Post on 10-Apr-2020
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Upper Trapezius Syndrome
Upper trapezius syndrome yaitu terdapatnya titik nyeri pada otot
trapezius bagian atas yang timbul dari ketegangan pada beberapa serabut
otot yang berbentuk seperti tali pita dan terlalu kaku ketika disentuh,
menimbulkan reaksi kedutan yang terlokalisir yang disebut jump sign
(Juniarti, 2018). Sindrom myofascial merupakan kondisi nyeri otot
acute/chronic yang ada keberadaan trigger point yang terlalu sensitif
terhadap nyeri dan terdapat hanya di satu lokasi yang disebabkan
penggunaan otot secara overuse dengan posisi tubuh yang salah saat
membawa, mengagkat, mendorong barang, atau menarik barang, Posisi
duduk yang tidak benar, menyetir dalam waktu lama dan dalam posisi
membungkuk secara tak sadar dengan tanpa istirahat serta terlalu lama
bekerja didepan komputer tanpa melakukan aktivitas meregangkan otot-otot
yang bekerja. sehingga menyebabkan disfungsi neuromuscular end plate.
(Febryana., 2015).
Mekanisme myofascial syndrome upper trapezeus yaitu karena
menahan postur leher dan kepala agar tidak jatuh kedepan dalam waktu yang
lama serta posisi tubuh yang tidak ergonomis sehingga menimbulkan gejala
spasme pada otot upper trapezeus. Ketika otot mengalami gejala ketegangan
atau kontraksi secara terus menerus, akan menimbulkan tekanan secara
mekanis pada jaringan myofascial, dalam waktu yang lama hal ini akan
menstimulasi saraf nosiseptor (saraf yang bertanggung jawab terhadap
11
impuls nyeri) yang ada di dalam otot sehingga menimbulkan rasa nyeri
sehingga memicu sekresi hormon norepinephrine sehingga menyebabkan
gangguan kualitas tidur.
Gambar 2.1 Triger Point Upper Trapezius
Sumber: causes of upper back pain (Sellers, 2017).
Sindroma myofascial sering dihubungkan dengan ketegangan
terhadap serabut-serabut kecil otot. Melalui definisi yang telah disepakati,
nyeri pada serabut-serabut kecil otot bersifat menyeluruh, terjadi di atas dan
di bawah pinggang dan pada kedua sisi tubuh. Sementara itu, sindroma
myofasial lebih sering dirasakan sebagai nyeri yang terjadi di beberapa area
terbatas dari tubuh, misalnya, pada bagian di sekitar bahu dan leher, atau
hanya fokus sisi tubuh yang mengalami nyeri (Starlanyl, 2007).
Raymond (2014) menyatakan bahwa myofascial syndrome upper
trapezeus mempunyai sebuah hubungan yang selaras dengan tension type
headache dijelaskan karena penyebab dari tension type headache yaitu oleh
2 faktor yaitu psikis dan fisik. Secara psikis, nyeri pada area kepala ini bisa
muncul karena respon tubuh tehadap suatu tekanan, kecemasan, masalah
emosional, maupun depresi. Penyebab secara fisik yaitu posisi kepala yang
stagnan sehingga menahan beban otot-otot kepala dan leher dalam durasi
12
waktu yang lama serta kelelahan dalam bekerja sehingga hal ini akan
menyebabkan gangguan kualitas tidur.
Sehingga beberapa orang yang sudah melakukan penelitian
menyimpulkan definisi upper trapezius syndrome adalah sebuah gangguan
fisiologi pada jaringan myofascia pada otot upper trapezius, baik pada saat
kondisi akut maupun kronis, yang ditandai dengan adanya sekumpulan
gejala-gajala seperti trigger point /tender point, taut band, muscle twisting
serta muscle tightness pada otot upper trapezeus.
Gambar 2.2 Triger Point Upper Trapezius
Sumber: Referred pain sindroma miofasial upper trapezius
(Fernandez, 2009).
Pegawai tata usaha Universitas Muhammadiyah Malang yang
merupakan pekerja yang bekerja untuk melakukan aktivitas penghimpunan,
pencatatan, pengolahan, penggandaan, pengiriman berbagai data dan
informasi dalam posisi duduk membungkuk dan elevasi bahu statis dengan
durasi waktu yang lama secara berulang karena posisi jarak meja yang
terlalu rendah yaitu 70 cm dan dengan tinggi kursi sekitar 42 cm sehingga
menyebabkan posisi duduk yang tidak ergonomis karena jarak antara tinggi
meja dan kursi kurang dari 30 cm sehingga kebayanyakan pegawai
mengalami myofascial syndrome upper trapezeus.
13
Gambar 2.3. Posisi meja dan kursi
Sumber: Data Primer, 2019
Gambar 2.4. Posisi meja dan kursi
Sumber: Data Primer, 2019
Gambar 2.5. Posisi duduk pegawai TU UMM bekerja
Sumber: Data Primer, 2019
14
Mills (2010) menyatakan bahwa meja kerja harus disesuaikan
dengan kebutuhan pekerjaan. Untuk sebagian besar tujuan, pegawai kantor
yang bekerja dengan posisi duduk harus memiliki meja sendiri dengan
tinggi 76 cm dari lantai dengan tinggi kursi 42 cm sehingga memberikan
posisi kerja yang nyaman.
B. Anatomi
1. Otot-otot Pada Daerah Punggung Atas
a. Otot Upper Trapezius
Otot trapezius adalah otot yang berfungsi untuk
mempertahankan/membuat postur tidak gangguan atau otot tonik
dengan nervus accecory dan C3-C4 yang bertanggung jawab
melakukan gerakan elevasi, adduksi, dan depresi pada punggung
atas. Otot trapezius akan menahan suatu beban yang berlebihan
ketika terjadi sebuah kesalahan postur berupa mikro dan makro
traumatik. Mikro dan makro trauma biasanya menyebabkan
terjadinya fase kompresi dan ketegangan dalam durasi yang lama
jika di bandingkan dengan fase rileksasi (Syurrahmi et al, 2012).
Adapun gerakan dari upper trapezius muscle yaitu jika
melakukan gerakan mengangkat bahu. dan abd regio scapula. Saat
otot ini melakukan kontraksi dengan pemendekan otot bersama
dengan otot levator scapula sehingga menyebabkan gerak elevasi
pada scapula. Apabila otot upper trapezius melakukan kontraksi 1
sisi saja maka akan terjadi gerakan lateral flexi neck, sedangkan bila
15
dilakukan 2 sisi kiri dan kanan maka akan menghasillkan gerakan
ekstensi leher (Julantika, 2018).
Gambar. 2.6. Anatomi Trapezius Muscle
Sumber: Otot upper trapezius (StudyDroid, 2010)
b. Origo
Otot upper trapezius mempunyai origo di protuberansia
occipitalis external, sepertiga medial linea nuchal os. Occipital,
liigamentum nuchae, dan processus spinosus cervical tujuh.
c. Insertio
Insersio otot uppeer trapezius berapa pada bagian sepertiga
lateral clavicula bone dan processus acromion bone.
d. Saraf dan Vaskularisasi pada m. upper trapezius
Upper trapezius muscle mempunyai nerves yang diinervasi
oleh n. spinal aksesoris (CN IX) dan n. spina cervicalis (C3-C4).
Oleh karena itu, area dermatom otot ini sesuai area dermatom C3-
C4, dimana area dermatom pada C3 adalah fossa supraclavicularis
dan linea midclacularis. Sedanngkan area dermatom C4 pada sendi
acromioclavicularis dan area pada nervesnya sesuai dengan area 10
nervina n. supraclavicularis, yakni pada otot upper trapezius. Otot
16
upper trapezius mendapat sirkulasi dari arteri subclavian dan arteri
suprascapular.
2. Karakter otot-otot leher
Otot punggung merupakan otot tipe II yaitu otot yang mempunyai
kedutan yang lamban yang berkontraksi secara konstan bersama otot-
otot yang berada pada daerah bahu yang lain membuat posisi scapula
dan cervical mempertahankan posisi kepala supaya tidak jatuh kedepan
posisi dalam bekerja yang tidak sesuai dengan postur tubuh yang
seharusnya, melemahnya fungsi dari tubuh terutama fungsi dari otot-
otot yang bertanggung jawab terhadap postur tubuh saat bekerja, taruma
atau otot yang tertarik secara berlebihan yang sudah kronis. Terjadinya
kerja yang lebih lama pada otot daripada istirahat sehingga akan terjadi
suatu kondisi otot yang melebihi batas yang biasa disebut Critical Load
sehingga memunculkan kondisi lelah dan tegang pada otot.
(Khoiruddin, 2017).
3. Fascia
Fascia yang berasal dari bahasa latin yang bisa diartikan sebagai
tali pita atau perban, fascia adalah sebuah jaringan berada pada di dalam
tubuh yang terdapat di seluruh tubuh. Fascia tidak hanya bertanggung
jawab untuk menjadikan bentuk tubuh, tetapi fascia juga merupakan
jaringan penghubung dari segala sistem didalam tubuh makhluk hidup
(Clay dan Poun.ds, 2008).
Fascia merupakan sebuah jaringan tubuh yang mempunyai
bagian yang tipis dan berada di seluruh tubuh (superficial fascia) atau
17
suatu jaringan yang dapat menghubungkan antar jaringan, bagian dalam
(deep fascia) melindungi struktur tubuh. (Cael, 2010).
a. Struktur
Jaringan fascia mempunyai lapisan yang berjumlah tiga,
yaitu bagian luar superficial fascia, bagian dalam deep fascia dan
bagian antara dalam dan luar subserous fascia. Superficial fascia
terletak langsung di bawah lapisan dermis dari kulit. Fascia
superficial akan menjadi rekat pada jaringan dibawahnya serta
beberapa organ tubuh yang berada disekelilingnya. (Cael, 2010).
Deep fascia bertanggung jawab mulai dari lapisan yang
mengelillingi otot dan struktur yang ada pada dalam tubuh yang
berfungsi untuk membantu pergerakan secara efektif dan efisien
dari kerja otot, membuat jalan untuk jalur-jalur saraf dan pembuluh
darah baik arteri meupun vena, menyediakan tempat tambahan
untuk aktifitas otot, dan sampai menjadi lapisan bantalan yang
empuk untuk otot. (Cael, 2010).
Gambar. 2.7. lapisan. fascia.
Sumber: Carla, 2011
18
b. Fungsi Fascia.
Fungsi dari jaringan ikat fascia dapat dipaparkan oleh
Langevine (2009) adalah:
1) Superficial Fascia
Superficial Fascia atau istilah lain fascia superficialis,
tela subcutanea, panniculus adiposus, hypoderm, hypodermis.,
stratum subcutaneous, subcutis, adalah lapisan jaringan
pembungkus yang berlokasi berada pada bagian dibawah kulit
yang dapat dijumpai jaringan otot didalamnya dan berfungsi
untuk membuat gerakan yang terstruktur seperti melakukan
gerakan ekspresi pada otot-otot wajah, bagaimana arah gerakan
untuk tersenyum, menangis, dan cemberut.
2) Deep Fascia
Deep fascia atau lapisan yang terdapat pada bagian bawah
seperti lembaran yang struktur jaringannya tidak terstruktur
yang bertanggung jawab untuk menjaga kumpulan struktur
sesuai dengan lokasinya contohnya otot yang tidak terurai
keluar pada posisinya sesuai dengan tanggung jawabnya.
Lapisan ini membutuhkan kekuatan yang stabil untuk tetap
menahan struktur lapisan yang terdapat didalam tubuh dan
menahan komposisinya. Terdapat korelasi yang sangat jelas
antara lapisan fascia dengan jaringan musculotendinogen selalu
mengikuti aktifitas serabut otot dan menahan ikatan antar otot.
19
Gambar 2.8 lapisan cervicothoracic fascia
Sumber: Margaret, 2015
4. Tanda dan gejala yang dapat dijumpai pada sindroma myofasial otot
upper trapezius.
a. Nyeri yang lokasinya berada 1 titik yang jelas pada otot upper
trapezeus atau nyeri yang menyebar sesuai area jalur dermatome otot
upper trapezeus.
b. Saat dilakukan sentuhan palpasi terdapat jaringan otot yang keras
pada fascia dan otot upper trapezeus serta jaringan ikat longgar.
c. Apabila dilakukan penekanan pada otot upper trapezeus, terdapat
jaringan yang berantakan secara terlokalisir atau trigger point pada
taut band yang menimbulkan respon kedutan (respon kejang lokal).
d. Apabila bagian jaringan yang tidak beraturan pada daerah otot upper
trapezeus tadi distimulasi tekanan, akan menimbulkan respon nyeri
baik nyeri 1 titik ataupun beberapa titik (referred pain), tenderness
dan ketegangan otot pada area tersebut.
e. Terjadi pengurangan volume panjang otot sehingga menyebabkan
keterbatasan lingkup gerak sendi.
20
f. Spasme otot akibat adanya rasa nyeri yang timbul bersifat sekunder
yang diakibatkan oleh penumpukan zat-zat yang timbul karena
terjadinya iritasi/ hasil zat metabolik.
g. Dengan timbulnya respon nyeri tersebut biasanya dapat
menyebabkan volume elastisitas panjang otot terhambat sehingga
otot mengalami penurunan kekuatan yang berupa pseudo weakness
tapi tidak menimbulkan atrofi dan keterbatasan gerak sendi.
C. Konsep Tidur
1. Definisi kualitas tidur
Definisi dari kualitas tidur yaitu sebuah patokan seorang dapat
mudah dalam mengawali istirahat total dan untuk menjaga kualitas tidur,
waktu tidur, lama durasi tidur dan keluhan-keluhan yang tidak nyaman
saat tertidur maupun selesai dari kegiatan tidur. Tidur yang cukup
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas tidur. Faktor yang mempengaruhi
kualitas dan kuantitas tidur yaitu faktor lingkungan, psikologi, fisiologi
dan kebiasaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
2. Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
Kualitas tidur setiap orang berbeda-beda. Perbedaan kualitas
tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
a. Kebiasaan
Kebiasaan dalam menjalani hidup bisa menentukan kualitas
tidur seseorang. Terlalu lelah dalam menjalani hidup dapat
menimbulkan rasa tegang dan tidak tenang sehingga kualitas tidur
sangat terganggu, berbeda dengan kelelahan yang berapa ditingkat
21
yang sedang. Seseorang dengan kelelahan menengah dapat
memanfaatkan tidur lebih nyenyak dan mempunyai nilai tidur
dengan kualitas yang baik. Pada tingkat kelelahan yang berat dapat
menimbullkan periode tidur REM yang menghabiskan durasi waktu
yang lebih singkat (Sumitra, 2014).
b. Lingkungan
Lingkungan yang berada pada temperatur yang sejuk, tidak
dalam kondisi gaduh, bersih dan mendapat penerangan alami yang
cukup akan membuat seseorang memiliki kualitas tidur yang baik,
jika lingkungan tidak, suasana sangat berisik, bersuhu tinggi dan
tingkat pencahayaan yang sangat terang cendrung akan membuat
seseorang memiliki kualitas tidur yang buruk. (Sumitra, 2014).
c. Status kesehatan.
Rasa nyeri, sesak, gatal dan tubuh tidak sehat akan membuat
kualitas tidur seseorang buruk dan terganggu. Seseorang akan
mengalami kesulitan untuk mengawali tidur dan mempertahankan
dalam tetap tidur apabila memiliki gangguan kesehatan seperti nyeri
pada lutut atau punggung dan sesak nafas. Berbeda dengan
seseorang yang tidak mengalami gangguan kesehatan dan tubuhnya
selalu sehat akan lebih berpotensi untuk mendapatkan kualitas tidur
yang baik. Obat-obatan yang dikonnsumsi juga dapat berpengaruh
terhadap kualitas tidur. (Sumitra, 2014).
22
d. Stres secara psikologis
Melalui sistem saraf simpatis, keadaan cemas dan depresi
dapat meningkatkan hormon norepinephrine. Meningkatnya
hormon tersebut akan menurunkan kualitas pada tahap IV NREM
dan REM sehingga kualitas tidur buruk dan terganggu. (Sumitra,
2014).
3. Fisiologi Tidur
Setiap makhluk mempunyai siklus yang bernama irama sirkadian.
Irama sirkadian bersiklus 24 jam penuh. Tidur merupakan aktifitas dari
susunan saraf pusat, yang mana ketika seseorang sedang tidur bukan
berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang
bekerja (Harsono, 2007). Suatu sistem yang bertanggung jawab untuk
melakukan sistem siklus atau suatu perubahan dalam tidur yaitu bulbar
synchronizing (BSR) dan reticular activate system (RAS) yang ada di
medula oblongata. (Perry dan potter, 2005).
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan
susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak
dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi
rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat
menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk. rangsangan emosi dan
proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan
katekolamin seperti norephineprin. Demikian juga pada saat tidur,
disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang
23
berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter dan Perry,
2005).
4. Proses Tidur
Pada saat tidur dibagi jadi 2 tahapan, yang pertama Non Rapid Eye
Movement (NREM) yaitu pola gerak mata yang lambat dan yang kedua
Rapid Eye Movement (REM) yaitu pola gerak mata yang cepat (Potter
dan Perry, 2005).
Tahapan 1. NREM.
Yaitu tahapan yang paling awal dari proses mulai tidur. Berakhirnya
tahap ini dalam durasi beberapa menit yang akan membuat seseorang
gampang terbangun. Menurunnya proses fisiologi tubuh seperti
menurunnya vital sign dan metabolisme tubuh.
Tahapan 2. NREM.
Terjadi proses relaksasi dalam tubuh sehingga susah terbangun dari
tidur pada tahapan ini membutuhkan waktu 20-30 menit.
Tahapan 3. NREM.
Pada tahapan ini adalah proses awal dari tahap tidur yang dalam.
Komponen-komponen otot dalam tubuh menjadi lebih rileks yang
mengakibatkan seseorang susah untuk bangun dari tidur. Vital sign yang
turun dan teratur membutuhkan waktu 15-30 menit.
Tahapan 4. NREM.
Pada tahapan ini adalah fase tidur yang dalam sehingga pada tahap
ini seseorang akan menjadi susah terbangun dari tidur. Jika durasi tidur
tidak mencukupi maka tubuhnya akan menyesuaikan waktu tidurnya
24
pada tahapan ini. Vital sign yang terjadi penurunan secara signifikan dan
bekerja secara teratur dan menghabiskan waktu 15-30 menit.
Pada tahapan REM orang akan mengalami mimpi dalam tidurnya
dan menjadi susah dibangunkan. Reaksi gerakan mata yang cepat,
peningkatan detak jantung secara signifikan, meningkatnya proses
respirasi dan meningkatnya aliran peredaran darah, meningkatkan
skeletal tonus muscle.
5. Pengukuran Gangguan Tidur
a. Definisi PSQI
Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) yaitu metode pengukuran
yang biasa digunakan untuk mengukur kualitas tidur pada orang
dewasa. Pengukuran PSQI dalam mengukur kualitas tidur meliputi
dua patokan yaitu baik dan buruk. Metode pengukuran PSQI
memiliki 7 penilaian yang menjadi patokan penilaian, nilai diambil
berdasarkan kualitas dari tidur seseorang, kebiasaan saat tidur,
rentang waktu tidur, tidur efisien dan keluhan tidur pada siang hari.
7 komponen penilaian tersebut memiliki skala penilaian masing-
masing dari 0-3, setelah itu total dari nilai 7 komponen tersebut
dijumlahkan sehingga hasilnya berada di 0-21, nilai yang rendah
menunjukkan kualitas tidur yang baik sedangkan nilai yang tinggi
menunjukkan kualitas tidur yang buruk. (Magfirah, 2016).
Tabel 2.1 Pembagian Skala PSQI
Sumber : Slameto, 2010
No Pertanyaan Skala
1 Mulai dari jam berapa anda pertama kali tidur
seiap malam.
0-3
25
2 Anda tidur berapa jam saat malam. 0-3
3 Bangun pagi jam berapa. 0-3
4 Waktu yang digunakan dari berbaring sampai
tertidur.
0-3
5
Seberapa sering masalah-masalah
dibawah ini mengganggu tidur.
a. tidak mampu tidur selama 30.
menit sejak berbaring.
b. terbangun diitengah malam atau
terlalu dini.
c. terbangun untuk kekamar mandi
d.tiidak mampu bernafas dengan
leluasa.
e. batuk atau mengorok.
f. kedinginan dimalam hari.
g. kepanasan diimalam hari.
h. mimpi buruk.
i. terasa nyeri.
j. alasan lain……….
0-3
0-3
0-3
0-3
0-3
0-3
0-3
0-3
0-3
0-3
6 Apakah anda sering pakai obat tidur. 0-3
7
Seberapa sering anda mengantuk
saat melakukan aktifitas di siang
hari.
0-3
8
Seberapa besar antusias anda ingin
menyelesaikan masalah yang anda
hadapi.
0-3
9
Pertanyaan pre intervensi:
Bagaimana kualitas tidur anda
selama sebulan yang lalu
Pertanyaan post intervensi:
Bagaimana kualitas tidur anda
selama seminggu yang lalu.
0-3
b. Cara Mengukur PSQI
PSQI memiliki 7 komponen penilaian yaitu kualitas dari
tidur seseorang, kebiasaan saat tidur, rentang waktu tidur, tidur
efisien dan keluhan tidur pada siang hari. 7 komponen penilaian
tersebut memiliki skala penilaian masing-masing dari 0-3, point-
point penilaian tersebut sebagai berikut.
1.) Penilaian no 1,2,3 efisiensi tidur
26
Tidur yang efisien bisa dilihat dari (lama tidur/lama
ditempat tidur) x 100 % durasi pada saat di tempat tidur bisa
dilihat di pertanyaan 1 dan 3 yaitu hasilnya sebagai berikut:
<65 % = 3
65 % - 74 % = 2
75 % - 84 % = 1
>85 % =0
2.) Rentang waktu tidur penilaian no 2
<5 Jam = 3
5-6 Jam = 2
6-7 Jam = 1
>7 Jam = 0
3.) Kebiasaan tidur (susah memulai tidur) total dari penilaian
nomor 4 dan 5 a
Nomor 4
<15 menit=0
16-30 menit=1
31-60 menit=2
>60 menit=3
Nomor 5a
Tidak pernah=0
Sekali seminggu=1
Dua kali seminggu=2
Lebih dari tiga kali seminggu=3
27
Hasil dari skor nomor 4 dan nomor 5a digabungkan dan ditotal
sesuai dengan perhitungan dibawah ini:
Skor 0=0
Skor 1-2=1
Skor 3-4=2
Skor 5-6=3
4.) Keluhan tidur malam hari pertanyaan nomor 5b – 5j, per
penilaian ditotal dengan perhitungan dibawah ini
Tidak pernah=0
Sekali seminggu=1
Dua kali seminggu=2
Lebih dari tiga kali seminggu=3
Total dari penilaian 5b-5j di hitung sesuai dengan skor
dibawah ini.
Skor 0 =0
Skor 1-9 =1
Skor 10-18 =2
Skor 19-21 =3
5.) Penggunaan obat tidur penilaian no 6
Tidak pernah=0
Sekali seminggu=1
Dua kali seminggu=2
Lebih dari tiga kali seminggu=3
6.) Ngantuk pada siang hari total dari penilaian nomor 7 dan 8
28
Penilaian nomor 7:
Tidak pernah=0
Sekali seminggu=1
Dua kali seminggu=2
Lebih dari tiga kali seminggu=3
Penilaian nomor 8:
Antusias =0
Kecil =1
Sedang =2
Besar =3
Jumlahkan total skor penilaian nomor 7 dan 8 dengan penilaian
dibawah ini
Skor 0=0
Skor 1-2=1
Skor 3-4=2
Skor 5-6=3
7.) Subyektifitas kualitas tidur penilaian nomor 9
Sangat baik =0
Baik =1
Kurang =2
Sangat kurang =3
Total akumulasi penilaian akhir:
Total semua hasil penilaian dari 7 komponen tersebut
dijumlahkan sehingga hasilnya berada di 0-21. nilai yang rendah
29
menunjukkan kualitas tidur yang baik sedangkan nilai yang tinggi
menunjukkan kualitas tidur yang buruk. (Magfirah, 2016).
D. Myofascial Release
1. Definisi
Myofascial release yaitu suatu teknik yang berfokus pada
peningkatan ruang lingkup sendi yang disebabkan oleh gangguan
jaringan lunak pada sendi. Myofascial release fokus untuk suatu
kondisi yang berhubungan dengan kondisi postural yang buruk,
aktivitas fisik yang kurang dan dampak dari cedera yang pernah
terjadi sebelumnya. Pada kondisi tersebut biasanya memicu
permasalahan pada otot, misalnya pemendekan otot dan
perlengketan jaringan di sekitar jaringan fascia. (Riggs dan Grant,
2008).
Myofascial release merupakan terapi yang efektif untuk
mengurangi rasa nyeri pada jaringan myofascial. Terapi ini fokus
pada penekanan yang memiliki tujuan untuk peregangan dan
peningkatan panjang lapisan myofascial agar melepaskan
perlengketan jaringan sehingga bisa meningkatkan fungsi
pergerakan sendi (Riggs dan Grant, 2008).
30
Gambar 2.9: Fisiologi sebelum dan sesudah myofascial release
Sumber: Carl, 2011
2. Indikasi dan Kontraindikasi
Weiselfish menyatakan bahwa indikasi myofascial release
yaitu:
a. Terdapat permasalahan pada jaringan myofascial.
b. Penurunan tingkat elastisitas fascia
c. Terdapat keterbatasan ruang lingkup sendi
d. Jaringan lunak mengalami ketegangan
Weiselfish (2005) menyatakan bahwa kontraindikasi
myofascial release yaitu:
a. Terdapat gejala kanker
b. Terdapat patah tulang atau infeksi tulang
c. Kegagalan fungsi jantung
Riggs dan Grant (2009) dalam bukunya menyatakan bahwa
kontraindikasi biasanya terjadi pada tubuh pada bagian yang tidak
boleh dilakukan tindakan myofascial release yaitu:
a. Strain atau sprain akut
b. Mengalami gangguan sesnsitifitas kulit
31
c. Odema
d. Osteoporosis
e. Osteomyelitis
f. Ruang lingkup sendi yang berlebihan
g. Riwayat diseksi arteri
h. Mempunyai riwayat aneurisma
i. Hematom
j. Serangan jantung
k. Tumor dan kanker
l. Patah tulang
m. Sedang menjalani terapi anticoagulant
n. Inflamasi akut
3. Teknik Myofascial Release Technique
a. Direct technique release
Teknik yang biasa disebut deep tissue pressure technique,
teknik yang biasanya dilakukan satu arah dengan arah fascia
supaya bisa bebas bergerak. Teknik ini biasanya dilakukan pada
daerah yang terjadi ketegangan atau pemendekan otot. Teknik
ini memunculkan rasa nyeri karena penekanan hingga kedalam
jaringan otot. Walau ada beberapa rasa tidak nyaman tapi bisa
tekanan bisa dikurangi sehingga rasanya nyeri berkurang.
b. Indirect technique release
Penerapan teknik ini bertuju pada pembebasan
perlengketan fascia dari jaringan yang berada di sekitarnya.
32
Misalnya penatalaksanaan pada bahu dengan yang memiliki
gangguan cendrung ke depan, maka penatalaksanaannya
dilakukan pada bagian belakang agar bahu tidak lagi condong
kedepan sehingga terjadi pemanjangan otot. Kekurangan teknik
ini harus diaplikasikan secara berulang hingga beberapa kali.
c. Combined direct and indirect technique
Adanya respon pada tiap individu yang berbeda dengan
sistem saraf pusat sangat sensitif atau ambang nyeri rendah
mungkin merasa disorientasi atau kewalahan untuk mendapat
penekanan langsung atau karena terlalu banyak input,
sebaliknya, individu dengan aktifitas fisik yang tinggi dan
berotot biasanya le.bih memilih agresifitas. metode yang lebih
langsung. Sehingga diperlukan metode yang sesuai. dengan
keadaan dan pada kebutuhan individu.
4. Kelebihan Myofascial Release Technique
Kelebihan dari Myofascial Release yang dinyatakan Weeb dan
Duncan (2016) yaitu:
a. Relaksasi otot dan rasa nyaman.
b. Meningkatkan derajat kesehatan secara umum karena adanya
proses peningkatan volume air.
c. Meningkatkan lingkup gerakan sendi
d. Meningkatkan propioceptif dan interception
e. Mengembalikan keseimbangan dan koreksi postural tubuh
f. Meningkatkan rehabilitasi trauma.
33
5. Prosedur Pelaksanaan Myofascial Release Technique
Prosedur pelaksanaan Myofascial Release Menurut Minasny
(2009):
a. Posisikan sampel dengan posisi nyaman sebelum intervensi.
Gambar 2.10: Posisi nyaman
Sumber: Data Primer, 2019
b. Posisi yang bagus yaitu posisi duduk dengan tegak, leher
digerakkan kesamping agar terjadi pemajangan pada otot
trapezeus.
Gambar 2.11: Posisi flexi, lateral flexi dan rotasi
Sumber: Data Primer, 2019
34
c. Selama pemberian intervensi posisi responden dan peneliti
harus nyaman setelah itu berikan aba-aba khusus kepada
responden
Gambar 2.12: Memulai aba-aba
Sumber: Data Primer, 2018
d. Lakukan myofascial release pada serabut otot yang mengalami
ketegangan dengan ibu jari.
Gambar 2.13: Melakukan stroking
Sumber: Data Primer, 2018
35
e. Pada saat pengaplikasian tidak menggunakan lubrikan
f. Lakukan proses ini 10-15 menit dilakukan sebanyak 3x
seminggu.
6. Efek pemberian Myofascial Release Technique
Fatwa (2018) menyatakan bahwa pengaplikasian myofascial
release pada tahap awal akan memberikan efek micro inflamation
pada jaringan sehingga sirkulasi pada jaringan tersebut meningkat
dan terjadi perbaikan jaringan pada jaringan otot secara fisiologis.
Efek dari Myofascial Release Technique terbukti mengurangi rasa
nyeri akibat respon fisiologi dari meningkatnya nitrogen dioksida (NO2),
pemulihan jaringan lunak, meningkatnya sirkulasi darah dan plastisitas
sirkulasi tubuh. Anggraini (2015) menyatakan efek dari myofascial release
yaitu pada jaringan fascia terjadi peregangan sehingga terjadi peningkatan
lingkup gerak sendi, meningkatkan suhu tubuh dan meningkatkan cairan
pada jaringan sehingga menurunkan resiko perlengketan jaringan.
E. Ischemic Compression
1. Definisi
Ischemic compression merupakan teknik terapi manual yang
sering digunakan untuk menonaktifkan trigger points. Teknik ini
menerapkan tekanan langsung yang berkelanjutan dengan kekuatan
cukup selama durasi waktu 90 detik. Ischemic Compression berfungsi
untuk memperlambat pasokan darah dan meredakan ketegangan otot.
Pengurangan nyeri selama pemberian ischemic compression dapat
disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang
mempengaruhi rasa sakit. Setelah dilakukan penekanan maka akan
36
terjadi peningkatan sirkulasi darah dan nyeri akan berkurang. (Miasny,
2009).
2. Prosedur Pelaksanaan Ischemic Compression
Prosedur pelaksanaan Ischemic Compression Menurut Minasny
(2009):
a. Posisikan sampel dengan posisi nyaman sebelum intervensi.
Gambar 2.14: Posisi nyaman
Sumber: Data Primer, 2019
b. Posisi yang bagus yaitu posisi duduk dengan tegak, leher digerakkan
kesamping agar terjadi pemajangan pada otot trapezeus.
Gambar 2.12: Posisi leher kearah sedikit flexi, lateral
flexi dan rotasi
Sumber: Data Primer, 2019
37
c. Selama pemberian intervensi posisi responden dan peneliti harus
nyaman setelah itu berikan aba-aba khusus kepada responden
Gambar 2.13: memberi aba-aba tertentu
Sumber: Data Primer, 2019
d. Lakukan tekanan pada serabut otot yang mengalami ketegangan
dengan ibu jari dengan durasi 30 detik
Gambar 2.14: Melakukan penekanan pada serabut otot
Sumber: Data Primer, 2018
e. Proses ini dilakukan selama 10-15 menit sebanyak 3x seminggu.
38
F. Kinesiotapping
1. Definisi
Kinesiotapping adalah sebuah perekat elastis yang dapat ditarik
dengan tarikan 130-140% dari panjang. sebenarnya, yang bertujuan
untuk memfasilitasi dan membatasi kerja otot (Khoiruddin, 2017).
Kinesiotapping memberikan efek:
Meningkatkan sirkulasi lokal, Mengurangi odema lokal,
Meningkatkan peredaran darah, Memberikan stimulasi pada kulit, otot
atau struktur fascia, Memfasilitasi input ke sistem saraf pusat dan
membatasi lingkup gerak sendi (Bakhtiyar dan Wahyuni, 2014)
Pemberian kinesiotapping dengan merk kinesiotape setelah 24
jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan kontraksi
dan setelah 24 jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat
melakukan kontraksi dan etelah 72 jam tonus otot menurun, sehingga
untuk mengurangi tonus otot yang berlebih disarankan pemasangan
cukup sampai dengan 3 hari (Khoiruddin, 2017).
2. Pengaruh Fisiologi Kinesiotapping
Kinesiotapping ini merangsang atau memfasilitasi beberapa
proses fisiologi tubuh manusia, seperti melancarkan aktivitas sistem
limpatik, dan meknisme analgesik, endogen serta meningkatkan
mikrosirkulasi, kinesio tapping memiliki recoil yang dapat mengangkat
kulit dan memberikan ruang pemisah antara kulit dengan otot, sehingga
dapat melancarkan sirkulasi limfatik dan darah dengan adanya gerakan
otot (Hendrick, 2017), serta meningkatkan aktivasi propioseptif melalui
39
kulit untuk menormalisasikan tonus otot, mengurangi nyeri,
mengkoreksi ketidaksesuaian posisi jaringan dan menstimulus atau
merangsang mekanoreseptor di kulit (Hendrick, 2017).
3. Prosedur pemasangan kinesiotapping
a. Posisikan pasien duduk senyaman mungkin
Gambar 2.15: Posisi nyaman.
Sumber: Data Primer, 2019
b. Potong kinesiotaping menggunakan bentuk I dan potong pinggiran
yang lancip agar tidak iritasi.
Gambar 2.16: Potong kinesiotapping
Sumber: Data Primer, 2019
c. Arahkan pasien untuk meregangkan otot yang ingin dipasang
tapping.
40
Gambar 2.17: Posisi meregangkan otot
Sumber: Data Primer, 2019
d. Lalu pasangkan tapping dengan tarikan 10% dari distal ke
proximal.
Gambar 2.18: Pemasangan kinesiotapping.
Sumber: Data Primer, 2019
Biarkan selama 3 hari pemakaian.