Post on 15-Dec-2020
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini berisi kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model penelitian
yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Kajian pustaka menjabarkan
penelitian-penelitian yang masih ada relevansinya dengan penelitian ini, baik
penelitian mengenai bahasa dan gender di dunia Barat dan di dunia Timur serta
penelitian mengenai karakteristik joseigo. Konsep memberikan batasan singkat
mengenai terminologi yang dijelaskan. Ada tiga konsep yang dipaparkan yaitu (1)
Pergeseran bahasa, (2) Gender, (3) Joseigo. Teori yang digunakan adalah: (1) teori
sosiolinguistik (bahasa dan gender), (2) teori feminisme liberal, dan (3) teori
ideologi.
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai bahasa dan gender menunjukkan adanya unsur atau
aspek bahasa yang berbeda antara bahasa wanita dengan bahasa laki-laki.
Perbedaannya itu ada yang tidak kentara dan ada juga yang jelas. Berikut ini
dijelaskan penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam topik bahasa dan
gender secara lebih mendetail. Dimulai dari penelitian bahasa dan gender di dunia
Barat, penelitian bahasa dan gender di dunia Timur, dan penelitian mengenai
karakteristik joseigo.
Trudgill (1972) mengadakan penelitian mengenai dialek pada masyarakat
perkotaan di kota Norwich, Inggris, pada musim panas 1968 dengan sampel acak
berjumlah 60 orang. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa informan wanita
19
menggunakan bentuk bahasa yang diasosiasikan dengan standar bahasa yang lebih
prestisius dibandingkan dengan pria. Trudgill berpendapat bahwa hal tersebut
dikarenakan oleh dua hal.
1) Posisi sosial wanita di masyarakat kurang terjamin dibandingkan
dengan pria, dan umumnya wanita berada dalam posisi yang subordinat.
Mungkin karena itulah, lebih penting bagi wanita untuk mengamankan
dan menandai status sosial mereka secara linguistik.
2) Pria di masyarakat bisa dinilai secara sosial dari pekerjaan, pendapatan,
kekuasaan, dan kebiasaan lain. Dengan kata lain, melalui apa yang
mereka lakukan. Kebanyakan hal tersebut, tidak memungkinkan bagi
wanita. Oleh karena itulah, mereka dinilai dari bagaimana penampilan
mereka. Mereka tidak dinilai dari pekerjaan mereka atau kesuksesan
mereka, penanda status lain, meliputi ujaran, menjadi lebih penting.
Kekasaran ataupun ketangguhan dalam berbicara, pada beberapa masyarakat
Barat memiliki konotasi dengan maskulinitas. Pada wanita, fitur-fitur seperti
kehalusan budi bahasa dan kesempurnaan dalam berbahasa, dianggap lebih sesuai
karena lebih feminin.
Penelitian Trudgill memberikan informasi yang menarik mengenai perbedaan
tingkat kesopanan bahasa yang digunakan oleh pria dan wanita pada masyarakat
perkotaan tahun 1968. Namun, kelemahan penelitian ini adalah, argumen yang
diberikan sebagian besar spekulatif, karena tidak didukung oleh bukti konkret
yang cukup. Selain itu, kurang membahas mengenai kemungkinan adanya nilai-
20
nilai tersembunyi lainnya yang memiliki asosiasi dengan ujaran standar maupun
non-standar.
Relevansi penelitian Trudgill dengan penelitian ini adalah pada penekanan
penelitian Trudgill bahwa wanita lebih banyak menggunakan ragam bahasa sopan.
Pada joseigo penggunaan ragam bahasa sopan (dalam bahasa Jepang disebut
dengan keigo) merupakan eufemisme yang banyak digunakan (contohnya pada
banyaknya penggunaan prefiks penghormatan o- ).
O’Barr dan Atkins (1980) meneliti variasi bahasa dalam konteks institusi
khusus (ruang pengadilan di Amerika) dan perbedaan ujaran yang terkait dengan
perbedaan gender, selama 30 bulan. Dalam meneliti para saksi, O’Barr dan Atkins
menggunakan 10 dasar ujaran yang berbeda antara pria dan wanita, yang
dikemukakan oleh Lakoff. O’Barr dan Atkins menemukan bahwa perbedaan yang
ada, bukan semata-mata karena saksi tersebut adalah seorang wanita, namun
ketika saksi tersebut powerless atau tidak memiliki kekuatan.
Mereka menggunakan tiga pria dan tiga wanita sebagai bukti. Wanita dan pria
pertama menggunakan banyak komponen “bahasa wanita” yang diajukan oleh
Lakoff. Wanita tersebut adalah ibu rumah tangga berumur 68 tahun dan pria
tersebut adalah sopir ambulan. Sebagai perbandingan, pada wanita dan pria ketiga,
yang merupakan dokter dan polisi, menggunakan komponen ujaran dalam
frekuensi yang paling sedikit. Pada pasangan kedua, frekuensi penggunaan
komponen “bahasa wanita” berada di tengah-tengah antara pasangan pertama
dengan ketiga.
21
O’Barr dan Atkins menyimpulkan bahwa ujaran yang banyak memiliki
komponen “bahasa wanita” yang dikemukakan Lakoff, bukanlah karakteristik
ujaran wanita ataupun terbatas hanya digunakan oleh wanita. Wanita yang
menggunakan “bahasa wanita” dengan frekuensi terendah memiliki status sosial
tinggi. Mereka adalah profesional yang berpendidikan tinggi dengan latar
belakang kelas menengah. Pola yang sama juga terlihat pada pria-pria yang
berbicara dengan frekuensi “bahasa wanita” terendah.
Kelebihan penelitian O’Barr dan Atkins adalah pada perspektif baru dalam
melihat komponen “bahasa wanita” yang ditawarkan Lakoff menjadi bukan hanya
mengkhusus untuk wanita, namun bahasa untuk orang yang powerless atau tidak
memiliki kekuatan. Kekurangan penelitian ini ada pada pengajuan bukti yang
hanya mencakup 3 pasang pria dan wanita, jika subjek penelitian ditambah
tentunya memungkinkan untuk mendapatkan bukti yang lebih banyak lagi.
Relevansinya dengan penelitian ini adalah pada poin bahwa wanita karier
yang berpendidikan tinggi kurang menggunakan bahasa wanita dibandingkan
dengan ibu rumah tangga. Hal ini dianggap sebagai tanda kekuatan yang muncul
seiring dengan kemampuannya untuk menghasilkan uang dan memiliki status
sosial yang tinggi di masyarakat. Faktor inilah yang diteliti lebih jauh dalam
penelitian ini, yaitu menyangkut penggunaan joseigo pada wanita Jepang.
MacGeorge (2004) tidak setuju pada buku-buku seperti Men are From Mars
and Women are From Venus yang dikarang oleh John Gray dan You Just Don’t
Understand karya Deborah Tannen, yang membedakan gaya berkomunikasi pria
dan wanita. Perbedaan ini disebut sebagai akibat dari perbedaan gender.
22
MacGeorge kemudian mengadakan tiga jenis penelitian dengan sampel
penelitiannya 738 orang (417 wanita dan 321 pria) dan datanya diambil dengan
metode kuesioner dan wawancara. Partisipan dalam penelitian ini adalah
mahasiswa dan partisipan yang direkrut oleh mahasiswa pada sebuah universitas
di Utara pusat wilayah Amerika Serikat (daerah Midwestern).
Pada studi pertama, mengenai bagaimana wanita dan pria memberikan
dukungan pada temannya, ditemukan bahwa pria dan wanita berkomunikasi
dengan cara yang serupa. Secara keseluruhan, wanita dan pria suka untuk
mengekspresikan simpati, membagi pengalaman mereka dalam memiliki masalah
yang sama dengan teman yang sedang stres, serta mengajak teman mereka untuk
tidak khawatir. Pria sedikit lebih banyak memberikan saran dibandingkan dengan
wanita. Wanita lebih sering menawarkan bantuan. Walaupun demikian, perbedaan
ini hanya sebesar 2 persen.
Pada studi kedua, yang meneliti bagaimana pria dan wanita merespon saran,
menyimpulkan bahwa baik pria maupun wanita mengapresiasi saran yang relevan
dengan permasalahan mereka dengan positif. Mitos awal yang menyebutkan
bahwa pria menolak saran karena itu mengancam kemerdekaan mereka, tidak
terbukti.
Pada studi ketiga, mengenai bagaimana pria dan wanita mengevaluasi
komentar yang menenangkan seperti “Jangan khawatir, hal itu bukanlah masalah”
atau “Waduh, masalah yang besar sekali. Aku mengerti kenapa kamu sedih”. Hasil
penelitian menunjukkan ada perbedaan hanya sebesar 3 persen antara pria dan
wanita. Baik pria maupun wanita sama-sama tidak menyukai komentar
23
menenangkan yang dicap mengandung stereotip maskulin, yaitu komentar yang
bersifat menggampangkan masalah mereka. Partisipan lebih memilih komentar
menenangkan yang dicap mengandung stereotip feminin, yaitu yang mengesahkan
perasaan dan perspektif mereka.
Penelitian ini menunjukkan dengan baik mengenai bagaimana pria dan wanita
memberikan dan merespon saran dengan cara yang kurang lebih sama. Penelitian
ini juga menyarankan suatu pemikiran revolusioner, bahwa ide tentang perbedaan
cara komunikasi antara pria dan wanita hanyalah mitos yang sebaiknya tidak
digunakan lagi.
Kelemahan penelitian ini, seperti yang diakui oleh MacGeorge bahwa karena
pertanyaan penelitian banyak mengenai topik yang sensitif, bahkan perasaan yang
sensitif (karena membahas hal-hal seperti dukungan dan saran dari orang lain
mengenai masalah pribadi partisipan), pengamatan menjadi sulit dilakukan. Di
samping itu, secara etika dilarang untuk memanipulasi stres manusia,
menyebabkan keterbatasan bagi investigasi mengenai proses-proses komunikasi
dalam memberi dukungan.
Relevansi penelitian MacGeorge dengan penelitian ini adalah pada
kesimpulan utamanya yang menunjukkan bahwa sebenarnya tidak terlalu banyak
ada perbedaan antara komunikasi pria dengan wanita, sehingga disimpulkan
bahwa perbedaan tersebut hanyalah mitos yang tidak relevan dengan keadaan
sekarang. Hal ini bisa dikaitkan dengan pendapat beberapa ahli (dibahas lebih
jauh mengenai penelitian bahasa dan gender di dunia Timur) mengenai joseigo
24
yang banyak disebutkan sudah mengalami netralisasi sehingga perbedaan bahasa
pria dan wanita sudah tidak kentara lagi.
Kesimpulan dari tiga penelitian terdahulu mengenai bahasa dan gender di
dunia Barat adalah bahwa seiring berjalannya waktu, perbedaan bahasa yang
digunakan pria dengan bahasa yang digunakan wanita menjadi tidak kentara dan
mengarah ke netralisasi bahasa.
Pada penelitian Trudgill (1972) disimpulkan mengenai perbedaan tingkat
kesopanan yang digunakan oleh pria dan wanita. Informan wanita lebih sering
menggunakan bahasa yang diasosiasikan dengan standar bahasa yang lebih
prestisius. Penelitian O'Barr dan Atkins (1980) menyimpulkan bahwa komponen
bahasa wanita yang ditawarkan oleh Lakoff bukan hanya mengkhusus untuk
wanita namun bahasa untuk orang yang powerless.
Pemikiran bahwa ide tentang perbedaan cara komunikasi antara pria dan
wanita hanyalah mitos, diajukan dalam penelitian MacGeorge (2004) yang
menyimpulkan bahwa pria dan wanita memberi dan merespon saran dengan cara
yang kurang lebih sama.
Pada penelitian bahasa dan gender di dunia Timur, salah satunya ditemui
dalam sebuah buku berjudul Womansword yang dikarang oleh Cherry (1987).
Buku ini memberikan pemaparan terhadap istilah-istilah bahasa Jepang yang
berkaitan dengan wanita dalam berbagai aspek kehidupan. Contohnya kehidupan
menikah, bekerja, keibuan, dan seksualitas yang dibahas satu persatu, disertai
dengan kajian mengenai huruf kanji yang digunakan untuk menulis istilah tersebut.
25
Kata-kata dalam bahasa Jepang yang disebutkan dalam buku ini disajikan
dengan analisis yang baik, dengan ditinjau dari segi linguistik, budaya, dan tradisi
yang terkandung di dalam kata-kata tersebut. Semuanya dikemas dengan menarik
dalam bahasa yang ringan, sehingga menarik untuk dibaca.
Kekurangan dalam buku ini adalah buku ini sudah cukup lama. Penjabaran
beberapa kata yang pada realitasnya di masa kini, sudah jarang digunakan.
Sebagai contohnya, istilah “ryosai-kenbou” yang berarti “istri yang baik, ibu yang
bijaksana”. Seiring perkembangan zaman, terutama setelah perang dunia II, istilah
ini sudah jarang digunakan, walaupun ideologinya masih influental sampai tahun
1980-an. Sebelumnya sudah ada tulisan yang berjudul The Death of the Good
Wife, Wise Mother yang ditulis oleh Kathleen S UNO pada bab 11 dalam buku
editan Andrew Gordon, Postwar Japan as History. Dalam tulisan ini dipaparkan
dengan jelas konsep ryousai-kenbou sudah dimodifikasi, disesuaikan dengan
perkembangan tingkat kesetaraan wanita dengan pria
Penelitian lain mengenai seksisme dalam bahasa Jepang ditemui dalam jurnal
yang ditulis oleh Endo (1995). Tulisan ini berkesimpulan bahwa seksisme dalam
bahasa Jepang masih ada dan Endo juga mengemukakan saran bahwa dalam
pengajaran bahasa Jepang sebagai bahasa asing, selayaknya menggunakan pilihan
kata-kata yang netral dan tidak menempatkan posisi wanita sebagai subordinat
dengan media bahasa.
Tulisan ini mengulas dengan baik dan mendetail mengenai kata-kata dan
ungkapan yang menandakan pembedaan status bagi pria dan wanita. Contohnya,
kata shujin yang berarti suami sendiri (jika merujuk pada suami orang lain,
26
ditambahkan prefiks penghormatan “go”, sehingga menjadi goshujin). Kata shujin
jika dilihat dari bentuk hurufnya, dapat diartikan sebagai “tuan” atau “majikan”.
Dahulu, istilah ini digunakan dalam konteks hubungan antara majikan dan
pembantunya. Namun, pada abad ke-20, wanita mulai menggunakan kata ini
untuk merujuk pada suaminya sendiri.
Kekurangan dari tulisan Endo adalah, sehubungan dengan kesimpulan Endo
bahwa pengajaran bahasa Jepang seharusnya menggunakan kata-kata yang lebih
netral. Dalam tulisan ini tidak banyak dipaparkan kata-kata lain yang
kemungkinan menggantikan kata-kata yang mengandung unsur seksisme. Tulisan
ini seperti paparan, yang menjelaskan adanya suatu masalah, menawarkan sebuah
solusi, namun solusi tersebut belum dijelaskan dengan baik.
Tulisan Endo memiliki relevansi dengan penelitian ini, yakni berfokus pada
bias gender dalam bahasa Jepang dan pemahaman bahwa mengubah hal tersebut
berdampak pada bagaimana wanita melihat dan menempatkan dirinya sendiri, di
dalam masyarakat. Penelitian Endo dan penelitian ini sama-sama mengkaji wanita
dalam bahasa, terutama dikaitkan dengan unsur-unsur dalam budaya dan
masyarakat yang membangun kata-kata yang digunakan dalam bahasa tersebut.
Penelitian yang membahas mengenai pergeseran bahasa wanita pada
mahasiswi, pernah diteliti oleh Mizokami (2003). Pada penelitian ini, Mizokami
melakukan survey terhadap 82 mahasiswi dan 62 mahasiswa yang menuntut ilmu
pada K College di Prefektur Aichi, Jepang. Kuesioner yang dibagikan memuat
berbagai pertanyaaan, salah satunya, “apakah anda menggunakan bentuk kata
27
penghormatan dalam kehidupan sehari-hari? jika iya, kepada siapa anda
menggunakannya?”.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan
responden mahasiswi dan mahasiswa tidak jauh berbeda dan batas di antaranya
pun ambigu. Walaupun wacana dominansi yang ada di masyarakat menyebutkan
bahwa wanita berbicara dengan berbeda dan lebih sopan dibandingkan dengan
pria, namun pada realitanya, hal ini tidak berjalan sesuai dengan ideologi yang ada.
Tulisan Mizokami ini inovatif dan memberikan hasil yang mendobrak wacana
yang ada selama ini bahwa wanita dan pria berbicara berbeda dengan mengikuti
apa yang disebut “bahasa wanita” dan “bahasa pria”. Hal ini juga yang
menyebabkan tulisan Mizokami ini relevan dengan penelitian ini, karena sama-
sama berawal dari keraguan bahwa bahasa wanita dan bahasa pria tetap digunakan
secara ketat, walaupun sudah ada perkembangan kesetaraan wanita Jepang dan
juga pengaruh modernisasi.
Kekurangan tulisan Mizokami adalah dengan respondennya yang hanya terdiri
atas orang-orang muda (mahasiswi dan mahasiswa), Mizokami sudah
menyimpulkan adanya ambiguitas pada bahasa wanita dan pria. Untuk sampai
pada kesimpulan tersebut, ada baiknya jika responden yang digunakan terdiri atas
orang-orang dengan usia dan jenis pekerjaan yang bervariasi. Kalau hanya
menggunakan responden mahasiswa dan mahasiswi, judul penelitian tersebut bisa
diubah, sehingga hanya mencakup pada ambiguitas bahasa wanita dan pria pada
generasi muda.
28
Inoue (2006) melakukan penelitian pada wanita pekerja kantoran yang
bekerja di perusahaan farmasi, May Japan Limited. Kesimpulannya adalah
responden menganggap bahwa joseigo adalah bahasa yang digunakan ibu mereka
yang tidak memiliki pilihan lain selain tinggal di rumah dan membesarkan anak.
Pilihan dilakukan dengan sadar oleh responden untuk tidak menggunakan joseigo
sebagai tanda perbedaan generasi, antara mereka dan ibu mereka.
Pada beberapa kesempatan, Inoue menyaksikan responden sengaja
menggunakan joseigo kepada teman sekerjanya, hanya sebagai bahan olok-olok.
Contohnya, dengan mengatakan “kyoo no omeshimono suteki desu koto” (hari ini
bajumu bagus). Penggunaan joseigo sebagai olok-olok untuk memancing tawa
teman sekerjanya ini dikarenakan joseigo dianggap sebagai ragam bahasa yang
terlalu kuno atau kolot untuk tetap digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Tulisan Inoue ini memaparkan dengan baik dan mendalam mengenai joseigo,
bagaimana joseigo muncul pada akhir abad sembilan belas, dan perlahan-lahan
mulai memudar pada zaman Jepang modern. Dengan cakupan materi yang luas,
tulisan ini merupakan sumber referensi yang baik untuk pembaca yang ingin
mengetahui lebih jauh tentang joseigo dan pemikiran kritis mengenai kondisi serta
prinsip-prinsip, yang menyebabkan joseigo dibuat, diulangi, ataupun ditinggalkan.
Tulisan ini tidak banyak membahas mengenai penutur joseigo pada dunia
nyata. Inoue menyelipkan informasi bahwa dahulu ia hanya mengenal bahasa
wanita Jepang dari TV karena wanita di daerahnya tidak ada yang menggunakan
joseigo. Tetapi pada saat ia mengunjungi rumah pamannya di Yokohama, untuk
pertama kalinya ia mendengar joseigo diucapkan oleh manusia di kehidupan nyata.
29
Sepupunya, bibinya, dan banyak wanita lain di sekelilingnya terdengar seperti
wanita di TV ataupun drama karena menggunakan joseigo.
Informasi ini adalah informasi yang menarik namun kemudian Inoue tidak
membahas lagi tentang penutur joseigo tetapi lebih kepada wanita yang tidak
menggunakan joseigo. Jika penutur joseigo di dunia nyata ini lebih dibahas lagi,
maka akan menjadi latar belakang dan komparasi yang baik ketika Inoue
membahas mengenai memudarnya penggunaan joseigo dewasa ini.
Sturtzsreetharan (2008) melakukan penelitian mengenai bahasa yang
digunakan wanita di Osaka, selama 14 bulan, dari Juni 2006 sampai Agustus 2007.
Data diperoleh dari empat perbincangan terpisah antara wanita yang dilahirkan,
dibesarkan, dan pada saat penelitian dilangsungkan, tinggal di Osaka. Penelitian
tersebut melibatkan 9 wanita Osaka, berumur awal 30-an sampai akhir 70-an.
Semua data direkam dengan perekam suara digital dan peneliti tidak hadir pada
saat percakapan berlangsung. Semua percakapan berlangsung dengan latar tidak
formal seperti di rumah, restoran, atau kafe.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan dalam penelitian tersebut
memilih untuk menggunakan ragam bahasa yang menunjukkan bahwa wanita
yang berasal dari daerah Osaka menghindari ragam bahasa yang membuat mereka
terdengar seperti osaka aunties atau tante-tante Osaka. Wanita-wanita ini tidak
melihat ragam bahasa yang terdengar seperti tante-tante Osaka sebagai suatu
identitas yang perlu dipupuk.
Bahasa yang digunakan, menggunakan kata-kata yang bernuansa regionalisme
seperti: haru, hen, akan, ya, dan lain lain, walaupun dengan menghindari
30
penggunaan kata-kata seperti yaroo dan yanai, tetapi partisipan tetap dapat
menempatkan diri mereka sebagai anggota dari daerah Osaka. Dengan
menggunakan sedikit bagian dari joseigo, seperti: deshoo, noyo, kashira, namun
menghindari penggunaan bentuk hormat standar, partisipan dapat menempatkan
diri mereka sebagai orang yang mengetahui cara yang pantas untuk menjadi
wanita Jepang, tanpa menggunakan joseigo.
Penelitian Sturtzsreetharan menjelaskan dengan baik mengenai hubungan
antara gender dan regional. Pada gender tertentu, yang tinggal di daerah tertentu,
digunakan bahasa yang mampu menempatkan diri mereka pada posisi yang
diinginkan. Contohnya, pada wanita Jepang di Osaka, menggunakan bahasa yang
menunjukkan mereka orang Osaka dan juga menggunakan beberapa bentuk dari
joseigo untuk menunjukkan kefemininitasnya.
Kelemahan penelitian ini adalah tidak adanya percakapan yang direkam
dengan latar formal. Ragam bahasa yang sering diidentikkan dengan Osaka
aunties “tante-tante Osaka” memang lebih sering muncul pada latar informal.
Namun, jika terdapat data percakapan yang terjadi pada latar formal, maka akan
memperkaya data mengenai bentuk penggunaannya pada latar formal. Data ini
lalu bisa dibandingkan dengan bentuk penggunaannya pada latar informal
sehingga bisa mempertajam analisis.
Senada dengan kesimpulan penelitian bahasa dan gender di dunia Barat,
kesimpulan dari lima penelitian Bahasa dan Gender di dunia Timur yang telah
diuraikan di atas adalah, ada pergeseran pada bahasa wanita Jepang seiring
dengan pergeseran kegenderan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu.
31
Dari penggunaan bahasa yang masih kuat dengan seksisme menjadi penggunaan
bahasa yang lebih netral.
Penelitian Cherry (1987) mengungkapkan bahwa masih ada begitu banyak
kata dan istilah-istilah yang berkaitan dengan wanita dalam berbagai aspek
kehidupan. Tidak jarang kata-kata dan istilah-istilah ini kuat dengan nuansa yang
bias gender.
Endo (1995) menyimpulkan bahwa seksisme dalam bahasa Jepang masih ada.
Endo juga memaparkan saran bahwa dalam pengajaran bahasa Jepang sebagai
bahasa asing hendaknya menggunakan kata-kata yang netral sehingga tidak
menempatkan posisi wanita sebagai subordinat dengan menggunakan media
bahasa.
Penelitian Mizokami (2003) menyimpulkan bahwa bahasa yang digunakan
responden pria dan wanita tidak jauh berbeda dan batas di antaranya pun ambigu.
Penelitian Inoue (2006) menyebutkan bahwa responden menganggap joseigo
sebagai bahasa yang old fashioned ataupun kuno, dan hanya digunakan oleh ibu
mereka. Senada dengan penelitian Inoue, penelitian Sturtzsreetharan (2008) juga
menunjukkan kecenderungan partisipan penelitian untuk menghindari ragam
bahasa joseigo yang membuat mereka terdengar lebih tua.
Selanjutnya, dibahas penelitian mengenai karakteristik joseigo. Istilah
joseigo dan danseigo adalah istilah teknis yang umumnya digunakan oleh
akademisi. Ragam bahasa wanita Jepang umumnya digambarkan dengan berbagai
atribut, seperti: teinei (sopan), yawarakai (lembut), hikaeme (konservatif), dan
jyouhin (berbudi halus) (Okamoto, 2014:83).
32
Selain hanya meneliti karakteristik Joseigo (ragam bahasa wanita Jepang),
ada juga beberapa pakar yang membandingkan karakteristik Joseigo tersebut
dengan Danseigo (ragam bahasa pria Jepang). Selain itu, ada beberapa pakar lain
yang membandingkan antara ragam tersebut dan menambahkan satu variabel lagi
yaitu ujaran netral yang umum diucapkan pria maupun wanita. Selanjutnya, hasil
penelitian para pakar tersebut dibahas secara berurutan dari yang hanya meneliti
karakteristik Joseigo saja, membandingan karakteristik Joseigo dengan Danseigo,
membandingkan karakteristik Joseigo, Danseigo, dan ujaran netral. Kemudian,
ditutup dengan kesimpulan mengenai perbandingan ketiga ragam tersebut.
Burch (2003) pada tulisannya yang berjudul Feminine Language in Japanese :
A Study of Usage Among Japanese Graduate Students Residing in Hawaii
menyebutkan bahwa pada joseigo, terdapat unsur-unsur sebagai berikut di akhir
kalimat.
1) Partikel wa (dengan intonasi meninggi) sebagai penegasan yang bersifat
lembut
2) Partikel wa, umumnya diikuti dengan partikel ne, yo, atau yo ne.
3) Partikel no diletakkan setelah betuk dasar sebuah kata kerja ataupun
setelah ikeyoshi (kata sifat i) untuk menunjukkan penekanan.
4) Partikel no diikuti dengan partikel ne, yo, atau yo ne.
5) Kata bantu desho(o) yang berarti kemungkinan atau meminta persetujuan
lawan bicara.
6) Partikel kashira yang berarti sepertinya.
33
Fungsi semantik partikel akhir yang diasosiasikan dengan wanita seperti “wa”,
“no” dan “kashira” membuat pernyataan lebih lembut dan sopan. Partikel akhir
yang diasosiasikan dengan pria seperti “zo”, “ze” “sa” dan “na” menyiratkan
kepercayaan diri, ketegasan, dan konfirmasi (Ide, 1982).
Wanita menggunakan partikel akhir “wa” dengan intonasi meninggi, yang
merupakan cara untuk memberikan pilihan kepada pendengar, seperti halnya tag
questions dalam bahasa Inggris. Ini dikatakan sebagai usaha pembicara untuk
mengurangi kesan akan desakan yang kuat karena wanita tidak seharusnya
berbicara dengan tingkah laku yang asertif (McGloin, 1990).
Ngan (1981) menulis penelitian mengenai asal mula serta karakteristik Joseigo.
Ngan menyebutkan beberapa Joseigo sebagai berikut.
Tabel 2.1 Karakteristik Joseigo Menurut Ngan (1981)
No. Aspek Keterangan
1 Penggunaan Kango (kata-kata yang
berasal dari Cina)
Dihindari untuk digunakan
2 Kosakata yang vulgar Dihindari untuk digunakan,
lebih memilih alternatif kata
yang tidak asertif
3 Prefiks penghormatan/sopan o dan go Lebih sering digunakan wanita
4 Alternatif kata yang lebih sopan dan
menghormati lawan bicara seperti
itadaku, irassharu
Lebih sering digunakan wanita
daripada pria
5 Akhiran kata “mase, mashi” Sering digunakan wanita
6 Kata ganti orang pertama atakushi dan
atashi, kata ganti orang kedua anata
dan anta
Sering digunakan wanita.
Sedangkan khusus untuk pria,
kata ganti orang pertama yang
digunakan adalah washi, ore,
dan boku. Kata ganti orang
kedua “anata, anta, kimi, omae,
kisama”
34
7 Partikel akhir Wanita banyak menggunakan
partikel akhir wa, wa yo, no, no
yo, yo, ne, kashira, wa ne, te, te
yo, koto, koto?, koto yo, na, da
wa, na no sedangkan untuk pria
: zo, ze, yo
8 Partikel emosi (emotive particle) Wanita banyak menggunakan
emotive particle seperti ara,
maa, choito, dan raa
9 Kata sifat dan adverbia (kata
keterangan)
Lebih banyak digunakan wanita
daripada pria, terutama adjectiva
seperti suteki na, osoroshii dan
adverbia seperti tottemo,
hijooni, sugoku
10 Kalimat imperatif Wanita menggunakan bentuk –
te kudasai dengan kata kudasai
yang tidak diucapkan.
11 Kosakata Menggunakan kosakata khusus
wanita
Barke (2000) meneliti perbedaan ragam bahasa yang digunakan dalam
percakapan oleh dua kelompok wanita Jepang yang memiliki perbedaan usia.
Kelompok pertama berusia antara 19-30 tahun. Kelompok kedua, antara usia 45-
60 tahun. Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan kesimpulan sebagai berikut.
Tabel 2.2. Karakteristik Joseigo Berdasarkan
Perbedaan Usia Menurut Barke (2000)
NO. Aspek Perbandingan Grup Muda dan Grup Tua
1 Pronomina Dari kata “watashi. atashi. anata, anta” tidak
terlalu jauh berbeda penggunaannya antara
yang muda dan yang tua.
2 Memendekkan dan
Memanjangkan Suara
Penggunaan partikel akhir “ne, sa, so, nn”
yang pengucapannya panjang atau pendek
tidak terlalu berbeda antara yang muda dan
yang tua
3 Adverbia Penggunaan adverbia seperti “amari, bakkari,
chotto” dsb, anak muda lebih sering
menggunakan dan juga ada lebih banyak
variasi adverbia yang digunakan dibanding
grup yang lebih tua.
4 Partikel Akhir Kalimat Grup yang tua lebih banyak menggunakan
partikel seperti ”ne, sa, kana, dan wa”
35
5 Fillers and Words of
Habit (Fillers : tidak
menambahkan sesuatu
yang penting pada
kalimat, lebih kepada
efek stilistika)
Kata “toka(tte), nanka, dan mo” lebih banyak
digunakan pada grup yang muda sedangkan
kata “hora” hanya digunakan pada grup yang
tua.
6 Repetisi Grup muda lebih banyak menggunakan
repetisi untuk kalimat orang yang diajak
bicara (other-repetition) sedangkan grup
muda banyak menggunakan self repetition.
Inoue (2003) meneliti ujaran pada terjemahan untuk karakter-karakter tokoh
wanita dalam novel, film, dan acara TV. Dia menemukan bahwa ada beberapa
sentence final particles atau partikel akhir kalimat yang sering digunakan dalam
menerjemahkan karakter tokoh wanita.
Tabel 2.3 Karakteristik Joseigo Berdasarkan
Partikel Akhir Kalimat Menurut Inoue (2003)
Aspek Keterangan
Partikel Akhir
Kalimat
Partikel akhir kalimat yang sering digunakan karakter wanita
dalam karya terjemahan yang diteliti adalah : wa, wa yo, no,
no yo, da wa, kashira, kata benda + yo, wa ne, no ne, desu
mono, koto yo.
Selanjutnya, dibahas hasil penelitian beberapa pakar yang membahas
mengenai perbandingan karakteristik antara joseigo dan danseigo. Ogawa (2004)
meneliti perbandingan antara joseigo dan danseigo berdasarkan perbedaan dua
aspek yaitu shuujoshi (partikel akhir kalimat) dan koshou (kata ganti orang) yang
dibagi menjadi ichininshou (kata ganti orang pertama), nininshou (kata ganti
orang kedua) dan sanninshou (kata ganti orang ketiga) seperti dalam tabel 2.5.
36
Tabel 2.4 Perbandingan Karakteristik Joseigo dan Danseigo
Menurut Ogawa (2004)
No. Aspek Joseigo Danseigo
1 Partikel akhir kalimat
(Shuujoushi)
wa, kashira, te, teyo,
koto, no, noyo, wayo,
yo, tara
ze, na, zo, za, kai,
dai
2 Kata ganti orang pertama
(ichininshou)
atashi ore, washi, asshi,
boku
Kata ganti orang kedua
(nininshou)
anata kimi, omae
Kata ganti orang ketiga
(sanninshou)
ano hito yatsu, koitsu,
soitsu
Sudjianto (2007) membedakan joseigo dan danseigo dengan ditandai oleh
aspek pemakaian shuujoshi, dengan aspek leksikal seperti pemakaian pronomina
persona pertama dan pemakaian interjeksi, dan ditandai juga dengan pemakaian
ragam bahasa hormat (keigo) seperti dapat dilihat pada tabel 2.6.
Tabel 2.5 Perbandingan Karakteristik Joseigo dan Danseigo
Menurut Sudjianto (2007)
No. Aspek Joseigo Danseigo
1 Shuujoshi
(partikel akhir)
kashira, wa, wayo, wane, no,
noyo, none, koto, kotoyo
kai, dai, kane, kana,
darooka, zo, ze
2 Pronomina
Persona
atashi, atakushi boku, ore, ware,
washi, jibun, kimi,
omae, kisama
Interjeksi maa, araa yaa
3 Keigo (Ragam
Bahasa hormat)
Ragam bahasa hormat lebih
banyak digunakan
Ragam bahasa
hormat lebih jarang
digunakan
Abe (1998, 64-66) merumuskan perbedaan karakteristik bentuk tuturan
maskulin dan feminin, berdasarkan berbagai jenis tindak tutur yaitu assertive,
mild assertion, directives, assurance/seeking agreement, modesty-nominalization,
37
confirmation/probability, question/criticism, self questioning, dan invitation.
Dalam menjabarkan mengenai tindak tutur direktif, Abe membuat klasifikasi
seperti dijabarkan dalam tabel 2.7
Tabel 2.6 Perbandingan Karakteristik Joseigo dan Danseigo,
Berdasarkan Tindak Tutur Direktif Menurut Abe (1998)
No. Joseigo Danseigo
1 Bentuk-te dari kata kerja + ne
(Contoh : tabete ne)
Bentuk plain imperative (Contoh :
Tabero)
2 - Bentuk plain imperative + yo (Contoh
: Tabero yo!)
3 Bentuk negative command : plain
negative imperfective form + kopula
–de (Contoh : tabenaide)
Bentuk negative command,
menggunakan bentuk kata kerja-ru +
na. (Contoh : Taberu na)
4 Bentuk negative command, plain
negative imperfective form + kopula
–de + ne (Contoh : tabenaide ne)
Bentuk negative command ,
menggunakan bentuk kata kerja-ru +
na, dengan ditambah –yo. (Contoh :
Taberu na yo)
Berikut adalah pendapat para pakar mengenai perbandingan karakteristik
joseigo, danseigo, dan ragam netral. Okamoto (1995) membagi karakteristik
joseigo, danseigo, dan ragam netral berdasarkan partikel akhir kalimat. Partikel
akhir kalimat penanda joseigo dan danseigo kemudian masing-masing dibagi
menjadi 2 jenis. Pada partikel akhir kalimat penanda joseigo dibagi menjadi
strongly feminine (feminin kuat) dan moderately feminine (feminin sedang).
Sedangkan pada partikel akhir kalimat penanda danseigo dibagi menjadi strongly
masculine (maskulin kuat) dan moderately masculine (maskulin sedang).
38
Tabel 2.7 Perbandingan Karakteristik Joseigo, Danseigo,
dan Ragam Netral Menurut Okamoto (1995)
No Aspek Joseigo Danseigo Netral
1 Shuujoshi
(partikel akhir
kalimat)
strongly
feminine : wa, no,
nano, no yo, no
ne, kashira.
strongly
masculine : ze, ike
(bentuk imperatif),
bentuk ee (sebagai
pengganti ai dan
oi, contoh :
shiranee),
iku (bentuk
kamus dari
kata kerja), yo
ne
(persetujuan),
ja nai, jan, ka
na, ikoo to
omotte, ii naa moderately
feminine :
deshoo, no
(setelah bentuk
dasar kata kerja
atau setelah kata
sifat –i)
moderately
masculine : yo
(setelah kata kerja
bentuk dasar,
contoh : iku yo),
da (sebagai
pernyataan,
meliputi variasinya
yaitu dane, dayo,
dan dayone), dan
oo ka (contoh :
ikoo ka)
Tanaka (2004) dalam bukunya yang membahas mengenai penggunaan
ragam bahasa berdasarkan gender dalam wawancara di televisi Jepang. Tanaka
membagi karakteristik joseigo, danseigo, dan ragam netral berdasarkan beberapa
6 aspek yakni fitur leksikal, kata ganti orang, partikel akhir kalimat, bentuk kata
kerja, sintaksis, dan kesopanan.
39
Tabel 2.8 Perbandingan Karakteristik Joseigo, Danseigo,
dan Ragam Netral Menurut Tanaka (2004)
No. Aspek Keterangan
1 Fitur Leksikal Kata sifat oishii (enak), gohan (nasi) dan ohashi
(sumpit) digunakan oleh wanita sementara padanan
kata tersebut untuk laki-laki adalah umai, meshi,
dan hashi. Wanita lebih sering menambahkan
prefiks penghormatan o dan go pada kata benda.
2 Kata Ganti Orang Kata ganti orang pertama yang netral : atashi,
watashi, watakushi. Selain yang netral tersebut,
pria memiliki pilihan yang lebih luas seperti ore,
boku, washi. Untuk kata ganti orang kedua, yang
netral adalah anata, tapi selain anata, pria bisa
menggunakan kata-kata lain seperti kimi dan omae.
3 Partikel Akhir
Kalimat
Netral : ne, yo, no. Khusus wanita : wa, kashira.
Khusus pria : na, zo, ze.
4 Bentuk Kata Kerja Laki-laki menggunakan kata kerja imperatif seperti
Tabero (makan!). Wanita diharapkan
menggunakan bentuk –nasai (contoh : tabenasai
artinya makanlah) agar lebih sopan dan lembut.
5 Sintaksis Dalam hal mengaplikasikan aturan tata bahasa,
wanita kurang konservatif dibanding pria. Wanita
sering menghilangkan case particles lebih sering
dibanding pria, menggunakan lebih banyak kata
sifat ketika kata benda dihapuskan, dan
mengaplikasikan scrambling and left dislocation
lebih bebas dibanding pria.
6 Kesopanan Wanita cenderung lebih sopan dengan lebih
banyak menggunakan prefiks penghormatan o dan
go, bikago (bahasa indah), dan bentuk kata
penghormatan.
Vranic (2013) melakukan penelitian dengan merekam percakapan tiga
mahasiswi Jepang dan lawan bicara mereka. Total ada 6 rekaman yang diteliti,
masing-masing berdurasi 50 menit. Masing-masing penelitian bercakap-cakap
dalam dua percakapan, satu dengan teman wanita dan satu dengan teman pria.
Rekaman tersebut dibuat transkripnya kemudian diteliti SFPs (Sentence Final
Particles) atau partikel akhir kalimat yang digunakan. Setelah dianalisis, Vranic
40
memperlihatkan hasil penelitiannya kepada masing-masing subjek lalu
menanyakan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi mereka sendiri
tentang gaya ujaran mereka dan identitas kegenderan mereka.
Tabel 2.9 Perbandingan Karakteristik Joseigo, Danseigo,
dan Ragam Netral Menurut Vranic (2013)
Strongly
Feminine
Moderately
Feminine
Strongly
Masculine
Moderately
Masculine
Neutral
Kata
benda/kata
sifat na + yo
Kata
benda/kata
sifat na + ne
ze Kata benda/kata
sifat na + da ne
Kata kerja / kata sifat i /
partikel lain seperti
deshoo, daroo, dan wa
+ ne
Kata
benda/kata
sifat na + yo
ne
Memperhalus
penjelasan no
zo Kata kerja / kata
sifat i / partikel
lain seperti
deshoo, daroo,
dan wa + yo
interogatif no
Kata benda/
kata sifat na +
na-
Deshoo daro(o)
(intonasi
naik, untuk
mengkonfir
masi
sesuatu)
Kata benda/kata
sifat na + da yo
daro(o) (intonasi turun,
untuk menyatakan
kemungkinan)
no Mono/Mon Kata kerja / kata
sifat i / partikel
lain seperti
deshoo, daroo,
dan wa + yo ne
kana
wa (intonasi
naik)
Kata benda/kata
sifat na + da yo
ne
wa (intonasi turun)
Memperhalus
penjelasan no
+ ne
na
41
Berkaitan dengan mengenai morfosintaksis dari bahasa Jepang yang
bernuansa gender, Hasegawa (2010 : 110) memodifikasi kategorisasi tradisonal
antara tuturan pria, tuturan wanita, dan tuturan netral yang dibuat oleh Masuoka
dan Takubo (1992) menjadi seperti berikut.
Tabel 2.10 Perbandingan Karakteristik Joseigo, Danseigo,
dan Ragam Netral Menurut Hasegawa (2010)
Aspek Tuturan
Pria
Tuturan Netral Tuturan
Wanita
Arti
kopula da Kore wa
kumo da
Kore wa
kumo Ø
yo/ne/yo ne
Ini adalah laba-
laba
noka/noda itta no ka
Naze itta-n
da(i)
Itta no?
Naze itta
no?
Apakah kamu
pergi? Kenapa
kamu pergi?
Bentuk
kamus + yo
Kore
omoshiroi
yo
Kore
Omoshiroi
wa yo
Imperatif Kopii shiro Kopii
shite/shinasai
Tolong dikopi!
Negatif
Imperatif
Kopii suru
na
Kopii shinaide Jangan dikopi!
Desideratif Kopii shite
kure
Kopii shite
moraitai
Kopii shite
kurenai?
Kopii shite
hoshii no
Aku ingin kamu
mengopinya.
Interogatif Shiai mi ni
iku ka(i)
Shiai mi ni iku? Apakah kamu
akan pergi untuk
melihat
pertandingan?
Partikel
Akhir
Ame ga furu
zo/ze
Ame ga furu
wa
Akan turun hujan
Interjeksi oi, kora araa, maa
Kata ganti
orang
pertama
ore, boku,
oira, washi
watashi,
watakushi
atashi
Kata ganti
orang
kedua
omae, kimi anata, anta,
otaku, sochira
42
Selain itu, Hasegawa juga memodifikasi kategorisasi yang dibuat oleh
Okamoto dan Sato (1992). Partikel akhir kalimat berdasarkan gender dibagi
menjadi 5 kategori yakni Strongly Masculine, Moderately Masculine, Neutral,
Mderately Feminine, Strongly Feminine.
Tabel 2.11 Perbandingan Penggunaan Partikel Akhir Kalimat
Menurut Hasegawa (2010)
Strongly
Masculine
Moderately
Masculine
Neutral Moderately
Feminine
Strongly
Feminine
Arti
Iku ze
Iku zo
Iku yo Iku (+
mon)
Iku no Iku wa (+ne/yo) Aku pergi
Iku kana Iku kashira Mungkin dia
pergi
Ike (yo) Pergi!
Iku na (yo) Jangan pergi!
Ikoo ka Ayo kita pergi
Iku ne/yo
ne
Kamu pergi,
kan?
Ashita da
ze
Ashita da
(+ne/yo/yone)
Ashita nan da
(+ne/yo/yo
ne)
Ashita Ashita ne Ashita da wa(+
ne
/yo/yo ne)
Ashita yo
Ashita na no
(+ne/yo/yone)
Besok
Ashita ja
nai?
Ashita
jan
Besok, kan?
Kinoo
datta ze
Kinoo datta wa
(+yo/yone)
Kemarin
(bentuk lampau)
Ashita daroo Ashita
deshoo
Mungkin besok
Chotto
matte kure
Chotto
matte
Chotto
matte ne
Tunggu sebentar
Atsui na Atsui ne Atsui wa ne Panas, ya?
Shiranee Shiranai wa Aku tidak tahu
Shiranai
no ka yo
Shiranai
no?
Kamu tidak tahu
tentang itu?
Oishiin
datte
Aku dengar itu
enak
43
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dirumuskan karakteristik
joseigo yang digunakan dalam penelitian ini pada Gambar 2.1 dan lebih jelasnya
(dilengkapi dengan karakteristik danseigo dan ragam bahasa netral) dijabarkan
pada Tabel 2.12
Gambar 2.1 Karakteristik Joseigo
Tabel 2.12 Karakteristik Joseigo, Danseigo, dan Ragam Netral
yang Digunakan dalam Penelitian
No. Aspek Joseigo Danseigo Netral
1 Ninshoo Daimeshi
(Kata ganti persona) :
1)
Ichininshoo
atashi, atakushi,
atashitachi, atashira,
ore, washi, boku,
jibun
watashi,
watakushi
INTERJEKSI
KALIMAT
IMPERATIF
ADVERBIA
KESOPA-
NAN
PARTIKEL
AKHIR
KALIMAT
KATA
GANTI
PERSONA
JOSEIGO
44
(kata ganti
persona
pertama)
atai, uchi
2) Nininshoo
(kata ganti
persona
kedua)
- kimi, omae, temae,
kisama
anata, anta
3)
Sanninshoo
(kata ganti
persona
ketiga)
- yatsu, koitsu, soitsu,
aitsu
ano hito, ano
kata, kare,
kanojyo
2 Shuujoshi
(partikel akhir
kalimat)
Feminin kuat : wa,
wane, wayo, wayone,
dawa, nano, nanone,
nanoyo, nanoyone,
noyo, kashira, none,
noyone (setelah kata
benda, kata sifat-na,
atau desu/masu), teyo,
mon ne
Feminin sedang :
mono, mon, no
(deklaratif, setelah kata
kerja bentuk kamus
atau kata sifat -i),
deshoo
Maskulin kuat : ze,
zo, bentuk kata kerja
plain imperative
atau diikuti dengan
partikel yo, bentuk
ee (sebagai
pengganti ai dan oi,
contoh : shiranee)
Maskulin sedang :
yo (setelah kata kerja bentuk kamus
atau kata sifat – i),
da, dane, dayo,
dana, dayone,
darou, oo ka (contoh
: ikoo ka)
Netral : ja nai,
jan, ka na, ikoo
to omotte, naa,
ne, sa, no
(interogatif),
kata kerja
bentuk kamus,
yone, yo (setelah
desu/masu)
3 Kesopanan
1) Keigo
(ragam
bahasa
hormat)*
Lebih sering
digunakan wanita,
seperti kata
irassharu dan
itadaku
Lebih jarang
digunakan pria
dibanding wanita
-
2) Prefiks
penghormatan
o dan go
Lebih sering
digunakan wanita
Lebih jarang
digunakan pria
dibanding wanita
-
4 Fukushi
(Adverbia)**
Wanita lebih banyak
menggunakan
adverbia seperti
amari, bakkari,
chotto, zenzen,
Lebih jarang
menggunakan adverbia
dibanding wanita
-
45
zettai, sugoi,
yappari, sukoshi,
dibanding pria.
5 Meirei
(Kalimat
Imperatif)
***
1.Bentuk-te dari kata
kerja + ne (Contoh :
tabete ne)
2.Bentuk negative
command : plain
negative
imperfective form +
copula –de (Contoh :
tabenaide)
3. Bentuk negative
command, plain
negative
imperfective form +
copula –de + ne
(Contoh : tabenaide
ne)
4. Bentuk – te
kudasai tanpa
1.Bentuk plain
imperative (Contoh :
Tabero)
2.Bentuk plain
imperative + yo
(Contoh : Tabero yo!)
3. Bentuk negative
command,
menggunakan bentuk
kata kerja-ru + na.
(Contoh : Taberu na)
4.Bentuk negative
command ,
menggunakan bentuk
kata kerja-ru + na,
dengan ditambah –yo.
(Contoh : Taberu na
yo)
1.Akhiran sopan
–nasai pada kata
kerja bentuk
kamus
2.Akhiran
kudasai pada
kata kerja
bentuk –te
3. Prefiks o/go
+kata kerja
bentuk
kamus+kudasai
6 Kantoushi
(Interjeksi)
*** *
Ada beberapa jenis
interjeksi yang lebih
umum digunakan
oleh wanita : ara dan
maa.
- -
-
Ket :
* ragam bahasa hormat bahasa Jepang dibahas menggunakan klasifikasi yang
dirumuskan oleh Oana (2009) yakni pembagian tingkat formalitas dalam ujaran
bahasa Jepang dengan urutan dari derajat formalitas tertinggi hingga terendah :
Hyper-polite, Formal, Semi-formal, dan Informal (familiar).
** adverbia bahasa Jepang dianalisis menggunakan klasifikasi yang dirumuskan oleh
Tadashi (1976, 8 - 19) yang membagi adverbia bahasa Jepang menjadi 3 bagian
yaitu adverbs of manner and circumstance, adverbs of degree, dan adverbs of
predication.
*** bentuk kalimat imperatif berdasarkan gender dirumuskan berdasarkan
beberapa pendapat ahli yakni Abe (1998), Hasegawa (2010), dan O’Neill
(2008).
**** interjeksi dianalisis menggunakan klasifikasi interjeksi bahasa Jepang berdasarkan
sikap pembicara terhadap situasi tertentu yang dibagi menjadi 6 yaitu express
surprise, channeling expressions, reactive expressions, positive & negative
responses, fillers, dan vocative expressions oleh Iwasaki (2013).
46
2.2 Konsep
Untuk memberikan informasi konseptual, maka perlu penyatuan persepsi atau
pandangan dan pemahaman terkait dalam penelitian ini. Oleh karena itu, ada
beberapa konsep yang dipaparkan pada sub-bab 2.2. Pada intinya, konsep adalah
penjelasan secara ringkas mengenai istilah teknis yang merupakan komponen dari
landasan teori. Ada tiga konsep yang dipaparkan, yaitu: 1) Pergeseran bahasa 2)
Gender, dan 3) Joseigo
2.2.1 Pergeseran Bahasa
Ibrahim (2003) menyebutkan bahwa pergeseran bahasa (language shifting)
adalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok tutur yang
terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang
lain. Sedangkan Hornberger (2012) berpendapat bahwa pergeseran bahasa adalah
penggantian bertahap satu bahasa oleh bahasa lainnya dalam kehidupan anggota
komunitas yang dimanifestasikan dalam berkurangnya jumlah penutur, tingkat
kemahiran, atau rentang penggunaan fungsional dari suatu bahasa. Yang agak
berbeda, bisa disimak pada pendapat Sumarsono dan Partana (2002) yang
mengungkapkan bahwa pergeseran bahasa berarti suatu komunitas meninggalkan
suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa lain.
Definisi pergeseran bahasa yang digunakan dalam penelitian ini lebih
mengacu pada definisi kedua, yang merupakan pendapat dari Hornberger.
Alasannya karena definisi Hornberger menjelaskan bahwa pergeseran bahasa
47
terjadi secara bertahap dan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, salah satunya
adalah berkurangnya jumlah penutur bahasa.
2.2.2 Gender
Hill dan Mays (2013) mendefinisikan gender sebagai bagian dari identitas
seseorang, ditandai dari atribut-atribut khusus yang oleh masyarakat bisa dianggap
maskulin, feminin, androgini, ambigu, netral, atau kombinasi semuanya.
UNESCO (2003) menyebutkan bahwa gender adalah peran dan tanggung-jawab
pria dan wanita yang diciptakan di dalam keluarga, masyarakat, atau budaya,
meliputi ekspektasi mengenai karakteristik, kemampuan, serta sikap wanita dan
pria (femininitas dan maskulinitas). Zevallos (2014) mendefinisikan gender
sebagai konsep yang menggambarkan bagaimana masyarakat menentukan dan
mengatur kategori jenis kelamin, arti budaya yang disematkan pada peran pria dan
wanita, dan bagaimana individu memahami identitas mereka, meliputi namun
tidak terbatas pada, menjadi seorang pria, wanita, transgender, dan lain lain.
Definisi gender yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi menurut
Zevallos karena mengacu kepada penentuan kategori jenis kelamin oleh
masyarakat dan bagaimana individu memahami identitas mereka.
2.2.3 Joseigo
Menurut Ngan (1981) joseigo merujuk pada karakteristik bahasa ujaran
wanita Jepang dengan menggunakan kata-kata khusus, mencakup istilah-istilah,
aksen, intonasi, pengucapan, dan tata bahasa yang secara eksklusif hanya
48
digunakan wanita Jepang. Jorden (1989) mendeskripsikan joseigo sebagai sebuah
variasi bahasa Jepang yang secara khusus dipakai oleh kaum wanita sebagai suatu
refleksi feminitas mereka. Sementara Inoue (2006) mendefinisikan joseigo
sebagai satu perangkat keyakinan linguistik mengenai bentuk-bentuk dan fungsi-
fungsi bahasa yang digunakan dan diasosiasikan dengan wanita Jepang.
Berdasarkan kajian-kajian di atas, definisi joseigo yang dirumuskan dalam
kajian ini adalah definisi oleh Inoue karena tidak mendefinisikan sebagai ragam
bahasa yang khusus digunakan wanita Jepang namun lebih merujuk pada ragam
bahasa yang diasosiasikan dengan wanita Jepang.
2.3. Landasan Teori
Secara umum, teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori sosiolinguistik. Selain teori utama terdapat teori-teori lain yang digunakan
untuk mendukung analisis, yaitu: teori sosiolinguistik khususnya mengenai bahasa
dan gender, teori feminisme liberal dan teori ideologi. Alasan pemilihannya
adalah karena teori-teori tersebut sesuai untuk menjawab rumusan masalah
penelitian yang diajukan.
Dengan teori sosiolinguistik, perhatian diberikan pada bahasa dalam
penggunaannya, dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi pemakaian
bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial. Ragam
bahasa wanita Jepang dianalisis sebagai indikator identitas sosial dari penutur dan
bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya.
49
Teori sosiolinguistik yang digunakan khususnya yang membahas mengenai
bahasa dan gender. Teori ini digunakan untuk menganalisis bagaimana bahasa
wanita, memengaruhi posisi sosial wanita di masyarakat ataupun bagaimana
perasaan penutur terhadap dirinya sendiri. Teori Sosiolinguistik (bahasa dan
gender) digunakan dalam membedah rumusan masalah penelitian pertama, kedua,
dan ketiga.
Teori feminisme liberal, digunakan untuk membahas perjuangan kesetaraan
gender dan perlawanan terhadap budaya patriarki. Ide-ide dan pemikiran dari para
aktivis feminis dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti, walaupun tidak
semua ide-ide tersebut dapat digunakan. Teori ideologi digunakan untuk
merumuskan pengaturan praktik individu yang merupakan anggota suatu
kelompok. Di dalamnya terbentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam
bertindak dan bersikap, terutama pada wanita Jepang dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa wanita. Kedua teori ini digunakan untuk menganalisis
masalah penelitian terakhir, yaitu mengenai ideologi yang ada di balik pergeseran
penggunaan joseigo pada wanita Jepang di Ubud.
2.3.1 Teori Sosiolinguistik
Teori sosiolinguistik adalah teori yang menyelidiki mengenai hubungan
bahasa dengan masyarakat dengan tujuan untuk lebih memahami struktur bahasa
dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi (Wardhaugh, 2006). Sebagai
objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa,
50
sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati
sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Setiap
kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai dari upaya pemberian nama bayi yang
baru lahir sampai upacara pemakaman jenazah tidak terlepas dari persoalan
hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan
(Chaer dan Agustina, 2004:3).
Menurut Dittmar (1976) istilah sosiolinguistik muncul tahun 1952 dalam
karya Haver C. Currie yang menyarankan perlu adanya penelitian mengenai
hubungan antara perilaku ujaran dan status sosial. Sosiolinguistik berhubungan
dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi
pola-pola pemakaian bahasa / dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian
bahasa / dialek tertentu yang dilakukan penutur dan latar pembicaraan.
Bright (1966) menyebutkan bahwa konferensi sosiolinguistik pertama yang
berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, telah
merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh
dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah sebagai
berikut.
1) Identitas sosial dari penutur adalah, antara lain, dapat diketahui dari
pertanyaan apa dan siapa pentutur tersebut dan bagaimana hubungannya
dengan lawan tuturnya
2) Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
3) Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi.
4) Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial.
51
5) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk
ujaran.
6) Tingkatan variasi dan ragam linguistik.
7) Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Meyerhoff (2006) menyebutkan bahwa semua orang bisa memodifikasi cara
bicara mereka, tergantung dari siapa yang mereka ajak bicara dan bagaimana
situasinya. Ketika mereka melakukan ini, mereka melakukan pendekatan terhadap
pengetahuan sosiolinguistik. Setiap mereka mengubah cara bicara mereka,
tergantung orang yang diajak bicara ataupun situasi. Mereka menyediakan lebih
banyak informasi sosiolinguistik, yang membangun pengetahuan sosiolinguistik
dalam suatu komunitas.
Sosiolinguistik tidak hanya ingin mendokumentasikan bentuk berbeda dalam
suatu bahasa (bagaimana bentuk dan strukturnya), namun juga ingin menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut.
1) Siapa yang menggunakan bentuk berbeda atau variasi bahasa tersebut?
2) Kepada siapa mereka menggunakannya?
3) Apakah mereka sadar akan pilihan mereka tersebut?
4) Kenapa suatu bentuk bahasa bisa dianggap lebih dari bentuk yang lain?
5) Bagaimana bentuk informasi sosial yang diberikan kepada bentuk-bentuk
berbeda dalam sebuah bahasa atau variasi bahasa yang berbeda?
6) Seberapa besar bahasa yang digunakan bisa diubah atau dikendalikan?
(Meyerhoff, 2006 : 3).
52
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguis
tertarik dengan baik pertanyaan-pertanyaan sosial maupun pertanyaan-pertanyaan
linguistik. Tanpa bisa dielakkan, ada sosiolinguis yang lebih banyak menekankan
pada bidang sosial. Ada juga sosiolinguis yang lebih banyak menekankan pada
bidang linguistik. Namun, yang membedakan tulisan mengenai sosiolinguistik
dengan tulisan lain, lepas dari bidang mana yang lebih ditekankan, adalah tulisan
tersebut akan membahas baik struktur sosial maupun struktur linguistik.
Selanjutnya, penelitian ini dikaji dengan bertolak dari teori Meyerhoff mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian sosiolinguistik.
Teori Sosiolinguistik yang digunakan dalam penelitian ini khususnya adalah
yang mengkaji mengenai bahasa dan gender. Tahun 1975 adalah saat bidang
bahasa dan gender muncul. Pada tahun tersebut diluncurkan tiga buku yang
terbukti penting dalam perkembangan bidang studi ini, yakni :
a. Language and Woman’s Place oleh Robin Lakoff
b. Male/Female Language oleh Marry Ritchie Key, dan
c. Language and Sex : Difference and Dominance oleh Barrie Thorne
dan Nancy Henley.
Karya-karya ini bermunculan di tengah gerakan feminis tahun 1970-an. Para
ilmuwan mulai mempertanyakan baik identifikasi norma-norma pria sebagai
norma-norma manusia, maupun penentuan biologis dari perilaku pria dan wanita.
Ada pembedaan konseptual antara “jenis kelamin” yang dibedakan secara biologis
dan “gender” yang dikonstruksikan secara sosial budaya.
Studi bahasa dan gender awalnya membahas tiga poin penting berikut ini.
53
1) Perbedaan empiris antara ujaran pria dan wanita, dalam interaksi
antar jenis kelamin.
2) Menjelaskan ujaran wanita secara khusus
3) Mengidentifikasi kaidah bahasa dalam membuat dan menjaga
ketidakadilan sosial antara pria dan wanita (Kendall, 2008).
Di antara ketiga tokoh di atas, bisa disebut bahwa yang paling berpengaruh
adalah Lakoff. Lakoff (1975) mendefinisikan bahasa wanita (women’s language)
sebagai dua hal yakni bahasa yang dibatasi hanya digunakan oleh wanita dan
penggambaran bahasa khusus mengenai wanita. Dua tahun sebelumnya, Lakoff
(1973) juga menyebutkan bahwa bahasa wanita memiliki dasar bahwa wanita
adalah kaum marjinal sampai ke bagian penting dari kehidupan, yaitu bahasa.
Marjinalitas dan ketidakberdayaan wanita direfleksikan baik dalam cara wanita
diharapkan untuk berbicara maupun cara wanita dibicarakan.
Aspek-aspek tersebut bisa dieksplorasi dari aspek leksikon dan sintaksis.
Seorang wanita akan dicela jika dia tidak berbicara seperti seorang "lady" (wanita
yang anggun) karena dianggap tidak feminin. Namun, jika ia berbicara seperti
seorang lady, dia dianggap tidak bisa berpikir dengan jelas dan tidak bisa turut
serta dalam diskusi serius. Masyarakat cenderung memaklumi luapan emosi /
amarah dari pria dalam bentuk makian, namun tidak memaklumi hal yang sama
dari wanita. Wanita boleh mengeluh, namun tidak boleh mengungkapkan
kegusaran dalam bentuk makian.
Lakoff (1973) mengungkapkan bahwa wanita menggunakan gaya bahasa
yang tidak memaksa, karena ketidakasertifan itu adalah norma sosial akan
54
“kewanitaan” atau “womanhood” dengan cara melemahkan atau mengurangi
penekanan dalam ujaran. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada 10 fitur
berikut.
1) Hedge (terkungkung / terbatasi)
Pendapat diutarakan dengan bahasa yang tidak absolut / mutlak,
contohnya sort of, kind of, it seems like, dan sebagainya.
2) Menggunakan ragam bahasa yang (sangat) sopan
Sebagai contohnya, menggunakan kata-kata seperti would you
mind..., I’d appreciate it if...., ...if you don’t mind, dan sebagainya.
3) Menggunakan tag questions untuk mengekspresikan pendapat
Contohnya; “You are going to dinner, aren’t you?”
4) Menggunakan intensifier
Contohnya : “You are so very kind”
5) Menggunakan “empty” adjectives
Yakni kata sifat yang tidak signifikan, seperti divine, charming, cute
6) Menggunakan tata bahasa dan pengucapan yang benar
Jarang menggunakan slang (ragam bahasa tidak resmi) dibandingkan
dengan pria, contohnya: “I would be very appreciative if you could
show me the way”.
7) Menghindari kata-kata makian
8) Menaikkan intonasi dalam pernyataan
Contohnya: what’s for dinner? roast beef?
9) Penggunakan kosakata warna yang sangat tepat
55
Contohnya : Magenta, Aquamarine
10) Menggunakan penekanan empatik
Contohnya : It was a BRILLIANT performance
Tannen (1990) menjelaskan bahwa ritual pembicaraan antara
wanita, ”menunjukkan kesamaan dan pengalaman yang senada”. Tannen
menekankan bahwa ikatan yang dibangun dengan membicarakan permasalahan-
permasalahan adalah aktivitas yang umum bagi wanita di berbagai belahan dunia.
Pendapat Tannen mengenai perbandingan antara bahasa yang digunakan pria dan
wanita, dapat diringkas menjadi 6 fitur sebagai berikut.
Tabel 2.13 Perbandingan Bahasa Wanita dan Pria Menurut Tannen
NO. BAHASA PRIA BAHASA WANITA
1 Status Dukungan
2 Kemandirian Kedekatan
3 Saran Pengertian
4 Informasi Perasaan
5 Suruhan Usul / Tawaran
6 Konflik Kompromi
Sejalan dengan pernyataan Tannen, Coates (1996) mengatakan bahwa
penyingkapan diri sendiri secara resiprokal (reciprocal self-disclosure)
membentuk pembicaraan antara sesama wanita. Lebih jauh lagi, pembicaraan
antara sesama wanita ini secara berkala melibatkan beberapa hal yang senada,
yang dapat dirangkum sebagai berikut.
1) Pembicaraan rumah tangga. Pertukaran informasi yang berhubungan
sebagai peran wanita dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
56
2) Skandal. Menilai perilaku orang lain, terutama wanita. Umumnya
berkaitan dengan moral.
3) Menggerutu. Ekspresi kekesalan wanita terhadap status mereka yang
dibatasi dan juga inferior. Mereka mengekspresikan ini kepada sesama
wanita. Wanita yang menggerutu tidak mengharapkan perubahan, yang
mereka inginkan adalah untuk dimengerti.
4) Mengobrol. Saling menceritakan tentang diri sendiri, lingkungan sekitar,
dan topik lainnya.
Mizokami (2001) memaparkan pemikirannya mengenai bahasa wanita
sebagai bahasa yang memiliki fitur-fitur berikut. Pertama, penutur wanita
menginterupsi lebih jarang dibanding dengan penutur pria dalam percakapan
antara pria dan wanita. Kedua, penutur wanita menggunakan lebih banyak ujaran
tidak langsung dibanding penutur pria. Ketiga, penutur wanita menggunakan lebih
banyak conversational support (pendukung pembicaraan) dibandingkan dengan
pria. Keempat, penutur wanita menggunakan fitur yang mengindikasikan sesuatu
yang bersifat tentatif.
Jespersen (1922) menyebutkan bahwa bahasa wanita adalah bahasa yang
deficient (kurang sempurna, kurang baik) dibandingkan dengan bahasa pria yang
dianggap sebagai bahasa standar. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat
Inoue (2006) yang menjelaskan bahasa wanita sebagai sebuah jaringan praktik-
praktik budaya yang menjadikan kewanitaan atau femininitas sebagai objek dan
memetakan pasangan gender yang dikonkritkan pada suara, penggambaran, etika,
dan pengaturan dalam berbicara. Berdasarkan kajian-kajian di atas, teori yang
57
digunakan dalam penelitian ini mengarah pada karakteristik yang ditulis oleh
Lakoff, karena cukup detail dan merangkum berbagai macam aspek penting yang
diperlukan dalam teori bahasa dan gender.
2.3.2 Teori Feminisme Liberal
Teori Feminisme liberal adalah teori yang berasumsi bahwa pada dasarnya
tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Oleh karena itu
perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun
demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara
laki-laki dan perempuan (Megawangi, 1999).
Feminisme liberal sering disebut sebagai feminisme moderat. Feminisme tipe
ini berkonsentrasi pada lobi pemerintah demi reformasi pro perempuan dan
berusaha memengaruhi para pengambil kebijakan (Watkins, 2007). Para feminis
liberal menginginkan akses terhadap kesempatan yang sama dengan pria.
Kesetaraan dengan pria di sektor publik adalah inti dari feminisme liberal. Tidak
mengagetkan bahwa paham ini lebih menekankan reformasi masyarakat daripada
perubahan revolusioner karena para feminis liberal tidak menganggap perkara
perbedaan jenis kelamin ini sebagai perang terhadap pria (Beasley, 1999).
Feminisme liberal berbeda dengan paham feminis sayap kiri yaitu feminisme
radikal. Paham feminisme radikal merasa bahwa setiap pria bertanggungjawab
dan mengambil keuntungan dari supremasi pria dan eksploitasi wanita. Pokok
permasalahan dari semua permasalahan adalah patriarki, yaitu seluruh sistem
kekuasaan laki-laki atas perempuan. Penguasa, tatanan militer, industri, politik,
58
agama, serikat-serikat buruh, dan kelompok kiri yang didominasi laki-laki
semuanya merupakan bagian dari patriarki. Perempuan adalah satu kelas, dan
laki-laki adalah kelas yang lain (Watkins, 2007)
Encyclopedia Britannica, menyebutkan bahwa feminis liberal berfokus pada
perubahan yang konkrit dan pragmatis pada tingkat kelembagaan dan
pemerintahan. Tujuannya untuk mengintegrasikan lebih banyak perempuan secara
menyeluruh ke dalam struktur kekuasaan dan untuk memberi perempuan akses
pada posisi-posisi yang secara tradisional didominasi pria. Sambil mengusahakan
kesetaraan (contohnya berjuang untuk jumlah perempuan dan laki-laki yang sama
dalam posisi kekuasaan), kelompok-kelompok feminis liberal tetap mendukung
undang-undang perlindungan seperti manfaat tempat kerja khusus untuk ibu.
Teori feminisme liberal yang selanjutnya dikaitkan dengan penelitian ini
adalah karakteristik feminisme liberal menurut Ritzer sebagai berikut.
1) Semua manusia mempunyai ciri esensial tertentu (kapasitas sebagai agen
moral dan nalar dan aktualisasi diri).
2) Pelaksanaan kapasitas ini dapat dijamin melalui pengakuan legal atas hak-
hak universal.
3) Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan adalah diciptakan secara
sosial, dan
4) Perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dicapai dengan mengajak publik
yang rasional dan dengan menggunakan negara (Ritzer, 2003: 421)
Teori Ritzer digunakan karena meliputi ketimpangan antara laki-laki dan
perempuan yang diciptakan secara sosial.
59
2.3.3 Teori Ideologi
Sebelum menganalisis mengenai teori ideologi, maka perlu dibahas
pandangan para ahli mengenai ideologi itu sendiri. Teori ideologi menurut Van
Dijk (1998) adalah teori yang dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan
praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari
suatu kelompok akan bertindak sama dalam situasi yang sama, dapat
menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk
solidaritas di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai
beberapa implikasi penting.
Van Dijk (2000) mendefinisikan ideologi dengan beberapa poin penting
berikut.
1) Ideologi sebagai ide yang samar dan kontroversial
2) Ideologi sebagai sistem kepercayaan
3) Ideologi sebagai kesadaran yang salah atau kepercayaan yang salah arah
4) Ideologi sebagai ide umum, dan
5) Ideologi sebagai dasar praktek sosial
Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual.
Hal yang dibagi antara anggota kelompok tersebut digunakan membentuk
solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi
meskipun bersifat sosial, namun digunakan secara internal di antara anggota
kelompok. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif
dan kohesi, tetapi juga membentuk identitas diri kelompok.
60
Sementara Eagleton (1991) membuat daftar beberapa definisi ideologi yang
tidak semuanya definisi tersebut bisa dicocokkan antara satu sama lain.
1) Proses produksi dari arti-arti, tanda-tanda, dan nilai-nilai dalam kehidupan
sosial
2) Kumpulan karakteristik ide dari kelompok sosial atau kelas sosial tertentu.
3) Ide-ide yang membantu mengesahkan kekuatan politik yang dominan
4) Ide-ide yang salah, yang membantu mengesahkan kekuasaan politik yang
dominan.
5) Komunikasi yang bersimpangan secara sistematik.
6) Sesuatu yang menawarkan posisi kepada subjeknya
7) Bentuk pemikiran-pemikiran yang dimotivasi oleh kepentingan-
kepentingan sosial.
8) Pemikiran identitas
9) Ilusi yang diperlukan secara sosial
10) Penghubung antara wacana dan kekuasaan
11) Media dimana aktor sosial yang sadar membuat dunianya masuk akal
12) Seperangkat kepercayaan yang berorientasi pada aksi
13) Kebingungan akan kenyataan linguistik dan fenomenal
14) Penutupan semiotik
15) Media yang sangat diperlukan dimana individu menjalani hubungan
mereka pada struktur sosial
16) Proses dimana kehidupan sosial diubah ke kenyataan alami.
61
Alfian (1988) menyebutkan bahwa teori ideologi adalah teori mengenai suatu
pandangan atau sistem nilai menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan
dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yang
secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama
dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.
Teori ideologi menurut Magnis-Suseno (1992) memaparkan tiga prinsip
pokok ideologi yakni: ideologi sebagai kesadaran palsu, ideologi dalam arti netral,
dan ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Ideologi sebagai kesadaran
palsu biasanya digunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi
adalah teori-teori yang tidak berorientasi kepada kebenaran, melainkan kepada
kepentingan pihak yang mempropagandakan. Ideologi dalam arti netral berarti
keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial
atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara
yang menganggap penting adanya suatu ”ideologi negara”. Disebut netral karena
baik buruknya tergantung isi ideologi tersebut.
Arti ketiga, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial
positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis
atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi
normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.
Dari berbagai pengertian-pengertian dasar mengenai ideologi di atas, dapat
dirumuskan beberapa karakteristik ideologi antara lain sebagai berikut.
1) Ideologi Tidak Universal. Ideologi merupakan suatu keyakinan atau
doktrin yang mempunyai nilai subyektif bagi suatu kelompok ataupun
62
individu sebagai penganutnya. Ideologi juga hanya diyakini, dipraktekkan,
dan berfungsi dalam suatu masyarakat / kelas tertentu, dan belum tentu
dapat dipraktekkan pada masyarakat / kelas yang berbeda kondisinya.
2) Ideologi Tidak Komprehensif. Sekalipun ideologi mengikutsertakan
program, aturan, dan pedoman dalam kehidupan masyarakat, namun
ideologi tidak dapat mendeteksi seluruh kebutuhan hajat hidup manusia.
Dengan demikian, ideologi tidak bisa memberikan langkah-langkah yang
menyeluruh, baik mengenai pelaksanaan sesuatu hal maupun masalah-
masalah yang timbul.
3) Berubah-ubah Tata Aturannya. Ideologi sebagai suatu pranata sosial dan
aturan dalam kehidupan individu dan kelompok, dalam perjalanan
sejarahnya hampir tidak ada yang konsisten. Setiap memasuki wilayah
atau zaman tertentu, selalu berubah dan berinteraksi dengan kondisi sosial
yang ada. Sebagai contoh : ideologi komunis ala Karl Marx akan berbeda
dengan versi Lenini, Mao Tse Tung, maupun Gorbachev.
Magnis-Suseno kemudian membagi ideologi menjadi dua yakni ideologi
terbuka dan tertutup yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
Ideologi terbuka
1) Merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat
2) Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri
3) Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat
4) Bersifat dinamis dan reformis
63
5) Ciri khas ideologi terbuka adalah cita-cita dasar yang ingin diwujudkan
masyarakat bukan berasal dari luar masyarakat atau dipaksakan dari elit
penguasa tertentu.
6) Terbuka kepada perubahan-perubahan yang datang dari luar, tetapi
memiliki kebebasan dan integritas untuk menentukan mana nilai-nilai dari
luar yang memengaruhi dan mengubah nilai-nilai dasar yang selama ini
sudah ada dan mana yang tidak boleh berubah.
Ideologi tertutup.
1) Merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan
memperbarui masyarakat
2) Atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang
dibebankan kepada masyarakat
3) Isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu melainkan terdiri dari
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, diajukan dengan
mutlak.
Fairclough (1995) menghubungkan antara teks dengan konteks yang ada di
masyarakat. Fokus Fairclough adalah bahasa sebagai praktik kekuasaan yang
kemudian dihubungkan dengan ideologi. Wacana dianggap sebagai praktik sosial.
Hal ini memberikan beberapa implikasi. Pertama, wacana merupakan bentuk
tindakan. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melakukan ”tindakan” kepada
dunia dan sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia. Implikasi kedua
adalah adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial.
64
Hubungan antara bahasa dan realitas sosial disadari melalui teks, praktik wacana
(discourse practice) dan praktik sosiokultural (sociocultural practice).
Fairclough juga menegaskan bahwa dalam masyarakat modern, pelaksanaan
kuasa (exercise of power) semakin meningkat dicapai melalui ideologi, dan secara
khusus melalui bahasa. Melalui bahasa, manusia boleh mengatur dan memimpin
organisasi, masyarakat, dan negara, mengelakkan atau menyebabkan peperangan,
menghukum, bekerjasama, dan sebagainya. Pada penelitian ini, teori ideologi
yang digunakan adalah teori ideologi menurut Fairclough karena merumuskan
pelaksanaan kuasa melalui ideologi, khususnya melalui bahasa.
2.4 Model Penelitian
Untuk menunjukkan relevansi antara teori yang dijelaskan di depan dengan
rumusan masalah penelitian ini, berikut ini disajikan diagram model penelitian.
Diagram ini menggambarkan tentang hubungan antara pendekatan, masalah
penelitian, dan teori yang digunakan.
65
Gambar 2.4 Model Penelitian
Masalah dan Teori
Masalah Teori yang Digunakan
1. Bagaimanakah penggunaan joseigo
pada wanita Jepang di Ubud?
Teori Sosiolinguistik (bahasa dan
gender) (Lakoff, 1973)
2. Apakah ada pergeseran penggunaan
joseigo pada wanita Jepang di Ubud?
Teori Sosiolinguistik (bahasa dan
gender) (Lakoff, 1973)
3. Faktor-faktor apa yang memengaruhi
pergeseran penggunaan joseigo pada
wanita Jepang di Ubud?
Teori Sosiolinguistik (bahasa dan
gender) (Lakoff, 1973)
4. Apakah ideologi yang ada di balik
pergeseran penggunaan joseigo pada
wanita Jepang di Ubud
1.Teori Feminisme Liberal (Ritzer,
2003)
2.Teori Ideologi (Fairclough, 1995)
JOSEIGO DAN PERGESERANNYA
PADA WANITA JEPANG DI UBUD
Pendekatan Penelitian: Kualitatif
Analisis
Landasan Teori
Teori
Ideologi
Teori
Feminisme
Liberal
Teori Sosiolinguistik
(bahasa dan gender)
Temuan Baru Hasil:
1. Penggunaan joseigo
2. Bentuk Pergeseran Penggunaan joseigo
3. Faktor-faktor yang memengaruhi
pergeseran penggunaan joseigo
4. Ideologi di balik pergeseran
penggunaan joseigo
66
Penelitian tentang joseigo dan pergeserannya pada wanita Jepang di Ubud
dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Digunakan 1 teori utama, yaitu teori
sosiolinguistik khususnya bahasa dan gender. Selain itu, digunakan juga teori
feminisme liberal dan teori ideologi sebagai teori pendukung. Teori-teori tersebut
digunakan untuk proses analisis data penelitian yang bertujuan untuk menjawab
rumusan masalah. Berdasarkan hasil analisis data penelitian selanjutnya
dirumuskan hasil dan temuan.