tipikor.

3 Bupati Nganjuk Tauftqurrahman di Pembangunan Jembatan Hingga Perbaikan Jalan

Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Ia mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus 5 proyek yang terjadi pada 2009.

4 Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun di Kasus Suap Akil Mochtar

Hampir semua pertimbangan KPK dilihat oleh hakim. Dengan putusan ini, proses penyelidikan perkara korupsi terus berjalan di KPK.

5 Mantan Ketua DPD Irman Gusman di Kasus Suap Kuota Gula Impor

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memvonis gugur gugatan praperadilan mantan Irman Gusman melawan KPK. Sebab perkara yang dimaksud sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk segera diadili.

Terkait penetapan tersangka di Indonesia masih memiliki permasalahan

diantaranya mengenai batas waktu atau limitasinya terhadap seseorang.

Seseorang berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP baru bisa berhenti

menyandang statusnya sebagai tersangka apabila terhadap perkaranya

dilakukan penghentian penyidikan. Sementara penghentian penyidikan

sendiri menurut Pasal 76 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

baru dapat dilakukan apabila:

a. Tidak terdapat cukup bukti;

b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan

c. Demi hukum, karena:

1. Tersangka meninggal dunia;

2. Perkara telah kadaluarsa;

3. Pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan

4. Tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

Tidak adanya limitasi terkait dengan status tersangka, merupakan

kerugian oleh seseorang yang telah ditetapkan tersangka. Walau demikian

Page 19: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 11

tersangka memiliki hak-hak yang telah diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2

KUHAP yang menyatakan:

Ayat 1 tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Ayat 2 tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum .

Hak-hak tersangka ini merupakan upaya untuk memberikan keadilan

bagi tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang

berwenang. Namun dalam hak-hak tersangka ini belum sempurna, karena

tidak ada batasan yang jelas untuk segera mendapatkan pemeriksaan. Dengan

demikian status tersangka ini bisa dikatakan merugikan seseorang yang diduga

melakukan pelanggaran tindak pidana, karena tidak adanya limitasi yang jelas.

Status tersangka yang terkatung-katung (tanpa batas waktu) dapat dilihat

dari kasus yang ditangani KPK menahan Andi Zulkarnaen Mallarangeng

alias Choel Mallarangeng sebagai tersangka dugaan korupsi Pusat Pelatihan,

Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) di Hambalang, Jawa

Barat, tahun anggaran 2010-2012. KPK menetapkan Choel sebagai tersangka

pada 16 Desember 2015 dan baru ditahan di rumah tahan KPK cabang Pomdam

Jaya Guntur untuk 20 hari kedepan sampai dengan 25 Pebruari 2017.24

Penetapan tersangka oleh KPK kepada Choel Mallarangeng sudah

dilakukan tertanggal 16 Desember 2015 dan baru ditahan 25 Februari 2017,

dengan demikian sudah 22 bulan tidak memiliki kejelasan dalam melakukan

pembelaan terkait dengan status tersangka. Ketidak jelasan ini merupakan

dampak tidak adanya sebuah peraturan yang jelas terkait dengan batasan

atau limitasi tentang status tersangka. Dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP

yang mengatur tentang hak-hak tersangka, juga tidak mengatur tentang

limitasi status tersangka, sehingga permasalahan ini merugikan seseorang

yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Status tersangka Choel Mallarangeng karena dugaan korupsi Pusat

Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) merupakan

salah bentuk kelemahan dari sistem hukum pidana Indonesia. Sudah lebih

dari 22 bulan Choel Mallarangeng tidak mendapat kepastian hukum. Sebagai

tersangka Choel Mallarangeng memiliki hak-hak seperti yang telah diatur

dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP. Hak-hak tersangka yang dimaksud

tentang, berhak untuk mendapatkan pemeriksaan dengan segera oleh

penyidik sehingga bisa dilanjutkan ke penuntut umum dan perkaranya

berhak untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Proses

tersebut merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum kepada

24 http: www. Covesia.com. terkatung-katung selama lima tahun, akhirnya Choel Mallarangeng Ditahan KPK. Diakses tanggal 29 Mei 2017.

Page 20: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

12 BAB I

tersangka dalam melakukan langkah hukum atau pembelaan dalam upaya

mencari keadilan. Hak-hak tersangka seperti yang ada dalam Pasal 50 KUHAP

tersebut belum berjalan efektif. Penyebab ketidak efektifan pasal tersebut

adalah tidak adanya sebuah aturan yang jelas dalam menentukan batasan

atau limitasi status tersangka.

Mekanisme pelaksanaan praperadilan dalam Pasal 79 KUHAP yang

menyatakan, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu

penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau

kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.”

Dari ketentuan tersebut mekanisme praperadilan, mengandung suatu norma

yang sifatnya wajib agar setelah melakukan pengajuan permohonan gugatan

praperadilan. Indonesia sebagai penganut due process model (mendapat

perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak), dalam sistem peradilan

pidana tentunya mengharuskan jalannya proses peradilan pidana yang benar

dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata

lain tanpa adanya suatu pengajuan permohonan atas gugatan praperadilan

oleh tersangka maka tidak dapat pula diproses keberatan tersangka atau

pihak yang berkepentingan atas perbuatan aparat penegak hukum dalam

proses pemeriksaan dari penentuan tersangka hingga menuju penuntutan.

Dengan formulasi permohonan dalam mekanisme pengajuan gugatan

praperadilan, terhadap pihak tersangka dan keluarga yang awam dengan

hukum dan tidak didampingi oleh kuasa hukum akan menimbulkan suatu

ketidakadilan terhadap posisi mereka dengan aparat penegak hukum. Dengan

adanya persyaratan permohonan tersebut kesempatan untuk mengajukan

praperadilan hampir tidak secara merata ada pada tiap masyarakat,

melainkan bagi mereka yang mengenal hukum saja. Jika dibandingkan

dengan pengajuan gugatan praperadilan oleh pihak penyidik dan Jaksa

Penuntut Umum tentunya tidak terdapat keadilan karena pihak tersebut

memiliki pengetahuan lebih dalam bidang hukum.

Namun dari sudut pandang lain dalam permohonan gugatan praperadilan

oleh pihak keluarga tersangka dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan dari

pihak aparat penegak hukum. Karena yang mengetahui dan mengalami

dengan pasti terjadinya pelanggaran adalah pihak tersangka dan aparat

penegak hukum saja, pihak keluarga tidak dapat memastikan. Fokus yang

tidak kalah penting mengenai praperadilan mengenai limitasi waktu status

tersangka. Tidak diaturnya limitasi ini mengakibatkan terkatung-katungnya

status tersangka seseorang karena memang secara tegas tidak diatur dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia.

Keberadaan praperadilan di Indonesia masih banyak dilakukan evaluasi

karena masih banyaknya kelemahan dalam praktiknya. Tentu hal tersebut

Page 21: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 13

sangat berbeda dengan beberapa negara yang memeliki lembaga yang

berfungsi seperti praperadilan di Indonesia. Seperti di Belanda, Amerika

sebagai negara penganut sistem Anglo Saxon dalam proses perkaranya

memiliki lembaga praperadilan sendiri.

Lembaga praperadilan Indonesia seyogyanya dapat mengakomodasi

sistem lembaga praperadilan di AS dimana aparat penegak hukum setelah

melakukan penangkapan atau penahanan dalam jangka waktu tertentu harus

menghadirkan tersangka untuk pelaksanaan praperadilan yang meniadakan

aspek permohonan dan menggantikan mekanismenya menuju ke arah yang

otomatis. Perlu dibentuk suatu lembaga baru yang mengadopsi lembaga

hakim Komisaris di Belanda yang berperan sebagai pengawas atau sarana

kontrol praperadilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Pancasila

khususnya kemanusiaan yang dianut oleh Indonesia.

Sifat hukum acara pidana ini harus dipandang dari dua optik

kepentingan yang fundamental sifatnya. Pertama, dari optik kepentingan

masyarakat itu sendiri dalam artian bahwa kepentingan masyarakat harus

dilindungi yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana sebagai

bagian dari hukum publik (public law). Kedua, dari aspek kepentingan

orang yang dituntut dalam artian hak-hak dari orang yang dituntut

dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam konteks

negara hukum (rechtstaat).25

Ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia lembaga praperadilan sekarang

ini masih belum mencerminkan suatu perlindungan HAM yang kokoh bagi

pihak tersangka. Selama tidak ada permohonan pengajuan praperadilan maka

tidak ada pula perlindungan dari lembaga praperadilan atas kesewenangan

pihak penyidik. Penegakkan HAM tidak hanya perlu dilakukan oleh yang

bersangkutan saja tetapi pihak lain juga memiliki peranan didalamnya.

Hal ini bertentangan dengan tujuan dari kebijakan hukum pidana

yang idealnya harus memperhatikan fungsi dan tujuan dari hukum

pidana itu sendiri, yaitu mengatur dan melindungi kepentingan hukum

anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari sebagai warga negara

dari masyarakat lainnya, tindakan dari anggota atau kelompok atau dari

penguasa. Ketentuan mengenai lembaga praperadilan saat ini dirasa penulis

masih belum mencerminkan hal sedemikian rupa dengan sistem pengajuan

melalui permohonan.

Karena sifat Praperadilan yang mengedepankan pengetahuan hukum,

maka untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh tersangka diperlukan

peran dari penasehat hukum. Akan tetapi, tidak semua orang dapat

25 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 11.

Page 22: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

14 BAB I

menghadirkan penasehat hukum dalam proses berperkara mengingat biaya

jasa yang cukup tinggi.

Dengan tidak adanya batasan limitasi jangka waktu status tersangka,

maka hal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum dan

Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah). Dalam prinsip kepastian

hukum terdapat suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan

cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya merpakan tujuan utama dari

hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati

diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak

lagi digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian hukum

merupakan suatu konsep untuk memastikan bahwa hukum dijalankan

dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, hukum

harus bisa menjadi pedoman, mengayomi dan melindungi masyarakat dari

berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada individu ataupun kelompok.

Asas kepastian hukum harus mencerminkan pula suatu falsafah keadilan

bagi masyarakat. Konsep untuk menentukan kepastian hukum tersebut

dijalankan melalui pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan

yang ditetapkan oleh pemerintah. Kepastian hukum akan mengarahkan

masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan.

Penetapan tersangka yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu yang

pasti, telah mencerderai konsep kepastian hukum bagi individu, selain

itu dengan berlarut-larutnya penetapan tersangka tanpa adanya jangka

waktu (limitasi) bertentangan dengan asas Presumption of Innocence

(praduga tak bersalah). Penetapan bersalah atau tidaknya seseorang ada

ditangan hakim, selama hakim belum memutuskan bahwasanya seseorang

bersalah, seharusnya hukum memberikan perlindungan terhadapnya dengan

tidak melakukan pelabelan sebagai tersangka pada diri individu tersebut.

Penetapan tersangka telah mengurangi hak-hak dari seorang individu, dan

tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Asas praduga tidak bersalah secara internasional tertuang dalam Pasal 11

Deklarasi Hak Asasi Manusia yang sifatnya fundamental untuk melindungi

hak asasi manusia dari proses pidana yang sewenang-wenang.26 Dalam

perundang-undangan di Indonesia, asas ini diletakkan dalam Pasal 8

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman yang digantikan oleh Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan setelah keluarnya

putusan MK No 21/PUU-XII/2014, ternyata juga tidak mengakomodir

26 Eddy O,S, Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 75.

Page 23: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pendahuluan 15

pembatasan jangka waktu terhadap penetapan tersangka tersebut, putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut hanya mengatur tentang limitasi syarat

penetapan tersangka, sehingga putusan praperadilan yang seharusnya

dianggap sebagai suatu sarana mencari keadilan belum mampu untuk

mewujudkannya.

Page 24: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

16 BAB I

Page 25: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BAB II

LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA INDONESIA

A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan

dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

1. Makna Filosofis

Keberadaan praperadilan sangat penting dalam memberikan

kepastian dalam proses penyidikan dan penentuan tersangka, yang

terdapat dalam hukum acara pidana. Sementara itu tujuan dari hukum

acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-

tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan

hukum acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapa pelaku

dari suatu tindak pidana dan selanjutnya melakukan pemeriksaan di

pengadilan untuk menentukan apakah terbukti bersalah atau tidak, juga

mengatur pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan terhadap

putusan yang telah dijatuhkan. Keberadaan praperadilan bisa dikatakan

sebagai media untuk tersangka dalam mencarikejelasan yang terkait

dengan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik baik kepolisian

atau kejaksaan atau oleh lembaga yang diberikan kewenangan.

Badan Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan mengenai sejarah

dan landasan filosofis dari adanya proses praperadilan.1 Sejarah hukum

acara pidana di Indonesia, pada masa prakemerdekaan, terdapat dua

hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu Strafverordering (Sv) yang 1 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di

Indonesia, http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2015

Page 26: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

18 BAB II

berlaku bagi masyarakat eropa yang berada di Indonesia dan Inlands

Reglement (IR), yang diganti dengan Herziene Indische Reglement (HIR)

dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, untuk golongan pribumi.

Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara

negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang

harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau

terdakwa tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam

penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam hukum pidana materiil

maupun hukum pidana formil.

Proses pengajuan praperadilan yang dilakukan oleh tersangka

merupakan hak dalam mendapatkan keadilan sangat wajar mengingat

adanya pembatasan terhadap hak kebebasannya. Segala bentuk tindakan

hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang berakibat terampasnya

hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-undang dan

undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan

menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap

tersangka atau terdakwa tersebut agar wewenang yang diberikan oleh

undang-undang kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan

sewenang-wenang.

Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan, termasuk praperadilan

sebagai wadah dalam mencari keadilan bagi tersangka. John Rawls

yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,

berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya

institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi

seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat

rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.

Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.2

Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota

masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial

yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik dimana

keadilan sebagai fairness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan

institusi-institusi yang ada didalamnya.3 Keadilan bisa tercapai bukan

hanya dengan pengaturan institusi-institusi, meliankan juga kepada

masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dalam

menjalankan fungsi yang ada di institusi.

Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai

dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Mereka yang meyakini

konsep keadilan yang berbeda bisa tetap sepakat bahwa institusi-

2 Pan Mohamad Faiz, Op, cit., hlm. 135. 3 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op cit., hlm. 5.

Page 27: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 19

institusi adalah adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang

antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan

menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling

berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.4 Keadilan sebagai

fairness diungkapkan oleh Rawls dalam gagasannya sebagai prinsip-

prinsip keadilan yang disepakati dalam situasi yang fair.5 Salah satu

bentuk keadilan sebagai fairness yaitu memandang berbagai pihak dalam

situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.6

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian

hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan

hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak

dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah

yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara

dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa

yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah

dilakukannya.7 Menurut Rawls, Aristoteles jelas-jelas mengasumsikan

penilaian tentang apa yang layak menjadi milik seseorang dan apa yang

berkaitan dengannya.8

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles terbagi ke

dalam dua bentuk, keadilan “distributief” dan keadilan ”commutatief”.

Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang

porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama

prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar

barang dan jasa.9

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

masyarakat. Dengan apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi

kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di

kalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan ditribusi yang

sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.10

Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap

warga negara. Lembaga peradilan merupakan badan yang berdiri sendiri

(independent). Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala

4 Ibid, hlm. 6. 5 Ibid, hlm. 14. 6 Ibid, hlm. 15. 7 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 75-76. 8 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op.Cit. hlm. 11. 9 L,J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita 1996),

hlm. 11-12. 10 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 76.

Page 28: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

20 BAB II

sesuatu mengenai perkara peradilan.11 Peradilan juga dapat diartikan suatu

proses pemberian keadilan di suatu lembaga.12 Dalam kamus Bahasa Arab

disebut dengan Istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan,

menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian

sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya

diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul.

Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh

negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum13.

Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan

yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat.

Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang

sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-

tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan

tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung

masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak namun dari segala apa

yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada

masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian

penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya

termasuk juga aparat Kepolisian yang semua ini berujung pada lahirnya

lembaga Praperadilan sebagai suatu kontrol pada tindakan penyidik

menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu.

Keberadaan lembaga peradilan sangat penting untuk menyelesaikan

perkara yang ada dalam masyarakat, tetapi yang tidak kalah pentingnya

adalah adanya pengadil dalam lembaga peradilan adalah atau yang biasa

disebut hakim. Hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan

keadilan kepada setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga

diharapkan seorang hakim dalam memeriksa, menyelesaikan, dan

memutus suatu perkara juga harus bebas dari pengaruh apa atau

siapapun untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada setiap

orang yang berperkara di pengadilan.

Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang

bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi

tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga

praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran

dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa. Demi untuk

terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang 11 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2003), hlm. 2. 12 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hlm. 278. 13 Cik Hasan Basri, op.cit, hlm. 3.

Page 29: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 21

memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk

melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,

penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik

penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan

perlakuan yang bersifat:

Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan

pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.

Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-

undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan

perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan

terhadap hak asasi tersangka.

Hakim dalam memutus sebuah sengketa harus adil dan tidak bisa

memihak salah satu pihak. Proses tersebut dilakukan dalam persidangan

dengan cara, para pihak yang bersengketa mengajukan dalil-dalil yang

saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil

manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam

melakukan pemeriksaan ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan

tentang pembuktian yang merupakan hukum pembuktian.

Karena upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum

merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi

tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut

ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law).

Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan

Undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.

Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka

adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum

dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan

menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum.

Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk

menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan oleh

petugas dalam mencari atau mengumpulkan bukti dan informasi.

Dalam proses praperadilan, hakim dalam memutus sebuah

sengketa harus adil dan tidak bisa memihak salah satu pihak. Proses

tersebut dilakukan dalam persidangan dengan cara, para pihak yang

bersengketa mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim

harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan

dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam melakukan pemeriksaan

ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang

merupakan hukum pembuktian.

Page 30: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

22 BAB II

Pada hakekatnya yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan

bukan hukumnya. Oleh karena itu yang wajib membuktikan peristiwanya

atau mengajukan alat bukti adalah para pihak, sedangkan hakim harus

menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah terbukti tersebut.

Jadi hakim dalam proses perkara harus menetapkan dan menemukan

kebenaran peristiwa atau hubungan hukumnya terhadap peristiwa yang

telah ditetapkan itu.14 Sehingga dalam memutus sebuah perkara hakim

harus melihat peristiwa hukum yang sudah terjadi. Sehingga putusan

yang dibuat bisa adil dan tidak merugikan salah satu pihak.

Filosofi keadilan dan kepastian hukum dalam praperadilan sudah

tercermin sejak awal pendirian lembaga praperadilan ini. Sehingga

semangat utama berdasarkan keadilan dan kepastian. Setiap hal yang

baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau motivasi tertentu.

Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu yang ingin

diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula

halnya dengan pelembagaan praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang

hendak ditegakkan dan dilindungi.15

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang

terlibat dalam perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan

dan penuntutan.

b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap

penyalahgunaan wewenang olehnya.

Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan alat kontrol dilakukan

sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan berarti terhadap seseorang

yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana

diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak

tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan

tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa

telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-

tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa

yang telah ditentukan undang-undang.

Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum

merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi

tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab

menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due

14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberti, 2002), hlm. 106.

15 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 3.

Page 31: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 23

process of law). Prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud

dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk

mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan

undang-undang.16 Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga

praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari

asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) sehingga tiap

orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang

wajar dan mendapat perlindungan harkat manusianya dan merupakan

suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan

upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada dalam

pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan

itu tidak bertentangan dengan undang-undang.

Pada umumnya pemeriksaan di sidang Pengadilan dalam hukum

acara pidana merupakan pemeriksaan mengenai perkara pokok dalam

artian pemeriksaan untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum.

Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”praperadilan”

maka maksud dan artinya secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum,

atau mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum

pemeriksaan di sidang Pengadilan (sebelum memeriksa pokok dakwaan

Penuntut Umum).

2. Makna Historis

Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari

adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon,

yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia

khususnya hak kemerdekaan Habeas Corpus Act memberikan hak pada

seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut

(menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi

ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah

tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku.17 Hal ini untuk menjamin

bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap

seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak

asasi manusia.

16 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 16.

17 Adnan Buyung Nasution, PraperadilanVS Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim–komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal 15 Juni 2017.

Page 32: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

24 BAB II

Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus

tersebut tidak hanya ditujukan untuk kepada penahanan yang terkait

dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk

penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi

seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi.18 Dalam perkembangannya

surat perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta

perbaikan terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di

negara bagian di Amerika Serikat.

Prinsip dasar Habeas Corpus ini menciptakan suatu forum yang

memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang

menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk

mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetapan

dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang

middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

maupun pembukaan surat-surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian

ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas

Corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang memberikan

perlindungan kepada terdakwa/tersangka terhadap upaya paksa yang

dilakukan aparat penegak hukum.

Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini

melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat

penegak hukum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum

aparat penegak hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya

dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-

wenangan dalam menggunakan kekuasaanya. Maksud dan tujuan luhur

dari Praperadilan tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.

Lembaga Praperadilan diperuntukan demi mendapatkan rasa keadilan

dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari para penegak

hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan dari

Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah, agar tindakannya betul-betul

berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja

selagi memangku jabatannya atau selaku aparat.

Sejarah keberadaan lembaga praperadilan merupakan betukan baru

yang tertuang dalam KUHAP. Sementara itu dalam masa kolonial Belanda

yang menggunakan Het Herziene Indonesisch yang selanjutnya ditulis

(HIR) belum mengatur tentang praperadilan.

HIR diciptakan dalam suasana kolonial Belanda, yang pada

dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk

18 Indira Putiet, Perbandingan Praperadilan, Habeas Corpus dan rechter Commisarie, http://one.indoskripsi.com/node/10432, diakses tanggal 10 Agustus 2010.

Page 33: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 25

sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam

hal ini penjajah. Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan

zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era

kemerdekaan negara Republik Indonesia, sistem yang dianut HIR

dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita

hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara

pidana baru yang mempunyai ciri kodifikasi dan unifikasi berdasarkan

Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.19

Lembaga Praperadilan pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak

diberlakukannya KUHAP, tujuan Praperadilan adalah upaya ”pengawasan

horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka

selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar

benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum

dan undang-undang. Upaya paksa (dwang meddelen) dalam hal ini adalah

baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, ataupun

pemeriksaan surat-surat yang dilakukan Penyidik ataupun Penuntut Umum.

Upaya kontrol (pengawasan) tersebut dilakukan dalam rangka penegakkan

hukum (law enforcement), sehingga tercipta kepastian hukum yang adil.

Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan

hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai

wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga

praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:20

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap

pengadilan negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada

tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah

dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan.

b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada diluar atau disamping

maupun sejajar dengan pengadilan negeri.

c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya

takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah

pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri

yang bersangkutan.

d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi

yustisial pengadilan negeri itu sendiri.

19 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7.

20 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.

Page 34: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

26 BAB II

Dengan demikian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran

praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi

hanya merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang

dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang

dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi pengadilan

negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan

fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana

dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok

tadi ditambahkan tugas sampingan untuk menilai sah atau tidaknya

penahanan, penyitaan atau penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang

wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan.

3. Makna Yuridis

Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

menyebutkan bahwa21 “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri

untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-

undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau

penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain

atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan

keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka

atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah

menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya

paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang

menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan

dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi”. Akan tetapi

meskipun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (UU No.

18 tahun 1981) namun dalam aplikasinya masih terdapat kelemahan-

kelamahan baik dalam formulasinya maupun dalam penerapannya di

Pengadilan sehingga masih minimnya perlindungan Hak Asasi Manusia

bagi Tersangka.

Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP, bahwa Praperadilan

merupakan suatu bentuk upaya hukum yang dimaksudkan untuk

menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan

secara horizontal22, dalam hal ini berarti, praperadilan merupakan salah

satu sarana yang dikenal dalam hukum acara pidana untuk memberikan

21 Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 22 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 190.

Page 35: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 27

perlindungan hukum, keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari

keadilan yang berhadapan dengan aparat penegak hukum, khususnya

terkait dengan Pencari Keadilan yang perkara pidananya sengaja tidak

ditindaklanjuti dengan alasan yang tidak jelas di tingkat penyidikan,

yang mana tindakan penyidik yang tidak menindaklanjuti suatu perkara

pidana di tingkat penyidikan tersebut juga termasuk dalam proses

penyidikan dan juga merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana,

sekaligus merupakan fungsi pengawasan suatu lembaga peradilan

terhadap proses penyidikan dan dalam pelaksanaannya.

Lembaga Praperadilan (Pengadilan Negeri) yang berwenang

melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa, ternyata

tidak semua tindakan upaya paksa dapat dikontrol, Pasal 77 KUHAP

membatasi kewenangan Pengadilan hanya terbatas pada pengujian

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan; serta permohonan ganti kerugian dan/

atau rehabilitasi bagi Tersangka yang perkara pidananya dihentikan

pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sedangkan untuk tindakan

penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat tidak

dijelaskan dalam KUHAP, siapa yang berwenang memeriksa apabila

terjadi pelanggaran dalam tindakan tersebut.

Lembaga Praperadilan dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme

kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan

bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan

pidana dan berwenang untuk memutus23:

a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan;

b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan;

c) Apakah benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian;

d) Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi.

Keberadaan lembaga praperadilan memberikan dampak positif

bagi setiap tersangka dalam mempertanyakan proses penyidikan, serta

melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan penyidik dalam

proses penyidikan.

Selain itu mengenai kewenangan Praperadilan yang ternyata bersifat

pasif, karena Praperadilan tidak dapat menjalankan kewenangannya

selama tidak ada permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak

lain atas kuasa Tersangka untuk dilakukan pengujian. Sehingga apabila

permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau

23 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hlm. vii

Page 36: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

28 BAB II

penahanan menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku, maka

sidang Praperadilan tidak dapat diadakan.

Lembaga Praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri, tetapi

merupakan suatu wewenang tambahan dari Pengadilan Negeri.

Sebagaimana pengertian Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 angka

10 jo Pasal 77 KUHAP, yaitu bahwa Praperadilan adalah wewenang

suatu Pengadilan Nagari untuk memeriksa dan memutus sesuai

dangan cara yang telah diatur dalam Undang-undang ini, yaitu

tentang:

a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atau kuasa

tersangka;

b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

panuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi olah tarsangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke Pengadilan.

Menyangkut Praperadilan banyak sekali hal-hal atau tuduhan

miring kontroversial menyangkut pelaksanaannya. Tuduhan-tuduhan

tersebut menyangkut antara lain seperti masalah gugurnya permohonan

Praperadilan, dugaan adanya konspirasi terselubung antara pihak Hakim

dengan termohon Praperadilan, hingga masalah pada ganti kerugian

yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai dengan realitas yang

diderita pemohon, hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti

kerugian. Tidak jarang banyak orang menilai butuk terkait dengan praktik

yang terjadi di lembaga praperadilan.

Kehadiran Lembaga Praperadilan memberi peringatan24:

1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan

hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada

ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan

diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;

2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi

warganegara yang diduga melakukan kejahatan, yang ternyata tanpa

didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari

sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan

prinsip hak-hak asasi manusia.

24 S. Tanusubroto, Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:

Alumni, 1983), hlm. 2.

Page 37: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 29

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian melalui

Lembaga Praperadilan disebut sebagai Pemohon Praperadilan. Keberadaan

Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini melindungi hak-hak

masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat penegak hukum

serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum aparat penegak

hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk

ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam

menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan

tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.

1. Dalam KUHAP telah disebutkan dalam beberapa pasal, pihak-pihak

yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan melalui lembaga

praperadilan, diantaranya:

2. Pasal 79 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan pemeriksaan tentang

sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan olah

tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri

dengan menyebutkan alasannya.

3. Pasal 80 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan untuk memeriksa

sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan

dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak

ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan

menyebutkan alasannya.

4. Pasal 81 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan ganti kerugian dan

atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan

atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan

diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan

kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.

5. Pasal 95 ayat (2) KUHAP, yang isinya bahwa tuntutan ganti kerugian

oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan

serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan pada Undang-

undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

diterapkan sebagaimana di maksud dalam ayat (1), yang perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan

sebagaimana di maksud dalam Pasal 77.

6. Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yang isinya permintaan rehabilitasi oleh

tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang

berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana di maksud dalam

Pasal 95 ayat (1), yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

negeri, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang di

maksud dalam Pasal 77.

Page 38: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

30 BAB II

Berdasarkan pada pasal 80 KUHAP, menunjukkan bahwa selain dapat

diajukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, permohonan praperadilan

untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan

juga dapat diajukan oleh “pihak ketiga yang berkepentingan”. Yang di

maksud pihak ketiga yang berkepentingan di sini adalah pihak-pihak yang

mempunyai kepentingan atas dihentikannya suatu penyidikan, dalam hal

ini, bisa Korban Tindak Pidana, Pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau

organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat umum.25

Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau

terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya merupakan

suatu forum yang terbuka dan dipimpin seorang hakim atau lebih

untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah

melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya

dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan

berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka

ini, maka tersangka atau terdakwa dijamin hak asasinya berupa hak

dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan

kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik

ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut

umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar

hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun

penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-

syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun

materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,

adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh

bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan

alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,

menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.

Menurut Darwan Prinst, yang dimaksud sebagai pihak ketiga yang

berkepentingan dalam Pasal 81 KUHAPidana, adalah26:

1. Tersangka / Terdakwa;

2. Keluarga dari Tersangka / Terdakwa;

3. Kuasa dari Tersangka / Terdakwa;

4. Pelapor yang dirugikan dengan dilakukannya itu atau yang dapat

kuasa dari dirinya.

25 Pendapat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar dalam http://m. hukumonline.com/berita/baca/lt519b604ebe2e3/mk-tegaskan-lsm-bisa-ajukan- praperadilan diakses tanggal 25 Juli 2016, pukul 10.00

26 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1984), hlm. 51.

Page 39: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 31

Permintaan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam surat permohonan

tersebut, Pemohon menyebutkan selaku apakah dia bertindak dalam

permintaan pemeriksaan praperadilan yang diajukannya, menceritakan

duduk perkaranya secara terperinci dan jelas serta menyebutkan

hal yang menjadi alasan pemohon untuk mengajukan permintaan

pemeriksaan praperadilan itu, serta mencantumkan putusan apakah

yang dimohonkan.27

Kelemahan lain dalam ketentuan KUHAP adalah hanya menentukan

batas waktu penentuan hari sidang dan lama pemeriksaan persidangan.

KUHAP tidak mengatur berapa lama batas waktu dimulainya sidang

(sidang pertama) praperadilan sejak permintaan pengujian praperadilan

didaftarkan. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahap administrasi

pengadilan sebelum sidang demikian bertolak belakang dengan

semangat pemeriksaa praperadilan yang dilakukan secara cepat.

Dalam praktek pemeriksaan praperadilan, hakim juga lebih banyak

memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-

mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada

atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau

ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), tetapi

sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya, seperti

adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan

“bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang

cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim,

karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu

bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki

materi pemeriksaan perkara.

Oleh karena dalam prakteknya lembaga Praperadilan belum berjalan

sebagaimana mestinya dan masih banyak kelemahan, maka kemudian

dalam Rancangan KUHAP ditentukan lembaga baru untuk menggantikan

lembaga Praperadilan saat ini yaitu lembaga Hakim Komisaris. Lembaga

ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara Penyidik dan

Penuntut Umum disatu pihak dan Hakim dilain pihak. Wewenang Hakim

Komisaris dalam Rancangan KUHAP lebih luas dibandingkan lembaga

Praperadilan. Akan tetapi timbul pertanyaan lain, apakah keberadaan

lembaga Hakim Komisaris kelak akan lebih baik daripada lembaga

Praperadilan yang telah ada saat ini? Dan Apakah akan membawa

perubahan dan pengaruh yang cukup besar pada praktek pengadilan.

27 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hlm. 84.

Page 40: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

32 BAB II

Alat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga

pemasyarakatan dan advokat) dalam menjalankan tugasnya dibidang

peradilan pidana diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-

tindakan yang merupakan pengurangan hak asasi tersangka atau

terdakwa sebagai manusia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia28 yang menyatakan

bahwa polisi merupakan institusi negara yang diberikan tugas, fungsi

dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan

mengayomi masyarakat.

Harus diingat pula, bahwa aparat penegak hukum adalah manusia

biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan

atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk

kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban

dalam masyarakat ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang

yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas

waktu yang ditentukan, sehingga tersangka atau terdakwa menderita

lahir batin akibat sikap aparat penegak hukum. Untuk menjamin hak

asasi manusia dan agar aparat penegak hukum menjalankan tugasnya

secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga yang

dinamakan praperadilan.

Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan praperadilan adalah wewenang

pengadilan negeri untuk yang pertama memeriksa dan memutuskan

tentang sah atau tidaknya suatu penagkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas tersangka,

yang kedua sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan

yang ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka

atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

Putusan praperadilan menjadi ramai semenjak permohonan

praperadilan oleh Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka

yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah

dikabulkan sebagian oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di

satu sisi menghormati putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

sebagai bentuk penghormatan kebebasan hakim sebagaimana yang

dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Page 41: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 33

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dalam Pasal

10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak

untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang

diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal

ini pengadilan wajib untuk mengadili dan memeriksa hal tersebut

yang membuat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima

praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka.

Disisi lain objek praperadilan atas penetapan tersangka Komjen Pol Budi

Gunawan yang alasannya tidak tercantum dalam Pasal 77 KUHAP sudah

dijelaskan kewenangan hakim praperadilan untuk memeriksa dan

memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan, serta hakim praperadilan

juga berwenang untuk memeriksa dan memutus permintaan ganti

kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka yang perkaranya tidak di

ajukan ke pengadilan.

Sebelum membahas lebih jauh tetang putusan praperadilan,

membahas terlebih dahulu pengertian putusan pada umumnya.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 KUHAP meyatakan bahwa: “Putusan

Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanan atau bebas atau lepas

dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur

dalam undang-undang”. Putusan pengadilan disampaikan oleh hakim

diakhir persidangan setelah dilakukan proses pemeriksaan.

Berdasarkan pengertian putusan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP maka

putusan dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Putusan pemidanaan atau penjatuhan pidana

Dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan

berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana

yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana”.

b. Putusan bebas (vrijspraak)

Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan

berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa

atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

c. Putusan lepas dari segala tuntutan

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan

berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakannya kepada

terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Page 42: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

34 BAB II

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan Praperadilan

adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa pengadilan berwenang untuk

memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam Pasal 82 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan hakim

dalam acara pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar

dan alasannya. Pasal 82 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa isi putusan

selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga

memuat hal sebagai berikut:

a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan

atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut

umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera

membebaskan tersangka;

b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian

penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut

terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah

besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan

dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan

adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan

dicantumkan rehabilitasinya;

d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang

tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan

Page 43: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 35

bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka

atau dari siapa benda itu disita.

Isi putusan praperadilan sebelum memuat bunyi amar putusannya,

terlebih dahulu menyebutkan pertimbangan hakim mengenai faktor-faktor

hukum yang dijadikan dasar dan alasan dalam menjatuhkan putusan

praperadilan. Putusan praperadilan memuat ketentuan yang sifatnya

memerintahkan kepada pihak yang dikalahkan untuk berbuat sesuatu.

Proses pengambilan putusan dalam perkara praperadilan berdasarkan

Pasal 78 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “Praperadilan dipimpin oleh

hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu

oleh seorang panitera”. Acara pemeriksaan praperadilan dilakukan dalam

waktu tiga hari setelah diterimanya permohonan praperadilan, hakim

yang sudah ditunjuk menetapkan hari persidangan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 penetapan adalah suatu penetapan yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat tata usaha negara berdasakan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata.

Unsur-unsurnya yaitu:

a. Penetapan tertulis

b. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara

c. Berisi tindakan hukum tata negara

d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

e. Bersifat konkrit, individual, dan final

Berdasarkan Pasal 1 Angka 14 KUHAP menyatakan bahwa: “tersangka

adalah seorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti

permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Proses penetapan terjadinya tindak pidana dan tersangka didasarkan

dua alat bukti dan keyakinan penyidik bahwa telah terjadi tindak pidana

atau perbuatan pidana. Proses atau tahap-tahap pemeriksaan tersangka

yang dilakukan oleh penyidik harus memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas tentang apa

yang disangkakan kepadanya.

b. Tersangka berhak didampingi penasehat hukum.

c. Tersangka berhak mengajukan saksi yang menguntungkannya.

d. Tersangka memberikan keterangan tanpa tekanan siapa pun.

e. Keterangan tersangka dicatat sedetil-detilnya oleh penyidik dalam

berita acara.

Page 44: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

36 BAB II

Proses penetapan status seseorang sebagai tersangka oleh penyidik

yang tidak didasarkan bukti permulaan merupakan tindakan sewenang-

wenang. Dalam perkembangan wewenang praperadilan tidak hanya

dalam Pasal 77 KUHAP tetapi penetapan seseorang menjadi tersangka

oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti permulaan dapat diajukan

permohonan praperadilan.

Putusan praperadilan yang berkaitan dengan penetapan seseorang

menjadi tersangka pengajuan praperadilan terhadap penetapan

seseorang menjadi tersangka jika dilihat dalam Pasal 77 KUHAP tidak

dapat dibenarkan karena penetapan seseorang menjadi tersangka tidak

termasuk dalam ruang lingkup pemeriksaan praperadilan.

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai

termasuk penetapan tersangka, pengeledahan dan penyitaan. Putusan

tersebut diartikan bahwa Makhamah Konstitusi mengubah ketentuan

Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah konstitusi

menambah penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan

termasuk sebagai obyek praperadilan yang berarti membenarkan

pengajuan praperadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka.

Ada beberapa pendapat hakim tentang pengajuan praperadilan atas

penetapan seseorang menjadi tersangka diantaranya pendapat yang

menerima dan ada yang menolak mengenai pengajuan praperadilan

atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Pendapat hakim yang

menerima pengajuan praperadilan atas penetapan seseorang menjadi

tersangka yaitu Hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan

praperadilan penetapan tersangka yang diajukan oleh Komjen Pol

Budi Gunawan. Alasannya karena pengadilan dilarang menolak untuk

memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu yang diajukan dengan

alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal ini pengadilan wajib

untuk mengadili dan memeriksa (Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim Sarpin

memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan tidak sah dan

tidak berdasarkan hukum.

Sedangkan pendapat hakim yang menolak mengenai pengajuan

praperadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka yaitu Hakim

Tatik Hadiyanti yang memutuskan menolak seluruh permohonan

praperadilan yang diajukan mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali.

Hakim berpendapat bahwa gugatan mantan menteri tersebut tidak

Page 45: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 37

masuk dalam ranah praperadilan berdasarkan pertimbangan yang

mengacu pada Pasal 1 butir 10 KUHAP, Pasal 77 KUHAP serta Pasal 82

KUHAP yang mengatur mengenai praperadilan. Hakim menyebut proses

penyidikan dan penetapan tersangka belum merupakan upaya paksa,

tetapi merupakan awal upaya paksa.

Pengajuan praperadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka

secara yuridis saat ini dapat dibenarkan berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menambah penetapan tersangka,

penggeledahan dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.29

Alasan hakim yang menerima pengajuan praperadilan atas

penetapan seseorang menjadi tersangka adalah karena pengadilan

dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

yang diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal

ini pengadilan wajib untuk mengadili dan memeriksa Pasal 10 ayat (1)30

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Alasan hakim yang menolak mengenai pengajuan praperadilan atas

penetapan seseorang menjadi tersangka adalah penetapan seseorang

sebagai tersangka tidak masuk dalam ranah praperadilan berdasarkan

pertimbangan yang mengacu pada Pasal 1 butir 10 KUHAP, Pasal 77

KUHAP serta Pasal 82 KUHAP yang mengatur mengenai praperadilan.

Hakim menyebut proses penyidikan dan penetapan tersangka belum

merupakan upaya paksa, tetapi merupakan awal upaya paksa.

Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang

benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim

komisaris (Recter Commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction

di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain

menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga

melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.

Perkembangan praperadilan di Indonesia merupakan hal baru

dibandingakan dengan negara lain. Contohnya, perbedaan antara

praperadilan dengan Preliminary Hearings yang dimiliki oleh Amerika.

Secara harfiah pengertian Praperadilan dan preliminary hearings

(pemeriksaan pendahuluan) memiliki kesamaan sebagai proses

pemeriksaan sebelum perkara dilimpahkan ke persidangan. Walaupun

sebenarnya Praperadilan adalah proses pemeriksaan yang dapat dilakukan

sebelum persidangan atau bahkan selama proses persidangan masih

29 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan.

30 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Page 46: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

38 BAB II

Tabel: Persamaan antara Praperadilan dan Preliminary hearings

No Keterangan Praperadilan KUHAP

Preliminary hearings (USA’s Criminal

Prosedure Code)

Pengertian Jika diperbandingkan secara harfiah maka, istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”Praperadilan”. Pra artinya sebelum, atau mendahului. Berarti ”Praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan.

Preliminary hearings merupakan prosedur proses pidana sebelum dilaksanakan persidangan secara penuh (full scale trial)

yang melibatkan dewan juri.

Tujuan Untuk menegakkan asas presumption of innonce sebagai jantung dari sistem akusatur yang dianut oleh KUHAP. Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan secara horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang- undang

Untuk memastikan bahwa tersangka didakwa bukan dengan alasan yang tidak berdasar, yang merupakan prinsip dari sistem akusatur yang dianut oleh Amerika Serikat

Dipimpin oleh seorang hakim tunggal. Dipimpin oleh seorang hakim tunggal (magistrate) atau dewan juri.

Praperadilan berperan mengawasi Preliminary hearings kedua instansi hukum yang lain berperan sebagai yakni kepolisian dan kejaksaan dalam penyaring terhadap

menjalankan proses hukum. kasus-kasus yang dianggap ringan dan juga

sebagai tempat untuk memastikan bahwa jaksa bertindak benar dalam menjalankan tugasnya.

berlangsung. Persamaannya dengan preliminary hearings, wewenang

Praperadilan dan sistem pembuktian yang digunakan lebih terbatas

daripada preliminary hearings.31 Wewenang dari Praperadilan hanya

sebatas untuk memutuskan, apakah penangkapan atau penahanan sah

ataukah tidak, apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah atau

tidak. Namun tidak disebutkan mengenai ketentuan apakah penyitaan

sah atau tidak. Hal ini menjadi penting karena merupakan perampasan

31 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Arta Jaya, 1996), hlm. 1.

Page 47: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 39

Tabel: Perbedaan Praperadilan dan Preliminary Hearings

No Keterangan Praperadilan (KUHAP) Preliminary hearings (USA’s Criminal Prosedure Code)

1 Latar Belakang Sistem Hukum

Indonesia adalah negara bekas jajahan koloni Belanda selama kurang lebih 350 tahun, sehingga sistem hukum yang dianut oleh Indonesia berkiblat pada Belanda. Indonesia menganut sistem hukum Eropa Continental.

Amerika serikat merupakan bekas koloni dari Inggris, sehingga sistem hukum yang dianut berkiblat pada negara Inggris tersebut. Amerika Serikat menganut sistem hukum common law

2 Kewenangan Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa. Memeriksa sah atau tidaknya penghentianpenyidikan atau penghentian penuntutan. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi

Memeriksa dan memutus apakah perkara yang diajukan masuk dalm yurisdiksi pengadilan. Memeriksa apakah ada penyebab terjadinya suatu kejahatan. Menghentikan dakwaan dan melepaskan terdakwa (jika dakwaannya dianggap tidak sah). Menurunkan perkara menjadi kejahatan ringan. Memutuskan bahwa negara menganggap perkaranya sah sehingga layak dilanjutkan ke sidang penuh (full scale trial).

3 Proses beracara

Praperadilan terselenggara jika diminta oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan. Asas pembuktian yakni satu saksi bukan saksi dan testimony de auditum tetap berlaku sehingga tidak dapat dijadikan suatu barang bukti

Preliminary hearings ada karena menjadi satu kesatuan tahapan yang saling berkaitan dalam proses peradilan pidana. Segala bentuk bukti baik hanya sekedar kabar angin dan satu saksi tetap diterima sebagai barang bukti

hak individu atas hak milik, sedangkan Pengadilan belum menjatuhkan

putusan yang in kracht atas status hak milik tersebut. Tindakan upaya

paksa berupa penyitaan sangat merugikan hak asasi tersangka, namun

tidak terdapat sarana controlling akan hal tersebut.

Permasalahan sejauh mana wewenang dari hakim yang memegang

perkara tentunya bervariasi antara satu negara dengan negara yang

lain. Hakim tunggal (magistrate) di Amerika Serikat, memiliki fungsi

baik sebagai investigating judge maupun examinating judge. Sedangkan

apabila kita perbandingkan dengan Praperadilan yang terdapat di dalam

KUHAP, maka hakim Praperadilan berfungsi hanya sebagai examinating

judge, karena Praperadilan hanya memeriksa sah atau tidaknya suatu

Page 48: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

40 BAB II

penangkapan serta sah tidaknya suatu penahanan. Dan Praperadilan

sebagai examinating judge juga secara formil hanya terbatas pada

sebagian dari upaya paksa saja, yakni penangkapan dan penahanan

saja, sedangkan perihal upaya paksa lainnya tidak secara jelas didapati

didalam pengaturan Praperadilan dalam KUHAP. Sedangkan mengenai

sistem pembuktian yang berlaku, preliminary hearings lebih bersifat

fleksibel dan menerima semua petunjuk serta keterangan sebagai bukti

yang mengikat hakim, yang tentu saja hal ini bertolak belakang dengan

sistem pembuktian yang dianut dalam Praperadilan.

Kewenangan hakim praperadilan yang terbatas, hadirnya lembaga

Praperadilan sudah menunjukkan adanya hakim yang telah berperan

aktif di dalam fase pemeriksanaan pendahuluan. Sebagai negara yang

menjunjung tinggi hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia,

keberadaan Praperadilan patut untuk diapresiasi sebagai wujud

kontrol atas tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh kepolisian dan

kejaksaan. Jadi dalam hal ini dapat pula diartikan bahwa dengan adanya

Praperadilan, maka dalam sistem peradilan pidana kita dianut suatu

pengawasan secara vertikal di samping pengawasan secara horisontal

sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dirugikan

atas tindakan upaya paksa.

Sistem preliminary hearings Hakim bertugas untuk memastikan

bahwa jaksa dalam membuat tuduhan sesuai dengan fakta yang

ada, dan hakim harus menemukan penyebab terjadinya kejahatan,

sebelum perkara tersebut di teruskan ke Persidangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Menurut KUHAP, hakim Praperadilan tidak memiliki

kewenangan untuk memutuskan perkara, apakah suatu perkara cukup

alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.

Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada

Jaksa Penuntut Umum.

Bahan perbandingan yang patut untuk dijadikan evaluasi adalah

tidak adanya kewenangan Hakim Praperadilan untuk menilai sah atau

tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa

dan Penyidik. Kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu

pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak

sah merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang. Keseluruhan

persamaan dan perbedaan pada praperadilan dan preliminary hearings

tidak terlepas dari perbedaan yang mendasar dari sistem hukum yang

dianut oleh kedua negara tersebut.

Pengajuan model mekanisme dan arus gelombang Pra Peradilan

merupakan cara baru dalam proses penegakan hukum yang memiliki

Page 49: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 41

dampak dua sisi. Disatu sisi sebagai kontrol dan intropeksi atas

penyimpangan tindakan upaya hukum paksa penegakan hukum, namun

disisi lain pengajuan melalui proses pra peradilan adalah upaya tersangka

menghindari pemeriksaan pokoknya.32

Upaya paksa yang dilakukan dalam Penyidikan maupun Penuntutan

oleh lembaga yang berwenang dapat dikontrol melalui Lembaga

Praperadilan. Tujuan lembaga ini dibentuk agar hak-hak tersangka dapat

dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan yang

tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan.

Walaupun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981) namun dalam aplikasinya masih terdapat

kelemahan-kelemahan baik dalam formulasinya maupun dalam

penerapannya di Pengadilan sehingga tidak adanya perlindungan hak

asasi manusia bagi tersangka.

Pengaturan lembaga praperadilan dalam hukum positif Indonesia

terdapat dalam Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal

83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Dalam penerapannya masih terdapat permasalahan terutama mengenai

gugurnya permohonan praperadilan yang disebabkan oleh mulainya

pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan. Dengan alasan

tersebut, obyek permohonan praperadilan tidak diperiksa secara tuntas

melalui suatu putusan praperadilan yang mempertimbangkan sah atau

tidaknya permohonan dimaksud. Diperlukan adanya pembaharuan

hukum (Kebijakan) terhadap aturan Lembaga Praperadilan secara ideal

dengan menitik beratkan perlindungan terhadap hak asasi manusia

baik terhadap tersangka maupun korban. Pembaharuan hukum

lembaga praperadilan dari segi substansi maupun struktur dengan jalan

mengganti yang telah ada bukan merupakan jalan terbaik, namun yang

lebih terpenting adalah pembaharuan dari segi budaya hukum, etika

moral hukum dan ilmu pendidikan hukum.

Pada dasarnya secara global, representative, dan tradisional

berdasarkan pembagian hukum menurut isinya maka dikenal adanya

ketentuan hukum publik (public law) dan hukum privat (private law).

Menurut pandangan para doktrina, disebutkan bahwa hukum publik

merupakan ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum

(algemene belangen) sehingga sifatnya apriori telah memaksa, sedangkan

ketentuan hukum privat prinsipnya mengatur kepentingan perorangan

(bijzondere belangen) dan sifatnya apriori tidak memaksa.

32 Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan & KUHAP (catatan mendatang), (Jakarta: Diaditmedia, 2015), hlm. 12.

Page 50: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

42 BAB II

Selanjutnya apabila ditilik lebih intens, detail dan terperinci

berdasarkan pembagian hukum menurut fungsinya, hukum publik dapat

dibagi diantaranya Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan

Hukum Pidana. Salah satu dimensi dari ketentuan hukum publik dalam

hal ini hukum pidana dapatlah dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil

(materieele strafrecht) dan hukum pidana formal/hukum acara pidana atau

dalam terminologi rumpun Belanda lazim disebut dengan istilah formeel

strafrecht atau strafprocesrecht dan hukum pelaksanaan pidana.

Dari pembagian hukum menurut fungsinya itu tampaklah bahwa

antara hukum pidana meteriil dan hukum acara pidana, sama-sama

merupakan rumpun hukum publik (public law). Oleh karena itu,

dapatlah disebutkan secara fundamental bahwasanya antara hukum

pidana materiil dan hukum pidana formal/hukum acara pidana terjalin

hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Antara Hukum Pidana Materiil

dan Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana) saling menunjang

karena hukum pidana materiil tanpa adanya dukungan hukum acara

pidana akan menjadi “tidak berdaya”. Begitu pula sebaliknya apabila

hukum acara pidana tanpa dukungan hukum pidana materiil, akan

menjadi “tidak berdasar” penerapannya. Untuk itu, guna memberikan

deskripsi lebih memadai terhadap hubungan tersebut dapatlah diajukan

dengan contoh sebagai berikut: Berdasarkan ketentuan Pasal 338 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan: “Barang siapa

dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain karena salah telah

melakukan pembunuhan, dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima belas tahun.” Ketentuan Pasal 338 KUHP ini merupakan

ruang lingkup hukum pidana materiil, ketentuan tersebut menentukan

tentang perbuatan yang dipidana (sengaja menghilangkan nyawa orang

lain = pembunuhan), subjek/pelaku yang dapat dijatuhi pidana (barang

siapa = siapa saja yang melakukan pembunuhan), dan lamanya pidana

(sentencing/straftoemeting) yang dapat dijatuhkan (pidana penjara

selama-lamanya lima belas tahun). Apabila (A) (tersangka/terdakwa)

disangka ataupun didakwa melakukan perbuatan sebagaimana

ketentuan Pasal 338 KUHP kemudian kepadanya dilakukan penyidikan,

penuntutan, pengadilan, dan pengeksekusian, disinilah eksistensi dari

hukum acara pidana. Kongkritnya hukum pidana materiil (Pasal 338

KUHP) belumlah cukup apabila tanpa ditindaklanjuti lebih jauh berupa

tahapan-tahapan:

Pelakunya (A) haruslah disidik, dituntut, diadili, dan dieksekusi.

Dari konteks ini tampak bahwasanya hukum pidana materiil haruslah

mendapat dukungan penuh dari hukum acara pidana dan jika tidak

Page 51: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 43

didukung seperti itu, akan menjadi “tidak berdaya”. Demikian pula

sebaliknya, jika hukum acara pidana tersebut diterapkan tanpa adanya

hukum pidana materiil, akan menjadi “tidak berdasar” penerapannya.

Bertolak dari adanya hubungan sesuai konteks tersebut diatas, menurut

Lilik Mulyadi, pada asasnya pengertian hukum acara pidana

itu merupakan:

1. Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan

mempertahankan Eksistensi Ketentuan Hukum Pidana Materiil

(Materieel Strafrecht) guna mencari, menemukan, dan mendapatkan

kebenaran materiil atau yang sesungguhnya;

2. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses

pengambilan putusan oleh Hakim;

3. Peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan daripada

putusan yang telah diambil.33

Hukum Acara Pidana menentukan suatu tatanan beracara untuk

seluruh proses perkara pidana yang dirumuskan dalam undang-undang

atau peraturan lainnya. Tatanan tersebut menjadi aturan bekerjanya alat

perlengkapan negara yang berwenang berhadapan dengan segala hak

untuk membela bagi tersangka atau orang lain, apabila timbul dugaan

terjadi perbuatan pidana dan untuk menetapkan keputusan hukum yang

tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.34

Apabila kita perhatikan secara lebih saksama maka mengenai

tujuan Hukum Acara Pidana ini ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberi penjelasan

bahwa: “Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material,

ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana

dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur

dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Barda Nawawi Arief berpendapat Sistem Peradilan Pidana (SPP)

pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana.

33 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4–6.

34 Bambang Poernomo, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan terhadap Asas- Asas Umum Hukum Acara Pidana,(Yogyakarta: Liberty, 1982) hlm. 5.

Page 52: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

44 BAB II

Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/

kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakkan

hukum ini dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan kehakiman.35

Karena SPP pada hakekatnya juga diidentikkan dengan sistem kekuasaan

kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan/

diwujudkan dalam empat sub sistem yaitu:

1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik.

2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum.

3. Kekuasaan mengadili / menjatuhkan putusan oleh badan peradilan

dan,

4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana

eksekusi.

Keempat sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan

hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem

Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau integrated criminal justice

system. Dengan demikian kekuasaan kehakiman (dibidang hukum

pidana) dilaksanakan oleh empat badan/lembaga seperti tersebut di

atas. Keempat badan itulah yang dapat disebut sebagai badan-badan

kehakiman menurut istilah yang disebut dalam Pasal 24 UUD NKRI 1945

(sebelum amandemen ke-3). Jadi badan-badan kehakiman yang disebut

oleh UUD NKRI 1945 tidak dapat diidentikkan dengan badan-badan

peradilan yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

yang mengalami perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kalau ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat

dalam KUHAP, maka Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang terdiri

dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum, setiap komponen dari

sistem tersebut seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem dapat

berjalan secara terpadu.

Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan

pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan

kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya

paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya.

Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum

terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:

35 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu,(Semarang: BP Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 19, 20, 26.

Page 53: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 45

1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan

pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka;

2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-

undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan

perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan

terhadap hak asasi manusia.

Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak

hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan

hak asasi tersangka, tindakan ini harus dilakukan secara bertanggung

jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku

(due process of law). Sesuai dengan konteks ini maka tindakan-

tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan

haruslah dilakukan secara yuridis formil dengan bentuk tertulis sesuai

kewenangan yang diberikan undang-undang. Oleh karena itu terhadap

tindakan-tindakan tersebut di atas tidaklah diperkenankan secara lisan

dan apabila dilakukan demikian menjadi ”batal demi hukum”. Jika

dijabarkan lebih intens terhadap asas ini mengandung pula pengertian

bahwa tindakan-tindakan pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang tersebut menimbulkan adanya asas kepastian di dalamnya, yaitu

kepastian terhadap ruang lingkup penangkapan dan kewenangannya

(Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 KUHAP), kepastian terhadap

pejabat, macam-macam jangka waktu penahanan dan penangguhannya

(Pasal 19 sampai dengan Pasal 31 KUHAP), kepastian terhadap macam-

macam pejabat dan kewenangannya untuk melakukan penggeledahan

(Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP) dan kepastian adanya pejabat

dan kewenangannya untuk melakukan penyitaan, serta jenis-jenis

penyitaan dan kelanjutan terhadap barang-barang sitaan (Pasal 38

sampai dengan Pasal 46 KUHAP).36

Sebagaimana telah diutarakan diatas, maka maksud diadakan lembaga

praperadilan ini merupakan kontrol/pengawasan atas jalannya hukum

acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangka/terdakwa.

Kontrol tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:37

a. Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas kebawah.

b. Kontrol horizontal, yakni kontrol kesamping, antara penyidik, penuntut

umum timbal balik dan tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.

36 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 8.

37 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 322.

Page 54: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

46 BAB II

Menurut Loebby Loqman, dijelaskan bahwa fungsi pengawasan

horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan

oleh lembaga praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka

sistem peradilan pidana terpadu.38 Dengan adanya lembaga praperadilan

dijamin bahwa seseorang tidak ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang

sah. Penangkapan hanya dilakukan atas dasar dugaan yang kuat dengan

landasan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan ketentuan bukti

permulaan ini diserahkan penilaiannya kepada penyidik. Hal ini membuka

kemungkinan sebagai alasan pengajuan pemeriksaan praperadilan.

Berikut beberapa dasar yang digunakan sebagai permohonan dalam

mengajukan praperadilan, baik dari penangkapan dan penahanan:

1. Penangkapan

Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian

maka keabsahan penangkapan ada pada syarat materiil dan syarat

formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan

syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup

bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah

adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya.

a. Syarat formil:

1. Penangkapan dilakukan dengan Surat tugas serta

memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan

yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan

alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan

yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa, tidak salah

mengenai orangnya.

2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa

surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus

segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada.

( Tertangkap tangan tetapi ada Surat Perintah Penangkapan ).

3. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan

kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

4. Penangkapan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan

untuk paling lama satu hari, Apabila dalam waktu lebih

dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat

perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka

berhak untuk segera dilepaskan.

5. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan

penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara 38 Loebby Loqman, Pra-Peradilan Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987).

Hlm. 20.

Page 55: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 47

sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu

tanpa alasan yang sah.

b. Syarat materiil:

1. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang

diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

permulaan yang cukup seperti seminimnya 2 alat bukti,

ada tidaknya tindak pidananya, sehingga ditujukan kepada

mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

1. Penahanan

a. Syarat Subyektif

Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada

orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu

ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 Ayat

(1), yaitu:

1. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana.

2. Berdasarkan bukti yang cukup.

3. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

bahwa tersangka/terdakwa:

a. Akan melarikan diri.

b. Merusak atau menghilangkan barang bukti.

c. Mengulangi tindak pidana.

b. Syarat Obyektif.

Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji

ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam

Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yaitu:

1) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima

tahun atau lebih;

2) Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari

lima tahun, tetapi ditentukan dalam:

a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351

ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal 378, Pasal

379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal

480, Pasal 506;

b) Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;

c) Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992

(Tindak Pidana Imigrasi) antara lain: tidak punya

dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan

pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak

mempunyai dokumen imigrasi yang sah;

Page 56: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

48 BAB II

d) Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan uraian kedua syarat tersebut yang terpenting

adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan

apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 Ayat

(4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung

dalam Pasal 21 Ayat (1) KUAHP biasanya dipergunakan untuk

memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (4)

KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka

dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai

penahanan itu habis. Dalam melaksanakan penahanan terhadap

tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan

harus dilengkapi dengan Surat perintah penahanan dari Penyidik,

Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat

penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah

penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas

Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara

kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat

dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah

Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu,

harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa dengan

didukung bukti penerimaan (Ekspedisi). Tidak didukung dengan

bukti yang cukup, melebihi limit waktu penahanan, penahanan

bukan untuk kepentingan pengadilan (perkara sudah P.21 tetapi

perpanjangan penahanan masih dilakukan.

Mengenai syarat tentang pengajuan pemeriksaan

praperadilan ini dapat kita jumpai dalam Pasal 79 KUHAP yang

berbunyi: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya

suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka,

keluarga dan kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan

menyebutkan alasannya.

Sementara alasan untuk mengajukan tuntutan praperadilan

diatur di dalam Pasal 77 KUHAP yaitu mengenai:

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan.

2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang

perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan

atau penuntutan.

Page 57: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 49

Dari Pasal 77 KUHAP diatas maka yang menjadi alasan untuk

mengajukan suatu perkara sebagai perkara praperadilan yaitu:39

1. Mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan

sebagaimana diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal

31 KUHAP.

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Dalam hal ini penghentian penyidikan atau penuntutan

terdiri dari:

a. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

“demi kepentingan umum” yang artinya penghentian itu

dilakukan berturut-turut oleh penyidik atau penuntut

umum karena masih perlu menemukan bukti lain.

b. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

demi hukum yang dapat terjadi karena untuk perkara

yang bersangkutan:

3. karena telah daluarsa.

4. karena tidak ada pengaduan pada delik aduan atau

pengaduannya dicabut.

5. karena tersangka/terdakwa meninggal dunia.

6. karena keliru orangnya (error in persona).

7. Karena ne bis in idem.

8. karena bukan perkara pidana.

9. Peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum telah

dicabut.

2. Tindakan lain

Yang dimaksud dengan tindakan lain disini yaitu tindakan-

tindakan upaya hukum (dwang middel) lainnya seperti pemasukan

rumah, penggeledahan, penyitaan barang bukti, surat-surat yang

dilakukan secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian

materiil. Tindakan lain ini dimasukkan dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP

secara rinci dapat dilihat dalam penjelasannya yang menyatakan

kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan

dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan

tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana

yang dijatuhkan.

3. Ganti kerugian

Mengenai ganti kerugian diatur dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP

yaitu:

39 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana DalamTeori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 323.

Page 58: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

50 BAB II

“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat

pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang

karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan

yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini”

Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran

serius terhadap hak milik orang. Praperadilan merupakan salah

satu lembaga baru yang diperkenalkan sejak adanya Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di tengah-tengah kehidupan

penegakan hukum. Praperadilan dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian

Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang

mengadili bagi Pengadilan Negeri, Ditinjau dari segi struktur dan

susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang

berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang

mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus

peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri

dan eksistensinya:

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan

Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada

tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak

terpisah dari Pengadilan Negeri,

b. Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun

sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi

dari Pengadilan Negeri,

c. Administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu

dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta

pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,

d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi

yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.

Dari gambaran diatas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan

bukan merupakan lembaga tersendiri. Tetapi hanya merupakan

pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP

kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi

tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini.

Selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili

dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas

pokok, maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan

Page 59: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 51

untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang

pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan.

Hal tersebut terlihat dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang

menegaskan: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri

untuk memeriksa dan memutus:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan,

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan,

c. permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan.

Adapun maksud dan tujuan yang hendak diwujudkan dari

lembaga Praperadilan adalah demi tegak dan dilindunginya hukum

serta perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan

penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian dilihat sebagai bagian

dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu

perundang-undangan yang baik. Atau suatu ilmu sekaligus seni

yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian yang dimaksud

dengan “peraturan hukum positif” adalah peraturan perundang-

undangan hukum pidana. Istilah “penal policy” menurut Marc Ancel

adalah sama dengan istilah:kebijakan atau politik hukum pidana”.

Apabila kita telaah proses penyelesaian perkara pidana

berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

akan tampak pentahapan sebagai berikut:

Tahap pertama: proses penyelesaian perkara pidana dimulai

dengan suatu penyelidikan oleh penyelidik. Karena kewajibannya,

penyelidik mempunyai wewenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana;

b. mencari keterangan dan barang bukti;

c. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan

serta memeriksa tanda pengenal diri;

d. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab. Dalam penjelasan resmi Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4

KUHAP menerangkan sebagai berikut: yang dimaksud dengan

Page 60: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

52 BAB II

“tindakan lain” adalah tindakan penyelidik untuk kepentingan

penyelidikan dengan syarat:

1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan;

3. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk

dalam lingkungan jabatannya;

4. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan

memaksa;

5. menghormati hak asasi manusia;40

Yang berwenang melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat

polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP). Berdasarkan

ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP memperluas kewenangan

pejabat Polisi Republik Indonesia meliputi kewenangan:

a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan

dan penyitaan;

b. pemeriksaan dan penyitaan surat;

c. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

d. membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik;

Bunyi pasal tersebut diatas sesungguhnya merupakan proses

lanjutan dan sebagai konsekuensi logis dari dilaksanakannya

kewenangan yang ada pada pejabat Polisi Republik Indonesia,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP. Pada

tahap ini pembentuk undang-undang tampaknya menganggap

masih belum diperlukan kehadiran seorang penasihat hukum untuk

mendampingi tersangka. Sedangkan jika mengikuti kewenangan

yang dimiliki oleh seorang penyelidik seperti tersebut diatas, sudah

mulai menyentuh kemerdekaan pribadi seseorang. Akan tetapi

dalam ketentuan KUHAP baik dalam Bab VI tentang Tersangka dan

Terdakwa maupun Bab VII tentang Bantuan Hukum, tidak nampak

sama sekali hak seorang tersangka untuk menolak atau membela

kepentingannya, misalnya menolak menjawab pertanyaan pejabat

penyelidik sebelum didampingi penasihat hukum. Sebaiknya aturan

tentang “kapan” seorang pejabat polisi dapat memberhentikan

seseorang dan menanyai segala sesuatu yang bertalian dengan

tindak pidana yang telah terjadi dengan usaha prevensi kejahatan,

hendaknya dicantumkan secara lengkap. Walaupun telah disiapkan

40 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 35.

Page 61: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 53

suatu lembaga praperadilan, namun lembaga dimaksud hanya

berwenang memutus masalah kepentingan seseorang tersangka

sejak ia ditangkap, tidak menjangkau sejak tahap penyelidikan.

Tahap Kedua: dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah

penangkapan (Bab V bagian Kesatu). Pasal 16 sampai dengan Pasal

19 KUHAP tentang penangkapan mengatur tentang:

a. laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakukan;

b. siapa yang berhak menangkap;

c. apa isi surat perintah penangkapan;

d. bila penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah

penangkapan;

Mengenai kapan penangkapan dapat dilakukan, KUHAP

menetapkan sebagai berikut:

a. bila telah ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17);

b. bila kepentingan penyelidikan dan penyidikan menghendaki

atau memerlukannya (Pasal 16);

c. bila orang, terhadap siapa penangkapan akan dilakukan, diduga

keras melakukan kejahatan (Pasal 17).

Secara keseluruhan, butir 1 sampai dengan 3 menunjukkan

motivasi dilakukannya penangkapan tehadap seseorang oleh

Pejabat Polisi Negara. Tanpa motivasi dimaksud penangkapan tidak

boleh dilakukan. Sedangkan alasan penangkapan tidak ditegaskan

dalam KUHAP. Hanya dalam Pasal 18 antara lain menyebutkan isi

surat perintah penangkapan harus menyebutkan alasannya, serta

uraian singkat kejahatan yang dipersangkakan. Sebaiknya alasan

umum penangkapan diatur pula dalam KUHAP, sebagai pelengkap

terhadap alasan khusus yang mungkin akan timbul sesuai dengan

sifat kejahatan yang telah dilakukan dan dipersangkakan terhadap

seseorang dan situasi kondisi dari perkara kejahatan dimaksud.

Umumnya penangkapan yang diperbolehkan adalah 1 (satu)

hari. Penangkapan hanya dapat dilakukan dengan surat perintah

penangkapan kecuali dalam hal tertangkap tangan (Pasal 18 ayat (2)).

Dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP diatur pengertian penangkapan

yang berbunyi: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik

berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau

terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan

atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini”.

Page 62: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

54 BAB II

Secara sederhana dapat dikatakan penangkapan adalah tindakan

pemerintah (polisi) yang membatasi kemerdekaan bergerak seseorang

demi kepentingan penyelidikan atau penyidikan atas suatu perkara

kejahatan ditujukan terhadap seseorang yang diduga keras telah

melakukan kejahatan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.41

Tahap Ketiga: dari proses penyelesaian perkara pidana adalah

penahanan (Bab V Bagian Kedua, Pasal 20 sampai dengan 31).

Tampaknya pembentuk undang-undang memberikan perhatian

khusus terhadap masalah penahanan ini, terbukti dengan jumlah

Pasal yang mengaturnya yaitu terdiri dari 12 Pasal dan 43 ayat. Pasal

20 mengatur kewenangan melakukan penahanan pada setiap tingkat

pemeriksaan. Pasal 21 mengatur penahanan lanjutan yang merupakan

kewenangan penuntut umum, dan alasan penahanan lanjutan bila

penahanan dimaksud dapat dilakukan. Pasal 22 mengatur jenis

penahanan. Pasal 23 mengatur pengalihan jenis penahanan. Pasal

24 sampai dengan Pasal 28 mengatur lamanya penahanan dapat

dilakukan. Pasal 29 mengatur perpanjangan jangka waktu penahanan

karena alasan khusus. Pasal 30 mengatur hak tersangka atau terdakwa

untuk meminta ganti rugi karena penahanan yang tidak sah. Pasal 31

mengatur penangguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang

atau tanpa jaminan tersebut.

Berdasarkan keseluruhan ketentuan tentang penahanan,

pembentuk undang-undang memberikan perhatian pada empat hal:

a. lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan;

b. aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan;

c. batas perpanjangan waktu penahanan dan perkecualiannya;

d. hal yang dapat menangguhkan penahanan;

Dari keempat hal tersebut diatas (dan sekaligus dapat dianggap

sebagai kerangka berfikir pembentuk undang-undang) dapat dilihat

bahwa cita-cita perlindungan atas harkat dan martabat tersangka

atau terdakwa secara formal telah terpenuhi. Tampaknya jalan

yang harus ditempuh masih cukup jauh untuk dapat tercapainya

cita-cita perlindungan dimaksud dalam pelaksanaannya. Hal ini

disebabkan perubahan suatu peraturan perundang-undangan

tidaklah dengan seketika dapat membawa akibat perubahan cara

berfikir dan bertindak dari para aparat pelaksananya. Sehubungan

dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, Andi Hamzah pernah mengajukan

41 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1983), hlm. 20.

Page 63: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 55

pertanyaan apakah penahanan dapat dilakukan demi kepentingan

keamanan tersangka sendiri.42

Menurutnya dalam praktek memang banyak terjadi yang

demikian. Delik-delik yang menyangkut kesusilaan sering

tersangkanya ditahan misalnya mukah (overspal), padahal ancaman

pidana dalam pasal itu dibawah lima tahun dan pasal 284 KUHP

tidak disebut dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Jika tersangka berada

di luar tahanan dikhawatirkan keselamatan jiwanya.

Dengan melihat dan menerapkan teori atau syarat penahanan

terdapat syarat subyektif di dalam melakukan penahanan yang

tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah

syarat itu ada atau tidak syarat subyektif, yaitu karena syarat tersebut

diuji ada atau tidak oleh orang lain.

Apabila dihubungkan antara dua syarat tersebut dengan syarat

penahanan yang tercantum dalam KUHAP, maka yang merupakan

syarat subyektif adalah Pasal 21 ayat (1) KUHAP yakni:

a. tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;

b. berdasarkan bukti yang cukup;

c. dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

bahwa tersangka atau terdakwa:

1. akan melarikan diri,

2. merusak atau menghilangkan barang bukti, dan

3. mengulangi tindak pidana;43

Sedangkan yang merupakan syarat obyektif adalah syarat

penahanan yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sebelum

memasuki tahap keempat proses penyelesaian perkara pidana,

terlebih dahulu perlu dikemukakan adanya suatu lembaga baru

dalam sejarah sistem peradilan pidana Indonesia, hal mana tidak

dikenal semasa HIR, yaitu praperadilan. Praperadilan ini merupakan

kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam ketentuan undang-

undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti

kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77

42 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 131.

43 Nanda Agung Dewantara, Masalah Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat di dalam Proses Acara Pidana,(Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 92.

Page 64: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

56 BAB II

KUHAP). Berlainan dengan pemeriksaan di muka sidang pengadilan

pada umumnya, praperadilan dilakukan oleh hakim tunggal.

Apabila melihat kedudukan praperadilan ini dalam struktur

mekanisme peradilan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP,

lembaga ini bersifat “accidental” dalam arti baru ada jika ada

permintaan dari tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada Ketua

Pengadilan Negeri (Pasal 79 KUHAP). Dan itupun jika permohonan

yang bersangkutan tidak ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Praperadilan ini benar-benar merupakan suatu proses pemeriksaan

singkat, oleh karena sejak diterimanya permulaan sidang

praperadilan oleh Pengadilan Negeri, selambat-lambatnya dalam

waktu sepuluh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.

Dari mekanisme kerja lembaga praperadilan ini, tampak

bahwa lembaga tersebut merupakan alat penyaring terakhir bagi

proses penyidikan, penangkapan dan penahanan atas seorang

tersangka sebelum meningkat pada tingkat pemeriksaan di muka

sidang pengadilan. Tahap Keempat: dari proses pemeriksaan

perkara pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

adalah pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Pemeriksaan ini

diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan

yang dilakukan secara sah menurut undang-undang. Setelah

surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada tersangka,

dan pihak penuntut umum telah melimpahkan perkaranya ke

Pengadilan Negeri menurut undang-undang yang berlaku. Dari

paparan tersebut di atas dapatlah ditarik benang merah bahwa

pemeriksaan perkara pidana berdasarkan KUHAP dimulai dari

pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Penyidik dan

Penuntut Umum, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pembi-

naan melalui lembaga pemasyarakatan.

4. Makna Sosiologis

Menangkap dan menahan berkaitan dengan menghilangkan

kemerdekaan. Menggeledah berkaitan dengan hak pribadi (privacy),

menyita berkaitan dengan perampasan hak milik. Hak atas kemerdekaan,

privacy dan milik merupakan hak asasi utama yang harus dilindungi

dan dihormati. Karena itu setiap tindakan termasuk tindakan hukum

yang menghilangkan hak-hak tersebut harus diatur secara rinci untuk

mencegah kesewenang-wenangan.

Disamping itu ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengeliminir

pelaksanaan penahanan yang bertentangan dengan ketentuan hukum

Page 65: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 57

yang berlaku dan yang sangat merugikan pihak tersangka/terdakwa atau

keluarganya. Upaya-upaya tersebut sebagian besar terdapat dan diatur

dalam KUHAP, memang kenyataan ini cukup menggembirakan dengan

demikian diharapkan akan dapat memberikan jaminan dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Salah

satu upaya tersebut adalah Praperadilan.44

Tetapi masalah yang timbul disini sejauh mana lembaga Praperadilan

ini menentukan sah atau tidaknya suatu penahanan, apakah itu dalam

batas-batas sah tidaknya secara formil atau sampai sah tidaknya secara

materiil. Hal ini perlu dipertegas, karena kalau hak untuk memeriksa

dan memutus sah tidaknya suatu penahanan secara materiil akan

menimbulkan suatu permasalahan dalam praktek pelaksanaannya nanti.

Oleh karena itu lembaga Praperadilan harus diartikan bahwa Pengadilan

Negeri dalam melaksanakan tugas sebagai lembaga Praperadilan dalam

batas-batas secara formil saja.45

Mencermati hal tersebut diatas apabila seseorang yang ditangkap

ataupun ditahan disidik, atau dituntut tidak sesuai dengan peraturan

hukum yang berlaku ada suatu lembaga di bidang penegakan hukum

pidana yang mempunyai fungsi mengkoreksi atas tindakan yang

dilakukan oleh pejabat baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan

yang sering kita sebut dengan istilah lembaga Praperadilan.

Dalam praktek peradilan khususnya dalam permasalahan

Praperadilan ada beberapa kasus yang dapat dijadikan pedoman di dalam

memahami Praperadilan diantaranya:

a. Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 01/Pid.Pra/2009/

PN.Kdl tanggal 27 Januari 2009, dengan putusannya Menyatakan

Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Para Pemohon

“gugur” dengan pertimbangan perkara pokok atas tindak pidana

yang didakwakan kepada Para Pemohon telah mulai diperiksa di

sidang Pengadilan.

b. Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 02 / Pid.Pra / 2009 / PN.Kdl

tertanggal 27 Januari 2009, dengan Putusannya Menolak Permohonan

Praperadilan dari Para Pemohon dengan alasan tindakan yang

dilakukan Termohon terhadap Para Pemohon telah sesuai dengan

prosedur hukum.

44 Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan Yang Ada dalam

KUHAP, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 54. 45 Ibid, hlm 56.

Page 66: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

58 BAB II

Dari kedua kasus yang dipaparkan tersebut diatas, walaupun tujuan

KUHAP dalam hal ini Praperadilan sebagai sarana kontrol dan untuk

melindungi hak asasi manusia ternyata dalam prakteknya rasa keadilan

dan kepastian hukum tidaklah mutlak dapat dirasakan oleh Pemohon

Praperadilan. Hal ini terlihat dalam Kasus Pertama tersebut di atas,

bahwa Pemeriksaan Perkara Permohonan Praperadilan telah seketika

dinyatakan gugur tanpa melalui pembuktian terlebih dahulu terhadap

masalah pokok Praperadilan itu. Pernyataan Gugur tersebut didasarkan

atas pertimbangan perkara pidana pokok yang didakwakan kepada

Pemohon telah mulai diperiksa di sidang pengadilan.

Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka “criminal justice system” di

Indonesia terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri

dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat

aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya.

Bahkan dapat dikatakan saling menentukan. Pelaksanaan penegakan

hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan

suatu usaha yang sistematis. Buckley memberikan batasan tentang

system sebagai berikut:

…… (a) system ….. may be discribed generally as a complex of elements

or components directly or indirectly related in a casual networ, such that each

component is related to at least some others in a more or less stable way

within any particular period of time …. The particular kinds of more or less

stable interrelationships components that become established of any time

constituted the partucular structural of the system at the time, thus achieving

a kind of “whole” with some degree of countinuity and boundary.46

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan

landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-

benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan

perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, atau terdakwa

sebagai manusia. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang mekanisme

peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “criminal justice process”.

“Criminal justice process” dimulai dari proses penangkapan,

penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan; serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga

pemasyarakatan.47

46 Buckley,Sociology and Modern System Theory, (Englewood Cliffs, N.J. Prentice Hall.1967)

47 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks

Page 67: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 59

Menurut Adnan Buyung Nasution, terdapat beberapa kelebihan

yang berkenaan dengan keberadaan lembaga praperadilan ini, yaitu:48

Pertama, Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan

tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya

merupakan suatu forum yang terbuka. Yang dipimpin seorang hakim

atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum

yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan

tindakannya dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar

beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui

sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya

dalam Habeas Corpus Art, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya

hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan

yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun

penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut umum wajib

membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum.

Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut

umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat

hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun

materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,

adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh

bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan

alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,

menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.

Kedua, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat

keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public

accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem

peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak

asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini

maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup

dan sewenang-wenang dalam menahan orang atau memperpanjang

penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui

forum terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses

pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan

penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun

Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982) hlm. 70. 48 Adnan Buyung Nasution, Praperadilan VS Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran

Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim –komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal

Page 68: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

60 BAB II

dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum

hakim praperadilan yang memerdekakannya.

Dengan demikian, keberadaan lembaga praperadilan didalam KUHAP

ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia

yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal,

atau dengan kata lain, praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana

pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap

hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa. Perlindungan

dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal

yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan,

jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu

essensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.

Penegakan perlindungan hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai

pondasi dalam upaya membangun dan memberikan hukum yang baik

kepada masyarakat. Keberadaan praperadilan bukan hanya sebagai

wadah kepada tersangka dalam memperjuangkan keadilan dan

kejelasan tentang kepastiannya, tetapi juga untuk melindungi dan

menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Praperadilan sangat

penting dalam memberikan peran untuk melakukan perlindungan hak-

hak tersangka sesuai dengan aturan hukum agar tidak dijadikan korban

kesewenang-wenangan.

B. Eksistensi Lembaga Pra Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XII/2014

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

yang dibentuk berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 perubahan

ketiga. Pembentukannya dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final

untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan

atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Di dalam amar putusannya Mahkamah Komstitusi memperluas objek

praperadilan, salah satunya adalah Penetapan tersangka, selain itu adapula

penggeledahan dan penyitaan. Salah satu Pertimbangan hakim dalam

putusan ini bahwa Indonesia adalah negara hukum. dalam negara hukum,

asas due process model sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi

Page 69: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 61

manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung

tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan

penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang

seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses

peradilan pidana, khsususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana

dalam mempertahankan haknya secara seimbang.

KUHAP dipandang hakim belum memiliki check and balances system

atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak

mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan

tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang

diperoleh secara tidak sah. Isu krusial KUHAP saat ini berkaitan dengan

penetapan tersangka oleh penyidik yang diberikan label atau status tersangka

kepada seseorang tanpa adannya batas waktu yang jelas sehingga seeeorang

tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa

tersedianya kesempatan baginya melakukan upaya hukum untuk menguji

legalitas dan kemurnian dari penetapan tersangka tersebut.

Permohonan pemohonan salah satunya penetapan tersangka dalam

objek pra peradilan dan dikabulkan oleh Mahkamah, sebagai langkah MK

untuk memperkuat tekad MK untuk mengakui, menghormati, menjamin

dan melindungi terhadap HAM yang berkaitan dengan khususnya tentang

mekanisme dan proses terhadap seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Adapun pendapat berbeda salah satunya yakni Hakim I Dewa

Palguna menyampaikan bahwa pra peradilan bertujuan melindungi

2 (dua) kepentingan, yakni individu dan publik atau masyarakat. dari

perspektif kepentingan individu (tersangka/terdakwa), pra peradilan sebagai

“pengimbang” terhadap kewenangan yang diberikan kepada penyidik dan

penuntut umum untuk menggunakan upaya paksa dalam pemeriksaan

tindak pidana. oleh karena itu, tindakan menetapkan tersangka bukanlah

upaya paksa dan karena itu secara otomatis bukan termasuk dalam ruang

lingkup pra peradilan. jika dalam proses penetapan seseorang sebagai

tersangka timbul keberatan atau keraguan, jalan yang ditempuh bukan

melalui praperadilan, melainkan dapat melalui penghentian penyidikan.49

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya ini memunculkan atau

menambahkan norma baru yang sebelumnya belum diatur dalam KUHAP, 49 Selanjutnya apabila penuntut umum atau pihak ketiga menganggap penghentian

penyidikan yang dllakukan oleh penyidik tidak sah, mereka dapat mengajukan permohonan pra peradilan untuk memeriksa keabsahan tindakan penyidikan tersebut. begitu pula sebaliknya, apabila penyidik atau pihak ketiga menganggap penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah, mereka ini pun dapat mengajukan permohonan pra peradilan untuk memeriksa keabsahan tindakan penuntut umum itu. Dengan cara demikian, keseimbangan perlindungan yang diberikan terhadap kepentingan individu (tersangka, terdakwa) dan kepentingan publik (masyarakat) tetap terjaga.

Page 70: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

62 BAB II

yakni menambahkan penetapan Tersangka sebagai salah satu objek pra

peradilan. pada hakikatnya putusan MK dalam melakukan pengujian Undang-

Undang terhadap UUD NRI 1945 memuat 3 hal50, yakni permohonan tidak dapat

diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Tindakan MK ini

dapat dikatakan sebagai positive legislator yang berarti memiliki kewenangan

seperti Parlemen yakni aktif dalam membuat undang-undang.

MK telah masuk ke dalam ranah legislatif karena membentuk suautu

norma baru, bukan menafsirkan aturan tersebut. pada suatu kondisi tertentu

Hakim tentunya mengalami kendala dalam memutuskan suatu perkara karena

terkadang suatu perkara yang ditangani belum ada aturan yang mengatur

perbuatan tersebut dan ada aturannya namun masih diperlukan penafsiran

oleh Hakim. Tindakan sebagai penafsir UU inilah yang disebut Negatif Legislator

oleh Hans Kelsen51, sebagai pembeda antara MK dan lembaga legislatif.

Menurut Hans Kelsen,52pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan

untuk memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah

Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat

mengambil kewenangan Parlemen dalam membuat undang-undang atau

peraturan. Sebaliknya, Parlemen disebutnya sebagai positive legislator karena

memiliki kewenangan aktif untuk membuat undang-undang.

Doktrin ini kemudian berkembang dan terus-menerus digunakan sebagai

salah satu teori pendukung dalam konteks pemisahan kekuasaan negara

di Indonesia, khususnya antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain, kewenangan MK ditafsirkan

hanya terbatas membatalkan undang-undang, dan tidak untuk membuat

undang-undang atau ketentuan lain. Benarkan doktrin negative legislator

50 Lihat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK).

51 Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268. Diakses dari https://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/maka- lah1/302-negative-legislator.html. Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang membatatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, peme- gang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.[2] Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut: “The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate unconstitu- tional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a special constitu- tional court... The possibility of a law issued by legislative organ being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be composed according to a totally different principle from that of the parliament elected by the people”

52 https://panmohamadfaiz.com/2016/03/17/relevansi-doktrin-negative- legislator/. Diakses pada 24 Juli 2017 Pukul 13.00 Wib

Page 71: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 63

dalam sistem ketetanegaraan di Indonesia berjalan sesuai dengan apa yang

dicita-citakan oleh Kelsen.

MK sebagai negative legislator sehingga dalam setiap amar putusannya

dilarang untuk memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur dengan

membuat rumusan norma yang bersifat mengatur.

C. Urgensi Pemberian Kewenangan Bagi Lembaga Praperadilan Dalam

Menentukan Batas Penyidikan Terhadap Tersangka Korupsi

Praperadilan apabila kita tinjau kembali masih jauh dalam memberikan

keadilan bagi para pihak terutama pihak tersangka. Disini terdapat suatu

kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka dengan aparat penyidik

dimana penyidik lebih mengetahui baik mengenai pengaturan maupun

tata cara peradilan sedangkan tersangka khususnya masyarakat awam tidak

diuntungkan dalam segi pengetahuannya, mereka berdua tidak dalam posisi

asal yang sama. Kedudukan yang tidak seimbang ini merupakan dampak

dari keweangan yang diberikan sehingga bisa mengakibatkan ketidakadilan

dalam proses pemeriksaan. Keberadaan lembaga praperadilan merupakan

jalan tengah dalam menjembatani kedudukan yang tidak seimbang tersebut.

Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan hukum

dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Serta bukan pula

sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi

putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga praperadilan hanya suatu

lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap pengadilan

negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada tingkat pengadilan

negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari dan dengan

pengadilan yang bersangkutan.

b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau disamping

maupun sejajar dengan pengadilan negeri.

c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya

takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah

pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri

yang bersangkutan.

d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial

pengadilan negeri itu sendiri.

Fungsi dan peranan praperadilan didalam KUHAP merupakan ikon

pembaharuan hukum acara pidana model Het Herziene Inlandsch Reglement

(HIR). HIR tidak mengatur bagaimana seseorang tersangka seharusnya

dilindungi dari proses pemeriksaan penyidik ketika ditetapkan sebagai

Page 72: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

64 BAB II

tersangka. Penyidik menurut HIR harus dapat memperoleh pengakuan dari

tersangka mengenai peristiwa yang melibatkan dirinya, dimana pengakuan

tersangka merupakan salah satu alat bukti utama dari alat bukti lainnya

sehingga terbukti sering terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dan

penyalahgunaan wewenag pemeriksa dalam beberapa kasus tindak pidana.

Keberadaan praperadilan bukan hanya sebagai wadah dalam

memperjuangkan keadilan bagi korban tetapi juga memberikan kepastian serta

kejelasan terkait proses pemeriksaan yang sedang berlangsung. Kejelasan akan

proses pemeriksaan kasus kepada tersangka sesuai dengan norma hukum yang

berlaku, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Menurut Kelsen, hukum

adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan

aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan

tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi

manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang

bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam

hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian

hukum.53Kepatuhan terhadap hukum bukan hanya untuk masyarakat tetapi

juga sangat penting bagi penegak hukum.

Dahsyatnya praperadilan sesungguhnya bukan hanya terjadi pasca

putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel)

Sarpin Rizaldi yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen Budi

Gunawan (BG) dengan metode metode rechtsvinding (penemuan hukum).

Sebelumnya penerobosan hukum Pasal 77 KUHAP (Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana) ini mulai dilakukan oleh hakim PN Jaksel Suko Waluyo

yang mengabulkan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah pada 2 Desember

2012. Bachtiar menggugat penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung

(Kejagung). Namun, putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung

(MA) karena dianggap menabrak ketentuan Pasal 77 KUHAP dan hakim Suko

Waluyo didemonasi ke Maluku. Di bawah ini adalah beberapa pengajuan

praperadilan terkait kasus korupsi yang diproses oleh KPK dan kejaksaan

pasca praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG):54

53 Op. cit.Hans Kelsen, hlm. 41. 54 Indonesia Corruption Watch , diakses pada http://www.antikorupsi.org/id/content/

praperadilan-mengancam-pemberantasan-korupsi 29 Juli 2017 Pukul 23.00 wib

Page 73: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 65

No Terpidana

Korupsi Instansi Yang

Menangani Keterangan

1. Suryadharma Ali

KPK Mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait dengan dugaan kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kemenang tahun 2012-2013. Pada 23 Februari 2015, kuasa hukum SDA melayangkan permohonan praperadilan ke PN Jaksel untuk menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada KPK.

2. Sutan Bhatoegana

KPK Mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN) di Kementerian ESDM 2013. Penetapan Sutan merupakan hasil pengembangan kasus suap SKK Migas yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. 26 Februari 2015, Sutan menggugat KPK atas penetapannya sebagai tersangka ke PN Jaksel.

3. Suroso Atmo Martoyo

KPK Mantan Dirut Pengolahan Pertamina Suroso Atmo Martoyo ditahan KPK pada 24 April 2014 bersama Dirut PT Soegih Interjaya Willy Sebastian Liem karena terkait kasus suap terhadap staf dan pejabat Pertamina dalam pembelian tetra ethyl lead (TEL) dari perusahaan asal Inggris Innospec 2004-2005. Pihak Suroso melayangkan praperadilan dengan dalil penetapan tersangka oleh KPK tidak sah dan layak dibatalkan demi hukum.

4. Arief Sirajuddin

KPK Mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar 2006-2012 pada 7 Mei 2014, dengan kerugian negara sebesar Rp 38, 1 miliar. Ilham mengajukan praperadilan terkait status tersangkanya.

5. Siti Tarwiyah KPK Gugatan praperdilan uang dilayangkan oleh seorang saksi di kasus TPPU Fuad Amin yaitu Siti Tarwiyah. Dirinya menggugat penyidik KPK terkait materi pemeriksaan.

6. Udar Pristono Kejagung Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono ditetapkan menjadi tersangka korupsi dalam dugaan pengadaan bus transjakarta yang dilaporkan oleh Enam pihak antara lain Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Direktur Utama PT Transjakarta, Direktur

Utama PT Industri Kereta Api (Inka), Direktur Utama PT Sapta Guna Daya Prima, dan

Page 74: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

66 BAB II

No Terpidana

Korupsi Instansi Yang

Menangani Keterangan

Gubernur DKI Jakarta. Udar melayangkan gugatan ke Praperdilan ke PN Jakpus terkait permohonan gugatan berupa pengembalian sita barang bukti senilai RP 1, 07 triliun.

Kasus diatas merupakan beberapa kasus Tersangka korupsi yang

mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan status tersangka. Berikut

beberapa kasus yang dalam tahap penyidikan terkatung-katung:

No Kasus Lama Penyidikan

Jero Wacik55 KPK telah mengeluarkan surat perintah

penyidikan nomor sprin.dik-41/01/09/2014 atas nama Jero Wacik dan dilanjutkan pengumuman sebagai tersangka pada 3 September 2014. Lalu KPK melakukan pemeriksaan pada Jero untuk pertama kalinya sebagai tersangka pada 9 Oktober 2014.

2. Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng56

proses sudah terkatung-katung sejak 5 tahun lalu tepatnya pada tahun 2012 dan baru pada 6 februari 2017 dilanjutkan ke persidangan

3. Ratu Atut57 tiga tahun terkatung-katung tanpa ada penjelasan

kepada publik dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes)

Friedmann XE “Friedmann” mengungkapkan dasar-dasar esensial dari

pemikiran Kelsen sebagai berikut:

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk

mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,

bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya

dengan daya kerja norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah

isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem

yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan

hukum yang nyata.

55 http://news.detik.com/berita/d-2892614/ini-alasan-kpk-bikin-jero-wacik- terkatung-

katung-7-bulan-sejak-jadi-tersangka diakses pada 29 Juli 2017 pukul 22.00 wib 56

http://news.detik.com/berita/d-3414978/resmi-ditahan-kpk-choel-mallarangeng- alhamdulillah diakses pada 29 Juli 2017 pukul 22.00 wib

57 http://www.mejahijau.net/2017/01/maki-caci-kpk-menjemur-kasus-korupsi.html diakses pada 29 Juli 2017 pukul 22.00 wib.

Page 75: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 67

Kepastian hukum ini, sangat penting dalam proses praperadilan Karena

dalam pemeriksaan di pengadilan akan memriksa terkait dengan semua

proses penyelidikan oleh penyidik. Peran kepastian hukum disini digunakan

sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara praperadilan.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai

identitas, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum(rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut

yuridis.

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis,

dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan

pengadilan

3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau

utility).58

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian

hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan

hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa

injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras

dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian

kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan

tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: Pertama, bahwa

hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-

undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya

didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan

cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan,

disamping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh

mudah diubah. Keempat hal dasar terkait dengan kepastian hukum

merupakan rumusan dalam memberikan kejelasan terhadap tersangka,

jika dalam pelaksanaannya tepat dan sesuai dengan aturan hukum yang

berlaku. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,

yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan

kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu.

58 Op cit Bernard L. Tanya, hlm. 117.

Page 76: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

68 BAB II

Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh John Austin dan

Van Kan, menganggap bahwa pada asasnya hukum adalah semata-mata

untuk menciptakan kepastian hukum. Bahwa hukum sebagai sesuatu

yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya,

karena hukum itu otonom sehingga tujuan hukum semata-mata untuk

kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban

seseorang.59 Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa

hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,

melainkan semata-mata untuk kepastian.60 Kepastian hukum sangat

diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam

masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum)

mempunyai sifat sebagai berikut:

1) Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas

mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan peran

alat-alatnya;

2) Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.61

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart

mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat

bahwa kadang-kadang kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang

diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa

jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan

penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi

atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu

contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.62

Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi

dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip

hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari

pasal-pasal dan undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya

dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut.

Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma

dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut. Dalam pelaksanaan

penyidikan tersangka memiliki hak untuk diperlaukan sesuai dengan aturan

hukum yang berlaku. Sehingga dalam pelaksanaanya tidak ada pihak yang

59 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 74. 60 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), (Jakarta:

Gunung Agung, 2002), hlm 82-83. 61 Fernando M. Manullang. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat

dan Antitomi Nilai, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 94-95. 62 H.L.A. Hart, The Concept of Law,(NewYork: Clarendon Press-Oxford) diterjemahkan

oleh M. Khozim, Konsep Hukum (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2013), hlm. 230.

Page 77: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 69

dirugikan terlabih tersangka, serta tidak ada penyalahgunaan wewenang

oleh oknum tertentu dalam memutus seseorang untuk menjadi tersangka.

Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa

kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama

meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan

kepastian hukum dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum

dalam arti law in the books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif,

maka dalam hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri.

Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun

jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan

fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan

tidak ada kepastian hukum.

Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum,

di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian

hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang

yang butuh perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law)

sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru

bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim

pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada

apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali

nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-

undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat

ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum

berdasarkan hati nurani.

Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi

tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya

ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian

hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan

akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.

Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social

disorganization atau kekacauan sosial.

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang

hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna

kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia

adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu

didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian

yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”,

”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang

jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga

mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh

Page 78: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

70 BAB II

sering diubah-ubah. Perubahan yang dilakukan akan merugikan bagi

semua pihak, terlebih dalam praktenya pemeriksaan didasarkan oleh

ketidakpastian dan keadilann

Kepastian hukum tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan masyarakat,

terlebih untuk penegak hukum. Fungsi kepastian hukum untuk masyarakat

adalah untuk memberikan kejelasan terkait dengan tuntutan hukum yang

menjerat secara pribadi. Keberadaan praperadilan sangat berpengaruh dalam

memberikan peluang kepada tersangka untuk mendapatkan kejelasan terkait

proses penyidikan yang sedang berlangsung. Proses praperadilan ini akan

membuktikan fakta-fakta hukum yang berhubungan dengan penyidikan

oleh pihak yang berwenang.

Di Eropa dikenal lembaga semacam ini, tetapi fungsinya memang benar-

benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi fungsi Hakim Komisaris

(Rechter commisaris) di negeri Belanda dan Judge d’Instruction di Prancis

benar-benar dapat disebut Praperadilan, karena selain menentukan sah

tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan

pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya penuntut umum di Belanda dapat

meminta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu

pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan

ke persidangan dengan mengganti kerugian antara korban dengan pelaku

tindak pidana) ataukah tidak.

Di Amerika Serikat, istilah praperadilan lebih dikenal dengan istilah pre

trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga praperadilan dengan

lembaga pre trial yaitu dimana lembaga pre trial memiliki kewenangan untuk

meneliti ada atau tidak adanya dasar hukum yang cukup untuk mengajukan

suatu perkara pidana didepan pengadilan. Sedangkan praperadilan, ruang

lingkup kewenangannya bersifat limitatif sebagaimana yang telah ditentukan

dalam Pasal 77 huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu:63

1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan;

2. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan;

3. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi

seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan

atau penuntutan;

4. Memeriksa dan memutus terhadap tuntutan ganti kerugian yang diajukan

oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan

serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau

karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan;

63 S. Tanubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 74.

Page 79: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 71

5. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh

tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan

undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.

Wewenang praperadilan seperti yang telah dikemukakan terdahulu

dilaksanakan oleh pengadilan negeri (Pasal 78 KUHAP), hal ini dinyatakan

secara tegas juga didalam Pasal 1 butir 10 KUHAP bahwa praperadilan adalah

semata-mata wewenang pengadilan negeri. Akan tetapi kalau kita kaitkan

dengan bunyi Pasal 83 ayat (2) ternyata ada wewenang pengadilan lain yaitu

pengadilan tinggi yang dapat memberi putusan akhir atas putusan praperadilan

yang menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun

wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutus apakah

penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian

penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah

penyitaan sah ataukah tidak.

Fungsi hakim komisaris di Negara Belanda dan Judge d’Instruction di

Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan

sak tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan

pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. Menurut Oemar Seno Adji,

Lembaga ”rechter commisaris” (hakim yang memimpin pemeriksaan

pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, di Eropa Tengah

mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani

upaya paksa (dwang middelen),penahanan, penyitaan, penggeledahan badan,

rumah, dan pemeriksaan surat-surat.64

Keberadaan hakim komisaris dimaksudkan untuk memberi jaminan

perlindungan terhadap hak seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa

dalam proses peradilan pidana. Jaminan perlindungan terhadap hak

tersangka atau terdakwa pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah

sebagai perwujudan dari fungsi hukum acara pidana yaitu menyelenggarakan

peradilan yang adil (fair trial) dalam rangka untuk menemukan kebenaran

materiil atau kebenaran yang hakiki.

Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara

negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang harus dipenuhi

oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau terdakwa tersebut sebagai

bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam penyelenggaraan hukum pidana, baik

dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil.

64 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta ,1996 hlm 192, yang dikutip dari Oemar Seno Adji, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980 hlm 88.

Page 80: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

72 BAB II

Segala bentuk tindakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang

berakibat terampasnya hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-

undang dan undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan

menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap tersangka

atau terdakwa tersebut agar wewenang yang diberikan oleh undang-undang

kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan sewenang-wenang.

Tidak adanya konsep hakim komisaris dalam Herziene Indische Reglement

seperti pada Strafverordering mencetuskan untuk membentuk lembaga

pengawas pada pemeriksaan pendahuluan dalam penegakan hukum

pidana. Kemudian diajukanlah gagasan tentang lembaga praperadilan yang

terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo

Saxon (yang dianut oleh negara seperti Amerika Serikat dan Inggris), yang

memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya

hak kemerdekaan.

Pada dasarnya, hakim komisaris dan lembaga pra peradilan memiliki

perbedaan, tetapi memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu melakukan

kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan oleh penyidik dan penuntut umum. Hal ini

mengingat tersangka atau terdakwa sesuai dengan asas praduga tidak

bersalah (presumption of innocent) dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Mengacu pada penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya praperadilan dibentuk sebagai mekanisme kontrol terhadap

penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan, supaya penggunaan wewenang tersebut tidak bertentangan

dengan hukum yang berlaku dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang

seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah

tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau

tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu kalau Hakim

Komisaris di negeri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan

tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap

kedua instansi tersebut.

Begitu juga judge d’ Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang

luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi

Page 81: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 73

dan alat-alat bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan

rumah, dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan,

dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan

yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup

alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alasan

ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang

disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan dia akan

membebaskan tersangka dengan ordonace de non lieu.

Hakim komisaris di Belanda dapat selalu minta agar terdakwa dihadapkan

kepadanya walaupun terdakwa berada di luar tahanan. Jika perlu untuk

kepentingan pemeriksaan yang mendesak meminta dalam waktu satu

kali dua puluh empat jam dapat pula memeriksa saksi-saksi dan ahli-ahli.

Menurut KUHAP tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan

pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak

melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan

pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan

ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan

diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut

umum. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah

tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan

penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas

dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran

terhadap ketentraman rumah tempat kediaman seseorang.

Apabila kita cermati diatas, bahwa kewenangan hakim dalam

prapedadilan di Indonesia tidak sama dengan yang ada di Belanda, Prancis

dan Amerika, yang memiliki kewenangan seperti hakim komisaris. Proses

praperadilan hanya dapat dimintakan terhadap upaya paksa penangkapan

dan penahanan, tetapi dalam Pasal 82 (3) huruf d65 dapat dilihat bahwa

melalui praperadilan dapat ditetapkan bahwa “benda yang disita ada yang

tidak termasuk alat pembuktian” karena “benda tersebut harus segera

dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita”. Dengan

demikian apabila ditelaah maka praperadilan tidak hanya terbatas pada

sah tidaknya penangkapan dan penahanan saja tetapi juga mengenai sah

tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

65 Pasal 82 (3) huruf d KUHAP: dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

Page 82: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

74 BAB II

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka

politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan

hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan

hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula

dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula

dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Menurut pendapat Barda Nawawi Arief, Penggunaan sarana penal atau

hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal memang bukan merupakan

posisi strategis dan memang banyak menimbulkan pesoalan. Namun

sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa disederhanakan

dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja hukum pidana

itu sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah “eksistensi” nya,

tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya.66

Sebagai suatu masalah kebijakan sudah barang tentu penggunaannya

pun tidak dapat dilakukan secara absolut karena memang pada hakekatnya

tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan. Disamping itu usaha

penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu wajar pulalah

apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral

dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup

perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus

tercakup di dalamnya “social walfare policy” dan “social defence policy”. Dilihat

dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup

kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal,

dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Pembaharuan hukum pidana

di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia

yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II aturan Peralihan

Undang-Undang Dasar 1945 menentukan:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,

selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”

Diadakannya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya

kekosongan hukum, yang berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada

pada zaman penjajahan masih tetap berlaku dimana pemberlakuan

66 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 67.

Page 83: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 75

peraturan-peraturan zaman Belanda itu disesuaikan dengan kedudukan

Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Dengan demikian telah tiba

saatnya merombak tata hukum pidana dan hukum pidana yang masih

berpijak pada asas-asas dan dasar-dasar yang berasal dari zaman kolonial

dan menggantikannya dengan tata hukum pidana Indonesia, yang asas-

asas dan dasar-dasar pokoknya berdasarkan dan berlandaskan Pancasila.

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan

para penyelenggara negara untuk menggantikan badan dan peraturan yang

berlaku sekarang yang merupakan peninggalan penjajah Belanda.

Salah satu bentuk pembaharuan substansi hukum pidana khususnya

hukum pidana formal dan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia,

menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan maka perlu diupayakan pembangunan hukum nasional dalam

rangka menciptakan supremasi hukum dengan mengadakan pembaharuan

hukum acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan

menempatkan para penegak hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya.

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan

latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu

sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana

dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari

berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal

dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti bahwa makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu.

Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan

perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan

kebijakan yang melatar belakanginya itu. Dengan demikian pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-

nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia

yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan

hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang

berorientasi kepada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus

pendekatan yang berorientasi pada nilai (“valueoriented approach”).

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan

kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari

suatu langkah kebijakan atau “policy” (bagian dari politik hukum/penegakan

hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Didalam

setiap kebijakan terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu

pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

Page 84: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

76 BAB II

Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka

lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan reevaluasi”)

nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan

memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang

dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila

orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru)

sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah

(KUHP lama atau WvS).

Bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat

dilakukan hanya dengan mengajukan Konsep atau rancangan Undang-

Undang KUHP (Hukum Pidana Materiil), tetapi juga harus disertai dengan

konsep / Rancangan Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.

Pembahasan HAM terbatas dalam konteks sistem peradilan pidana (criminal

justice system) yang berada dalam kerangka jaringan sistem peradilan yang

mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana

formil dan hukum pelaksanaan pidana) kiranya tidak akan memperoleh

gambaran menyeluruh dan sistemik, sehingga perlu dikaji secara utuh

mencakup administrasi peradilan pidana (administration of criminal justice)

yang memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari kebijakan peradilan

pidana (criminal justice policy), hak dan kewajiban serta etika penguasa

dalam memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi dan korban, berbagai

pembatasan terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan

keseimbangan terhadap efisiensi dalam pencegahan dan penanggulangan

Page 85: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 77

kejahatan dengan jaminan terhadap hak-hak individual, tata cara

mengajukan keberatan sampai dengan perlunya kerjasama internasional

dalam penanggulangan kejahatan yang kwalitas dan kwantitasnya semakin

meningkat, bahkan cenderung bersifat transnasional.

Diskursus tentang HAM dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana

dan administrasi peradilan pidana, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang

hubungan antara HAM, supremasi hukum dan demokrasi. Salah satu aspek

kemanusiaan yang sangat mendasar ialah hak untuk hidup dan hak untuk

melangsungkan kehidupannya itu. Hak ini sangat asasi karena diberikan

langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu setiap orang

berhak untuk mempertahankan/membela diri terhadap setiap ancaman atau

serangan yang tertuju pada keselamatan jiwanya. Karena hak hidup merupakan

hak asasi manusia, maka perampasan nyawa oleh orang lain atau oleh negara

pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM apabila dilakukan sewenang-

wenang atau tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum yang berlaku.

Apabila kita meneliti UUD NKRI 1945 dari sudut pandang kebebasan-

kebebasan sipil dan hak asasi manusia, kita akan menemukan lebih banyak

di dalamnya dari pada banyak orang menduga bahwa ia tak mengandung

hak asasi manusia. Diantaranya terlihat dalam alenia pertama Pembukaan

dengan adanya pengakuan “freedom to be free“ yang dirumuskan dengan

kata-kata “............... , maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak

sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan“. Pengakuan pada peri

kemanusiaan adalah inti sari dari hak-hak asasi manusia dan peri keadilan

adalah intisari pula dari negara hukum yang merupakan salah satu dari

sistem pemerintahan negara kita.

Hak-hak asasi manusia tidak hanya mencakup hak-hak politik dan

sipil seperti kebebasan berbicara dan kebebasan dari penyiksaan hak-hak

tertentu meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seperti hak-hak untuk

mendapatkan pendidikan dan kesehatan tetapi juga hak pembangunan (the

right to development). Beberapa hak juga berlaku untuk individual (perorangan)

seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil. Aspek kemanusiaan

yang sangat mendasar dilihat dari sudut hukum pidana ialah bahwa:

a. Seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan

pengadilan yang berkekuatan tetap mengenai kesalahannya; dan

b. Seorang tidak dapat dipidana tanpa kesalahan;

Yang pertama dikenal dengan asas “presumption of innocence” dan yang

kedua dikenal dengan asas culpabilitas (“nulla peona sine culva” atau “no

punishment without guilt/fault”). Jiwa kedua asas tersebut terdapat dalam

Pasal 8 dan 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

Page 86: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

78 BAB II

Penentuan kesalahan juga tidak boleh sewenang-wenang. Oleh karena

itu untuk seseorang dinyatakan bersalah oleh badan pengadilan, maka setiap

orang berhak untuk:

a. Memperoleh peradilan yang bebas, jujur dan tidak berpihak (independent

judiciary and fair trial); dan

b. Memperoleh bantuan dari profesi hukum yang bebas (independent legal

profession);

Untuk menjamin agar proses peradilan tidak bertindak sewenang-

wenang di dalam menentukan kesalahan seseorang, maka jalannya

pemeriksaan harus terbuka untuk umum. Asas ”keterbukaan” untuk

umum atau asas “publicitas” ini merupakan asas yang sangat mendasar

untuk menjamin atau mengontrol adanya “fair trial”. Jadi pada dasarnya

setiap orang, dan bahkan masyarakat sendiri, berhak untuk memperoleh

peradilan yang bersifat terbuka. Dalam hal-hal tertentu demi perlindungan

kepentingan hukum tertentu berdasarkan undang-undang, dapat saja

diadakan penyimpangan terhadap asas publisitas ini. Namun demikian

sifat atau hakikat “keterbukaan” itu harus tetap ada walaupun pemeriksaan

dilakukan secara tertutup.

Sisi lain dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan” ialah bahwa

pertanggungjawaban pidana bersifat personal (dikenal dengan “asas

personalitas”). Pertanggungjawaban pidana hanya dikenakan kepada si

pelaku yang bersalah. Jadi asas personalitas inipun dimaksudkan untuk

melindungi hak asasi orang lain yang tidak bersalah. Ini berarti tidak ada

“pertanggungjawaban warisan” di dalam hukum pidana.

Agar hak asasi manusia berlaku secara efektif, maka hak itu harus dapat

dipertahankan dan dilindungi. Sebagai konsekuensi bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum, maka usaha untuk mempertahankan dan melindungi

hak asasi manusia itu adalah menjadikan HAM tersebut sebagai bagian dari

hukum nasional. Cara pemantauan pelaksanaan HAM harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. Menjadikan HAM bagian dari hukum Indonesia;

b. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM;

c. Terdapat pengadilan yang bebas (an independent judiciary); dan

d. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).

Dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan mempertahankan

HAM di Indonesia, telah dibentuk “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia“

(Komnas HAM) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 yang

mempunyai tugas:

Page 87: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 79

a. Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM,

baik kepada masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional;

b. Mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan memberikan

saran tentang kemungkinan aksesi dan ratifikasi;

c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan

pendapat, pertimbangan, dan saran kepada instansi pemerintah tentang

pelaksanaan HAM, dan;

d. Mengadakan kerja sama regional dan internasional di bidang HAM;

Pengalokasian kewenangan seperti yang telah diuraikan tersebut di

atas terutama dalam sub sistem kepolisian dan kejaksaan dimungkinkan

adanya perbuatan yang berkaitan dengan pembatasan Hak Asasi Manusia

diantaranya dilakukannya tindakan Penangkapan ataupun Penahanan oleh

kedua sub sistem tersebut. Upaya kontrol yang diperlukan dalam hal adanya

pembatasan Hak Asasi dimaksud telah disediakan dalam KUHAP melalui

Lembaga Praperadilan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak adanya

kekurangan-kekurangan yang menyebabkan belum terlindunginya Hak

Asasi Manusia.

Perlindungan Hak Asasi Manusia yang masih kurang memadai dalam

proses Praperadilan terlihat dalam Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP

yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,

sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum

selesai, maka permintaan tersebut gugur. Dengan memperhatikan ketentuan

Pasal 82 ayat (1) huruf d tersebut dihubungkan dengan rasa keadilan dan

perlindungan Hak Asasi Manusia, telah terjadi pengabaian hak-hak asasi

manusia sehingga diperlukan adanya pembaharuan hukum terkait dalam hal

praperadilan, baik dari sudut struktural maupun substansial yang nantinya

diharapkan dengan adanya pembaharuan dimaksud, tolok ukurnya lebih

menitik beratkan pada hal keadilan dalam masyarakat dan perlindungan

hak asasi manusia.

Rangkaian proses kebijakan hukum pidana dalam upaya menanggulangi

kejahatan terdiri dari tahapan kebijakan formulatif, kemudian tahapan

aplikatif dan tahapan eksekutif. Kebijakan formulasi merupakan kebijakan

menetapkan dan merumuskan sesuatu dalam peraturan perundang-

undangan. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan membuat atau

merumuskan suatu perundang-undangan yang efektif untuk mencegah

tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum sehingga adanya

perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kebijakan formulasi mengenai

praperadilan dan penerapan hukumnya hendaknya memperhatikan pula

faktor-faktor pendukung yang berperan penting. Pembahasan dan pengkajian

Page 88: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

80 BAB II

difokuskan pada masalah yang terkait dengan kebijakan formulasi lembaga

praperadilan meliputi:

a. Perumusan Lembaga Praperadilan dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

b. Peranan lembaga praperadilan ditinjau dari perlindungan hak asasi

manusia.

Pengaturan Lembaga Praperadilan di dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)

tercantum dalam Pasal 1 angka 10, Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai

dengan Pasal 83. Dalam Pasal 1 butir 10 menyebutkan: Praperadilan adalah

wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan;

Apa yang dirumuskan dalam Pasal pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas

dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan: Pengadilan Negeri berwenang

untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

undang-undang ini tentang:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan,

b. ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Mengenai rumusan ini, dalam Penjelasan KUHAP disebutkan Penjelasan

Pasal 77 huruf a KUHAP:

“Penghentian penuntutan bukanlah penyampingan perkara

demikepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”

Pasal 80 KUHAP menyebutkan:

“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian

penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum

atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan

Page 89: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 81

menyebutkan alasannya”. Pertimbangan ini adalah suatu sarana pengawasan

secara horisontal demi menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Pendapat

yang wajar dalam masalah ini adalah bahwa penuntut umum perlu berusaha

menghindarkan diri dari terjadinya praperadilan yang diselenggarakan menurut

Pasal 80 KUHAP ini. Saling kerjasama dalam menuntun pihak penyidik

melakukan tugas kewenangannya dengan baik, lancar dan sempurna untuk

kurun waktu sementara ini, adalah juga merupakan upaya agar pihak penuntut

umum tidak terjerembab ke dalam pemeriksaan praperadilan.

Tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Dalam Pasal 78 KUHAP yang

berhubungan dengan Pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan

wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut

a. sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua

Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera; Dalam penjelasan

undang-undang hanya Pasal 80 yang diberi komentar, bahwa pasal ini

bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui

sarana pengawasan secara horisontal. Praperadilan itu tidak merupakan

badan tersendiri tetapi merupakan suatu wewenang saja dari Pengadilan.

Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam KUHAP adalah wewenang

Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut tata cara yang

diatur dalam Undang-Undang ini yaitu tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara

untuk kepentingan umum oleh Jaksa Agung) (pasal 77);

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77).

c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82

ayat (1) ayat (3)).

d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas

penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang

berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai

orang atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan yang

perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2).

e. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan

tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai

Page 90: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

82 BAB II

orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan

ke Pengadilan Negeri (Pasal 97 ayat 3). Wewenang pengadilan untuk

mengadili dalam praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dijadikan alasan bagi tersangka,

terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian selain dari

pada adanya penangkapan, penahanan, penuntutan, diadilinya orang

tersebut, juga apabila dikenakan “tindakan-tindakan lain” yang secara

tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan

mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.

Tindakan-tindakan lain yang dimaksud disini adalah tindakan-tindakan

upaya hukum (dwangmiddel) lainnya seperti:

a. Pemasukan rumah;

b. Penggeledahan;

c. Penyitaan barang bukti, surat-surat yang dilakukan secara melawan

hukum dan menimbulkan kerugian materiil.

Hal-hal ini dimasukkan dalam Pasal 95, karena dipandang perlu bahwa

hak-hak terhadap harta benda dan hak-hak atas privacy tersebut perlu

dilindungi terhadap tindakan-tindakan yang melawan hukum. Sesuai

dengan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang lebih

baik yang memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam

keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana terdapat perbedaan yang fundamental dengan

pengaturan Hukum Acara Pidana sebelumnya (HIR), terutama mengenai

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Sistem yang dianut

HIR dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita

hukum nasional, seiring dengan tuntutan kebutuhan yang asasi dari setiap

negara yang lebih maju, termasuk tuntutan pada dasar-dasar pemikiran

pada beberapa lembaga hukum tertentu dalam Hukum Acara Pidana yang

dikaitkan dengan kebutuhan perlindungan hak asasi manusia dalam

pergaulan masyarakat.

Perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan istilah yang sangat luas

maknanya. Undang-Undang HAM tidak memberikan penafsiran yang lengkap

terhadap istilah perlindungan tersebut. Penjelasan Undang- Undang tentang

HAM, khususnya penjelasan Pasal 8 hanya menyatakan yang dimaksud

dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan HAM.

Sudah tentu pada era sistem KUHAP ini, telah pula dipikirkan bagaimana

pokok pikiran yang didasari pada pikiran perlindungan HAM itu dapat

diterapkan dan dilaksanakan di negara kita, berdasarkan pada jangkauan

keseluruhan sistem peradilan pidana, sehingga aturan atau ketentuan yang

Page 91: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 83

dimuat dalam KUHAP dapat mencapai sasaran dan tujuannya, serta dapat

mewujudkan suatu penyelesaian yang baik dan luhur bagi kepentingan

masyarakat Indonesia, sebagai salah satu usaha guna menciptakan tata

tertib, keamanan, ketenteraman dalam keseluruhan dari sistem peradilan

pidana sebagai suatu rangkaian yang terpadu.

Apabila KUHAP secara tegas dan prinsipil, telah menentukan adanya

pembagian fungsi, tugas dan wewenang dari masing-masing instansi

penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan, maka dalam pelaksanaannya diisyaratkan pula adanya

keserasian hubungan serta koordinasi antara instansi penegak hukum. Atas

dasar itu dalam pelaksanaannya diperlukan adanya konsepsi “integrated

criminal justice system” yang memandang proses penyelesaian perkara pidana

sebagai satu rangkaian kesatuan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,

pemutus perkara sampai pada penyelesaian di Lembaga Pemasyarakatan.

Meskipun dalam konkritnya kadang-kadang terjadi kesulitan sehingga

menimbulkan masalah-masalah hukum, dalam arti bagaimana suatu

ketentuan dalam KUHAP itu harus dilaksanakan kemudian terdapat

adanya pihak-pihak yang merasa hak-hak dan kepentingannya dilanggar,

kemudian terdapat permasalahan disertai dengan adanya persepsi dan

penafsiran yang berbeda satu dengan yang lain, maka guna menjaga

dan melindunginya itu, telah dibuka kesempatan adanya suatu lembaga

hukum di dalam KUHAP yaitu melakukan penuntutan (permintaan)

melalui proses praperadilan.

Maksud dan tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah secara

umum sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya KUHAP karena

dipandang bahwa HIR sudah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan

kemajuan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan modern.

Serta bertujuan demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan

hak asasi tersangka, sebab menurut sistem KUHAP setiap tindakan upaya

paksa haruslah diturut sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP. Sebab

setiap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,

penahanan, penuntutan dan sebagainya yang dilakukan bertentangan

dengan hukum dan perundang-undangan adalah suatu tindakan perkosaan

atau perampasan hak asasi manusia.

Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan

hukum di negara kita adalah untuk memantapkan pengawasan terhadap

pemeriksaan pendahuluan perkara pidana, khususnya pemeriksaan pada

tingkat penyidikan dan penuntutan. Dengan adanya Praperadilan ini

diharapkan pemeriksaan perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-

baiknya, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Penangkapan,

Page 92: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

84 BAB II

Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Penyidikan, Penuntutan, Penghentian

Penyidikan dan Penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan

semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap

hak-hak asasi manusia agar jangan sampai diperkosa.

Penegakan hukum atau law enforcement adalah rangkaian kegiatan dalam

usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang

bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan

baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak

hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi

pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat.

Kepastian hukum menjadi salah satu pokok pemikiran aliran yuridis

dogmatis. Kepastian hukum dapat diwujudkan dengan penerapan hukum

yang dirumuskan dalam undang-undang. Akan tetapi penerapan hukum

seringkali terhambat, oleh karena undang-undang tidak sempurna.

Adakalanya undang-undang tidak lengkap dan atau tidak jelas. Menurut

Soerjono Soekanto penegakan hukum merupakan pasangan nilai-nilai yang

harus diserasikan dalam wujud yang lebih kongkrit, yang kemudian

menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindakan yang dianggap pantas

atau yang seharusnya. Oleh karena itu dapat dikatakan penegakan hukum

bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun

kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement

begitu terkenal, tetapi lebih jauh dari itu, masalah pokok penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor tersebut meliputi:

a. Faktor hukum itu sendiri (dalam hal ini adalah undang-undang).

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak yang membentuk atau menerapkan

hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung.

d. Faktor masyarakat, tempat hukum diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia.

Muladi menambahkan penegakan hukum merupakan proses penyerasian

antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan

untuk mencapai kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum

adalah mencapai keadilan.

Penegakan hukum pidana merupakan suatu rangkaian proses

yang terdiri dari pentahapan-pentahapan yaitu (1) tahapan perumusan

perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, yang menjadi wewenang

lembaga legislatif, (2) tahapan penerapan/aplikatif yang menjadi wewenang

Page 93: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 85

lembaga yudikatif, dan (3) tahapan pelaksanaan/administratif yang menjadi

wewenang lembaga eksekutif.

Penegakan hukum disini diartikan secara luas tidak hanya menerapkan

hukum pidana tetapi dimaknai lebih dari sekedar penerapan hukum pidana

positif yaitu tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada

umumnya namun juga mengatur kewenangan /kekuasaan aparat penegak

hukum. Selanjutnya menurut Muladi, dalam realitasnya penegakan hukum

secara menyeluruh (total enforcement) tidak mungkin terlaksana, karena

adanya non-enforcement area, dimana tindakan aparat penegak hukum

dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum materiil (misalnya syarat harus

ada pengaduan) maupun ketentuan hukum formil (misalnya syarat-syarat

penangkapan, penahanan, penyitaan dsb). Selanjutnya yang ada hanyalah

ruang lingkup penegakan hukum secara penuh (area of full enforcement).

Pada lingkup ini penegakan hukum diharapkan menegakkan hukum secara

maksimal. Namun penegakan hukum secara penuh ini merupakan harapan

yang tidak realitis karena banyaknya kendala dalam pelaksanaannya seperti

keterbatasan waktu, personil, alat-alat investigasi, dsb. Dengan demikian

yang tersisa hanyalah ”actual enforcement”, yaitu penegakan hukum yang

kongkrit. Ruang lingkup penegakan ini senyatanya berlangsung. Demikian

pula pengaruh kekuatan-kekuatan sosial yang dirasakan juga dalam bidang

penerapan hukum.

Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin

dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum

yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Terutama nilai dasar

kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan

masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar

mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya.67

Oleh karena itu, prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud

dan bertujuan guna melakukan tindakan pengawasan horisontal untuk

mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan

undang-undang. Sifat dan atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan

karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan tindakan

upaya paksa sebelum seorang diputus oleh pengadilan, pencegahan tindakan

yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atas

tindakan yang melanggar hak-hak asasi tersangka/terdakwa, agar segala

sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan hukum dan perundang-

undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.

Fungsi kontrol itu akan lebih nampak dan efektif manakala setiap

tindakan/peristiwa yang menyimpang dari ketentuan undang-undang

67 Bernard L. Tanya. Op. cit.

Page 94: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

86 BAB II

tersebut dapat segera dicegah atau dilakukan tindakan hukum guna

meluruskan kembali sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-

undangan yang berlaku demi tegaknya hukum dan keadilan serta kepastian

hukum. Juga fungsi kontrol yang menjadi bagian wewenang Pengadilan

Negeri tersebut atas praperadilan, akan mengkaji ulang, apakah tindakan/

peristiwa yang telah dilakukan pejabat penegak hukum itu telah sesuai dan

proporsional, dalam kaitan tindakan/peristiwa hukum yang telah ditempuh

oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim telah sesuai dengan prosedur

menurut ketentuan perundang-undangan ataukah tidak.

Sekalipun wewenang praperadilan tersebut belum pernah ada pada era

HIR, namun wewenang preperadilan yang terdapat di dalam KUHAP tersebut

tidak menjadi masalah ataupun hambatan bagi Pengadilan Negeri, sebab

dapat dikatakan, karena KUHAP sendiri memang dibentuk dalam situasi

dan kondisi bagi kepentingan keserasian hubungan dan koordinasi atas

dasar pandangan bahwa proses penyelesaian perkara pidana itu sebagai

satu rangkaian kesatuan atas dasar sistem peradilan pidana yang terpadu.

Sehingga tidaklah dimaksud bahwa dengan adanya praperadilan kemudian

Pengadilan Negeri akan memutuskan ulang atau semacam peradilan yang

mengadili dalam tingkatan banding, sebab sistem semacam itu tidak

dikenal dalam KUHAP. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan pula instansi

penegak hukum satu dengan lainnya saling mengawasi dalam arti vertikal

ataupun hubungan sub-ordinasi, tetapi semata-mata guna saling mengisi,

koordinatif, sinkronisasi dan keterpaduan (integral) dalam hal penanganan

dan penyelesaian suatu perkara sesuai dengan fungsi, kewenangan dan

tugasnya masing-masing bagi penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan

peradilan, sebab berdasarkan sistem KUHAP sebagai hukum acara pidana

telah menegaskan secara prinsipil adanya pembagian fungsi, tugas dan

wewenang masing-masing instansi penegak hukum, sehingga di dalam

pelaksanaannya diisyaratkan mutlak adanya peningkatan keserasian

hubungan kerja dan koordinasi instansi penegak hukum. Syarat mutlak yang

melekat pada konsepsi “sistem peradilan pidana terpadu” yang memandang

proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan sejak

dari penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara hingga ke penyelesaian di

tingkat (lembaga) pemasyarakatan.

Page 95: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BAB III

JANGKA WAKTU PENYIDIKAN OLEH KPK

BERDASARKAN PUTUSAN PRAPERADILAN

DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

A. Pengaturan Tentang Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia

1. Penyidikan Dalam Kuhap

Pada Pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan

melaksanakan kewajiban penyidik, yakni:

a. “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,

karena kewajibannya mempunyai wewenang”:

b. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana;

c. Melakukan tindakan pertama pada saaat di tempat kejadian;

d. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal dari tersangka;

e. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan

penyitaan;

f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

g. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

h. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Page 96: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

88 BAB III

Tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan, juga telah

secara khusus dalam Undang-Undang POLRI, sebagaimana dalam Pasal

14 ayat 1 huruf f, yaitu bahwa POLRI mempunyai tugas untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya.

Tahap Penyidikan merupakan tahap awal dari proses pemeriksaan

perkara pidana, dengan kata lain sebagai awal bekerjanya mekanisme

sistem peradilan pidana. Kedudukan dan peran dari tahap penyidikan

sangat penting guna menentukan keberhasilan dari suatu proses

pemeriksaan perkara pidana selanjutnya dalam rangka penegakan

hukum, sehingga dengan terlaksananya tahap penyidikan yang baik akan

berdampak pada keberhasilan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan

penuntutan serta memberikan kemudahan bagi Hakim untuk menemukan

kebenaran materiil dalam memeriksa dan mengadili di depan persidangan.1

Penyidikan merupakan pemeriksaan tahap pendahuluan/ awal

(vooronderzoek) yang menitikberatkan pada pencarian dan pengumpulan

“bukti faktual” dengan melakukan penangkapan dan penggeledahan,

bahkan apabila diperlukan juga dilakukan penahanan terhadap tersangka

serta penyitaan terhadap barang yang diduga berkaitan dengan adanya

suatu tindak pidana yang terjadi.2

Penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan

oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan,

penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam

ketentuan hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai

dengan proses penyidikan itu dinyatakan selesai.3

Penyidikan dapat mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat

Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh pejabat yang berwenang

dalam instansi penyidik. Berdasarkan pada surat perintah tersebut,

penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan

ketentuan dalam KUHAP tentang penyidikan, sehingga proses

penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta menemukan bukti-

bukti yang diperlukan. Dengan dimulainya proses penyidikan, maka

penyidik berkewajiban untuk sesegera mungkin memberitahukan telah

dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum.4 Dalam hal

1 Zulkarnaen Koto, Terobosan Hukum dalam Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian, (Jakarta: STIK, 2011), hlm. 150.

2 Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), (Jakarta: PT Galaxy Puspa Mega, 2002), hlm. 15.

3 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 116.

4 Ibid

Page 97: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 89

penyidik telah melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan

tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut

Umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/surat pemberitahuan

dimulainya penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Setelah

bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan,

maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk

dilimpahkan kepada Penuntut Umum (Kejaksaan) atau ternyata bukan

merupakan tindak pidana.

Ada 4 kemungkinan Penyelidik atau Penyidik memulai tindakan

penyelidikan dan penyidikan, yaitu5:

1. Tertangkap Tangan;

2. Laporan;

3. Pengaduan;

4. Mengetahui sendiri atau dengan cara lain.

Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan

merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum.

“pemberhentian penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut Umum

dan kepada tersangka/keluarganya. KUHAP tidak memberikan definisi

secara jelas dan terperinci tentang penghentian penyidikan, namun

demikian, sebagaimana dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP, penghentian

penyidikan dapat dilakukan dengan alasan apabila tidak terdapat cukup

alat bukti, atau peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau penyidikan

dihentikan demi hukum.

Selain dalam KUHAP, alasan penghentian penyidikan juga diatur

dalam Pasal 76 ayat 1 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor: 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara

Pidana, bahwa penghentian penyidikan sebagaimana di maksud dalam

Pasal 15 huruf i, dilakukan apabila:

a. tidak terdapat cukup bukti (Pasal 183 KUHAP),

b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan

c. demi hukum, karena:

i. tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP),

ii. perkara telah kadaluarsa (Pasal 78 KUHP),

iii. pengaduan dicabut (khusus delik aduan) (Pasal 75 KUHP)

iv. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem) (Pasal 76

KUHP).

5 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hlm. 18

Page 98: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

90 BAB III

Adapun pengaturan lain mengenai penghentian pemeriksaan

perkara pidana untuk sementara waktu atau penangguhan pemeriksaan

perkara pidana dapat dilakukan oleh penyidik, apabila dalam perkara

pidana tersebut terdapat suatu hal yang bersifat keperdataan atas suatu

benda atau hubungan hukum antara para pihak sebagaimana diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 19566, yang berarti

bilamana perkara perdata atas suatu benda maupun hubungan hukum

para pihak telah diputus, maka perkara pidananya dapat dilanjutkan.

Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan

kepada penyidik, yaitu penyidik berwenang bertindak menghentikan

penyidikan yang telah dimulainya.7 Dalam hal putusan menetapkan

bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,

penyidik atau penuntut terhadap tersangka wajib dilanjutkan.8

Istilah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (atau dikenal secara

singkat dengan SP3), memang tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP

yang berlaku di Indonesia. KUHAP hanya mengatur bahwa dengan

dihentikannya penyidikan, Penyidik wajib memberitahukan kepada

Penuntut Umum, Tersangka atau keluarganya, hal tersebut sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 109 ayat 2, yang isinya,

“dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.

Sama halnya dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (yang

selanjutnya disingkat PerKap Nomor 14 Tahun 2012) sebagaimana ketentuan

dalam Pasal 76 ayat 3 tentang Penghentian penyidikanyang berbunyi:

“Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada Pelapor, Jaksa Penuntut Umum, dan Tersangka atau Penasihat Hukumnya.”

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) merupakan surat

pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum yang isinya

menerangkan bahwa suatu perkara pidana dihentikan penyidikannya.

6 Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1956, yang isinya “apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.

7 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 150.

8 Ibid, hlm. 92.

Page 99: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 91

SP3 menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan

Jaksa Agung Nomor: 518/A/J.A/11/2001, tanggal 1 Nopember 2001 tentang

Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: 132/

JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Surat Perintah Penghentian Penyidikan, semata-mata tidak

diterbitkan begitu saja oleh Penyidik, melainkan terhadap suatu

perkara pidana yang sudah ada Laporan Polisi9/Pengaduan, yang

selanjutnya menjadi dasar bagi Penyidik untuk melakukan proses

penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Selain itu, sebagaimana

diatur dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana, bahwa pada saat, Penyidik memulai

tindakan penyidikan, maka yang menjadi dasar dilakukannya

penyidikan adalah SPDP10, sehingga kepadanya dibebani kewajiban

untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada

Penuntut Umum, namun, kewajiban melakukan pemberitahuan

itu bukun hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan

juga pada tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh

Penyidik, karenanya, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan

9 Berdasarkan Ketentuan Umumdalam Pasal 1 ayat 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara Pidana, Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang adanya suatu peristiwa yang diduga terdapat pidananya baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dalam Pasal 5, ayat 1, diuraikan, model Laporan Polisi yang terdiri dari 2 (dua), yaitu:

a. Laporan Polisi Model A; dan b. Laporan Polisi Model B.

Selanjutnya dijabarkan dalam ayat 2, bahwa Laporan Polisi Model A sebagaimana di maksud pada ayat 1 huruf a adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.

Sedangkan dalam ayat 3, bahwa Laporan Polisi Model B sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf b adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/ pengaduan yang diterima dari masyarakat.

10 Berdasarkan Ketentuan Umum dalam Pasal 1 ayat 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara Pidana, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang selanjutnya disingkat SPDP adalah surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri. SPDP, yang di maksud tersebut di atas, sekurang- kurangnya memuat (Pasal 25 tentang SPDP dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia):

a. Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan; b. Waktu dimulainya penyidikan; c. Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang

disidik; d. Identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan e. Identitas pejabat yang menandatangani SPDP.

Page 100: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

92 BAB III

pihak Penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3).11

Atas “penghentian penyidikan” tersebut, jika penuntut umum atau

pihak ketiga (lain) yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan

kepada Pengadilan Negeri. Dalam proses penghentian penyidikan,

keberlakuan KUHAP sebenarnya merupakan realisasi dan unifikasi serta

kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat

dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para

penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya.12

2. Penyidikan Dalam Undang-Undang Kpk Dan Beberapa Peraturan Perundang-Undangan

Kewenangan yang dimiliki ole KPK dalam melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan masih bersumber dalam KUHAP, akan tetapi

dalam penerapannya proses tersebut diberikan kepada wakil ketua

komisi pembrantasan korupsi. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

KPK memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sebagai berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi.

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggara pemerintahan negara.

Adapun Wewenang yang dimiliki oleh KPK berdasarkan UU KPK

antara lain:

a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi.

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi.

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait.

d. Melakasanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi

yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 11 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan

Permasalahannya, (Bandung: PT Alumni, 2007), hlm. 54. 12 Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara

Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 5.

Page 101: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 93

e. Meminta laporan instnasi terkait mengenai pencegahan tindak

pidana korupsi (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).

f. Wewenang lainnya bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 Undang-

Undang Nomor 30 tahun 2002.13

KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau

kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas berkas

perkara beserta alat bukti atau dokumen lain yang diperlukan dalam

waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal

diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.14 Dijelaskan

dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ketentuan ini bukan diartikan

penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika

tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka

tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau

tahanana kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta

bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan

tersangka di Rumah Tahanan tersebut.

Selain itu dalam penjelasan pasal 12 huruf I bahwa permintaan

bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan

Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan

tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan

kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan

Tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan. Mekanisme penyerahan

sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (3) dilakukan dengan membuat dan

menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan

kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut

beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengambilalihan

penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan yang

termaktub dalam pasal 9 UU KPK.

Pengambilalihan penyidikan yang dilakukan KPK dari kepolisian

atau kejaksaan diartikan sebagai penyerahan wewenang kepada KPK.

Dalam setiap muatan Pasal 9 tersebut tidak ada penjelasan yang

mengatakan KPK boleh melakukan pengambil alihan perkara yang

terjadi sebelum adanya UU KPK tersebut. Sedangkan jika kita lihat

banyak perkara yang belum bisa ditangani secara tuntas akibat ditindak

lanjuti atau terbengkalai selama masih ditangani oleh kepolisian dan

kejaksaan. Sehingga permaslahan ini menimbulkan berbagai tasir terkait

13 Ibid, hlm 71 14 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009), hlm.184.

Page 102: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

94 BAB III

penuntasan tindak pidana korupsi yang belum terselesaikan sebelum

adanya KPK sebagai lembaga khusus yang berwenang dalam penuntasan

tindak pidana korupsi.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan

Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung

pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.15 Salah satu kewenangan KPK

yang terdapat dalam UU KPK adalah mengambil alih wewenang Polisi

dan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan yang

termaktub dalam Pasal 8 UU KPK yang berbunyi sebagai berikut ini:

1. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap

instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan

dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang

dalam melaksanakan pelayanan publik.

2. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih

penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

3. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih

penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib

menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat

bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama

14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya

permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

4. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan

membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga

segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat

penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam menjalankan tugasnya KPK dapat melakukan koordinasi dan

supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi serta melakukan penyidikan dan penuntutan.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa kewenangan KPK

adalah mengambil alih penyidikan dan penututan yang sudah menjadi

kewenangan kepolisian dan kejaksaan.Maksud dari pasal tersebut bahwa

KPK dapat melakukan

15 Op, Cit Ermansjah Djaja, hlm191.

Page 103: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 95

Pengambilalihan wewenang lembaga lain. Dalam menjalankan

tugasnya tersebut, maka KPK juga perlu diberikan batasan ataupun

alasan yang jelas untuk mengambil alih kewenangan Lembaga Negara

lain. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK yang berbunyi:

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

dengan alasan:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti.

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi

pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan

dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik

dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketentuan dalam Pasal 9 tersebut dijelaskan bahwa KPK berhak

mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan jika ada laporan

masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Polisi ataupun Kejaksaan.

Selain itu dalam Pasal ini juga disebutkan bahwa proses penanganan

korupsi yang berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan diambil alih penanganannya oleh KPK

dan seterusnya.

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut jelas bahwa KPK berhak melakukan

penyidikan dan penuntutan dengan alasan yang diberikan oleh UU KPK

Pasal 9. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 tersebut tentunya ada

beberapa hambatan yang menyebabkan pengambil alihan wewenang

dari Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK. Hal ini menunjukkan bahwa ada

masalah yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh Kepolisian dan

Kejaksaan sehingga kewenangan mereka diberikan kepada KPK. Oleh

karena itu peran KPK disini sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti

tindak pidana korupsi yang belum bisa ditangani oleh aparat penegak

hukum. Adapun beberapa pokok masalah yang penting terhambatnya

penanganan korupsi selama ini yang ditangani oleh Kejaksaan maupun

Kepolisian, adalah:16

16 Wacana pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang macet, tgl.27 Juli 2017, www.

Page 104: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

96 BAB III

1. banyaknya laporan dari masyarakat tentang terjadinya tindak

pidana korupsi yang tidak direspon oleh institusi kejaksaan ataupun

kepilisian baik itu ditingkat pusat maupun daerah, hal ini diperburuk

dengan tindakan institusi kejaksaan atau kepolisian yang tidak

pernah memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa laporan

korupsi tersebut tidak ditindak-lanjuti.

2. Hampir sebagaian besar permasalahan yang terjadi dalam

penanganan kasus korupsi berlarut-larut. Banyak ditemui

penanganan yang dilakukan hanya sebatas formalitas seperti

pemeriksaan saksi-saksi dan selanjutnya tidak jelas penanganannya.

3. Dihentikan penyidikan atau penuntutan oleh instansi kepolisian

atau kejaksaan, padahal kenyataanya, padahal perbuatan tersangka

tersebut telah merugikan uang Negara.

4. Hanya menjerat sebagian pelaku, kerap kali kasus penanganan

korupsi tidak menjerat pelaku utamanya, namun hanya menyentuh

pada level pelaku lapangan saja.

5. Tidak dilakukan eksekusi meskipun sudah divonis bersalah oleh

pengadilan, hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut

tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera memasukkan

terdakwa ke dalam penjara.

6. Adanya ancaman dan kriminalisasi dari orang tertentu dalam

pelapor kasus korupsi menerima ancaman berupa intimidasi dan

kekeasan terhadap pelaku korupsi

Selain dalam Undang-Undang KPK, beberapa Undang-Undang diluar

KUHAP juga diberi kewenangan dalam hal penyidikan. berikut UU yang

mengatur tentang penyidikan sebagai berikut:

No Undang-Undang Kelembagaan Penegak

Hukum Bentuk Koordinasi

1.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Menangkap dan menahan, meminta petunjuk dan bantuan penyidikan polri (koordinasi) pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyerahan hasil penyidikan kepada PU (tanpa koordinasi dengan Penyidik Polri)

UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil

Pemberitahunan dimulainya penyidikan

3.

UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi

Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil

Pemberitahuan dimulainya penyidikan

legalitas.com.

Page 105: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 97

No Undang-Undang Kelembagaan Penegak

Hukum Bentuk Koordinasi

4.

UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil

Kepolisian Negara RI, Penyidik pegawai negeri sipil

pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyampaian hasil penyidikan ke PU melalui penyidik kepolisian

5.

UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Pejabat polisi, pejabat pegawai Negeri Sipil, Penyidik lain seperti Perwira TNI AL

Penyampaian hasil penyidikan kepada PU melalui pejabat polisi

6.

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu bara

Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil

pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyampaian hasil penyidikan ke PU melalui penyidik kepolisian

7.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil

Dimulainya penyidikan, penangkapan dan penahanan, pemberitahuan melakukan penyidikan (pemberitahuan bukan dimulainya penyidikan melainkan mempertegas wujud koordinasi antara PPNS dan penyidik Polri)

8.

UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Pejabat penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI AL, dan/atau Polri

Masing-masing instansi memberitahukan dan menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum.

B. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Pasca Penetapan Tersangka

Berdasarkan Putusan Pra Peradilan

1. Konsep Limitasi Jangka Waktu Dalam Hukum Pidana

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), limitasi adalah

Pembatasan.17 sementara pengertian Waktu atau masa menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian saat ketika

proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal

ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian,

atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian.18 Oleh karena

itu, limitasi jangka waktu dapat diartikan sebagai pembatasan terhadap

suatu proses atau lama berlangsungnya terhadap suatu hal tertentu.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun KUHAP tidak

ada memberi batasan apa yang disebut dengan waktu, namun demikian

dalam KUHP terdapat rumusan pengertian “sehari” dan “ sebulan” serta

17 http://kbbi.co.id/arti-kata/limitasi, diakses pada 17 Juni 2017 pukul 16.30 18 https://id.wikipedia.org/wiki/Waktu, diakses pada 17 Juni 2017 pukul 16.45

Page 106: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

98 BAB III

“malam”, yaitu:Ketentuan Pasal 97 KUHP: Yang dikatakan sehari yaitu masa

yang lamanya dua puluh empat jam. Ketentuan Pasal 97 KUHP: Sebulan

yaitu masa yang lamanya tiga puluh hari. Pasal 98 KUHP: yang dikatakan

malam yaitu masa diantara matahari terbenam dan matahari terbit.19

2. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan

Mengenai berapa lama seseorang menjadi tersangka, ini bergantung dari

berapa lama proses penyidikan tersebut. Karena selama proses penyidikan

tersebut berlangsung, orang tersebut masih berstatus sebagai tersangka.

Sedangkan jika penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah

disidangkan di pengadilan, maka status orang tersebut berubah menjadi

terdakwa. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan

diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Selain itu, seseorang

juga bisa tidak lagi menyandang statusnya sebagai tersangka, jika terhadap

perkaranya dilakukan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).

Batas waktu penyidikan sebenarnya diatur dalam Perkapolri Nomor

12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan

Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia20

19 Soesilo, R.,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ulang, (Bogor: Politeia, 1994)., hlm. 103-104.

20 Lihat Perkapolri Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republiki Indonesia Pasal 31 (1) Batas waktu penyelesaian perkara ditentukan berdasarkan kriteria tingkat kesulitan

atas penyidikan: a. sangat sulit b. sulit; c. sedang; atau d. mudah.

(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a. 120 (seratus dua puluh) hari untuk penyidikan perkara sangat sulit; b. 90 (sembilan puluh) hari untuk penyidikan perkara sulit; c. 60 (enam puluh) hari untuk penyidikan perkara sedang; atau d. 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan perkara mudah;

(3) Dalam hal menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah penyidikan.

(4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan.

Pasal 32 (1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat

(1) penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui Pengawas Penyidik.

(2) Perpanjangan waktu penyidikan dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang setelah memperhatikan saran dan pertimbangan dari Pengawas Penyidik.

(3) Dalam hal diberikan perpanjangan waktu penyidikan maka diterbitkan surat perintah dengan mencantumkan waktu perpanjangan

Page 107: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 99

di dalam aturan ini dibagi dalam beberapa kriteria diukur dari tingkat

kesulitan suatu perkara. Penentuan tingkat kesulitan ditentukan oleh

pejabat yang memiliki wewenang dalam menerbitkan surat perintah

penyidikan. Pembagian kriteria tersebut yakni sangat sulit, sulit,

sedang, atau mudah. Setiap kriteria tersebut kemudian ditentukan

batas waktunya untuk memberi kepastian hukum terkait batas waktu

penyidikan. Adapun batasan waktu tersebut adalah:

a. Perkara yang sangat sulit dengan batas waktu 120 hari

b. Perkara sulit dengan batas waktu 90 hari

c. Perkara sedang dengan batas waktu 60 hari

d. Perkara mudah dengan batas waktu 30 hari

Batasan waktu yang telah ditentukan tersebut dapat dilakukan

perpanjangan jika perkara tersebut belum diselesaikan oleh Penyidik

dengan memohonkan perpanjangan melalui Pengawas Penyidik.

Pada waktu Kapolri dijabat oleh TIMOR PRADOPO, menerbitkam

Perkap RI No 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak

pidana yang merubah Perkapolri Nomor 12 Tahun 2009 Tentang

Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di

Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Perkap

tersebut ini terjadi perubahan yang krusial yakni dihapuskannya

jangka waktu penyidikan, dapat melihat perbedaan tersebut dalam

Pasal 32 yang berbunyi:

(1) Dalam hal tersangka yang tidak ditahan dan diperkirakan akan

melarikan diri dari wilayah Negara Indonesia, dapat dikenakan

tindakan pencegahan.

(2) Dalam hal setiap orang yang berada di luar negeri dan diduga akan

melakukan tindak pidana di Indonesia, dapat dikenakan tindakan

penangkalan.

(3) Dalam keadaan mendesak atau mendadak, untuk kepentingan

penyidikan, penyidik dapat mengajukan permintaan secara

langsung kepada pejabat imigrasi untuk mencegah dan/atau

menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.

(4) Pejabat yang berwenang mengajukan surat permintaan pencegahan

dan/atau penangkalan sesuai tingkatan daerah hukum penyidikan

sebagai berikut:

a. Direktur/wakil Direktur pada Bareskrim Polri;

b. Direktur/wakil Direktur Reskrim Polda;

c. Kapolres; dan

d. Kapolsek.

Page 108: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

100 BAB III

(5) Pejabat yang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau

penangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib melaporkan

kepada Kapolri paling lambat 20 (dua puluh) hari untuk mendapat

pengukuhan melalui Keputusan Kapolri.

(6) Keputusan Kapolri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat

didelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk.

Pasal 33

(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b,

dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang

yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

permulaan yang cukup.

(2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan

wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang

ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik.

(3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib

disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum

setelah tersangka ditangkap.

(4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

huruf i, dilakukan apabila: (lihat Pasal 76 ayat (1) Perkapolri 14/2012)

a. tidak terdapat cukup bukti;

b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan

c. demi hukum, karena:

1. tersangka meninggal dunia;

2. perkara telah kadaluarsa;

3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan

4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

Beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pemenuhan hak-hak

tersangka dalam penanganan perkara pidana, seperti: Menurut M.

Sofyan Lubis yang pada pokoknya menyatakan: pelanggaran terhadap

hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP pada tahap penyidikan akan

mengakibatkan hasil penyidikan menjadi tidak sah dan apabila berkas

hasil penyidikan yang demikian itu dijadikan dasar untuk melakukan

penuntutan maka penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum

menjadi tidak dapat diterima atau surat dakwaan penuntut umum

Page 109: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 101

menjadi batal demi hukum karena didasarkan atas berita acara yang

tidak sah.

Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik maka

ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai status tersangka yakni

Pertama status tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan upaya

penahanan. Tersangka yang ditahan mendapat kepastian hukum kapan

berakhirnya status tersangka karena secara limitatif telah diatur dalam

KUHAP. Bila masa tahanan telah habis namun penyidikan belum juga

selesai maka tersangka dapat dikeluarkan dari tahanan. Kedua, pada

tahap penyidikan tersangka yang tidak dilakukan upaya penahanan. Hal

nomor kedua ini yang membuat ketidakpastian hukum kapan status

tersangka tersebut berakhir apakah lanjut dilimpahkan ke pengadilan

atau dibebaskan.

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut ataupun

diadili dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai

adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini dikenal sebagai salah satu

asas dalam hukum acara pidana yakni asas praduga tidak bersalah.

Hakikat asas ini cukup fundamental dalam hukum acara pidana.

ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada Pasal

8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka

3 huruf c KUHAP.

Dikaji dari perspektif praktik peradilan manifestasi asas ini dapat

dijabarkan bahwa selama proses peradilan masih berjalan, baik di

tingkat yudex factie (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) maupun

di tingkat yudex yuris (Mahkamah Agung RI) dan belum memperoleh

kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjsde), terdakwa belum dapat

dikategorisasikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana sehingga

selama proses peradilan pidana tersebut haruslah mendapatkan hak-

haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu hak untuk segera

mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera

mendapatkan pemeriksaan oleh Pengadilan dan mendapatkan putusan

seadil-adilnya, hak mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh

bantuan hukum, dan sebagainya.21

Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP, merupakan

salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan

sewenang-wenang dari aparat hukum. Namun menurut Rohmini,

pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam Penjelasan Umum

Butir 3c KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya, karena

21 Hal 9

Page 110: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

102 BAB III

ketentuan tersebut tidak diatur dalam batang tubuh tetapi hanya dalam

penjelasan.22

Pada dasarnya, problematik penerapan asas praduga tak bersalah

dalam perkara pidana ini, berkaitan dengan kedudukan yang tidak

seimbang antara tersangka/terdakwa dengan aparat hukum yang

berkepentingan, sehingga dikuatirkan terjadi tindakan sewenang-

wenang dari aparat hukum. Hukum pidana, sebagai hukum publik,

mengatur kepentingan umum, sehingga berhubungan dengan negara

dalam melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum perdata

yang merupakan hukum privat pada umumnya mengatur kepentingan

pribadi, lebih diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

dalam menuntut kepentingannya yang dilanggar sesuai dengan asas

point d’interet point d’action.23

Kedudukan tidak seimbang dalam perkara pidana memungkinkan

terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum terhadap

tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan

umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggung

jawab atas terjadinya ketidakseimbangan tatanan dalam masyarakat

akibat adanya pelanggaran hukum. Tersangka /terdakwa dalam proses

penegakan hukum, dihadapkan dengan negara atau penguasa, maka

secara umum, kedudukan si terdakwa tidak mungkin disamakan

dengan penyidik dan penuntut umum dalam proses pemidanaan.

Meskipun sifat akuisator yang dianut dalam perkara pidana saat ini,

terdapat kecenderungan proses peradilan pidana yang mengarah

kepada adversary system.24

Undang-undang sudah memberikan hak-hak bagi Tersangka

sebagaimana diatur dalam Bab VI, pasal 50 sampai pasal 68 KUHAP.

Hal penting yang ditemukan oleh penulis adalah belum adanya batas

waktu kapan seseorang menyandang status tersangka. Pada pasal 50

KUHAP memuat kata “segera” namun undang-undang tidak memberi

penjelasan. Kata “segera” ini membuat multitafsir bagi aparat penegak

hukum sehingga meimbulkan ketidakpastian hukum sampai kapan

tersangka menyandang statusnya sebagai tersangka.

“Segera” secara pengertian bahasa bisa diartikan “secepat

mungkin” atau “sekarang juga” tanpa menunggu lebih lama. Motivasi

22 E. Nurhaini Butarbutar, Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan dan Pengaturannya Dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No. 3 September 2011, Hal 456, http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/ JDHvol112011/VOL11S2011%20E%20NURHAINI%20BUTARBUTAR.pdf

23 ibid 24 ibid

Page 111: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 103

pemberian hak agar segera diperiksa bisa dibaca pada penjelasan pasal

50:25

a. untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katung nasib orang

yang disangka

b. jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan, sehingga

dirasakan tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan

sewenang-wenang dan ketidak wajaran

c. demi mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pada masa HIR jarak antara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan

terkadang hampir tak mampu dijangkau oleh masyarakat yang mencari

keadilan. Dengan jauhnya antar instansi satu dengan yang lain sehingga

harus ditempuh dengan waktu yang lama dan membuat tersangka

merasa lelah karena tidak ada kepastian kapan pemeriksaan dirinya

atau status tersangkanya berakhir.

Ketiadaan limitasi status tersangka merupakan implikasi dari

kekosongan hukum pengaturan batas waktu penyidikan oleh penyidik

dalam KUHAP yang merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum

dalam menjalankan tugasnya menegakan hukum pidana materiil,

khususnya bagi para Penyidik.

Tidak ada Pembatasan jangka waktu penyidikan, atau lebih tepatnya

jangka waktu penyidikan setelah ditetapkannya tersangka, tentu

berpotensi memunculkan kesewenangan yang dapat melanggar hak

asasi manusia, terlebih dalam penyidikan dapat terjadi upaya paksa.

Apakah misalnya seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka

kemudian berkas perkaranya tidak juga dilakukan penuntutan dengan

dilimpahkan ke pengadilan dapat mengajukan gugatan praperadilan

dengan alasan penghentian penyidikan misalnya. Pengadilan juga tidak

mudah menentukan, karena memang batasan waktu untuk itu tidak

ditentukan dalam hukum acara (baik KUHAP maupun UU KPK).

Dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, alat ukur untuk

dapat ditetapkannya seseorang sebagai tersangka adalah bukti permulaan

yang cukup, lebih lanjut dijelaskan sebagai alat bukti untuk menduga

adanya suatu tindak pidana adalah mensyaratkan minimal satu laporan

polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur

dalam Pasal 184 KUHAP. Hanya untuk dapat menilai apakah penetapan

tersangka tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tidak

dapat diuji dan mutlak kewenangan dari penyidik. Berbeda dengan

tindakan penyidik seperti penangkapan, penahanan atau upaya paksa

25 M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 85.

Page 112: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

104 BAB III

lainnya, meski dalam perkembangannya penetapan tersangka membawa

konsekuensi yang tidak ringan bagi penyandang status tersangka.

Lembaga praperadilan yang diberi kewenangan untuk itu ternyata tidak

mengakomodir pengujian apakah penetapan tersangka telah memenuhi

bukti permulaan yang cukup tersebut.26

Adalah tepat sekali ucapan Del Vasechio, manusia adalah ius

iuridicus (manusia hukum), oleh karena hukum dan manusia sepanjang

hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan, kalau manusia ingin

hidup aman, tenteram, damai, adil dan makmur. Kalau kita melihat isi

hukum dalam suatu negara/masyarakat tentunya terkait dengan faktor

sosio-kulturalnya. Dengan demikian setiap orang yang bergerak dalam

bidang hukum, harus mempunyai pengetahuan pula tentang sistem

politik, sosial, budaya yang ada. Kiranya wajar pula di dalam meminta/

mengajukan bagaimana pelaksanaan keadilan sebagai salah satu

refleksi pelaksanaan hak asasi manusia tertuju kepada pemerintah. Hak

asasi pada tahap pelaksanaannya masuk persoalan hukum dan harus

diatur melalui hukum, artinya landasan hukum yang ada dan memuat/

mengatur hak asasi manusia harus tetap dijaga oleh pemerintah.

Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana

kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar, demikian juga

hukum dan institusi, tidak perduli betapapun efisien dan rapinya, harus

direformasi atau dihapuskan apabila tidak adil.27

Salah satu asas terpenting dalam Hukum Acara Pidana ialah asas

praduga tak bersalah. Bersumber pada asas ini maka jelas dan sewajarnya

bahwa tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib

mendapat hak-haknya. Ini berarti bahwa setiap orang yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan

wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam

Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur

dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi:

26 ibid 27 John Rawls, Op.Cit. hlm. 3-4.

Page 113: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 105

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

M. Yahya Harahap mengenai penerapan asas praduga tak bersalah,

Yahya Harahap menulis sebagai berikut:28

“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki

hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”

Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal The Limits of the Criminal

Sanction, mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan

Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM).

Dalam praktiknya, pertama, crime control model lebih mengutamakan

profesionalisme pada aparat penegak hukum untuk menyingkap, mencari

dan menemukan pelaku tindak pidana. Profesional yang merupakan

sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar dan

kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini

memaksakan cara-cara ilegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga

untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan

kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam

kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai

kurang manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia.29

Kemudian model yang kedua yakni due process model dengan ciri-ciri

selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif

(dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas

dasar legal guilt dan selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan

hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati

undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi

setiap orang di depan hukum (quality control). Sehingga model ini dikatakan

orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi Manusia.30

Dapat dikatakan dari sinilah, model sistem peradilan, due proces

model, due proces of law ada implementasi unsur Hak Asasi Manusia

dalam Hukum Acara Pidana. Dan memang asas praduga tak bersalah

28 Yahya Harahap, Op.Cit,hal:34 29 http://www.negarahukum.com/hukum/asas-praduga-tak-bersalah.html, diakses

pada 10 Juli 2017 Pukul 13.00 Wib 30 ibid

Page 114: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

106 BAB III

oleh berbagai penulis seperti Harahap (2002), dan Hamzah (2006)

mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah

satu penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip praduga tak bersalah

pada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.Asas hukum

praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum

Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas

hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik-liberalistik

yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Hak

seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan

pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)

sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil

maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights

seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan

hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).31

Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak,

praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor

4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan

Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Rumusan kalimat dalam

Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP

adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/

atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah

sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan

telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Rumusan kalimat tersebut di

atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga

tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2, Konvenan Internasional tentang

Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat

singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to

be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Sebagai seorang yang belum dinyatakan bersalah, maka ia mendapat

hak-hak seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap

penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh Pengadilan dan

mendapat putusan seadil-adilnya, hak untuk diberi tahu tentang apa yang

disangkakan/didakwakan kepadanya dengan bahasa yang dimengerti

olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk mendapatkan

bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya.

Secara garis besar dapat ditarik satu pemikiran bahwa implikasi

ketika status tersangka tidak diberikan limitasi waktu, maka akan

terjadi kesewenang-wenang yang menimpa diri tersangka, terzoliminya

hak tersangka akan berdampak buruk secara umum terhadap sistem

31 ibid

Page 115: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 107

peradilan pidana, sebagai sebuah sistem maka sistem peradilan pidana

dianggap tidak taat asas yakni asas check dan balance. Dari sisi sosiologis

juga muncul stigma negatif bagi tersangka yang terkatung-katung

nasibnya dalam arti perkaranya tidak segera disidangkan ke pengadilan,

karena masyarakat awam meliat bahwa tersangka itu adalah benar

pelaku kejahatan tersebut, walaupun sejatinya tersangka dilindungi asas

praduga tidak bersalah.

3. Ketentuan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Oleh Penyidik KPK

Undang-Undang KPK memberi amanat kepada KPK sebagai lembaga

Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.32 Dasar

kewenangan KPK dalam melaksanakan kewajiban, kewenangan dan

tugasnya tetap berpedoman pada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK memiliki wewenang dalam penyelidikan dan penyidikan seperti

Polri namun terkhusus kepada tindak pidana korupsi.33 namun bedanya

adalah KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Untuk

mekanisme penyelidikan dan penyidikan masih bersandar kepada KUHAP.

32 Lihat Pasal 3 UU No 30 tahun 2002 33 Dijelaskan dalam pasal 6 UU KPK bahwa tugas dari KPK adalah:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan negara. f. KPK bertugas menetapkan status kepemilikan gratifikasi Sebagaimana dimaksud

pada Pasal 17 ayat (1) dengan Keputusan Pimpinan KPK (Pasal 17 ayat (3) UU KPK); g. Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan (Pasal

17 ayat (6) UU KPK); h. KPK bertugas membentuk panitia seleksi untuk memilih Tim Penasihat KPK (Pasal 22

ayat (2) UU KPK); i. KPK bertugas membuat keputusan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan

pegawai KPK (Pasal 24 ayat (3) UU KPK); j. KPK juga bertugas sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU KPK, yaitu antara lain: k. Menetapkan kebijakan dan tata cara organisasi mengenai Pelaksanaan tugas dan

wewenang KPK; l. Mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala

Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada KPK; m. Menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.

Page 116: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

108 BAB III

Tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi

dalam UU KPK adalah:

1. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi.

2. Berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan

orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara

negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau;

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah);

Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif,

bukan limitatif ataupun kumulatif. Dalam melaksankan tugas

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka,

terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau

terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan, dan

perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi

serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa

yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya

dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum

negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan

penyitaan barang bukti ke luar negeri;

Page 117: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 109

i. Meminta bantuan Kepolisian dan Instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang

ditangani.

4. Penafsiran Kata “Segera” Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013

a. Posisi Kasus

Irmania Bachtiar alias Mama Nio merupakan istri dari

pemohon Hendry Batoarung Ma‟dika alias Papa Nio ditangkap oleh

Kepolisian Resort Tana Toraja pada 28 September 2012 karena diduga

mengedarkan narkoba. Pada saat penggeledahan, polisi menemukan

satu plastik kosong bekas menyimpan sabu-sabu.

Pihak keluarga baru mengetahui Mama Nio ditetapkan menjadi

tersangka dan telah ditahan pada 22 Oktober 2012 (24 hari setelah

ditangkap). Dengan alasan keterlambatan pemberitahuan itulah

upaya praperadilan yang diajukan oleh keluarga tersangka kemudian

ditolak oleh Pengadilan Negeri Makale, Sulawesi Selatan.

b. Pertimbangan Hakim

Dalam pertimbangan Hakim menjelaskan bahwa frasa “segera”

pada pasal a quo dapat diartikan bahwa dalam hukum acara pidana,

setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka, pemberitahuan

kepada keluarga tersangka harus disampaikan dalam waktu yang

singkat agar tersangka dapat segera mendapatkan hak-haknya.

Apabila pemberitahuan tersebut tidak segera disampaikan maka

berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak tersangka,

karena keberadaan dan status hukum dari yang bersangkutan tidak

segera diketahui oleh keluarga. Menurut Mahkamah, tidak adanya

rumusan yang pasti mengenai lamanya waktu yang dimaksud

dengan kata “segera” dalam pasal a quo dapat menyebabkan pihak

penyidik menafsirkan berbeda untuk setiap kasus yang ditangani.

Hal seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan

berpotensi menimbulkan ketidakadilan oleh pihak penyidik;

Menurut hukum acara pidana segala upaya paksa yang

dilakukan dalam penyidikan maupun penuntutan oleh lembaga

yang berwenang dapat dikontrol melalui lembaga praperadilan.

Hal ini diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.

Dalam ketentuan tersebut, tersangka memiliki hak untuk

mengajukan praperadilan terhadap pelanggaran tertentu yang

dilakukan oleh pihak penyidik dalam proses penyidikan, yang

di dalamnya termasuk penangkapan dan penahanan. Apabila

Page 118: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

110 BAB III

ketentuan yang dipermasalahkan tidak memiliki rumusan yang

jelas maka hal tersebut menjadi permasalahan norma, bukan lagi

hanya permasalahan pelanggaran dalam implementasi norma.

Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 18 ayat (3)

KUHAP tidak memenuhi asas kepastian hukum yang adil karena

dalam pelaksanaan menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Penafsiran yang berbeda oleh para penegak hukum selanjutnya

dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka,

sehingga menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon

beralasan menurut hukum, namun demikian, apabila ketentuan

Pasal 18 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak memiliki kekuatan

hukum yang mengikat maka justru dapat menghilangkan

kewajiban penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah

penangkapan tersebut, sehingga justru menimbulkan pelanggaran

terhadap asas perlindungan hukum dan kepastian hukum. Oleh

karena itu, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu

menafsirkan mengenai frasa “segera” pada ketentuan Pasal 18 ayat

(3) KUHAP;

Kemudian menurut Mahkamah pula, dengan mempertimbangkan

perkembangan dalam sarana dan prasarana telekomunikasi

serta surat menyurat, jangka waktu yang patut bagi penyidik

untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan

kepada keluarga tersangka adalah tidak lebih dari 3 x 24 jam sejak

diterbitkan surat penangkapan tersebut. Walaupun demikian,

dengan mempertimbangkan pula perbedaan jarak, cakupan dan

kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia,

terdapat kemungkinan dibutuhkan jangka waktu yang lebih dari 3

x 24 jam untuk penyampaian salinan surat perintah penangkapan

kepada para keluarga tersangka yang berada di wilayah administratif

yang berbeda, atau berada di kota/kabupaten atau provinsi yang

berbeda dengan tempat tersangka tersebut ditangkap dan/atau

ditahan, oleh karena itu dibutuhkan penafsiran yang dapat

diterapkan secara umum untuk mengakomodasi perbedaan

kondisi tersebut dengan tetap mengutamakan kepastian hukum.

Dalam hal ini, waktu 7 (tujuh) hari merupakan tenggat waktu yang

patut untuk menyampaikan salinan surat perintah penahanan

tersebut. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka sesuai

dengan asas kepatutan dan kepastian hukum, frasa “segera” dalam

rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Tembusan

surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Page 119: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 111

harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan

dilakukan.” haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”.

c. Amar Putusan

Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yakni

Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak

lebih dari 7 (tujuh) hari”; dan Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor

76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “segera dan

tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”

d. Implikasi Putusan MK terhadap Limitasi Jangka Waktu Penyidikan

oleh KPK

Mahkamah berpendapat frasa „segera‟ di dalam Pasal 18 ayat (3)

KUHAP bisa diartikan setelah tersangka ditangkap, pemberitahuan

kepada keluarga tersangka harus disampaikan dalam waktu singkat

agar tersangka segera mendapat hak-haknya. Apabila pemberitahuan

itu tak segera disampaikan berpotensi menimbulkan pelanggaran

hak tersangka karena keberadaan dan status hukum tidak segera

diketahui keluarganya. Penafsiran frasa “segera” dari Putusan MK

ini ternyata tidak berpengaruh terhadap batas dari penyidikan yang

selama ini membuat status tersangka seseorang menjadi terkatung-

katung dan tidak jelas.

Menurut Mahkamah ketiadaan rumusan pasti mengenai lamanya

waktu kata „segera‟ dalam pasal itu dapat menyebabkan pihak penyidik

menafsirkan berbeda-beda dalam setiap kasus yang ditangani.

Perbedaan semacam itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum

dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan oleh pihak penyidik.

“Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak memenuhi asas kepastian

hukum yang adil karena dalam pelaksanaan menimbulkan

penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda ini dapat

menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka,

sehingga menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon

beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida

Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Page 120: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

112 BAB III

Namun, apabila Pasal 18 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat justru dapat menghilangkan

kewajiban penyidik menyampaikan salinan surat perintah

penangkapan itu yang menimbulkan pelanggaran terhadap asas

perlindungan hukum dan kepastian hukum. Karena itu, demi

kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu menafsirkan mengenai

frasa „segera‟ pada Pasal 18 ayat (3) KUHAP.

Dalam hal ini, waktu 7 (tujuh) hari merupakan tenggat waktu

yang patut untuk menyampaikan salinan surat perintah penahanan

tersebut. Karenanya, sesuai dengan asas kepatutan dan kepastian

hukum, frasa „segera‟ dalam rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang

menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera

setelah penangkapan dilakukan.” haruslah dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih

dari 7 (tujuh) hari.”

C. Kedudukan Tersangka dalam Hukum Acara Pidana

Kehadiran hukum acara pidana sebagai hukum pidana formil dimaksudkan

untuk memberi keadilan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali karena dalam

hukum acara pidanalah diatur mekanisme untuk menegakan hukum pidana

materiil. Fungsi terpenting dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

menemukan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran materiil,

kebenaran yang selengkap-lengkapnya atau setidaknya mendekati kebenaran

dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana

secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya dimintakan

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah

terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang

didakwaitu dapat dipersalahkan.34

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana menerapkan ketentuan

hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari

siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran

hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan

guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan

dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.35

34 Tolib Effendy, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana (Malang: Setara Press, 2014), Hlm. 5 35 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Hal 7-8),

Page 121: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 113

Sebelum mencari siapa yang bertanggungjawab atas suatu tindak

pidana di persidangan, maka diawali terlebih dahulu tindakan penyelidikan

dan penyidikan di tingkat kepolisian. Penyelidikan dilakukan sebelum

penyidikan yakni sasaran yang dituju adalah “mencari” dan “menemukan”

tersebut adalah “suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. setelah

penyelidikan dilanjutkan kepada penyidikan untuk kemudian dalam tahap ini

ditemukanlah Tersangkanya. Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka,

dia memiliki hak-hak dalam menjalani proses pemeriksaan, salah satunya

adalah berhak segala diproses perkaranya yakni pada tingkat penyidikan,

tingkat penuntutan maupun tingkat persidangan.

Subjek dalam tahap penyidikan adalah tersangka. Dari tersangka pula

kemudian diperoleh keterangan terkait peristiwa pidana yang diperiksa. Oleh

karena itu seorang Tersangka harus dijunjung tinggi martabatnya dan tidak

diperlakukan semena-mena karena yang diperiksa adalah kesalahan atas

perbuatan dari diri tersangkalah yang menjadi objek pemeriksaan penyidik.

Dalam pemeriksaan tersangka harus pula memperhatikan prinsip hukum

“praduga tidak bersalah” (presumption of innocent) yakni tersangka harus

dianggap tidak bersalah hingga diperoleh putusan pengadilan yang telah

berkekuatan tetap.

Mengenai definisi tersangka yakni seorang berdasarkan pada bukti permulaan

kemudian patut diduga sebagai pelaku tindak pidana akibat dari perbuatannya

atau keadaannya.36 yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah alat bukti

berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk

menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk

dapat dilakukan penangkapan (Pasal 1 angka 21 Perkapolri 14/2012).

Menurut Leden Marpaung, rumusan definisi tersangka dalam KUHAP

belum lengkap mengingat yang dapat ditetapkan sebagai Tersangka bukan

saja dia sebagai “Pelaku Tindak Pidana” saja, tetapi bisa pula “orang yang

menyuruh”, “orang yang membantu dan “orang yang membujuk”.

D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka Dalam Perspektif Hukum

Acara Pidana

1. Hak Asasi Tersangka dalam perspektif Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia

Isu tentang Hak Asasi Manusia sebenarnya bukan ”barang” yang baru,

karena sesungguhnya masalah Hak Asasi Manusia sudah disinggung oleh

Hlm. 7-8. 36 Pasal 1 butir 14 KUHAP berbunyi:”tersangka adalah seorang yang karena

perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;

Page 122: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

114 BAB III

para ”founding father” Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit

yakni di dalam alinea 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang isinya

menyatakan ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu dan oleh sebab

itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan

perikemanusiaan dan peri keadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap

HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat

disebut sebagai negara yang berdasar atas hukum. Rasionya bahwa dalam

negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut:

1. Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

2. Asas legalitas,

3. Asas pembagian kekuasaan,

4. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak dan,

5. Asas kedaulatan rakyat.

Bahwa kemerdekaan dan kebebasan seseorang mencakup

pengertian, ruang lingkup dan aspek yang sangat luas. Salah satu aspek

yang sangat mendasar ialah kemerdekaan dan kebebasan seseorang

untuk bergerak, bepergian ke mana saja atau untuk berhubungan

dan berkomunikasi dengan siapa saja. Oleh karena itu perampasan

dan pembatasan kemerdekaan bergerak seseorang (yang dilihat dari

sudut hukum pidana dapat berupa tindakan penangkapan, penahanan

dan pidana perampasan kemerdekaan) hanya dibenarkan apabila

berdasarkan peraturan yang berlaku. Perampasan dan pembatasan

kemerdekaan berdasarkan peraturan yang berlaku mengandung arti

bahwa ada hak orang yang ditangkap, ditahan atau dijatuhi pidana

perampasan kemerdekaan:

1. untuk mengetahui dasar-dasar alasan penangkapan, penahanan

atau penjatuhan pidana atas dirinya.

2. untuk memperoleh rehabilitasi atau konpensasi, apabila penangkapan

penahanan atau penjatuhan pidana itu tidak berdasarkan hukum

yang berlaku.

3. untuk mendapatkan perlakuan dan hak-hak sesuai dengan

peraturan yang berlaku selama masa penangkapan, penahanan atau

pemidanaan atas dirinya.

Permulaan pelaksanaan hak asasi manusia dengan baik dari segi

hukum dibuktikan dengan kelengkapan hukum positif aplikatifnya.

Tanpa ini asas atau pokok hak asasi manusia di dalam Undang-Undang

Dasar 1945 masih tetap sesuatu yang di atas. Sehubungan dengan hal

tersebut kalau kita mengaitkan dengan ketentuan hukum Indonesia,

Page 123: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 115

asas perlindungan hak asasi manusia antara lain telah tertuang dalam

KUHAP, yaitu beberapa asas antara lain:

1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan

tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya

dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi

wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan

cara yang diatur dengan undang-undang.

3. Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan

dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai

adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili

tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya ataupun hukum yang diterapkan

wajib diberi ganti kerugian atau rehabilitasi sejak tingkat penyidikan

dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena

kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut,

dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya

ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara

konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan

memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk

melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.

7. Kepada seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau

penahanan selalu wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang

didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak

untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.

8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali

dalam hal yang diatur dalam undang-undang.

10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana

dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Berbagai asas Hak Asasi Tersangka baik secara hukum acara

pidana nasional terdapat persamaan antara ketentuan ICCPR, UDHR

dan ketentuan lain yang dianut dalam hukum pidana materiil maupun

hukum pidana formal Indonesia:37

37 O.C Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Page 124: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

116 BAB III

HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum

Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP

Hak atas peradilan yang fair, independen dan tidak memihak

Pasal 10 UDHR Pasal 14 ayat (1) ICCPR Pasal 7 ayat (3) Convention againts

torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment Pasal 6 ayat (1) convention for the

protection of human rights and fundamental freedoms

Pasal 8 ayat (1) american convention on human rights

Tidak secara nyata dipandang sebagai hak tersangka/terdakwa/ terpidana, tetapi diakui sebagai prinsip dasar peradilan. Misalnya ketentuan Pasal 5 UU No. 4/2004 tentang kekuasaan kehakiman

Hak atas persumption of

innocence

Pasal 11 UDHR Pasal 14 ayat (2) ICCPR Pasal 6 ayat (2) convention for the

protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 40 ayat (2) huruf b (i) convention on the rights of the child

Pasal 75 ayat (2) huruf d protocol additional to the geneva conventions of victims of internationals armed conflict Pasal 17 ayat (2) huruf c (i) african charter on the rights and welfare of the child Pasal 8 ayat (2) american convention on human rights Pasal XXVI american declaration of the rights and duties of man Pasal 39 magna carta

Pasal 8 UU No. 4/2004 tentang kekuasaan kehakiman

Hak atas peradilan yang terbuka untuk umum

Pasal 10 UDHR Pasal 14 ayat (1) ICCPR

Pasal 153 ayat (3) Pasal 19 ayat (1) No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Persamaan kedudukan di depan hukum

Pasal 14 ayat (1) ICCPR Pasal 5 huruf a internatinal convention

on the elimination of all forms of racial discrimination Pasal 16 ayat (2) convention relating to the status of Refugees

Pasal 3 genewa conventio n of 12 august 1949 Pasal 16 piagam madinah tahun 622 M

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Hak untuk diberitahukan tentang sangkaan/ dakwaaan terhadapnya

Pasal 14 ayat (3) huruf a ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (i) convention for the protection of human rights and fundamental freedoms

Pasal 40 ayat (2) huruf b (ii) convention on the rights of the child

Pasal 51 KUHAP

Terdakwa, (Bandung: Alumni, 2013), hal 107

Page 125: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 117

HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum

Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP

Pasal 75 ayat (1) dan (2) huruf a protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict Pasal 17 ayat (2) huruf c (ii) african charter on the rights and welfare of the child

Hak untuk menunjuk penasihat hukum dan hak atas waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan

Pasal 14 ayat (3) huruf b ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (b) dan (c) convention for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 17 ayat (2) huruf c (iii) african charter on the rights and welfare of the child

Pasal 55 dan 56 KUHAP mengenai penunjukan penasihat hukum, namun belum ada ketentuan mengenai hak atas waktu yang cukup untuk menyusun pembelaan

Hak untuk diadili secepatnya

Pasal 14 ayat (3) huruf c ICCPR Pasal 40 ayat (2) huruf b (ii) convention on the rights of the child Pasal 17 ayat (2) huruf c (iv) african charter on the rights and welfare of the child Pasal 40 magna carta 1215

Tidak secara nyata dipandang sebagai hak tersangka/ terdakwa/ terpidana tetapi tetap diakui sebagai prinsip dasar peradilan. Misalnya ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 4 /2004 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 50 ayat (2)

Hak untuk membela diri secara langsung atau lewat penasihat hukum atas biaya sendiri atau biaya negara

Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR Pasal 40 ayat (2) huruf b (ii) convention on the rights of the child Pasal 8 ayat (2) huruf d american convention on human rights

Pasal 56 ayat (2) KUHAP Secara implisit dalam Pasal 60-63 KUHAP

Hak untuk diadili dengan kehadirannya

Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR Pasal 75 ayat (2) huruf e protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict

Pasal 154 ayat (2), (3) dan (4) KUHAP

Hak untuk menguji pernyataan saksi a charge di hadapan sidang

Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (d) convention

for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 75 ayat (2) huruf g protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict

Pasal 8 ayat (2) huruf f american convention on human rights

Pasal 164 ayat (2) KUHAP

Page 126: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

118 BAB III

HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum

Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP

Hak untuk menghadirkan saksi a charge di hadapan sidang

Pasal 14 ayat (3) huruf e ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (d) convention

for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 75 ayat (2) huruf g protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict

Pasal 116 ayat (3) KUHAP

Hak untuk meminta penerjemah

Pasal 14 ayat (3) huruf f ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (e) convention

for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 40 ayat (2) huruf b (vi) convention on the rights of the child Pasal 8 ayat (2) huruf a american convention on human rights

Pasal 53 ayat (1) KUHAP

Hak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya atau mengaku bersalah

Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR Pasal 40 ayat (2) huruf b (iv) convention on the rights of the child Pasal 75 ayat (2) huruf F protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict

Secara implisit termasuk dalam Pasal 52 KUHAP

Hak atas upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi

Pasal 14 ayat (5) huruf g ICCPR Pasal 2 protokol ke-7 dari convention for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 40 ayat (2) huruf b (iv) convention on the rights of the child Pasal 8 ayat (2) huruf h american convention on human rights

Bab XVII dan XVIII KUHAP Pasal 66 UU No. 5/2004 tentang Mahkamah Agung

Hak untuk ganti rugi apabila terjadi kesalahan penerapan peradilan

Pasal 14 ayat (6) huruf g ICCPR Pasal 3 protokol ke-7 dan Pasal 13 dari convention for the protection of human rights and fundamental freedoms individuals, groups and organs of society to promote an protect universally recognized human rights and fundamental freedoms

Pasal 68 ayat KUHAP, namun dalam praktik belum pernah dilaksanakan

Hak untuk tidak diadili atas perbuatan yang substansi materinya sama

Pasal 14 ayat (7) huruf g ICCPR Pasal 4 protokol ke-7 dari convention for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 75 ayat (2) huruf h protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict

Pasal 63 ayat (1) KUHP

Page 127: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 119

HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum

Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP

Hak atas non- retroaktif

Pasal 15 ayat (2) huruf g ICCPR Pasal 24 rome statute of the international criminal court

Pasal 28 huruf (i) UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) KUHP

Hak atas Pasal 15 ayat (1) huruf g ICCPR Pasal 1 ayat (2) KUHP keringanan Pasal 7 ayat (1) convention for the hanya sebelum suatu hukuman protection of human rights and putusan berkekuatan manakala terjadi fundamental freedoms hukum tetap. mengenai perubahan Pasal 75 ayat (2) huruf c protocol ketentuan keringanan peraturan yang additional to the geneva conventions hukuman karena

meringankan of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international

perubahan peraturan terjadi sesudah putusan

armed conflict pemidanaan, belum diatur.

2. Hak Tersangka Dalam KUHAP

Hukum sebagai sarana penting dalam perlindungan terhadap Hak

Asasi Tersangka. Tersangka biasanya adalah merupakan pihak yang diambil

sebagian kemerdekaan pribadinya, misalnya dia ditangkap, ditahan, disita

barangnya dan sebagainya. Padahal hak-hak seperti itu merupakan hak yang

penting bagi seseorang. Oleh karena itu hukum perlu benar-benar menjamin

dan mengawasi agar pengambilan hak tersangka tersebut tidak dilakukan

secara sewenang-wenang atau secara berlebih-lebihan.38 Dalam KUHAP

diatur tentang hak-hak tersangka yakni dalam proses penyidikan yakni:

a. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan. Tersangka berhak segera

mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik yang selanjutnya dapat

diajukan kepada penuntut umum, dan tersangka berhak perkaranya

segera dimajukan oleh pengadilan ke penuntut umum (Pasal 50 ayat

1 dan ayat 2).

b. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa

yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya

pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51)

c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,

tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara

bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP).

d. Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan.

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,

tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat juru

bahasa (Pasal 53 ayat 1, lihat juga Pasal 177).

38 Munir Fuаdi dаn Sylviа Lаurа L. Fuаdy, Hаk-Hаk АsаsiTersаngkа Pidаnа, (Jаkаrtа: Kencаnа, 2015), Hlm. 7.

Page 128: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

120 BAB III

e. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat

pemeriksaan. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau

terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih

penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat

pemeriksaan, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang/

KUHAP (Pasal 54)

f. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum. Untuk mendapatkan

penasihat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri

penasihat hukumnya (Pasal 55).

g. Hak untuk berubah menjadi wajib untuk mendapat bantuan hukum.

Wajib bagi tersangka mendapat bantuan hukum bagi tersangka

dalam semua tingkat pemeriksaan jika sangkaan yang disangkakan

diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana minimal 15 tahun

atau lebih (Pasal 56).

h. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak

menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam

KUHAP (Pasal 57).

i. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak

menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk

kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses

perkara maupun tidak (Pasal 58).

j. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak

diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang

berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses

peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan

tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya

dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan

bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya (Pasal 59).

k. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima

kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau

lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan

bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan

bantuan hukum (Pasal 60).

l. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan

perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima

kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya

dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan

pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).

m. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan

perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat

Page 129: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 121

hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya,

untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat

tulis-menulis (Pasal 62).

n. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima

kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).

o. Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka

untuk umum (Pasal 64).

p. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan

saksi dan atau seorang yang mempunyai keahlian khusus guna

memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65).

q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian

(Pasal 66).

r. Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan

rehabilitasi (Pasal 68. Lihat juga Pasal 95)

E. Landasan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan oleh KPK Setelah Penetapan

Tersangka Berdasarkan Putusan Praperadilan Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia

1. Landasan Ontologis

Ontologi mempermasalahkan apakah sesungguhnya hakikat

realitas yang ada kini, apakah realitas ini terbentuk dari satu unsur

(monisme), dua unsur (dualisme) ataukah lebih dari dua unsur

(pluralisme)? Paham ontologi ini yang ada pada akhirnya akan

menentukan pendapat bahkan “keyakinan: kita masing-masing

mengenai apa dan bagaimana (yang) yang ada“ sebagaimana

manifestasi yang kita cari

Menurut Soetandyo Wigonosoebroto, aspek ontologis dalam hukum

dapat dibagi menjadi 5 bagian yakni:

a. Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku

universal

b. Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu

negara

c. Putusan hakim in concreto, yang tersistematisasi sebagai judge

made law

d. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel

sosial yang empirik.

e. Manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana

tampak dalam interaksi di antara mereka.

Page 130: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

122 BAB III

Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap

kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan

antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma

(nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan

hukum kongkrit. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan

masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau

individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa

yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan

pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.

Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat

mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman

tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak,

mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan

(presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan

cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma

atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau

temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum

kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal diatas maka landasan ontologis dalam pemberian

kewenangan bagi lembaga praperadilan dalam memutuskan jangka

waktu penyidikan penulis gambarkan dalam bagan sebagai berikut:

2. Landasan Epistimologi

Epistemologi menunjukan proses mendapatkan materi pengetahuan

(ilmiah), strukturnya, metodenya dan validitasnya dan menyusunnya

menjadi batang tubuh pengetahuan (body of knowledge).39

Epistimologi ditinjau dari aspek etimologi adalah sebuah kata yang

berasal dari bahasa yunani, gabungan dari kata episteme artinya

39 Jujun S. Suriа Sumаntri, Op. Cit

Page 131: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 123

pengetahuan dan logos biasanya untuk menunjukan adanya pengetahuan

sistematik. Jika digabungkan dapat diartikan sebagai pengetahuan

sistematik mengenai pengetahuan.

Jangka waktu penyidikan yang belum diatur kapan berakhirnya

membuat ketidakpastian hukum bagi tersangka. Hal ini melanggar hak-

hak asasi tersangka yakni untuk segera diadili.

Asas penting dalam hukum acara pidana salah satunya adalah asas

praduga tidak bersalah, yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh

dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap. oleh karena itu, saat seseorang ditetapkan sebagai

tersangka harus diperhatikan hak-haknya untuk menghindari perlakuan

semenan-mena dari penguasa dan stigma negatif di masyarakat.

Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang

bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka.

Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan

ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak

asasi tersangka atau terdakwa. Demi untuk terlaksananya kepentingan

pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang memberi kewenangan

kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya

paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap

upaya paksa yang dilakukan penyidik penuntut umum terhadap tersangka,

pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:

Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan

pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.

Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-

undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan

perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan

terhadap hak asasi tersangka.

3. Landasan Aksiologis

Aksiologis menunjukan manfaat ilmu atau nilai ilmu untuk

kemaslahatan manusia, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup

dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian

alam.

Konkritnya, dari aspek tersebut Aksiologi Ilmu Hukum akan

berkoleratif terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Ilmu Hukum bersifat

dinamis dalam artian mempunyai pengaruh dan fungsih yang khas

dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Apabila dijabarkan

secara intens, detail dan terperinci maka peran/pengaruh Ilmu Hukum

Page 132: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

124 BAB III

tersebut dari aspek Axiologi Ilmu adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam proses pembentukan hukum Ilmu Hukum melalui

hasil-hasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina sebagai bahan

masukan yang penting dalam rangka menjadi masukan untuk menyusun

RUU (Rancangan Undang-Undang) sehingga diharapkan nantinya

Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi maksimal karena telah

memenuhi analisis, filosofis, yuridis dan sosiologis;

Kedua, dalam praktek hukum lazim pada proses peradilan oleh

hakim, jaksa/Penuntut Umum, Penasehat Hukum dipergunakan

pendapat para doktrina untuk menyusun putusan, tuntutan dan

pembelaan. Dari aspek ini merupakan perpaduan antara dunia teori

dan dunia praktek;

Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan

hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang

akan berpengaruh kepada mutu pendidikan hukum dan lulusannya dan;

Keempat, bahwa dengan pesat dan majunya Ilmu Hukum akan

menarik, memacu dan berpengaruh kepada perkembangan bidang-

bidang lainnya diluar hukum. Peranan Ilmu Hukum disini nampak

kepada bidang-bidang yang memerlukan suatu kejelasan dan

pengaturan dimana suatu sistem hukum berusaha mengatur bidang

yang bersifat progresif dan interventif; Sedangkan fungsi Ilmu Hukum

dari aspek Axiologi Ilmu Nampak dalam: Pertama, bahwa Ilmu hukum

berusaha mensistemasi bahan-bahan hukum yang terpisah-pisah

secara komprehensif dalam suatu buku hukum seperti: Kondefikasi,

Unifikasi dan lain-lain; Kedua, Bahwa adanya fungsi Ilmu Hukum yang

mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dan diperlukan oleh

bidang-bidang lain serta sehingga sebagai pencerahan guna mengatasi

kesulitan dan kebuntuan yang meluas dalam dunia hukum khususnya

terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legaliti.

Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan alat kontrol dilakukan

sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan berarti terhadap seseorang

yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana

diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak

tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan

tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa

telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-

tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa

yang telah ditentukan undang-undang.

Page 133: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 125

Bagan landasan aksiologis limitasi jangka waktu penyidikan

Page 134: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

126 BAB III

Page 135: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BAB IV

PENGATURAN MASA YANG AKAN DATANG

TERKAIT KEWENANGAN LEMBAGA

PRAPERADILAN DALAM MEMBERIKAN BATAS

WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PASCA PUTUSAN PRAPERADILAN

Hasil dari penelitian sebagaimana telah dibahas di bab sebelumnya

belum menemukan limitasi jangka waktu penyidikan kasus korupsi pasca

putusan pra peradilan. Keadaan ini tentu membuat para tersangka korupsi

yang sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan putusan Praperadilan

menjadi terkatung-katung dan tidak jelas sehingga berimplikasi kepada

pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah dan hak-hak tersangka

yakni untuk secepatnya diadili guna menyelesaikan permasalah ini harus

ditempuh langkah nyata dalam mengatasi ketiadaan aturan dalam limitasi

jangka waktu penyidikan ini.

Kehadiran KUHAP awalnya diposisikan untuk menggeser kedudukan

Hukum Acara Pidana peninggalan kolonial yang sudah lama bercokol dan

menghadirkan kondisi dishumanistik. Sebagai hukum positif berlakunya

KUHAP berarti secara yuridis normatif telah menamatkan riwayat dan

wilayah kerja HIR (Hukum Acara Pidana yang lama). Cukup wajar jika

sebagian ahli kita berasumsi dan menempatkan KUHAP sebagai mahakarya

sebagai karya agung bangsa Indonesia sebab selain dianggap lahir dari watak,

adat, istiadat dan kultur bangsa Indonesia sendiri yang sudah diantisipasi

secara selektif, juga pasal-pasal yang diintegrasikan dalam KUHAP dapat

mewakili dan memproteksi kepentingan masyarakat. Kehadiran KUHAP

merupakan bentuk modernisasi hukum acara pasa HIR.1

1 Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Badan

Page 136: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

128 BAB IV

Pada saat suatu undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legislatif,

semua berpendapat sudah baik dan sempurna. Akan tetapi, pada saat

diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan seribu

macam masalah konkreto yang tidak terjangkau dan terpikirkan pada saat

pembahasan dan perumusan. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak

dapat dibantah. Karena kenyataan teresbut disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya:2

1. Keterbatasan manusia diprediksi secara akurat apa yang terjadi di masa

yang akan datang.

2. Kehidupan masyarakat manusia baik sebagai kelompok dan bangsa

(nasional, regional dan internasional) mengalami perubahan masyarakat

(social change)

3. Pada saat undang-undang diundangkan langsung “konservatif”

Jika diamati secara teliti barangkali pada setiap undang-undang

yang dipengaruhi faktor-faktor tersebut akan ditemukan permasalahan-

permasalahan sebagai berikut:3

1. Sering ditemukan perumusan yang bersifat elipsis. Misalnya rumusan

pasal-pasalnya sering mengulang kata-kata atau membuang kata-kata

supaya terpenuhi bentuk susunan kalimat berdasarkan pramasastra.

Akibat dari perumusan yang bersifat Elipsis, sering memunculkan pasal-

pasal yang perumusannya mengandung:

a. Ill-defined; tidak jelas definis atau maknanya;

b. Unclear-outlined; tidak jelas penggarisannya;

c. Unclear-meaning; tidak jelas artinya;

d. Elusive-term; tidak tertangkap maksudnya;

e. Unexpressed-word; tidak dingkapkan kata-katanya karena dianggap

sudah tercakup (implied) dalam kalimat sebelumnya;

f. Ambiguity; pengertiannya ambiguitas atau “mendua”

2. Mengandung Rumusan Broad Term

Sedemikian luanya terminus atau rumusannya, menimbulkan

permasalahan dalam praktik. Pada hakikatnya, setiap perumusan

maupun “peristilahan luas” bisa mengandung pengertian yang bersifat:

a. Vague-outlined; kabur penggarisan dan standarnya;

b. Uncertainty; tidak pasti artinya. Sehingga menimbulkan ketidak

pastian dalam penerapan;

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI Tahun 2007. 2 Yahya Harahap dalam Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi,

(Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2012), Hlm. 157-158. 3 Ibid.

Page 137: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 129

c. Atau perumusannya dapat berubah-ubah dan tujuannya sesuai

dengan perubahan lintasan waktu (statutory expression may change

with the passage of time)

3. Perumusan bercorak Political Uncertainty

Produk dan rumusan undang-undang positif, tidak terlepas dari latar

belakang politik. Akibatnya, penerapan dalam praktik, sering dihadapkan

kepada perumusan undang-undang yang bersifat:

a. Ambigious-words atau ambiguity; kata-kata yang bersifat

“ambiguitas” atau “mendua”;

b. Atau perumusannya mengandung “tujuan politik” atau provission

is politically contention;

c. Bisa juga rumusannya merupakan kehendak pemerintah untuk

“meminimalkan” risiko perubahan hukum (the government wish to

minimize the risk of legal changes)

4. Bisa juga rumusannya Unforsable Developments

Seperti yang sudah dikatakan, bagaimanapun keinginan dan daya upaya

manusia, tidak mungkin mencipta dan memproduk undang-undang yang

lengkap dan sempurna. Kalau begitu sejak suatu undang-undang siap dan

diundangkan, harus disadari bahwa undang-undang yang bersangkutan

tidak mampu “menangkap” dan “meliput” denyut dan isyarat perkemban-

gan konkreto yang luas dan menyeluruh di masa yang akan datang. Oleh

karena itu, rumusan dan standarnya tidak mungkin menutup lubang-lubang

kosong dalam perjalanan perkembangan dan perubahan masyarakat.

5. Perumusan yang mengandung Error

Meskipun pada saat undang-undang dibuat rumusannya sudah diteliti

berulang-ulang, sering terdapat undang-undang yang mengandung

error. Jika yang terjadi hanya printing error (kesalahan percetakan), tidak

menjadi masalah serius. Akan tetapi, ada error yang sangat rumit dan

kontroversial, antara lain:

a. Ill-inconcidered; pada saat merumuskan keliru pertimbangan atau

tidak mendalam membahasa landasan pemikiran dan dirumuskan

tergesa-gesa. Rumusan yang tidak saksama dipertimbangkan pada

saat undang-undang dibuat, bisa bersifat defective meaning, artinya

landasan pertimbangannya tidak rasional dan matang sehingga

makna yang terkandung di dalam “cacat”. Jika diterapkan sesuai

dengan rumusan, bisa menimbulkan akibat yang “melenceng” atau

bertentangan dengan tujuan yang dikehendaki pembuat undang-

undang dan kepentingan masyarakat.

b. Bisa juga terjadi perumusan yang mengandung konflik atau

kontroversi antara undang-undang yang satu dengan undang-

Page 138: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

130 BAB IV

undang terkandung error yang bercorak kontroversi atau konflik

yang disebut conflict between different statutory.

c. Bahkan bisa terjadi konflik atau kontroversi antara satu pasal dengan

pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan yang disebut

conflict within the statutory.

Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi

pembaharuan hukum pidana materiil (hukum pidana substantif), hukum

pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana

(strafvollstrckingsgesetz). Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersama-

sama diperbaharui, kalau salah satu bidang saja yang diperbaharui, sedang

lainnya tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya dan tujuan

dari pembaharuan itu tidak akan tercapai seluruhnya. Adapun tujuan dari

pembaharuan itu tidak akan tercapai seluruhnya. Adapun tujuan utama dari

pembaharuan itu adalah penanggulangan kejahatan.4

Harus diakui memang, bahwa Undang-Undang (hukum) relatif jauh

tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action). Akan tetapi,

hal ini bukanlah berarti an sich kita harus mengganti KUHAP dengan

pembaharuan melalui RUU KUHAP secara menyeluruh.5

KPK6 selama ini seolah-olah memberi kebebasan kepada tersangka agar

tetap dapat menikmati cengkarama bersama keluarga, handai taulan, dan

beraktivitas layaknya manusia yang tak bermasalah dengan hukum. Perlu

diketahui bahwa penetapan status tersangka tanpa penahanan sesungguhnya

berimplikasi persepsi publik yang negatif. Persepsi publik yang dapat

membunuh “kepercayaan diri” tersangka korupsi dalam menjalani aktivitas

sehari-harinya. Kemana dan apapun aktivitas tersangka korupsi, apalagi

jika mengharuskan baginya bertemu muka dengan publik, maka selalu ada

rasa sensitif membayangi pikirannya bahwa pasti publik mencibirnya atau

mengumpatnya. Mungkin saja “cibiran itu” dilakukan dalam hati mereka

masing-masing (baca: publik), tapi toh itu terasa bagi seorang yang telah

dinyatakan tersangka oleh KPK.

Jika demikian, status tersangka tanpa penahanan yang dapat menyiksa

bathin dan jiwa seseorang bila melihat atau bertemu dengan publik. Rasanya

tentu akan lebih baik dan tenang jika ditahan di penjara karena sudah

4 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 60.

5 Lilik Mulyadi,RUU KUHAP dari perspetif seorang Hakim, Disampaikan Dalam Diskusi Panel “QUO VADIS RUU KUHAP: Catatan Kritis atas RUU KUHAP” Merayakan 60 Tahun Denny Kailimang, S.H., M.H. pada tanggal 26 Nopember 2008 di Hotel Shangri-la, https://komitekuhap.files.wordpress.com/2012/03/134_ruu_kuhap_dari_ perspektif_seorang_hakim.pdf, diakses pada 9 April 2017 Pukul 10.50 Wib

6 https://www.kpk.go.id/id

Page 139: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 131

terhindar dari phobia publik. Tampaknya maxim hukum “presumption of

innocence” tak mampu menangkis persepsi negatif masyarakat dengan status

tersangka. Hal ini tentu tidak berlaku bagi tersangka korupsi yang “tebal

muka” dan “tuli sosial” akibat sudah sering menipu publik. Maka dari itu

“legal issue” dalam tulisan ini, apakah penetapan tersangka tanpa penahanan

yang terlalu lama dan tidak segera di limpahkan berkas perkaranya ke

pengadilan tidak melanggar hak-hak tersangka korupsi.

Status sebagai tersangka perbuatan pidana extra ordinary crime yang

bernama korupsi tidaklah mencabut hak-haknya yang dilindungi oleh

hukum. Pijakan hukum yang berkaitan dengan isu ini dapat dipedomani

berdasarkan Pasal 50 KUHAP yang menegaskan: (1) Tersangka berhak

“segera” mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat

diajukan kepada penuntut umum; (2) Tersangka berhak perkaranya “segera”

dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; (3) Terdakwa berhak “segera”

diadili oleh pengadilan.

Menelaah ketentuan diatas, sangat gamblang dititahkan bahwa proses

pemeriksaan seseorang baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan di

pengadilan harus di “segera”kan. Hanya saja, dalam KUHAP tidak dijelaskan

secara detail apa makna “segera” jika disubtitusi menjadi “waktu.” Kelemahan

inilah yang dapat “menggantung” hak-hak tersangka dalam ketidakpastian

akan proses hukum dirinya. In casu, SDA dan IAS hampir setahun dibiarkan

“berkeliaran” dengan status tersangka menghadang persepsi negatif publik.

Padahal keduanya pun yakin jika dirinya tidak bersalah dan tidak melakukan

perbuatan korupsi.

Secara tegas, nyatanya Undang-Undang memberikan “hak” kepada SDA

dan IAS untuk disegerakan pelimpahan perkaranya ke pengadilan. Namun,

karena belum ada tafsir waktu frasa “segera” dalam Pasal 50 KUHAP tersebut,

maka dalam hemat Penulis mengusulkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan

setelah ditetapkan sebagai tersangka, berkas perkara tersangka sudah harus

dilimpahkan ke pengadilan, mengingat makna “segera” tanpa tafsir batas

waktu berpotensi inkonstitusional.

Yakni, melanggar hak konstitusional tersangka yang dilindungi oleh

konstitusi. Hal ini dengan mengaca pada Putusan MK No 03/ PUU-XI/20137

yang pernah memberikan tafsir waktu frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat 3

KUHAP mengenai ihwal tembusan surat penangkapan “segera” diberikan

kepada keluarga. Dengan demikian, bersandar pada putusan MK tersebut

maka frasa “segera” dalam Pasal 50 KUHAP jika tidak ditafsir limitasi

7 Tinjauan Kritis terhadap Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 tafsir ‘segera’ dalam KUHAP,http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://kuhap.or.id/ tinjauan-kritis terhadap-putusan-mk-no-3puu-xi2013-tafsir-segera-dalam-kuhap/

Page 140: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

132 BAB IV

waktunya, maka berpotensi inkonstitusional sebab melanggar asas kepastian

hukum yang terdapat dalam konstitusi itu sendiri.

Atas terkatung katungnya nasib tersangka korupsi, KPK selalu

berdalih bahwa berkas perkaranya dalam proses perampungan. KPK dapat

menetapkan tersangka meskipun proses perampungannya baru 50 % sampai

60%. Seharusnya Jika KPK belum merampungkan proses administrasi

dan dokumentasi alat bukti sampai 80% jangan menetapkan seseorang

menjadi tersangka. Kedepan, harus diperjelas makna “segera” oleh KPK atau

penegak hukum lainnya dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP)

penanganan perkara. Untuk jangka panjang, RUU KUHAP harus menjawab

tafsir frasa ”segera” ini. Selain Pasal 50 KUHAP ini, ada beberapa ihwal yang

memang harus dipertegas limitasi waktunya seperti proses penyidikan,

pelimpahan berkas perkara ke penuntutan dan ke pengadilan.

Terkait dengan itu, ada beberapa keuntungan pula jika KPK tidak

menggantung para tersangka korupsi dalam jangka waktu yang lama.

Pertama, serangan para tersangka melalui praperadilan dapat dibendung

jika para tersangka segera dilimpahkan ke pengadilan, karena pelimpahan

tersebut akan menggugurkan praperadilan. Kedua, secara sosial, pelimpahan

perkara tersangka ke pengadilan dengan segera setelah ditetapkan sebagai

tersangka akan meniadakan asumsi publik bahwa penetapan tersebut

adalah “pesanan” atau beraroma politik. Ketiga, bagain dari pemenuhan hak

tersangka untuk segera diadili.

Kebencian terhadap korupsi bukanlah alasan untuk berbuat tidak adil

kepada para tersangka korupsi, yaitu dengan cara mengabaikan hak-haknya

yang dilindungi oleh Undang-Undang bahkan konstitusi. Bukankah para

filsuf hukum dari dulu selalu mengamanatkan “justice delayed, justice denied

keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak” Maka “segerakanlah”

perkara tersangka untuk diadili dari dugaan korupsi yang menimpanya,

agar tak ada lagi keadilan tertunda terhadap hak-hak yang melekat dalam

diri tersangka itu.8

Persoalan penetapan tersangka sepertinya lebih menarik perhatian

setelah putusan pra peradilan tersebut. Dalam hukum acara pidana yang

masih berlaku sampai saat ini, penyelidikan dan penyidikan adalah proses

mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dugaan tindak pidana menjadi

terang dan kemudian untuk menemukan dan menetapkan tersangka.

Penyidik dalam melaksanakan tugasnya oleh hukum acara diwajibkan

untuk memberitahukannya kepada Penuntut Umum, karena penyidik diberi

kewenangan untuk melakukan upaya paksa, seperti pemanggilan pro yustitia,

8 http://www.negarahukum.com/hukum/tersangka-korupsi-segeralah limpahkan.html

Page 141: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 133

penetapan tersangka, penangkapan, penahanan dan upaya paksa lainnya.

Pemberitahuan telah dimulainya penyidikkan dari penyidik kepada penuntut

umum tersebut adalah sebagai mekanisme kontrol jalannya proses hukum

agar tidak menimbulkan kesewenangan aparat penegak hukum. Hal ini tentu

tidak terlepas dari adanya kewenangan untuk melakukan upaya paksa yang

tentu saja dapat membatasi hak asasi dari setiap warga negara. Pra peradilan

adalah mekanisme yang diberikan oleh hukum terhadap pelanggaran dalam

proses penyidikan tersebut.

Kewenangan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka ada pada

penyidik. Sedangkan ukuran yang digunakan untuk dapat menetapkan

tersangka menurut hukum acara pidana adalah berdasarkan bukti permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Meskipun asas praduga tak

bersalah, menentukan bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai

ada putusan pengadilan (beberapa menyebutkan yang telah berkekuatan

hukum tetap) yang menyatakan kesalahan orang tersebut, sehingga penetapan

seseorang menjadi tersangka juga harus dibaca dalam kerangka asas tersebut,

dalam kenyataan, ternyata tidak sesederhana itu, penetapan seorang menjadi

tersangka, disadari atau tidak, telah menempatkan seorang tersangka telah

„dihakimi‟ sebagai pelaku tindak pidana. Bahkan dalam jabatan-jabatan

tertentu, status tersangka dapat menghalangi yang bersangkutan untuk tetap

memegang jabatan tertentu tersebut.

Bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah

kata „seksi‟ untuk menentukan seseorang menjadi tersangka. Tidak mudah

mencari penjelasan akan apa yang dimaksud bukti permulaan. Selama ini

yang dipakai oleh penyidik dalam menjelaskan bukti permulaan yang cukup

merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan

mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti

yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Apakah hanya penyidik yang berwenang menetapkan tersangka,

sehingga mekanisme praperadilan dapat digunakan sebagai mekanisme

kontrol horizontal terhadap penyalahgunaan wewenang yang ada

terutama terkait dengan kewenangan melakukan upaya paksa. Dalam

KUHAP sendiri ternyata dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 174 ayat (2)

KUHAP menentukan bahwa hakim ketua sidang karena jabatannya atau

atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah

supaya saksi ditahan selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah

palsu. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan kewenangan menetapkan

tersangka, tetapi dari rangkaian kalimat dalam pasal tersebut menunjukkan

bahwa yang dimaksud adalah adanya kewenangan dari majelis hakim untuk

menetapkan seseorang menjadi tersangka dugaan tindak pidana sumpah

Page 142: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

134 BAB IV

palsu. Bukankah penahanan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang

yang telah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam salah satu Pasal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dalam Pasal 36

menyebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum atau

hakim berwenang. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan

dalam daftar pencarian orang. Atas dasar pasal tersebut, kemudian majelis

hakim salah satu pengadilan negeri dalam putusannya menetapkan seseorang

sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang. Penetapan

tersebut muncul dalam salah satu amar putusan. Menarik sebenarnya hanya

saja kalah menarik dalam pemberitaan dengan putusan praperadilan diatas.

Jika dalam KUHAP tidak secara eksplisit menyebutkan adanya kewenangan

hakim untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka dalam

undang-undang tersebut secara eksplisit menyebutkan adanya kewenangan

menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam perkara kehutanan.

Dari adanya „pergeseran‟ kewenangan penetapan tersangka yang semula

„hanya‟ ada pada penyidik, kemudian ternyata baik „tidak secara eksplisit

maupun secara implisit‟ juga ada pada hakim. Tentu akan menjadi persoalan

ketika terhadap „penetapan‟ tersangka yang dilakukan oleh hakim tersebut

juga diperkenankan untuk dapat „diuji‟ oleh hakim melakukan mekanisme

praperadilan yang berlaku selama ini.

Tersangka memiliki hak terkait dengan proses hukum yang harus

dijalaninya, salah satu hak yang disebutkan adalah hak untuk segera mendapat

pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dilakukan penuntutan oleh

penuntut umum, kemudian berhak pula untuk segera diajukan perkaranya di

pengadilan dan berhak pula untuk segera diadili pengadilan. Hak ini sejalan

dengan proses peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.

Dalam kenyataan, ternyata sejak penetapan seseorang menjadi

tersangka dugaan tindak pidana (termasuk korupsi yang ditangani oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam proses penyidikan tidak ditentukan

jangka waktunya agar dapat meningkat menjadi penuntutan. Dalam perkara

korupsi yang ditangani oleh KPK ketentuan mengenai penyelidikan yang

menyebutkan dalam waktu 7 (tujuh) hari penyelidik harus melaporkan ke KPK

tentang hasil penyelidikannya (Pasal 44 UU KPK) ataupun Penuntut Umum

dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja harus melimpahkan ke pengadilan

berkas yang diterimanya (Pasal 52 UUKPK). Ketiadaan pembatasan jangka

waktu penyidikan, atau lebih tepatnya jangka waktu penyidikan setelah

ditetapkannya tersangka, tentu berpotensi memunculkan kesewenangan

yang dapat melanggar hak asasi manusia, terlebih dalam penyidikan dapat

terjadi upaya paksa. Apakah misalnya seorang yang telah ditetapkan sebagai

Page 143: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 135

tersangka kemudian berkas perkaranya tidak juga dilakukan penuntutan

dengan dilimpahkan ke pengadilan dapat mengajukan gugatan praperadilan

dengan alasan penghentian penyidikan misalnya. Pengadilan juga tidak

mudah menentukan, karena memang batasan waktu untuk itu tidak

ditentukan dalam hukum acara (baik KUHAP maupun UU KPK).

Dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, alat ukur untuk

dapat ditetapkannya seseorang sebagai tersangka adalah bukti permulaan

yang cukup, lebih lanjut dijelaskan sebagai alat bukti untuk menduga

adanya suatu tindak pidana adalah mensyaratkan minimal satu laporan

polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam

Pasal 184 KUHAP. Hanya untuk dapat menilai apakah penetapan tersangka

tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tidak dapat diuji

dan mutlak kewenangan dari penyidik. Berbeda dengan tindakan penyidik

seperti penangkapan, penahanan atau upaya paksa lainnya, meski dalam

perkembangannya penetapan tersangka membawa konsekuensi yang tidak

ringan bagi penyandang status tersangka. Lembaga praperadilan yang diberi

kewenangan untuk itu ternyata tidak mengakomodir pengujian apakah

penetapan tersangka telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tersebut.

Dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, tersangka dan/

atau terdakwa memiliki hak untuk segera diperiksa oleh penyidik, segera

dimajukan ke persidangan dan segera diadili oleh pengadilan. Ternyata

dalam praktek kata segera tersebut tidak terdapat batasan jangka waktu

yang jelas, sebagaimana penahanan misalnya. Sepintas, batasan waktu

penyidikan memang akan bertentangan dengan piihan sistem peradilan

pidana yang dianut negara ini, sistem due process of law karena akan

mengarah pada sistem peradilan pidana yang dianut adalah crime control

model yang mengutamakan efisiensi, kecepatan dan asas praduga bersalah.

Akan tetapi, apabila melihat kenyataan dalam praktek, banyak seseorang

yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak juga dilakukan penuntutan

dengan melimpahkanya ke pengadilan dengan alasan melengkapi berkas

penyidikan, tanpa adanya batasan waktu tentu dapat saja terjadi seorang

menjadi tersangka selamanya, bahkan seumur hidupnya menyandang

status tersangka, tentu hal tersebut justru bertentangan hak tersangka untuk

mendapat proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.

Dalam rancangan hukum acara pidana, ternyata permasalahan mengenai

batasan jangka waktu penyidikan mendapat perhatian. Hak tersangka untuk

diperiksa penyidik, dimajukan dan diadili di persidangan yang dalam hukum

acara saat ini hanya berupa kata segera, maka dalam rancangan hukum

acara pidana diatur lebih limitatif, segera diperiksa penyidik adalah satu

hari setelah ditangkap/ditahan. Untuk segera diserahkan penuntut umum

Page 144: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

136 BAB IV

adalah enam puluh hari (jika ditahan) dan sembilan puluh hari (jika tidak

ditahan). Sedangkan hak untuk segera diadili di persidangan adalah empat

belas hari dan dapat diperpanjang empat belas hari.

Dalam rancangan hukum acara pidana adalah munculnya lembaga

Hakim Pemeriksaan Pendahuluan yang menggantikan lembaga Praperadilan.

Dengan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan meski tidak secara eksplisit

menyebutkan adanya kewenangan menguji kewenangan penyidik untuk

menetapkan seorang tersangka, tetapi dari beberapa kewenangan tambahan,

seperti menguji apakah keterangan terdakwa dibuat dengan melanggar hak,

ataupun perolehan alat-alat bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka

(bukti permulaan yang cukup) bahkan lebih jauh adalah menguji apakah

penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah.

Dengan berbagai kewenangan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan

tersebut, maka secara implisit kewenangan penetapan tersangka akan dapat

diuji. Pengujian terhadap perolehan alat bukti langsung tidak langsung

akan mempengaruhi bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan

seseorang menjadi tersangka. Adanya batasan waktu penyidikan dan Hakim

Pemeriksaan Pendahuluan dengan berbagai kewenangan yang melekat

padanya, menuntut penegak hukum (terutama penyidik) dalam melakukan

penyidikan harus mencari alat bukti tidak saja yang memenuhi syarat materiil

(terkait dengan pembuktian perkara) akan tetapi juga harus memenuhi syarat

formil (tata cara perolehannya) dalam mencari bukti permulaan yang cukup.

Penetapan tersangka menurut penulis hendaknya adalah bagian akhir dari

sebuah proses penyidikan. Dengan demikian, seharusnya proses setelah

penetapan tersangka tersebut tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat

ditingkatkan menjadi penuntutan dan selanjutnya untuk diadili di persidangan.

Beberapa ketentuan dalam rancangan hukum acara pidana, terutama

adanya penegasan kata segera sebagai hak tersangka untuk diperiksa oleh

penyidik, dituntut oleh penuntut umum dan diadili oleh pengadilan (baca

hakim) menjadi batasan waktu yang limitatif merupakan penguatan hak-

hak tersangka. Selain itu perluasan kewenangan lembaga praperadilan yang

menjadi Hakim Pemeriksaan Pendahuluan meski tidak secara eksplisit diberi

kewenangan menguji penetapan tersangka, ketentuan dalam rancangan

hukum acara pidana menuntut penegak hukum (terutama penyidik) dalam

melakukan penyidikan harus mencari alat bukti tidak saja yang memenuhi

syarat materiil (terkait dengan pembuktian perkara) akan tetapi juga

harus memenuhi syarat formil (tata cara perolehannya) dalam mencari

bukti permulaan yang cukup sebelum menetapkan tersangka. Kedua hal

tersebut, kiranya dapat meminimalisir diajukannya pengujian penetapan

tersangka ke pengadilan, terlebih dengan adanya perluasan kewenangan

Page 145: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 137

penetapkan tersangka yang ternyata pengadilan (baca: hakim). Tentu tidak

lagi sejalan dengan maksud adanya lembaga praperadilan ketika terhadap

penetapan (tersangka oleh) hakim kemudian diajukan pengujian kepada

hakim juga. Hiruk pikuk setelah putusan praperadilan yang mengabulkan

pengujian terhadap penetapan tersangka kiranya tidak berhenti sebatas

hanya berkomentar (baik mendukung ataupun menolak) tetapi hendaknya

membawa perbaikan dalam hukum acara pidana ke depan, terutama terkait

dengan tindakan hukum penetapan tersangka.

Proses Hukum harus dilakukan dengan cara-cara yang taat hukum,

begitu cepatnya Penetapan ulang seseorang sebagai Tersangka sangat

menghawatirkan para pencari keadilan, karena pada dasarnya seseorang

baru bisa dinyatakan bersalah hanya oleh sebuah Putusan Pengadilan yang

telah berkekuatan Hukum tetap,hal ini berpotensi seseorang bisa ditetapkan

sebagai seorang tersangka berkali-kali bahkan seumur hidup mengingat

dalam UU No 8 Tahun 1981 yang saat ini masih dikakukan Uji Materi sesuai

Perkara No 123/PUU-XII/2015, tidak ada batas waktu akhir penetapan

seseorang sebagai Tersangka dan ini berpotensi menjadi seorang Tersangka

seumur hidup, harapan pada RUU KUHAP yang baru sebagai pengganti

KUHAP yang telah berumur 35 tahun dan banyak dilakukan perubahan

dari hasil Judicial Review di MK, Pada pasal 88 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3)

RUU KUHAP dinyatakan bahka berkas pemeriksaan seseorang yang telah

ditetapkan sebagai Tersangka harus diserahkan kepada Jaksa Penuntut paling

lama 60 (enam puluh) hari untuk Tersangka yang telah dilakukan penahanan

dan 90 (sembilan puluh) hari apabila tidak dilakukan penahanan, penetapan

seseorang sebagai Tersangka mutlak harus dilakukan secara cermat mengacu

bukti yang ada dan bukan atas dasar permasalahan di luar koridor penegakan

hukum, Proses Hukum harus dilakukan sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981

dan aturan lainnya yang terkait untuk menjamin kepastian dan perlindungan

hukum baik untuk Pelapor maupun Terlapor,Prinsip Geen Starf Zonder Schuld

menyatakan “Tidak ada Tindak Pidana kalau tidak ada kesalahan”, sedangkan

kesalahan itu sendiri meliputi 2 unsur, yaitu:

1. Actus Reus atau perbuatan lahiriah tindak pidana, dan

2. Mens Rea atau sikap bathin, kemampuan bertanggung jawab dan niat

jahat.

Penetapan seseorang sebagai Tersangka beberapa kali terbukti juga

menjadikan Pengurus Kadin Jawa Timur yang sudah menjalani masa

pidana 1 tahun 2 bulan dan mengembalikan kerugian Negara sebesar Rp

5,3 Miliar berinisial DKP yang kemudian disebut sebagai Kasus Kadin Jilid 1

mengajukan Pra-Peradilan atas Sprindik kedua Kejaksaan Tinggi Jatim yang

Page 146: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

138 BAB IV

kemudian kembali menetapkan LNMM sebagai Tersangka untuk kasus Dana

Hibah yang dipergunakan untuk membeli Saham Bank Jatim, Semoga hal

ini menjadikan masing-masing pihak menyikapi dengan cara-cara yang

elegant, jaksa tugasnya yang memeriksa dan yang dijadikan tersangka harus

membuktikan dia tidak bersalah. Tentunya ini bisa tercapai apabila semua

dilakukan secara fair berdasarkan aturan main yang ada.

KUHAP memang memberikan implikasi akan adanya batasan waktu

penetapan seseorang sebagai tersangka namun belum diatur secarra tegas.

Perlu diatur secara tegas terkait dengan aturan pembatasan waktu penyidikan

Sehingga untuk mencegah terkatung-katungnya status seseorang sebagai

tersangka dan pada fungsinya dapat menjalankan asas peradilan yang cepat

dan menghormati hak asasi tersangka.

Diperlukan adanya kebijakan dibidang sistem peradilan pidana, apabila

diajukan permohonan praperadilan oleh pihak yang merasa dirugikan

akibat dari tindakan pejabat baik penyidikan maupun penuntutan,

dimana kebijakan tersebut dapat berupa amandemen KUHAP dengan

jalan menambah ketentuan apabila dilakukan permohonan praperadilan,

seharusnya perkara pokok tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri sebelum

diputuskan permohonan praperadilan ini.

Hal ini bertujuan memberikan perlindungan hukum dan kepastian

hukum terhadap tersangka yang dikenai tindakan penangkapan dan/ atau

penahanan oleh pejabat yang berwenang dimana tindakan pejabat tersebut

akan dinilai atau dikontrol oleh lembaga Praperadilan melalui putusannya

yang mempertimbangkan keabsahan dari tindakan pejabat dimaksud.

Sehingga nantinya tidak ada putusan Praperadilan yang serta merta

dinyatakan gugur akibat mulai diperiksanya perkara pidana pokok

terhadap tersangka.

Masalah kepastian hukum menyangkut masalah bentuk dari hukum.

Bentuk hukum yang tertulis disebut hukum undang-undang dan bentuk

hukum yang tidak tertulis disebut hukum adat dan hukum kebiasaan.

Bahwa hukum undang-undang yang karena bentuknya tertulis lebih banyak

memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum mempunyai dua segi:

1. Dapat ditentukannya hukum dalam hal-hal yang kongkrit.

2. Kepastian hukum berarti keamanan hukum artinya perlindungan bagi

para pihak terhadap kesewenang-wenangan.

Baik dalam undang-undang lama ataupun undang-undang baru,

praperadilan termasuk yang tidak dapat dimohonkan kasasi. Tetapi dalam

beberapa putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi

praperadilan baik dari sudut “begrip” putusan hakim maupun tujuan atau

Page 147: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 139

fungsi praperadilan memang secara doktriner harus ada pembatasan upaya

hukum praperadilan. Tetapi hukum atau pranata hukum bukan sekedar

pengertian, apalagi pengertian normatif. Hukum harus diuji dengan tujuan

umum dan manfaat umum. Pembatasan upaya hukum praperadilan harus

diterobos apabila:

1. Praperadilan tersebut sedang digunakan untuk menghambat suatu

proses peradilan;

2. Praperadilan sedang digunakan untuk mencegah atau menghindari

terwujudnya rasa keadilan;

3. Praperadilan sedang dimanfaatkan oleh Majelis sebagai tempat

persembunyian keberpihakan;

Penolakan yang semata-mata karena alasan normatif dapat menurunkan

citra Mahkamah Agung yang tidak responsif terhadap tuntutan obyektif

masyarakat. Dari uraian di atas ingin ditegaskan bahwa reformasi hukum

tidak hanya berupa pembaharuan Undang-Undang atau substansi hukum

tetapi juga pembaharuan struktur hukum dan pembaharuan budaya hukum

yang termasuk di dalamnya juga pembaharuan etika hukum dan ilmu/

pendidikan hukum. Bahkan dalam situasi krisis saat ini yang terpenting justru

pembaharuan aspek immateriil dari hukum yaitu pembaharuan budaya

hukum, etika moral hukum dan ilmu pendidikan hukum. Aspek immateriil

dari pembaharuan hukum inilah yang seyogyanya lebih diutamakan

apabila sasaran utamanya adalah penegakan keadilan. Terlebih hakekat

pembaharuan/pembangunan hukum bukan terletak pada aspek formal dan

lahiriah (seperti terbentuk Undang-Undang baru, struktur kelembagaan dan

mekanisme/prosedur baru, bertambahnya bangunan dan sarana/prasarana

lainnya yang serba baru) melainkan justru terletak pada aspek immateriil ini,

yakni membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dari hukum.

Kwalitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan

sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas penegakan hukum secara

materiil / substansial seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang

dituntut masyarakat. antara lain:

1. adanya perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia);

2. tegaknya nilai kebenaran;

3. tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan;

4. bersih dari praktik ”favoritisme” (pilih kasih), KKN dan mafia peradilan;

5. terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka,

dan tegaknya kode etik/kode profesi;

6. adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa;

Page 148: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

140 BAB IV

Kwalitas substansi yang terungkap dalam berbagai isu sentral diatas,

jelas lebih menekankan pada aspek immateriil/non fisik dari pembangunan

masyarakat/nasional. Pembangunan nasional tidak hanya bertujuan

meningkatkan kwalitas masyarakat (lingkungan hidup dan kehidupan) secara

materiil, tetapi juga secara immateriil. Kehidupan makmur dan berkecukupan

secara materiil saja bukanlah jaminan untuk adanya lingkungan kehidupan

yang menyenangkan dan berkwalitas. Apabila di dalam masyarakat tidak ada

rasa aman akan perlindungan hak-hak asasinya, tidak ada jaminan perlakuan

yang adil, tidak ada saling kepercayaan dan kasih sayang antar sesama,

banyak ketidakjujuran, ketidak benaran dan penyalahgunaan kekuasaan

di berbagai bidang kehidupan (politik, sosial, ekonomi dan sebagainya)

maka kondisi masyarakat demikian jelas bukan kondisi masyarakat yang

berkwalitas menyenangkan.9

Saat ini selaku hukum positif (ius constitutum) hukum acara pidana

yang diterapkan pada kebijakan aplikasi adalah bertitik tolak kepada

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Undang-undang tersebut berdasarkan

ketentuan Pasal 285 disebut sebagai ”Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana” atau dalam praktik peradilan lazim disebut dengan terminologi

KUHAP. Semenjak pengundangannya, banyak kalangan ”memuji” KUHAP

dengan menyebutkan sebagai sebuah ”karya agung” bangsa Indonesia,

tetapi ada juga yang berpendapat UU dinamai ”kitab”. Mestinya kodifikasinya

yang diberi nama kitab. Jadi mestinya ”Kodifikasi ini dinamai Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.” Bukan Undang-Undang yang dinamai ”kitab”

tetapi kodifikasinya.10

Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, terlepas dari konteks

diatas ternyata ada sebuah pemikiran baru tentang perlunya perubahan

dan pembaharuan KUHAP. Pertanyaan kritis dari aspek ini adalah apakah

memang diperlukan perubahan dan pembaharuan KUHAP, sehingga

diperlukan pembahasan tentang RUU-KUHAP untuk masa mendatang (ius

constituendum). Kemudian pertanyaan yang timbul berikut apakah dengan

adanya RUU-KUHAP, yang nantinya apabila disetujui menjadi undang-

undang selaku hukum positif, apakah dapat memberikan sebuah garansi

bahwa undang-undang yang dihasilkan tersebut akan menjadi relatif lebih

baik dari aspek substansi, redaksional dan akhirnya akan memberi pengaruh

yang besar terhadap penerapan pasal-pasal tersebut pada praktek pengadilan.

Harus diakui memang, bahwa undang-undang (hukum) relatif jauh

tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action). Akan tetapi, hal

9 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah… Ibid. Hlm. 19. 10 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, (Sinar Grafika,

Jakarta, 2000), hlm. 1.

Page 149: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 141

ini bukanlah berarti an sich kita harus mengganti KUHAP dengan pembaharuan

melalui RUU-KUHAP secara menyeluruh. Penerapan KUHAP memang banyak

aspek positif dapat dipetik. Akan tetapi disisi lainnya memang harus diakui

bahwa KUHAP dalam penerapannya banyak kekurangan di sana sini. Oleh

karena itu dengan dimensi yang demikian bahwa penggantian KUHAP yang

telah berjalan dalam praktik selama kurang lebih 28 tahun, dengan RUU-

KUHAP tidak bersifat gradual dan menyeluruh, tetapi hendaknya bersifat

parsial di mana dari sisi kebijakan formulatif dan aplikasi yang terjadi dalam

praktik dianggap penerapannya kurang maksimal dan akomodatif, hendaknya

diperbaharui dan dirumuskan kembali sehingga menjadi lebih bersifat

aspiratif. Sebelum disahkan dan diberlakukan Undang-Undang RI Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, telah menjadi diskusi diantara para

pakar hukum anggota tim nasional maupun para anggota DPR RI tentang

rumusan lembaga praperadilan dengan lembaga Hakim Komisaris yang sangat

memerlukan waktu. Tetapi putusan akhir telah ditetapkan bahwa lembaga

praperadilan untuk dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tersebut. Dengan pertimbangan lebih transparan dan terbuka sebagai kontrol

masyarakat terhadap tindakan upaya paksa dari penyidik dan penuntut umum

terutama terhadap penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan/

penuntutan. Sedangkan lembaga Hakim Komisaris hanya bersifat sepihak

dengan tidak ada kesempatan yang terbuka kepada korban, pelapor, saksi

dan tersangka/terdakwa secara seimbang. Lembaga Hakim Komisaris bukan

merupakan lembaga kontrol masyarakat dengan putusan hakim komisaris

tidak dilakukan dalam sidang pengadilan secara umum dan terbuka tanpa

diketahui oleh masyarakat terutama korban, pelapor dan saksi.

Dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) sampai saat ini telah berlangsung selama

36 tahun, maka lembaga praperadilan sebagai sarana kontrol masyarakat/

sosial terhadap tindakan upaya paksa oleh penyidik/penuntut umum dalam

melakukan penangkapan, penahanan dan penghentian penyidikan serta

penghentian penuntutan, sebagai berikut:

1. Telah membudaya sampai saat ini baik bagi para pihak yang berperkara,

Polri selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, hakim dan

pengadilan maupun penasehat hukum.

2. Efisiensi, karena penunjukan pada setiap ada kasus (tidak permanen) dan

hakim yang ditunjuk adalah hakim yang bertugas pada pengadilan negeri

setempat, pemerintah tidak perlu mengeluarkan gaji, sarana prasarana,

operasional cost lagi. Karena program anggaran telah dimasukkan pada

pengadilan negeri setempat dan pemerintah tidak perlu menyusun

Page 150: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

142 BAB IV

program anggaran tersendiri yang terpisah dari program anggaran

pengadilan negeri.

3. Kecil sekali terjadi kolusi dan korupsi karena hakim yang ditunjuk

tidak permanen atau penunjukan hakim bila ada kasus untuk menjadi

hakim praperadilan.

Kelemahannya adalah:

1. Tidak diberikan kesempatan kepada korban, pelapor dan saksi bila

penyidik/penuntut umum tidak menangkap dan menahan tersangka/

terdakwa untuk mengajukan praperadilan. Karena tersangka/terdakwa

bila tidak ditangkap/ditahan sangat membahayakan keamanan,

keselamatan jiwa, tubuh, harta milik dan teror ancaman kepada korban,

pelapor, saksi beserta keluarga dalam rangka menghilangkan bukti-bukti

materiil agar tersangka/terdakwa bebas dari tuntutan hukum.

2. Dalam penghentian penyidikan/penuntutan kepada korban, pelapor

dan saksi tidak diberikan hak untuk banding, bila putusan hakim

memutuskan bahwa penghentian penyidikan/penghentian penuntutan

adalah sah, maka korban, pelapor dan saksi telah tertutup upaya hukum

untuk mencari keadilan.

3. Dalam pembuktian, hakim tidak dapat menerapkan pembuktian formal

dalam perkara-perkara pidana. Karena korban, pelapor dan saksi

tidak memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan, maka hasil

penyidikan baik dari penyidik/penuntut yang asli berada di tangan

penyidik/penuntut umum bukan berada pada korban, pelapor dan saksi

yang diminta bukti hasil penyidikan kepada korban, pelapor dan saksi

oleh Hakim. Sedang penyidik/penuntut umum dapat dengan mudah

mendapatkan bukti formal asli yang diminta oleh hakim, karena memang

penyidik/penuntut umum yang diberikan wewenang untuk melakukan

penyidikan/penuntutan dan sangat mudah mendapatkan bukti formal

asli walaupun hasil penyidikan/penuntutan direkayasa secara sepihak

yang tidak sesuai dengan kenyataan bukti materiil. Sedangkan korban,

pelapor dan saksi tidak membuat bukti formal apalagi untuk merekayasa

bukti formal asli yang diminta oleh hakim.

Untuk itu agar hakim dalam sidang praperadilan harus menemukan dan

mencari bukti-bukti materiil hasil penyidikan yang asli, apakah penyidik telah

melakukan penyidikan sesuai dengan alat-alat bukti yang harus diterapkan

konsisten, yaitu hasil pemeriksaan keterangan korban, pelapor, saksi,

tersangka di atas berita acara, bukti-bukti yang didapat di TKP telah disita

dan dibuat berita acara. Bila masih belum apa alasannya diminta kepada

penyidik/penuntut umum. Bila alasan tidak relevan sesuai dengan alat-

Page 151: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 143

alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ditolak. Bila hakim

memutuskan bahwa penghentian penyidikan/penuntutan tersebut adalah

sah, agar dalam putusan hakim tersebut juga harus dicantumkan klausul,

bila terdapat bukti-bukti baru, maka penyidikan/penuntutan harus dibuka

lagi untuk melakukan penyidikan/penuntutan lanjutan.

Secara filosofis bekerja dan bergeraknya aparat penegak hukum karena

adanya laporan dan keterangan korban, pelapor dan saksi mengenai terjadinya

tindak pidana bahkan lebih ekstrim lagi bahwa aparat penegak hukum

bekerja karena adanya korban, pelapor, saksi dan tersangka/terdakwa. Tetapi

mengapa aparat penegak hukum selalu menutup diri dan tidak transparan

kepada korban, pelapor dan saksi yang telah banyak mengorbankan materi,

waktu maupun psikologis dalam upaya untuk memberikan keterangan.

Dengan pengorbanan korban, pelapor dan saksi tersebut tidak diimbangi

dengan akses untuk mendapatkan turunan laporan polisi, berita acara

pemeriksaan saksi, informasi kemajuan penyidikan/penuntutan dari aparat

penegak hukum.

Dengan alasan bahwa korban, pelapor dan saksi tidak memiliki hak untuk

mendapatkan akses tersebut dalam ketentuan KUHAP, hanya tersangka/

terdakwa saja yang mendapatkan akses tersebut sesuai KUHAP. Seharusnya

aparat penegak hukum memberikan akses tersebut kepada korban, pelapor

dan saksi untuk lebih berani dalam memberikan informasi dan bukti-bukti

tentang terjadinya tindak pidana serta memberitahukan identitas tersangka/

terdakwa yang melakukan tindak pidana, sesuai dengan normatif dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan

korban. Aparat penegak hukum harus memberikan perlindungan hukum

dan hak mendapatkan informasi baik lisan maupun tertulis mengenai

perkembangan yang ditangani11. Untuk itu korban, pelapor dan saksi harus

diberikan akses yang lebih luas untuk mendapatkan semua tuntutan

laporan polisi dan berita acara pemeriksaan serta mendapatkan informasi

perkembangan penyidikan baik diminta maupun tidak diminta, baik tertulis

maupun tidak tertulis yang diatur secara normatif dalam Rancangan KUHAP

dalam rangka korban, pelapor dan saksi mendapatkan jaminan kepastian

hukum dan keadilan.

Berdasarkan hasil penelitian kepustakaan terdapat dua model peran

korban, pelapor dan saksi dengan keuntungan dan kerugian sebagai berikut:12

1. Model pertama dikenal dengan model prosedural (victim prosedural)

a. Keuntungan-keuntungan yaitu:

11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban 12 H.R. Abdussalam, Tanggapan Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum

Acara Pidana, (Jakarta:Penerbit Restu Agung, 2008), hlm. 35.

Page 152: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

144 BAB IV

1) Hak-hak korban, pelapor dan saksi secara aktif ikut dalam proses

penegak hukum.

2) Informasi-informasi perkembangan proses penegakan hukum

selalu didapat oleh korban, pelapor dan saksi.

3) Keamanan korban, pelapor dan saksi selalu diberikan oleh

aparat penegak hukum. Karena jangan sampai korban, pelapor

dan saksi beserta keluarga diteror, diancam maupun dibeli oleh

pihak tersangka/terdakwa yang selalu ingin bebas dari tuntutan

hukum. Bahkan pejabat aparat penegak hukum sendiri dibeli

oleh tersangka/terdakwa untuk melakukan teror atau ancaman

kepada korban, pelapor dan saksi.

b. Kerugian-kerugiannya yaitu:

1) Menimbulkan konflik antara kepentingan umum dengan

kepentingan individu, korban, pelapor dan saksi.

2) Menambah beban administrasi peradilan.

3) Kwalitas pendidikan korban, pelapor dan saksi tidak mendukung

dalam proses peradilan pidana.

2. Model Kedua dikenal dengan Victim Service:

a. Keuntungan-keuntungan yaitu:

1) Sebagai sarana pengembalian dalam kerangka persfektif

komunal.

2) Korban, pelapor dan saksi dapat dijamin kepentingan karena

dilindungi oleh aparat penegak hukum.

3) Hemat dalam pembiayaan.

b. Kerugian-kerugiannya yaitu:

1) Kewajiban korban, pelapor dan saksi dibebankan kepada aparat

penegak hukum.

2) Terjadinya penyalahgunaan dari pejabat aparat penegak hukum

untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan

korban, pelapor dan saksi.

Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun

kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,

emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang

fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana

di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.13

Dengan adanya dua model peran korban pelapor dan saksi serta

keuntungan dan kerugian dalam proses penegakan hukum maka peran

13 Muladi, Ham dalam persfektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung:Refika Aditama, 2007), hlm. 108.

Page 153: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 145

korban, pelapor dan saksi yang tepat untuk diatur dalam normatif rancangan

KUHAP harus dirumuskan dengan substansi kombinasi dua model tersebut

diatas yaitu dengan memberikan akses kepada korban, pelapor dan saksi

dalam rangka proses penegakan hukum.

Dengan adanya kelemahan-kelemahan dimaksud sudah barang tentu

diperlukan pembaharuan mengenai hal-hal dimaksud, solusinya pada pasal-

pasal praperadilan yang terdapat dalam Pasal 77 sampai dengan 83 KUHAP,

substansi pasal-pasal tersebut harus diamandemen dengan memberikan

penjelasan secara kongkret dan rinci untuk korban, pelapor, saksi dan

tersangka secara seimbang.14

A. Pengaturan Lembaga Pra Peradilan Dalam Ius Constituendum

Rumusan substansi lembaga hakim komisaris sebagai pengganti lembaga

praperadilan yang dirumuskan oleh tim nasional yang dibentuk oleh

Departemen Hukum dan Ham R.I tahun 2007 dalam Rancangan Undang-

Undang tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dicantumkan dalam

Pasal 73 sampai dengan Pasal 81 adalah sebagai berikut:

Pasal 73 Rancangan KUHAP menyebutkan:

1. Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan

yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

b. Penahanan atas permintaan penuntut umum;

c. Ganti kerugian dan / atau rehabilitasi bagi seorang yang ditangkap

atau ditahan secara tidak sah;

d. Dapat atau tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap penyidikan

dan penuntutan tanpa didampingi oleh penasihat hukum;

e. Menangguhkan penahanan; dan

f. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan

ke pengadilan.

2. Hakim Komisaris memberi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d berdasarkan permohonan

tersangka atau korban, serta huruf e dan huruf f berdasarkan permintaan

penuntut umum.

3. Hakim Komisaris memberikan penetapan penangkapan, penahanan,

penyitaan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan

yang tidak berdasarkan atas asas oportunitas, atas perkara sendiri,

setelah menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, penyitaan,

14 H.R. Abdussalam, 2008, Op. Cit, hlm. 28

Page 154: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

146 BAB IV

penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan yang tidak

berdasarkan atas asas oportunitas.

4. Hakim Komisaris dapat memerintahkan pemeriksaan atas orang saksi

yang mungkin tidak dapat hadir pada saat persidangan, berdasarkan

permohonan tersangka, terdakwa atau penuntut umum.

5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dihadapan

tersangka atau terdakwa dan penuntut umum agar pemeriksaan sidang

dapat dilakukan.

Pasal 80 RKUHAP menyebutkan:

1. Hakim komisaris berkantor di atau dekat rumah tahanan negara,

2. Hakim komisaris menerapkan hakim tunggal, memeriksa, menetapkan

atau memutus karena jabatannya seorang diri,

3. Dalam menjalankan tugasnya hakim komisaris dibantu oleh seorang

panitera beberapa orang staf sekretaris.

Bahwa setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak selanjutnya

terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal tersebut diatasyaitu:

Pasal 73 menyatakan sebagai berikut:

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:

a. Tidak ditangkap dan ditahan tersangka/terdakwa yang mengancam dan

membahayakan keamanan korban, pelapor dan saksi.

b. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

atau penghentian penuntutan.

c. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang berperkara

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 74 menyebutkan:

a. Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 73 adalah praperadilan.

b. Praperadilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua

Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.

Dengan substansi Pasal 80 KUHAP tersebut diatas, bila lembaga hakim

komisaris disahkan dan diberlakukan akan menimbulkan kerugian-kerugian

sebagai berikut:

1. Menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah RI untuk:

a. Penyediaan pembiayaan baik untuk gaji operasional cost maupun

pendidikan dan pelatihan;

Page 155: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 147

b. Penyediaan sarana prasarana perkantoran, perumahan dinas dan

transportasi.

2. Semakin permanen terbentuk kolusi dan korupsi yang sulit untuk

disentuh oleh hukum dengan mengedepankan presumption of innoncent,

indepedensi dan impartial judge, dengan mengorbankan hak korban,

pelapor dan saksi.

3. Tidak mengutamakan kepentingan hak korban, pelapor, atau saksi yang

lebih dominan kepentingan aparat penegak hukum.

4. Tidak efektif dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan

kepada para pihak berperkara.

Kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya

instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku tindak

pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang seharusnya dilakukan

atas dasar belas kasian dan hormat atas martabat korban (compassion

and respect for their dignity) seolah-olah dilupakan, atau paling tidak

kurang diperhatikan.

Dengan adanya perubahan Rancangan KUHAP setelah mendapat

tanggapan dari berbagai pihak, juga terdapat perubahan mengenai

keberadaan Hakim Komisaris yang diganti dengan mengaktifkan kembali

lembaga praperedilan dengan berbagai perubahan ataupun perluasan

wewenangnya. Disamping perluasan wewenang tersebut hal yang lebih

penting adanya perlindungan hak asasi terhadap tersangka/terdakwa dan

korban, pelapor, maupun saksi secara seimbang.

Dengan kerugian-kerugian tersebut diharapkan negara Indonesia tidak

perlu meniru bentuk lembaga hakim komisaris. Yang paling utama adalah

moralitas manusia yang ditunjuk sebagai pejabat dalam sistem peradilan

pidana yang telah ditetapkan. Untuk itu lembaga praperadilan tetap

diterapkan dalam rancangan undang-undang tentang hukum acara pidana

dengan rumusan lebih kongkretkan dan lebih mengutamakan kepentingan

tersangka/terdakwa dan korban, pelapor, serta secara seimbang, agar jangan

sampai hak korban, pelapor dan saksi dikorbankan.

Dari uraian tersebut diatas berdasarkan hasil penelitian maka dapat

ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk masa mendatang diperlukan suatu

lembaga yang dapat melakukan upaya kontrol terhadap tindakan aparat

penegak hukum khususnya dalam tahap pemeriksaan pendahuluan. Upaya

kontrol tersebut lebih menekankan pada asas keseimbangan perlindungan

hak asasi manusia antara terdakwa dengan korban. Untuk menciptakan

lembaga dimaksud perlu diadakan pembaharuan/kebijakan di bidang hukum

pidana yang meliputi:

Page 156: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

148 BAB IV

1. Pembaharuan dari segi substansi dapat dilihat dari kebijakan formulasi

lembaga praperadilan dalam hal ini menjadi Hakim Komisaris15 yang

memperluas ataupun menambah kewenangan lembaga tersebut

dibandingkan sebelumnya berupa kewenangan menetapkan atau

memutuskan:

a. Dapat tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap penyidikan dan

penuntutan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum;

b. Menangguhkan penahanan; dan

c. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan

ke Pengadilan;

2. Pembaharuan dari segi struktur dapat dilihat dengan mengganti lembaga

Praperadilan menjadi Hakim Komisaris yang berdiri sendiri dan terpisah

dari Kantor Pengadilan Negeri;

3. Pembaharuan dari segi budaya hukum dapat berupa memberikan

pemahaman ataupun pendidikan hukum kepada masyarakat (pencari

keadilan) mengenai peranan praperadilan sebagai sarana kontrol dari

aparat penegak hukum (Penyidik maupun Penuntut Umum) untuk

menjamin perlindungan hukum. Praperadilan dimasa mendatang

dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia. Sejalan dengan perkembangan

zaman, KUHAP yang telah diberlakukan selama kurang lebih 36 tahun

ternyata masih ada kekurangan-kekurangan dalam penerapannya,

khususnya dalam hal lembaga praperadilan yang masih mengabaikan

hak-hak asasi dari korban, pelapor dan saksi. Dengan kekurangan itu

diperlukan pembaharuan terhadap lembaga dimaksud. Pembaharuan

tidak hanya dilihat dari segi substansi ataupun struktur, namun yang

terpenting pembaharuan dari segi budaya/kultural mendapat perhatian

yang sangat serius, mengingat pembaharuan dari segi kultural akan

membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dari hukum.

Pembaharuan dari segi substansi dapat dilihat dari kebijakan formulasi

lembaga praperadilan dalam hal ini menjadi Hakim Komisaris yang

memperluas ataupun menambah kewenangan lembaga tersebut dibandingkan

sebelumnya berupa kewenangan menetapkan atau memutuskan:

1. Dapat tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap penyidikan dan

penuntutan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum;

2. Menangguhkan penahanan; dan

3. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke

Pengadilan;

15 http://www.dilmilbanjarmasin.go.id/index.php?content=mod_berita&id=54

Page 157: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 149

Pembaharuan dari segi struktur dapat dilihat dengan mengganti lembaga

Praperadilan menjadi Hakim Komisaris yang berdiri sendiri dan terpisah

dari Kantor Pengadilan Negeri; Pembaharuan dari segi budaya hukum dapat

berupa memberikan pemahaman ataupun pendidikan hukum kepada

masyarakat (pencari keadilan) mengenai peranan praperadilan sebagai sarana

kontrol dari aparat penegak hukum (Penyidik maupun Penuntut Umum)

untuk menjamin perlindungan hukum.

Ide mengganti lembaga praperadilan dengan Hakim Komisaris

ternyata menjadi pertimbangan terhadap masing-masing kelebihan dan

kekurangannya. Namun dengan pertimbangan perlindungan hak asasi

manusia ternyata lembaga praperadilan yang diharapkan untuk masa

mendatang adalah praperadilan yang lebih menekankan ide keseimbangan

antara perlindungan hak asasi dari tersangka dengan hak asasi korban,

pelapor serta saksi. Bahwa peranan praperadilan sangat penting dalam

melakukan upaya kontrol terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum terhadap tersangka, namun yang lebih penting lagi etika,

moral dari aparat tersebut secara bertanggung jawab dalam melaksanakan

wewenangnya yang diberikan oleh undang-undang sehingga apa yang

telah diberikan oleh undang-undang tidak menimbulkan permasalahan

hukum lain terhadap tersangka khususnya dalam hal perlindungan hak-

hak dari tersangka. Untuk menghindari terjadinya putusan praperadilan

yang menyatakan gugurnya permohonan praperadilan, disarankan kepada

aparat penegak hukum (penyidik atau penuntut umum) agar tidak secara

tergesa-gesa melakukan pelimpahan perkara ke pengadilan. Sehingga

pemeriksaan permohonan praperadilan dapat diakhiri dengan putusan yang

mempertimbangkan obyek praperadilan secara tuntas.

Pelimpahan perkara merupakan hak dari penuntut umum akan

tetapi diharapkan dengan hak dimaksud tidak menimbulkan terabainya

perlindungan hak asasi dari pemohon praperadilan. Pembaharuan hukum

merupakan salah satu jalan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan

undang-undang yang telah ada. Namun walaupun demikian pembaharuan

hukum dari segi substansi maupun struktur dengan jalan mengganti yang

telah ada bukan merupakan jalan terbaik, yang lebih penting adalah

pembaharuan dari segi budaya hukum, etika moral hukum dan ilmu

pendidikan hukum. Pembaharuan ini berlaku juga terhadap lembaga

praperadilan yang diharapkan untuk masa mendatang.

B. Pengaturan Penyidikan dalam Ius Constituendum

Hukum dibuat bukan untuk membebani, menyusahkan, memperdaya,

menginferiorismekan, menestapakan dan meresahkan masyarakat, baik dari

Page 158: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

150 BAB IV

aspek fisik, material maupun psikologis sehingga (KUHAP) ditujukan guna

melindungi masyarakat atas kesewenang-wenangan penguasa, artinya bahwa

prosedur untuk penanganan tindak pidana didalam KUHAP ini ditujukan untuk

melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa.

Salah satu tahap dalam menangani perkara hukum pidana material

itu adalah penyidikan. pejabat yang sudah didaulat menanganinya adalah

penyidik. Pada “wilayah hukum” ini penyidik dituntut kompentensinya

untuk melaksanakan penyidikan dengan memperhatikan HAM, dalam hal

ini adalah hak tersangka, yang oleh KUHAP diakui sebagai sosok manusia

yang belum “dihargai” bersalah.

Kedudukan seseorang yang terlibat perkara hukum dengan masih

berstatus tersangka berarti harus diperlakukan sebagai pribadi yang bebas

dari stigmatisasi menjadi pelaku atas suatu tindak kriminal. Tersangka

meruakan subjek hukum yang menguji tingkat dan kualitas profesionalisme

penegak hukum (penyidik) dalam menjalankan tugasnya. Human rights dari

tersangka “haram” dilecehkan oleh praktik pemberdayaan yang bersumber

dari kekuasaan dan modus dramatisasi perkara.

Sayangnya realitas empiris dalam “daerah kerja” penidikan belum sejalan

dengan idealisme yang diformulasikan oleh KUHAP. Masih seringkali kita

dengar dan baca dalam mass media mengenai praktik pelecehan terhadap

idealisme KUHAP, artinya proses penyidikan belum dipandu secara mutlak

normatif oleh aturan penyidikan yang benar dan adil.

Seperti kasus-kasus yang sudah dibahas penulis pada bab sebelumnya,

status tersangka korupsi yang terkatung-katung setelah putusan praperadilan

yang menyatakan sahnya sebagai tersangka. Tidak jelas kapan berkas tersangka

dilimpahkan ke pengadilan agar secepatnya diadili. Hal ini berimplikasi

kepada tergerusnya hak asasi manusia tersangka seperti stigma negatif dari

masyarakat bahkan keluarganya pun ikut tercitra negatif, pencegahan ke luar

negeri, kehilangan hak menjadi pejabat publik dan lain sebagainya.

Dalam Pasal 8 ayat (3) b KUHAP menyatakan bahwa. “dalam hal

penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung

jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum”. Jo pasal

108, 109, 110. Kapan dimulai, berapa lama dan selesainya proses penyidikan

oleh polisi hal ini tidak diterangkan secara sepesifik mengenai masa

waktunya, selesainya penyidikan hanya berpedoman bahwa seluruh

bukti materiil sudah dipenuhi maka penyidikan pun dianggap selesai

dan kemudian dilimpahkan kepada penentut umum. Bahwa hal ini

jelas-jelas KUHAP tidak mempunyai roh bahwa pelaksanaan penegakan

hukum bersifat cepat dan menjamin hak-hak seseorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana.

Page 159: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 151

C. Konsep Baru Pengaturan Batas Waktu Penyidikan KPK Dalam Lembaga

Praperadilan

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa dalam RKUHAP, ketentuan

baru terkait Praperadilan belum memberi wewenang terhadap Lembaga

Pra Peradilan dalam memutuskan batas waktu penyidikan namun diatur

tersendiri di bab penyidikan, bahwa penyidikan dibatasi. Sah atau tidaknya

Penghentian penyidikan merupakan salah satu objek pemeriksaan dari

praperadilan yang Permintaan pengajuannya sebatas hanya oleh penyidik,

penuntut umum atau pihak ketiga dalam hal ini adalah saksi korban/pelapor

saja. Tidak ada ruang bagi tersangka untuk meminta atau mengajukan

penghentian penyidikan jika proses penyidikan yang berlarut-larut apalagi

sampai 5 tahun ke atas dan ini merugikan hak tersangka.

Untuk pembaharuan hukum kedepan, penulis mengusulkan bahwa

tersangka berhak mengajukan praperadilan terkait penghentian penyidikan

apabila proses penyidikannya berlarut-larut. Hal ini berpijak dari batas waktu

penyidikan sebaiknya dilakukan oleh Hakim Praperadilan karena lembaga

pra peradilan lah pasca putusan MK dapat membatalkan penetapan status

tersangka seseorang. Hal ini dalam rangka lebih mendayagunakan lembaga

praperadilan sebagai lembaga kontrol dalam penegakan hukum. Dalam KUHAP

saat ini berakhirnya status tersangka yakni dengan penghentian penyidikan.

Adapun konsep baru dari penulis adalah sebagai berikut:

Merevisi KUHAP dengan menambahkan hak Tersangka untuk

mengajukan permohonan praperadilan untuk menetapkan menghentikan

penyidikan, baik itu untuk perkara pidana umum maupun yang khusus

(misalnya Tindak Pidana Korupsi). Rumusan pasalnya adalah sebagai berikut:

Pasal x

Seseorang yang ditetapkan penyidik sebagai Tersangka dalam suatu tindak

pidana tidak segera untuk diadili, berhak mengajukan permohonan pra

peradilan untuk meminta penetapan penghentian penyidikan.

Pasal xx

Tersangka yang meminta penetapan penghentian penyidikan

sebagaimana dimaksud dalam pasal x hanya untuk perkara minimal 5

Tahun sejak ditetapkannya Tersangka.

Page 160: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

152 BAB IV

Page 161: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BAB V

KESIMPULAN

Makna Lembaga Praperadilan dalam hukum acara pidana bahwa

pada hakekatnya bukan hanya untuk mengadili terkait dengan perbuatan

masyarakat yang merugikan, tetapi juga kesewenang-wenangan aparatur

pemerintah, penegak hukum dan lainnya. Praperadilan memiliki peran

penting dalam melakukan pengawasan dan kontrol terkait proses penyidikan

yang dilakukan oleh penyidik. Konsep dari praperadilan setelah putusan MK

No. 21/PUU-XII/2014 yang konstruksi awalnya hanya berwenang memeriksa

dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan,

sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan,

serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo

kewenangannya diperluas dengan menambahkan pengujian mengenai

sah tidaknya penggeledahan, sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya

penetapan tersangka. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

praperadilan memiliki peran baru dalam memberikan perlindungan kepada

masyarakat terlebih yang diberikan status tersangka.

Secara normatif belum ada pengaturan mengenai batas waktu (limitasi)

penyidikan KUHAP, namun hanya mengatur batas waktu penahanan.

Sementara Status tersangka hanya akan berhenti atau telah selesai apabila

adanya penghentian penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah

Penghentian Penyidikan atau berkas dinyatakan lengkap dan kemudian

dilimpahkan ke penuntut umum untuk kemudian diadili di persidangan.

Penyidikan yang tanpa ada batas waktu ini mengakibatkan ketidakjelasan

sampai kapan orang tersebut harus menyandang status tersangka, sehinga

menimbulkan kerugian bagi tersangka.Implikasi kerugian yang ditimbulkan

adalah dari perspektif Hak asasi Manusia, keadaan tersebut mencederai

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, terutama aspek kepastian hukum dan

peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Page 162: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

154 BAB V

Selama ini gugurnya status tersangka hanya diberikan lewat penetapan

dari penyidik yaitu Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dan putusan

pengadilan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka. Hapusnya

status tersangka hanya bisa dilakukan karena kewenangan dari penyidik

atau putusan pengadilan. Ketidak pastian ini merupakan kerugian bagi

setiap orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka dan kasusnya tidak

cepat untuk di proses. Belum adanya pengaturan terkait pembatasan waktu

penyidikan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia sehingga diperlukan suatu

produk hukum yang harapan pada RUU KUHAP yang baru sebagai pengganti

UU No 8 Tahun 1981 yang telah berumur 35 tahun. Penulis mengusulkan

bahwa Tersangka berhak mengajukan praperadilan terkait penghentian

penyidikan apabila proses penyidikannya berlarut-larut. Hal ini berpijak

dari batas waktu penyidikan sebaiknya dilakukan oleh Hakim Praperadilan

karena lembaga pra peradilan lah pasca putusan MK No. 21/PUU-XII/2014

dapat membatalkan penetapan status Tersangka seseorang. Hal ini dalam

rangka lebih mendayagunakan lembaga praperadilan sebagai lembaga kontrol

dalam penegakan hukum. Dalam KUHAP saat ini berakhirnya status tersangka

yakni dengan penghentian penyidikan.

Page 163: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

DAFTAR PUSTAKA

Buku Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika,

Jakarta, 2000

---------- 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia

---------- 2014, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta).

Andi Hamzah dan RM Surachman, 2015, Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika).

Abdul Manan, “Hak Asasi Manusia dalam Universal Declaration of Human Rights (Studi Perbandingan HAM dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Islam)”, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX No, 240. September 2005

Anthon F, Susanto, 2011, Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris Fondasi Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Mix Method dalam Penelitian Hukum, (Bandung: Logoz Publishing)

Andi Sofyan dan Abd. Asis. 2014. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana.

Bambang Poernomo, 1982, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty

Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: BP Universitas Diponegoro

----------- 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, 3. (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 249.

Baharuddin Lopa, 1996, Al Qur‟an dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT, Dana Bakti Prima Yasa)

Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind Hill,Co)

Page 164: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

156

---------- 2006, Konvensi Ketatanegaraan, (Yogyakarta: FH UI Press)

Bernard L. Tanya, 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing)

Buckley, 1967, Sociology and Modern System Theory, Englewood Cliffs, N.J. Prentice Hall

Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia)

Chairul Huda, 2015, Dari ”Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana).

Djoko Prakoso, 1986, Peranan Psikologi dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia).

Eddy O,S, Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Faried Ali, et all¸ 2012, Studi Sistem Hukum Indonesia Untuk Kompetensi Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan dalam Payung Pancasila, (Bandung: Refika Aditama)

Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung: Alumni

H.R. Abdussalam, Tanggapan Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2008

Hermann Mannheim, 1946, Criminal Justice and Social Reconstruction, (New York: Oxford University Press)

Indriyanto Seno Adji, 2015, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan Mendatang), Jakarta: Diadit Media

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:PT,Rajagrafindo, 2013, hal 285), mengutip pada Micheael T,Molan, Constitutional law:machinery of government, 4th edition, (london: old Bailey Press,2003)

John Locke, 1993, Teo Treaties of Government, New Edition, (London: Everyman)

Johny Ibrahim,teori dan metodologi Hukum Normatif, malang.2007,Bayu Media Publising

Lilik Mulyadi, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP Tahun 2008 dari Perspektif Seorang Hakim, Varia Peradilan, Tahun XXIV, No. 279, Pebruari 2009

-------- , Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007

--------- 2002, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Page 165: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Daftar Pustaka 157

---------, 2007, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

---------, 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti

Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, 2016, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti)

Lalu Husni, 2009, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta:Gramedia

L,J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita)

Mardjono Reksodiputro, 1993, Menuju Pada Suatu Kebajikan Kriminal dalam HAM dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan)

Muladi, Ham dalam persfektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Hak AsasiManusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan Masyarakat,Refika Aditama, Bandung, 2007

M. Nasihan, (Trans), H.L.A. Hart, 2011, Konsep Hukum, (Jakarta: Cynthia Press), hlm. 9.

Bruggink, 1999. Terjemahan Rechsrelecties, grondbegrippen uit de rechtstheorie, (Citra Aditya Bakti)

M, Khozim, (Trans), H.L.A. Hart, 2013, Konsep Hukum, (Bandung: Nusa Media)

Marwan Effendy, 2014, Teori Hukum Perspektif Perkembangan, Perbandingan dan Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta: Gaung Persada Press Group

M. Yahya Harahap, 2015, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika)

------------, 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra Aditya Bakti)

Nanda Agung Dewantara, 1987, Masalah Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat di dalam Proses Acara Pidana, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia

P,A,F, Lamintang, 2013, Dasar-Dasar untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di indonesia, Cet, 5. (Bandung: Citra Aditya Bakti)

Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta, Gadjahmada University Pers)

------------, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, Nomor 5&6 Tahun XII, September-Desember.

Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Dalam Jurnal Konstitusi, Volume

Page 166: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

158

6 Nomor 1 (April 2009)

R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Penerbit Mandar Maju, 2003.

Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta

------------, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta

------------, 1982, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni

Ruslan Renggong, 2014, Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana)

-----------, 2014, Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana)

Raisul Muttaqien, (Trans), Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar ilmu Hukum Normatif, (Bandung: Nusamedia & Nuansa)

Rhona K, M, Smith, et.al, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM-UII)

Ramdhon Naning, 1983, Citra dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia)

Sudibyo Triatmojo, 1982, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan Yang Ada dalam KUHAP, Bandung: Alumni

Sudikno Mertokusumo,2014, Teori Hukum Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka)

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni: Bandung, hlm. 113 (lihat juga, Hukum dan Hukum Pidana, 1981

Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Edisi Kelima, (Yogyakarta: Liberty)

Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti)

Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2003

Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonnesia’s New Order 1966-1990, Jakarta

Theo Huijabers, 1995, Filsafat Hukum dalam lintasan Sejarah, Cet, 8. (Yogyakarta: Kanisius)

T,O,Ihromi, 1984, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).

Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Trans), John Rawls, 2011, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset).

Page 167: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

Daftar Pustaka 159

Wirjono Prodjodikoro, 2000. Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju).

Waluyadi, 1999, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju).

Artikel I,K, Rai Setiabudhi, Terkait Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Disampaikan dalam acara dengar pendapat dengan DPR RI Terkait dengan RUU KUHP dan KUHAP di Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali, 20 Juni 2013

Miko Susanto Ginting. 05.13.2016. PSHK. Kala status Tersangka Bisa Seumur Hidup

Websites http://www.negarahukum.com/hukum/tersangka-korupsi-segeralah-

limpahkan.html

http://www.damang.web.id/2011/07/implementasi-hak-hak-tersangka- sebagai.html

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16774/ketentuan-ham-dalam- uud-dikunci-oleh-pasal-28j. Diakses tanggal 01/03/2017

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15621/praktik-penerapan- kuhap-dan-perlindungan-ham

http://law-firm-websites-templates.seotoaster.com/media/all/original/book.jpg

https://swarakepri.com/dilimpahkan-ke-kejaksaan-korban-tewas-tetap- tersangka/. Diakses tanggal 01/03/2017

Page 168: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan
Page 169: eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/4430/1/1. Sesudah_Praperadilan_Dr. Anang Tornado... · Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan

BIOGRAFI PENUILIS

Anang Shophan Tornado, dia lahir di kota Banjarmasin pada tanggal 2

Oktober tahun 1979, anak kedua dari pasangan bapak Anang Muchyar dan Ibu

Astiannor tumbuh besar di kota seribu sungai, Banjarmasin, kalimantan Selatan.

Pendidikan SD ia tempuh di SD Negeri 5 Banjarmasin lulus tahun 1992,

kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 5 Banjarmasin lulus pada tahun

1995, melengkapi perjalanan pendidikannya di SMAN 6 Banjarmasin lulus

tahun 1998. menyelesaikan S1 jurusan Ilmu Hukum Pada Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin pada tahun 2004 ,kemudian menyelesaikan S2

Magister Hukum di PMIH Univeristas Lambung Mangkurat pada tahun 2010

,S2 Magister Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012 dan S3

Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) di Universitas Brawijaya Malang lulus

pada tahun 2018.

Pada jam kerja beliau bisa dijumpai di Fakultas Hukum Universitas

Lambung Mangkurang Banjarmasin (ULM) yang beralamatkan di Jl. Brigjen

H. Hasan Basri No.3, RW.02, Pangeran, Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,

Kalimantan Selatan 70124. Sebagai sekretaris Akademik Regular B sekaligus

mengajar beberapa mata pelajaran, selain itu beliau juga menjabat sebagai

sekretaris di Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) di Universitas

Lambung Mangkurang (ULM) sampai saat ini.

Untuk komunikasi lebih lanjut bisa via telepon, SMS atau WA di 0811504788

dan akun facebook: Anang Shophan Tornado serta via email anangtornado@

gmail.com. Untuk karya tulisnya yang lain seperti; makalah, opini, artikel, karya

tulis populer dan lainnya bisa diakses website beliau: www.anangtornado.com