Post on 02-Mar-2020
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pelayanan Kegawatdaruratan
Menurut Permenkes RI Nomor 19 tahun 2016, gawat darurat adalah
keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Sedangkan pelayanan
gawat darurat adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh korban/pasien
gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan
pencegahan kecacatan. Korban atau pasien gawat darurat yang dimaksud
disini adalah orang yang berada dalam ancaman kematian dan kecacatan
yang memerlukan tindakan medis segera (Kemenkes, 2016).
Emergency Medical Services (EMS) atau Layanan Kegawatdaruratan
Medis dapat didefinisikan sebagai sistem yang komprehensif yang
menyediakan pengaturan personil, fasilitas dan peralatan untuk pengiriman
yang efektif, terkoordinasi dan tepat waktu dari layanan kesehatan dan
keselamatan untuk korban penyakit mendadak atau cedera. Tujuan EMS
berfokus pada pemberian perawatan tepat waktu kepada korban kecelakaan
atau keadaan darurat yang tiba-tiba dan mengancam jiwa untuk mencegah
kematian yang tidak perlu atau morbiditas jangka panjang. Fungsi EMS
dapat disederhanakan menjadi empat komponen utama yaitu mengakses
13
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
14
perawatan darurat, perawatan di masyarakat, perawatan dalam perjalanan,
dan perawatan saat tiba untuk menerima perawatan di fasilitas perawatan
kesehatan (Al-Shaqsi, 2010).
Agar terwjudnya pelayanan kegawatdaruratan yang optimal dibuatlah
suatu sistem yaitu Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu yang
kemudian disingkat SPGDT. Selanjutnya, SPGDT diwujudkan dalam
bentuk layanan Public Safety Center/Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu
(PSC) yang dikomandoni oleh National Command Center/Pusat Komando
Nasional yang kemudian sering disebut NCC (Kemenkes, 2016).
a. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu/SPGDT
SPGDT adalah suatu mekanisme pelayanan korban/pasien
gawat darurat yang terintgrasi dan berbasis call center dengan
menggunakan kode akses telekomunikasi 119 dengan melibatkan
masyarakat. SPGDT bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kegawatdaruratan serta mempercepat waktu penanganan
(response time) korban/pasien Gawat Darurat dan menurunkan angka
kematian serta kecacatan. Ruang lingkup dari SPGDT meliputi
penyelenggaraan kegawatdaruratan medis sehari-hari. Penyelenggaraan
SPGDT terdiri atas sistem komunikasi gawat darurat, sistem
penanganan korban/pasien gawat darurat dan sistem transportasi gawat
darurat. Kesemuanya harus saling terintegerasi agar didapat pelayanan
berbasis SPGDT yang baik dan optimal. Pelayanan SPGDT saat ini
diwujudkan dalam bentuk Pusat Komando Nasional/National
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
15
Command Center (NCC) dan Pusat Pelayanan Keselamatan
Terpadu/Public Safety Center (PSC). Didalam SPGDT dibentuk suatu
sistem komunikasi gawat darurat yang terintegerasi antara NCC, PSC
dan fasilitas kesehatan. Sistem komunikasi ini nantinya dikelola oleh
NCC (Kemenkes, 2016).
b. Pusat Komando Nasional/National Command Center (NCC)
Pusat Komando Nasional/National Command Center (NCC)
merupakan pusat panggilan kegawatdaruratan bidang kesehatan dengan
nomor kode akses 119 yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia.
NCC memiliki fungsi sebagai pemberi informasi dan panduan terhadap
penanganan kasus kegawatdaruratan. Dalam menjalankan fungsinya
NCC memiliki tugas sebagai berikut:
(1) Memilah panggilan gawat darurat/non gawat darurat.
(2) Meneruskan panggilan ke PSC.
(3) Dokumentasi, monitoring, pelaporan dan evaluasi.
Masyarakat yang mengetahui dan mengalami kegawatdaruratan
medis dapat melaporkan dan/atau meminta bantuan melalui Call Center
119 (Kemenkes, 2016).
c. Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu/Public Safety Center (PSC)
PSC merupakan pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan
masyarakat dalam hal-hal yang berhubungan dengan kegawatdaruratan
yang berada di kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak
pelayanan untuk mendapatkan respon cepat. PSC ini berada dibawah
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
16
komando NCC. PSC dapat berupa unit kerja sebagai wadah koordinasi
untuk memberikan pelayanan gawat darurat secara cepat, tepat, dan
cermat bagi masyarakat. Dalam prosesnya, PSC melayani masyarakat
selama 24 jam sehari secara terus menerus. Penyelenggaraan PSC dapat
dilaksanakan secara bersama-sama dengan unit teknis lainnya di luar
bidang kesehatan seperti kepolisian atau pemadam kebakaran
tergantung kekhususan dan kebutuhan daerah. PSC bagian utama dari
rangkaian kegiatan SPGDT prafasilitas pelayanan kesehatan yang
berfungsi melakukan pelayanan kegawatdaruratan dengan
menggunakan algoritme kegawatdaruratan yang ada dalam sistem
aplikasi Call Center 119. PSC berlokasi di tempat-tempat seperti dinas
kesehatan kabupaten/kota, rumah sakit atau lokasi lain yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah kabupaten kota (Kemenkes, 2016).
(1) Fungsi PSC
Berikut beberapa fungsi dari PSC, antara lain:
(a) Pemberi pelayanan Korban/Pasien Gawat Darurat dan/atau
pelapor melalui proses triase (pemilahan kondisi
Korban/Pasien Gawat Darurat)
(b) Pemandu pertolongan pertama (first aid)
(c) Pengevakuasi Korban/Pasien Gawat Darurat
(d) Pengoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan
(2) Tugas PSC
Selain fungsi diatas, PSC juga memiliki tugas sebagai berikut:
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
17
(a) Menerima terusan (dispatch) panggilan kegawatdaruratan dari
Pusat Komando Nasional (National Command Center)
(b) Melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan dengan
menggunakan algoritme kegawatdaruratan
(c) Memberikan layanan ambulans
(d) Memberikan informasi tentang fasilitas pelayanan kesehatan
(e) Memberikan informasi tentang ketersediaan tempat tidur di
rumah sakit
(3) Ketenagaan di PSC
Penyelenggaraan PSC dalam SPGDT tentu membutuhkan
ketenagaan yang berkompeten. Ketenagaan tersebut meliputi
koordinator, tenaga kesehatan,operator call center dan tenaga lain.
Berikut penjelasan dari masing-masing ketenagaan di PSC:
(a) Koordinator
Koordinator memiliki tugas menggerakkan tim ke lapangan jika
ada informasi adanya kejadian kegawatdaruratan dan
mengoordinasikan kegiatan dengan kelompok lain diluar bidang
kesehatan.
(b) Tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan yang dimaksud disini termasuk tenaga medis,
tenaga perawat, dan tenaga bidan yang terlatih
kegawatdaruratan. Tenaga kesehatan memiliki tugas
memberikan pertolongan gawat darurat dan stabilisasi bagi
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
18
korban dan mengevakuasi korban ke fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai dengan tingkat kegawatdaruratanya.
(c) Operator Call Center
Operator Call Center di PSC merupakan petugas penerima
panggilan dengan kualifikasi minimal tenaga kesehatan.
Operator Call Center bekerja dengan pembagian waktu sesuai
dengan kebutuhan. Operator Call Center memiliki tugas
menerima dan menjawab panggilan yang masuk ke call center,
mengoperasionalkan komputer dan aplikasinya dan menginput
di sistem aplikasi call center 119 untuk panggilan darurat.
(d) Tenaga lain
Tenaga lain yang dimaksud disini adalah tenaga yang
mendukung penyelenggaraan PSC (Kemenkes, 2016).
(4) Sistem Penanganan Pasien Gawat Darurat
Penanganan korban atau pasien gawat darurat telah dituliskan
didalam suatu sistem yaitu sistem penanganan korban/pasien gawat
darurat. Sistem ini terdiri dari 3 penanganan, yakni:
(a) Penanganan prafasilitas pelayanan kesehatan
Penanganan prafasilitas pelayanan kesehatan merupakan
tindakan pertolongan terhadap korban/pasien gawat darurat
yang cepat dan tepat di tempat kejadian sebelum mendapatkan
tindakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Tindakan pertolongan
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
19
dilakukan oleh tenaga kesehatan dari PSC. Penolong harus
memperhatikan kecepatan penanganan korban/ pasien dan
selama penolong belum sampai di lokasi pasien maka
pemberian pertolongan hanya dapat diberikan dengan panduan
operator call center.
(b) Penanganan intrafasilitas pelayanan kesehatan
Penanganan intrafasilitas pelayanan kesehatan merupakan
pelayanan gawat darurat yang diberikan kepada pasien di dalam
fasilitas pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan gawat
darurat. Pelayanan ini dilakukan melalui suatu sistem dengan
pendekatan multidisiplin dan multiprofesi.
(c) Penanganan antarfasilitas pelayanan kesehatan
Penanganan antarfasilitas pelayanan kesehatan merupakan
tindakan rujukan terhadap korban/pasien gawat darurat dari
suatu fasilitas pelayanan kesehatan ke fasilitas pelayanan
kesehatan lain yang lebih mampu.
(5) Sistem Transportasi Gawat Darurat
Sistem transportasi gawat darurat dapat diselenggarakan oleh
PSC dan/ fasilitas pelayanan kesehatan. Transportasi yang digunakan
merupakan ambulans gawat darurat. Pelayanan ambulans gawat
darurat yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
20
(6) Alur Penyelenggaraan SPGDT Melalui Call Center (NCC dan PSC)
Adapun alur Penyelenggaraan SPGDT melalui call center 119
dan PSC adalah:
(a) Operator call center di Pusat Komando Nasional (National
Command Center) akan menerima panggilan dari masyarakat di
seluruh Indonesia.
(b) Operator call center akan menyaring panggilan masuk tersebut.
(c) Operator call center akan mengindentifikasikan kebutuhan
layanan dari penelepon.
(d) Telepon yang bersifat gawat darurat akan diteruskan/dispatch ke
PSC kabupaten/kota.
(e) Selanjutnya penanganan gawat darurat yang dibutuhkan akan
ditindak lanjuti oleh PSC kabupaten/kota.
(f) Telepon yang bersifat membutuhkan informasi kesehatan lainnya
dan pengaduan kesehatan akan diteruskan/dispatch ke Halo
Kemkes (021-500567).
(g) Penanganan gawat darurat di PSC kabupaten/kota meliputi
penanganan kegawatdaruratan dengan menggunakan algoritma,
kebutuhan informasi tempat tidur, informasi fasilitas kesehatan
terdekat, dan informasi ambulans.
(h) PSC berjejaring dengan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat
dengan lokasi kejadian untuk mobilisasi ataupun merujuk pasien
guna mendapatkan penanganan gawat darurat.
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
21
(i) NCC
National Command Center
Panggilan
darurat 119
Gambar 2.1. Alur Penyelenggaraan SPGDT (NCC dan PSC)
(Kemenkes, 2016)
PSC memberikan
penanganan
Merujuk pasien
ke faskes
jejaring SPGDT
PSC
kota/kabupaten
Aplikasi Call Center
1. Call Tracker 2. Algoritma Gadar
3. Informasi faskes
4. Informasi TT
5. Halo Kemkes
6. Informasi
Ambulans
7. Aplikasi reporting
dan dashbord
monitoring
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
22
2. Public Safety Center (PSC) 119 Satria
Public Safety Center (PSC) 119 Satria dibentuk sesuai dengan instruksi
Presiden nomor 4 tahun 2013, yang mengamanahkan setiap
Kabupaten/Kota harus membentuk 1 (satu) PSC yang berfungsi sebagai
pusat koordinasi layanan kegawatdaruratan di suatu daerah. PSC 119 Satria
sudah memulai soft opening sekitar bulan September 2016 namun baru
diresmikan pada tanggal 5 Mei 2017 oleh Bupati Banyumas. Pada saat itu
peresmian PSC 119 Satria ditandai dengan keluarnya Berita Acara
Peresmian Nomor: 440/1640/V/2017. PSC 119 Satria saat ini memiliki total
7 personil. Terdiri dari 5 petugas medis yang berpendidikan S1
Keperawatan sebanyak 2 orang dan yang berpendidikan D3 Keperawatan
sebanyak 3 orang. Kemudian, ada 2 orang tenaga Informasi dan Teknologi
(IT) sebanyak 2 orang, masing-masing berpendidikan S1 Komputer dan D3
Komputer (I.As’ari, komunikasi personal, 24 September 2018).
PSC 119 Satria dilengkapi dengan fasilitas alat kesehatan dan obat-
obatan standar untuk pelayanan kegawatdaruratan. Obat-obatan yang ada
di PSC 119 Satria didapat melalui Unit Pelayanan Kesehatan dan Farmasi
(UPKF). Selain itu, dalam menanggapi panggilan kegawatdaruratan saat ini
PSC 119 Satria telah dilengkapi dengan mobil ambulans dan motor
ambulans. Motor ambulans itu sendiri baru diadakan pada bulan Mei 2018.
Penggunaan motor ambulans ini digunakan untuk mendapatkan response
time ambulans serta agar petugas bisa sampai di TKP lebih cepat.
Sedangkan, mobil ambulans akan mengikuti dari belakang motor ambulans.
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
23
Mobil ambulans ini dibutuhkan ketika pasien membutuhkan stabilisasi dan
evakuasi ke fasilitas kesehatan (I.As’ari, komunikasi personal, 24
September 2018).
3. Triase
Triase adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan
suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia,
peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih
atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan
menetapkan prioritas penanganannya (Oman, 2008).
Triase berasal dari bahasa Perancis trier bahasa Inggris triage dan
diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir, yaitu proses
khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit untuk
menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini istilah tersebut lazim
digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan
berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya
manusia, peralatan sertafasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang
yang memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya (Zimmermann dalam
Oman, 2008). Jadi, triase merupakan pengelompokan pasien berdasarkan
kondisi keparahan pasien.
Pada umumnya untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan
suatu sistim penilaian kondisi medis dan klasifikasi keparahan dan
kesegeraan pelayanan berdasarkan keputusan yang diambil dalam proses
triase. Penilaian kondisi medis triase tidak hanya melibatkan komponen
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
24
topangan hidup dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC approach, tapi juga melibatkan
berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik. Penilaian kondisi ini disebut
dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan gejala (syndromic
approach) (Habib, et al, 2016).
Sistem triase menurut Oman, et al (2008), yaitu sistem triase spot check,
komprehensif, two-tier, expanded dan bedside.
a. Triase spot check atau quick look
Pada sistem ini perawat mengkaji dan menggolongkan pasien dalam
waktu 2-3 menit. Sistem ini memungkinkan identifikasi segera terhadap
pasien dengan akuitas tinggi.
b. Triase Komprehensif
Triase komprehensif merupakan triase standar yang didukung oleh
Emegency Nurses Association (ENA). Triae komprehensif meliputi
pengkajian ‘UGD’ awal dengn memperhatikan keadaan umum pasien,
jalan napas (A, airway), pernafasan (B, breating), sirkulasi (C,
circulation) dan tingkat kesadaran/disabilitas (D, disablity). Semua ini
merupakan unsur penting dalam survei primer. Dokumentasi mulai
dilakukan. Kemudian dilakukan pengkajian riwayat pasien dan
pemeriksaan fisik yang lebih mendalam, termasuk ekspos (E) dan tanda
vital secara lengkap (F, full-set of vital signs).
Agar lebih tepat, perawat dapat pula menilai tanda vital kelima yang
berupa pemeriksaan oksimetri nadi (pulse oximetry) dan melaksanakan
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
25
pegnkajian nyeri. Pelbagai aspek dalam survei sekunder diselesikan jika
memungkinkan. Kemudian pasien dikaji kembali dengan interval waktu
yang tepat, sambil menunggu tindakan kedaruratan selanjutnya.
c. Triase two-tier
Pada sistem two-tier, orang kedua yang bertindak sebagai ‘petugas
sortir’, melakukan penapisan untuk menetapkan prioritas pasien yang
memerlukan pengkajian lebih rinci. Petugas ini juga membantu dengan
mengurutkan pemeriksaan diagnostik dan masalah
keluarga/pengunjung. Bergantung pada rumah sakitnya, kasus-kasus
yang ringan dapat langsung dipindahan ke jalur cepat/bagian perawatan
kasus ringan.
Keuntungan sistem ini (yang biasanya digunakan di UGD yang lebih
besar) adalah proses identifikasi yang lebih cepat untuk pasien-pasien
kritis dan menderita penyakit menular. Sistem ini juga memungkinkan
alur pasien yang lebih baik dan kewaspadaan yang terus-menerus
terhadap situasi keseluruhan unit tersebut.
d. Triase expanded atau tingkat lanjut
Sistem ini dapat ditambahakan ke dalam sistem komprehensif atau
sistem two-tier, mencakup protokol untuk memulai penanganan di area
triase. Protokol yang lazim dilakukan mencakup pertolongan pertama
(misalnya pembidaian, pengompresan, dan perwatan luka), pemeriksaan
sinar-X pada ekstremitas, pemberian obat antipiretik tanpa resep dokter,
imunisasi tetanus, urinalisis, tes kehamilan, tes dipstick untuk
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
26
mendeteksi darah dalam urin, tes gula darah dengan menusuk ujung jari
tangan, dan penilaian ketajaman pengihatan.
Menurut National Health Services/NHS (2017) sistem triase pada
setting ambulans digolongkan menjadi 4 kategori yaitu pasien dengan
kondisi life-threatening, emergency, urgent dan less urgent.
Pengelompokan ini merupakan pengembangan dari Australian Triage Scale
(ATS).
a. Life-trheatening
Kasus atau kondisi yang mengancam jiwa dan kritis membutuhkan
intervensi segera dan / atau resusitasi, seperti pada kasus-kasus serangan
jantung, gangguan pada pernafasan, obstruksi saluran napas, pernapasan
tidak efektif, pasien yang tidak sadar dengan pernapasan abnormal atau
bising.
b. Emergency
Kondisi yang berpotensi serius (masalah ABCD) yang mungkin
memerlukan penilaian cepat, intervensi di tempat yang mendesak dan /
atau transportasi mendesak. Beberapa contoh kasus cedera/sakit dalam
kondisi emergency yaitu gangguan pernafasan akut, stroke, nyeri dada,
infark miokardium, luka bakar yang luas, cedera serius, sepsis dan
kejang.
c. Urgent
Masalah mendesak yang membutuhkan penilaian (tatap muka atau
telepon) dan perawatan untuk mengurangi penderitan, misalnya kontrol
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
27
nyeri, serta mungkin membutuhkan transportasi dalam jangka waktu
yang tepat secara klinis. Beberapa contoh kasus cedera/sakit dalam
kondisi ini yaitu serangan, kejadian jatuh, luka bakar yang tidak luas,
masalah kehamilan dan persalinan yang terlambat non-darurat serta
cedera ringan.
d. Less urgent
Masalah yang tidak mendesak tetapi membutuhkan penilaian baik
secara tatap muka atau telepon dan mungkin transportasi dalam
kerangka waktu yang tepat secara klinis. Beberapa contoh kasus
sakit/cedera pada kategori ini adalah mual/muntah, demam dan hidung
berdarah (mimisan) (NHS, 2017).
4. Response Time (Waktu Tanggap)
Pelayanan gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan
penanganan cepat, tepat, dan cermat dalam menentukan prioritas
kegawatdaruratan pasien untuk mencegah kecacatan dan kematian
(Mahyawati dan Widaryati, 2015).
Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita
gawat darurat adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai
kepada penderita gawat darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau
sewaktu bencana. Keberhasilan waktu tanggap atau response time sangat
tergantung kepada kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian
pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
28
tempat kejadian, dalam perjalanan hingga pertolongan rumah sakit
(Haryatun dan Sudaryanto, 2008 dalam Apriana, 2017).
Response time merupakan salah satu indikator kuantitatif yang paling
umum digunakan untuk menilai kinerja pelayanan kegawatdaruratan.
Response time didefinisikan sebagai interval waktu dari munculnya
kejadian sampai dengan kedatangan ambulan ke lokasi kejadian tersebut.
Semenjak dahulu, kualitas pelayanan kegawatdaruratan pra-hospital sering
sekali dipusatkan pada cepat tanggap (Hosseini, et al, 2017). Menurut
Prince Edward Island (2018) response time pada setting ambulan
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan ambulan dan paramedis untuk
sampai di lokasi semenjak pangilan call center diterima.
Ada dua pendekatan untuk menilai response time. Rata-rata (mean) dari
response time dan persentase waktu tanggap dalam batas waktu yang telah
ditentukan. Mean tidak bisa menjadi kriteria yang baik dalam menunjukan
suatu keberhasilan. Hal tersebut dikarenakan ketika mean dianggap sebagai
waktu yang diperlukan untuk menyelamatkan korban, hal ini berarti tidak
lebih dari setengah korban menerima perawatan pada golden time,
sementara setengah yang lain menerima perawatan yang tidak efisien dan
cenderung tertunda. Sehingga untuk menunjukan gambaran yang kredibel
bahwa pasien telah menerima perawatan dalam rangka mengetahui kualitas
pelayanan kegawatdaruratan maka selain mean response time, dibutuhkan
juga persentase dari response time tersebut (Hosseini, et al, 2017).
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
29
Kecepatan dan ketepatan dalam menolong pasien gawat darurat
memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya
sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response
time yang cepat dan penanganan yang tepat. Waktu tanggap yang baik bagi
pasien yaitu ≤ 5 menit (Kepmenkes RI, 2009).
Sedangkan menurut NHS, ambulan diharapkan dapat menjangkau
pasien-pasien mengancam jiwa atau cedera dalam waktu rata-rata 8 menit
dimulai dari keberangkatan ambulans hingga tiba di lokasi pasien.
Sedangkan response time menurut pengkategorian panggilan ambulans
adalah 7-15 menit untuk Kategori 1, 18-40 menit untuk Kategori 2, tidak
lebih dari 120 menit untuk Kategori 3 dan tidak lebih dari 180 menit untuk
Kategori 4 (NHS, 2017).
Namun, dalam mencapai response time yang sesuai dengan standar
bukanlah hal mudah. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi response time ambulan yaitu lalu lintas, cuaca dan lokasi
kejadian. Lalu lintas kadang tidak bisa diprediksi kemacetannya. Serta
cuaca yang buruk akan menghambat laju ambulans yang berdampak pada
response time yang lebih lama. Lokasi kejadian yang jauh dari pusat layanan
turut meyumbangkan faktor penghambat tercapainya waktu respon yang
ideal (Lam, et al, 2015).
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
30
5. Penanganan di Ambulans
NHS (2017) menyebut penanganan ambulans sebagai respon (response)
yang diberikan oleh petugas ambulans kepada pasien berdasarkan
kondisinya. Penanganan di ambulans dilakukan sesuai kondisi pasien.
Namun secara garis besar penangannya dibagi menjadi assess, treat, dan
transport.
a. Assess
Assess merupakan penilaian terhadap kondisi pasien atau disebut
juga sebagai pengkajian. Pengkajian dalam hal in dapat berbentuk
primary survey dan apabila memungkinkan dan waktunya cukup
dilanjutkan dengan secondary survey. Proses assess biasanya dilakukan
pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital
atau pemeriksaan GCS (NHS, 2017).
Tujuan dilakukan primary survey adalah untuk mengidentifikasi
pasien dengan kondisi mengancam jiwa. Urutan survei primer telah
diubah dari ABCD menjadi DRABC untuk membawanya sesuai dengan
praktikklinis kontemporer. DRABC tersebut meliputi Danger,
Response, Airway, Breathing, Circulation. Pada pasien yang dicurigai
mengalami cardiac arrest maka prioritas survei primer berubah menjadi
DRCAB (Queensland Ambulances Services/QAS, 2016).
b. Treat
Treat merupakan tindakan pemberian perawatan dan/ pengobatan.
Tindakan diberikan ketika petugas telah melakukan pemeriksaan dan
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
31
mengetahui kondisi riil pasien. Jenis tindakan yang mungkin dilakukan
seperti pemberian oksigen, perawatan luka, first aid, pemeriksaan gula
darah dan lain sebagainya tergantung pada kondisi pasien (NHS, 2017).
c. Transport
Transport atau evakuasi merupakan proses pemindahan
pasien/korban ke fasilitas kesehatan. Apabila kondisi pasien tidak stabil
dan tidak memungkinkan dirawat di rumah maka pasien akan dirujuk ke
fasilitas kesehatan terdekat (NHS,2017).
Sebelum ditransfer, persiapan dan stabiisasi pasien harus dilakukan
secara tepat dan teliti. Mengingat pada proses ini pasien renta
mengalami efek samping atau penurunan kondisi klinis pasien. Selama
persiapan, faktor A, B, C, D pasien harus diperiksa dan apabila terdapat
masalah yang dapat diperbaiki, maka masalah tersebut harus diperbaiki
segera. Mode transportasi yang biasanya digunakan untuk mentransfer
pasien bisa dalam bentuk transportasi darat yaitu ambulans dan Mobile
Intensive Care Units (MICUs). Serta transportasi udara yaitu helikopter
atau pesawat (Kulshrestha & Singh, 2016).
6. Pengkategorian Panggilan Ambulans
Proses peninjauan panggilan ambulans berdasarkan data yang diperoleh
pada saat panggilan berlangsung, lalu mengelempokannya menjadi kategori
tertentu didasarkan pada kondisi atau penyakit pasien. Pengkategorian
panggilan dilakukan agar memudahkan petugas ambulans dalam
menentukan response time ideal yang harus dicapai dan penanganan yang
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
32
sekiranya akan dilakukan pada pasien. Pada saat melakukan pengkategorian
panggilan, petugas dituntut untuk memiliki skill komunikasi agar dapat
menggali lebih dalam gambaran kondisi pasien, mengingat pengkategorian
panggilan didasarkan pada triase yang prosesnya berlangsung via telepon
(NHS, 2017).
Panggilan yang masuk ke layanan ambulans menurut NHS (2017)
dikategorikan menjadi 4 berdasarkan triase pasien. Empat kategori tersebut
diantaranya:
a. Kategori 1 / Category 1 (C1)
Kategori 1 menggambarkan kondisi pasien yang mengalami sakit
atau cedera yang mengancam jiwa (immediately life-threatening injury
or illness). Kasus atau kondisi yang mengancam jiwa dan kritis
membutuhkan intervensi segera dan / atau resusitasi, seperti pada kasus-
kasus serangan jantung, gangguan pada pernafasan, obstruksi saluran
napas, pernapasan tidak efektif, pasien yang tidak sadar dengan
pernapasan abnormal atau bising.
Response time pada kategori 1 idealnya adalah dalam waktu antara
7-15 menit. Respon dan sumber daya yang harus disediakan khususnya
pada panggilan kategori ini diantaranya defibrillator, orang yang terlatih
untuk menggunakan defibrillator, petugas ambulans yang dapat menilai
dan memberikan dukungan kehidupan lanjutan atau advance life
support, menyediakan kendaraan di mana transportasi diperlukan,
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
33
merencanakan tanggap operasional untuk memberikan sumber daya
yang sesuai dan tercepat
b. Kategori 2 / Category 2 (C2)
Kategori 2 menggambarkan pasien yang berada dalam kondisi
darurat (emergency). Kondisi yang berpotensi serius (masalah A
(airway), B (breathing), C (circulation), D (disability)) yang mungkin
memerlukan penilaian cepat, intervensi di tempat yang mendesak dan /
atau transportasi mendesak. Beberapa contoh kasus cedera/sakit dalam
kondisi emergency yaitu gangguan pernafasan akut, stroke, nyeri dada,
infark miokardium, luka bakar yang luas, cedera serius, sepsis dan
kejang.
Semua keadaan tersebut diharapkan mendapatkan respon dalam
waktu antara 18-40 menit. Pada kondisi ini pasien dilakukan assess
(penilaian/pengkajian), treat (tindakan perawatan dan/ pengobatan) dan
transport (membawa pasien ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit
atau klinik terdekat). Pada beberapa kasus di Kategori 2 ada pasien yang
tidak perlu di-transport seperti pada pasien yang kehilangan kesadaran
(pingsan) dengan pernafasan normal.
c. Kategori 3 / Category 3 (C3)
Kategori 3 menggambarkan pasien dengan kondisi urgent. Masalah
mendesak yang membutuhkan penilaian (tatap muka atau telepon) dan
perawatan untuk mengurangi penderitan, misalnya kontrol nyeri, serta
mungkin membutuhkan transportasi dalam jangka waktu yang tepat
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
34
secara klinis. Beberapa contoh kasus cedera/sakit dalam kondisi ini
yaitu serangan, kejadian jatuh, luka bakar yang tidak luas, masalah
kehamilan dan persalinan yang terlambat non-darurat serta cedera
ringan. Pada kasus-kasus tersebut pasien akan dilakukan assess, treat
dan transport.
Dalam beberapa kasus cedera/sakit di kategori 3, pasien mungkin
ditangani secara in situ atau ditempat yaitu pasien tidak dilakukan
transport atau evakuasi. Misalnya, pada pasien hiper/hipoglikemia
tanpa komplikasi, cedera non-darurat dan sakit perut. Pada kategori ini
pasien akan direspon dalam kurun waktu paling lama 120 menit.
d. Kategori 4 / Category 4 (C4)
Kategori 4 menggambarkan pasien less urgent. Masalah yang tidak
mendesak tetapi membutuhkan penilaian baik secara tatap muka atau
telepon dan mungkin transportasi dalam kerangka waktu yang tepat
secara klinis. Beberapa contoh kasus sakit/cedera pada kaetegori ini
adalah mual/muntah, demam dan hidung berdarah (mimisan). Dalam
beberapa kasus, pasien mungkin diberikan saran melalui telepon atau
dirujuk ke layanan lain seperti dokter umum atau apoteker. Pada
kategori ini pasien akan direspon paling lama 180 menit (NSH, 2017).
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
35
Ket:
= variabel yang tidak diteliti
= variabel yang diteliti
Penatalakasanaan:
1. Triase
2. Pengkategorian Panggilan
3. Response Time
4. Penanganan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi:
• Kondisi pasien
• Jarak
• SDM
• Sistem informasi
• Kerjasama
• Respon
masyarakat
B. Kerangka Teori
Standar Pelayanan
Ambulans: Pengkate-
gorian Panggilan Am-
bulans, yang terdiri
dari:
1. Kategori 1 (C1)
2. Kategori 2 (C2)
3. Kategori 3 (C3)
4. Kategori 4 (C4)
Tujuan pelayanan ambulans:
agar layanan ambulans dapat
memberikan penanganan yang
cepat dan tepat.
Public Safety
Center (PSC)
Gambar 2.2. Kerangka teori (Asman, 2017; BUKD, 2013; NHS, 2017)
Gambaran Triase, Response..., Ratna Maryantika, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2019
36
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.3. Kerangka konsep
D. Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini tidak terdapat hipotesis penelitian. Hal ini dikarenakan
pada penelitian yang bersifat eksploratif dan deskriptif tidak memerlukan
hipotesis (Sugiyono, 2007; dalam Hamdi dan Bahruddin, 2014). Selain itu pada
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan triase, response time,
penanganan pasien dan penggolongan panggilan tanpa mencari hubungan antar
variabel tersebut. Sehingga pada penelitian ini tidak ada hipotesis penelitiannya.
PSC 119 Satria
Triase
Response time
Penanganan
Pengkategorian Panggilan
Ambulans