Post on 23-Feb-2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Batavia, dalam perjalanannya disebut dengan Jacatra, Jayakarta, dan
Jakarta, adalah sebuah wilayah yang berada di bagian barat Pulau Jawa. Kota
Batavia dibelah Sungai Ciliwung sehingga menjadi dua bagian kota yang hampir
sama luasnya atau yang biasa disebut oleh orang Belanda sebagai Grote Rivier.1
Julukan The Queen of The East2 juga sempat tersemat pada kota tersebut ketika
pertama kali dibangun.
Sebagai salah satu kota jajahan, pembentukan kota Batavia tidak lepas dari
peran para pedagang Eropa yang berambisi besar menguasai perdagangan di bumi
belahan tenggara. Tidak hanya Belanda, Batavia yang sebelumnya disebut Sunda
Kalapa juga diperebutkan oleh Spanyol, Portugis, dan juga Inggris. Melalui
pertarungan sengit di abad XVII, Sunda Kalapa akhirnya jatuh ke tangan
perhimpunan dagang Belanda yang disebut VOC (Vereenigde Oost-Indie
Company) atau Perusahaan Dagang Hindia-Timur. VOC merupakan perusahaan
khusus yang dijalankan oleh sebuah dewan direktur yang disebut sebagai Heeren
1 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan,
dan Belanda di Batavia VOC (Jakarta: Pustazet Perkasa, 1988), hlm. 4. 2 Julukan The Queen of The East disematkan pada Batavia saat J.P. Coen
membangun kota tersebut. Disebut begitu karena Batavia dinilai sangat indah dan
menjadi tempat tinggal idaman di timur jauh.
2
XVII3. Perusahaan ini dibentuk pada 1602 untuk tujuan nasional dan para
direkturnya bertanggung jawab kepada Parlemen Belanda.4
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan
pertemuan dua kebudayaan, yakni budaya Barat dan Timur. Akibat percampuran
kebudayaan tersebut, kebudayaan pribumi diperkaya dengan kebudayaan Barat.
Masyarakat kolonial di Hindia Belanda mengalami modernisasi karena
masyarakatnya tumbuh sejalan dengan perkembangan sistem produksi dan
teknologi. Campuran dari budaya tradisional para pribumi dan budaya modern
bangsa Eropa melahirkan sebuah budaya baru yang disebut budaya Indis. Budaya
Indis merupakan suatu proses perkembangan sosial yang muncul dan tumbuh dari
beberapa lapisan masyarakat di Hindia Belanda.5
Hingga akhir abad XVIII, Batavia secara khusus dikuasai oleh VOC.
Perusahaan dagang tersebut kemudian mengalami kebangkrutan memasuki awal
abad XIX. Kekuasaan Batavia kemudian diambil alih oleh pemerintahan Belanda
dan kota-kota lain yang sempat dikuasai VOC tergabung dalam daerah kekuasaan
baru yang dinamai Hindia Belanda. Namun kerajaan Belanda sempat diduduki
oleh Napoleon Bonaparte pada awal abad XIX. Dampak dari pergantian
3 Heeren XVII merupakan badan pengurus VOC, terdiri dari para
pemegang saham berjumlah 17 orang yang menyusun kebijakan umum,
memutuskan besarnya biaya pelayaran ke Asia, menentukan jumlah kapal yang
harus dibangun dan besarnya dividen serta syarat-syarat pelelangan. Heeren XVII
juga menentukan Gubernur-Jenderal, Direktur Jenderal, serta para anggota Dewan
Hindia (Raad van Indie) untuk pemerintahan tertinggi Belanda di Asia (Hoge
Regeering). Lihat Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, (Depok:
Masup Jakarta, 2009), hlm. 3. 4 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Depok: Masup Jakarta,
2012) hlm. 9. 5 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai
Revolusi, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 19.
3
kekuasaan ini, Napoleon mengutus Marsekal Daendels untuk menjadi Gubernur
Jenderal Hindia Belanda yang baru pada tahun 1808. Di bawah pemerintahannya,
Daendels merombak tata kota Batavia yang sudah bertahan lebih dari dua abad
dan membangun pemukiman baru yang lebih layak dan sehat di luar kota benteng.
Daerah baru tersebut dinamakan Weltevreden, yang berarti ‘benar-benar puas’.6
Di atas lahan Weltevreden inilah Daendels membangun berbagai sarana baru.
Mulai dari pembangunan kastil hingga gedung societeit7. Bangunan-bangunan
lainnya juga ikut dibangun untuk kehidupan masyarakat kolonial yang lebih baik.
Daendels juga dibebankan tugas untuk membangun pertahanan di Pulau Jawa.
Pertahanan ini tidak lain adalah sebuah tindakan antisipasi terhadap serangan
pasukan Inggris.8 Weltevreden menjadi tempat yang ideal untuk menata kembali
kota Batavia Lama yang sebelumnya mengalami kemunduran. Julukan Ratu dari
Timur yang sempat merujuk kepada Batavia Lama kemudian teralih ke
Weltevreden.9
6 Susan Blackburn, op.cit., hlm. 59. 7 Perkumpulan orang-orang elite pada jaman kolonial Belanda. Gedung
seperti ini merupakan gedung yang bergengsi pada jamannya, karena sering
dikunjungi oleh golongan ‘cabang atas’ dari masyarakat kolonial Belanda. Di
dalam gedung tersebut terdapat ruang santai, perpustakaan , meja bilyard, serta
fasilitas untuk rekreasi lainnya. Pada jaman Belanda hampir setiap kota terdapat
gedung yang bergengsi ini. Lihat Handinoto, “Daendels Dan Perkembangan
Arsitektur Di Hindia Belanda Abad 19”, Dimensi, Vol. 36, nomor 1, Juli 2008,
hlm. 8. 8 Retno Galih, “Pasar Gambir 1906-1942: Arena Ekonomi dan Rekreasi
Masyarakat Kota Batavia”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa UNS, 2015, hlm. 23. 9 Mega Destriyana, “Batavia Baru di Weltevreden: Suatu Kajian Historis
Pemindahan Pusat Kota pada Abad ke-19”, Skripsi Departemen Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial UPI, 2015, hlm. 4.
4
Pembangunan kota baru di Weltevreden diteruskan oleh Thomas Stanford
Raffles yang menjadi Gubernur-Jenderal tahun 1811-1816. Dalam periode
kekuasaannya, Raffles menitikberatkan perubahan kehidupan masyarakat kolonial
yang telah berubah dan berbeda dengan kehidupan normal mereka di daratan
Eropa. Raffles berusaha untuk mengembalikan tradisi original masyarakat Eropa
di Batavia dengan mengaktifkan kembali Lembaga Kesenian dan Pengetahuan
Batavia (Het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen10) yang
didirikan sejak tahun 1776. Beliau juga melanjutkan pembangunan gedung
Societeit Harmonie dan membangun museum serta perpustakaan di dalam gedung
societeit tersebut.11
Societeit Harmonie, yang dibentuk pada tahun 1776 pada masa
pemerintahan Reinier De Klerk, menjadi salah satu komunitas tertua yang ada di
Asia. Komunitas ini bertahan hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Societeit Harmonie menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat kolonial
dan menjadi suatu gaya hidup. Keanggotan yang khusus dinilai eksklusif karena
tidak sembarang orang diakui sebagai bagian dari komunitas tersebut. Gedung
baru yang dibangun Daendels dan Raffles membuat komunitas tersebut menjadi
semakin tersohor dan ramai dikunjungi sepanjang abad XIX. Adapun pentingnya
membahas Harmonie sebagai salah satu tempat hiburan para borjuis masyarakat
kolonial pada zaman tersebut adalah bagaimana Societeit Harmonie menyediakan
10 Het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kini
menjadi Museum Nasional atau Museum Gajah. 11 Djoko Marihandono, “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman
Willem Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”,
Disertasi Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI, hlm. 43.
5
tempat bagi masyarakat Eropa di Hindia Belanda untuk tetap menjalankan
aktivitas yang biasa mereka lakukan di Eropa, meski banyak dari masyarakat
Eropa tersebut tidak lahir di Eropa melainkan di Hindia. Selain itu, masih
minimnya tulisan yang membahas tentang Societeit Harmonie, yang gedungnya
kini telah lenyap dan hanya menyisakan nama yang masih disebut oleh warga
Jakarta hingga saat ini, menjadi faktor pendukung kemudian mendorong
munculnya penelitian yang berjudul Societeit de Harmonie: Pusat Hiburan Kaum
Elit Belanda di Batavia Abad XIX.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka
dirumuskan pokok permasalahan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Faktor pendorong apa yang menjadi pemicu dipindahnya Societeit de
Harmonie ke Weltevreden?
2. Bagaimana manajemen Societeit de Harmonie di Weltevreden?
3. Apa saja aktivitas yang diselenggarakan di Societeit de Harmonie pada
abad XIX?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan permasalahan yang diungkapkan,
maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
6
1. Untuk mengetahui faktor apa yang menjadi pemicu dipindahnya Societeit de
Harmonie ke Weltevreden.
2. Untuk mengetahui bagaimana manajemen Societeit de Harmonie di
Weltevreden.
3. Untuk mengetahui aktivitas yang berlangsung di Societeit de Harmonie pada
abad XIX.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang Societeit de Harmonie ini diharpakan memiliki manfaat
sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya
pengembangan Ilmu Sejarah, khususnya dalam bidang historiografi
sejarah Indonesia.
2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang
kemudian dijadikan acuan bagi pemerintah maupun masyarakat untuk
tetap melestarikan bangunan tua baik yang telah ditetapkan sebagai
cagar budaya maupun yang belum atau sedang akan ditetapkan sebagai
cagar budaya.
3. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca
karya ini terutama mengenai kehidupan masyarakat Eropa pada abad
XIX serta menjadi bahan informasi bagi peneliti yang tertarik pada
masalah serupa untuk meneliti lebih lanjut.
7
E. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa studi sebelumnya yang telah membahas mengenai
Societeit de Harmonie dan kehidupan masyarakat Belanda di Batavia pada masa
Kolonial antara lain:
Buku dari Susan Blackburn yang berjudul Jakarta Sejarah 400 Tahun
(2011) yang banyak mengulas mengenai Kota Jakarta dari masa ke masa termasuk
keadaan Kota Jakarta awal abad XX. Pada salah satu bab-nya berisi mengenai tata
kota Batavia dan penduduknya yang tidak sebanyak sekarang namun beraneka
ragam. Dijelaskan pula pindahnya pusat pemerintahan Batavia Lama ke Batavia
Baru. Perpindahan pusat pemerintahan ini kemudian memicu perkembangan di
daerah pedalaman Batavia yang lebih maju dan tertata rapi. Dalam buku ini
dijelaskan bahwa perkembangan kota Batavia terbagi atas beberapa periode.
Perubahan dan perluasan kota Batavia paling signifikan terjadi pada awal abad
XIX. Pada saat pemerintah kerajaan Belanda mengambil alih daerah jajahan yang
sebelumnya dikuasai VOC. Hal ini banyak mempengaruhi keadaan kota serta
masyarakat yang tinggal di dalam kota Batavia. Batavia telah menjadi primadona
di kalangan pelancong dari Benua Eropa sejak bergeser ke wilayah baru, dimana
pada saat itu wilayah Batavia Lama yang menjadi labuhan pertama para pelaut
selama bertahun-tahun dianggap telah mati dan menjadi ‘kota bawah’
(benedenstad).
Buku selanjutnya berjudul Kehidupan Sosial di Batavia (2009) ditulis oleh
Jean Gelman Taylor juga akan dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.
Buku tersebut menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat Batavia mulai awal
8
bangsa Eropa masuk ke Nusantara hingga awal kemerdekaan. Selain itu buku ini
juga menjabarkan bagaimana kebudayaan di Batavia dengan kedatangan orang-
orang Eropa serta bagaimana kebudayaan Belanda menguasai Batavia selama
kurang lebih tiga abad. Beraneka ragamnya masyarakat Batavia beserta ulasan
mengenai keluarga-keluarga pejabat tinggi di Hindia Belanda, serta bagaimana
kebudayaan Barat dan Timur tercampur aduk dalam kehidupan masyarakat
kolonial di Batavia turut menjadi topik utama.
Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat Batavia awal
merupakan koloni Belanda yang terdiri dari para kelasi dan prajurit-prajurit.
Mereka membangun peradaban koloni awal dengan membangun benteng, dimana
terdapat banyak fasilitas di dalamnya. Terdapat pula kelompok masyarakat diluar
bangsa Belanda, seperti orang-orang Portugis. Hampir sebagian besar masyarakat
yang mendiami wilayah yang disebut Batavia merupakan laki-laki. Dijelaskan
pula dalam buku ini bahwa para perempuan baru didatangkan ke Batavia sekitar
tahun 1622. Para perempuan yang didatangkan dari Belanda ternyata bukan dari
keluarga baik-baik atau keluarga borjuis, namun merupakan perempuan dari
kelas-kelas rendah. Hal ini menimbulkan polemik, karena ditakutkan bahwa para
perempuan ini nantinya tidak bisa memberikan keturunan yang baik dan berkelas.
Kedatangan imigran perempuan dari Belanda serta maraknya praktek pergundikan
selama dua abad mempengaruhi kondisi sosial masyarakat Batavia. Orang-orang
Belanda yang telah menetap terlalu lama di Batavia dan berbaur dengan pribumi
mulai bertingkah laku layaknya pribumi. Raffles yang datang pada tahun 1811
melihat hal tersebut sebagai hal yang aneh dan terbelakang. Kemudian Raffles
9
memulai langkah-langkah untuk meredam tingkah laku aneh masyarakat Eropa
ini. Raffles dan istrinya gencar melakukan sosialisasi dan pesta-pesta demi
mengembalikan dan menjunjung tinggi tradisi Eropa yang mereka nilai lebih
beradab daripada tradisi lokal.
Perilaku aneh dan terbelakang yang disebut Raffles merupakan suatu
perilaku yang kemudian terbentuk menjadi salah satu kebudayaan yang lepas dari
kebudayaan Eropa namun bukan termasuk kebudayaan lokal pribumi.
Kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan Indis yang disebut di dalam buku
milik Djoko Soekiman yang berjudul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup
Masyarakat Pendukungnya di Jawa (2000). Buku ini sebagian besar membahas
kebudayaan Indis serta masyarakat Jawa di Hindia Belanda pada abad XVIII
hingga XX. Bagaimana kebudayan Indis pertama kali diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat kolonial pada waktu itu dan penjelasan mengenai
kebudayaan Indis dalam keseluruhan, bukan saja mengenai bangunan, namun juga
gaya hidup masyarakatnya.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa kebudayaan Indis sudah menjadi suatu
budaya yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dari peradaban kolonial di Jawa
khususnya. Peran kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan dalam memberi
warna kebudayaan Indis. Unsur-unsur kebudayaan Belanda itu semula dibawa
oleh para pedagang dan pejabat VOC yang kemudian diikuti oleh rohaniwan
Protestan dan Katolik. Selanjutnya kebudayaan Indis menyebar ke bidang
pendidikan, teknologi pertanian, dan transportasi. Penyebaran tersebut tidak lepas
dari peran para cendekiawan. Selain itu kebudayaan tersebut merajai berbagai
10
aspek kehidupan lainnya seperti kesenian, bahasa, pakaian, serta makanan.
Kebudayaan Indis menjadi sebuah gaya hidup atau lifestyle (style of civilization)
yang melekat kuat dalam kehidupan koloni bangsa Eropa. Djoko Soekiman
mengungkapkan bahwa style atau stijl (gaya) dapat diartikan sebagai bentuk yang
tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, baik dalam unsur,
kualitas, maupun ekspresinya, misalnya dalam hal menulis, berjalan, gerakan
badan, karya seni dan sebagainya.
Buku Batavia Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988) yang disunting oleh
Threes Susilowati juga penulis gunakan dalam penelitian ini. Terdapat sebuah
artikel dalam ini yang membahas tentang Societeit Harmonie secara singkat.
Meskipun artikel tersebut membahas Societeit Harmonie sejak berdiri hingga
runtuh pasca kemerdekaan, penjelasannya hanya bisa dijadikan sebagai gambaran
saja. Berbeda dengan penelitian ini, artikel yang berjudul In Memoriam Societeit
de Harmonie yang disusun oleh Irnawati hanya menggambarkan beberapa
aktivitas yang terjadi di Societeit Harmonie. Penelitian ini berfokus pada peran
Societeit de Harmonie sebagai salah satu bangunan terkemuka yang
mengantarkan masyarakat kolonial Batavia pada sebuah era baru pada masanya,
serta mengulas Societeit de Harmonie berikut organisasi, pengurus, arsitektur,
kegiatan, dan sebagainya.
Selain menggunakan beberapa literatur berbahasa Indonesia, dalam
penelitian ini juga digunakan literature yang berbahasa Belanda yang hingga kini
masih disimpan di Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional RI. Salah satu
literaturnya berjudul De Societeit Harmonie te Weltevreden (1930) yang ditulis
11
oleh P.C.Bloyds van Treslong Prins. Buku ini secara khusus membahas Societeit
Harmonie. Pembahasannya meliputi awal pembangunan gedung, biaya-biaya
yang dikeluarkan, serta susunan anggota Dewan Harmonie sekitar tahun 1815.
Kelemahan dari buku ini yaitu pembahasan yang hanya berkisar tentang
pembangunan gedung, hingga peresmian gedung yang dilakukan oleh Raffles.
Buku berbahasa Belanda selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini
adalah De Jonge Jaren Van De Harmonie (1948) yang ditulis oleh F.R.J.
Verhoeven. Dalam buku tersebut dijelaskan secara rinci awal-awal pembangunan
Societeit Harmonie, kebijakan-kebijakan para penguasa seputar Societeit
Harmonie, kendala saat pembangunan, perincian biaya-biaya yang dikeluarkan
pemerintah maupun Dewan Harmonie sendiri, aktivitas-aktivitas yang terjadi di
Harmonie, dan lainnya. Buku ini termasuk buku yang paling lengkap membahas
Societeit Harmonie mengingat selama ini belum ada pembahasan tentang
Harmonie secara mendetail, kebanyakan literatur maupun artikel yang ada hanya
menyinggung sedikit sekali materi tentang Societeit Harmonie. Namun
pembahasan buku ini hanya berlanjut hingga tahun 1848.
Selain buku-buku, referensi juga berasal dari disertasi, skripsi, dan jurnal-
jurnal yang pernah terbit baik di dalam negeri maupun luar negeri. Disertasi yang
penulis gunakan berjudul Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem
Daendels di Jawa 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte (2005)
yang disusun oleh Djoko Marihandono dari Program Studi Ilmu Sejarah Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Disertasi ini membahas masa kekuasaan
Daendels di Hindia Belanda dan perubahan apa saja yang dilakukan Daendels
12
pada Batavia khususnya. Disertasi tersebut dijadikan sebagai referensi dalam
penelitian karena terdapat beberapa bab yang khusus membahas tata kota Batavia.
Penelitian ini juga menggunakan skripsi yang berjudul Arsitektur Indis
Dalam Perkembangan Tata Kota Batavia Awal Abad 20 (2010) yang ditulis oleh
Desca Dwi Savolta dari Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret.
Skripsi tersebut digunakan sebagai acuan untuk mempelajari arsitektur yang
berkembang di Batavia. Selain sumber-sumber literatur dan artikel serta skripsi,
penelitian ini juga bersumber pada arsip-arsip terkait mengenai bukti keberadaan
bangunan Societeit Harmonie sendiri.
Kajian Teori masyarakat elite Belanda di Batavia diambil dari beberapa
hasil studi sebelumnya mengenai masyarakat elite, antara lain: Suzanne Keller
dalam bukunya yang berjudul Elit dan Kelompok Penguasa (1984)
mengungkapkan bahwa istilah elit pertama-tama menunjuk kepada suatu
minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan
cara yang bernilai sosial. Kaum elit sendiri adalah minoritas-minoritas yang
efektif dan bertanggung jawab. Efektif sendiri merujuk lepada pelaksanaan
kegiatan kepentingan dan perhatian kepada orang lain tempat golongan elit ini
memberikan tanggapannya. Golongan elit yang mempunyai arti secara sosial
akhirnya bertanggung jawab untuk merealisasi tujuan-tujuan sosial yang utama
dan untuk kelanjutan tata sosial. Golongan elit menginginkan semacam organisasi
yang berisi aturan-aturan yang tepat serta peranan-peranan yang ditunjang suatu
sistem kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan materi dan rohani. Namun
seringkali tanggung jawab ini hanya pada sebagian anggota, terlebih kepada para
13
penguasanya, yaitu elit istimewa. Keller menyebut elit penentu sebagai pemeran
utama dalam golongan elit itu sendiri. Alasannya, karena elit penentu merupakan
pusat dari kelompok, yang mempertimbangkan, dimana keputusan-keputusan dan
tindakan-tindakan mereka memiliki dampak dan akibat penting serta menentukan
bagi kebanyakan anggota masyarakat. Elit penentu adalah suatu kristalisasi, suatu
perkembangan lebih lanjut dari kelas-kelas penguasa. Elit penentu ini terdiri dari
para pemimpin politik, ekonomi, militer. Tidak hanya itu, para pemimpin moral,
budaya, dan ilmu pengetahuan juga masuk dalam kategori elit penentu. Elit
penentu menjadi ada sekarang karena adanya kasta-kasta dan klas-klas yang
berkuasa di hari kemarin; mereka tidak terbentuk secara tersendiri atau sui
generis, melainkan bersamaan dengan kelas-kelas sosial lainnya.
W.F. Wertheim dalam Indonesian Society In Transition (1956),
menjelaskan bahwa kelas sosial sedikit berubah sejak memasuki abad XIX. Hal
ini diakibatkan oleh berkembangnya industri Inggris dan berdampak langsung
pada hubungan antara dunia Barat dan Timur. Kepentingan ekonomi menjadi
salah satu faktor pengubah kehidupan sosial pribumi di Jawa. Meningkatnya
permintaan bahan baku produksi industri di dunia Barat mengharuskan para petani
untuk mencari nafkah dengan cara lain, karena mereka tidak lagi dapat bergantung
hanya dari hasil pertanian. Kemudian timbul sebuah kelas pengatur kehidupan
para petani ini, yang disebut golongan elit. Timbulnya golongan elit pada abad
XIX, menurut Wertheim, merupakan dampak langsung dari diterapkannya sistem
baru tersebut. Perubahan sosial ini berdampak serius di negeri koloni, dimana
masyarakat kulit putih menempatkan diri mereka sendiri dalam strata sosial
14
tertinggi. Selanjutnya, penempatan kelas sosial ditentukan berdasarkan warna
kulit. Sebagian besar negara koloni memisahkan masyarakat kulit putih dengan
masyarakat pribumi lainnya.
F. Metode Penelitian
Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip-prinsip dan aturan yang
sistematis yang dimaksudkan untuk memberi bantuan penelitian sejarah, menilai
secara kritis dan kemudian menyajikan dalam bentuk tulisan. Metode sejarah
terbagi dalam empat tahap kegiatan yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan
historiografi.12
1. Heuristik
Heuristik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan seorang
peneliti sejarah saat melakukan penelitian dan penulisan sejarah. Heuristik dengan
kata lain ialah mencari sumber-sumber sejarah kemudian mengumpulkannya.
Adapun penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber
dengan studi dokumen.
Teknik Pengumpulan data untuk penulisan penelitian ini menggunakan
studi dokumen. Baik itu berupa artefak, peninggalan-peninggalan terlukis dan
petilan arkeologi. Namun bisa juga berupa surat-surat resmi dan surat-surat negara
seperti surat perjanjian, undang-undang, hibah, kohesi dan lain-lain. Studi
12 Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. (Jakarta: Armico, 1975), hlm.32.
15
dokumen bertujuan untuk memperoleh dokumen yang benar-benar berkaitan
dengan penelitian. Studi dokumen ini untuk memperoleh data primer berupa arsip,
foto-foto dan surat kabar se-zaman mengenai kondisi umum Batavia pada abad
XIX, aktivitas yang berkaitan dengan Societeit de Harmonie serta perannya dari
tahun ke tahun terhadap masyarakat Batavia, dan arsip-arsip yang berkaitan
lainnya. Pada dasarnya, penelitian ini menggunakan arsip yang disimpan di Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI) yakni Societat Harmonie Te Weltevreden
Batavia 1905-1925, Koleksi Arsip Algemeene Secretarie Seri Groet Bundel ter
Zijde Gelegde Agenda 1891-1942, Nomor Inventaris K81a, Nomor Arsip 7791
dimana arsip tersebut memuat tentang surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dan berisi mengenai bermacam tindakan kepada
bangunan Societeit de Harmonie. Meskipun dalam judul arsip tersebut terlihat
hanya memuat arsip-arsip pada awal abad XX, nyatanya di dalam bendel arsip
tersebut masih termuat beberapa arsip surat keputusan yang dikeluarkan pada
tahun di abad XIX.
Arsip lainnya yang digunakan dalam penelitian ini merupakan arsip yang
disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yaitu Reglement voor
Societeit de Harmonie yang berisi tentang peraturan-peraturan semacam AD/ART
organisasi. Selanjutnya sebuah arsip berupa programme atau susunan acara
sebuah pertunjukkan musik yang diselenggarakan dalam acara peringatan 75
tahun peringatan berdirinya gedung Societeit Harmonie. Arsip tersebut ialah
Herinnering van de viering op 18 januari 1890 van het 75 Jarig Bestaan der
16
Societeit “Harmonie” te Rijswijk, Batavia yang disimpan di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia.
Selain itu data-data pendukung seperti majalah dan buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini diperoleh dari Perpustakaan Nasional RI,
Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan DKI Jakarta,
Perpustakaan Jurusan Ilmu Sejarah UNS dan buku-buku serta artikel milik
pribadi. Penelitian ini juga menggunakan sumber dari koran-koran sezaman.
Seperti Java-Bode, Bataviaasch Courant, Bataviaasch Handelsblad, Bataviaasch
Nieuwsblad, Java Gouvernement Gazette, Het Nieuws van den Dag Nederlands-
Indisch. Dalam koran-koran tersebut sering diiklankan mengenai pertemuan
maupun kegiatan pesta yang diselenggarakan di Societeit de Harmonie di tahun-
tahun pada abad XIX.
2. Kritik
Langkah kedua setelah melaksanakan langkah pengumpulan sumber-
sumber sejarah dalam bentuk dokumen-dokumen, langkah selanjutnya ialah
mengadakan kritik (verifikasi) sumber13, baik itu kritik ekstern maupun kritik
intern. Kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber, sedangkan kritik
intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data. Tahap selanjutnya
setelah pengumpulan sumber telah terlaksana ialah saling mencocokkan kesamaan
serta keaslian arsip maupun sumber sejarah yang telah didapatkan. Mulai dari
mencocokkan surat kabar sezaman, memilah data dan melakukan pengurutan
13 A. Daliman. Metode Penelitian Sejarah. (Yogyakarta: Ombak, 2012),
hlm. 64-65.
17
sesuai dengan tahun terbit surat kabar tersebut sehingga mampu membentuk suatu
rentetan kronologi kejadian dari tahun-tahun yang ada.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah dalam kerangka
rekonstruksi realitas masa lampau.14 Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan
sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori
disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh. Ini sama halnya
dengan melakukan analisis data yang diperoleh. Data yang telah diperoleh
kemudian mencoba mengaitkannya dengan fenomena sosial-ekonomi yang terjadi
pada sesuai periode tema dengan menggunakan beberapa teori yang serupa.
4. Historiografi
Historiografi yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-
fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik
penulisan sejarah.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun berdasarkan
kerangka sebagai berikut:
14 Ibid. hlm. 83
18
Bab I merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II berisi gambaran sosial budaya di Batavia, perkembangan
kebudayaan di Batavia pada abad XIX dan sekilas sejarah Societeit de Harmonie
sebelum berpindah ke Weltevreden.
Bab III membahas khusus tentang perpindahan Societeit de Harmonie
serta manajemen, bangunan, dan organisasinya.
Bab IV membahas aktivitas-aktivitas yang dilakukan di Societeit de
Harmonie, serta catatan-catatan kunjungan dari para pengembara serta iklan-iklan
di media cetak tentang aktivitas di Societeit Harmonie.
Bab V berisi kesimpulan, yang merupakan hasil temuan penelitian dan
merupakan jawaban dari permasalahan yang ada.