Post on 06-Feb-2018
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Disabilitas Intelektual
1. Definisi Disabilitas Intelektual
Disabilitas Intelektual terdiri dari kata Intelektual dan Disabilitas. Intelektual atau
inteligensi merupakan padanan kata dari kecerdasan kognitif seseorang, yaitu kemampuan
verbal dan nonverbal yang mencakup ingatan, abstraksi, logika, persepsi, wawasan,
perbendaharaan kata, pengolahan informasi, pemecahan masalah, dan keterampilan
motorik visual (Puar, 1998). Disabilitas merupakan kondisi yang menggambarkan adanya
disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang secara objektif dapat diukur atau dilihat,
karena adanya kehilangan atau kelainan dari bagian tubuh atau organ seseorang
(Mangunsong, 2009). Menurut Hallahan & Kauffman (1944), Intellectual Disability
merupakan istilah lain dari tunagrahita yang merupakan keterbatasan yang signifikan
dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang terwujud melalui
kemampuan adaptif konseptual, sosial dan praktikal. Keadaan ini muncul sebelum usia 18
tahun.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa disabilitas intelektual adalah suatu
disfungsi atau keterbatasan baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang dapat
diukur atau dilihat yang menimbulkan berkurangnya kapasitas untuk beraksi dalam cara
tertentu.
Menurut Mangunsong (2009), adapun prinsip-prinsip yang harus diperhatikan sebagai
upaya pendampingan pada anak berkebutuhan khusus antara lain :
2
a. Tipe Kecacatan dan Tingkat Keparahan Anak
Kadar atau tingkat keparahan suatu kecacatan sama pentingnya dengan jenis
kebutuhan khusus untuk dipertimbangkan dalam perencanaan strategi pendampingan
dan pengajaran pada anak berkebutuhan khusus. Semakin parah atau semakin serius
cacatnya, semakin pasti si anak akan dididik dengan setting pendidikan khusus.
b. Tingkat Usia Anak
Sudah seharusnya dalam pemilihan strategi pendampingan diperhatikan tingkat
perkembangan anak baik fisik maupun psikis termasuk dalam hal ini tingkatan usia
anak. Hal ini perlu diperhatikan agar metode, alat, bahan dan strategi benar-benar
sesuai dengan kondisi anak.
Jadi prinsip pendampingan pada anak berkebutuhan khusus sebaiknya memperhatikan
dua hal. Pertama adalah tipe kecacatan dan tingkat keparahan, semakin serius cacat yang
dialami anak maka semakin pasti anak akan dididik dengan setting pendidikan khusus. Kedua
adalah tingkat usia anak, suatu metode, alat, bahan dan strategi benar-benar disesuaikan
dengan kondisi anak.
2. Klasifikasi Disabilitas Intelektual
Menurut Mangunsong (2009), kaum profesional juga mengklasifikasikan anak disabilitas
intelektual berdasarkan tingkat keparahan masalahnya. The American Psychological
Association (APA), membuat klasifikasi anak disabilitas intelektual atau tunagrahita
berdasarkan tingkat kecerdasan atau skor IQ, yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi skor IQ menurut APA
Klasifikasi Rentangan IQ
3
Mild 55-70
Moderate 40-55
Severe 25-40
Profound Di bawah 25
Berdasarkan tabel di atas, terdapat beberapa klasifikasi berdasarkan skor IQ menurut APA.
Kategori mild berada pada rentang skor IQ 55-70, kategori moderate berada pada rentang
skor IQ 40-55, kategori severe berada pada rentang skor IQ 25-40 dan kategori profound
berada pada rentang skor IQ di bawah 25.
Terdapat pula klasifikasi IQ menurut Weschler (dalam norma WPPSI), yang tertera pada
tabel.
Tabel 2. Klasifikasi skor IQ menurut Weschler
IQ Klasifikasi
>128 Very Superior
120-127 Superior
111-119 Bright Normal
(High Average)
91-110 Average
80-90
66-79
<65
Dull Normal
(Low Average)
Borderline
Defective
Mentally
Defective
Berdasarkan tabel di atas, terdapat beberapa klasifikasi berdasarkan skor IQ menurut
Weschler. Kategori very superior berada pada rentang skor IQ >128, kategori superior berada
pada rentang skor IQ 120-127, kategori bright normal atau high average berada pada rentang
skor IQ 111-119, kategori average berada pada rentang skor IQ 91-110, kategori dull normal
4
atau low average berada pada rentang skor IQ 80-90, kategori borderline defective berada
pada rentang skor IQ 66-79, dan kategori mentally defective berada pada rentang skor IQ <65.
Jadi klasifikasi skor IQ dipaparkan menurut APA dan Weschler. Menurut APA, rentang
IQ diklasifikasikan menjadi empat yaitu mild, moderate, severe dan profound. Sedangkan
menurut Weschler, rentang IQ diklasifikasikan menjadi tujuh yaitu very superior, superior,
bright normal, average, dull normal, borderline defective dan mentally defective.
3. Karakteristik Berdasarkan Skor IQ
Adapun karakteristik anak disabilitas intelektual berdasarkan skor IQ, meliputi:
a. Anak dengan skor IQ 55-70 tergolong ringan atau mild, bila dilihat dari segi
pendidikan termasuk anak yang mampu didik. Anak-anak dengan disabilitas
intelektual masih bisa dididik di sekolah umum, meskipun sedikit lebih rendah
daripada anak-anak normal pada umumnya. Anak dengan disabilitas intelektual tidak
memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, walaupun perkembangan fisiknya
sedikit agak lambat daripada anak rata-rata dan kurang dalam hal kekuatan, kecepatan,
dan koordinasi, serta sering memiliki masalah kesehatan. Rentang perhatian juga
pendek sehingga sulit berkonsentrasi dalam jangka waktu lama. Anak dengan
disabilitas intelektual terkadang mengalami frustrasi ketika diminta berfungsi secara
sosial atau akademis sesuai usia anak seperti menolak untuk melakukan tugas kelas.
Terkadang memperlihatkan rasa malu atau pendiam, namun hal ini dapat berubah bila
anak dengan disabilitas intelektual banyak diikutkan untuk berinteraksi dengan anak
lain (Henson & Aller dalam Mangunsong, 2009). Di luar pendidikan, beberapa
keterampilan dapat dilakukan tanpa selalu mendapat pengawasan seperti keterampilan
mengurus diri sendiri. Menurut Harris (2006), anak dengan kategori mild termasuk
mampu didik namun masalah dalam penggunaan bahasa dan bicara dapat membatasi
5
kemampuan anak saat dewasa. Anak kemungkinan memperoleh keterampilan
akademik sampai kelas enam pada akhir tahun masa remaja. Selama masa dewasa,
anak dengan kategori mild hanya sedikit dapat mengembangkan kemampuan sosial
dan hidup mandiri. Kesulitan belajar anak jelas terlihat pada kemampuan akademis.
b. Anak dengan skor IQ 40-55 termasuk sedang atau moderate, digolongkan sebagai
anak yang mampu latih untuk beberapa keterampilan tertentu. Jika diberikan
kesempatan pendidikan yang sesuai, anak dapat dididik untuk melakukan pekerjaan
yang membutuhkan kemampuan tertentu. Anak dapat dilatih untuk mengurus dirinya
serta dilatih beberapa kemampuan membaca dan menulis sederhana. Apabila
dipekerjakan, membutuhkan tempat kerja yang terlindungi dan perlu pengawasan.
Anak memiliki kekurangan dalam kemampuan mengingat, menggeneralisasi, bahasa,
konseptual, perseptual, dan kreativitas sehingga perlu diberikan tugas yang sederhana,
singkat, relevan dan berurutan (Hanson & Aller dalam Mangunsong, 2009). Seringkali
anak memiliki koordinasi fisik yang buruk, mengalami masalah di banyak situasi
sosial dan menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicaranya. Menurut Harris
(2006), anak disabilitas intelektual sedang atau moderate mengalami hambatan pada
koordinasi motorik. Ada juga keterbatasan dalam prestasi akademik, perawatan diri
dan keterampilan sosial. Anak dengan kategori moderate umumnya membutuhkan
pengawasan yang konsisten dari orang lain.
c. Anak dengan skor IQ 25-40 tergolong berat atau severe, memperlihatkan banyak
masalah dan kesulitan meskipun di sekolah khusus. Anak membutuhkan pelayanan
yang terus menerus dan pengawasan yang teliti. Dengan kata lain, tidak mampu
mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang lain meskipun pada tugas-tugas sederhana.
Jarang sekali dipekerjakan dan sedikit sekali berinteraksi sosial (Lyen dalam
Mangusong, 2009). Anak mengalami gangguan bicara dan kelainan fisik lainnya
6
seperti lidah seringkali menjulur keluar bersamaan dengan keluarnya air liur. Kepala
sedikit lebih besar dari umumnya. Kondisi fisik lemah dan hanya bisa dilatih
keterampilan khusus selama kondisi fisik memungkinkan. Menurut Harris (2006),
sebagian besar anak dengan disabilitas intelektual berat mengalami penurunan pada
beberapa fungsi tertentu. Selama tahun-tahun prasekolah, perkembangan motorik yang
buruk dan kurang mampu berkomunikasi dapat segera diketahui. Selama tahun-tahun
usia sekolah, bahasa verbal mungkin muncul dan keterampilan perawatan diri dapat
diajarkan. Pada saat dewasa, perlunya pengawasan untuk membantu anak dalam
menyelesaikan tugas.
d. Anak dengan skor IQ di bawah 25 tergolong sangat parah atau profound, memiliki
masalah yang sangat serius baik menyangkut kondisi fisik, inteligensi serta program
pendidikan yang tepat bagi anak. Umumnya memperlihatkan kerusakan pada otak
serta kelainan fisik yang nyata. Anak dapat berjalan dan makan sendiri namun
kemampuan berbicara dan berbahasa sangat rendah serta interaksi sosial sangatlah
terbatas (Lyen dalam Mangunsong, 2009). Kelainan fisik lainnya dilihat pada kepala
yang lebih besar dan sering bergoyang-goyang. Penyesuaian diri sangat kurang dan
nampaknya membutuhkan pelayanan medis yang baik dan intensif. Menurut Harris
(2006), anak dengan disabilitas intelektual yang sangat parah memiliki pemahaman
terkait bahasa yang sangat terbatas untuk memahami perintah sederhana dan membuat
permintaan sederhana. Perawatan diri, komunikasi, dan kemampuan motorik
memerlukan pelatihan dalam pengaturan yang terstruktur. Kelainan otak, cacat
neurologis dan fisik dapat memengaruhi keadaan anak secara umum seperti adanya
gangguan kejang dan gangguan penglihatan serta pendengaran.
Jadi terdapat beberapa karakteristik berdasarkan skor IQ, meliputi skor IQ 55-70 atau
mild yang memiliki karakteristik anak mampu dididik di sekolah umum, namun sedikit
7
lebih rendah daripada anak-anak normal pada umumnya. Skor IQ 40-55 atau moderate
dengan karakteristik anak mampu latih untuk mengurus diri sendiri serta dilatih beberapa
kemampuan membaca dan menulis sederhana. Skor IQ 25-40 atau severe dengan
karakteristik mengalami kondisi fisik yang lemah dan hanya bisa dilatih keterampilan
khusus selama kondisi fisik memungkinkan. Skor IQ di bawah 25 atau profound dengan
karakteristik anak yang memiliki masalah sangat serius menyangkut kondisi fisik,
inteligensi, serta program pendidikan yang tepat bagi anak. Seringkali membutuhkan
pelayanan medis yang baik dan intensif.
4. Karakteristik pada Anak dengan Disabilitas Intelektual
Menurut Hallahan & Kauffman (dalam Mangunsong, 2009) defisit yang dialami anak
tunagrahita atau disabilitas intelektual mencakup beberapa area utama, yaitu :
a. Atensi atau perhatian.
Anak tunagrahita sering memusatkan perhatian pada benda yang salah serta sulit
mengalokasikan perhatian dengan tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadiprana
dan Simanjuntak (2014), mengemukakan bahwa intervensi atau perlakukan dengan
media permainan kolase memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
kemampuan konsentrasi siswa tunagrahita, hal ini menunjukkan bahwa media
permainan kolase efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan konsentrasi
dalam proses pembelajaran, sehingga siswa memperoleh hasil belajar yang baik.
b. Daya ingat.
Pada umumnya anak dengan disabilitas intelektual mengalami kesulitan dalam
mengingat suatu informasi. Seringkali masalah ingatan yang dialami adalah yang
berkaitan dengan working memory, yaitu kemampuan menyimpan informasi tertentu
dalam pikiran sementara melakukan tugas kognitif lain. Menurut Abbeduto (2003),
8
working memory merupakan sistem kognitif yang bertanggung jawab untuk
penyimpanan sementara dan manipulasi informasi secara simultan. Anak dengan
disabilitas intelektual umumnya dicirikan oleh kapasitas working memory yang berada
di bawah rata-rata dan dapat membatasi kemampuan anak. Hal ini menunjukkan
bahwa anak dengan disabilitas intelektual memiliki hubungan antara mekanisme
memori dan pemahaman.
c. Perkembangan bahasa.
Secara umum anak tunagrahita mengikuti tahap-tahap perkembangan bahasa
yang sama dengan anak normal, tetapi perkembangan bahasa pada umumnya
terlambat muncul, lambat mengalami kemajuan dan berakhir pada tingkat
perkembangan yang lebih rendah. Anak mengalami masalah dalam memahami dan
menghasilkan bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh Febrisma (2013), menyatakan
bahwa metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan kosakata pada anak
tunagrahita ringan kelas DV di SLB Kartini Batam. Penggunaan metode bermain
memiliki peran penting dalam menstimulasi perkembangan bahasa anak serta dapat
menarik perhatian anak pada pelajaran.
d. Regulasi Diri.
Anak-anak dengan disabilitas intelektual mengalami kesulitan dalam regulasi diri,
yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Selain itu
mengalami kesulitan dalam menentukan strategi regulasi diri, seperti mengulang suatu
materi serta mengalami kesulitan dalam metakognisi yang berhubungan erat dengan
kemampuan regulasi diri. Metakognisi berarti kesadaran seseorang akan strategi apa
yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah tugas, kemampuan merencanakan
bagaimana menggunakan strategi tersebut, serta mengevaluasi seberapa baik strategi
tersebut bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Ramawati, Allenidekania dan Besral
9
(2012), menyatakan bahwa kemampuan perawatan diri pada anak disabilitas
intelektual tergolong rendah dan masih membutuhkan bantuan di sebagian besar area.
Kemampuan perawatan diri dan regulasi diri membutuhkan adanya bimbingan dan
pelatihan yang berkesinambungan baik dari orangtua, guru atau tenaga kesehatan.
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kemampuan regulasi diri adalah faktor
pendidikan orangtua, semakin tinggi latar belakang pendidikan orangtua maka
semakin baik keterampilan regulasi diri anak. Faktor usia, dalam hal ini usia dapat
membantu memprediksi waktu yang tepat untuk mengajarkan dan melatih anak terkait
keterampilan regulasi diri. Faktor kelemahan motorik juga berpengaruh dalam
keterampilan regulasi diri pada anak dengan disabilitas intelektual karena berkaitan
dengan koordinasi gerakan, kontrol gerakan serta kesesuaian gerak.
e. Perkembangan sosial.
Anak tunagrahita cenderung sulit mendapat teman dan mempertahankan
pertemanan karena dua hal. Pertama, mulai usia pra sekolah anak tersebut tidak tahu
bagaimana memulai interaksi sosial dengan orang lain. Kedua, bahkan ketika anak
tidak sedang berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain, anak menampilkan
tingkah laku yang membuat teman-temannya menjauh seperti perhatian yang tidak
fokus dan mengganggu. Penelitian yang dilakukan oleh Sofinar (2012), menyatakan
bahwa anak disabilitas intelektual menunjukkan perilaku kurang baik dalam
pergaulan terutama dengan teman sekelas. Perilaku yang ditampilkan anak lebih
banyak dipengaruhi dari dalam diri anak akibat keterbatasan yang berkaitan dengan
tingkat inteligensi di bawah rata-rata.
f. Motivasi.
Anak seringkali memunculkan perasaan bahwa seberapapun besar usaha yang
dilakukan, pasti akan menunjukkan kegagalan. Akhirnya, anak akan cenderung
10
mudah putus asa ketika dihadapkan pada tugas yang menantang. Penelitian yang
dikemukakan oleh Santoso (2008), menyatakan bahwa buku bergambar dapat
meningkatkan minat baca pada anak usia dini. Buku bergambar lebih memotivasi
anak untuk belajar. Buku-buku bergambar dimaksudkan untuk mendorong ke arah
apresiasi dan kecintaan terhadap buku, dapat melalui cerita secara verbal yang
menarik.
g. Prestasi akademis.
Karena ada hubungan yang erat antara inteligensi dengan prestasi seseorang,
maka akan menghambat semua prestasi akademis dibandingkan dengan anak-anak
normal. Performa anak-anak dengan disabilitas intelektual pada semua area
kemampuan akademis berada di bawah rata-rata yang seusia dengannya. Anak juga
cenderung menjadi underachiever atau pencapaian rendah yang berkaitan dengan
harapan-harapan yang didasarkan pada tingkat kecerdasan. Terdapat penelitian yang
dilakukan oleh Selvarajan & Vasanthagumar (2012), tentang pengaruh remedial
teaching untuk meningkatkan kompetensi anak yang mengalami pencapaian rendah di
sekolah. Program remedial tepat digunakan untuk mengatasi kelemahan anak yang
menunjukkan pencapaian rendah di sekolah.
Menurut Brown, Wolery dan Haring (1991), anak dengan disabilitas intelektual memilliki
beberapa karakteristik, antara lain :
a. Suka meniru perilaku orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan yang anak
lakukan.
b. Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
c. Mempunyai masalah yang berkaitan dengan perilaku sosial serta kurang mampu
untuk berkomunikasi.
d. Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
11
e. Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan.
f. Mempunyai masalah pada kesehatan fisik serta adanya kelainan pada sensori dan
gerak.
Jadi terdapat beberapa karakteristik pada anak dengan disabilitas intelektual meliputi
perhatian, yaitu anak sulit mengalokasikan perhatian dengan tepat. Daya ingat anak yang
masih kurang, perkembangan bahasa yang lebih rendah dibandingkan anak normal yang
sebaya. Regulasi diri yang kurang, sulit untuk mengatur tingkah laku anak sendiri.
Perkembangan sosial yang kurang, anak sulit mendapat teman dan mempertahankan
pertemanan. Motivasi cenderung menurun karena anak mudah putus asa saat dihadapkan
pada tugas yang menantang serta prestasi akademis yang berada di bawah rata-rata dengan
anak seusianya.
5. Faktor-Faktor Penyebab Disabilitas Intelektual
Menurut Hallahan & Kauffman (dalam Mangunsong, 2009) faktor-faktor penyebab
disabilitas intelektual dapat diklasifikasikan atas :
a. Faktor eksternal
Adapun faktor penyebab dari luar, meliputi :
1. Kekurangan gizi pada ibu yang tidak menjaga pola makan yang sehat.
2. Keracunan atau efek substansi waktu ibu hamil yang bisa menimbulkan
kerusakan pada plasma inti.
3. Radiasi, misalnya nuklir.
4. Kerusakan pada otak waktu kelahiran, misalnya lahir karena alat bantu atau
pertolongan, lahir prematur.
5. Panas yang terlalu tinggi misalnya pernah sakit keras, thypus, cacar.
6. Infeksi pada ibu seperti rubella.
12
7. Gangguan pada otak, misalnya tumor otak, kekurangan oksigen dalam otak atau
anoxia, infeksi pada otak.
8. Gangguan fisiologis seperti down syndrome adalah gangguan genetik
menyebabkan perbedaan belajar dan ciri-ciri tertentu, cretinism adalah kelainan
hormonal karena kekurangan hormon tiroid.
9. Pengaruh lingkungan dan kebudayaan pada anak-anak yang dibesarkan di
lingkungan yang buruk seperti adanya penolakan, kurang stimulasi yang ekstrem.
b. Faktor internal
Faktor penyebab dari dalam bersumber dari faktor keturunan yang dapat berupa
gangguan pada plasma inti atau chromosome abnormality.
Menurut Harris (2006), faktor-faktor penyebab disabilitas intelektual antara lain :
1. Faktor prenatal atau sebelum lahir, meliputi :
a. Gangguan pada kromosom
b. Gangguan pada sindrom
c. Gangguan metabolisme
d. Gangguan perkembangan pada formasi otak
e. Pengaruh lingkungan meliputi malnutrisi saat kehamilan, konsumsi obat-obat
terlarang atau bahan yang mengandung racun, penyakit saat kehamilan seperti
diabetes.
2. Faktor perinatal atau saat lahir, meliputi :
a. Berat badan lahir rendah atau prematur
b. Infeksi seperti meningitis dan gangguan pernafasan
3. Faktor postnatal atau pasca kelahiran, meliputi :
a. Cedera kepala
b. Infeksi virus seperti rubella
13
c. Gangguan degeneratif seperti rett sindrom, penyakit parkinson.
Faktor penyebab disabilitas intelektual ada dua yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal disebabkan karena faktor sebelum kelahiran seperti malnutrisi
saat hamil, keracunan atau konsumsi obat-obat yang berbahaya untuk kandungan,
terkena radiasi, mengidap penyakit tertentu, infeksi pada ibu, gangguan fisiologis seperti
gangguan genetik dan kelainan hormonal pada anak dalam kandungan. Faktor saat
kelahiran seperti gangguan pada otak yaitu kekurangan oksigen dalam otak, berat badan
lahir rendah, prematur. Faktor pasca kelahiran seperti pengaruh lingkungan dan
kebudayan yang buruk bagi anak. Kedua adalah faktor internal yang bersumber dari
faktor keturunan.
B. Kemampuan Membaca
1. Definisi Kemampuan Membaca
Kemampuan membaca sangat penting dikembangkan sedini mungkin pada anak
karena akan berguna dikemudian hari. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia,
kemampuan merupakan kesanggupan atau kecakapan. Sedangkan menurut Broto (dalam
Abdurrahman, 2012), membaca merupakan suatu komunikasi tulis, bukan hanya
mengucapkan bahasa tulisan atau lambang bunyi bahasa melainkan juga menanggapi dan
memahami isi bahasa tulisan. Menurut Soedarso (dalam Abdurrahman, 2012)
mengemukakan bahwa membaca merupakan aktivitas kompleks yang memerlukan sejumlah
besar tindakan terpisah-pisah, mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan, dan
ingatan.
Menurut Bond (dalam Abdurrahman, 2012) mengemukakan bahwa membaca
merupakan pengenalan simbol-simbol bahasa tulis yang merupakan stimulus yang membantu
proses mengingat tentang apa yang dibaca, untuk membangun suatu pengertian melalui
14
pengalaman yang telah dimiliki. Menurut Dalman (2013), membaca merupakan proses
perubahan bentuk lambang atau tanda atau tulisan menjadi wujud bunyi yang bermakna.
Menurut Sadra, Japa dan Suarjana (2012), membaca merupakan proses memperoleh makna
dari barang cetak.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
membaca merupakan kecakapan individu yang melibatkan aktivitas kompleks mencakup
fisik dan mental dalam merubah bentuk lambang atau tanda atau tulisan menjadi bunyi yang
bermakna. Aktivitas fisik terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman
penglihatan, sedangkan aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman.
Menurut Sadra, Japa dan Suarjana (2012), kemampuan membaca terdiri dari tiga
indikator meliputi mampu menyuarakan kata yang dibaca dengan intonasi yang jelas, mampu
mengidentifikasi huruf dengan bunyinya, mampu mengidentifikasi struktur kata dengan
struktur bunyi yang bermakna.
2. Tahapan Perkembangan Membaca
Menurut Harris (dalam Abdurrahman, 2012), terdapat lima tahap perkembangan
membaca yaitu :
a. Kesiapan membaca
Tahap perkembangan kesiapan membaca mencakup rentang waktu dari sejak
dilahirkan hingga pelajaran membaca diberikan, umumnya pada saat masuk kelas satu
SD. Kesiapan menunjuk pada taraf perkembangan yang diperlukan untuk belajar secara
efisien. Terdapat delapan faktor yang memberikan sumbangan untuk belajar membaca
yaitu kematangan mental, kemampuan visual, kemampuan mendengarkan,
15
perkembangan wicara dan bahasa, keterampilan berpikir dan memperhatikan,
perkembangan motorik, kematangan sosial dan emosional, serta motivasi dan minat.
b. Membaca permulaan
Tahap membaca permulaan umumnya dimulai sejak anak masuk kelas satu SD, yaitu
pada saat berusia sekitar enam tahun. Meskipun demikian, ada anak yang sudah belajar
membaca lebih awal dan ada pula yang baru belajar membaca pada usia tujuh atau
delapan tahun.
c. Keterampilan membaca cepat
Pada umumnya membaca cepat atau membaca lancar terjadi pada saat anak-anak
duduk di kelas dua atau kelas tiga. Untuk menguasai keterampilan membaca cepat
diperlukan pemahaman tentang hubungan simbol-bunyi.
d. Membaca luas
Pada tahap ini, umumnya terjadi pada saat anak-anak telah duduk di kelas empat atau
lima SD. Pada tahap ini anak-anak gemar dan menikmati sekali membaca. Anak-anak
umumnya membaca buku-buku cerita atau majalah dengan penuh minat sehingga
pelajaran membaca dirasakan mudah. Anak-anak yang mengalami kesulitan dalam
membaca jarang yang mampu mencapai tahapan ini meskipun usia anak lebih tinggi
daripada teman-teman yang lain.
e. Membaca yang sesungguhnya
Tahap ini terjadi ketika anak-anak sudah duduk di SLTP dan berlanjut hingga dewasa.
Anak-anak tidak lagi belajar membaca tetapi membaca untuk belajar. Anak belajar untuk
memahami, memberikan kritik, atau untuk mempelajari bidang studi tertentu.
Terdapat pula tahap perkembangan membaca menurut Cochorane (dalam Musfiroh,
2009), yang terdiri dari sembilan tahap meliputi :
1. Tahap Magic
16
Pada tahap ini, anak mulai berpikir bahwa buku adalah sesuatu yang penting.
Anak melihat-lihat buku kemudian sering membawa buku serta memiliki buku-buku
yang disukai.
2. Tahap Pengulangan Linier
Tahap ini anak menulis dengan bentuk linier dan mempunyai kesan bahwa suatu
kata ada yang berbentuk panjang dan ada pula yang pendek. Pada tahap ini anak
membutuhkan dukungan untuk membentuk garis-garis menjadi huruf-huruf. Tahap ini
terjadi pada anak usia dua hingga tiga tahun.
3. Tahap Huruf Acak
Pada tahap ini anak mulai menuliskan huruf-huruf walaupun bukan kata-kata
yang konvensional. Dua huruf yang ditulis bisa saja memiliki makna yang berbeda
dengan bentuknya. Pada tahap ini, guru dan orangtua perlu memberi respon positif
tetapi tidak memberikan kritik. Tahap ini muncul pada anak usia tiga sampai empat
tahun.
4. Tahap Menulis Fonetik
Pada tahap ini, anak mulai menghubungkan bentuk tulisan dengan bunyi.
Tahap ini disebut menulis nama huruf karena anak menuliskan huruf yang memiliki
nama dan bunyi yang sama. Tahap ini terjadi pada anak usia empat tahun ke atas.
5. Tahap Eja Transisi
Pada tahap ini, anak mulai belajar tentang sistem tulisan, yaitu bahasa tulisan
yang konvensional. Anak mulai melafalkan huruf-huruf dalam rangkaian kata secara
konvesional. Anak mulai beralih dari pelafalan fonetik ke pelafalan yang lebih standar
sehingga disebut transisi.
6. Tahap Konsep Diri
17
Tahap ini, anak melihat diri sendiri sebagai pembaca yang terlihat dalam kegiatan
pura-pura membaca, mengambil makna dari gambar serta membahasakan buku
walaupun berbeda dengan teks yang ada di dalam buku.
7. Tahap Pembaca Antara
Anak-anak memiliki kesadaran terhadap bahan cetak. Anak memilih kata yang
sudah dikenal, mencatat kata-kata yang berkaitan dengan diri anak serta membaca
suatu cerita dan puisi. Pada tahap ini, anak mulai mengenali alfabet.
8. Tahap Lepas Landas
Pada tahap ini, anak-anak mulai bergairah untuk membaca, mulai mengenali
huruf dari konteks, memperhatikan huruf cetak dan membaca apapun di sekitar anak,
seperti tulisan pada kemasan dan tanda-tanda.
9. Tahap Independen
Anak dapat membaca buku yang belum dikenal secara mandiri, menghubungkan
makna dari huruf dan pengalaman sebelumnya. Anak-anak dapat membuat perkiraan
tentang materi bacaan. Materi berhubungan langsung dengan pengalaman yang mudah
untuk dibaca.
Jadi tahapan perkembangan membaca secara umum antara lain kesiapan membaca
yang mencakup faktor-faktor terkait taraf perkembangan yang diperlukan untuk belajar
secara efisien. Membaca permulaan yang dimulai sejak anak masuk kelas satu SD saat
berusia enam tahun. Keterampilan membaca cepat atau membaca lancar terjadi pada saat
anak-anak duduk di kelas dua yang memiliki pemahaman tentang hubungan simbol-
bunyi. Membaca luas terjadi saat anak-anak duduk di kelas empat atau lima SD, namun
anak yang mengalami kesulitan dalam membaca jarang mencapai tahap membaca luas.
Membaca sesungguhnya terjadi pada anak-anak yang duduk di SLTP hingga dewasa,
anak ditekankan membaca untuk belajar.
18
3. Cara Yang Digunakan Dalam Belajar Membaca
Pengajaran membaca yang dilaksanakan di tingkat sekolah dasar terbagi menjadi dua,
yaitu :
a. Membaca permulaan
Cara membaca permulaan dilaksanakan di kelas satu sampai dengan kelas tiga SD.
Dimulai dari penanaman mengidentifikasikan huruf (lambang bunyi dengan
bunyinya), menuju ke penanaman mengidentifikasi struktur kata dengan struktur
bunyinya (Sadra, Japa & Suarjana, 2012). Menurut Dalman (2013), membaca
permulaan mencakup : pengenalan bentuk huruf, pengenalan unsur-unsur linguistik,
pengenalan hubungan atau korespondensi pola ejaan dan bunyi atau kemampuan
menyuarakan bahan tertulis dan kecepatan membaca bertaraf lambat.
b. Membaca lanjut atau pemahaman
Cara membaca lanjut diberikan mulai dari kelas empat SD dan seterusnya.
Dilakukan dengan menghubungkan ciri penanda visual dari tulisan dengan maknanya
(Sadra, Japa & Suarjana, 2012). Menurut Dalman (2013), pada dasarnya membaca
pemahaman merupakan kelanjutan dari membaca permulaan. Dalam hal ini seseorang
tidak lagi dituntut bagaimana melafalkan huruf dengan benar dan merangkaikan setiap
bunyi bahasa menjadi bentuk kata, frasa, dan kalimat tetapi dituntut untuk memahami
isi bacaan yang telah dibaca.
Terdapat beberapa metode dalam membaca, salah satu metode yang dianggap sesuai
untuk anak-anak yang memiliki kelemahan intelektual dan mengalami kesulitan dalam
belajar membaca adalah metode Gillingham. Menurut Sadra, Japa dan Suarjana (2012),
19
aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf
tersebut. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-
kelompok yang lebih besar. Dengan kata lain pengenalan kata melalui proses mendengarkan
bunyi huruf kemudian mensintesiskan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata dan kata.
Untuk memperkenalkan bunyi berbagai huruf biasanya mengaitkan huruf-huruf tersebut
dengan huruf depan berbagai nama benda yang sudah dikenal anak seperti huruf a dengan
gambar ayam, huruf b dengan gambar buku, dan sebagainya.
Menurut Dalman (2013), pada dasarnya ada tiga hal yang diperhatikan terkait bacaan
yang hendak dibaca yaitu :
1. Kemudahan
Kemudahan disini berkaitan dengan bentuk tulisan, seperti besar huruf dan lebar
spasi. Kemudahan membaca dapat diukur melalui tingkat kesalahan membaca yang
berhubungan dengan keterampilan membaca dan kejelasan tulisan.
2. Kemenarikan
Kemenarikan disini berhubungan dengan minat pembaca dan penilaian keindahan
gaya tulisan.
3. Keterpahaman
Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti
panjang pendeknya, frekuensi penggunaan dan susunan kalimat.
Jadi cara yang digunakan dalam belajar membaca ada dua, yaitu membaca permulaan
yang mencakup pengenalan bentu huruf, pengenalan unsur-unsur linguistik, pengenalan
hubungan pola ejaan dan bunyi serta kecepatan membaca taraf lambat. Cara kedua adalah
membaca pemahaman atau lanjut yang menekankan untuk memahami isi bacaan yang dibaca
oleh anak. Metode yang digunakan dalam membaca adalah metode Gillingham (2012), yang
20
menekankan pengenalan kata melalui proses mendengarkan bunyi huruf kemudian
mensintesiskan huruf-huruf menjadi suku kata dan kata. Terdapat tiga hal yang diperhatikan
pada suatu bacaan yaitu kemudahan terkait dengan bentuk tulisan, kemenarikan terkait
dengan keindahan gaya tulisan, dan keterpahaman terkait dengan karakteristik kata dan
kalimat.
C. Menyimak Cerita
1. Definisi Menyimak Cerita
Pada Kamus Umum Bahasa Indonesia, menyimak diartikan sebagai mendengarkan
atau memperhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca orang, dan cerita adalah
tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal seperti peristiwa atau
kejadian. Menurut Kusmayadi, Hidayati dan Tresnawati (2007), menyimak merupakan
keterampilan berbahasa yang dilakukan seseorang untuk memahami informasi secara
umum maupun lebih rinci. Sedangkan menurut Sadra, Japa dan Suarjana (2012),
menyimak merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan,
mengidentifikasi bunyi bahasa, menginterpretasi, menilai dan mereaksi atas makna yang
terkandung di dalamnya, yang memiliki tujuan untuk memahami apa yang dikatakan
pembicara.
Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan, disimpulkan bahwa menyimak cerita
adalah suatu proses mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan oleh orang lain
terkait sesuatu dalam hal ini adalah cerita, kemudian menginterpretasi dan menceritakan
kembali untuk memahami apa yg dikatakan pembicara.
Menurut Sadra, Japa dan Suarjana (2012), menyimak cerita terdiri dari lima indikator
meliputi mampu mendengarkan cerita dengan seksama, mampu mencermati bunyi
21
bahasa, mampu menginterpretasi sebuah cerita, mampu menilai hal yang terkandung
dalam cerita, mampu memahami makna yang terkandung dalam cerita.
Menurut Sadra, Japa & Suarjana (2012) terdapat beberapa peran dan fungsi
menyimak, yaitu :
a. Landasan dalam belajar berbahasa
Menyimak sebagai landasan dalam belajar berbahasa karena dapat menambah
kekayaan pembentukan kalimat, menambah kosa kata serta menambah
pengetahuan berkaitan dengan intonasi, pelafalan dan jeda.
b. Penunjang keterampilan berbicara, membaca, dan menulis
Menyimak dapat menambah wawasan terkait dengan topik yang disimak
sehingga memicu seseorang untuk membaca melalui hal-hal yang didengarnya dan
dituangkan melalui tulisan. Melalui menyimak juga dapat menambah pengetahuan
tentang sistematika berbicara yang baik.
c. Memperlancar komunikasi lisan
Komunikasi secara lisan dapat berkaitan dengan adanya relasi yang lebih
efektif dalam hubungan antar pribadi pada kehidupan sehari-hari. Seseorang juga
dapat memberikan respon yang tepat terhadap sesuatu yang didengar saat
berkomunikasi.
d. Penambah atau pemerkaya informasi
Melalui menyimak maka seseorang memperoleh informasi yang terdapat
dalam kehidupan sehari-hari. Informasi dari suatu data dapat dikumpulkan untuk
membuat keputusan-keputusan penting dalam kehidupan seseorang.
22
Menurut Kusmayadi, Hidayati dan Tresnawati (2007), terdapat lima tahap dalam
menyimak antara lain :
1. Tahap Mendengar
Pada tahap ini, seseorang mendengar segala sesuatu yang disampaikan oleh orang
lain dalam bentuk ujaran atau pembicaraan.
2. Tahap Memahami
Pada tahap ini, setelah mendengarkan akan muncul keinginan untuk memahami
dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan.
3. Tahap Menginterpretasi
Seorang pendengar yang baik tidak hanya mendengar dan memahami, tetapi juga
berusaha menafsirkan atau menginterpretasi isi suatu pembicaraan.
4. Tahap Mengevaluasi
Pada tahap ini, setelah seseorang mampu menginterpretasikan isi pembicaraan
kemudian mulai melakukan penilaian atau evaluasi terhadap pendapat serta gagasan
dari orang lain.
5. Tahap Menanggapi
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam kegiatan mendengarkan atau menyimak.
Setelah menerima, memahami, menafsirkan, dan mengevaluasi maka dapat
mengemukakan tanggapan sesuai dengan pendapat sendiri.
Jadi terdapat lima tahap dalam menyimak, meliputi seseorang mendengar segala
sesuatu seperti bentuk ujaran dan pembicaraan, memahami isi dari pembicaraan, menafsirkan
isi dari pembicaraan, kemudian menilai gagasan orang lain serta menanggapi melalui
mengemukakan tanggapan sesuai dengan pendapat sendiri.
23
2. Media Dalam Menyimak Cerita
Media yang digunakan dalam menyimak cerita adalah buku cerita dan video. Media
tersebut memiliki kegunaan masing-masing, yaitu :
a. Buku cerita
Prinsip yang digunakan dalam buku cerita sama halnya dengan pelabelan. Dalam
hal ini imajinasi anak akan digugah dengan cerita-cerita yang disukainya.
Mempelajari buku cerita juga dapat merangsang minat skolastik anak (Puar, 1998).
Menurut Lie (2008), manfaat penggunaan media berupa buku pada anak antara lain:
1. Mampu mengembangkan sikap positif terhadap buku sebagai sumber kesenangan
dan informasi.
2. Meningkatkan perbendaharaan kata dan keterampilan berbahasa.
3. Meningkatkan rentang konsentrasi dan kemampuan menyimak anak.
4. Mempertajam daya pengamatan dan merangsang imajinasi anak.
5. Melatih sikap empati kepada banyak teman seperti yang ditunjukkan oleh tokoh
cerita.
Penelitian yang dilakukan oleh Farihatin (2013) menyatakan bahwa kegiatan
membaca buku cerita yang dilakukan orangtua bersama anak dapat mengembangkan
kemampuan literasi dasar. Proses yang dilakukan meliputi anak diajak untuk membaca
buku cerita, ketika anak belum dapat membaca maka anak akan membolak-balik buku
cerita dan hanya melihat-lihat gambar sampai anak dapat membaca kata yang ada dalam
buku cerita. Jenis buku yang disukai oleh anak adalah buku cerita yang berisi tentang
cerita yang ringan, sesuai usia anak dan imajinatif. Manfaat dari kegiatan membaca buku
cerita untuk kemampuan literasi dasar anak sebagai sarana belajar bahasa asing selain
bahasa ibu, anak lebih sering bertanya ketika ada kosa kata yang tidak diketahui dan
membuat anak lebih senang membaca serta pengetahuan anak bertambah.
24
b. Video cerita
Cerita-cerita yang disampaikan melalui video akan diingat lebih lama daripada bila
disampaikan melalui media lainnya, karena anak lebih mampu mengingat informasi
yang dilihat dan didengarnya sekaligus daripada yang hanya dilihat saja
(Tedjasaputra, 2007). Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2011), yang
menyatakan bahwa media VCD Dongeng Anak berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan menyimak cerita Anak Berkesulitan Belajar kelas 4 di SDN Petoran
Surakarta Tahun 2010/2011. Media VCD juga dapat membantu mengurangi
kebosanan anak karena dalam VCD dongeng disajikan gambar animasi yang sangat
disukai anak sehingga minat anak dalam mengikuti pelajaran meningkat.
D. Terapi Remedial
1. Definisi Terapi Remedial
Menurut Subandi (2002), terapi diartikan sebagai penyembuhan atau usada. Menurut
Mangunsong (2009), remedial merupakan penyembuhan atau perbaikan, peningkatan
kecakapan-kecakapan seseorang menjadi normal atau mendekati normal. Menurut
Babungo (2012), remedial teaching adalah seorang guru mengajar suatu pelajaran pada
anak dengan lemah belajar untuk menghadapi kelemahan anak dalam belajar. Proses
pada remedial teaching yaitu guru menggunakan waktu ekstra di luar jam sekolah seperti
akhir minggu atau liburan. Menggunakan berbagai sumber dan metode pengajaran yang
bervariasi. Membantu anak untuk mempertahankan atau mengingat apa yang telah
dipelajari. Penelitian lain terkait remedial seperti penelitian yang dilakukan oleh
25
Selvarajan & Vasanthagumar (2012), mengenai terdapat dampak remedial teaching
untuk meningkatkan kompetensi anak yang mengalami pencapaian rendah di sekolah.
Sehingga dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa terapi remedial merupakan upaya
perbaikan dan peningkatan kecakapan seseorang untuk menjadi normal atau mendekati
normal sesuai tahap perkembangannya.
Pada dasarnya prosedur remedial teaching yang dipaparkan oleh Babungo (2012)
terbagi menjadi tiga antara lain yang pertama corrective teaching meliputi konten dibagi
menjadi unit-unit kecil, adanya supervisi dalam mengajar, tutoring secara individual dan
adanya pengulangan kembali. Kedua adalah evaluasi secara formatif berupa kuis-kuis.
Ketiga adalah evaluasi sumatif. Berdasarkan pemaparan dari remedial teaching, terapi
remedial yang dirancang sebagai program modifikasi yang memiliki desain seperti :
a. Ice Breaking atau opening
Ice breaking yang meliputi senam anak dan bernyanyi dirancang sebagai aktivitas
awal agar suasana beku yang ada dalam diri anak dapat cair, selain menstimulasi anak
untuk bergerak secara motorik dan melatih verbal, anak juga dapat menikmati
kegiatan terapi remedial (Tedjasaputra, 2007). Pada anak yang normal atau tidak
mengalami disabilitas intelektual umumnya mampu mengikuti gerakan senam yang
lebih kompleks, dengan tingkat gerakan yang lebih rumit serta nyanyian yang lebih
beragam. Sedangkan khususnya pada anak disabilitas intelektual, ice breaking ini
dirancang dengan memperhatikan derajat kesulitan yang bisa dijangkau oleh anak.
Semakin tinggi derajat kesulitan gerakan atau jenis nyanyian semakin membutuhkan
kemampuan berpikir yang tinggi dan lebih sesuai dilakukan oleh anak dengan
26
kemampuan berpikir yang memadai pula. Jadi pada anak disabilitas intelektual,
gerakan dan nyanyian dipilih lebih mudah dan tidak kompleks.
b. Senam otak atau Brain Gym
Brain gym atau senam otak merupakan gerakan sederhana untuk belajar dengan
keseluruhan otak. Gerakan ini memiliki beberapa manfaat, seperti : meregangkan otot,
meningkatkan energi, kecakapan membaca, kecakapan menulis, kecakapan kesadaran
diri, ekologi pribadi dan lain-lain. Sesuai dengan penelitian ini, senam otak memiliki
manfaat khususnya pada kecakapan membaca yaitu kemampuan untuk tetap membaca
di baris horizontal tanpa membatasi otak penerima, membaca dengan konsentrasi,
antisipasi, dan pendalaman bahasa atau membaca pemahaman, serta kemampuan
untuk mengaktifkan ingatan visual dan mengartikulasikannya atau mengeja. Adapun
gerakan yang memengaruhi kecakapan membaca antara lain 8 tidur, lambaian kaki
dan pasang telinga (Dennison, 2002). Pelaksanaan senam otak disertai dengan musik
untuk memicu semangat anak.
c. Materi Ajar
Penelitian ini menyajikan tiga materi, yang pertama adalah materi untuk
membaca yang disertai gambar-gambar di dalamnya. Buku membaca diperuntukkan
untuk anak yang memasuki tahap membaca permulaan yaitu dengan penanaman
mengidentifikasikan huruf menuju ke penanaman mengidentifikasi struktur kata
dengan struktur bunyinya (Sadra, Japa, Suarjana, 2012). Kedua adalah pemberian
cerita melalui buku atau pun video. Prinsip yang digunakan dalam buku negeri
dongeng sama dengan pelabelan. Selain penting untuk kegiatan menyimak, imajinasi
anak digugah dengan sebuah cerita yang disukainya. Tokoh-tokoh dalam cerita dapat
digambar dan diwarnai, sehingga hal ini juga dapat merangsang lebih banyak minat
skolastik anak (Puar, 1998). Selain buku juga diberikan video yaitu memberikan
27
stimulasi auditori dan visual pada anak sehingga akan diingat lebih lama
dibandingkan hanya dilihat saja. Ketiga adalah buku pemahaman yang diberikan
kepada anak disabilitas intelektual untuk membangun daya pikir anak sekaligus
mengasah kreativitas. Anak-anak diajak untuk mengenal lingkungan, mencintai
pelajaran, dengan tetap dalam ruang lingkup permainan. Hal yang paling penting,
buku ini digunakan untuk anak yang memasuki tahap membaca lanjut atau
pemahaman (Rini, 2014).
Pemberian materi pada anak normal umumnya disesuaikan dengan kurikulum
dan peraturan yang terdapat di sekolah tempat anak mengenyam pendidikan.
Sedangkan pemberian materi pada anak disabilitas intelektual disesuaikan dengan
rentang perhatian anak. Menghindari bahan atau materi yang terlalu banyak karena
akan menggangu konsentrasi anak terkait IQ anak yang tergolong rendah. Waktu
belajar juga perlu diperhatikan, mengingat waktu yang terlalu lama dapat
menimbulkan kebosanan pada anak.
d. Permainan
Permainan yang digunakan adalah APE dan games memori. Menurut
Tedjasaputra (2007) Alat Permainan Edukatif atau APE adalah permainan yang
dirancang khusus untuk pendidikan dan mempunyai beberapa ciri yaitu :
1. Dapat dimainkan dengan bermacam-macam tujuan, manfaat dan menjadi
bermacam-macam bentuk.
2. Berfungsi untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan kecerdasan serta
motorik anak seperti puzzle, mewarnai.
3. Segi keamanan sangat diperhatikan baik dari bentuk maupun penggunaan cat
seperti menara gelang.
28
4. Membuat anak terlibat secara aktif.
5. Sifatnya konstruktif seperti balok.
Games memori juga memiliki manfaat bagi anak untuk melatih daya ingat anak.
Permainan ini berupa aplikasi dari alat elektronik yang bisa ditampilkan di layar monitor
dan menggunakan perantara gambar yang mendukung inteligensi. Anak akan
memasangkan gambar yang sama sesuai ingatan ketika gambar tersebut disembunyikan
setelah diperlihatkan hanya sekali. Semakin lama gambar yang dipasangkan akan
semakin banyak dan kompleks, sehingga permainan ini baik untuk melatih daya ingat
anak (Ridwan, 2006).
Pada anak normal umumnya mampu menggunakan berbagai alat permainan dan
mampu membedakan mana alat permainan yang berbahaya atau tidak boleh digunakan.
Pada anak disabilitas intelektual sebaiknya perlu dipertimbangkan beberapa hal, seperti :
a. Alat permainan yang dimainkan anak seyogyanya diperhatikan segi keamanan
misalnya dengan sudut-sudut yang runcing atau sambungan yang tidak rata berisiko
tinggi terhadap terjadinya kecelakaan pada anak.
b. Alat permainan yang kegunaannya banyak seperti alat permainan edukatif akan lebih
membangkitkan minat anak untuk bermain daripada alat permainan yang hanya
dimainkan dengan satu cara saja.
c. Alat permainan yang rancangannya bagus akan lebih menarik minat anak daripada
yang tidak didesain dengan baik. Umumnya anak lebih senang dengan alat permainan
yang bentuknya tidak rumit disertai warna terang.
d. Sedapat mungkin membuat suasana agar anak yang mengarahkan alur permainan.
Pendamping hanya mengikuti saja dan sesekali memberikan bantuan bila sangat
diperlukan. Bila anak merasa tidak mampu, dorong anak untuk mencari jawaban
sendiri, karena justru dapat menimbulkan perasaan berprestasi dan mampu
29
menyelesaikan masalah sendiri melalui stimulasi yang diberikan. Bila anak berhasil
melakukan sesuatu, jangan segan untuk memuji.
Pada terapi remedial terdapat pula pemberian reinforcement atau penguatan. Menurut
Hergenhahn & Olson (2010), penguatan adalah sesuatu yang ditambahkan ke dalam
situasi oleh respon tertentu akan meningkatkan probabilitas terulangnya respon tersebut.
Penguatan yang diberikan adalah penguatan positif. Terdapat dua macam penguatan
positif yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Primary Reinforcement : Stimulus yang dapat meningkatkan atau memelihara
kekuatan suatu respon yang terjadi secara alami, seperti senyuman, pelukan, sentuhan
dan lain-lain.
2. Secondary Reinforcement : Stimulus yang dapat meningkatkan atau memelihara
kekuatan suatu respon dan adanya proses belajar, seperti uang, hadiah dan lain-lain.
2. Bagian-Bagian Terapi Remedial
Adapun bagian terapi remedial pada penelitian ini antara lain :
a. Opening atau Ice Breaking
` 1. Chicken Dance atau senam anak ceria
2. Menyanyi
b. Senam Otak atau Brain Gym
1. Gerakan jari meliputi : sepasang jari yang sama memutar bergantian, jari telunjuk
menunjuk telapak tangan bergantian, gerak telapak tangan bergiliran, gerak ibu
jari kelingking pada tangan yang berbeda.
2. Lingkar kepala dan perut dengan gerakan tangan memutar.
3. Gerakan sinergis tangan kanan menutup hidung dan tangan kiri menutup telinga
secara bersamaan.
30
4. Gerak tangan menyerupai baling-baling.
5. Gerakan 8 Tidur : membayangkan untuk membuat angka 8 tidur dengan kedua
tangan.
6. Lambaian Kaki : mencengkeram tempat-tempat yang terasa sakit seperti di
pergelangan kaki dan belakang lutut satu per satu, sambil pelan-pelan kaki
digerakkan ke atas dan ke bawah.
7. Pasang Telinga : pelan-pelan pijit daun telinga 3x dari atas ke bawah.
8. Gerakan silang : tangan kanan menyentuh kaki kiri dan tangan kiri menyentuh
kaki kanan secara bergantian.
c. Materi atau bahan ajar
1. Buku untuk membaca
2. Buku dan video cerita
3. Buku pemahaman
d. Permainan
1. Alat Permainan Edukatif atau APE seperti : puzzle, menara gelang, mewarnai,
dan balok kayu dan plastik.
2. Games memori melalui media elektronik.
3. Langkah-Langkah dalam Pemilihan Strategi Terapi Remedial
Menurut Mangunsong (2009), adapun langkah-langkah yang hendak dilakukan untuk
memilih strategi yang digunakan pada terapi remedial yakni :
a. Identifikasi Atribut
Ada beberapa hal yang perlu diingat jika mengidentifikasi atribut, yaitu :
31
1. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang anak yang hendak didampingi,
semakin besar kemungkinan bagi perilaku relevan anak yang akan bisa
diidentifikasi.
2. Beberapa atribut relevan bisa saja tidak jelas berkaitan dengan situasi belajar.
Misalnya : masalah emosional bisa memengaruhi kemampuan membaca anak.
3. Pelacakan dimulai dengan mencari karakteristik yang relevan yang tampaknya
paling berkaitan dengan situasi tersebut.
b. Menentukan Tujuan Pengajaran
Menentukan tujuan-tujuan pengajaran secara sederhana yang berarti memaparkan apa
yang harus bisa dicapai anak setelah selesai mendapatkan suatu pengalaman belajar.
Tujuan-tujuan harus dipilih dengan teliti agar memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Tujuan-tujuan harus dinyatakan dengan ketentuan-ketentuan yang bisa diamati.
2. Tujuan harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak.
3. Tujuan harus dijabarkan dalam langkah-langkah kecil dan sederhana.
4. Tujuan harus didasarkan pada tujuan lebih luas.
c. Pemilihan Strategi
Langkah pemilihan strategi dilakukan setelah penetapan tujuan. Strategi-strategi ini
adalah aktivitas-aktivitas yang dipilih untuk menuntun anak mencapai tujuan yang
ditetapkan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih suatu strategi adalah:
1. Strategi harus dimulai pada tingkat kecakapan anak sekarang ini.
2. Strategi harus menjamin tercapainya tujuan.
3. Strategi harus bisa merangsang anak.
4. Strategi harus dilaksanakan dalam langkah-langkah kecil.
5. Strategi harus disesuaikan dengan atribut-atribut anak yang relevan dengan tujuan-
tujuan yang ditetapkan.
32
Terapi remedial pada penelitian ini menggunakan beberapa pertimbangan yang
dijadikan sebagai pedoman untuk menyusun strategi, yaitu :
a. Pendamping peka terhadap kebutuhan anak dan mampu mengetahui kapasitas belajar
yang dimiliki anak.
b. Mampu menyesuaikan instruksi yang disampaikan kepada anak dan instruksi bersifat
individual.
c. Mampu memprediksi dan memberikan tindakan atau penanganan ketika masalah anak
meningkat.
d. Materi dikemas lebih menarik dan tidak membosankan bagi anak.
e. Mengajar secara individual dan dilaksanakan secara intensif.
d. Pemilihan Materi atau Bahan
Pada langkah selanjutnya dilakukan pemilihan materi atau bahan-bahan yang sesuai
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Materi atau bahan pengajaran dapat diperoleh
dari berbagai sumber seperti : buku-buku, film, objek-objek manipulatif, surat kabar dan
pendidik juga bisa mengembangkan bahan-bahan sendiri. Adapun prinsip-prinsip yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi remedial yakni :
1. Ice breaking dirancang dengan memperhatikan derajat kesulitan yang bisa dijangkau
oleh anak. Jadi pada anak disabilitas intelektual, gerakan dan nyanyian dipilih lebih
mudah dan tidak kompleks.
2. Pelaksanaan senam otak disertai dengan musik untuk memicu semangat anak serta
pemilihan gerakan disesuaikan dengan fungsi senam otak yang dikaitkan dengan
tujuan yang ingin dicapai melalui terapi remedial seperti kemampuan membaca dan
menyimak.
33
3. Pemberian materi pada anak disabilitas intelektual disesuaikan dengan rentang
perhatian anak. Tidak menggunakan bahan atau materi yang terlalu banyak karena
akan menggangu konsentrasi anak terkait IQ anak yang tergolong rendah.
4. Waktu belajar juga perlu diperhatikan, mengingat waktu yang terlalu lama dapat
menimbulkan kebosanan pada anak.
5. Alat permainan yang dimainkan anak seyogyanya diperhatikan segi keamanan
misalnya dengan sudut-sudut yang runcing atau sambungan yang tidak rata berisiko
tinggi terhadap terjadinya kecelakaan pada anak.
6. Alat permainan yang kegunaannya banyak seperti alat permainan edukatif akan lebih
membangkitkan minat anak untuk bermain daripada alat permainan yang hanya
dimainkan dengan satu cara saja.
7. Alat permainan yang rancangannya bagus akan lebih menarik minat anak daripada
yang tidak didesain dengan baik. Pada umumnya anak lebih senang dengan alat
permainan yang bentuknya tidak rumit disertai warna terang.
8. Sedapat mungkin membuat suasana dimana anak yang mengarahkan alur permainan.
Pendamping hanya mengikuti saja dan sesekali memberikan bantuan bila sangat
diperlukan. Bila anak merasa tidak mampu, dorong anak untuk mencari jawabannya
sendiri, karena ini justru dapat menimbulkan perasaan berprestasi dan mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri. Bila anak berhasil melakukan sesuatu, jangan
segan untuk memuji.
e. Uji Strategi dan Materi
Pada langkah uji strategi dan materi dimaksudkan program pengajaran siap
diujikan pada anak. Jika atribut yang relevan telah diidentifikasi, tujuan dan strategi
serta bahan telah dipilih, kemudian semua program telah diselesaikan oleh anak. Uji
34
coba program pengajaran adalah mencobanya pada anak untuk melihat apakah
program berhasil atau tidak.
f. Evaluasi Performansi
Pada langkah terakhir, pendidik dapat melakukan pengamatan terhadap
penampilan-penampilan dari anak apakah sudah sesuai dengan penampilan yang
dijabarkan dalam tujuan, dimana tujuan yang ditetapkan adalah didasarkan perilaku
yang dapat diamati. Jika anak sudah dapat mencapai tujuan yang ditetapkan,
kemudian pendidik menetapkan tujuan berikutnya dan mengulangi sekuen itu lagi.
Pendidik harus menganalisis setiap langkah program.
E. Dinamika Antar Variabel
Anak-anak dengan disabilitas intelektual memiliki karakteristik yaitu keterbatasan
yang signifikan dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang
terwujud melalui kemampuan adaptif konseptual, sosial dan praktikal. Keadaan ini muncul
sebelum usia 18 tahun (Mangunsong, 2009). Kendala pada anak dengan disabilitas intelektual
adalah masih rendahnya penguasaan dalam mengenal bentuk huruf serta memahami hal yang
telah dibaca. Begitu pun dalam kegiatan menyimak cerita, bagi anak dengan disabilitas
intelektual sangatlah sulit dalam menyimak cerita terutama memahami isi cerita yang telah
dibaca atau didengarnya (Abdurrahman, 2012).
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika
anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka anak
akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas
berikutnya (Abdurrahman, 2012). Pengajaran membaca yang dilaksanakan di tingkat Sekolah
35
Dasar terbagi menjadi dua, yaitu pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut
(pemahaman). Pengajaran membaca permulaan dilaksanakan di kelas I dan II sedangkan
untuk membaca pemahaman diberikan mulai dari kelas III dan seterusnya (Sadra, Japa &
Suarjana, 2012). Melalui membaca, anak akan memperoleh informasi, memperoleh ilmu dan
pengetahuan, pengalaman baru, serta mampu mempertinggi daya pikir, daya pandang, dan
wawasannya. Masalah muncul ketika bahan bacaan yang dibaca sulit diingat dan juga
dipahami, pada kondisi ini anak akan mengalami kesulitan mengakses informasi dari sumber
bacaan (Ridwan, 2006).
Kemajuan ilmu dan teknologi khususnya di bidang komunikasi, menyebabkan arus
informasi melalui radio, televisi, telepon, dan film semakin deras sehingga kemampuan
menyimak mutlak diperlukan. Menyimak termasuk dalam kegiatan mendengarkan,
mencermati bunyi bahasa, menginterpretasi, menilai dan mereaksi atas makna yang
terkandung di dalamnya. Tujuan utama menyimak adalah untuk memahami apa yang
dikatakan pembicara. Kombinasi antara kemampuan membaca dan menyimak akan lebih
baik untuk meningkatkan kemampuan mengingat (Sadra, Japa & Suarjana, 2012).
Menurut beberapa peneliti, aspek inteligensi berperan besar dalam pemahaman anak
sehingga memengaruhi kemampuan belajar anak (Osman, 2002). Keterbatasan yang dimiliki
anak dengan disabilitas intelektual menyebabkan kesulitan dalam proses belajar mengajar,
antara lain dalam kemampuan membaca, menyimak dan lain-lain. Apabila hanya mengikuti
kegiatan belajar mengajar di sekolah umum dengan situasi yang kurang menunjang akan
mengurangi minat dan membuat anak semakin jenuh sehingga lebih memilih diam atau
mengalihkan perhatian pada kegiatan lain. Kemampuan akademik seperti membaca dan
menyimak dapat dikembangkan dengan cara-cara yang tidak memaksa, bahkan dapat menjadi
kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Kemampuan membaca dan menyimak penting
dimiliki oleh anak dengan disabilitas intelektual karena sebagai dasar untuk mempelajari
36
bidang studi lainnya. Pada penelitian yang dikemukakan Puar (1998), anak usia kematangan
sekolah 6-11 tahun memasuki fase kedua. Pada fase ini, anak dapat melihat hubungan
langsung antara suatu usaha dan perolehan hasil. Fase ini mengandung arti ketika anak-anak
mengikuti suatu kegiatan maka anak memiliki keinginan untuk mau berusaha agar mencapai
keberhasilan dari tujuan yang ingin dicapai. Salah satu contoh usaha untuk membantu anak-
anak dengan disabilitas intelektual adalah terapi remedial.
Terapi remedial adalah upaya perbaikan dan peningkatan kecakapan seseorang untuk
menjadi normal atau mendekati normal (Mangunsong, 2009). Terapi remedial merupakan
program modifikasi dalam pelaksanaannya disertai dengan senam otak. Modifikasi yang
dilakukan terdapat pada materi ajar, yaitu anak yang memasuki tahap membaca permulaan
akan diberikan buku membaca disertai gambar sedangkan anak yang memasuki tahap
membaca lanjut akan diberikan buku untuk pemahaman yang terdiri dari beberapa instruksi
yang akan anak kerjakan.
Terdapat empat bagian dalam terapi remedial ini, yaitu terdiri dari opening atau ice
breaking, senam otak, materi ajar, dan permainan. Opening terdiri dari senam anak dan
bernyanyi. Senam otak terdiri dari beberapa gerakan sederhana dengan menggunakan
keseluruhan otak. Materi ajar dibagi menjadi tiga yaitu buku membaca untuk anak yang
memasuki tahap membaca permulaan, buku pemahaman untuk anak yang memasuki tahap
membaca lanjut serta buku dan video cerita. Permainan yang digunakan adalah Alat
Permainan Edukatif atau APE dan game memory dari alat elektronik. Semua kegiatan terapi
remedial dilakukan sambil bermain dengan menggunakan alat permainan tertentu sesuai
dengan kebutuhan masing-masing anak. Yang sangat penting adalah pelaksanaannya,
sebaiknya menyenangkan dan menarik untuk anak sehingga anak akan melakukan dengan
minat yang besar dan perasaan senang serta tidak merasa terpaksa.
37
Pada terapi remedial yang telah dimodifikasi, pencapaian anak dalam kemampuan
membaca mencakup membaca permulaan serta membaca lanjut. Sedangkan pada menyimak
cerita, hal yang bisa dicapai anak melalui terapi remedial ini meliputi kemampuan
mendengarkan, mengidentifikasi bunyi bahasa, menginterpretasi dan menilai suatu makna
dalam cerita.
Pada penelitian ini, dapat dikatakan bahwa adanya keterkaitan antara variabel bebas
dan variabel terikat tersebut sehingga terdapat pengaruh terapi remedial untuk meningkatkan
kemampuan membaca dan menyimak cerita pada anak dengan disabilitas intelektual.
Keterkaitan antar variabel dapat dilihat pada diagram berikut :
Gambar 1. Pengaruh Terapi Remedial Terhadap Kemampuan Membaca dan Menyimak Cerita
Pada Anak Dengan Disabilitas Intelektual
TERAPI REMEDIAL
Opening
atau Ice
Breaking
Brain Gym Materi Ajar Games
Anak normal
Anak Disabilitas Intelektual
Cara belajar
biasa
38
Keterangan bagan :
: Variabel penelitian
: Faktor yang tidak diteliti
: Garis pengaruh yang akan diteliti
: Garis pengaruh yang tidak diteliti
Cara belajar biasa atau konvensional dan terapi remedial sama-sama merupakan
program pendidikan, namun cara belajar biasa diperuntukkan kepada anak normal dan terapi
remedial sebagai variabel bebas yang terbagi menjadi empat bagian diperuntukkan kepada
anak disabilitas intelektual. Terapi remedial digunakan untuk meningkatkan kemampuan
membaca sebagai variabel tergantung 1 dan menyimak cerita sebagai variabel tergantung 2
pada anak dengan disabilitas intelektual.
F. Hipotesis Penelitian
Ha : Terdapat pengaruh terapi remedial untuk meningkatkan kemampuan membaca dan
menyimak cerita pada anak dengan disabilitas intelektual.
Ho : Tidak terdapat pengaruh terapi remedial untuk meningkatkan kemampuan membaca
dan menyimak cerita pada anak dengan disabilitas intelektual.