Post on 03-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jawa dalam kehidupannya menghasilkan kebudayaan yang
tercermin dalam perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu,
kehidupan manusia dan masyarakat Jawa sebagai makhluk sosial juga selalu
dihadapkan dengan segala bentuk permasalahan hidup, sehingga manusia selalu
dituntut mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Salah satu permasalahan yang
selalu dihadapi masyarakat adalah permasalahan kesehatan. “Kesehatan dan
penyakit merupakan permasalahan utama yang dihadapi umat manusia sejak awal
keberadaan umat manusia itu sendiri. Berbagai cerita mengenai penyakit selalu
muncul dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa” (Prasetya,
2009:13). Penyakit dalam suatu masyarakat pun menjadi suatu ancaman manusia
dalam mempertahankan kelangsungan hidup dari kelompoknya, akibatnya
berbagai pengetahuan timbul untuk merespon penyakit.
Manusia sebagai makhluk yang berakal akan selalu mengembangkan
pengetahuannya untuk menghadapi dan merespon permasalahan hidupnya
termasuk permasalahan tentang kesehatan dan penyakit. Bentuk respon oleh
manusia terhadap permasalahan penyakit dalam kehidupannya bermacam-macam,
ada yang dipengaruhi oleh lingkungan, ideologi dan gagasan, serta nilai-nilai yang
diyakini dalam suatu kelompok masyarakat. Kosmologi semacam inilah yang
turut mempengaruhi etiologi dan respon penyakit dari suatu masyarakat1. Bentuk
1 Kosmologi Jawa menurut Endraswara, (dalam Triratnawati, 2011) adalah wawasan manusia
Jawa terhadap alam semesta, dan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah pengetahuan atau
2
respon masyarakat terhadap permasalahannya tersebut secara antropologi
dipengaruhi oleh kebudayaan, baik kebudayaan material maupun kebudayaan
immaterial. Manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak tampak, yang
ada di luar batas panca inderanya dan di luar batas akalnya. Frazer (dalam
Koentjaraningrat, 1980:221; Syam, 2011:33) mengemukakan bahwa “manusia
memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi
akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya” yang disebut dengan teori batas
akal. Persoalan-persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal
kemudian dipecahkan dengan magic atau ilmu gaib, hal ini terutama terjadi pada
masyarakat pedesaaan (tradisional).
Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Jawa penyakit terbagi
ke dalam penyakit dalam dan luar, sehingga dalam meresponnya pun akan
berbeda. Menurut Geertz (1989:131-133) semua orang Jawa berpendapat bahwa
ada dua jenis penyakit yang pokok: satu jenis yang bisa ditemukan sebab-sebab
fisiknya dan bisa disembuhkan dengan pengobatan dokter yang dididik secara
medis Barat; yang kedua adalah penyakit yang tidak bisa ditemukan sebab-sebab
secara medis, tetapi si pasien masih saja sakit, ini merupakan jenis penyakit yang
hanya mampu diobati oleh para dukun.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suseno (2001:181) bahwa
“umumnya masyarakat desa Jawa mengenal dukun, begitu pula yang ada di Desa
Tanggulangin Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Di sana ada semacam
dukun berjenis kelamin laki-laki yang biasanya disebut dengan istilah dongke.
kerangka berpikir masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh dunia mikrokosmos dan makrokosmos
yang mempengaruhi gagasan, artefak, dan tindakan manusia Jawa. Khsusnya yang mempengaruhi
pemanfaatan pengobatan tradisional kepada dongke.
3
Para dongke dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Dongke dikenal oleh
masyarakat melalui informasi (Jawa: getok tular) dari beberapa pasien dongke.
Di tengah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, masyarakat Jawa
[Desa Tanggulangin] masih mempercayai kekuatan supranatural di luar
kemamuan manusia. Masyarakat percaya bahwa dunia manusia juga mempunyai
ketergantungan dengan dunia supranatural. Dunia Jawa dimaknai sebagai
keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Akibatnya, dalam konteks
kesehatan, khususnya etiologi penyakit masyarakat mengenal sakit supranatural.
Sakit akibat gangguan supranatural ini biasanya direspon masyarakat ke dukun
(Tanggulangin: dongke). Selain dongke digunakan sebagai praktisi penyembuh
dalam medis tradisional, masyarakat juga menggunakan jasa dongke untuk
mengetahui hari-hari baik dalam suatu ritus adat, misalnya ritus perkawinan,
khitanan, maupun acara lain yang dinilai masyarakat mempunyai nilai sakral.
Seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan rasional
serta banyaknya layanan kesehatan yang tersedia di Tuban. Ternyata tidak hanya
masyarakat awam saja yang menggunakan jasa dongke sebagai praktisi
penyembuh dan pemimpin ritual adat. Tokoh agama pun juga masih percaya dan
menggunakan jasa dongke. Uniknya, dongke sebagai praktisi penyembuh
menggunakan sistem numerologi/petungan sebagai basis perhitungan Jawa.
Petungan yang digunakan oleh dongke untuk pengobatan berlandaskan pada hari
dan weton menurut masyarakat Jawa. Petungan-petungan tersebut biasanya
digunakan untuk mengetahui sumber atau agen penyakit dan menentukan
bagaimana cara merespon penyakit berdasarkan jenis penyakit. Eksistensi dongke
sangat bertentangan dengan dunia modern yang berlandaskan dengan rasionalitas
4
serta bertolak belakang dengan ikon masyarakat Tuban yang dikenal sebagai kota
Wali2. Dari sisi lain, terdapat fenomena yang menarik tentang pengobatan medis
tradisional dalam konteks kosmologi masyarakat terkait etiologi dan pengobatan
sakit yang menggunakan basis petungan Jawa. Berbicara tentang pengobatan
dongke, tidak hanya berbicara mengenai sistem medis pengobatan tradisional,
tetapi juga terkait dengan sistem kepercayaan, tradisi, dan magis yang akan
dianalisa dalam konteks kosmologi Jawa yang menganut model keseimbangan
alam antara dunia mikrokosmos maupun makrokosmos.
Alasan lain dilakukannya penelitian yang bertemakan etnomedisin, yaitu
untuk menggali pengetahuan lokal yang berbasis pada komunitas. Hal ini sesuai
dengan kebijakan pemerintah yang ingin mensurvei secara skala nasional untuk
mengetahui kearifan lokal masyarakat (Tunggal, 2012). Wawasan sebagai
pengetahuan lokal masyarakat Tanggulangin yang terekspresikan lewat
pemanfaatan dongke menjadi salah satu kajian etnomedisin yang dimaksud
pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah,
yaitu mengapa animo masyarakat Desa Tanggulangin pergi berobat ke dongke
masih tinggi, seiring perkembangan zaman yang semakin ilmiah, modern, dan
rasional? Mengingat pula pembangunan kesehatan yang sudah mulai membaik.
2 Masyarakat Kabupaten Tuban dikenal dengan masyarakat yang banyak wali-nya, sehingga
masyarakatnya diinterpretasikan sebagai masyarakat yang religius.
http://jokolelonokosti.wordpress.com/2009/10/25/wisata-tuban-nan-agamis/ di unduh 26/10/2011.
5
Hal ini dapat terlihat dengan fasilitas rumah kesehatan dengan adanya rumah sakit
dan puskesmas di Kabupaten Tuban.
Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka peneliti menguraikannya ke
dalam beberapa pertanyaan penelitian yang berguna untuk menguraikan dan
membantu menjawab rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana pengetahuan lokal masyarakat Desa Tanggulangin mengenai sehat,
sakit, dan penyebab sakit?
2. Bagaimana masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit? Dan
bagaimana pencegahan terhadap penyakit?
3. Pilihan rasional yang bagaimana yang mempengaruhi masyarakat pergi berobat
ke dongke?
Rumusan pertanyaan di atas disusun guna mengetahui pengetahuan lokal
terkait pengobatan tradisional dalam konteks kosmologi Jawa. Kosmologi
semacam inilah yang akan berusaha dibaca oleh peneliti dalam menganalisis
tingginya fenomena masyarakat berobat ke pengobatan sistem medis tradisional
(dongke). Selain itu, juga akan dikaitkan dengan perubahan dan pilihan rasional
masyarakat dalam merespon sakit.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menjelaskan tingginya animo
pengobatan ke dongke dalam konteks kosmologi Jawa sebagai pengetahuan lokal
yang dikaitkan dengan perubahan-perubahan dan pilihan-pilihan rasional yang
terjadi di Masyarakat Desa Tanggulangin. Adapun sub tujuan penelitian yang
akan dilakukan, yaitu sebagai berikut:
6
1. Mengungkap pemahaman masyarakat mengenai konsep sehat-sakit dan
penyebab sakit di Tanggulangin.
2. Menjelaskan cara masyarakat mengidentifikasi dan merespon penyakit serta
perilaku pencegahan penyakit.
3. Mendeskripsikan perubahan-perubahan sosial dan pilihan rasional masyarakat
dalam melakukan pengobatan.
Selain itu, tulisan ini merupakan kerangka yang berusaha menganalisis
tindakan dalam konteks kosmologi berpikir masyarakat Tanggulangin. Penelitian
ini tidak hanya sekedar mendeskripsikan dan mengetahui fenomena yang ada pada
masyarakat Tanggulangin, tetapi lebih jauh akan bergerak untuk mengisi
khasanah keilmuah (teoritis) dalam bidang antropologi kesehatan. Apabila kajian
etnomedisin biasanya mengungkap sisi pengobatan dari dalam (cara
pengobatannya/teknis), maka tulisan ini berusaha mencari kerangka berpikir
mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan dengan cara melihat etnomedisin
tidak dari dalam, tetapi dari luar.
1.4 Tinjauan Pustaka
Kepustakaan yang dibahas dalam tulisan ini merupakan literatur yang
membahas etnomedisin, yang searah dengan apa yang akan dilakukan oleh
peneliti. Kepustakaan sebagai data bukan berfungsi sebagai data duplikasi, tetapi
sebagai bukti keorisinalitasan peneliti dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya.
Beberapa hasil kajian entomedisin yang peneliti gunakan untuk
menunjukkan keorisinalitasan tulisan, antara lain adalah karya Riyanto (1999)
yang mengkaji konstruksi sosial budaya dukun pada masyarakat Banyuwangi.
Riyanto memfokuskan kajiannya tentang bagaimana masyarakat
7
menginterpretasikan seorang dukun, bagaimana seorang dukun memberikan
makna terhadap dirinya sendiri (self image), dan strategi apa yang harus dilakukan
agar kehadirannya diakui oleh masyarakat. Penelitian Riyanto menghasilkan
simpulan dengan melihat perbedaan dukun modern dan tradisional dari cara
pengobatan seperti strategi pengiklanan yang merupakan bagian dari pengobatan,
interpretasi, dukun yang membangun relasi sosial, pemaknaan dukun terhadap
dirinya sendiri terkait perannya sebagai penyembuh. Hal ini hampir sama
pengamatan Suwarna dan Febriane, bahwa fenomena dunia penyembuhan
alternatif-supranatural di era konsumsi seperti saat ini sangat mementingkan citra.
Dulu, penyembuh identik dengan orang tua yang disebut “Mbah”, namun seiring
dengan perkembangan media komunikasi yang semakin maju, tidak sedikit dari
para pelaku atau praktisi penyembuh tradisional mulai membangun citra dirinya
melalui radio dan televisi (TV). Hal ini terbukti dengan seringnya acara pada TV
dan radio dengan siaran eksklusif pengobatan alternatif dengan praktisi yang
mendapat julukan Jeng (Suwarna, Budi & Sarie Febria dalam Kompas.com,
2011).
Sementara studi lain, yaitu Walcott (2004:52-54) memfokuskan
penelitiannya pada adanya faktor dalam pemilihan pengobatan seperti faktor
ekonomi, kepercayaan, dan kebudayaan yang saling berpengaruh. Berbagai jenis
pengobatan alternatif, pengobatan yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan lebih
mudah diterima. Hubungan diantara pengobatan alternatif dengan pengobatan
modern tidak dianggap sebagai hubungan yang bersaing.
Kajian etnomedisin yang paling banyak dikaji oleh peneliti di Indonesia
adalah pengobatan tradisional yang pengobatannya memanfaatkan ramuan
8
tanaman yang banyak tumbuh di masyarakat Indonesia yang dijadikan sebagai
jamu. Kajian-kajian tersebut masih belum memperhatikan kemampuan
supranatural orang yang melakukan penyembuhan. Pengkajian semacam itu, dapat
dilihat dalam beberapa artikel tentang pengobatan yang ditulis diberbagai media
seperti (Anonim, 1980:57-59; Lum, 1984:111; Supardi, Jamal, & Badan, 2005-
192-198; Prastika, 2011:1-18; Kuntorini, 2005:25-36; Limananti dan Triratnawati,
2003:11-20). Selain itu juga dapat ditemukan dalam buku Jawa Serat Centhini
(Sudardi, 2002:13; Kasniyah, 1997).
Beberapa kajian etnomedisin yang mencoba menggali pengetahuan lokal
masyarakat dan kondisi praktisi sistem medis tradisional salah satunya dilakukan
oleh Iskandar (2007) yang mengkaji pengetahuan sando tentang etiologi dan
metode penyembuhan di Desa Pakuli Provinsi Sulawesi Tengah. Iskandar belum
menggali pengetahuan lokal dengan mendalam, tetapi mengklasifikasikan praktisi
sistem medis tradisional. Menurutnya ada dua tipe sando, yaitu sando perahu dan
sando pengenalan. Sando perahu lebih konservatif terhadap perubahan pola-pola
pengobatan (Jawa: duku tiban). Sementara sando pengenalan lebih terbuka untuk
memodifikasi dan mengembangkan metode pengobatannnya. Deskripsi lain yang
dapat saya interpretasikan adalah sebutan untuk sando bisa dianalogikan dengan
dukun sebagaimana sebutan praktisi kesehatan pada masyarakat Jawa. Hal ini
terlihat pada pendeskripsian Iskandar bahwa sando juga bisa mengobati patah
tulang (sando koto atau mpeonju) dan menangani persalinan, ini mirip dengan
dukun sangkal putung dan dukun bayi pada masyarakat Jawa. Selain itu, struktur
masyarakat yang diteliti oleh Iskandar juga kurang dijelaskan di dalamnya.
Menurut saya, kaitan antara struktur sosial-budaya masyarakat akan
9
mempengaruhi pola pikir dan respon terhadap sistem sakit yang ada pada
masyarakat (hubungan kausalitas), sehingga keberadaannya jangan diabaikan.
Beberapa studi di atas, menurut peneliti masih belum mengungkap secara
mendalam pengetahuan lokal terkait dengan konsep sehat-sakit, penyebab dan
pencegahan sakit, cara masyarakat merespon dan mengidentifikasi sakit. Beberapa
diantaranya belum ada yang menghasilkan etnografi yang mengkaitkan
pengetahuan dan pilihan pengobatan dengan alam pikiran masyarakatnya
(kosmologinya). Selain itu, penelitian tentang etnomedisin masih banyak yang
membahas dari dalam (cara pengobatan/teknis), tidak melihat kosmologi berpikir
mengapa masyarakat melakukan suatu tindakan. Kekosongan yang demikianlah
yang akan berusaha peneliti ungkap melalui tulisan ini.
Selain itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang
sebelumnya adalah upanya peneliti melihat perubahan pengetahuan lokal dan
gejala penyakit yang menyerang pasien yang akan digali dengan konteks kekinian
dan kelokalan. Selain itu, menurut Geertz elemen yang sangat terpenting dalam
sebuah pengobatan tradisional adalah kondisi pemberi obat (condition of the
performer) yang dikaitkan dengan etiologi penyakit masyarakat (Geertz,
1989:123-127). Hal inilah yang juga kurang diperhatikan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya. Dari penelitian-penelitian di atas, maka peneliti tertarik dan akan
menganalisa lebih komprehensif kajian etnomedisin dengan pendekatan
etnosains. Selain untuk melihat klasifikasi-klasifikasi, pendekatan ini juga untuk
mengalisis pengetahuan lokal terkait pilihan rasional dalam pengobatan pada
masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
10
Guna mendukung dan memberikan arah dalam penelitian, literatur
tambahan dipakai untuk mempertegas dan menunjukkan keaslian penelitian yang
akan dilakukan. Hal ini merupakan landasan berpijak peneliti ketika akan
menguraikan hasil penelitian untuk dapat mendeskripsikan hubungan-hubungan
yang terjadi dengan data yang diperoleh di lapangan, antara lain:
1.4.1 Sistem Medis Tradisional pada Masyarakat Jawa
Sistem medis tradisional akhir-akhir ini lebih menarik perhatian dan
mungkin lebih banyak yang memanfaatkannya dibanding masa-masa sebelumnya.
Artinya bahwa akhir-akhir ini pengobatan tradisional ada kecenderungan menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menderita suatu penyakit. Hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional di tahun 2010 dan 2011 didapatkan bahwa pengobatan
penyakit dari masyarakat yang terserang sakit dengan pengobatan sendiri baik
pengobatan modern maupun tradisional sebanyak 68,41 % (2010:38) dan 68,70 %
(2010:11). Sementara dari pengobatan yang dilakukan dengan cara medis
tradisional sebanyak 22,26% di tahun 2008; 24,24% di tahun 2009; dan 27,58% di
tahun 2010 (2011:149). Prosentase ini menunjukkan bahwa angka pengobatan
yang dilakukan secara mandiri dan pilihan pengobatan medis tradisonal
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pengobatan dengan menggunakan
sistem medis tradisional seperti inilah yang justru menjadi pilihan masyarakat.
Menurut ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bahri, sebelum adanya
pengobatan modern, masyarakat dulu memanfaatkan jasa dukun yang kemudian
dikembangkan menjadi pengobatan alternatif. Pada zaman modern pun banyak
juga masyarakat yang lebih mendahulukan berobat ke dukun daripada ke dokter.
(Bahri, 2012).
11
Jauh sebelum mengenal dokter, masyarakat Indonesia sudah mengenal
pengobatan tradisional. Djauzi (2011) menjelaskan, pada praktiknya di
masyarakat, pengobatan tradisional terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu pengobatan
alternatif dan pengobatan komplementer dengan tujuan yang sama, yaitu untuk
menjaga dan mendapatkan kesehatan masyarakat. Diterima atau tidak, nyatanya
pengobatan alternatif hidup di tengah masyarakat. Hal ini juga didukung oleh
ketidaksembuhan semua pasien yang pergi berobat ke medis modern (Suwarna,
Budi dan Yulia Septhiani dalam Kompas.com, 2011). Lebih lanjut menurut Gould
(dalam Sciortino, 1999:164) pengobatan tradisional masih didukung dan dipilih
oleh masyarakat yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang
lebih rendah. Sementara masyarakat yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi dan
pendidikan yang lebih tinggi lebih mendukung pengobatan biomedis. Ahimsa-
Putra (dalam Triratnawati, dkk 2005:16) menyatakan bahwa apa yang dilakukan
oleh dokter juga melengkapi apa yang dilakukan oleh kajian kesehatan dalam
perspektif sosial-budaya, dan begitu pula sebaliknya.
Pengobatan pada umumnya dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu
pengobatan modern dan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang ada
sering disebut dengan berbagai macam istilah. Hal ini sangat tergantung pada
kehidupan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Kepustakaan antropologi
mengistilahkan pengetahuan pengobatan tradisional disebut sebagai etnomedisin
dengan praktisi yang disebut shaman (penyembuh). Sementara di beberapa daerah
pengobatan yang dilakukan oleh praktisi tradisional misalnya di masyarakat Kaili
disebut dengan sando, Jawa pada umumnya dengan dukun, Cina Shinsei, di India
dengan tabib, begitu pula dengan masyarakat Tuban yang menyebutnya dengan
12
istilah dongke. Beberapa istilah lain yang sama dengan etnomedisin adalah
pengobatan non-medis, pengobatan lokal, pengobatan alternatif, pengobatan
pribumi, pengobatan non-barat, pengobatan asli Indonesia, pengobatan sistem
medis tradisional (lihat, Sciortino, 1999: Triratnawati, 2005: Foster dan Anderson,
2006).
Berdasarkan pengelompokannya, sistem medis tradisional yang ada pada
masyarakat Desa Tanggulangin tergolong sistem medis lokal3. Sesuai dengan
penyebutannya, sistem medis lokal hanya berkembang dan dikenal di dalam lokal
atau daerah tertentu saja. Apabila ada persamaan dalam pemikiran dan praktik
pengobatan antara pengobatan medis lokal satu dengan yang lainnya, lebih
disebabkan pada temuan sendiri atau akibat adanya kontak budaya yang saling
berpengaruh antara daerah satu dengan daerah yang lainnya.
Sistem medis tradisional sebagai sistem medis lokal lahir tidak terlepas
dengan etiologi penyakit dan alam pikiran masyarakatnya. Menurut Clement
(dalam Soehardi, 2000:114) ada lima macam penyebab utama etiologi penyakit
dalam masyarakat non-industri, yaitu tenung/santet (sorcery), hilang semangat
(soul lost), melanggar tabu, gangguan benda berpenyakit, dan gangguan roh atau
makhluk halus. Etiologi semacam ini dapat dijumpai pada masyarakat yang masih
tradisional. Sementara menurut Foster dan Anderson (2006:63-64) membagi
etiologi sakit menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1) Sistem-Sistem Personalistik
3 Lihat tulisan Joyomartono, 2003: 63) secara geografis dan setting budaya sistem medis dapat
dikelompokkan dalam tiga gabungan, yang terdiri dari sistem medis lokal, sistem medis regional,
dan sitem medis kosmopolitan.
13
Suatu sistem dimana penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi agen aktif
berupa makhluk supranatural (dewa), makhluk bukan manusia (hantu, roh
leluhur/roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir/tenung).
2) Sistem-Sistem Naturalistik
Penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi.
Sistem-sistem naturalistik, mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat
terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan
tubuh (humor atau dosha), yin dan yang, dalam keadaan menurut usia dan
kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan sosialnya. Apabila
keseimbangan ini terganggu, maka akan muncul penyakit.
Selain di atas, maka Foster dan Anderson juga menambahkan sebab sakit
akibat percampuran konsep personalistik dan konsep naturalistik, seperti jenis
penyakit yang datangnya dari roh jahat yang menimbulkan gangguan pada
keseimbangan cairan dalam tubuh (Bakta, 1991:189). Selain faktor antropologis,
ternyata menurut Jones dan Bartlett, secara psikologis dan sosial juga dapat
menyebabkan timbulnya sakit, misalnya stres yang dialami oleh manusia. Stres
dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah meningkat, tegangan otot
meningkat, dan aktivitas metabolik meningkat (2004:4). Penyebab Stres ini dapat
terjadi karena faktor organisasional, individu, dan lingkungan (2004:7). Bahkan
dalam analisanya menyatakan di awal tahun 1970-an dari semua penyakit dan
kesakitan yang terjadi, 60 % berkaitan dengan stres. Dari hasil temuan barunya
sekitar 80 % semua masalah yang berkaitan dengan kesehatan disebabkan atau
diperburuk dengan stres (2004:29). Sementara menurut Hendranata ada lima hal
yang perlu diperhatikan untuk menjaga kesehatan, yaitu dengan menjaga
14
keharmonisan pikiran, perkataan, teman, lingkungan, dan pekerjaan (2005:8).
Akibatnya tekanan karena stres juga mampu menjadi faktor penyebab kondisi
kesehatan seseorang.
Masyarakat Jawa menyebut penyakit sebagai akibat gangguan faktor
supranatural atau personalistik sebagai penyakit “ora lumrah” atau “ora sabaene”
(tidak wajar atau tidak biasa). Hal ini penyembuhannya berdasarkan pengetahuan
secara supernatural, misalnya melakukan upacara dan sesaji. Upacara ini
dimaksudkan untuk menetralisir atau membuat keseimbangan agar sebab sakit
dapat dikembalikan pada asalnya, sehingga orang tersebut sehat kembali.
Sementara konsep naturalistik, penyebab penyakit bersifat natural dan
mempengaruhi kesehatan tubuh, misalnya karena cuaca, iklim, makanan, racun,
bisa, kuman atau kecelakaan. Di samping itu ada unsur lain yang mengakibatkan
ketidakseimbangan dalam tubuh, misalnya dingin, panas, angin atau udara
lembab. Oleh masyarakat Jawa hal ini biasa disebut dengan penyakit “lumrah”
atau biasa.
Masyarakat Jawa sangat menjaga keseimbangan alam, antara dunia
makrokosmos dan mikrokosmos. Keseimbangan ini dijaga dengan berbagai
aktivitas, baik dalam ranah ide, maupun dengan serangkaian aktivitas, seperti
ritual religi. Keharmonisan alam dan tubuh manusia akan tetap seimbang apabila
manusia selalu menjaga energi keharmonisan alam dengan badan, jiwa, dan hati
(emosi). Menurut Hendranata keseimbangan merupakan penyembuhan alami
ketika manusia mengalami kesakitan, selain karena alam pula manusia
memperoleh peristiwa sakit (2005:12). Keseimbangan ini telah lama terbentuk
dalam masyarakat Jawa dalam konteks kosmologi masyarakat Jawa. Hal
15
terpenting yang tidak bisa ditinggalkan adalah pengetahuan masyarakat itu sendiri
tentang pemahaman sehat-sakit, penyebab sakit, dan pemaknaannya terhadap
lingkungan (alam dan sosial).
Menurut Galanti (2008:21) terdapat 3 model penyakit yang disebut dengan
health belief models yang diidentifikasi oleh ahli antropologi kesehatan, yaitu
magico reliogius model, biomedical model, dan holistic model. Berdasarkan
ketiga model tersebut, maka pengobatan yang dilakukan dongke termasuk pada
magico religius model (penyakit dilihat sebagai akibat religi, melanggar tabu,
melawan dewa, yang ditafsirkan oleh pihak ketiga) dan holistic model (penyakit
terjadi karena adanya ketidakseimbangan). Magico reliogius dan holistic model,
juga menjadi ciri model penyakit bagi negara-negara yang sedang berkembang,
termasuk pedesaan Jawa, dibandingkan biomedical model yang dominan di negara
maju.
Pengetahuan tentang pengobatan sistem medis tradisional dalam
pelaksanaannya bisa bersifat umum dan khusus. Kategori umum pengetahuan
pengobatan bisa dilakukan sendiri, seperti apabila sedang masuk angin maka
pengetahuan akan pengobatan sakit itu cukup dengan kerokan atau minum-
minuman dari obat-obatan tradisional yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan
(Triratnawati, 2005; Hull, 1979; www:http//Tim Koordinasi Siaran Direktorat
Jenderal Kebudayaan. 1995). Sedangkan pada kategori khusus, gejala atau
penyakit yang diderita dalam pengobatannya tidak bisa dilakukan sendiri atau
sembarang orang. Dalam hal ini, maka biasanya masyarakat Jawa pergi berobat
kepada praktisi pengobatan sistem medis tradisional yang disebut dengan dukun.
16
Pernyataan ini seperti apa yang sudah dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam
Purwadi dan Geertz 4.
Pengobatan dukun juga dikenal konsep cocog-kesesuaian-yang begitu
penting dalam ramalan, angka memainkan peranan penting juga di sini. Seorang
dukun yang terkenal dan pintar belum tentu mampu mengobati pasien, ini artinya
ia tidak cocog. Seseorang apabila terserang sakit, ia mencoba dukun demi dukun
sampai kepada dukun yang benar-benar mampu menolongnya (Geertz, 1989:122-
123).
1.4.2 Konsep Sehat, Sakit, dan Sembuh
1.4.2.1 Konsep Sehat
Konsep “sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan
komunitas dan pengalaman medis modern (peneliti) dan masyarakat. Sehat
berdasarkan pendekatan oleh peneliti, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh
Linda Ewles & Ina Simmet (dalam Dumatubun, 2002:46) mencakup 6 kompunen,
yaitu: konsep sehat dilihat dari segi jasmani, mental, emosional, sosial, aspek
spiritual, dan societal.
4 Koentjaraningrat (dalam Purwadi, 2004:13) mengemukakan bahwa dukun mempunyai arti sangat
luas. Bukan hanya orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan saja yang mendapat sebutan seperti
itu, tetapi juga orang yang menjalankan praktik penyembuhan tradisional, ilmu gaib, dan ilmu
sihir. Sebutan dukun bahkan tidak hanya untuk orang yang melakukan aktivitas ilmu gaib saja,
melainkan juga untuk orang yang ahli dalam membantu wanita pada waktu melahirkan, yaitu
dukun bayi, ahli pijat yang disebut ahli pijat, ahli sunat yang dinamakan dukun calak, atau ahli rias
pengantin yaitu dukun paes.
Geertz (1989:116) yang menyatakan bahwa ada beberapa dukun: yaitu meliputi dukun bayi, dukun
pijet, dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen),
dukun temanten atau ahli upacara perkawinan, dukun petungan (ahli meramal, dengan angka),
dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk (spesialis yang mengobati dengan menusukkan jarum
emas di bawah kulit), dukun japa (tabib yang mengandalkan mantra), dukun jampi (tabib yang
menggunakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai obat asli), dukun siwer spesialis dalam mencegah
kesialan alami (mencegah hujan kalau orang sedang mengadakan pesta besar, mencegah supaya
piring tidak pecah pada pesta dan sebagainya), dukun tiban, tabib yang kekuatannya temporer dan
merupakan hasil dari kesatuan roh.
17
Konsep sehat yang dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO)
maka itu berarti bahwa: Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental,
and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity” (WHO
dalam Dumatubun, 2002:46-47). Pada dimensi ini jelas terlihat bahwa sehat itu
tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial
seseorang. Rumusan yang relativistik mengenai konsep ini dihubungkan dengan
kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatan adalah
sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut Helman (dalam Joyomartono, 2003:12) pada masyarakat non
industri pada umumnya mengartikan sehat sebagai suatu keseimbangan hubungan
antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan
supranatural. Sementara pada masyarakat Barat, kondisi sehat diartikan mencakup
aspek-aspek fisik psikologis dan perilaku. Hal ini juga senada dengan hasil
penelitian Dumatubun (2002:47) bahwa seseorang secara medis modern
dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas sosial lainnya, ini
berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi kondisi seseorang
dapat dikatakan sakit tergantung parameter yang digunakan, sebab persepsi
seseorang terhadap kondisi kesehatannya dipengaruhi oleh kebudayaannya.
1.4.2.2 Konsep Sakit
Menurut Supardi dan Susyanty, keluhan sakit (illness) berbeda dengan
penyakit (disease). Pengertian sakit berkaitan dengan gangguan psikososial yang
dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, sedangkan pengertian penyakit
berkaitan dengan gangguan yang terjadi pada organ tubuh berdasarkan diagnosis
18
medis dan bersifat objektif. Hal ini senada dengan Sarwono bahwa penyakit
(disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme
sebagai akibat terjadinya infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu
bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap
pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subjektif
ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Sementara menurut Hardon dalam
(Triratnawati, 2005:161-162) menjelaskan bahwa disease, illness, dan sickness itu
berbeda. Disease merupakan problem kesehatan yang didefinisikan oleh ahli
kesehatan, illness menunjuk pada pengalaman pasien, dan sickness adalah peran
sosial yang melekat pada penderita yang mengalami masalah kesehatan dan peran
itu dipengaruhi oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Koos (Foster dan
Anderson, 2006:173) “Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa,
dan budaya”5.
1.4.2.3 Konsep Sembuh
Banyak dari masyarakat yang ketika terserang sakit menginginkan cepat
sembuh. Akibatnya ketika gejala sakit menyerang, individu yang terserang sakit
langsung meresponnya sesuai dengan gejala sakit yang dirasakannya (Sudiyanto,
2009:1). Menurut teori health belief model menyatakan bahwa seseorang akan
mencari atau melakukan tindakan untuk menyembuhkan penyakit jika dia benar-
benar merasa terancam oleh suatu penyakit (Sarwono, 2004).
5 Menurut Hendranata (2005:8) stres dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi kesehatan
seseorang.
19
Secara umum menurut Sorensen (2009) kriteria kesembuhan terbagi
menjadi tiga, yaitu kesembuhan sosial, psikologis, dan medis. Secara rinci tentang
uraiannya, yaitu:
1. Kesembuhan sosial berhubungan dengan penerimaaan oleh masyarakat di
mana seseorang hidup. Jika orang-orang di sekitar tidak mempunyai suatu
masalah dengan penderita, hal itu sudah menunjukkan bahwa penderita sudah
mencapai kesembuhan sosial. Kita menjadi anggota yang produktif dari
masyarakat dan bisa berperan untuk struktur sosial dalam struktur masyarakat.
Artinya individu yang sebelumnya sakit dan tidak mampu menjalankan peran
sebagaimana mestinya, sudah sehat dan mampu menjalankan peran-peran
sosialnya di dalam masyarakat.
2. Kesembuhan psikologis dapat tercapai ketika seseorang yang setelah sakit
mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang yang berada di sekelilingnya.
Selebihnya kesembuhan dapat dirasakan ketika pasien bisa tidur nyenyak
karena merasa badannya enak dan ringan.
3. Kesembuhan medis merupakan salah satu kategori kesembuhan yang
menggunakan standar yang pasti. Standar yang digunakan jelas, yaitu
berdasarkan diagnosa uji laboratorium dengan menggunakan gejala dan tanda
dari dunia medis modern.
1.4.3 Praktisi Penyembuh dalam Pengobatan Tradisional
Berdasarkan etiologi penyakit, maka terdapat beberapa praktisi
penyembuh menurut Linda-Stone (dalam Bakta 1991:184), yaitu shaman, ahli
ramuan, dan pengobatan tradisional lain seperti dukun beranak, dukun patah
tulang, dan dukun pijat. Praktisi penyembuh pada masyarakat Jawa sering disebut
20
dengan dukun. Menurut Kasnodihardjo (2005:58), ada beberapa kategori dukun
yang secara tradisional umumnya dikenal atau dianggap dapat menyembuhkan
penyakit, yaitu: dukun bayi, dukun pijat, dukun klenik, dan dukun mantra.
Jenis terapi tradisional dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar.
Kategori pertama, terdiri dari terapi teknis-sekuler yang menggunakan „ilmu lahir‟
(ilmu luar, teknis atau alami) seperti pengobatan mandiri dengan jamu-jamuan dan
pijit serta dukun bayi, dukun atau tukang pijat, dan penjual jamu. Semua spesialis
ini menerapkan metode-metode pengobatan yang bersifat teknis ketika melakukan
pengobatan.
Kategori kedua, terdiri dari terapi-terapi yang menggunakan „ilmu batin;
(ilmu spiritual) seperti dukun „prewangan‟ dan dukun kebatinan. Pengobatan
selalu menggunakan kekuatan batin si dukun atau pembantu supernaturalnya
meskipun dapat pula dokombinasikan dengan praktik yang bersifat teknik seperti
pijit atau jamu-jamuan. Agar mampu melakukan pengobatan semacam ini,
seseorang harus mempunyai pengetahuan yang melampaui pemahaman rasional
mengenai dunia nyata melalui meditasi dan puasa (Sciortino, 1999).
1.4.4 Perubahan Sosial dan Perubahan Pilihan-Pilihan Rasional Masyarakat
dalam Pengobatan
Sebelum masyarakat mengenal pengobatan medis modern, masyarakat
sudah mengenal dan memanfaatkan sistem medis tradisional6. Namun seiring
dunia yang semakin modern dan berbagai penemuan dalam teknologi, telah
banyak mempengaruhi sistem medis itu sendiri yang mendorong pada
6 Djauzi (2011) ibid
21
perkembangan medis modern. Perubahan ini disambut positif oleh masyarakat,
sehingga mendorong pengobatan medis modern berkembang dengan pesat.
Dengan adanya perubahan-perubahan ini, maka mengakibatkan
pengobatan medis modern dipandang lebih ampuh, ilmiah, dan rasional apabila
dibandingan dengan pengobatan sistem medis tradisional. Kecenderungan yang
pertama dialami oleh negara-negara maju. Sementara di negara-negara yang
sedang berkembang, meskipun sudah ada pembangunan medis modern, namun
pengobatan tradisional tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia sebagai
negara yang sedang bekembang, pembangunan yang demikian mengakibatkan
masyarakatnya dihadapkan pada pilihan-pilihan, khususnya masyarakat pedesaan
Jawa. Satu posisi masih menggunakan medis tradisional, tetapi juga menggunakan
teknik komplementer dengan medis modern7. Pilihan-pilihan yang mendua ini
dipengaruhi perubahan sosial dan pilihan rasional yang dihubungkan kondisi dari
masyarakat untuk mencapai tujuannya8. Kondisi yang demikian karena
masyarakat sedang mengalami perubahan, dari tradisional9 menuju modern.
Namun sebelum mencapai suatu masyarakat yang modern, terlebih dahulu
7 Suwarna, Budi dan Yulia Septhiani dalam Kompas.com, 2011; Sciortino, 1999:164; Ahimsa-
Putra (dalam Triratnawati, dkk 2005:16) menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dokter juga
melengkapi apa yang dilakukan oleh kajian kesehatan dalam perspektif sosial-budaya, atau
sebaliknya. 8 Kimin menjelaskan bahwa obat baru sebagai produk dari dunia rasional belum tentu menjamin
aman bagi konsumennya. „Jangan abaikan obat lama, dan jangan anggap obat yang baru beredar
sebagai obat paling baik,” demikianlah nasihat ahli farmakologi yang sering dikumandangkan.
Pendapat ini untuk menggugah masyarakat agar lebih rasional dalam mengkonsumsi obat. Dari hal
ini masyarakat mulai beralih ke tradisional-komplementer. 9 Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat
istiadat lama, ditandai masyarakat yang masih tergantung dengan alam, dan berorientasi pada
masyarakat kota [modern].
22
masyarakat akan mencapai suatu titik yang dinamakan sebagai masyarakat
transisi10
(Ifzanul, 2009).
Menurut Sulistiana (2011) model teori pilihan rasional melihat individu
dalam latar belakang sosial dan membuat pilihan tindakan atau keputusan
berdasarkan kepercayaan dan tujuan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa model
pilihan rasional menyediakan aturan berdasarkan pengalaman dan praktek atau
petunjuk praktis, ”rule of thumb” tentang bagaimana (mekanisme) suatu tindakan
itu dipilih. Teori ini melihat penentuan pilihan sebagai sebuah proses untuk
mengoptimalkan dan mengefisienkan tujuan11
. Lebih lanjut Heckathorn (dalam
Sulistiana, 2011) juga menjelaskan bahwa teori pilihan rasional mempunyai
struktur umum yang mencakup terminologi teoritik yaitu, sebagai berikut; (1)
sekumpulan aktor yang berfungsi sebagai pemain dalam sistem, (2) Alternatif-
alternatif yang tersedia bagi masing-masing aktor, (3) Seperangkat hasil yang
mungkin diperoleh dari sejumlah alternatif yang tersedia bagi aktor, (4) Pemilihan
kemungkinan hasil oleh aktor, dan (5) Harapan aktor terhadap akibat dari
parameter-parameter sistem.
Coleman menjelaskan orientasi pilihan rasional bahwa "orang-orang
bertindak untuk mencapai tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau preferensi",
tetapi Coleman kemudian berpendapat bahwa untuk kebanyakan tujuan teoritis, ia
10
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke
masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah
kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
Dengan ciri mengalami perubahan ke arah kemajuan, adanya pergeseran dalam bidang tertentu,
dan biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota melalui jalan raya. 11
Roen (2011) yang menjelaskan bahwa aktor merupakan manusia yang mempunyai tujuan dan
tindakannya tertuju pada upaya mencapai tujuan itu. Gagasan dasarnya ialah “tindakan
perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh
nilai atau pilihan (preferensi). Selanjutnya, ia pun berargumen bahwa untuk sebagian besar tujuan
teoritis, dihubungkan juga dengan ekonomi, yakni aktor akan memaksimalkan keuntungan atau
pemuasan kebutuhan dan keinginannya.
23
akan memerlukan konseptualisasi yang lebih tepat terhadap aktor rasional yang
berasal dari ekonomi, yang melihat aktor yang memilih tindakan-tindakan itu
yang akan memaksimalkan utilitas, atau kepuasan kebutuhan dan keinginan
mereka. Bagi Coleman bahwa teori rasional juga sangat dipengaruhi oleh proses
internalisasi keluarga, sehingga proses pilihan rasional juga secara tidak langsung
akan dipengaruhi oleh cara berpikir yang sudah ditanamkan dari kecil oleh
anggota keluarga. Coleman melihat internalisasi norma-norma sebagai
pembentukan sistem sanksi internal; orang memberi sanksi dirinya sendiri bila
mereka melanggar norma. Oleh karena itu, demi kepentingan satu set aktor untuk
meminta yang lain menginternalisasi norma dan dikendalikan oleh mereka. Dia
merasa bahwa ini adalah rasional "ketika upaya tersebut dapat efektif untuk
mencapai tujuan (dalam Sulistiana, 2011).
1.5 Landasan Teori
Pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisa pengetahuan lokal
pada masyarakat Desa Tanggulangin adalah pendekatan etnosains. Peneliti
menggunakan pendekatan etnosains untuk mengungkap pengetahuan lokal
mengenai sistem medis tradisional yang mengacu pada rumusan masalah di atas.
Hal ini dilakukan, karena selama ini dalam sistem pengobatan masih mengabaikan
sistem pengetahuan lokal terutama yang berangkat dari perbedaan konsep sehat-
sakit yang berimplikasi pada cara pengobatannya. Sistem pengetahuan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal tineliti tentang praktik
pengobatan dongke sebagai pengobatan sistem medis tradisional. Dengan kajian
ini, maka peneliti akan menggali secara mendalam dan komprehensif mengenai
permasalahan penelitian. Melalui pendekatan ini pula, akan memperoleh hasil
24
penelitian yang bersifat komprehensif dan mempunyai representasi yang tinggi
terhadap hasil etnografi.
Pada kajian antropologi, pendekatan etnosains berasal dari pendekatan
fenomenologi yang dalam penjelasannya menggunakan model linguistik. Menurut
Warner dan Fento (dalam Ahimsa-Putra, 1985:110) mengenai istilah etnosains
sendiri ada yang menyebutnya dengan “the new ethnography”, cognitive
anthropology”, dan “ethnography semantic” serta “descriptive semantics”.
Sementara kata ethnoscience secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethnos
yaitu bangsa, dan kata Latin scientia, pengetahuan. Maksudnya dalam kajian ini
yang lebih ditekankan adalah pengetahuan lokal dari tineliti dengan tujuan
menggali pengetahuan lokal mengenai hal tertentu yang dipandang unik dan khas
yang berbeda dari sistem masyarakat yang lainnya. Ahimsa-Putra (1985)
mempertegas bahwa etnosains merupakan pendekatan antropologi yang
menekankan makna yang menghasilkan klasifikasi-klasifikasi yang berusaha
mengetahui sistem pengetahuan yang mendasari tingkah-laku individu dalam
masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Marzali (dalam Spradley, 1997).
Oleh sebab itu, etnosains merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu
komunitas budaya12
.
Darmana mengatakan bahwa pendekatan etnosains itu mempelajari atau
mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu yang
menekankan pada pengetahuan asli dan khas dari suatu komunitas budaya
(Darmana, 2008:4). Kajian etnosains, tidak lagi memandang budaya dari aspek
peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris. Budaya diangkat
12
Etnosains akan memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat
mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran dan kemudian menggunakan budaya tersebut
dalam kehidupan.
25
berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang
berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan
mereka benar atau salah, tepat atau tidak tepat menurut pandangan luar (outsider),
tetapi mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan masyarakat
yang diteliti (insider). Tugas peneliti lebih ke arah menjelaskan kepada publik
tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertugas mensistematiskan
pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian (Ahimsa-Putra,
1985:104-111; Darmana, (2008:5). Penutur penduduk asli kemungkinan akan
mengungkapkan bahasa asli dan keyakinan asli dengan pengetahuan yang
dimilikinya, itulah yang diangkat oleh peneliti. Peneliti sependapat dengan
Ahimsa-Putra (1997:55) mengenai pengungkapan makna dari tineliti yang
diungkap dengan wawancara, memahami kategori lingkungan dan aturan sebab
makna tersebut tersimpan dalam bahasa. Maka yang akan peneliti lakukan adalah
mengadakan observasi dan wawancara dengan tineliti terkait masalah yang akan
disajikan dalam tesis ini.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Desa Tanggulangin, Kecamatan
Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Alasan peneliti tertarik kajian ini,
karena banyaknya peneliti yang mengabaikan cara pikir masyarakat yang
mendorong dilakukannya pengobatan. Terutama dalam konteks kosmologi dari
masyarakat lokal, khususnya Jawa (Tanggulangin). Hal yang juga kurang
diperhatikan adalah pengungkapan secara mendalam pengetahuan lokal terkait
konsep sehat-sakit, etiologi penyakit yang mempengaruhi pilihan berobatan.
26
Kalaupun ada hasil penelitian yang menggali konsep sehat-sakit, tetapi masih
sangat jarang yang menghubungkannya dengan etiologi sakit dan pemilihan
sumber pengobatan pada masyarakat lokal. Selain itu, etnomedisin yang ada di
Kabupaten Tuban masih dapat dikatakan belum tersentuh oleh para peneliti
sebelumnya. Kajian ini menjadi menarik ketika mampu menjadi pembeda dan
melengkapi literatur tentang etnomedisin itu sendiri. Terlebih ketika dihubungkan
dengan berbagai perubahan dan pilihan-pilihan rasional masyarakat dalam
mencari pengobatan yang akan dianalisa dari luar (tidak melihat teknis
pengobatan yang dilakukan oleh dongke).
Berdasarkan hasil pengamatan bulan Januari 2012, masih banyak
masyarakat yang masih memanfaatkan dongke sebagai tenaga medis tradisional
dalam menangani sakit yang diderita masyarakat. Penelitian ini, selain dilakukan
pada tataran masyarakat, juga dilakukan di instansi pemerintah lokal, dalam hal
ini adalah aparatur Desa Tanggulangin seperti kepala desa dan kaurnya.
Pengumpulan data secara resmi dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Maret
2013.
1.6.1.2 Pemilihan Informan
Pemilihan informan penting dilakukan agar data yang didapat nantinya
sesuai dengan tujuan penelitian serta bisa mendeskripsikan jawaban atas
permasalahan penelitian. Berdasarkan rumusan masalah penelitian, informan
terdiri atas (1) pasien yang memanfaatkan jasa dongke dan dongke, (2) aparatur
pemerintah lokal, dan (3) masyarakat secara umum yang tahu tentang pengobatan
dongke, termasuk yang berobat ke sistem medis modern.
27
1.6.1.3 Pengumpulan Data
Analisa yang digunakan mengacu pada pendekatan etnosains yang
memfokuskan pada sistem pengetahuan yang mendasari perilaku dan makna-
makna yang diberikan oleh individu terhadap tindakannya dan juga terhadap
sistem klasifikasi yang ada pada masyarakat. Atas dasar pertimbangan itu, maka
penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Menurut
Ahisam-Putra data kualitatif (2005),13
merupakan data yang berupa pernyataan-
pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, antara sesuatu dengan sesuatu lain.
Data kualitatif ini biasanya mengenai nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan;
kategori-kategori sosial dan budaya; ceritera; percakapan; pola perilaku dan
interaksi sosial; organisasi sosial; dan lingkungan fisik. Secara garis besar, data
kualitatif dapat digali dari sumber data primer (melalui observasi partisipasi dan
wawancara) dan data sekunder (sumber pustaka tertulis dan dokumentasi).
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan yang menekankan pada
pengetahuan dan pengalaman lokal tineliti. Terkait hal ini, maka peneliti
melakukan wawancara kepada masyarakat, pasien, dan dongke serta para aparatur
desa setempat. Studi ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif yang
akan dioperasikan melalui analisis deskriptif. Secara fundamental, dapat dikatakan
bahwa sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena yang
dikaji. Oleh karena itu, peneliti harus mengontrol diri untuk tidak bertindak terlalu
subjektif.
13
Ukuran data kualitatif adalah logika dalam menerima atau menolak sesuatu yang dinyatakan
berupa kalimat, yang dirumuskan setelah mempelajari sesuatu itu secara cermat. Data kualitatif
tidak memiliki pembanding yang pasti, karena kebenaran yang ingin dibuktikan bersifat relatif.
Bentuknya dapat berupa pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan,
tanggapan-tanggapan dan lain sebagainya tentang sesuatu atau keadaan yang berkaitan dengan
kehidupan manusia (Hadari Nawawi dalam Dzulkarnain, 2006).
28
Bagi antropolog, melakukan penelitian merupakan kerangka menuju
pembuatan etnografi. Menurut Geertz (1973:6) mengerjakan etnografi dapat
dilakukan dengan menetapkan hubungan-hubungan, menyeleksi informan,
menafsirkan teks-teks, menarik hubungan genealogis, memetakan lapangan,
menulis buku harian sebagai usaha untuk mendapatkan deskripsi yang mendalam.
Berdasarkan hal ini, maka peneliti mengerjakan etnografi berdasarkan studi
tentang manusia dalam setting yang berlangsung secara wajar, maka penelitian
dilakukan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat guna melihat,
mendengar, dan bertanya kepada seseorang (wawancara).
Secara rinci, tahap-tahap pengumpulan data dapat dilakukan sebagai
berikut: tahap awal, yaitu studi pustaka. Pemfokusan penelusuran sumber
sekunder sebagai data pendukug tesis, yaitu mengenai pengobatan tradisional.
Pencarian data yang dimaksud dapat diperoleh dari jurnal, buku, surat kabar,
skripsi, tesis, disertasi, dan internet. Sebagai studi etnografi maka pergi ke
lapangan untuk mendapatkan data dari informan langsung (data primer) mutlak
dilakukan, dengan melakukan kerja lapangan. Hasil dari kerja lapangan ini
kemudian dibandingakan hasil studi pustaka yang sudah diperoleh.
Tahap kedua, yaitu observasi. Peneliti mengobservasi kondisi geografis,
sosial, ekonomi, dan budaya tineliti. Selain itu juga memfokuskan keadaan (sosial,
ekonomi, dan pendidikan) dari perilaku pasien dongke. Sementara dari praktisi
dongke juga diobservasi terkait perilaku praktik penyembuhan dan sarana-
prasarana yang digunakan sebagai media penyembuhan. Perolehan data melalui
tahap ini, peneliti lakukan dengan berinteraksi dengan masyarakat lokal yang
diteliti, karena peneliti tinggal bersama dengan tineliti. Selama melakukan
29
penelitian, peneliti juga melakukan beberapa hal yang biasanya masyarakat
lakukan, sehingga penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang
menggunakan teknik partisipasi observasi.
Waktu pengumpulan data, peneliti melakukan teknik observasi sekaligus
wawancara (terbatas). Maksudnya, ketika melakukan pengamatan juga kadang
diselingi dengan pertanyaan kepada masyarakat terkait dengan penampakan
fenomena sosial budaya yang terkait dengan kondisi masyarakat dan pengobatan
medis tradisional yang dilakukan oleh dongke. Pada tahap ini, peneliti masih
terfokus pada pengamatan saja, namun dari apa yang peneliti dapatkan selama
observasi juga bisa dimanfaatkan oleh peneliti sebagai bahan penelitian
(wawancara) selanjutnya.
Tahap ketiga, yaitu wawancara. Beradasarkan kajian dan data yang
diperoleh dari tahap di atas, maka peneliti selanjutnya melakukan wawancara
mendalam kepada masyarakat, pasien, dan dongke sebagai praktisi sistem medis
tradisional. Sistem wawancara yang peneliti gunakan, mengacu pada satu prinsip
saturation. Apabila data yang diperoleh dari informan sudah tidak memberikan
kebaruan informasi atau sudah jenuh, maka wawancara dihentikan karena sudah
dianggap cukup (Schensul, Schensul, & LeCompte, 1999:262). Sumber data
primer (observasi dan wawancara) ini akan didukung dengan sumber data
sekunder (kajian pustaka) dalam penyusunan laporan tesis.
Wawancara peneliti lakukan dengan informan dengan situasi yang santai.
Artinya wawancara berlangsung ketika informan sedang istirahat di sore hari
setelah bekerja. Wawancara berlangsung terkadang sembari melihat TV yang
menjadi tayangan favorit informan, meskipun ketika selama wawancara
30
berlangsung tayangan TV menjadi teralihkan dengan pertanyaan peneliti atau
jawaban dari informan lain. Wawancara semacam ini dihadiri beberapa informan
dengan adanya keterwakilan dari kategori informan, seperti pasien, masyarakat
yang tahu tentang pengobatan dongke dan aparatur desa setempat. Dapat
dikatakan kegiatan wawancara semacam ini sebagai FGD (Focus Group
Discussion). Dengan demikian kegiatan wawancara bisa mengalir tanpa ada
penekanan dari peneliti. Selain itu kegiatan wawancara juga dilakukan dengan
wawancara terfokus. Kegiatan wawancara terfokus dilakukan untuk mengetahui
bagaimana pendapat informan ketika sedang santai sembari melihat TV dan santai
saat fokus dilakukan wawancara.
Tahap akhir dari penelitian ini adalah seleksi data dan penulisan tesis.
Pada tahap seleksi data, peneliti melakukan reduksi data. Selain itu, juga
memeriksa terhadap kekurangan data yang diperoleh selama penelitian, baik
waktu observasi, wawancara, maupun kajian literatur. Setelah semua dirasa
cukup, langkah terakhir adalah penyusunan tesis (etnografi) dalam bentuk
deskripsi (teks) sesuai dengan permasalahan.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi atas studi literatur dan
studi lapangan. Studi literatur dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder
berupa buku, tesis, jurnal, berita koran (on-line), khususnya yang membahas
tentang kajian pengobatan tradisional. Studi literatur juga digunakan oleh peneliti
agar tidak terjadi pengulangan representasi dalam kajian etnografi. Hal ini
dilakukan oleh peneliti untuk kesahihan data dan mendukung data temuan
lapangan selama membuat representasi hasil penelitian. Sementara data yang
31
termasuk studi lapangan termasuk data hasil wawancara dan observasi selama
penelitian lapangan.
1.6.1.4 Analisis Data
Pada proses analisis data terdapat komponen-komponen utama yang harus
benar-benar dipahami, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan
atau verifikasi (Sutopo dalam Rachman, 1999:34). Untuk menganalisis berbagai
data yang sudah ada, peneliti menggunakan metode deskriptif analitik. Analisis
data dilakukan secara induktif kualitatif bersamaan dengan proses pengumpulan
data. Menurut Miles dan Huberman (1992:20) tahap analisis data yang saling
interaktif melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
pengambilan kesimpulan.
Selain itu, penelitian ini menggunakan analisis berdasarkan analisis
kontekstual yang digunakan untuk menganalisis data sesuai dengan konteks di
mana data diperoleh. Maksudnya, yaitu melihat faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi pengobatan dongke sebagai fenomena sosial-budaya. Hal ini
digunakan untuk melihat bagaimana faktor sosial budaya masyarakat serta
berbagai perubahannya yang terjadi di Tanggulangin, serta analisis tematik untuk
menganalisis hasil penelitian sesuai dengan tema yang diteliti dan menjadi pokok
pembahasan dalam penelitian, yaitu tentang kajian Antropologi Kesehatan yang
memfokuskan kajiannya pada etnomedisin.