Post on 22-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2000 Radio Republik Indonesia beralih status menjadi perusahaan
jawatan (PERJAN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000
Tentang Pendirian Perusahaan Jawatan Radio Republik Indonesia, di dalam
peraturan pemerintah ini Radio Republik Indonesia berada di dalam ruang lingkup
Departemen Keuangan. Perusahaan jawatan memiliki tanggungjawab sosial yang
tinggi yaitu, pelayanan publik dan tidak semata-mata mencari keuntungan, modal
perusahaan tidak dipisahkan artinya modal semua dimiliki oleh pemerintah dan
tidak terbagi atas saham-saham. Status sebagai perusahaan jawatan membuat Radio
Republik Indonesia melakukan perubahan mendasar dalam visi dan misinya yang
tercantum dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000 yang
berbunyi “Maksud dan tujuan PERJAN adalah menyelenggarakan kegiatan
penyiaran radio sesuai dengan prinsip-prinsip radio publik yang independen, netral,
madiri dan program siarannya senantiasa berorentasi kepada kepentigan
masyarakat, serta tidak semata-mata mencari keuntungan”.
Radio Republik Indonesia Banjarmasin merupakan salah satu stasiun
penyiaran publik yang berada di daerah, tepatnya di kota Banjarmasin provinsi
Kalimantan Selatan dan berdiri sejak tahun 1950. Radio Republik Indonesia
Banjarmasin merupakan salah satu radio publik berjaringan dengan induk atau
Radio Republik Indonesia pusat di Jakarta dan stasiun-stasiun penyiaran di daerah-
daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta perwakilan Radio
Republik Indonesia di luar negeri atau koresponden.
Radio Republik Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran disebut sebagai lembaga penyiaran publik, hal ini termaktub
dalam pasal 14 ayat (2) yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi
Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara
2
Republik Indonesia”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
hanya mengatur kelembagaan radio publik secara garis besar atau general, sehingga
diperlukan aturan di bawah undang-undang untuk menjabarkan secara lebih rinci
tentang kelembagaan Radio Republik Indonesia dalam bentuk aturan yang lebih
rendah yakni peraturan pemerintah. Pada tahun 2005, Pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik
Radio Republik Indonesia.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, hingga sekarang masih ada beberapa
isi dalam kedua kebijakan tersebut yang belum dilaksanakan secara optimal seperti
aspek kelembagaan, dan program di Radio Republik Indonesia Banjarmasin, di
mana kedua aspek tersebut sangat penting dalam melihat perkembangan Radio
Republik Indonesia Banjarmasin sebagai lembaga penyiaran publik.
Dari aspek kelembagaan, dalam undang-undang penyiaran pasal 14 ayat (5)
yang berbunyi “Dewan pengawas ditetapkan oleh presiden bagi Radio Republik
Indonesia dan Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga
Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui
uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau
masyarakat”. Isi pasal tersebut bertentang dengan pasal 13 ayat (2) yang berbunyi
“Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh : a.
Lembaga Penyiaran Publik; b. Lembaga Penyiaran Swasta; c. Lembaga Penyiaran
Komunitas; dan d. Lembaga Penyiaran Berlangganan”. Hal ini menjadi
ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan, ketika dalam satu
peraturan memuat lembaga baru (lembaga penyiaran publik lokal) yang tidak ada
di dalam pasal sebelumnya dalam undang-undang penyiaran. Definisi lembaga
penyiaran publik lokal tidak terdefinisikan dalam undang-undang tersebut dan di
dalam penjelasan undang. Sebagai lec spesialis bidang penyiaran, undang-undang
penyiaran harus menjadi acuan bagi peraturan lain di bidang penyiaran.
3
Pengawasan lembaga penyiaran publik dalam amanah undang-undang
penyiaran dilakukan oleh DPR dan DPRD seperti bunyi pasal 14 ayat (9) “Lembaga
penyiaran publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah”. ayat dalam pasal ini bersifat ambigu, sebagai lembaga
penyiaran publik RRI seharusnya bebas dari tekanan pemerintah dan politik.
Dengan pasal ini pemerintah memberikan hak pengawasan ke ranah politik (DPR),
sedangakan dalam undang-undang penyiaran lembaga penyiaran publik Radio
Republik Indonesia memilik dewan pengawas yang dipilih oleh DPR untuk tingkat
pusat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan aturan
lebih teknis dari undang-undang penyiaran, tidak ada disebutkan tentang lembaga
penyiaran publik lokal dan pengawasan lembaga penyiaran publik lokal oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Definsi tentang lembaga penyiaran
lokal ini menjadi ambigu, apa setiap stasiun penyiaran RRI di daerah disebut LPP
lokal ataukah lembaga penyiaran yang didirikan oleh pemerintah daerah. Apabila
yang dimaksud pasal 14 ayat (3), (5), (6), dan ayat (9) adalah lembaga penyiaran
yang didirikan pemerintah daerah, padahal lembaga penyiaran publik lokal dapat
didirikan di daerah yang tidak mendapatkan atau tidak terjangkau siaran lembaga
penyiaran publik.
Sumber daya berkaitan dengan anggaran, di mana Radio Republik Indonesia
Banjarmasin menurut undang-undang penyiaran pasal 15 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2005 pasal 34 ayat (1) point b sumber pendanaan berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), APBD melalui dana hibah pemerintah provinsi
Kalimantan Selatan. Dana hibah ini, setiap tahunnya berbeda-beda besaran
nominalnya tergantung dari pemerintah provinsi Kalimantan Selatan. Dengan
sumber pendanaan ini seharusnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin dapat
berkembang menjadi lembaga penyiaran publik yang sesuai dengan amanah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, akan tetapi hal ini membuat Radio
Republik Indonesia Banjarmasin tidak dapat menjalankan amanah dalam pasal 38
4
yang berbunyi “Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran, Radio Republik Indonesia wajib memberikan laporan keuangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diumumkan
melalui media massa”. Hal tersebut merupakan bentuk tanggungjawab Radio
Republik Indonesia Banjarmasin kepada publik karena dana APBN dan APBD
yang digunakan dalam kegiatan penyiaran di Radio Republik Indonesia
Banjarmasin adalah dana publik sehingga penggunaan dana tersebut harus
dipublikasikan secara transparan.
Dari aspek program, Radio Republik Indonesia Banjarmasin dituntut untuk
dapat netral, independen, tidak komersial dan berorentasi publik, di mana hal ini
diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 pasal 1 ayat (3)
yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia yang
menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak
komersil, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat”.
Independen yang dimaksud adalah tidak bergantung pada dan tidak dipengaruhi
oleh pihak lain. Independen merupakan hal yang penting, karena tanpa sifat tersebut
Radio Republik Indonesia akan rentan ditunggangi kepentingan pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab. Sejarah pernah membuktikan ketika Radio Republik
Indonesia berada di bawah Departemen Penerangan, Radio Republik Indonesia
dijadikan alat propaganda pembangunan bagi pemerintah saat itu. Oleh Karena itu,
Radio Republik Indonesia Banjarmasin yang telah berubah menjadi Lembaga
Penyiaran Publik harus dapat menyajikan siaran yang mengakomodasi kepentingan
publik.
Netral artinya tidak memihak kepada kepentingan salah satu pihak yang
berbeda pendapat. Dalam program acaranya Radio Republik Indonesia
Banjarmasin tidak boleh bersifat pilih kasih atau mendukung terhadap golongan
tertentu akan tetapi bersifat netral. Yang dimaksud dengan sifat tidak komersil
adalah tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga lebih mengutamakan
peningkatan layanan masyarakat. Walupun dalam pasal 34 ayat (1) point d, Radio
Republik Indonesia memiliki sumber pendanaan yang berasal dari siaran iklan salah
satunya tetapi dibatasi agar Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak semata-
5
mata mengejar keuntungan tetapi dapat lebih optimal sebagai radio publik yang
mengakomodir dan melayani kepentingan publik bukan kepentingan penguasa atau
pemerintah dan pengusaha.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, serta dengan mencermati
perkembangan Radio Republik Indonesia Banjarmasin dalam
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, dengan segala permasalahan
yang dihadapinya, maka penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis keberhasilan dan hambatan Radio Republik Indonesia Banjarmasin
dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Hal ini penting dilakukan
karena Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Publik Radio Republik Indonesia telah delapan tahun disahkan sehingga sudah bisa
dinilai ataupun dianalisis pelaksanaannya. Selain itu, hasilnya nanti dapat melihat
faktor pendukung dan penghambat dari salah satu produk kebijakan komunikasi
tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Radio Republik Indonesia Banjarmasin mengimplementasikan
kebijakan komunikasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di tahun 2013 ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan dan menganalisis
pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga
Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia
(RRI) Banjarmasin di tahun 2013.
Menjelaskan faktor-faktor penghambat dan pendukung implementasi
kebijakan tersebut di Radio Republik Indonesia Banjarmasin di tahun 2013.
Memberi rekomendasi kepada Radio Republik Indonesia Banjarmasin
dalam mengatasi kendala dan masalah yang dihadapi Radio Republik
Indonesia Banjarmasin sebagai lembaga penyiaran publik.
6
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian untuk memberikan masukan ke pemerintah
berkaitan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik
Indonesia Banjarmasin.
1.4. Kerangka Pemikiran
1.4.1. Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2005 sebagai Kebijakan
Komunikasi
Menurut UNESCO ilmu komunikasi memandang kebijakan
komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sengaja
diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi (dalam Abrar, 2008;
3). Untuk menjamin kelancaran sistem komunikasi maka peraturan tentang
semua proses komunikasi harus dibuat. Bagaimanapun semua proses itu
berbeda satu sama lain. Maka, idealnya kebijakan komunikasi itu cukup
banyak (Abrar, 2008; 15). Sehingga kebijakan terhadap media cetak dan
elektronik akan berbeda dan setiap kebijakan komunikasi menjadi lec
spesialis dan tidak tumpang tindih dalam isi nya. Karena kebijakan
komunikasi merupakan studi tentang keputusan dan tindakan yang dilakukan
pemerintah yang berkaitan dengan persoalan komunikasi (Abrar, 2008; 12).
Jadi dapat dipahami bahwa kebijakan komunikasi meliputi undang-undang,
peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
menteri, peraturan daerah yang berkaitan dengan bidang komunikasi.
Menurut Abrar (2008; 13) Sebagai kebijakan publik, kebijakan
komunikasi memiliki paling tidak lima kriteria, yaitu: Memilik tujuan
tertentu; Berisi tindakan pejabat pemerintah; Memperlihatkan apa yang akan
dilakukan pemerintah; Bisa bersifat positif atau negatif; dan Bersifat
memaksa (otoritatif). Oleh karena itu kebijakan komunikasi sebagai
kebijakan publik yang mempengaruhi masyarakat secara umum harus
dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan,
pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut.
7
Dalam bahasa Paula Chakravartty dan Katharine Sarikakis (2006; 7),
kebijakan komunikasi selalu memilik konteks, domain dan paradigma (dalam
Abrar, 2008; 4). Maka dengan ketiga ciri tersebut, akan diketahui arah
kebijakan dari suatu produk hukum seperti undang-undang, peraturan
pemerintah dan peraturan daerah. Sedangkan Masduki (2007; 44)
menyebutkan ciri-ciri konseptual dari kebijakan komunikasi :
a. Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang
dibentuk untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.
b. Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin
politik yang benar-benar dilaksanakan melalui pembatasan-
pembatasan legal dan institusional untuk memberi arah bagi
perilaku sistem komunikasi.
c. Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan-keputusan
mengenai institusional media komunikasi dan fungsi-fungsinya.
d. Kebijakan tersebut juga mengharuskan diterapkannya kontrol
guna menjamin operasi institusi-institusi tersebut terbawa ke arah
kemaslahatan umum
Menurut Wahyuni (2000; 15) sebuah kebijakan komunikasi, biasanya
dilandasi oleh proposisi-proposisi sebagai berikut: Pertama, bila media massa
jatuh ke tangan yang salah, dapat disalahgunakan untuk merusak keserasian
sosial dan stabilitas politik masyarakat. Kedua, media massa dengan arahan
yang tepat, dapat memainkan peranan yang konstruktif dalam pembinaan
bangsa, terutama di negara-negara sedang berkembang, oleh sebab itu operasi
media massa harus dikontrol secara tepat oleh pemerintah.
Dari sisi politik, kebijakan komunikasi, memiliki tujuan untuk
melanggengkan kekuasaan para aktor perumus kebijakan. Hal ini terbukti
banyak pasal-pasal tidak jelas yang pada akhirnya dapat diputarbalikan
sesuai dengan keinginan para pembuat kebijakan. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam pembuatan suatu kebijakan komunikasi seringkali
disusupi berbagai muatan politis yang pada akhirnya kebijakan komunikasi
8
tersebut tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, akan tetapi lebih
mengakomodasi kepentingan penguasa.
Salah satunya tercermin dari benturan-benturan yang terjadi antara
Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-
Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam hal penentuan siapa yang
menjadi pemegang otoritas izin penyiaran. Dalam undang-undang penyiaran
menyatakan otoritas izin penyiaran berada pada pemeritah. Sedangkan
undang-undang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 menyatakan pemerintah daerah berhak mengatur frekuensi di daerahnya
(Sudibyo, 2004; 52). Ketidaksingkronan kebijakan tersebut tersebut
menandakan ketidakteraturan peraturan perundang-undangan di negara
Indonesia sehingga ketika undang-undang tersebut diturunkan kedalam
bentuk peraturan pemerintah ataupun peraturan daerah, kebanyakan hasilnya
jadi ambigu.
Setelah dibubarkannya Departemen Penerangan, Radio Republik
Indonesia mengalami kegamangan dalam bentuk badan hukumnya. Di tahun
2002 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, di dalam pasal 14 membahas tentang lembaga penyiaran publik.
Untuk mengatur lembaga penyiaran publik lebih kompleks perlu dibuat
aturan di bawah undang-undang tersebut berkaitan dengan lembaga
penyiaran publik. Pada tahun 2005, pemerintah membuat dan mengesahkan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Publik Radio Republik Indonesia. Undang-Undang No 32 tahun 2002 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2005 merupakan salah satu bentuk
kebijakan komunikasi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di pasal 6 ayat
(1) disebutkan organisasi Radio Republik Indonesia terdiri dari Dewan
pengawas; Dewan direksi; Stasiun penyiaran; Satuan pengawasan intern; dan
Pusat dan perwakilan dari struktur organisasi Radio Republik Indonesia
diatas, Radio Republik Indonesia Banjarmasin menempati posisi stasiun
penyiaran. Maka sebagai stasiun penyiaran, Radio Republik Indonesia
9
Banjarmasin harus tundak dan patuh pada ketentuan yang dibuat oleh Radio
Republik Indonesia pusat. Sehingga penyiaran di Radio Republik Indonesia
Banjarmasin tidak berbeda jauh dengan Radio Republik Indonesia pusat.
Seharusnnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin bisa mengeksplorasi
hal-hal yang tidak tercover oleh Radio Republik Indonesia pusat.
Pada pasal 4 bahwa tugas Radio Republik Indonesia adalah
memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol
dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan
seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang
menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disinilah
Radio Republik Indonesia Banjarmasin harus menguatkan perannya sebagai
lembaga penyiaran publik di daerah.
Dalam pasal 1 ayat (3) lembaga penyiaran publik Radio Republik
Indonesia adalah lembaga penyiaran publik yang menyelenggarakan kegiatan
penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Dari faktor komunikasi keempat point itu harus di transmisikan secara
jelas agar dapat diterima oleh para pegawai Radio Republik Indonesia
Banjarmasin. Transmisi tersebut berkaitan dengan petunjuk-petunjuk umum
dan khusus yang harus dipatuhi oleh para agen pelaksana kebijakan. Karena
kesalahan menyampaikan petunjuk atau memberikan arahan akan
berimplikasi pada terhambatnya implementasi kebijakan. Hambatan itu dapat
berupa lambatnya proses perubahan yang terjadi di dalam sebuah lembaga
atau organisasi.
Di lihat dari faktor Sumber daya, maka dapat dikatakan bahwa
fasilitas yang ada di Radio Republik Indonesia Banjarmasin belum
sepenuhnya optimal menunjang kegiatan penyiaran publik karena
infrastruktur yang dimiliki Radio Republik Indonesia Banjarmasin memilik
kesulitan dalam pemeliharan peralatan pemancar dan studio. Faktor
sumberdaya manusianya juga masih jauh dari harapan karena kepegawaian
Radio Republik Indonesia terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS), pegawai
10
bukan pegawai negeri sipil (PBPNS), dan kontrak atau honor serta kurangnya
rekruitmen pegawai tetap untuk regenerasi kepegawaian di Radio Republik
Indonesia Banjarmasin.
Disamping itu tumpang tindih aturan mengenai lembaga penyiaran
publik mengakibatkan susahnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005
di implementasikan karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005
tentang Kebijakan Penyiaran Publik, idealnya menurut undang-undang
penyiaran hanya ada empat peraturan pemerintah yang dibuat pemerintah
yaitu Lembaga penyiaran publik, Lembaga penyiaran swasta, Lembaga
penyiaran komunitas, dan Lembaga penyiaran berlangganan sesuai pasal 13
ayat 2 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Faktor struktur birokrasi juga memiliki peranan penting. Karena aspek
tersebut menyangkut pada standar operasional prosedur (SOP) dan juga
fragmentasi yang berkaitan dengan koordinasi. Dengan berubahnya status
Radio Republik Indonesia dari perusahaan jawatan (PERJAN) ke lembaga
penyiaran publik maka standar operasional prosedurnya juga berubah. Hal ini
tentu disesuaikan dengan visi dan misi organisasi yang baru. Selain
perubahan pada SOP, koordinasinya juga berubah.
Sehingga dapat dinyatakan, bahwa posisi Radio Republik Indonesia
Banjarmasin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 belum
signifikan. Hal ini dikarenakan sistem kerja yang ada di Radio Republik
Indonesia Banjarmasin masih terpusat pada Radio Republik Indonesia pusat
sehingga sedikit peluang Radio Republik Indonesia Banjarmasin untuk
menentukan kebijakan penyiaran versi Radio Republik Indonesia
Banjarmasin. Masalah sumber daya berkaitan dengan dana menjadi masalah
pokok karena dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan penyiaran dan masalah sumber daya manusia.
11
1.4.2. Anatomi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia
Kebijakan komunikasi merupakan bagian dari kebijakan publik. Salah
satu produk kebijakan komunikasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia.
Peraturan tersebut mengatur tentang Radio Republik Indonesia sebagai
lembaga penyiaran publik, peraturan pemerintah tersebut merupakan aturan
turunan dari undang-undang penyiaran yang mengatur lembaga penyiaran
publik secara garis besar saja. Lembaga penyiaran meminjam frekuensi yang
jumlahnya terbatas dari pemerintah, karena frekuensi merupakan milik
publik. Sehingga diperlukan aturan yang ketat untuk pemanfataannya.
Untuk mengatur pemanfaatan frekuensi untuk penyiaran publik
pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, yang terdiri dari 11
bab dan 47 pasal. Dalam bab I memuat ketentuan umum terdiri dari satu (1)
pasal; Bab II menjelaskan mengenai bentuk, kedudukan, tugas dan fungsi
terdiri dari empat (4) pasal; Bab III mengatur tentang struktur organisasi
terdiri dari dua belas (12) pasal; Bab IV memuat tentang kepangkatan,
pengangkatan, dan pemberhentian terdiri dari delapan (8) pasal; Bab V berisi
tentang tata kerja terdiri dari tujuh (7) pasal; Bab VI menjelaskan tentang
kekayaan dan pendanaan terdiri dari empat (4) pasal; Bab VII menjelaskan
tentang rencana kerja dan anggaran terdiri dari dua (2) pasal; Bab VIII berisi
tentang pertanggungjawaban terdiri dari dua (2) pasal; Bab IX mengatur
tentang kepegawaian terdiri dari tiga (3) pasal; Bab X memuat mengenai
ketentuan peralihan terdiri dari dua (2) pasal; Sedangkan Bab XI memuat
tentang ketentuan penutup terdiri dari dua (2) pasal.
Untuk mengetahui konsep dari Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2005, maka penulis harus mengetahui sifat dari Peraturan Pemerintah
tersebut. Adapun sifat dari lembaga penyiaran publik Radio Republik
Indonesia tercantum dalam pasal 3 ayat (1) ketiga sifat tersebut juga
menggambarkan karakteristik penyiaran publik di Indonesia. Selain itu, sifat
12
tersebut sejalan dengan definisi mengenai lembaga penyiaran publik Radio
Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi
“Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia adalah Lembaga
Penyiaran Publik yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat
independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat”.
Adapun tugas dari lembaga penyiaran publik Radio Republik
Indonesia sesuai dalam pasal 4 adalah memberikan pelayanan informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan prekat sosial, serta melestarikan
budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui
penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan fungsi Radio Republik Indonesia yang terdapat dalam
pasal 5 adalah berkaitan dengan perumusan kebijakan umum dan pengawasan
di bidang penyelenggaraan penyiaran radio publik, Pelaksanaan dan
pengendalian kegiatan penyelenggaran penyiaran radio publik, Pembinaan
dan pelaksanaan administrasi serta sumber daya Radio Republik Indonesia.
Untuk melaksanakan kegiatan operasional dan administrasi maka
diperlukan sumber daya yang handal dan menguasai bidang pekerjaannya.
Sumber daya tersebut terbagi dalam susunan organisasi yang memiliki tugas
dan fungsi masing-masing. Susunan organisasi tersebut terdapat dalam pasal
6 ayat (1) terdiri atas: Dewan pengawas, Dewan direksi, Stasiun penyiaran,
Satuan pengawasan intern, dan Pusat dan perwakilan.
Adapun tugas dari dewan pengawas yang sesuai dengan pasal 7 adalah
Menetapkan kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana
kerja dan anggaran tahunan, kebijakan pengembangan kelembagaan dan
sumber daya, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut sesuai dengan
arah dan tujuan penyiaran; Mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan
anggaran serta independensi dan netralitas siaran; Melakukan uji kelayakan
dan kepatutan secara terbuka terhadap calon anggota dewan direksi;
mengangkat dan memberhentikan dewan direksi; Menetapkan salah seorang
13
anggota dewan direksi sebagai direktur utama; Menetapkan pembagian tugas
setiap direktur; Melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Sedangkan tugas dari dewan direksi terdapat pada pasal 11 adalah
Melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh dewan pengawas yang
meliputi kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana kerja
dan anggaran tahunan, serta kebijakan pengembangan kelembagaan dan
sumber daya; Memimpin dan mengelolah Radio Republik Indonesia sesuai
dengan tujuan dan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil
guna; Menetapkan ketentuan teknis pelaksanaan operasional lembaga dan
operasional penyiaran; Mengadakan dan memelihara pembukuan serta
administrasi sesuai dengan peraturan yang berlaku; Menyiapkan laporan
tahunan dan laporan berkala; Membuat laporan keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; mewakili lembaga di
dalam dan di luar pengadilan; Menjalin kerjasama dengan lembaga lain baik
di dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya, dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa stasiun
penyiaran adalah penyelenggara kegiatan penyiaran Radio Republik
Indonesia yang berlokasi di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota
sedangkan satuan pengawasan intern yang dimaksud sesuai pasal 1 ayat (7)
pengawasan intern adalah pengawasan administrasi, keuangan dan
operasional di dalam lembaga penyiaran publik yang memiliki tugas yang
termaktub dalam pasal 15 ayat (1) bertugas melakukan pengawasan intern
keuangan dan operasional lainnya serta melaporkan temuannya kepada
dewan direksi.
Untuk melaksanakan kegiatan di Radio Republik Indonesia maka
sumber daya saja tidak cukup. Hal ini harus didukung dengan anggaran dana
yang memadai. Dalam pasal 34 ayat (1) sumber pendanaan Radio Republik
Indonesia berasal dari : Iuaran penyiaran; Anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD);
Sumbangan masyarakat; Siaran iklan; Usaha lain yang sah yang terkait
14
dengan penyelenggaraan penyiaran. tetapi hingga saat ini pengelolaan dana
yang ada di Radio Republik Indonesia belum sepenuhnya transparan karena
publik belum sepenuhnya aktif terlibat.
Dalam pasal 38 dalam waktu paling lambat tiga (3) bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran, Radio Republik Indonesia wajib memberikan
laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan diumukan melalui media massa.
Sesuai dengan peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005
seharusnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin dapat memiliki
karakteristik berikut : Pertama, bersifat independen adalah tidak bergantung
pada dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain; Kedua, Netral adalah tidak
memihak kepada kepentingan salah satu pihak yang berbeda pendapat;
Ketiga, tidak komersial adalah tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi
juga lebih mengutamakan peningkatan layanan masyarakat dan memberikan
layanan untuk kepentingan masyarakat.
Sebagai produk hukum Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005
tidak memiliki sanksi yang akan dikenakan jika Radio Republik Indonesia
Banjarmasin tidak melaksanakan hal-hal apa saja yang telah diamanahkan
dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
1.4.3. Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Nugroho (2012; 173), pembagian pertama kebijakan publik
dijabarkan dalam makna kebijakan publik, yaitu pertama hal-hal yang
diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan
pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian jenis kebijakan
publik yang kedua adalah bentuknya. Kebijakan publik dalam arti luas dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-
peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan dan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yang disebut
konvensi-konvensi. Peraturan tertulis mudah diamati dan dipahami.
Kebijakan publik merupakan kontrak sosial dari pemerintah kepada rakyat
atau warga negaranya.
15
Menurut Nugroho (2012; 176), Kebijakan publik yang tertinggi dibuat
oleh legislatif berupa konstitusi dan ketetapan MPR. Kebijakan publik yang
hanya dibuat oleh eksekutif. Lembaga eksekutif dapat membuat kebijakan
publik berupa turunan dari kebijakan publik di atasnya. Kebijakan publik
yang dibuat eksekutif berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden,
peraturan presiden, keputusan menteri, hingga keputusan kepala daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 merupakan salah satu contoh
peraturan pemerintah yang tertulis yang dibuat oleh pihak eksekutif atau
pemerintah untuk mengatasi permasalahan di bidang penyiaran publik dan
merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran. Dan kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjsama
antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kebijakan publik yang tertulis perlu
di implementasikan.
Menurut Nugroho (2012; 674), impelementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan publik dapat mencapai
tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi
kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan dari proses kebijakan, di
mana kebijakan yang telah ditetapkan akan di implementasikan, kebijakan
tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah.
Menurut Lester dan Stewart (2000), implementasi adalah sebuah
tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses
politik. Kalimat tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa implementasi lebih
bermakna non politik, yaitu administratif (dalam Kusumanegara, 2010; 97).
Implementasi sebagai kegiatan administrasi memiliki konsekuensi dalam
pelaksanaannya dan memiliki dampak terhadap aktor-aktor yang terlibat
dalam implementasi kebijakan tersebut.
16
Hal ini sejalan dengan kamus webster, dalam Wahab (2012; 135),
secara lexicografis merumuskan bahwa istilah to implement
(mengimplementasikan) itu berarti to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to
(menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Hal ini berarti implementasi
kebijakan merupakan proses melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.
Kebijakan yang telah ditetapkan harus dilaksanakan atau kebijakan itu
akan sekedar menjadi mimpi dari pembuat kebijakan bila tidak dilaksanakan
seperti diungkapkan oleh pakar kebijakan asal Afrika, Udoji (1981; 32) dalam
wahab (2008; 59), dengan tegas pernah mengatakan bahwa “the execution of
policies is as important if not more important than policy-making. Policies
will remain dreams or blue print in file jakets unless they are implemented”
(pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh
lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan
sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip
kalau tidak diimplementasikan). Kebijakan yang dibuat memiliki tujuan
tertentu dan harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi
tidak semua kebijakan yang dibuat dapat dilaksanakan dan mencapai
tujuannya, karena setiap kebijakan memiliki resiko untuk gagal. Seperti yang
dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn (1986) dalam Wahab (2012; 129).,
kegagalan kebijakan (policy failure) ini dalam dua kategori besar, yaitu :
a. Non-implementation (tidak terimplementasikan)
Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu
kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena
pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau
bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja
setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan, atau mungkin permasalahan yang digarap di luar
jangkauan kekuasaan, sehingga betapapun gigih usaha mereka,
hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi.
Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.
17
b. Unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil)
Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi ketika suatu
kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun
mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan-semisal
tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan (coup de’ tat),
bencana alam, dan lain sebagainya, kebijakan tersebut tidak berhasil
dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.
Biasanya, kebijakan yang memiliki risiko untuk gagal itu disebabkan
oleh faktor berikut: pelaksanaannya jelek (bad execution),
kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), kebijakan itu
memang bernasib jelek (bad luck).
Kegagalan atau berhasilnya kebijakan tergantung dari tindakan-
tindakan dari aktor pelaksananya, seperti yang dikemukakan oleh Van Meter
dan Van Hom (1975), merumuskan proses implementasi sebagai “those
actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the
achievement of objective set fort in prior policy decision” (tindakan-tindakan
yang di lakukan baik oleh individual/pejabat-pejabat atau kelompok
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijakan) (dalam wahab, 2012; 135).
Untuk mengkaji keberhasilan kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan salah
satu model implementasi yang dikemukakan oleh Goerge C. Edwards III.
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C.
Edwards III, dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan buah pertanyaan, yakni: prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil, dan hambatan-
hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards
berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membiacarakan
empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik.
Faktor-faktor tersebut adalah (Winarno, 2008; 174-208) :
18
1. Komunikasi
Berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi
dan/atau publik dan sikap serta tanggapan dari pihak yang terlibat
(Nugroho, 2012; 693).
a. Transmisi
Merupakan faktor pertama yang berpengaruh terhadap
komunikasi kebijakan adalah transmisi. Transmisi memprioritaskan
pada penguatan pendapat diantara aktor pelaksana kebijakan, agar
tidak terjadi hambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini aka n menimbulkan
hambatan-hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi
kebijakan.
b. Kejelasan
Instruksi-instruksi yang diberikan kepada para pelaksana
kebijakan harus jelas sehingga tidak mengaburkan pesan awal dari
kebijakan tersebut. Selain itu kurangnya kejelasaan dapat
menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan (Winarno,
2008; 177). Dalam mengimplementasikan kebijakan, setiap instruksi
yang diberikan harus di informasikan dengan jelas.
c. Konsistensi
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka
perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas (Winarno,
2008; 177). Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan tujuan dari
kebijakan tersebut tidak akan tercapai.
2. Sumber daya
Sumber daya berkaitan dengan ketersediaan sumber daya
pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan
kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan
secara efektif (Nugroho, 2012; 693). Sumber daya tersebut dapat
berwujud sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Sumberdaya
19
meliputi sumber daya manusia (staf) yang memadai serta keahlian-
keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang
dan fasilitas-fasilitas (Winarno, 2008; 181).
a. Staf
Staf merupakan sumber yang paling penting dalam melaksanakan
kebijakan. Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak
selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan, tetapi
profesionalitas dan kompetensi merupakan faktor yang mendukung
efektifitas proses pelaksanaan kebijakan.
b. Informasi
Informasi merupakan sumber penting yang kedua dalam
implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk, yaitu
informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan
data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-
peraturan pemerintah (Winarno, 2008; 183-185). Informasi mengenai
kebijakan baru perlu disosialisasikan kepada pelaksana kebijakan
untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai peraturan, agar tidak terjadi
kesalahan komunikasi diantara pelaksana kebijakan.
c. Wewenang
Wewenang dalam satu organisasi akan berbeda dengan organisasi
lain dalam melaksanakan suatu program kebijakan. Wewenang pada
umumnya bersifat formal, agar perintah dapat dilaksanakan secara
efektif.
d. Fasilitas
Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber penting dalam
implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang
memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan
mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi
tanpa fasilitas yang memadai pelaksanaan kebijakan akan terganggu.
20
3. Disposisi (Kecenderungan-kecenderungan)
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitment, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono,
2011; 91). Dengan kata lain, disposisi merupakan kesedian dari pelaksana
kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
a. Dampak dari disposisi (kecenderunga-kecenderungan)
Jika pelaksana kebijakan mendukung dan berkomitmen terhadap
kebijakan tersebut, maka implementasi kebijakan akan berjalan
dengan lancar, tetapi apabila pelaksana kebijakan tidak berkomitmen
terhadap kebijakan tersebut maka akan terjadi hambatan dalam
pelaksanaan kebijakan.
b. Beberapa Insentif
Menurut Edrwads, salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan
memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang
bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi
insentif-insentif oleh para pembentuk kebijakan tingkat tinggi besar
kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana
kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau
biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para implementor melaksanakan perintah dengan baik
(Winarno, 2008; 198). Pemberian insentif ini berdasarkan kriteria
tertentu agar hasilnya tidak menyimpang.
4. Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara
sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial
dalam kehidupan modern. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan
mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup
21
keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam
pelaksanaannya mungkin mereka masih dihambat oleh struktur-struktur
organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut.
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai
Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, seperti
dijelaskan di bawah ini.
a. Standar Operasional Prosedur (SOP)
Salah satu dari aspek-aspek struktual paling dasar dari suatu
organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standard
Operating Procedures (SOP). Dengan menggunakan SOP, para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP
juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam
organisasi-organisasi yang kompleksitas dan tersebar luas, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat
dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan
kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan.
Organisasi-organisasi dengan Standard Operating Procedures (SOP)
yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes
mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggungjawab yang baru
ketimbang birokrasi-birokrasi tanpa menpunyai Standard Operating
Procedures (SOP).
b. Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam
melaksanakan kebijakan adalah fragmentasi organisasi.
Tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara
beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan
tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan
kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan juga akan mempunyai
pengaruh dalam mendorong fragmentasi. Sifat multi dimensi dari
banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi.
22
Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah
usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-
alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong para
birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mengadopsi model yang
dikemukakan oleh George C. Edwards III dalam dalam mengkaji
keberhasilan dan hambatan implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik
Indonesia di Radio Republik Indonesia Banjarmasin tahun 2013 dengan
menggunakan indikator komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur
birokrasi yang dilihat dari aspek kelembagaan, anggaran, dan program.
Dimana keempat indikator tersebut dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan Model Edwards III
Komunikasi
Sumber Daya
implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi
23
1.4.4. Lembaga Penyiaran Publik
Lembaga penyiaran publik sejalan dengan pemikiran Habermas pada
abad ke-17 di Eropa tentang ruang publik (public sphere) yang terletak antara
komunitas ekonomi dan negara, di mana publik melakukan diskusi yang
rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap
pemerintah (Habermas, 1993; 43).
Ruang publik menurut Habermas adalah wilayah kehidupan sosial
yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Mereka sebetulnya
adalah orang-orang privat, bukan dengan kepentingan bisnis atau
professional, tetapi dalam percakapan mereka membentuk suatu publik,
sebab bukan soal-soal pribadi yang dipercakapkan melainkan kepentingan
umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam hal seperti ini orang
privat menjadi publik. Lebih lanjut Habermas menekankan bahwa lembaga
penyiaran publik adalah akar dari pencerahan bangsa.
Prinsip-prinsip penyiaran publik menurut UNESCO meliputi empat
hal, yaitu :
a. Universality
Tujuan dari penyiaran publik adalah egalitier dan demokratis
dengan menepatkan semua warga negara pada pijakan yang sama.
Penyiaran publik harus dapat diakses oleh setiap warga negara di
seluruh negeri. Dengan membuat program yang dapat diakses
oleh seluruh penduduk.
b. Diversity (Keragaman)
Penyiaran publik harus memiliki keragaman setidaknya dalam
tiga cara yaitu : gaya atau aliran program yang ditawarkan, target
pendengar dan subyek yang dibahas. Penyiaran publik harus
mencerminkan keragaman kepentingan umum dengan
menawarkan berbagai jenis program.
c. Independence (Independen)
Penyiaran publik harus lepas atau bebas dari tekanan komersial
dan pengaruh politik.
24
d. Distinctiveness (Kekhasan)
Penyiaran publik harus memiliki kekhasan atau berbeda dengan
lembaga penyiaran yang lain. Program penyiaran publik harus
mampu mengidentifikasikan apa yang menjadikan mereka
memiliki ke khasan atau membedakan mereka dari layanan
lembaga penyiaran lainnya.
Pembiayaan lembaga penyiaran publik harus independen dari tekanan
komersial dan politik. Pembiayaan lembaga penyiaran publik bisa dibiayai
negara melalui pajak ijin penyiaran atau pendapat negara yang tidak terkait
dengan kondisi pemerintahan dan fluktuasi ekonomi.
Sedangkan menurut Eric Barendt (dalam Mendel, 2000; 33), Lembaga
penyiaran publik menurut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. General geographical availability (Siaran harus menjangkau
seluruh wilayah geografi yang ada),
b. Concern for national identity and culture (Menaruh perhatian
pada identitas nasional dan budaya),
c. Indepedence from both the state and commercial interest (Netral
terhadap kekuasaan negara dan kepentingan komersial),
d. Impartiality of programmes (Seimbang dalam program siaran),
e. Range and variety of programmes (Program siarannya bervariasi
dan memenuhi seluruh lapisan masyarakat),dan
f. Substantials financing by general charge on users (Keuangan
yang kuat dimana dibiayai oleh publik).
Terinspirasi oleh Lasswell (1946), Sendjaja (2001; 1) dalam Mufid
(2010; 79) menguraikan fungsi sosial media penyiaran publik yang cukup
signifikan, yaitu sebagai berikut :
a. Pengawas sosial (social surveillance), yaitu merujuk pada upaya
penyebaran informasi dan interpretasi yang obyektif mengenai
berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan
sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
25
b. Korelasi sosial (social correlation), merujuk pada upaya
pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu
kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu
pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai
konsensus.
c. Sosialisasi (socialization), merujuk pada upaya pewarisan nilai-
nilai dari satu generasi kegenerasi lainnya, atau dari satu
kelompok ke kelompok lainnya.
Menurut McQuail, Senjaja (2001; 3) dalam Mufid (2010; 80),
menguraikan urgensi media penyiaran publik adalah untuk menjunjung nilai-
nilai yang banyak ditinggalkan oleh media komersial, seperti independensi,
solidaritas, keanekaragaman (opinin dan akses), objektivitas, dan kualitas
informasi.
Lembaga penyiaran publik dalam menjalankan fungsinya
mewujudkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar (right
to know) dan hak masyarakat untuk mengekspresikan diri (right to
expression).
Lembaga penyiaran publik menyelenggarakan siaran sesuai dengan
apa yang menjadi perhatian publik dan meningkatkan kualitas dengan
memberdayakan individu dan kelompok sosial untuk berpartisipasi secara
penuh dan wajar untuk bangsa. Penyelenggaraan siaran ditujukan
memantapkan identitas nasional dan masyarakat serta untuk menggerakan
masyarakat dan merubahnya dengan akses yang universal tetapi tetap
memberikan perhatian pada kaum minoritas. Dana diperoleh dari publik dan
negara dan penyelenggara siaran tetap menjaga jarak dengan kelompok
kepentingan tertentu.
1.5. Konsep Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah
disampaikan sebelumnya, peneliti membuat konsep aspek kelembagaan
dengan mengadaptasi model implementasi kebijakan George C. Edward III
yakni, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi, dan konsep
26
aspek program menggunakan prinsip-prinsip penyiaran publik sebagai kajian
subtansi dari implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005
tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di lembaga
penyiaran publik RRI Banjarmasin. Konsep tersebut dapat dilihat dalam tabel
di bawah ini :
Tabel 1.
Konsep Penelitian
No Konsep Makna Indikator
1.
Aspek
kelembagaan
penyiaran publik
di lihat dari :
a. Komunikasi
b. Sumber daya
Bagaimana kebijakan
dikomunikasikan
kepada organisasi dan
sikap serta tanggapan
dari pihak yang terlibat.
Ketersedian sumber
daya pendukung dan
sumber daya manusia
yang berkompeten di
bidangnya untuk
melaksanakan
kebijakan tersebut
Pelaksana kebijakan
mengetahui isi
kebijakan tersebut.
Terlaksananya
koordinasi dalam unit
dan antar unit dalam
organisasi LPP RRI
Banjarmasin.
Tercukupinya
kebutuhan sumber daya
manusia, anggaran, dan
sarana prasarana dalam
mendukung
pelaksanaan PP No.12
Tahun 2005 di RRI
Banjarmasin
27
c. Disposisi
d. Struktur
Birokrasi
Komitmen para pejabat
terhadap implementasi
PP No 12 Tahun 2005
meliputi sikap dan
pemahaman para
pejabat
Bagaimana struktur
birokrasi, norma-
norma, dan pola
hubungan yang terjadi
dalam birokrasi di
dalam
mengimplementasikan
PP No 12 Tahun 2005
Adanya Komitmen
pimpinan terhadap
pelaksanaan PP No 12
Tahun 2005.
Adanya SOP dalam
pembagian tugas dan
kegiatan.
Pendelegasian
wewenang dalam LPP
RRI Banjarmasin
Adanya koordinasi
yang baik dalam
penyelenggaran siaran
publik
2. Aspek program
siaran dilihat dari
:
Prinsip-prinsip
penyiaran publik
Sebagai media yang
menjaga integritas
nasional dan nilai-nilai
lokal masyarakatnya
serta untuk
mewujudkan hak
masyarakat untuk
mendapatkan informasi
yang benar (right to
know), dan
mengekspresikan diri
(right to expression).
Universality,
Keragaman dan akses
publik,
Independensi,
Kekhasan,
Obyektifitas, dan
Jangkauan siaran
28
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini jenis deskriptif
kualitatif. Karena jenis deskriptif kualitatif memang diarahkan untuk
mengetahui kondisi suatu objek pada masa kini. Jenis penelitian ini cocok
digunakan untuk mendeskripsikan dan menilai Implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di Radio Republik Indonesia Banjarmasin
Tahun 2013 beserta aspek-aspek terkait.
1.6.2. Metode Penelitian
Creswell (1998) dalam Herdiansyah (2010; 76) menyatakan bahwa
studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan pada
eksplorasi dari suatu bounded system pada satu kasus atau beberapa kasus
secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang
melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Salah satu
ciri khas dari studi kasus adalah adanya bounded system. Yang dimaksud
dengan bounded system adalah adanya batasan dalam hal waktu dan tempat
serta batasan batasan dalam hal kasus yang diangkat. Ciri lainnya dari studi
kasus adalah keunikan dan kekhasan dari kasus yang diangkat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,
sesuai dengan 7 Tipe penelitian dalam kebijakan komunikasi yaitu melihat
daya guna suatu kebijakan. Selain itu, studi kasus juga dapat digunakan untuk
memahami fenomena dalam implementasi kebijakan. Penggunaan metode ini
tentu sesuai dengan kebutuhan penulis yang ingin mendapatkan jawaban atas
rumusan masalah yang telah diajukan.
1.6.3. Fokus Penelitian
Fokus penelitiannya pada analisis keberhasilan dan hambatan
pelaksanaan kebijakan komunikasi (Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio
Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013).
29
1.6.4. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pegawai Radio
Republik Indonesia Banjarmasin terkait dengan implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio
Republik Indonesia.
1.6.5. Lokasi Penelitian
Di stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin di kota
Banjarmasin JL. Jend. A. Yani KM 3,5 No. 7 Banjarmasin 70234,
Kalimantan Selatan.
1.6.6. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
Pengamatan langsung atau observasi, wawancara mendalam dan analisis data
sekunder.
1.6.6.a. Observasi
penulis melakukan observasi di lapangan sesuai dengan
lokasi penelitian yang di tentukan. Observasi di lakukan terhadap
kegiatan dan proses kegiatan implemetasi penyiaran publik di LPP
RRI Banjarmasin. Data yang dikumpulkan dan dicatat berupa perilaku
pelayanan, kondisi bangunan, dukungan sarana dan prasarana serta
jaringan infrastruktur yang digunakan dalam implementasi penyiaran
LPP RRI Banjarmasin.
1.6.6.b. Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam
terhadap informan guna mendapatkan informasi yang lebih jelas dan
mendalam tentang berbagai hal yang diperlukan dalam hubungannya
dengan implementasi LPP di RRI Banjarmasin. Sedangkan teknik
wawancara bersifat terbuka dengan tujuan agar responden dapat
memberikan jawaban dan pandangan seluas-luasnya. Agar
wawancara tetap berada dalam konteks penelitian maka wawancara
disertai pedoman wawancara yang dapat berkembang sesuai dengan
30
kebutuhan penulisan tesis ini. Adapun yang menjadi informan dalam
penelitian ini adalah :
a. H. La Sirama, S.Sos, MM sebagai Kepala Stasiun Radio Republik
Indonesia Banjarmasin,
b. Nauval Sahupala, S.Sos, MM sebagai Kepala Bidang Layanan dan
Pengembangan Usaha Radio Republik Indonesia Banjarmasin,
c. Bahriansyah, S.Sos sebagai Kepala Bidang Teknologi Media Baru
Republik Indonesia Banjarmasin,
d. Dra.Sjahbanah Bahdar, M.Si sebagai Kepala Bidang Pemberita
Radio Republik Indonesia Banjarmasin,
e. Drs. Said Abdillah Sebagai Kepala Bidang Program Siaran
Republik Indonesia Banjarmasin, dan
f. Drs. Abu Bakar, M.AP Kepala Bagian Tata Usaha Radio Republik
Indonesia Banjarmasin.
g. Noorsyarifah, SH Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Program
Radio Republik Indonesia Banjarmasin
h. Hj.Gt.Rasyidah, S.AB Kasub. Bag Keuangan Radio Republik
Indonesia Banjarmasin
i. Rusdiah, Staf seksi SDM Radio Republik Indonesia Banjarmasin
j. Fakhri Wardhani, S.Sos Wakil Ketua KPID Kalimantan Selatan
k. Fachrian Noor, Pengurus Forum Pemerhati Radio Republik
Indonesia Banjarmasin
Dipilihnya pejabat-pejabat tersebut dengan asumsi pejabat-
pejabat ini sangat relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini
dilakukan.
1.6.6.c. Analisis Data Sekunder
Analisis data sekunder dilakukan dengan meninjau
dokumen-dokumen yang mencakup kebijakan lembaga penyiaran
publik di Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin dan dokumen
lain berupa laporan-laporan atau literatur kepustakaan yang relevan
dengan tujuan penelitian.
31
1.6.7. Teknik Analisis Data
1.6.7.a. Penyajian Data
Alur yang digunakan dalam penyajian data, menurut
Matthew dan Michael dalam Miles dan Huberman (1992; 20) dibagi
tiga, yakni:
a. Reduksi data. Reduksi data dalam penelitian ini diartikan sebagai
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data dari hasil penelitian di
lapangan. Pada tahap ini reduksi data merupakan bagian dari
analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
memilah data yang diperlukan dan yang tidak, mengorganisasi
data dengan cara yang spesifik hingga dapat menarik kesimpulan
dan memverifikasi kesimpulan tersebut.
b. Penyajian data. Penyajian data kualitatif yang dimaksud adalah
sekumpulan informasi yang disusun untuk memberi
kemungkinan ada penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
c. Kesimpulan dan verifikasi. Bagian terakhir dalam penyajian data
kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Penarikan
kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan berupa deduksi
suatu konfigurasi. Pembuktian kembali atau verifikasi dilakukan
untuk mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas
dapat tercapai
1.6.7.b. Analisis Data
Data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi
serta data sekunder yang sudah diolah dan disajikan kemudian akan
dianalisis dengan kerangka konsep yang sudah digambarkan dalam
penelitian ini (tabel 1). Selanjutnya akan dianalisis dan dimaknai
dengan menggunakan perspektif kebijakan komunikasi, khususnya
tentang lembaga penyiaran publik di Indonesia.
32
1.6.8. Batasan Penelitian
Deskripsi tentang implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di
Radio Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013 dilihat dari aspek
kelembagaan penyiaran publik meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi,
struktur birokrasi dan aspek program siaran berdasarkan prinsip penyiaran
publik.
1.6.9. Perspektif Penelitian
Agar data dalam penelitian memilik sebuah makna, maka diperlukan
perspektif untuk memaknainya. Sehingga dalam penelitian ini, akan
digunakan beberapa perspektif yang salah satunya adalah perspektif
administrasi publik yang dirumuskan oleh Charles Edward III tentang
Implementation problems approach yang meliputi faktor pendukung dan
penghambat suatu kebijakan publik.
1.6.10. Sistematika Tesis
Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, konsep
penelitian, metodologi penelitian, teknik analisis data, batasan
penelitian, perspektif penelitian dan sistematika tesis.
Bab II : Tinjauan Umum Objek Penelitian berisi tentang Profil RRI
Banjarmasin dan uraian tata kerja LPP RRI Banjarmasin
Bab III : Hasil Penelitian, berisi tentang Implementasi Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2005 (aspek kelembagaan penyiaran publik
meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan
aspek program siaran berdasarkan prinsip penyiaran publik),
Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005,
dan Faktor pendukung dan penghambat.
Bab IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran