Post on 17-May-2019
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori
2.1.1. Sistem Informasi
Information System (IS) atau yang dikenal dengan Sistem Informasi
(SI), didefinisikan sebagai sebuah sistem informasi yang ada di perusahaan
digunakan untuk mengambil dan mengelola data sehingga menghasilkan
sebuah informasi yang berguna untuk mendukung perusahaan, karyawan,
pelanggan, dan semua pihak yang terkait dengan perusahaan (Whitten dkk,
2004).
Dan Oetomo (2002, p.11) didefinisikan sebagai kumpulan elemen
yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk satu kesatuan
untuk mengintegrasikan data, memproses dan menyimpan serta
mendistribusikan informasi. Dapat diartikan, SI merupakan kesatuan
elemen yang saling berinteraksi secara sistematis dan teratur untuk
menciptakan dan membentuk aliran informasi yang akan mendukung
pembuatan keputusan dan melakukan kontrol terhadap jalannya
perusahaan.
Sistem Informasi (Laudon, p.35) dapat dibagi menjadi 4 level
sistem, yaitu:
11
• Level Sistem Operasional
Level Sistem Operasional adalah sistem transaksi operasional
(Transaction Processing System) yang terjadi pada jajaran
manajemen lapisan terbawah. Sistem yang terkomputerisasi ini
akan mengolah dan menyimpan data transaksi rutin secara yang
nantinya akan digunakan sebagai bahan analisa oleh
perusahaan.
• Level Sistem Pengetahuan (knowledge)
Level Sistem Pengetahuan (Knowledge Work System) adalah
sistem informasi yang dibuat untuk membantu pekerja
berpendidikan dalam menangani penciptaan dan
pengintegrasian pengetahuan baru dalam organisasi. Sistem
komputer seperti word processing, e-mail system dan
schedulling system dirancang dan digunakan untuk
meningkatkan produktifitas dari pekerja pengumpul data dalam
organisasi.
• Level Sistem Manajemen
Level Sistem Manajemen (Management Information System)
adalah sistem komputer yang membantu manager menengah
dalam menjalankan fungsi perencanaan, pengontrolan dan
pengambilan keputusan dengan mengambil kesimpulan dari
data laporan rutin yang dihasilkan oleh kedua level
sebelumnya.
12
• Level Sistem Strategi
Decision Support System (DSS), Sistem komputer yang
mengkombinasikan data, model analisis dan statistik dengan
trend yang berlaku untuk membantu pengambilan keputusan.
Level Sistem Strategi (Executive Information System), Sistem
Informasi yang dirancang untuk membantu para manager
tingkat atas untuk mengambil kesimpulan.
2.1.2. Supply Chain Management
Berikut adalah beberapa terminologi mengenai supply chain management :
• Lisa M. Elram, dkk (2004), “Supply chain management adalah
manajemen informasi, proses, barang dan biaya dari pemasok pertama
kali sampai dengan konsumen terakhir.”
• Institute of Supply Management mendefinisikan supply chain
management sebagai “desain dan manajemen yang kasat mata, proses
yang memberikan nilai tambah disepanjang batas organisasi untuk
memenuhi kebutuhan yang sebenarnya dari konsumen.”
• The Council of Supply Chain Management Professionals
mendefinisikan supply chain management sebagai “perencanaan dan
manajemen dari semua aktivitas termasuk diantaranya sourcing dan
procurement, conversion, dan semua aktivitas manajemen logistik.
Yang paling penting, juga termasuk koordinasi dan kolaborasi antar
13
channel partner, dimana bisa jadi itu adalah supplier, intermediaries,
pihak ketiga, dan konsumen.”
Konsisten terhadap beberapa definisi diatas yaitu adanya ide untuk
melakukan koordinasi atau integrasi beberapa sumber daya – terkait
dengan aktivitas diantara supply chain untuk meningkatkan efisiensi
operasional, kualitas, dan pelayanan terhadap konsumen dalam rangka
meraih keuntungan kompetitif secara berkelanjutan untuk organisasi.
Untuk supply chain management menjadi sukses dalam
organisasi/perusahaan; perusahaan harus bekerja sama dengan cara
membagi informasi mengenai hal-hal seperti demand forecast, rencana
produksi, perubahan kapasitas, strategi marketing yang baru, produk yang
baru, pengembangan layanan, teknologi baru yang digunakan, rencana
pembelian, jadwal pengiriman dan apa saja yang bisa memberikan dampak
kepada proses pembelian, produksi, dan rencana distribusi produk dari
perusahaan tersebut.
2.1.3. Service Operation
Joel D. Wisner, dkk (2008, p.403), perusahaan yang bergerak
dalam bidang services berbeda dengan manufaktur dalam berbagai cara
termasuk tangibility daripada produk akhir, keterlibatan konsumen dalam
proses produksi, assessment dari kualitas produksi, pekerja yang terlibat
dalam produk akhir, dan juga fasilitas lokasi. Contohnya adalah konsultan,
penasihat hukum, entertainer, dan stock broker – mereka menawarkan
sedikit atau tidak adanya tangible product kepada konsumen. Jenis bidang
14
services lainnya mungkin pada produk akhir terdapat tangible component
yang lebih besar seperti restoran, bengkel, penyedia layanan transportasi,
dan gudang umum. Kebanyakan manufaktur, bagaimanapun umumnya
memiliki service component yang kecil yang terasosiasi dengan produk
akhir mereka termasuk maintenance, warranty repair, delivery, dan
customer call center.
Beberapa perbedaan antara barang dan services adalah sebagai
berikut:
• Services tidak dapat diinventarisasikan. Pada umumnya
layanan jasa diproduksi dan dikonsumsi secara simultan –
ketika surat dikirim, operasi bedah dilakukan, dan nasihat
diberikan, maka konsumen telah melakukan konsumsi dari
layanan jasa. Untuk alasan ini maka services atau layanan jasa
seringkali berupaya untuk mencari jalan untuk melakukan
manajemen utilisasi pekerja mereka.
• Services seringkali bersifat unik. Perusahaan layanan jasa yang
baik dengan pegawai yang sudah terlatih dan bermotivasi
tinggi memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian
layanan jasa mereka untuk memuaskan setiap keinginan
konsumen. Sehingga perekrutan dan pelatihan pegawai
menjadi masalah penting untuk memuaskan kebutuhan
konsumen.
15
• Services memiliki interaksi dengan konsumen yang tinggi.
Keunikan daripada layanan jasa adalah menuntut lebih banyak
perhatian kepada konsumen, apakah itu layanan antar barang,
layanan analisa data, menjawab pertanyaan konsumen,
menyelesaikan komplain konsumen, atau memperbaiki mesin.
• Services bersifat decentralized. Yang artinya fasilitas dari
layanan jasa harus bersifat desentralisasi karena
ketidakmampuan untuk melakukan inventarisasi dari layanan
jasa yang ada. Sehingga mencari suatu tempat yang baik
dengan lalu lintas konsumen yang tinggi adalah sangat penting
(bahkan web-based services harus menentukan lokasi dari
tempat iklan dimana mereka akan dengan mudah dilihat oleh
konsumen yang sedang browsing web).
2.1.4. Airline Scheduling
Balaji Gopalakrishnan, dkk (2005), airline scheduling terdiri dari
fleet scheduling dan crew scheduling. Masih menurut Balaji
Gopalakrishnan dkk (2005), airline scheduling terdiri dari lima tahap
perencanaan:
1) Flight Schedule
Suatu schedule atau jadwal penerbangan terdiri atas seluruh
penerbangan untuk diterbangkan yang direncanakan
berdasarkan permintaan pasar untuk penerbangan. Contohnya,
kita dapat membuat jadwal penerbangan dari Atlanta Hartsfield
16
ke Minneapolis – Airport St. Paul pada hari Senin, Rabu dan
Sabtu yang berangkat pada jam 08.30 AM.
2) Fleet Assignment
Pada tahap ini, pesawat yang tersedia dialokasikan kepada
flight legs. Pendapatan dari flight leg tergantung kepada pasar
untuk flight leg dan ukuran dari pesawat yang digunakan untuk
leg tersebut. Tujuan dari kegiatan fleet assignment adalah untuk
memaksimalkan pendapatan dengan constraint yang
memerlukan semua leg untuk diterbangkan menggunakan
pesawat yang tersedia. Beberapa constraint lainnya juga harus
dapat dipenuhi.
3) Aircraft Routing
Suatu permasalahan aircraft routing melibatkan routing dari
pesawat seperti maintenance constraint harus dipenuhi, semua
penerbangan yang dilakukan oleh pesawat dipenuhi dan juga
pendapatan dapat dimaksimalkan.
4) Crew Pairings
Suatu pairing adalah sekuensial dari flight leg atau segment
yang dimulai dan diakhiri pada crew base seperti pada
sekuensial kota kedatangan dari suatu flight leg berkaitan
dengan kota keberangkatan dari penerbangan untuk flight leg
berikutnya. Juga berkaitan dengan yang disebut sebagai trip
atau rotation. Setiap pairing terasosiasi dengan biaya. Tujuan
daripada kegiatan ini adalah untuk mencari subset dari setiap
17
pairing dengan biaya minimal yang menutupi semua flight leg
yang ada pada jadwal penerbangan. Sama seperti pada tahapan
sebelumnya kegiatan crew pairing ini harus memenuhi
peraturan dan constraint lainnya yang diterapkan pada tahap
ini.
5) Bidlines/Rosters
Pada tahap ini jadwal penerbangan bulanan yang dapat
diterbangkan oleh crew digambar menggunakan optimal set
pairing yang dibuat melalui tahap sebelumnya. Jadwal bulanan
ini disebut dengan bidline (atau roster) untuk crew. Disebut
sebagai bidline karena pilot dapat melakukan bid pada barisan
yang ada berdasarkan senioritas dan pertimbangan lainnya.
Tahap ini menentukan sejumlah anggota cockpit crew yang
dibutuhkan oleh airlines selama sebulan. Sekali lagi, untuk
setiap bidline/roster harus dapat memenuhi beberapa constraint
yang ada sama persis seperti dua tahap sebelumnya.
2.1.5. Indikator Airlines – Untuk Penumpang
Milan Janic dalam jurnal berjudul An Application Of The
Methodology For Assessment Of The Sustainability Of The Air Transport
System pada tahun 2004 menyebutkan bahwa adanya indikator untuk
penumpang airlines yang terdiri atas delapan indikator individual terkait
dengan airport dan airlines yang beroperasi pada berbagai skala ukuran.
18
Adapun operational indicators adalah indikator dimensi performa
operasional dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Punctuality of service yang dapat diukur dengan peluang bahwa
suatu penerbangan akan on time dan rata-rata delay per flight
(Headley & Bowen, 1992; USDT, 2001). Pengguna biasanya
akan menghitung setinggi mungkin dan keterlambatan
seminimal mungkin dengan meningkatnya jumlah dari
penerbangan.
2. Reliability of service adalah dapat diukur dengan mencari rasio
antara yang dilakukan dan total jumlah dari penerbangan
(USDT, 2001). Pengukuran diperlukan setinggi mungkin dan
untuk menghindari dengan meningkatnya jumlah penerbangan.
3. Ratio of lost/damaged bagage dapat diekspresikan sebagai
proporsi dari kehilangan atau rusak bagasi dibanding dengan
jumlah penumpang yang diangkut.
4. Safety adalah diukur sebagai rasio dari jumlah kematian (atau
kecelakaan) per unit dari output – Revenue Passenger
Kilometer atau Revenue Passenger Mile (RPK atau RPM).
Pengguna lebih memilih ini diukur serendah mungkin untuk
mengurangi meningkatnya RPK atau RPM.
5. Security adalah diukur sebagai rasio antara jumlah benda
berbahaya yang terdeteksi dan jumlah dari total seluruh
penumpang yang sudah melewati pemeriksaan (screened).
19
Untuk ini diperlukan nilai serendah mungkin untuk mengurangi
meningkatnya jumlah penumpang.
Economic Indicator
6. Economic convenience of service adalah diukur dengan
adanya rata-rata tarif per penumpang, dimana hal ini diminta
pengguna dengan nilai yang serendah-rendahnya.
Social Indicator
7. Spatial convenience of service adalah diukur dengan jumlah
dari keragaman dari tujuan dan penerbangan pada airport
dengan ukuran tipe tujuan, konektivitas (non-stop, one-stop
atau multi-stop) dan tujuan perjalanan (business, leisure).
Dengan perkataan lain pengguna menginginkan nilai ukuran ini
setinggi mungkin.
Environmental Indicator
8. Comfort & healtfulness pada airport diukur dengan jumlah
penumpang per unit dari tempat yang tersedia dan rata-rata
waktu untuk antri. Konfigurasi dan ukuran dari kursi pada kelas
ekonomi dan kuantitas udara segar yang ada diruang cabin per
unit. Pengukuran airport diinginkan agar nilainya serendah
mungkin. Pengukuran ketika penumpang onboard diinginkan
untuk setinggi mungkin.
20
2.1.6. Indikator Kinerja Operasional
Berdasarkan hasil temuan Francis dkk (2005), indikator yang
digunakan untuk mengukur dimensi kinerja operasi (operational
performance) adalah 5 indikator, di mana digunakan oleh 90% dari 200
perusahaan penerbangan besar di seluruh dunia, seperti tabel 2.1.
Tabel 2.1 Indikator kinerja operasi dari 200 perusahaan penerbangan besar.
No. Jenis Indikator Kinerja Digunakan
1. Punctuality / on time performance per
operation (OTP)
100%
2. Load factor per flight 100%
3. Daily aircraft utilization (hours) 98%
4. Revenue passenger kilometres 95%
5. Available seat kilometres 93%
Sumber: Francis, dkk., 2005
Pada tabel indikator kinerja operasi tampak bahwa indikator pengukuran
dimensi kinerja operasional digunakan oleh 90% perusahaan penerbangan
di dunia terdiri atas:
a. On time performance yaitu mengukur kinerja ketepatan waktu
keberangkatan penerbangan dengan jadwal penerbangan yang
sudah ditetapkan. Semakin kecil gap antara waktu
keberangkatan dan jadwal penerbangan, maka semakin baik
kinerja on time performance. Seluruh perusahaan penerbangan
menggunakan indikator ini untuk mengukur kinerja operasional
21
– dimana perusahaan mengukur on time performance secara
periodik – dengan mengevaluasi jumlah penerbangan yang on
time dan yang tidak on time. Kinerja dinyatakan dalam bentuk
persentase on time – ketepatan waktu keberangkatan dengan
waktu yang dijadwalkan dengan toleransi waktu yang sudah
ditetapkan otoritas penerbangan internasional – terhadap
jumlah seluruh penerbangan atau semakin tinggi persentase on
time maka semakin baik kinerjanya (Francis, dkk, 2005;
Doganis, 2006; Schefczyk, 1993; Suzuki, 2000).
b. Load factor per flight merupakan indikator kinerja operasional
yang digunakan untuk seluruh perusahaan penerbangan. Load
factor per flight mengukur persentase jumlah kursi yang terjual
dengan jumlah kursi yang tersedia untuk setiap penerbangan.
Pengukuran didasarkan pada rata-rata load factor per flight
dalam tiga tahun terakhir untuk seluruh penerbangan yang
dilakukan. Semakin tinggi rata-rata persentase load factor per
flight maka semakin baik kinerjanya. Load factor per flight
digunakan sebagai indikator output dari kinerja pemasaran dan
penjualan kursi atau tiket penerbangan (Francis, dkk, 2005;
Doganis, 2006).
c. Daily aircraft utilization per jam merupakan indikator
pengukuran kinerja operasional yang digunakan oleh 98%
perusahaan penerbangan di seluruh dunia. Dalam hal ini
dihitung/diukur rata-rata jumlah jam pesawat beroperasi atau
22
digunakan untuk setiap hari atau tahunan. Indikator ini
mengukur produktivitas pesawat yang sangat terkait dengan
nilai ekonomis pesawat. Beberapa perusahaan yang
menggunakan model leasing untuk kepemilikan pesawat,
indikator daily aircraft utilization per jam akan sangat
mempengaruhi efektivitas dan efisiensi biaya operasi
penerbangan (Francis, dkk, 2005; Doganis, 2006).
d. Revenue passenger kilometres (RPK) merupakan indikator
pengukuran kinerja yang digunakan oleh 95% perusahaan
penerbangan, dimana diukur berdasarkan perbandingan antara
jumlah biaya yang dikeluarkan dalam operasi dan jumlah
pembayaran oleh penumpang pada setiap penerbangan untuk
tujuan penerbangan. RPK digunakan juga untuk mengukur
traffic penumpang perusahaan penerbangan (Francis, dkk,
2005; Doganis, 2006).
e. Available seat kilometres (ASK) merupakan indikator yang
digunakan oleh 93% perusahaan penerbangan, di mana
mengukur jumlah kursi yang siap untuk dijual untuk setiap
penerbangan berdasarkan jarak tujuan penerbangan. Indikator
pengukuran ini digunakan untuk efektivitas operasi pesawat
untuk setiap penerbangan per kilo meter dan untuk mengukur
kapasitas bisnis penerbangan pada periode tertentu (Francis,
dkk, 2005; Doganis, 2006).
23
2.1.7. Model Evaluasi Sistem Informasi
Ada beberapa model evaluasi sistem informasi, di antaranya adalah:
1. Technology Acceptance Model (TAM)
Model ini telah banyak digunakan dalam penelitian sistem
informasi untuk mengetahui reaksi pengguna terhadap sistem
informasi (Landry et. al., 2006). Metode TAM ini pertama sekali
dikenalkan oleh Davis pada tahun 1989.
TAM adalah teori sistem informasi yang membuat model
tentang bagaimana pengguna mau menerima dan menggunakan
teknologi. Model ini mengusulkan bahwa ketika pengguna
ditawarkan untuk menggunakan suatu sistem yang baru, sejumlah
faktor mempengaruhi keputusan mereka tentang bagaimana dan
kapan akan menggunakan sistem tersebut, khususnya dalam hal:
usefulness (pengguna sistem yakin bahwa dengan menggunakan
sistem ini akan meningkatkan kinerjanya), ease of use (pengguna
sistem yakin bahwa menggunakan sistem ini akan
membebaskannya dari kesulitan, dalam artian sistem ini mudah
dalam penggunaannya). Beberapa penelitian telah mereplikasi studi
Davis untuk memberi bukti empiris terhadap hubungan yang ada
antara usefulness, ease of use dan system use (Furneaux, 2006a).
24
2. End User Computing (EUC) Satisfaction
Pengukuran terhadap kepuasan telah mempunyai sejarah
yang panjang dalam disiplin ilmu sistem informasi. Dalam lingkup
end-user computing, sejumlah studi telah dilakukan untuk meng-
capture keseluruhan evaluasi dimana pengguna akhir teah
menganggap penggunaan dari suatu sistem informasi (misalnya
kepuasan) dan juga faktor-faktor yang membentuk kepuasan ini.
(Doll et al, 1995 disitasi oleh Chin et al, 2000).
Evaluasi dengan menggunakan model ini lebih menekankan
kepuasan (satisfaction) pengguna akhir terhadap aspek teknologi,
dengan menilai isi, keakuratan, format, waktu dan kemudahan
penggunaan dari sistem. Model ini telah banyak diujicobakan oleh
peneliti lain untuk menguji reliabilitasnya dan hasilnya
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna meskipun instrumen
ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang berbeda.
3. Task Technology Fit (TTF) Analysis
Inti dari Model Task Technology Fit adalah sebuah
konstruk formal yang dikenal sebagai Task Technology Fit (TTF),
yang merupakan kesesuaian dari kapabilitas teknologi untuk
kebutuhan tugas dalam pekerjaan yaitu kemampuan teknologi
informasi untuk memberikan dukungan terhadap pekerjaan
(Goodhue & Thompson 1995, disitasi oleh Dishaw et al, 2002).
Model TTF memiliki 4 konstruk kunci yaitu Task Characteristics,
25
Technology Characteristics, yang bersama-sama mempengaruhi
konstruk ketiga TTF yang balik mempengaruhi variabel outcome
yaitu Performance atau Utilization. Model TTF menempatkan
bahwa teknologi informasi hanya akan digunakan jika fungsi dan
manfaatnya tersedia untuk mendukung aktivitas pengguna. Model
TTF berpegang bahwa teknologi informasi memiliki dampak
positif terhadap kinerja individu dan dapat digunakan jika
kemampuan teknologi informasi cocok dengan tugas-tugas yang
harus dihasilkan oleh pengguna (Furneaux, 2006b).
4. Human-Organization Technology (HOT) Fit Model
Yusof et al. (2006) memberikan suatu kerangka baru yang
dapat digunakan untuk melakukan evaluasi sistem informasi yang
disebut Human-Organization-Technology (HOT) Fit Model. Model
ini menempatkan komponen penting dalam sistem informasi yakni
Manusia, Organisasi, dan Teknologi dan kesesuaian hubungan di
antaranya.
Komponen manusia menilai sistem informasi dari sisi
penggunaan sistem (system use) pada frewensi dan luasnya fungsi
dan penyelidikan sistem informasi. System use juga berhubungan
dengan siapa yang menggunakan, tingat penggunaanya, pelatihan,
pengetahuan, harapan dan sikap menerima (acceptance) atau
menolak (resistance) sistem. Komponen ini juga menilai sistem
dari aspek kepuasan pengguna (user satisfaction). Kepuasan
26
pengguna adalah keseluruhan evaluasi dari pengalaman pengguna
dalam menggunakan sistem informasi dan dampak potensial dari
sistem informasi. User satisfaction dapat dihubungkan dengan
persepsi manfaat (usefulness) dan sikap pengguna terhadap sistem
informasi yang dipengaruhi oleh karakteristik personal.
Komponen organisasi menilai sistem dari aspek struktur
organisasi dan lingkungan organisasi. Struktur organisasi terdiri
dari tipe, kultur, politik, hierarki, perencanaan dan pengendalian
sistem, strategi, manajemen dan komunikasi. Kepemimpinan,
dukungan dari top manajemen dan dukungan staf merupakan
bagian yang penting dalam mengukur keberhasilan sistem.
Sedangkan lingkungan organisasi terdiri dari sumber pembiayaan,
pemerintahan, politik, kompetisi, hubungan interorganisasional dan
komunikasi.
Komponen teknologi terdiri dari kualitas sistem (system
quality), kualitas informasi (information quality) dan kualitas
layanan (system service quality). Kualitas sistem dalam sistem
informasi di industri penerbangan dapat befokus kepada informasi
yang dihasilkan oleh sistem informasi. Sedangkan kualitas layanan
berfokus pada keseluruhan dukungan yang diterima dari service
provider system atau teknologi.
27
5. IBM Computer Usability Satisfaction Model
Untuk IBM computer usability satisfaction model ini adalah
peneilitan berupa pengukuran yang bersifat subjektif di IBM.
Praktisi dibidang usability dapat menggunakan model ini untuk
meyakinkan dan membantu dalam melakukan pengukurang
kepuasan terhadap sistem.
Pada penelitian yang dilakukan oleh James (1993),
beberapa faktor yang diukur untuk mengetahui kepuasan terhadap
sistem adalah nilai kepuasan sistem secara keseluruhan, kegunaan
sistem (system usefulness), kualitas informasi (information
quality), kualitas tampilan sistem (interface quality).
2.1.8. Uji Realibilitas
Uji Realibilitas digunakan untuk melihat kehandalan dari
instrumen yang digunakan dalam penelitian, dengan cara menguji
konsistensi pernyataan yang terdapat dalam variable bebas. Dengan
mengamati nilai koefisien realibilitas (alpha) pada metode Cronbach’s
Alpha. Jika variabel mendekati nilai atau lebih besar sama dengan 0.7
maka data dapat dikatakan reliable (Sugiyono,2007)
2.1.9. KMO-MSA
Nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA) dan Kaiser-Meyer-
Olkin (KMO) digunakan untuk mengetahui kecukupan data atau sample.
Mengacu pada landasan teori bahwa sekelompok data dikatakan
28
memenuhi asumsi kecukupan data adalah jika nilai MSA dan KMO lebih
besar daripada 0.5 (J.F.Hair,2006)
Hipotesis dari KMO adalah sebagai berikut :
Hipotesis
Ho : Jumlah data cukup untuk difaktorkan
H1 : Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan
Statistik uji :
KMO = ∑ ∑∑∑
∑∑
= = ==
= =
+p
1i
p
1i
p
1j
2ij
p
1j
2ij
p
1i
p
1j
2ij
ar
r
i = 1, 2, 3, ..., p dan j = 1, 2, ..., p
rij = Koefisien korelasi antara variabel i dan j
aij = Koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j
Apabila nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka terima Ho sehingga dapat
disimpulkan jumlah data telah cukup difaktorkan.
2.1.10. Bartlett’s Test
Uji Bartlett bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan
antar variabel dalam kasus multivariat. Jika variabel X1, X2,…,Xp
independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antar variabel
29
sama dengan matriks identitas. Sehingga untuk menguji kebebasan antar
variabel ini, uji Bartlett menyatakan hipotesis sebagai berikut:
H0 : ρ = I
H1 : ρ ≠ I
Statistik Uji :
∑=−
=p
iikk r
pr
111
, k = 1, 2,...,p
∑∑<−
=ki
ikrpp
r)1(
2
[ ]2
22
)1)(2()1(1)1(ˆ
rpprp
−−−−−−
=γ
Dengan :
kr = rata-rata elemen diagonal pada kolom atau baris ke k dari matrik R
(matrik korelasi)
r = rata-rata keseluruhan dari elemen diagonal
Daerah penolakan :
tolak H0 jika
αχγ ;2/)2()1(2
1
22
2)(ˆ)(
)1()1(
−+
=<
>⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−−−
−−
= ∑∑∑ pp
p
kk
kiik rrrr
rnT
30
Maka variabel-variabel saling berkorelasi hal ini berarti terdapat hubungan
antar variabel. Jika H0 ditolak maka analisis multivariat layak untuk
digunakan terutama metode analisis komponen utama dan analisis faktor.
2.1.11. Analisis Faktor
Faktor analisis adalah salah satu pendekatan multi-variabel analisis.
Seperti disampaikan oleh Hair,(2006) “Factor Analysis is a statical
approach that can be used to analyse interrelationship among a large
number of variables and to explain these variables in term of their
common underlying dimensions(factors)”.
Analisis faktor merupakan suatu cabang dari analisis variabel
ganda yang memperhatikan hubungan internal dari sebuah himpunan
variabel-variabel dimana hubungan tersebut dapat diartikan sebagai
hubungan linier atau mendekati. Dalam analisis faktor ini seluruh variabel
yang ada akan dilihat hubungan-nya (inter-dependent antar variabel),
sehingga akan menghasilkan pengelompokan atau tepatnya abstraction
dari banyak variabel menjadi hanya beberapa variabel baru atau faktor.
Dengan sedikit faktor ini akan menjadi lebih mudah untuk dikelola dan di
interpretasikan.
Tujuan utama dari analisis faktor adalah untuk menggambarkan
keragaman diantara banyak variabel-variabel yang sebenarnya dapat
dibedakan dalam beberapa sifat yang mendasar namun tidak dapat
terobservasi kuantitasnya. Sifat yang mendasar namun tak dapat
terobservasi kuantitasnya ini yang disebut faktor.
31
2.1.11.1. Konsep Dasar Analisis Faktor
1. Bukan mengkaitkan antara dependen variabel dengan independen
variabel, tapi membuat reduksi atau abstraksi atau meringkas
dari banyak variabel menjadi sedikit variabel.
2. Teknik yang digunakan adalah teknik interpedensi, yakni seluruh
set hubungan yang interdependen diteliti. Prinsipnya
menggunakan korelasi r = 1 dan r = 0. Dipergunakan dalam hal
mengidentifikasi variabel yang berkorelasi dan yang tidak/kecil
korelasi-nya.
3. Analisis Faktor menekankan adanya communality = jumlah
varian yang disumbangkan oleh suatu variabel pada variabel
lainnya.
4. Kovariasi antar-variabel yang diuraikan akan memunculkan
common factors (jumlahnya sedikit) dan unique factors setiap
variabel. (faktor - faktor tidak secara jelas terlihat).
5. Adanya koefisien nilai faktor (factor score coefficient), sehingga
faktor 1 menyerap sebagian besar seluruh variabel, faktor 2
menyerap sebagian besar sisa varian setelah diambil untuk faktor
1. Faktor 2 tidak berkorelasi dengan faktor 1.
32
2.1.12. Skala LIKERT
Skala yang terdiri dari pernyataan, dan disertai jawaban setuju atau
tidak setuju, sering atau tidak pernah, cepat atau lambat, baik atau buruk,
dan sebagainya (tergantung dari tujuan pengukuran). Dimana Skala
Linkert menggambarkan secara kasar posisi individu dalam kelompoknya
(posisi relatif), membandingkan skor subyek dengan kelompok
normatifnya, menyusun skala pengukuran yang sederhana, dan mudah
dibuat (Sugiyono 2007).
Berikut adalah langkah-langkah yang penyusunan dari skala
LIKERT:
• Menentukan, dan memahami dengan baik apa yang diukur.
• Menyusun Blue Print untuk memandu penyusunan alat ukur
o Indikator yang secara teoritis-logis memberi kontrobusi
yang lebih besar harus diberikan peernyataan yang lebih
banyak.
o Pernyataan dibuat Favorable, dan Unfavorable.
• Membuat item sesuai dengan kaidah.
• Uji coba item.
• Memilih item yang baik.
• Menyusun item terpilih menjadi satu set alat ukur.
• Menginterpretasikan hasil pengukuran.
33
Berikut adalah tahapan dalam memilih pernyataan dalam skala
LIKERT:
• Memilih dengan nilai t, dengan langkah:
o Menghitung, dan menjumlahkan skor tiap subyek.
o Mengelompokkan subyek menjadi dua. Menggunakan
mean atau median jika subyek sedikit, dan menggunakan
percentil 25 75 atau 30 70 apabila subyek banyak.
• Menghitung nilai t.
• Pilihlah 20 –25 item dengan nilai t yang tinggi, dan semua
indikator harus terwakili oleh item Favorable, dan Unfavorable.
• Memilih dengan nilai r (korelasi), dengan langkah:
o Menghitung, dan menjumlahkan skor tiap subyek.
o Mengkorelasikan skor tiap-tiap item dengan skor total yang
diperoleh setiap subyek.
• Nilai r hitung dibandingkan dengan r tabel. Pilihlah item yang r
hitungnya positif, dan lebih besar dari r tabel.
• Biasanya dapat juga menggunakan patokan r minimal 0,3.
• Buang item yang r hitungnya kurang dari r tabel atau kurang
dari 0,3, dan hitung kembali korelasinya hingga r hitung semua
item lebih dari r tabel atau lebih dari 0,3.
• Pilihlah 20 –25 item dengan nilai r yang tinggi, dan semua
indikator harus terwakili oleh item Favorable, dan Unfovorable.
34
Dalam Skala LIKERT penyusunan item yang terpilih dalam satu
set skala harus acak berdasarkan indikator maupun item Favorable, dan
Unfavorable. Dimana interpretasi skor skala tidak dapat dilakukan secara
langsung, dan harus dibandingkan dengan skor kelompok normatifnya.
2.2 Kerangka Berfikir
Pada perusahaan yang bergerak di industri penerbangan, hari yang
paling penting adalah hari dimana perusahaan tersebut harus dapat
menjalankan roda bisnisnya, yaitu menjalankan operasional (bisnisnya)
setiap hari. Pada masa sekarang ini dimana persaingan antar industri
begitu tinggi, industri airlines harus dijalankan pada tingkatan yang paling
baik ketika terkait dengan manajemen sumber daya yang digunakan,
employee productivity, fleet utilization (terkait jumlah jam penggunaan
aircraft), fuel consumption, payload factor (terkait jumlah kursi yang terisi
pada sebuah pesawat) dan customer satisfaction.
Model bisnis dari suatu airlines yang ada harus dapat memberikan
keuntungan dan sistem untuk keperluan operations control yang
digunakan oleh airlines harus dapat mengatasi kendala terkait dengan
kebutuhan terhadap sumber daya seperti aircraft, aircrew, manajemen
irregularities terkait cuaca, peraturan pemerintah setempat dan
sebagainya. Hal ini dapat menentukan antara airlines tersebut dapat sukses
meraih keuntungan atau gagal, yaitu dari kecepatan airlines tersebut untuk
35
dapat melakukan pengambilan keputusan dan meresponnya secara cepat
terhadap berbagai kendala bisnis yang ada.
Integrated Operation Control System atau IOCS yang di
implementasikan di Garuda Indonesia pada pertengahan 2011 merupakan
suatu operations control system yang terintegrasi untuk melakukan
manajemen sumber daya yang terkait kebutuhan operasional penerbangan
yang dikelola dalam bisnis airlines, antara lain: aircraft, aircrew,
irregularities (mengelola masalah rutin yang ada) dan route. Dalam
perjalanannya sistem IOCS di Garuda Indonesia mengalami berbagai
masalah, mulai dari ketersediaannya yang kurang baik, dukungan terhadap
sistem tersebut, maupun mengenai kemampuan atau fungsi daripada
sistem tersebut yang belum dioptimalkan. Dalam studi kasus ini, peneliti
mencoba menelusuri melalui sudut pandang pengguna internal sistem
mengenai pengukuran kinerja dari IOCS. Hal ini dilakukan untuk
memberikan informasi yang lebih faktual dari data yang didapatkan di
lapangan mengenai kinerja IOCS itu sendiri. Melalui kegiatan observasi
terhadap kebutuhan pengukuran kinerja IOCS, ekspektasi manajemen
terhadap manfaat IOCS, dan juga teori terkait evaluasi sistem. Peneliti
mencoba merumuskan beberapa faktor dan indikator untuk menjadi
instrumen penelitian seperti pada tabel 2.2.
Saat ini (2012) di Garuda Indonesia, IOCS menjadi IT system &
tools utama dalam pelaksanaan operations control di perusahaan. IOCS
memiliki potensi untuk meningkatkan employee productivity, on time
performance, dan customer satisfaction. Sehingga diperlukan evaluasi
36
terutama dari sudut pandang pengguna internal terhadap kinerja dari IOCS
untuk mendukung kinerja bisnis di PT Garuda Indonesia Tbk.
Karena itu penelitian pada studi kasus ini akan menggunakan
faktor-faktor yang sudah ditentukan menjadi instrumen penelitian seperti
pada tabel 2.2 sebagai cara untuk melakukan evaluasi kinerja dari IOCS
dari sudut pandang pengguna internal. Lalu dengan melakukan analisa
faktor pada faktor-faktor tersebut akan dicari tahu apa saja indikator yang
terbentuk sehingga didapatkan faktor-faktor yang cocok dan model yang
tepat untuk mengevaluasi kinerja Integrated Operation Control System
pada PT Garuda Indonesia Tbk.
Business Impact System
System Services Quality
System Availability
System Usefulness
Information Quality
Interface Quality
Kinerja Integrated Operation
Control System
Analisa Faktor
?
Kinerja Integrated Operation
Control System
?
?
?
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
37
2.3 Kerangka Konsep
Business Impact System
System Services Quality
System Availability
System Usefulness
Information Quality
Interface Quality
Kinerja Integrated Operation Control System
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Dari kebutuhan pengukuran kinerja IOCS yang diperlukan oleh
perusahaan, ekspektasi manajemen terhadap manfaat IOCS, dan juga teori
yang pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya mengenai model
evaluasi sistem informasi. Dibuatlah suatu instrumen untuk melakukan
pengukuran terhadap kinerja Integrated Operation Control System (IOCS)
dari sudut pandang pengguna sistem di internal (pegawai di perusahaan).
38
Adapun instrumen kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Instrumen Kuesioner
Faktor Indikator Referensi Var. Pernyataan Business Impact System
Employee productivity
Wim Van Grembergen & Steven De Haes (2005)
Q7 Dengan menggunakan modul IOCS, pegawai menjadi produktif bagi perusahaan
Indirect benefits from system
Wim Van Grembergen & Steven De Haes (2005)
Q19 Dengan modul IOCS perusahaan dapat meningkatkan kinerja On Time Performance (OTP) menjadi lebih baik
Indirect benefits from system
Wim Van Grembergen & Steven De Haes (2005)
Q20 Ada keterkaitan antara On Time Performance (OTP) dengan penerapan IOCS di perusahaan
Business continuity
Stewart Wan (2009)
Q21 Apabila modul IOCS mati, pegawai perusahaan tidak dapat melanjutkan tugas / skenario terkait
Business continuity
Stewart Wan (2009)
Q22 Pegawai memiliki "alat" lain dari perusahaan sebagai pengganti (backup), jika modul IOCS mati
System Services Quality
Availability of system support
Joe Peppard (2000)
Q25 Jika ada permasalahan pada IOCS, pihak helpdesk IT (Asyst) selalu ada untuk menghandling permasalahan tersebut
Capability support of problems handling
Joe Peppard (2000)
Q26 Jika ada permasalahan pada system IOCS, pihak helpdesk IT (Asyst) selalu dapat menghandling permasalahan tersebut dengan baik
Support response time
Joe Peppard (2000)
Q27 Jika ada permasalahan pada system IOCS, pihak helpdesk IT (Asyst) selalu dapat menghandling permasalahan tersebut dengan cepat
Preventive problems socialization
Joe Peppard (2000)
Q28 Jika ada permasalahan pada system IOCS, pihak helpdesk IT (Asyst) selalu memberikan bagaimana cara mencegah hal tersebut terjadi lagi
39
Critical problems action plan
Joe Peppard (2000)
Q29
Helpdesk IT selalu memiliki rencana untuk menanggulangi jika terjadi permasalahan system IOCS
System Availability
Systems reliability
Wim Van Grembergen & Steven De Haes (2005)
Q23 IOCS yang berjalan sekarang sudah berjalan dengan baik (tidak pernah down, error,dll)
System Usefulness
Easy to use James R. Lewis (1993)
Q1 Pegawai merasa mudah dalam pemanfaatan modul IOCS
Time to complete task
James R. Lewis (1993)
Q2 Pegawai merasa puas dengan lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas menggunakan modul IOCS
Simplicity of system
James R. Lewis (1993)
Q4 Modul IOCS dalam penggunaannya sangat sederhana
Time to complete task
James R. Lewis (1993)
Q5 Dengan modul IOCS bisa dengan cepat menyelesaikan tugas / skenario
Easy to learn system
James R. Lewis (1993)
Q6
Pengguna merasa mudah dalam mempelajari modul IOCS
User expectation
James R. Lewis (1993)
Q16 Modul IOCS memiliki fungsi dan kemampuan yang diharapkan oleh pengguna sistem
User comfort to use system
James R. Lewis (1993)
Q17 Pegawai merasa nyaman menggunakan Modul IOCS untuk tugas/skenario nya
The usefullness of system
James R. Lewis (1993)
Q24 IOCS yang dikembangkan oleh perusahaan sangat berguna untuk kerja pegawai
High efficiency from system
James R. Lewis (1993)
Q30 Pegawai bisa mendapatkan effisiensi tinggi dalam menyelesaikan tugas / skenario dengan menggunakan Modul IOCS
Information Quality
Satisfaction to information support
James R. Lewis (1993)
Q3 Kepuasan terhadap dukungan informasi
Guidance to error message
James R. Lewis (1993)
Q8 Dipandu oleh informasi / pesan kesalahan
40
Clear error message
James R. Lewis (1993)
Q10 Informasi pesan kesalahan cukup jelas
Easy to find information
James R. Lewis (1993)
Q11 Mudah dalam pencarian informasi
Easy to understand information
James R. Lewis (1993)
Q12 Informasi yang disediakan mudah dimengerti
Information can support job
James R. Lewis (1993)
Q13 Informasi yang disediakan sangat membantu penyelesaian tugas
Interface Quality
Easy to fix error task
James R. Lewis (1993)
Q9 Ketika membuat kesalahan dapat dengan mudah memperbaiki
User friendly James R. Lewis (1993)
Q14 Tampilan memudahkan dalam menyelesaikan tugas
User friendly James R. Lewis (1993)
Q15 Pengguna menyukai tampilan
User friendly
James R. Lewis (1993)
Q18
Modul IOCS yang digunakan sangat sederhana