Post on 08-May-2019
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu Manis
Kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan tanaman semak atau pohon
kecil yang umumnya dikenal sebagai cassia Indonesia, cassia Batavia, dan cassia
Padang, dan merupakan anggota dari Lauraceae. Tanaman ini tersebar di Asia
Tenggara dan dibudidayakan di negara Indonesia dan Filipina. Tanaman ini memliki
bentuk lonjong-elips yang panjangnya 4-14 cm dengan daun berbentuk bulat yang
berwarna hijau mengkilap. Kulit kering dari tanaman ini sering ditemukan dengan
bentuk gulungan di pasar dan digunakan untuk bumbu masakan (Al-Dhubiab, 2012).
2.1.1 Taksonomi Kayu Manis
Berdasarkan klasifikasi tanaman, kedudukan tanaman kayu manis dalam
sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (BPOM RI,
2008) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Spesies :Cinnamomum burmannii (Ness & T. Nees) Blume
6
8
2013 terhadap mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ), didapakatkan
adanya perbaikan pada sel β pankreas yang diberi ekstrak kulit kayu manis
(Cinnamomum burmannii) dengan dosis yang berbeda. Cinnamaldehyde
pada Cinnamomum burmannii memiliki aktivitas potensial terhadap
produksi nitrit oksida (NO) dan dapat menghambat ekspresi NO yang
berperan dalam terjadinya stress oksidatif (Mollazadeh & Hosseinzadeh,
2016).
Kandungan lain yang terkandung dalam ekstrak kulit kayu manis
(Cinnamomum burmannii), senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan
adalah MHCP. Senyawa ini merupakan suatu flavonoid yang mempunyai
korelasi yang signifikan dengan aktivitas antioksidan (Fidrianny, I., Ruslan,
K., & Saputra, 2012). Untuk mengurangi adanya stress oksidatif tersebut
diperlukan antioksidan. Ekstrak kulit kayu manis (Cinnamomum
burmannii), memiliki banyak kandungan yang berfungsi sebagai antioksidan
dan sekaligus memiliki aktifitas kerja yang mirip insulin (insulin mimetic)
(Sayuti & Yenrina, 2015). MHCP dapat menurunkan pembentukan ROS,
peroksidasi lipid, dan peningkatan rasio glutathione (GSH)/glutathione-
disulfid (GSSG) yang dapat memperbaiki stress oksidatif akibat diabetes
(Yakozawa et al., 2012).
Selain itu, dalam penelitian lain juga dilaporkan bahwa MHCP dapat
meningkatkan ekspresi PPAR α/γ sehingga dapat meningkatkan sensitifitas
insulin (Kamble & Rambhimaiah, 2013). Antioksidan yang terkandung
dalam kulit kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan antioksidan
sekunder yang bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari
9
radikal bebas atau dengan cara menangkapnya (scavenger free radical)
sehingga radikal bebas tidak bereaksi dengan komponen seluler (Sayuti &
Yenrina, 2015). Polifenol sebagai antioksidan dapat memproteksi sel
terhadap kerusakan oksidatif dan mengurangi resiko berbagai macam
penyakit degeneratif yang berhubungan dengan oksidatif stres (Li et al.,
2016).
Polifenol yang terkandung dalam ekstrak kayu manis manis tidak
hanya memiliki aktivitas seperti insulin, polifenol juga bertindak sebagai
antioksidan kuat yang mampu menghambat enzim 5-lipooksigenase
(Dugoua, et al., 2007). Selain polifenol, komponen eugenol dalam kayu
manis pada penelitian in vitro juga mampu menghambat peroxynitrit-
induced nitration dan peroksidasi lipid. Aktivitas antioksidan dari kayu
manis mampu bertindak sebagai scavenger dari NO, radikal 1,1-difenil-2-
pikrilhidrazil (DPPH), radikal 2,2'-azino-bis(3-ethylbenzothiazoline-6-
sulphonic acid) (ABTS), hydroxyl dan anion superoksida (Hariri, M., &
Ghiasvand, R. 2016).
Kandungan polifenol dan flavonoid yang tinggi pada kulit kayu
manis Cinnamomum burmannii memiliki aktifitas antioksidan yang tinggi
didasarkan pada kemampuan penangkapan radikal bebas terutama pada sel
β pankreas. Mekanisme ini sangat baik sebagai penangkal radikal bebas
yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas akibat reaksi siklus redoks
aloksan (Yang, Li, & Chuang, 2012).
10
2.2 Diabetes Mellitus
2.2.1 Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (International Diabetes Federation, 2015).
Namun pada sebagian besar kasus, DM disebabkan oleh berkurangnya
sekresi insulin oleh sel β pulau Langerhans (Guyton AC, Hall JE, 2011).
Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (American Diabetes
Association, 2013).
2.2.2 Epidemiologi
Menurut data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2015,
prevalensi DM di dunia mencapai 415 juta orang dengan usia mayoritas 20-
79 tahun dan diperkirakan pada tahun 2040 mendatang jumlah penderita
mencapai 642 juta orang dengan kata lain satu dari sepuluh orang dewasa
akan menderita DM. Sedangkan data untuk Western Pacific, di mana
Indonesia termasuk di dalamnya, prevalensi DM tahun 2015 mencapai
153,2 juta orang dan diperkiran pada tahun 2040 meningkat menjadi 214,8
juta orang (Cho,et al, 2015). Pada tahun 2013, angka prevalensi penderita
DM meningkat hampir dua kalli lipat dibandingkan tahun 2007 (Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014).
11
2.2.3 Etiologi
Faktor genetik dan lingkungan dapat meningkatkan resiko inflamasi,
autoimun dan stres metabolik. Hal ini dapat mempengaruhi massa sel β
pankreas dan/atau fungsinya seperti kadar insulin, yang nantinya akan
terjadi resistensi insulin yang menyebabkan hiperglikemia. Kadar glukosa
darah yang tinggi secara terus-menerus dapat berujung komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas DM (Skyler, 2016)
(Skyler et al., 2016) Gambar 2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Massa Sel β pankreas
12
2.2.4 Klasifikasi
(IDF, 2015)
Gambar 2.4 Klasifikasi DM
2.2.5 Patofisiologi
2.2.5.1 DM Tipe 1
Pada DM tipe 1 terjadi destruksi sel β pankreas atau penyakit
yang mengganggu produksi insulin, adanya lesi pada sel β
pankreas karena mekanisme autoimun, yang pada keadaan
tertentu dipicu oleh infeksi virus. Di sisi lain faktor keturunan
juga memainkan peran utama dalam menentukan kerentanan sel β
tersebut karena dalam beberapa kasus, orang mungkin cenderung
memiliki keturunan yang mengalami degenerasi sel β tanpa ada
infeksi virus atau gangguan autoimun (Guyton & Hall, 2016). DM
tipe 1 adalah penyakit autoimun, dan kerusakan islet terutama
disebabkan oleh limfosit T yang bereaksi terhadap antigen-
antigen sel β yang belum diketahui (Kumar et al, 2010).
2.2.5.2 DM Tipe 2
Pada DM tipe 2 paling sering terjadi dan terdapat defisiensi
insulin realtif. Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan
penting. Namun, terdapat defisiensi insulin relatif pasien tidak
13
mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin
dapat normal atau bahkan biasanya meningkat, tetapi organ target
memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Silbernagl
dan Lang, 2016).
Pasien DM tipe 2 biasanya memiliki berat badan berlebih yang
terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu
banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit.
Ketidakseimbangan tersebut meningkatkan konsentrasi asam
lemak di dalam darah yang selanjutnya akan menurunkan
penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, akan
terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk meningkatkan
pelepasan insulin. Karena menurunnya regulasi pada reseptor,
resistensi insulin akan semakin meningkat. Sehingga, obesitas
merupakan pemicu yang penting namun bukan satu-satunya
penyebab DM tipe 2 (Silbernagl dan Lang, 2016).
Dua defek metabolik yang menandai DM tipe 2 adalah (1)
berkurangnya kemampuan jaringan perifer berespons terhadap
insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel β yang
bermanifestasi sebagai kurang adekuatnya sekresi insulin dalam
menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia (Kumar et al,
2010). Resistensi insulin menyebabkan berkurangnya penyerapan
glukosa di otot dan jaringan lemak dan ketidakmampuan hormon
menekan glukoneogenesis di hati. Disfungsi sel β diabetes melitus
tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel ini beradaptasi
14
terhadap kebutuhan jangka panjang resistensi insulin perifer dan
peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan reistensi insulin,
sekresi insulin mula-mula meningkat untuk setiap kadar glukosa
dibandingkan keadaan normal. Keadaan hiperinsulinemia ini
adalah suatu kompensasi suatu resistensi perifer dan sering dapat
mempertahankan glukosa plasma normal selama bertahun-tahun.
Namun akhirnya kompensasi sel β menjadi tidak adekuat, dan
terjadi perkembangan hingga pasien mengalami diabetes melitus
yang nyata (Kumar et al, 2010).
Terdapat fakta bahwa dengan perjalanan waktu telah terjadi
penurunan fungsi sel β pada hampir semua pasien diabetes,
sehingga muncul pendapat bahwa glukosa sendiri toksik terhadap
sel β pankreas (Stumvold et al, 2008). Hal ini juga telah terbukti
melalui percobaan pada in vitro atau pada binatang percobaan.
Pada suatu penelitian didapatkan bahwa glukotoksisitas dapat
menginduksi suatu gen yang disebut TRIB 3 yaitu suatu protein
yang terlibat dalam jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis sel
β pankreas (Qian et al., 2008). Secara in vitro, perlakuan
hiperglikemia dapat menyebabkan menurunnya mRNA insulin
dan menurunkan pula laju translasi protein proinsulin (Zhang L et
al, 2009). Selain menyebabkan kematian/apoptosis sel β pankreas,
glukotoksisitas juga menyebabkan gangguan pada tahap akhir dari
eksositosis insulin (Dubois M, 2007).
15
2.2.5.3 Gestational Diabetes
DM tipe kehamilan adalah diabetes yang terjadi saat
kehamilan. Intoleransi terhadap glukosa dapat terjadi selama
kehamilan. Resistensi insulin berhubungan dengan perubahan
metabolik pada akhir masa kehamilan, dan peningkatan
kebutuhan insulin dapat mengakibatkan terjadinya Impaired
Glucose Tolerance (IGT) (Powers, 2015). DM tipe ini dapat
membahayakan bagi ibu dan bayi setelah lahir jika tidak ditangani
segera dan dapat meningkatakan resiko DM tipe 2 pasca kelahiran
untuk keduanya (Cho et al., 2015)
2.2.6 Komplikasi
Dibetes melitus merupakan kondisi metabolik kronik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemi persisten dengan mortalitas dan morbiditas
yang signifikan terkait komplikasi mikrovaskuler atau makrovaskuler
(American Diabetes Association, 2017). Komplikasi kronis akibat diabetes
yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh
diantaranya (Ndraha, 2014) :
Kerusakan saraf (neuropati)
Kerusakan mata (retinopati)
Kerusakan ginjal (nefropati)
Penyakit jantung koroner
Stroke
Hipertensi
Penyakit paru
16
Penyakit pembuluh darah perifer
2.3 Pankreas
2.3.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada duodenum
dan terdapat kurang lebih 1.000.000-15.000.000 pulau Langerhans
(Dolenšek, Rupnik & Stožer, 2015). Pankreas merupakan sebuah organ
solid. Secara makroskopis, pankreas dapat dibagi menjadi tiga bagian :
kaput, korpus dan kauda. Tidak ada batas yang jelas di antara ketiga bagian
tersebut. Secara umum, batas kiri arteri mesenterika superior dianggap
sebagai batas antara bagian kaput dan korpus pankreas sedangkan bagian
tengah antara korpus dan kauda dianggap sebagai batas di antara keduanya
(Sharma et al., 2015).
Dalam pulau langerhans jumlah sel β normal pada manusia antara 60% -
80% dari populasi sel pulau Langerhans. Pankreas berwarna putih keabuan
hingga kemerahan. Organ ini merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas
jaringan eksokrin dan jaringan endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan
enzim-enzim pankreas seperti amylase, peptidase dan lipase, sedangkan
jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, glukagon dan
somatostatin (Dolenšek, Rupnik & Stožer, 2015).
Hubungan yang erat antar sel-sel yang ada pada pulau Langerhans
menyebabkan pengaturan secara langsung sekresi hormon dari jenis hormon
yang lain. Terdapat hubungan umpan balik negatif langsung antara
konsentrasi gula darah dan kecepatan sekresi sel alfa, tetapi hubungan
tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel β. Kadar gula
17
darah akan dipertahankan pada nilai normal oleh peran antagonis hormon
insulin dan glukagon, akan tetapi hormon somatostatin menghambat sekresi
keduanya (Dolenšek, Rupnik & Stožer, 2015).
(Sobotta, 2010) Gambar 2.5
Anatomi Pankreas 2.3.2 Histologi Pankreas
Sel-sel dibedakan menjadi 4 jenis yaitu sel alfa, β, delta, dan sel PP.
Granula-granula sekretoris dari sel-sel ini berbeda menurut spesies yang
dipelajari. Pada manusia, sel alfa mempunyai granula yang teratur dengan
sebuah inti padat yang dikelilingi daerah jernih yang dibatasi oleh sebuah
membran. Sel β mempunyai granula yang tidak teratur dengan inti yang
terbentuk oleh kristal-kristal kompleks insulin (Junqueira & Carneiro,
2012).
18
Sel α mensintesis hormon glukagon, sel β mensintesis hormon insulin,
sel delta mensintesis hormon somatostatin, dan sel PP mensekresi
polipeptida pankreatika (Eroschenko, 2008). Sel β berjumlah 50-70% dari
seluruh jumlah sel pada pulau Langerhans. Sedangkan sel α berjumlah 20-
40% dari seluruh jumlah sel pada pulau Langerhans (Dolenšek, Rupnik &
Stožer, 2015).
(Eroschenko, 2008)
Gambar 2.6 Histologi Pankreas
2.4 Aloksan
Aloksan (2,4,5,6 – tetraoxypyrimidine; 5,6 – dioxyuracil) merupakan suatu
agen diabetik yang biasanya diberikan kepada hewan coba secara parenteral,
intravena, intraperitoneal atau subcutan (Szkudelski, 2001). Dosis aloksan yang
dibutuhkan untuk menginduksi hewan coba tergantung spesies hewan, rute
administrasi, dan status gizi. Induksi secara intravena paling sering digunakan,
biasanya sebesar 65 mg/kgBB. Induksi secara intraperitoneal atau subkutan
dibutuhkan dosis 2-3 kali lebih tinggi. Induksi intraperitoneal dibawah 150
mg/kgBB tidak cukup untuk menginduksi DM (Szkudelski, 2001).
19
(Lenzen, 2008) Gambar 2.7
Struktur Kimia Aloksan
Aloksan mempunyai struktur molekul yang mirip dengan glukosa sehingga
reseptor GLUT 2 di sel β pankreas dapat menerima dan pada akhirnya akan di
transport kan ke sitosol (Lenzen, 2008). Kemudian di dalam sel, aloksan akan
mengalami reaksi kimia redoks, sehingga menghasilkan ROS yang bisa merusak
DNA dari sel β pankreas dan dapat menyebabkan gangguan homeostasis Ca2+
intraseluler, dikonfirmasi oleh percobaan in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa
aloksan meningkatkan konsentrasi Ca2+ bebas sitosol sel β pankreas, pada keadaan
ini dapat merusak sel β pankreas (Szkudelski, 2001).
Masuknya kalsium diakibatkan oleh kemampuan aloksan dalam
mendepolarisasi sel β pankreas. Depolarisasi membran sel membuka voltase
dependen saluran kalsium dan meningkatkan masuknya kalsium ke dalam sel
(Szkudelski, 2001). Salah satu target dari ROS adalah DNA dari pulau
Langerhans. Fragmentasinya terjadi pada sel β pankreas akibat paparan aloksan.
Karena kerusakan sel β pankreas secara otomatis menurunkan sekresi insulin,
20
kurangnya insulin dalam tubuh dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa
dalam tubuh sehingga terjadi hiperglikemi (Khardori, 2017).
Superoksida dismutase, katalase dan antioksidan non enzimatik dari radikal
hidroksil juga ditemukan mampu melindungi toksisitas aloksan, oleh karena itu
bahan kimia yang memiliki sifat anti-oksidatif dan menghambat poly Adenosin
Difosfat (ADP)-ribosylation bisa menipiskan toksisitas aloksan (Szkudelski,
2001).