Post on 03-Mar-2019
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kejang Demam
2.1.1 Definisi Kejang Demam
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) (1993, dalam
Pellock, 2014) kejang demam merupakan gangguan neurologis akut yang paling
umum terjadi pada bayi dan anak-anak disebabkan tanpa adanya infeksi sistem
saraf pusat. Kejang demam terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun dan
jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <6 bulan atau >3 tahun.
Kejang demam dapat terjadi bila suhu tubuh diatas 38oC dan suhu yang tinggi
dapat menimbulkan serangan kejang. Menurut Maria (2011), setiap anak
dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang berbeda dimana anak
dengan ambang kejang yang rendah terjadi apabila suhu tubuh 38 derajat
Celsius tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi terjadi pada
suhu 40 derajat Celsius bahkan bisa lebih dari itu. Demam dapat terjadi setiap
saat dan bisa terjadi pada saat setelah kejang serta anak dengan kejang demam
memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit demam kontrol
(Newton, 2015).
2.1.2 Klasifikasi Kejang Demam
Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam dibagi
menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile seizureatau kejang demam
sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks. Kejang
demam sederhana adalah kejang general yang berlangsung singkat (kurang dari
15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik) serta tidak berulang
10
dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam periode 24 jam dari
demam pada anak yang secara neorologis normal. Kejang demam sederhana
merupakan 80% yang sering terjadi di masyarakat dan sebagian besar
berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan kejang
demam kompleks memiliki ciri berlangsung selama lebih dari 15 menit, kejang
fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum didahului kejang parsial dan
berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam. Menurut Chung (2014),
pada kejang demam sederhana umumnya terdiri dari tonik umum dan tanpa
adanya komponen fokus dan juga tidak dapat merusak otak anak, tidak
menyebabkan gangguan perkembangan, bukan merupakan faktor terjadinya
epilepsi dan kejang demam kompleks umumnya memerlukan pengamatan
lebih lanjut dengan rawat inap 24 jam.
2.1.3 Etiologi Kejang Demam
Tasmin (2013), menjelaskan bahwa penyebab kejang demam hingga
saat ini belum diketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada
suhu yang tinggi dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat
menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam
diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis
media akut, bronkitis dan tonsilitis (Riyadi, 2013). Sedangkan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejang
demam antara lain obat-obatan, ketidak seimbangan kimiawi seperti
hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu
yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum). Selain penyebab
kejang demam menurut data profil kesehatan Indonesia (2012) yaitu
didapatkan 10 penyakit yang sering rawat inap di Rumah Sakit diantaranya
11
adalah diare dan penyakit gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu,
demam berdarah dengue, demam tifoid dan paratifoid, penyulit kehamilan,
dispepsia, hipertensi esensial, cidera intrakranial, indeksi saluran pernafasan
atas dan pneumonia.
Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu penyakit, namun
merupakan suatu gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab
kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab utama kejang adalah
kelainan bawaan di otak sedangkan penyebab sekundernya adalah gangguan
metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Negara berkembang,
kejang pada neonatus dan anak sering disebabkan oleh tetanus neonatus,
sepsis, meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat bawaan. Penyebab
kejang pada neontaus, baik primer maupun sekunder umumnya berkaitan erat
dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan serta masa-
masa bayi baru lahir. Menurut penelitian yang dilakukan diIran, penyebab
kejang demam dikarena infeksi virus dan bakteri (Dewi, 2014).
2.1.4 Manifestasi Klinis Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menyebutkan bahwa kejang pada anak dapat terjadi
bangkitan kejang dengan suhu tubuh mengalami peningkatan yang cepat dan
disebabkan karena infeksi di luar susunan saraf pusat seperti otitis media akut,
bronkitis, tonsilitis dan furunkulosis. Kejang demam biasanya juga terjadi
dalam waktu 24 jam pertama pada saat demam dan berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, tonik dan fokal atau
akinetik. Pada umumnya kejang demam dapat berhenti sendiri dan pada saat
berhenti, anak tidak dapat memberikan reaksi apapun untuk sejenak tetapi
12
setelah beberapa detik atau bahkan menit kemudian anak akan sadar kembali
tanpa adanya kelainan saraf.
Djamaludin (2010), menjelaskan bahwa tanda pada anak yang
mengalami kejang adalah sebagai berikut : (1) suhu badan mencapai 39 derajat
Celcius; (2) saat kejang anak kehilangan kesadaran, kadang-kadang napas dapat
terhenti beberapa saat; (3) tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala
terkulai ke belakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat; (4) warna kulit
berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik ke atas; (5) gigi terkatup
dan terkadang disertai muntah; (6) napas dapat berhenti selama beberapa saat;
(7) anak tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.
2.1.5 Patofisiologi Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting adalah glukosa.
Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan
diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui
bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipercah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neoron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida.
Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium
rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan
demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan mengakibatkan kenaikan
13
metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan
suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadi kejang.
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan
dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung
lebih dari 15 menit biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan
oleh matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot
meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan
terdapat gangguan perederan darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggalkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang
berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Karena itu kejang demam yang berlansung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Nurindah , 2014).
14
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam
Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2012 menjelaskan bahwa
pemeriksaan penunjang merupakan penelitian perubahan yang timbul pada
penyakit dan perubahan ini bisa sebab atau akibat serta merupakan ilmu
terapan yang berguna membantu petugas kesehatan dalam mendiagnosis dan
mengobati pasien. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan
diagnosis yang serius atau setidaknya data laboratoris yang menunjang
kecurigaan klinis (Ginsberg, 2008).
Pemeriksaan penunjang pada anak yang mengalami kejang demam adalah
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium pada anak yang mengalami kejang demam yang
bertujuan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan
lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam dan pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum (terutama
pada anak yang mengalami dehidrasi, kadar gula darah, serum kalsium, fosfor,
magnesium, kadar Bloof Urea Nitrogen (BUN) dan urinalisis. Pemeriksaan lain
yang mungkin dapat membantu adalah kadar antikonvulsan dalam darah pada
anak yang mendapat pengobatan untuk gangguan kejang serta pemeriksaan
kadar gula darah bila terdapat penurunan kesadaran berkepanjangan setelah
kejang (Arief, 2015).
2. Pungsi lumbal
Pada anak kejang demam sederhana yang berusia <18 bulan sangat disarankan
untuk dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal
karena merupakan pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
15
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis serta pada anak yang
memiliki kejang demam kompleks (karena lebih banyak berhubungan dengan
meningitis) dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal dan dilakukan pada
anak usia 12 bulan karena tanda dan gejala klinis kemungkinan meningitis pada
usia ini minimal bahkan dapat tidak adanya gejala. Pada bayi dan anak dengan
kejang demam yang telah mendapat terapi antibiotik, pungsi lumbal merupakan
indikasi penting karena pengobatan antibiotik sebelumnya dapat menutupi
gajala meningitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).
2.1.7 Faktor Resiko Kejang Demam
Faktor resiko merupakan penyebab langsung atau suatu pertanda
terhadap hal yang merugikan dan memudahkan terjadinya suatu penyakit serta
mempunyai hubungan yang spesifik dengan akibat yang dihasilkan (Nurwijaya,
2010). Anak yang mengalami kejang demam kemungkinan besar akan menjadi
penderita epilepsi jika adanya kelainan neurologis sebelum kejang demam
pertama dan kejang demam bersifat kompleks (Susilowati, 2011).
Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Resiko kekambuhan kejang demam merupakan kejang demam yang terjadi
kedua kalinya sebanyak setengah dari pasien tersebut. Usia pada saat kejang
demam pertama merupakan faktor resiko yang paling penting dalam
kekambuhan ini, karena semakin muda usia pada saat kejang demam pertama,
semakin tinggi resiko keambuhan terjadi dan sebagai perbandingan, sebanyak
20% yang memiliki kekambuhan kejang demam pertama adalah usia tua lebih
dari 3 tahun (Gupta, 2016).
16
2. Resiko epilepsi merupakan resiko mengembangnya kejang setelah terjadi
kejang demam dan berdampak pada keterlambatan perkembangan atau
pemeriksaan neurologis yang abnormal sebelum terjadi kejang demam, riwayat
kejang demam kompleks dan terjadi kejang demam berkepanjangan serta
menjadi resiko epilepsi. Resiko epilepsi ini merupakan faktor bawaan yang
sudah ada sebelumnya seperti perinatal, genetik atau keturunan (Panteliadis,
2013).
3. Resiko perkembangan, kecacatan perilaku dan akademik pada anak kejang
demam adalah tidak lebih besar dari pada populasi umum dan anak dengan
kejang demam berkepanjangan dapat mengembangkan konsekuensi neurologis
jangka panjang (Bagiella, 2011).
4. Status demam epileptikus adalah kejang demam yaang memiliki durasi lebih
dari 30 menit dan merupakan bentuk paling parah dan berpotensi mengancam
nyawa dengan konsekuensi jangka panjang dan bersifat gawat darurat. Anak
dengan kejang demam pertama memiliki potensi status demam epileptikus
dimana dikaitkan dengan usia yang lebih muda dan suhu tubuh lebih rendah
serta durasi yang lebih lama (Gupta, 2016).
5. Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat kejang
demam (pada masa kanak-kanak), saudara kandung dengan riwayat kejang
demam dan orang tua dengan riwayat epilepsi tanpa demam (Handy, 2016).
Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mempunyai riwayat kejang dalam
keluarga terdekat mempunyai resiko untuk bangkitan kejang demam 4,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat dan faktor
riwayat kejang pada ibu, ayah dan saudara kandung menunjukkan hubungan
yang bermakna karena mempunyai sel yang kosong (Wijayahadi, 2010).
17
6. Konsekuensi kejang demam, anak yang mengalami kejang demam sederhana
memiliki resiko yang sangat rendah dibandingkan dengan kejang demam
kompleks karena pada kejang demam kompleks memiliki durasi selama lebih
dari 15-20 menit dan berulang dalam penyakit yang sama (Camfield, 2015).
7. Faktor statistik yaitu faktor resiko kejang demam yang berhubungan dengan
pendidikan orang tua, ibu merokok pada saat sebelum melahirkan atau
menggunakan minuman beralkohol, tingkat demam dan memiliki penyakit
gastroenteritis. Faktor resiko yang paling penting untuk kejang demam adalah
usia, karena semakin muda usia pada saat kejang demam pertama semakin
tinggi resiko kekambuhan (Salam, et al. 2012).
2.1.8 Pencegahan Kejang Demam
Pencegahan kejang demam adalah tindakan menghilangkan penyebab
ketidaksesuaian yang potensial atau situasi yang tidak dikehendaki (Hadi, 2007).
Pencegahan yang harus dilakukan pada anak yang mengalami kejang demam
adalah sebagai berikut :
1. Imunisasi adalah dengan sengaja memasukkan vaksin yang berisi mikroba
hidup yang sudah dilemahkan pada balita yang bertujuan untuk mencegah dari
berbagain macam penyakit. Imunisasi akan memberikan perlindungan seumur
hidup pada balita terhadap serangan penyakit tertentu. Apabila kondisi balita
kurang sehat bisa diberikan imunisasi karena suhu badannya akan meningkat
sangat tinggi dan berisiko mengalami kejang demam. Berbagai jenis vaksinasi
atau imunisasi yang saat ini dikenal dan diberikan kepada balita dan anak adalah
vaksin poliomyelitis, vaksin DPT (difteria, pertusis dan tetanus), vaksin BCG
(Bacillus Calmette Guedrin), vaksin campak (Widjaja, 2009).
18
2. Orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengamati anak
dengan cara jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak karena
benda tersebut justru dapat menyumbat jalan napas, anak harus dibaringkan
ditempat yang datar dengan posisi menyamping bukan terlentang untuk
menghindari bahaya tersedak, jangan memegangi anak untuk melawan, jika
kejang terus berlanjut selama 10 menit anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat dan setelah kejang berakhir jika <10 menit anak perlu
dibawa ke dokter untuk meneliti sumber demam terutama jika ada kekakuan
leher, muntah-muntah yang berat dan anak terus tampak lemas (Lissauer,
2013).
2.1.9 Penatalaksanaan Kejang Demam
Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa terdapat 4 faktor untuk
menangani kejang demam diantaranya adalah pemberantasan kejang secepat
mungkin, pengobatan penunjang, memberikan pengobatan rumat serta
mencari dan mengobati penyebab.
1. Memberantas kejang secepat mungkin
Pada saat pasien datang dalam keadaan kejang lebih dari 30 menit maka
diberikan obat diazepam secara intravena karena obat ini memiliki keampuhan
sekitar 80-90% untuk mengatasi kejang demam. Efek terapeutinya sangat cepat
yaitu kira-kira 30 detik dampai 5 menit. Jika kejang tidak berhenti makan
diberikan dengan dosis fenobarbital. Efek samping obat diazepam ini adalah
mengantuk, hipotensi, penekanan pusat pernapasan, laringospasme dan henti
jantung (Newton, 2013).
19
2. Pengobatan penunjang yaitu dengan melepas pakaian ketat yang digunakan
pasien, kepala pasien sebaiknya dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi
lambung, usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
dan bila perlu dilakukan inkubasi atau trakeostomi serta penghisapan lendir
harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. Fungsi vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung diawasi secara
ketat. Berikut tindakan pada saat kejang : (1) baringkan pasien ditempat yang
rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidih yang telah dibungkus kasa
atau bila ada guedel lebih baik; (2) singkirkan benda-benda yang ada di sekitar
pasien dan lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan seperti ikat
pinggang dan gurita; (3) bila suhu tinggi berikan kompres secara
intensif;(4)setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat; (5)isap
lendir sampai bersih, berikan oksigen boleh sampai 4L/menit dan jika pasien
upnea lakukan tindakan pertolongan; (Ngastiyah, 2014).
3. Pengobatan rumat, pada saat kejang demam telah diobati kemudian diberikan
pengobatan rumat. Mekanisme kerja diazepam sangat singkat, yaitu berkisar
antara 45-60 menit sesudah di suntik. Oleh karena itu harus diberikan obat
antiepileptik dengan daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau
defenilhidantoin. Fenobarbital diberikan langsung setalh kejang berhenti
dengan diazepam. Lanjutan pengobatan rumat tergantung dari pada keadaan
pasien. Pengobatan ini dibagi menjadi dua bagiam yaitu profilaksis intermiten
dan profilaksis jangka panjang (Natsume, 2016).
4. Mencari dan mengobati penyebab. Etiologi dari kejang demam sederhana
maupun epilepsi biasanya disebabkan oleh infeksi pernapasan bagian atas serta
otitis media akut. Cara untuk penanganan penyakit ini adalah dengan
20
pemberian obat antibiotik dan pada pasien kejang demam yang baru datang
untuk pertama kalinya dilakukan pengambilan pungsi lumbal yang bertujuan
untuk menyingkirkan kemungkinan terdapat infeksi didalam otak seperti
penyakit miningitis (Arief, 2015).
Patel (2015), menjelaskan bahwa orang tua harus di ajari bagaimana
cara menolong pada saat anak kejang dan tidak boleh panik serta yang penting
adalah mencegah jangan sampai timbul kejang serta memberitahukan orang tua
tentang apa yang harus dilakukan jika kejang demam berlanjut dan terjadi di
rumah dengan tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter
yang telah mengandung antikonvulsan, anak segera diberikan obat antipiretik
bila orang tua mengetahui anak mulai demam dan jangan menunggu suhu
meningkat serta pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selama
24 jam berikutnya (Ghassabian, et al. 2012). Jika terjadi kejang, anak harus
dibaringkan ditempat yang rata dan kepalanya dimiringkan serta buka baju anak
dan setelah kejang berhenti, pasien bangun kembali suruh minum obat dan
apabila suhu pada waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya dikompres serta
beritahukan kepada orang tua pada saat anak mendapatkan imunisasi agar
segera beritahukan dokter atau petugas imunisasi bahwa anak tersebut
menderita kejang demam agar tidak diberikan pertusis (Patil, et al. 2012).
2.2 Konsep Sikap
2.2.1 Definisi Sikap
Sikap adalah pikiran dan perasaan seseorang yang kurang mengenai
aspek tertentu dalam lingkungan dan stimulus yang berdampak pada pada
bagaimana seseorang berhadapan dengan objek dan sikap bukan suatu
21
tindakan atau aktivitas, melainkan predisposisi tindakan atau perilaku
(Mubarak, 2011).
Alport (1954, dalam Mubarak, 2011 : 84) menyatakan bahwa sikap
mempuyai tiga komponen yaitu diantaranya adalah kepercayaan/keyakinan
(ide dan konsep), kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu
objek dan kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Antara ketiga
komponen diatas secara bersamaan membentuk sikap yang utuh atau total
attitude dan sikap yang dikaitkan dengan pendidikan merupakan tanggapan
peserta didik terhadap materi yang telah diberikan.
2.2.2 Tingkat Sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri atas berbagai tingkat
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa seseorang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan atau objek (Notoatmodjo, 2012).
2. Meresponding (responding). Ketika ditanya memberikan jawaban dan
menyelesaikan tugas yang telah diberikan serta menerima ide yang diberikan
dengan mengerjakan tugas tersebut (Efendi, 2009).
3. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkap tiga (Novita,
2013).
4. Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paing tinggi
(Fransiska, 2013).
22
2.2.3 Fungsi Sikap
Sikap memiliki lima fungsi, yakni diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Fungsi instrumental yaitu sikap yang dikaitkan dengan alasan praktis atau
manfaat dan menggambarkan keadaan keinginannya atau tujuan (Maulana,
2009).
2. Fungsi pertahanan ego yaitu sikap yang diambil untuk melindungi diri dari
kecemasan atau ancaman harga dirinya (Fransiska, 2013).
3. Fungsi nilai ekspresi yaitu sikap yang menunjukkan nilai yang ada pada dirinya.
Sistem nilai individu dapat dilihat dari sikap yang diambil indiviu bersangkutan
misalnya individu yang telah menghayati ajaran agama, sikapnya tercermin dala
tutur kata, perilaku dan perbuatan yang dibenarkan ajaran agamanya (Sunaryo,
2013).
4. Fungsi pengetahuan. Setiap individu memiliki motif untuk ingin tahu, ingin
mengerti, ingin banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan dan
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Maulana, 2009).
5. Fungsi penyesuaian sosial yaitu sikap yang diambil sebagai bentuk adaptasi
dengan lingkungannya seperti sikap dapat tertuju pada satu atau banyak objek,
sikap dapat berlangsung lama atau sebentar dan sikap mengandung faktor
perasaan dan motivasi serta hal ini yang membedakan dengan pengetahuan
(Fransiska, 2013).
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap
Maulana (2009), menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan sikap yaitu faktor internal atau diantaranya seperti
fisiologis (sakit, lapar dan haus), psikologis ( minat dan perhatian) dan motif
23
kemudian faktor eksternal atau pengaruh interaksi dengan orang lain
diantaranya adalah pengalaman, situasi, norma, hambatan dan pendorong.
Sarwon (2000, dalam Maulana, 2009) pembentukan dan perubahan
sikap dapat disebabkan oleh situasi interaksi kelompok dan situasi komunikasi
media karena semua kejadian tersebut mendapatkan pengalaman dan akhirnya
akan membentuk suatu kenyakinan, perasaan dan kecendrungan berperilaku.
Pembentukan dan perubahan sikap memiliki beberapa cara seperti adopsi,
diferensiasi, integrasi, trauma dan generalisasi.
2.3 Konsep Pendidikan Kesehatan
2.3.1 Definisi Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku yang
dinamis, dimana perubahan tersebut bukan proses pemindahan materi dari
seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur. Artinya
perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran dari dalam individu atau
masyarakat sendiri. Pendidikan kesehatan adalah isitilah yang diterapkan pada
penggunaan proses pendidikan secara terencana untuk mencapai tujuan
kesehatan meliputi beberapa kombinasi dan kesempatan pembelajaran
(Kholid, 2015).
Craven dan Hirnle (1996, dalam Supradi, 2007 : 7), menjelaskan bahwa
pendidikan kesehatan adalah penambah pengetahuan dan kemampuan
seseorang melalui teknik prakter belajar atau instruksi dengan tujuan untuk
mengingat faktau atau kondisi nyata dengan cara memberikan dorongan
terhadap pengarahan diri (self direction) dan aktif memberikan informasi-
informasi.
24
WHO (1954, dalam Maulana, 2009 : 149), menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan kesehatan mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang
kesehatan. Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 yakni meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan baik fisik, mental maupun sosialnya sehingga produktif secara
ekonomi maupun secara sosial, pendidikan kesehatan disemua program
kesehatan baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi
masyarakat pelayanan kesehatan maupun progam kesehatan lainnya.
2.3.2 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan, baik sebagi ilmu maupun seni
sangat luas karena mencakup segi kehidupan masyarakat. Pendidikan kesegatan
selain merupakan salah satu faktor dalam usaha meningkatkan kesehatan dan
kondisi sosial masyarakat. Berkaitan dengan ilmu sosial budaya, juga
memberikan bantuan dalam setiap program kesehatan. Ruang lingkup
pendidikan kesehatan didasarkan pada apek kesehatan, tatanan atau tempat
pelaksanaan dan pelayanan kesehatan (Mubarak, 2007).
Mubarak (2007), menjelaskan bahwa ruang lingkup pada pendidikan
kesehatan bisa dilihat dari berbagai macam dimensi, antara lain dimensi sasaran
pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya dan dimensi tingkat
pelayanan kesehatan dan bisa di lihat dibawah ini:
1. Dimensi sasaran, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu: (a) pendidikan kesehatan individual dengan menggunakan sasaran
individu; (b) pendidikan kesehatan kelompok dengan menggunakan sasaran
25
kelompok; (c) pendidikan kesehatan masyarakat dengan menggunakan sasaran
masyarakat (Kholid, 2015).
2. Dimensi tempat pelaksanaan, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di
berbagai macam tempatmisalnya seperti : (a) pendidikan kesehatan di Sekolah,
dilakukan di Sekolah dengan menggunakan sasaran murid; (b) pendidikan
kesehatan di Rumah Sakit, dilakukan di Rumah Sakit dengan mennggunakan
sasaran pasien yang ada di Rumah Sakit; (c) pendidikan kesehatan di tempat-
tempat kerja dengan menggunakan sasaran buruh atau karyawan (Novita,
2013).
3. Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan juga dapat
dilakukan lima level tingkat pencegahan seperti health promotion atau
peningkatan kesehatan, general and specific protection (perlindungan umum dan
khusus, early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan segera
atau adekuat), Disability limitation atau pembatasan kecacatan, Rehabititation atau
rehabilitasi dan sasaran pendidikan kesehatan (Supradi, 2007).
2.3.3 Langkah-langkap Pendidikan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), menjelaskan
bahwa langkah-langkah pelaksanaan pendidikan kesehatan di bagi menjadi dua
kelompok, yaitu langkah-langkah pendidikan kesehatan di Puskesmas dan di
masyarakat :
1. Pelaksanaan pendidikan kesehatan di Puskesmas pada dasarnya adalah
penerapan strategi pendidikan kesehatan yaitu pemberdayaan, bina suasana dan
advokasi di tatanan sarana kesehatan khususnya Puskesmas. Oleh karena itu
langkah awalnya adalah penggerakan dan pengorganisasian untuk
26
memberdayakan para petugas Puskesmas agar mampu mengidentifikasi
masalah-masalah yang disandang pasien atau klien dan menyusun rencana
untuk menanggulanginya dari sisi pendidikan kesehatan. Setelah itu barulah
dilaksanakan pendidikan kesehatan dengan peluang yang ada (Machfoedz &
Suryani, 2007).
2. Langkah-langkah promosi kesehatan di masyarakah mencakup : (1) pengenalan
kondisi wilayah; (2) identifikasi masalah kesehatan; (3) survey mawas diri; (4)
musyawarah desa atau kelurahan; perencanaan partisipatif: (6) pelaksanaan
kegiatan dan pembinaan kelestarian (Fitriani, 2011).
2.3.4 Metode Pendidikan Kesehatan
Menurut Maulana (2009), metode dapat diartikan sebagai cara atau
pendekatan tertentu. Dalam proses belajar, pendidikan harus dapat memilih
dan menggunakan metode atau cara mengajar yang cocok sesuai dengan
kondisi setempat. Meskipun berlaku pedoman umum bahwa tidak ada satu pun
metode belajar yang paling baik dan tidak ada satu pun metode belajar yang
berdiri sendiri.
2.3.4.1 Klasifikasi Metode Pendidikan Kesehatan
WHO (1992, dalam Maulan, 2009), menjelaskan bahwa metode
pendidikan kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu metode
pendidikan individu, kelompok dan massa.
1. Metode Pendidikan Individu
a. Bimbingan dan konseling, berisi tentang penyampaian informasi yang
berkenan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan masalah
sosial yang disajikan dalam bentuk pelajaran. Informasi dalam
27
bimbingan yang dimaksud adalah memperbaiki dan mengembangkan
pemahaman diri dan orang lain, sedangkan perubahan sikap
merupakan tujuan tidak langsung. Konselin adalah proses belajar yang
bertujuan memungkinkan konseli atau peserta didik mengenal dan
menerima diri serta realistik dalam proses penyelesaian dengan
lingkungannya. Menurut Cavaganh (1982, dalam Maulana, 2009),
proses konseling terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pertama meliputi
pengenalan, kunjungan dan dukungan lingkungan. Tahap pertengahan
berupa kegiatan penjelasan masalah klien dan membantu apa yang akan
diberikan berdasarkan penilaian kembali masalah klien. Tahap akhir
ditandai oleh penurunan kecemasan klien berupa perubahan perilaku
ke arah positif, sehat dan dinamis.
b. Wawancara merupakan bagian dari konseling dan bimbingan yang
dilakukan untuk mencari informasi yang dilakukan oleh petugas dan
klien untuk mengetahui perilaku memiliki kesadaran yang kuat
(Nursalam, 2009).
1. Metode pendidikan kelompok, untuk kelompok yang besar memiliki sasaran
berjumlah lebih dari 15 orang dan dapat digunakan metode cerah dan seminar
seperti: (1) ceramah adalah pidato yang disampaikan oleh seorang pembicara
di depan sekelompok pengunjung atau pendengar; (2) bermain peran adalah
permainan sebuah situasi dalam hidup manusia dengan atau patanpa
melakukan latihan seblumnya. Metode ini dimainkan oleh beberapa orang
untuk dipakai sebagai bahan analisis oleh kelompok. Dalam metode ini, para
peserta diminta memainkan atau memerankan bagian-bagian dari berbagai
karakter dalam suatu kasus (Fitriani, 2011).
28
2. Metode pendidikan massa dilakukan untuk mengonsumsikan pesan-pesan
kesehatan yang ditunjukan untuk masyarakat karema sasaran pendidikan
bersifar umum dalam arti tidak membedakan golongan, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan. Salah satu contoh
metode ni adalah ceramah umum. Ceramah umum dapat dilakukan dengan
memberikan pidato di hadapan massa dengan sasaran yang sangat besar,
misalnya pejabat berpidato di hadapan rakyat. Safari KB (keluarga berencana)
merupakan bentuk pendekatan massa. Hal ini membutuhkan partisipasi
masyarakat, kelompok koordinasi antar sektor dan media cetak serta elektronik
(Kholid, 2015).
2.3.5 Media Pendidikan Kesehatan
Soekidjo (2005, dalam Mubarak, 2011 : 117), menjelaskan bahwa
media merupakan perantara atau bisa disebut juga dengan pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan tersebut dan media didalam pendidikan kesehatan
merupakan alat bantu pendidikan kesehatan dengan cara dilihat, diraba,
didengar, dirasakan dan dicium yang bertujuan untuk memperlancar
komunikasi dan penyebarluasan informasi yang disampaikan oleh komuniktor
dengan melalui media cetak dan media elektronik.
Mubarak (2011), menjelaskan bahwa tujuan media pendidikan
kesehatan sebagi berikut: (1) media dapat mempermudah penyampaian
informasi; (2) media dapat menghindari kesalahan persepsi; (3) media dapat
memperjelas informasi; (4) media dapat mempermudah pengertian; (5) media
dapat mengurangi komunikasi yang verbalistik; (6) media dapat menampilkan
29
objek yang tidak bisa ditangkap mata; (7) media dapat memperlancar
komunikasi.
2.3.5.1 Jenis Media Pendidikan Kesehatan
Maulana (2009), menjelaskan bahwa alat-alat peraga dapat dibagi dalam
4 kelompok besar yaitu:
1. Benda asli adalah benda yang sesungguhnya dan merupakan alat peraga yang
paling baik karena mudah dikenal serta memiliki bentuk dan ukuran yang tepat.
Alat ini mempunyai kelemahan yaitu tidak selalu mudah di bawah kemana-
mana. Alat peraga ada bermacam diantaranya adalah tinja di kebun, lalat di atas
tinja, spesimen seperti cacing yang di awetkan dalam botol dan sample seperti
oralit (Fitriani, 2011).
2. Benda tiruan memiliki ukuran yang berbeda dengan benda sesungguhnya. Alat
ini dapat digunakan sebagai media didalam pendidikan kesehatan karena benda
tiruan dapat dibuat dari berbagai macam bahan diantaranya seperti tanah,
semen, kayu dan plastik sedangkan benda asli tidak bisa digunakan karena
ukurannya yang terlalu besar dan berat (Supradi, 2007).
3. Media grafis atau yang biasa disebut gambar merupakan pengkajian visual
dengan penyajian dua dimensi dan media grafis ini tidak termasuk media
eletronik. Ada berbagai macam media grafis diantaranya adalah flip chart
(lembar balik), spanduk, lukisan, booklet, poster, leaflet dan flyer atau
selembaran(Mubarak, 2011).
30
2.4 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tehadap Sikap Ibu dalam Menangani
Kejang Demam Pada Anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Nazimi (2017) “The effect of educational
program on knowledge, attitude and practice of mothers regarding prevention of febrile seizure
in children”. Pengaruh program pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan,
sikap dan perilaku dari ibu tentang pencegahan kejang demam. Dalam
penelitian yang di lakukan di Iran ini menggunakan intervensi pendidikan
kesehatan dan intervensi ini mempunyai hasil yang signifikan dimana setelah
dilakukan intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku ibu memiliki
peningkatan. Dalam studi Huang telah menyatakan bahwa pendidikan
kesehatan dan diskusi kelompok memiliki peran utama dalam meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku. Dengan menggunakan metode pendidikan ini
lebih efektif bisa mengurangi kecemasan ibu dan lebih mengerti lagi dalam
menggunakan termometer serta lebih bisa mengkontrol kejang demam pada
anak. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Barzegar (2015) “The
effects of two educational strategies on knowledge, attitude, concerns and practices of mothers
with febrile convulsive children”. Penelitian ini menggunakan 2 strategi pendidikan
kesehatan yaitu pamflet dan intrusksi lisan dan mendapatkan hasil signifikan
efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku meskipun sangat
sedikit perubahan sikap yang terjadi terhadap kejang demam. Michael dan Sisca
(2014), mendapatkan hasil bahwa pendidikan kesehatan dapat memberikan
pengaruh signifikan terhadap tingkat pengetahuan remaja SMK Fajar Bolang
di Sulawesi Utara. Eldein (2016) “Effect of an intervention on prevention of recurrence
of febrile convulsion among under five children” mendapatkan hasil penelitian bahwa