Post on 25-Mar-2021
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesehatan Gigi dan Mulut
Ilyas dalam Nurhidayat (2012) mengatakan bahwa kesehatan gigi dan mulut
yang merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara keseluruhan penting untuk
diperhatikan dan memerlukan penanganan segera serta dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan tubuh seseorang. Kesehatan gigi dan mulut yang tidak dijaga
dengan baik dapat menimbulkan penyakit, seperti karies gigi, maloklusi dan
penyakit periodontal (Fatimah, 2016).
2.1.1 Karies Gigi
Karies gigi adalah proses kerusakan jaringan keras gigi akibat asam yang
dihasilkan oleh fermentasi bakteri yang berawal dari permukaan gigi hingga ke
pulpa (Selwitz dkk, 2007). Menurut Shafers dkk (2012), karies gigi merupakan
penyakit mikroba ireversibel dari kalsifikasi jaringan gigi yang ditandai oleh
adanya demineralisasi bahan organik gigi yang dapat menyebabkan terbentuknya
kavitas. Menurut Cameron & Widmer (2003), karies gigi merupakan penyakit
multifaktorial yang perkembangannya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu
mikroorganisme, substrat, host, dan waktu.
2
Gambar 2.1 Faktor penyebab karies yaitu host, mikroorganisme, substrat, dan
waktu (Cameron & Widmer, 2008).
2.1.1.1 Etiologi
2.1.1.1.1 Host (Gigi dan Saliva)
Faktor utama yang dihubungkan dengan proses terjadinya karies
yaitu struktur gigi dan saliva. Struktur gigi dikaitkan dengan faktor morfologi
seperti pit dan fissure gigi posterior yang dalam rentan karies karena debris
mudah menumpuk di daerah tersebut. Struktur enamel yang kasar juga
menyebabkan plak mudah melekat sehingga karies dapat berkembang.
Selain struktur gigi, saliva berperan penting dalam proses terjadinya
karies. Saliva distimulasi dengan mengunyah sehingga meningkatkan kalsium
dan konsentrasi ion fosfat ke dalam plak. Aliran saliva dapat menurunkan
akumulasi plak dan menyeimbangkan proses karies dan juga menaikkan tingkat
3
pembersihan karbohidrat dari rongga mulut yang memiliki peran penting dalam
remineralisasi (Cameron & Widmer, 2008).
2.1.1.1.2 Mikroorganisme
Di dalam tubuh manusia terdapat mikroflora normal, salah satunya
yaitu bakteri Streptococcus mutans yang sangat berpengaruh pada tahap awal
karies (Cameron & Widmer, 2003). Mikroorganisme tersebut memetabolisme
karbohidrat kariogenik untuk menghasilkan energi agar dapat berkembang di
dalam plak. Bakteri yang berkembang di dalam plak memfermentasikan
karbohidrat menjadi asam kuat dan bertahan hidup dengan membentuk
mikrokoloni dalam pH rendah (Fajerskov & Kidd, 2008). Jika pH berada di
bawah pH standar, maka asam akan mendemineralisasi enamel. Tahap
selanjutnya jika sudah terbentuk kavitas, bakteri Lactobacillus yang banyak
berperan pada proses karies gigi (Cameron & Widmer, 2003).
2.1.1.1.3 Substrat
Bakteri memfermentasi karbohidrat untuk mendapat energi dan
menghasilkan asam. Semua jenis substrat dapat difermentasi oleh bakteri,
namun salah satu substrat yang paling sering dalam fermentasi karbohidrat yaitu
sukrosa (Cameron & Widmer, 2008). Karbohidrat dengan berat molekul rendah
seperti sukrosa akan segera meresap ke dalam plak dan dimetabolisme dengan
cepat oleh bakteri. Dengan demikian, makanan dan minuman yang
mengandung sukrosa akan menurunkan pH sampai pada level yang dapat
menyebabkan demineralisasi enamel. Sintesis polisakarida ekstra sel sukrosa
lebih cepat dibandingkan glukosa, fruktosa, dan laktosa, sehingga sukrosa
4
merupakan gula yang paling kariogenik karena sukrosa paling banyak
dikonsumsi, maka sukrosa merupakan penyebab utama karies (Kidd, 2005).
2.1.1.1.4 Waktu
Karies terus berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun.
Gigi yang terkena paparan asam yang berulang kali mengakibatkan hancurnya
kristal enamel dan menghasilkan kerusakan pada permukaan selama periode
waktu tertentu tergantung pada intensitas dan frekuensi asam yang didapat
(Cameron & Widmer, 2008).
2.1.1.2 Patofisiologi
Karies gigi merupakan hasil interaksi antara bakteri yang menghasilkan
asam, substrat dan host. Bakteri endogen yang sebagian besar Streptococci
Mutans dan Lactobacillus Spp pada biofilm yang menghasilkan asam organik
lemah yang merupakan produk dari fermentasi metabolisme karbohidrat. Asam
ini mengakibatkan pH plak menurun (Selwitz, 2007). Pada pH kritis (5,5),
mineral gigi melepaskan kalsium dan fosfat yang disebut proses demineralisasi,
lalu ion fluoride berperan dalam proses remineralisasi dengan meningkatkan laju
deposisi kalsium dan fosfat yang terkandung dalam saliva, dan akan kembali ke
permukaan enamel untuk mengganti kalsium dan fosfat yang hilang saat terjadi
proses demineralisasi. Apabila proses demineralisasi tidak dihentikan atau tidak
kembali menjadi remineralisasi maka akan terbentuk kavitas (Shafers dkk, 2012;
Kidd, 2005).
5
2.1.1.3 Gambaran Klinis
Tahap awal pembentukan karies tampak adanya white spot-lesions. Lesi
tersebut merupakan indikasi adanya peningkatan porositas enamel sehingga sisa
makanan masuk ke dalam enamel dan dari waktu ke waktu terjadi perubahan
warna menjadi coklat bahkan hitam (Kidd & Fejerskov, 2008).
Gambar 2.2 Lesi karies aktif tanpa kavitas dengan white spot lesion pada daerah
fissure (Kidd & Fejerskov, 2008)
Gambar 2.3 Lesi karies aktif dengan kavitas pada daerah fissure (Kidd &
Fejerskov, 2008)
6
2.1.1.4 Perawatan
Perawatan karies dapat berupa tindakan preventif dan kuratif. Tindakan
preventif yang dapat dilakukan yaitu, menyikat gigi dan pemakaian fluoride,
fissure sealant, dan diet makanan (Welbury dkk, 2012).
2.1.1.4.1 Menyikat gigi dan pemakaian fluoride
Orang tua disarankan untuk mulai menyikat gigi anaknya dengan
pasta gigi berfluoride segera setelah gigi pertama erupsi yaitu usia 6 bulan dan
sebaiknya menggunakan pasta gigi yang mengandung 1000ppm fluoride agar
resiko berkembangnya karies dapat menurun (Welbury dkk, 2012).
2.1.1.4.2 Fissure sealant
Fissure sealant diaplikasikan pada daerah pit dan fissure yang dalam
pada daerah oklusal untuk mencegah terjadinya karies (Welbury dkk, 2012).
Molar pertama permanen pada anak usia 6-8 tahun dan molar kedua permanen
usia 11-12 tahun memiliki prioritas tertinggi dalam pemberian fissure sealant
(Angela, 2005).
2.1.1.4.3 Diet makanan
Tindakan pencegahan karies dengan mengurangi konsumsi dan
mengendalikan frekuensi asupan gula yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan
dengan makan makanan yang cukup jumlah protein dan fosfat sehingga dapat
menambah sifat basa dari saliva, memperbanyak makan sayuran dan buah-
buahan yang berserat dan berair yang bersifat membersihkan dan merangsang
sekresi saliva, menghindari makanan yang manis dan lengket serta membatasi
jumlah makan serta menekan keinginan untuk makan di antara jam makan.
7
Bahan pengganti gula juga dianjurkan seperti xylitol dan sorbitol yang memiliki
kalori yang sama dengan glukosa dan sukrosa. Xylitol dan sorbitol mempunyai
efek menstimulasi daya alir saliva dan menurunkan kolonisasi dari S. Mutans
karena xylitol tidak dapat dimetabolisme oleh bakteri dalam pembentukan asam
dan mempunyai efek anti bakteri (Angela, 2005).
Sedangkan tindakan kuratif yang dapat dilakukan yaitu restorasi gigi
dan pencabutan gigi sulung.
2.1.1.4.4 Restorasi gigi
Restorasi gigi dapat digunakan bila terdapat karies. Melakukan
restorasi dapat menggunakan GIC atau komposit. Selain itu, gigi dengan karies
yang telah mengenai daerah proksimal atau gigi dengan perawatan pulpotomi
atau pulpektomi dilakukan pemasangan mahkota stainless steel (Welbury dkk,
2012).
2.1.1.4.5 Pencabutan gigi sulung
Pencabutan gigi sulung dilakukan untuk gigi yang tidak dapat
dilakukan restorasi. Setelah pencabutan, dapat dilakukan pemasangan gigi
tiruan lepasan untuk mengembalikan estetik terutama gigi anterior (Welbury
dkk, 2012).
2.1.2 Maloklusi
Maloklusi merupakan keadaan yang berhubungan dengan ketidakteraturan
atau penyimpangan bentuk susunan gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak
dan otot sekitarnya yang ada pada lengkung rahang (Kasprianto dkk, 2015).
8
2.1.2.1 Etiologi
Penyebab maloklusi ada dua hal yaitu faktor luar atau faktor umum dan
faktor dalam atau faktor lokal.
Hal yang termasuk faktor umum yaitu herediter, kelainan kongenital,
perkembangan atau pertumbuhan yang salah pada masa prenatal dan postnatal,
dan kebiasaan buruk (Singh, 2007).
Herediter merupakan faktor keturunan atau genetik yang diturunkan dari
orang tuanya. Faktor ini dapat mempengaruhi sistem neuromuskular, tulang, gigi
dan jaringan lunak. Masyarakat yang berasal dari bermacam-macam ras
(heterogen) menunjukkan tingginya tingkat maloklusi jika dibandingkan dengan
masyarakat yang homogen.
Kelainan kongenital merupakan malformasi yang terlihat saat lahir seperti
mikrognasia, oligodonsia, anodonsia, dan kelainan celah bibir dan palatum.
Mikrognasia berarti rahang kecil yang sering dikaitkan dengan penyakit jantung
kongenital dan sindrom pierre robin. Oligodonsia disebut juga hipodonsia yaitu
tidak adanya satu atau beberapa elemen gigi. Gigi yang paling sering mengalami
oligodonsia yaitu molar ketiga. Anodonsia yaitu tidak adanya benih gigi.
Kelainan celah bibir dan palatum berkaitan dengan kurangnya pertumbuhan
rahang atas dan dapat dideteksi sedini mungkin yaitu 18 sampai 20 minggu
kehamilan.
Trauma prenatal dihubungkan dengan hypoplasia mandibula dan asimetri
bentuk wajah sedangkan trauma postnatal dapat menyebabkan fraktur rahang atau
9
gigi dan trauma pada persendian temporomandibularis sehingga fungsi dan
pertumbuhan tidak seimbang dan terjadi disfungsi persendian.
Maloklusi yang disebabkan oleh kebiasaan buruk yaitu mengisap ibu
jari/jari tangan (thumb/finger sucking), mengisap bibir atau menggigit bibir (lip
sucking or lip biting), menjulurkan lidah (tongue thrusting), dan bernafas melalui
mulut (mouth breathing) (Bishara, 2001 & Cobourne dan DiBiase, 2010).
2.1.2.1.1 Mengisap Ibu Jari/Jari Tangan (Thumb/Finger Sucking)
Thumb/finger sucking adalah sebuah kebiasaan anak menempatkan
jari atau ibu jarinya di belakang gigi dan kontak dengan bagian atas mulut.
Kebiasaan mengisap yang berkepanjangan akan menghasilkan maloklusi
karena adanya tekanan langsung dari jari dan perubahan pola bibir dan pipi pada
saat istirahat. Penempatan ibu jari di antara incisivus bawah dan atas, akan
terdapat dorongan incisivus bawah ke lingual sedangkan incisivus atas ke labial.
Tekanan ini yang dapat menyebabkan perubahan letak incisivus rahang atas
menjadi protrusi. Kebiasaan mengisap yang terus menerus sampai melewati
usia 4 tahun menyebabkan lebar lengkung rahang sempit, overjet lebih besar
dan prevalensi terjadinya openbite lebih besar (Moyers, 1998).
Ketidakpuasan mengisap ASI membuat anak suka mengisap jari
tangannya sendiri yang dapat berakibat pada pertumbuhan gigi jika kebiasaan
ini dibiarkan terus berlangsung. Faktor lain yang dapat menyebabkan kebiasaan
buruk tersebut adalah keinginan untuk menarik perhatian, rasa tidak nyaman,
dan dimarahi atau dihukum. Anak bertindak tersebut untuk menarik perhatian
ibu, ini disebabkan oleh kebutuhan anak untuk dekat pada ibunya. Mengisap
10
jari merupakan perilaku naluriah yang menjadi kebiasaan. Kebanyakan anak-
anak terlihat mengisap dengan tekanan yang besar dan kecepatan saat tegang.
Mengisap memiliki efek menyenangkan, menenangkan, dan membantu anak
untuk bisa tertidur pulas. Namun, bila gigi permanen mulai erupsi (sekitar usia
5 tahun) dan kebiasaan tersebut terus berlangsung, dikhawatirkan dapat
mengubah bentuk gigi, palatum, atau gigitan pada anak (Indushekar dkk, 2012;
Aisyah, 2012).
Gambar 2.4 Thumb and finger sucking (www.google.co.id)
2.1.2.1.2 Mengisap Bibir/Menggigit Bibir (Lip Sucking/Lip Biting)
Mengisap bibir atau menggigit bibir dilakukan karena anak merasa
stress terhadap suatu hal. Selain itu, untuk memuaskan insting mengisap karena
mengisap memiliki efek menenangkan sama dengan efek thumb atau finger
sucking. Kebiasaan mengisap atau menggigit bibir bawah akan mengakibatkan
hypertonicity otot-otot mentalis sehingga terdapat overjet yang besar dengan
gigi anterior rahang atas ke labial dan anterior rahang bawah ke lingual. Gigi
yang protrusi akibat dari kebiasaan mengisap bibir bawah sejak kecil
menyebabkan anak menjadi bahan pembicaraan teman-temannya, sehingga
secara psikologis anak merasa kurang percaya diri. Oleh karena itu, intensitas
mengisap bibir bawah juga semakin meningkat (Moyers, 1998; Aisyah, 2012).
11
Gambar 2.5 Lip sucking (www.google.co.id)
2.1.2.1.3 Tongue Thrusting
Anak-anak berusia 5-8 tahun yang melakukan kebiasaan tongue
thrusting dalam jangka waktu lama akan berhubungan dengan masalah
orthodontik. Mendorong lidah merupakan adaptasi terhadap adanya gigitan
terbuka misalnya karena mengisap jari. Menjulurkan lidah biasanya dilakukan
pada saat menelan untuk mempertahankan penutupan bagian depan selama
proses penelanan. Pola menelan yang normal adalah gigi pada posisi oklusi,
bibir tertutup, dan lidah berkontak dengan palatum. kasus yang paling umum
terjadi akibat tongue thrust yaitu openbite anterior. Openbite anterior pada
umumnya mengakibatkan gangguan estetik, pengunyahan maupun gangguan
dalam pengucapan kata-kata yang mengandung huruf “s”, “z”, dan “sh”
(Moyers, 1998; Aisyah, 2012).
Gambar 2.6 Tongue thrusting (www.google.co.id)
12
2.1.2.1.4 Mouth Breathing
Bernafas melalui mulut terjadi karena seseorang tidak mampu untuk
bernafas melalui hidung akibat adanya obstruksi pada saluran pernafasan atas.
Kebiasaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tulang di sekitar mulut, rahang
dan wajah menjadi sempit dan panjang. Kegagalan hidung untuk berfungsi
sebagai saluran pernafasan utama, akan menyebabkan tubuh secara
otomatis beradaptasi dengan menggunakan mulut sebagai saluran untuk
bernafas. Bernafas melalui mulut menyebabkan mulut sering terbuka sehingga
terdapat ruang untuk lidah berada di antara rahang dan terbentuklah openbite
anterior. Fungsi yang abnormal ini juga membuat tipe perkembangan wajah
yang disebut “wajah adenoid” atau sindrom muka panjang (Moyers, 1998;
Aisyah, 2012).
Gambar 2.7 Mouth breathing (www.google.co.id)
Sedangkan yang termasuk faktor lokal yaitu anomali jumlah gigi, anomali
bentuk gigi, anomali ukuran gigi, kehilangan dini gigi desidui, persistensi gigi
desidui, ankylosis, dan karies gigi (Singh, 2007).
2.1.2.1.5 Anomali jumlah gigi
Anomali jumlah gigi dibagi menjadi dua tipe yaitu bertambahnya
jumlah gigi dan berkurangnya jumlah gigi atau kehilangan gigi. Gigi
13
supernumerary dapat menyebabkan crowding dan terlambatnya gigi erupsi.
Kehilangan gigi kongenital biasanya terjadi pada molar ketiga, dan insisivus
lateral rahang atas.
2.1.2.1.6 Anomali bentuk gigi
Anomali bentuk gigi seperti fusi, geminasi, dan talon cusp.
Dilaserasi juga merupakan anomali bentuk gigi yang tampak adanya akar yang
membengkok tajam. Fusi merupakan penyatuan dua benih gigi yang terpisah
dan dapat menyebabkan spacing. Geminasi adalah keadaan gigi tunggal yang
membelah pada bagian mahkota sehingga tampak seperti dua mahkota padahal
memiliki satu akar. Talon cusp biasanya ditemukan pada daerah lingual atau
palatal gigi insisivus permanen.
2.1.2.1.7 Anomali ukuran gigi
Makrodonsia dan mikrodonsia termasuk anomali ukuran gigi. Pada
mikrodonsia ukuran gigi lebih kecil daripada ukuran normal dan biasa
ditemukan pada pituitary dwarfism. Mikrodonsia sering terjadi pada insisivus
lateral rahang atas yang disebut dengan peg lateral. Berbeda dengan
mikrodonsia, pada makrodonsia ukuran gigi lebih besar daripada ukuran normal
dan biasa ditemukan pada kasus gigantisme.
2.1.2.1.8 Ankylosis
Ankylosis merupakan keadaan akar gigi langsung melekat pada
tulang karena tidak terdapat membran periodontal. Kelainan ini sering terjadi
pada tahap gigi bercampur. Ankylosis terkait dengan kelainan kongenital dan
infeksi gangguan endokrin.
14
2.1.2.1.9 Karies gigi
Karies proksimal dapat menyebabkan gigi tetangga tilting ke daerah
yang terdapat space. Karies juga dapat menyebabkan premature loss gigi
desidui atau permanen sehingga menyebabkan gigi tilting ke daerah edentulous.
2.1.2.2 Klasifikasi Maloklusi
2.1.2.2.1 Modifikasi Lischer
Pada tahun 1933, Lischer memodifikasi klasifikasi Angle dengan
mengelompokkan maloklusi menjadi tiga kelompok, yaitu maloklusi Klas I
(neutroklusi), Klas II (distoklusi), dan Klas III (mesioklusi).
2.1.2.2.1.1 Maloklusi Klas 1 (Neutroklusi)
Maloklusi Klas 1 merupakan hubungan anteroposterior normal
maksila dan mandibula. Tonjol cusp mesiobukal rahang atas molar pertama
permanen artikulasi dengan bukal groove molar pertama permanen
mandibula.
15
Gambar 2.8 Maloklusi Klas I (Moyers, 1998)
2.1.2.2.1.2 Maloklusi Klas 2 (Distoklusi)
Maloklusi Klas 2 merupakan relasi posterior dari mandibula
terhadap maksila. Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen atas
berada lebih mesial dari bukal groove gigi molar pertama permanen
mandibula.
Gambar 2.9 Maloklusi Klas II (Moyers, 1998)
2.1.2.2.1.3 Maloklusi Klas 3 (Mesioklusi)
Maloklusi Klas 3 merupakan relasi anterior dari mandibula
terhadap maksila. Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen atas
berada lebih distal dari bukal groove gigi molar pertama permanen mandibula
dan terdapat anterior crossbite (gigitan silang anterior) (Moyers, 1998).
16
Gambar 2.10 Maloklusi Klas III (Moyers, 1998)
2.1.2.3 Nomenklatur Lischer
Nomenklatur Lischer pada malposisi gigi secara individual menggunakan
akhiran ‘versi’ pada kata yang diindikasikan penyimpangan dari posisi normal
(Singh, 2007). Mesioversi yaitu posisi normal berpindah ke arah mesial,
distoversi yaitu posisi normal berpindah ke arah distal, linguoversi yaitu posisi
normal berpindah ke arah lingual, labioversi atau bukoversi yaitu posisi normal
berpindah ke arah labial atau bukal, torsiversi yaitu rotasi gigi pada sumbu aksis.
Supraversi yaitu gigi yang melebihi garis oklusi dibandingkan gigi lain dalam
lengkung gigi, infraversi yaitu gigi yang tidak mencapai garis oklusal
dibandingkan gigi lain dalam lengkung gigi (Moyers, 1998), transversi yaitu
perubahan urutan posisi gigi
2.1.2.4 Bentuk umum maloklusi
Bentuk umum maloklusi yaitu, openbite adalah adanya celah atau keadaan
tidak adanya kontak dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan
oklusi sentrik, deepbite adalah keadaan menutupnya bagian insisal gigi insisivus
17
maksila terhadap insisal gigi insisivus mandibula dalam arah vertikal melebihi 2-
3 mm, crowding adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal.
Penyebab crowding adalah lengkung basal yang lebih sempit daripada lengkung
koronal. Lengkung basal merupakan lengkung pada prossesus alveolaris tempat
apeks gigi tertanam, lengkung koronal adalah lengkung yang paling lebar dari
mahkota gigi. Faktor keturunan merupakan salah satu penyebab gigi bejejal,
spacing adalah adanya celah akibat berlebihnya panjang lengkung atau tidak
adanya gigi yang menyebabkan adanya jarak atau celah di antara gigi, crossbite
adalah keadaan satu atau beberapa gigi berada di posisi abnormal yaitu lebih ke
bukal atau ke lingual maupun ke labial dari gigi antagonisnya.
2.1.3 Penyakit periodontal
Penyakit periodontal merupakan peradangan yang terjadi pada jaringan
penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit periodontal yang sering
terjadi pada anak-anak yaitu gingivitis yang dapat berkembang menjadi
periodontitis tetapi gingivitis tidak akan selalu berkembang menjadi periodontitis
(Soulissa, 2014).
2.1.3.1 Etiologi
Penyakit periodontal dapat disebabkan oleh faktor lokal seperti
pemakaian ortodontik, restorasi gigi yang overhanging, dan bernafas melalui
mulut yang dapat menyebabkan dehidrasi pada jaringan mukosa sehingga
meningkatkan plak gigi (Dumitrescu, 2010; Clerehugh, 2009).
18
2.1.3.2 Patofisiologi
Plak merupakan suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan bakteri
yang berkembang biak dan melekat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan.
Mikroorganisme pada plak gigi menyebabkan terjadinya fermentasi karbohidrat
yang diperoleh dari makanan dan minuman (Murray et al., 2003).
Mikroorganisme terus berkembang biak dan membentuk koloni yang semakin
besar yang merupakan tahap kolonisasi primer. Mikroorganisme yang terus
berkembang biak melepaskan polisakarida ekstraseluler yang tidak larut dalam
air sehingga terbentuk matriks plak yang dapat menahan plak melekat pada
permukaan gigi. Pada tahap kolonisasi sekunder, bakteri yang belum berinteraksi
pada bakteri kolonisasi primer akan mulai berinteraksi. Interaksi yang
menimbulkan perlekatan antara bakteri kolonisasi sekunder ke bakteri kolonisasi
primer akan meningkatkan ketebalan plak. Plak yang tidak dibersihkan selama
lebih dari 12 hari akan mulai mengalami kalsifikasi dan terus berkembang
menjadi kalkulus (Chetrus & Ion, 2013). Akumulasi kalkulus inilah yang akan
mengiritasi gingiva di sekitar gigi sehingga terjadi gingivitis.
Lalu gingivitis berkembang menjadi periodontitis dimulai dengan tahap
pertama, initial lesion yang berkembang 2-4 hari yang ditandai dengan dilatasi
pembuluh darah dan peningkatan aliran darah, yang menyebabkan neutrofil dan
monosit ke arah sulkus gingiva. Lalu dilanjutkan ke tahap kedua yaitu early lesion
yang berkembang sekitar 1 minggu setelah adanya akumulasi plak lanjutan
dengan tanda-tanda awal gingivitis yang tampak adanya eritema, proliferasi
kapiler, dan terjadi vasodilatasi. Tahap ketiga yaitu terdapat established lesion
19
yang disebut juga dengan gingivitis kronis. Selanjutnya yaitu advanced lesion
yang merupakan tahap perubahan dari gingivitis menjadi periodontitis. Pada
tahap ini terjadi kerusakan jaringan ligamen periodontal dan resorpsi tulang
(Newman dkk, 2012).
2.1.3.3 Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang tampak pada gingivitis yaitu adanya kemerahan dan
konsistensi lunak pada gingiva, perdarahan pada sulkus gingiva saat dilakukan
probing, perubahan kontur gingiva, perubahan warna gingiva dari warna coral
pink menjadi warna merah terang karena peningkatan vaskularisasi,
berkurangnya stippling pada permukaan gingiva yang merupakan tanda awal
gingivitis, resesi gingiva (Newman dkk, 2012).
Gambar 2.11 Gingivitis early lesion (pocketdentistry.com/disease-entities-and-
diagnosis)
Gambar 2.12 Gingivitis established lesion (pocketdentistry.com/disease-entities-
and-diagnosis)
20
Gambar 2.13 Gingivitis advanced lesion (pocketdentistry.com/disease-entities-
and-diagnosis)
2.2 Pengetahuan
Menurut Green, pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposing
perilaku yang merupakan landasan dalam melakukan suatu hal (Notoatmodjo,
2014). Penelitian terkait yang terdapat di Panchkula, India yaitu terdapat hubungan
pengetahuan terhadap perilaku perawatan kesehatan gigi. Perbedaan signifikan
pada pengetahuan perempuan 85.7% dan laki-laki 72.2% serta pada perilaku
kesehatan gigi perempuan 37.5% dibandingkan laki-laki 12% (Mehta & Kaur,
2012).
2.2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” yang dipengaruhi oleh persepsi
terhadap suatu objek setelah dilakukan penginderaan melalui panca indera yaitu
mata, hidung, telinga, lidah dan kulit (Wawan, 2010).
21
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
2.2.2.1 Faktor Internal
2.2.2.1.1 Pendidikan
Pendidikan merupakan ajaran yang diberikan kepada orang lain untuk
hasil yang lebih baik yang akan menentukan seseorang dalam bertindak.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang
semakin mudah bagi seseorang untuk menerima informasi. Dengan pendidikan
tinggi maka seseorang akan cenderung mendapatkan informasi, baik dari orang
lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang didapat
semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Seseorang dengan pendidikan
tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Tetapi
seorang yang berpendidikan rendah tidak mutlak berpengetahuan rendah pula.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, dapat
juga diperoleh dari pendidikan non formal (Wawan, 2010).
2.2.2.1.2 Usia
Menurut Huclok yang dikutip Wawan, meningkatnya usia, tingkat
berfikir seseorang akan semakin matang. Usia dapat mempengaruhi daya
tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang
diperolehnya semakin membaik. (Wawan, 2010).
2.2.2.2 Faktor Eksternal
Faktor lingkungan memiliki pengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang ada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi
22
karena adanya interaksi timbal balik yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh
setiap individu.
2.2.3 Pengukuran Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014), Pengukuran pengetahuan ada dua jenis yaitu
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif biasanya
berfungsi untuk mengetahui kejadian suatu fenomena seperti penelitian mengenai
kejadian demam berdarah yang ada di komunitas, mengapa di komunitas tersebut
sering tejadi demam berdarah. Metode pengukuran dengan metode penelitian
kualitatif yaitu:
2.2.3.1 Wawancara mendalam
Wawancara ini dengan mengukur variabel pengetahuan dengan
mengajukan pertanyaan sebagai pembuka untuk mendapatkan jawaban sebanyak-
banyaknya dari responden.
2.2.3.2 Diskusi Kelompok Terfokus (DKT)
Metode ini dilakukan dengan menggali beberapa informasi dari beberapa
responden dalam kelompok, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga
mendapatkan jawaban yang berbeda-beda dari tiap responden dalam kelompok
tersebut yaitu sekitar 6-10 responden.
Sedangkan pada penelitian ini digunakan penelitian kuantitatif yaitu untuk
mengetahui jawaban mengenai berapa banyak, berapa sering dan berapa lama dari
responden yang akan diteliti. Pengukuran menggunakan penelitian kuantitatif
dibagi menjadi dua cara yaitu:
23
2.2.3.3 Wawancara tertutup atau terbuka
Wawancara ini menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner.
Dalam wawancara tertutup, pilihan jawaban sudah tersedia dalam pertanyaan
sehingga responden tinggal memilih jawaban mana yang dianggap benar.
Sedangkan dalam wawancara terbuka, responden bisa menjawab apa saja sesuai
dengan pengetahuan dan pendapat responden itu sendiri.
2.2.3.4 Angket tertutup atau terbuka
Angket ini menggunakan alat ukur yang sama dengan wawancara.
Bedanya, responden menyampaikan jawaban langsung melalui tulisan. Metode
ini sering disebut “self administrated” atau metode mengisi sendiri.
2.3 Perilaku
Perilaku merupakan aktivitas atau kegiatan manusia secara tampak dan
dapat diamati maupun tidak tampak atau tidak dapat diamati. Menurut Skiner
(1938) dalam Notoatmodjo (2014), perilaku muncul karena respons atau reaksi
seseorang terhadap rangsangan atau stimulus yang didapat melalui tahapan S-O-R
yaitu Stimulus-Organisme-Respons. Menurut Wawan (2010), faktor yang saling
berinteraksi berkumpul membentuk perilaku. Menurut Green dalam Notoatmodjo
(2014), perilaku disebabkan oleh 3 faktor sebagai berikut:
2.3.1 Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor ini merupakan landasan dalam melakukan suatu hal, diantaranya
yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai sosial, dan jenis kelamin
24
2.3.2 Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor ini merupakan faktor yang memungkinkan suatu hal dapat
terlaksana, seperti sarana prasarana kesehatan, sumber daya, dan adanya
informasi
2.3.3 Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors)
Faktor ini merupakan hal yang muncul setelah dilakukannya tindakan baik
positif maupun negatif tergantung dari stimulus yang diterimanya, manfaat atau
akibat yang didapat oleh seseorang setelah melakukan sesuatu.
25