Post on 18-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Gereja sebagai tubuh Kristus menjadikan segala sesuatu berpusat dalam
Kristus, Kepala Gereja, ialah satu-satunya yang memerintah jemaat dengan
Firman dan Roh-Nya, sehingga tanpa Dia sia-sialah keberadaan gereja itu. Kata
gereja berasal dari bahasa Portugis, yakni Igreja. Jika ditinjau dari cara
pemakaiannya dewasa ini, maka gereja adalah terjemahan dari kata Gerika :
kyriake, yang berarti milik Tuhan, yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai
Juruselamat, persekutuan orang yang beriman kepada Yesus Kristus.1
Pada hakekatnya gereja merupakan “persekutuan orang-orang kudus, yaitu
persekutuan orang-orang yang menjadi suci kembali di hadapan Allah karena
perbuatan Tuhan Yesus Kristus”.2 Kata “Gereja” berasal dari bahasa Yunani
ekklesia (yang secara harafiah berarti “mereka yang dipanggil keluar”) hampir
sama dengan kata “kelompok” dalam arti dan penggunaannya.3
Sebagai perkumpulan orang-orang percaya, maka gereja mempunyai ciri-ciri
persamaan dengan perkumpulan duniawi lainnya. Persamaan ini nampak,
misalnya dalam hal-hal sebagai berikut : mempunyai sejumlah anggota, memiliki
peraturan-peraturan dan memiliki struktur serta unsur-unsur kepemimpinan di
dalamnya. Di pihak lain terdapat perbedaan yang prinsipil antara gereja dengan
perkumpulan duniawi tersebut. Perbedaannya terutama terletak dalam latar
belakang timbulnya gereja dan kekhususan tugasnya. Terbentuknya gereja karena
karya Kristus, tanpa persekutuan dengan Kristus, maka gereja itu tidak berhak
disebut gereja.4 Gereja memiliki tugas panggilannya untuk bersekutu, bersaksi,
dan melayani.5
1 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1973), 295.
2 R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989), 207.
3 Ronald W. Leigh, Melayani Dengan Efektif, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2002), 185-186.
4 Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1972), 173.
5 Martin B. Dainton, Gereja dan Bergereja Apa dan Bagaimana?, (Jakarta : Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 1994), 10-11.
2
Berdasarkan laporan nasional survei menyeluruh gereja di Indonesia yang
dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI, dijelaskan bahwa masalah
kepemimpinan gereja termasuk yang utama dan harus ditanggulangi secara serius
oleh gereja itu sendiri dalam mewujudkan misinya.6
Di dalam mengeksplorasi bagaimana gereja, ada dua jabatan gerejawi atau
kedudukan kepemimpinan dalam gereja setempat, yaitu penatua dan diaken :
a. Penatua
Istilah penatua, di gereja setempat menunjukkan pada jabatan yang sama
dengan uskup, penilik, gembala, dan pendeta. Hal ini dapat dilihat dengan
memeriksa kata-kata Yunani yang dipergunakan dalam Perjanjian Baru untuk
menggambarkan para pemimpin gereja. Kata yang pertama ialah
“presbyteros”, artinya orang tua, yang sulung, ketua-ketua.7 Kata “presbiter”,
diderivasi dari kata presbyteros, yang kemudian berkembang menjadi
“imam”.8
Sebagian orang berpandangan bahwa masing-masing gereja harus
memiliki seorang pendeta saja dengan menyatakan bahwa ada dua jenis
penatua, yaitu penatua yang mengajar dan penatua yang memimpin.9
b. Diaken
Jabatan diaken (diakonos) berbeda dengan jabatan penatua. Kata diakonos
adalah kata yang umum, yang berarti “pelayan” atau hamba”. Tugas-tugas
diaken dapat mencakup bidang pelayanan yang umum (dibedakan dengan
kepemimpinan rohani di gereja yang merupakan tanggung jawab para
penatua).
Salah satu tanggung jawab dewan diaken yang sangat luar biasa adalah
memastikan pelayanan pastoral tidak berhenti di dalam gereja. Ketika ada
pendeta yang mengundurkan diri, merekalah yang bertanggung jawab
menghadirkan calon-calon yang akan menggantikan jabatan pendeta itu.10
6 F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta : LPS-DGI, 1978), 346.
7 Gerhard Kittle, Theological of the New Testament, (Michigan : W. M. B. Eerdmands Publishing
Coy. Grand Rapid, 1971), 1027. 8 Dr. J. L. Ch. Abineno, Penatua Jabatannya dan Pekerjaannya , (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia,
2005), 15. 9 Dr. Ronald W. Leigh, Melayani dengan Efektif, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2002), 217-225.
10 Richard L. Dresselhaus, The Deacon and His Ministry, (Springfield : Gospel Publishing House,
1977), 43-44.
3
Oleh sebab itu, kebanyakan gereja, diaken lebih bertindak sebagai eksekutif
bisnis ketimbang hamba-hamba yang melayani.11
Dari jabatan gerejawi ini, yang paling signifikan adalah pendeta. Seorang
pendeta adalah seorang manusia biasa seperti pada umumnya warga jemaat, yang
berarti memiliki kelemahan dan kekurangan manusiawinya, selain tentunya juga
memiliki kelebihan-kelebihannya. Seorang pendeta tidak bisa dituntut untuk
menjadi pendeta yang lain, oleh karenanya, seorang pendeta tidak dapat
disbanding-bandingkan dengan pendeta yang lain yang kemudian berlanjut pada
penghargaan yang berbeda pula. Jabatan pendeta adalah jabatan panggilan untuk
mengabdikan seluruh hidupnya bagi tugas jabatan itu, karena pentahbisannya
memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan sendiri. Namun demikian, sebagai
manusia biasa juga membuat banyak hal yang kemudian menempatkan pendeta
dalam kondisi dilematis antara apa yang menjadi tuntutan dan tanggung jawab
jabatannya dengan kebutuhan pribadinya. Umumnya pendeta ditempatkan pada
posisi kepemimpinan gereja yang paling „atas‟ sebagai penghargaan atas predikat
yang diembannya, namun bukan berarti gereja yang dipimpinnya adalah gereja
miliknya sendiri yang bisa ditentukan segala-galanya.
Berbicara tentang pendeta, tidak dapat kita pisahkan dengan jemaat. Pendeta
dan jemaat dapat diumpamakan dengan dua sisi keping logam yang menyatu
dalam satu kesatuan. Keduanya saling berhubungan dan sangat terkait. Dalam hal
ini, antara pendeta dan jemaat ada suatu hubungan yang kuat yang tak dapat
dipisahkan, artinya masalah kependetaan tidak dapat kita bicarakan terlepas dari
hubungannya dengan jemaat atau pendeta tidak mempunyai peranan apa-apa jika
tidak ada jemaat. Pendeta itu ada karena adanya jemaat. Jemaat tentunya
mempunyai berbagai kepentingan dan kebutuhan. Hal inilah membuat kehadiran
seorang pendeta sebagai pemimpin mempunyai peranan yang sangat penting.
Bervariasinya kebutuhan jemaat itu menuntut seorang pendeta untuk
melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kebutuhan jemaat
tersebut. Oleh sebab itu, muncullah harapan-harapan tertentu dari pihak jemaat
terhadap pendeta. Misalkan seorang pendeta diharapkan sebagai tokoh panutan
11
Alexander Strauch, Diaken dalam Gereja Penguasa atau Pelayan?, (Yogyakarta : ANDI, 1992),
ix.
4
yang dapat memberi keteladanan kepada anggota jemaat, ia dianggap yang patut
dicontoh sebab ia yang lebih tahu tentang kebenaran, yang senantiasa
memberitakan tentang kebenaran, yang mendasari hidupnya pada Firman Tuhan
dan memberi kesaksian tentang-Nya kepada semua orang, dan mengajarkan
bagaimana kehidupan orang-orang beriman.
Selain itu, sering terjadi masalah kepemimpinan gereja yang ikut merugikan
perkembangan gereja, antara lain adanya gap (kekosongan) dalam komunikasi
antara pemimpin gereja (pendeta dan Majelis Jemaat) dengan warga gereja;
pemimpin gereja kurang memberi perhatian dalam soal pendidikan Agama
Kristen di jemaat; pemimpin gereja kurang mempersiapkan warga jemaat dalam
menghadapi tantangan sekularisme, materialisme; kadangkala pemimpin gereja
tidak berusaha mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam gereja;
adanya rasa tidak puas terhadap kepribadian pemimpin gereja; nampaknya
kemunduran dalam jemaat belum mendapat tanggapan yang secara maksimal oleh
pemimpin gereja.12
Masalah pendeta sebagai pemimpin jemaat terdapat juga dalam Gereja Kristen
Jawa (GKJ), dimana dipaparkan dalam tulisan Pdt. Broto Semedi yang berjudul
“Merenungkan Kembali Kewibawaan Pendeta”, dikatakan bahwa dalam jemaat-
jemaat GKJ sekarang terdapat krisis kewibawaan pendeta. Krisis kewibawaan
pendeta ini merupakan masalah serius sebab merugikan kehidupan jemaat
terutama dalam hal penggembalaan dan pelayanan Firman Allah yang dilakukan
oleh pendeta. Tugas pendeta pada dasarnya adalah menolong warga jemaat
(sebagai manusia yang telah diselamatkan oleh Allah di dalam dan melalui Yesus
Kristus) untuk tidak kehilangan keselamatan yang telah diperolehnya. Jadi jika si
pembawa Firman Allah dalam keberadaannya kurang dihargai maka sekaligus
mengakibatkan warga jemaat akan kurang menghargai Firman Allah yang
dibawakannya atau bentuk pelayanan lain yang dilakukannya.13
Harapan inilah yang membawa jemaat kepada pemikiran bahwa pendeta
adalah tokoh yang melekat dengan Firman Tuhan dengan demikian ia dilihat
sebagai tokoh rohaniwan yang lebih baik dari anggota jemaat. Jemaat lalu
12
S.H. Widyapranawa, Benih yang Tumbuh, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1973), 193-194. 13
-----, Majalah bulanan Warta Gereja GKJ/GKI Jateng, tahun XV, 1980, no.7&8.
5
memikirkan tokoh yang sangat ideal dari diri pendeta dengan harapan yang tinggi
dan menganggap pendeta tidak bisa berbuat salah, akhirnya keterbatasan dan
kelemahannya sebagai manusia biasa tidak lagi diperhitungkan. Dalam hal ini,
pendeta boleh dikatakan manusia super, terutama dalam menegakkan nilai-nilai
moral dan dalam kehidupan rohani. Ideal seperti ini akan membuat anggota
jemaat terlalu mengagung-agungkan pendeta, jika ia memenuhi kriteria pendeta
yang ideal tersebut, tetapi juga mereka akan memprotes pendeta yang tidak dapat
memenuhi kriteria pendeta ideal tersebut baik langsung maupun tidak. Ideal
seperti ini menyebabkan tokoh pendeta sebagai seorang manusia biasa yang
terkesampingkan.
Kriteria pendeta ideal tersebut, pada dasarnya baik akan tetapi harus
dipadukan dengan keberadaan pendeta sebagai manusia biasa yang bisa juga
keliru atau salah. Antara ideal yang tinggi dari jemaat dengan keberadaan pendeta
yang terbatas sebagai manusia biasa menyebabkan banyak kesulitan dari pihak
pendeta untuk memenuhi harapan-harapan tersebut. Dari berbagai harapan yang
ada itu, dapat kita lihat peranan pendeta di sini sangat penting dimana pendeta
perlu lebih mengenal jemaat dengan segala kebutuhan pelayanan mereka dan
mengenal diri pendeta dalam melihat kemampuan diri untuk melayani. Perlu
disadari pula bahwa karena adanya harapan jemaat yang tinggi dengan
kemampuan pendeta yang terbatas ia menemui banyak masalah dalam
menjalankan tugasnya serta dalam hal memenuhi kriteria pendeta ideal bagi
jemaat. Hal ini disebabkan disamping harapan jemaat yang terlalu ideal, harapan-
harapan tersebut cukup bervariasi. Karena sulitnya memenuhi harapan tersebut,
maka perlu dilihat harapan yang relatif bulat, yaitu harapan yang tidak terlalu
tinggi tetapi yang disesuaikan dengan kenyataan yang ada bahwa pendeta juga
manusia biasa yang punya keterbatasan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan definisi kriteria yaitu
ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu.14 Jadi kriteria
pendeta ideal ialah suatu ukuran yang menjadi dasar penilaian yang diberikan
kepada seseorang yang telah menerima jabatan kependetaan dari institusi gereja
14
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia).
6
tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan kebutuhan gereja.
Kriteria pendeta ideal juga banyak didapati di gereja-gereja Kristen Jawa.
Gereja Kristen Jawa (GKJ) merupakan gereja yang kehidupan bersama religius
yang berpusat pada penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus yang ada
di suatu tempat tertentu yang dipimpin oleh Majelis Gereja dan yang telah mampu
mengatur diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, dan membiayai diri sendiri,
berdasarkan Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata
Laksana GKJ.15
Oleh sebab itu, hakikat gereja GKJ dalam kesadaran sebagai bagian dari
keluasan kasih penyelamatan Allah kepada seluruh ciptaan, yang dijiwai oleh
nilai-nilai budaya Jawa, serta warisan tradisi teologis sesuai konteksnya yang
tidak bertentangan dengan alkitab, GKJ memahami diri sebagai kehidupan
bersama orang percaya, yang berpusat pada Yesus Kristus, dan sekaligus jawaban
manusia terhadap karya kasih penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh Kudus
bekerja.16
Gereja Kristen Jawa (GKJ) menggunakan sistem organisasi gereja presbiterial
sinodal, dimana setiap GKJ adalah gereja Allah yang mandiri yaitu gereja yang
memiliki kewenangan dan mampu mengatur diri sendiri, mengembangkan diri
sendiri, dan membiayai diri sendiri yang dipimpin oleh majelis gereja yang terdiri
atas penatua (presbyteros), pendeta dan diaken.17 Gereja Kristen Jawa (GKJ)
dalam sistem presbiterialnya dimana kepemimpinan dipegang oleh sebuah majelis
yang terdiri dari seorang pendeta dan sejumlah presbiter atau penatua yang dipilih
oleh umat.18 Pikiran dasar dari sistem atau susunan presbiterial-sinodal ialah dapat
dikatakan pimpinan atau pemerintahan gereja19 oleh Kristus sebagai Kepala dan
Tuhannya : Kepala dari tubuh-Nya dan Tuhan dari jemaat-Nya. Pimpinan dan
15
Sinode GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, (Salatiga : Sinode GKJ, 2005), 8. 16
Ceramah dalam Kursus Teologi Jemaat (KTJ) Klasis Semarang Barat, yang disampaikan oleh Pdt. Andreas Untung Wiyono, D. Min. selaku mantan ketua umum Sinode GKJ mengenai Eklesiologi GKJ tanggal 10 Juni 2016 di GKJ Semarang Barat. 17
Ibid, 4. 18
Andar Ismail, Awam dan Pendeta Mitra Membina Gereja, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2003), 175. 19
Yang dimaksudkan di sini dengan gereja ialah bukan saja gereja sebagai persekutuan, tetapi
juga gereja sebagai institute atau lembaga. Pimpina n atau pemerintah gereja seperti yang dikatakan di atas dipegang oleh Kristus sebagai Kepala dan Tuhannya. Pimpinan dan pemerintahan itu Ia jalankan dengan perantaraan pejabat-pejabat gerejawi sebagai alat atau
hamba-hamba-Nya.
7
pemerintahan ini berlangsung oleh pekerjaan Firman dan Roh-Nya.20 Dalam
sistem presbiterial sinodal, GKJ menempatkan pendeta sebagai pemimpin namun
juga sebagai pelayan, sebagai pemimpin yang pada hal tertentu mengatur namun
juga sebagai pekerja yang harus diatur. Perlakuan ambigu ini yang seringkali
menjadi benih persoalan baik bagi gereja juga bagi dirinya sendiri.
Masa pelayanan jabatan pendeta di GKJ seumur hidup, kecuali oleh karena
suatu sebab, jabatan tersebut diletakkan. Jabatan kependetaan diletakkan karena
pendeta yang bersangkutan meninggal dunia atau ditanggalkan. Untuk studi kasus
pendeta yang ditanggalkan membuat beberapa gereja-gereja Kristen Jawa
memiliki kriteria pendeta yang ideal ketika hendak memanggil/mencari pendeta.21
GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia Depok merupakan salah satu
contoh Gereja Kristen Jawa yang sedang memanggil/mencari pendeta, dimana
gereja ini memiliki kriteria ideal sesosok pendeta yang berbeda. GKJ Argomulyo
Salatiga merupakan Gereja Kristen Jawa yang terletak di pedesaan kota Salatiga
dengan kondisi sudah dewasa 2 tahun dan belum memiliki pendeta jemaat22,
sedangkan GKJ Yeremia Depok merupakan Gereja Kristen Jawa yang berada di
pinggir kota Jakarta dengan kondisi baru dewasa 23 tahun jumlah warga dewasa ±
692 jiwa dengan jumlah KK sebesar ± 215 KK23 dan sudah memiliki satu pendeta
jemaat yang melayani.
Oleh sebab itu, penulis ingin mengetahui kriteria pendeta ideal yang dimiliki
jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok dengan alasan :
(1) Gereja tersebut belum memiliki pendeta atau sedang memanggil/mencari
Pendeta; (2) Harapan jemaat terhadap seorang pendeta karena banyak pendeta
yang ditanggalkan atau menanggalkan kependetaannya dengan permasalahan
yang terjadi di gereja; (3) Banyak harapan-harapan yang ideal yang dimiliki gereja
tetapi tidak ada yang memenuhi syarat.
20
Dr. J. L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 1997),
79. 21
Salah satu studi kasus pendeta yang ditanggalkan terjadi di sebuah gereja GKJ tahun 2014 dimana pendeta kedua di jemaat ini ditanggalkan karena pendeta tersebut memiliki hutang yang sangat banyak dan melibatkan gereja untuk membayar hutang-hutangnya. 22
Data diperoleh dari wawancara dengan Pnt. Suhardi selaku Ketua Majelis Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga pada tanggal 1 Desember 2015. 23
Data diperoleh dari data gereja GKJ Yeremia Depok yang tercatat di Ruang Konsistori pada
tanggal 14 Mei 2016.
8
Dari latar belakang di atas, saya mengambil judul :
KRITERIA PENDETA IDEAL
MENURUT JEMAAT GKJ ARGOMULYO SALATIGA DAN
JEMAAT GKJ YEREMIA DEPOK
1.2 RUMUSAN MASALAH
Pada penelitian yang dilakukan, pokok masalah yang menjadi fokus analisis
dirumuskan dalam kalimat pertanyaan sebagai berikut :
(a) Apa kriteria pendeta ideal menurut jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan
jemaat GKJ Yeremia Depok?;
(b) Apa latar belakang sosio kultural yang melahirkan kriteria pendeta ideal
menurut jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah :
(a) Untuk mendeskripsikan kriteria pendeta ideal menurut jemaat GKJ Argomulyo
Salatiga dan GKJ Yeremia Depok;
(b) Untuk menganalisis latar belakang sosio kultural yang melahirkan kriteria
pendeta ideal menurut jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia
Depok.
1.4 SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan, yaitu
sebagai berikut :
(a) Memberikan masukan bagi para calon pendeta di jemaat GKJ Argomulyo
Salatiga dan para calon pendeta di jemaat GKJ Yeremia Depok, supaya di
dalam menghayati panggilannya sebagai pendeta sesuai dengan jemaat yang
memanggilnya dan mau menjadi pendeta sahabat bagi jemaatnya;
(b) Memberikan masukan bagi jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ
9
Yeremia Depok, dimana gereja tidak hanya memiliki kriteria pendeta ideal
melainkan juga gereja diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
pendeta untuk membentuk karakter pendeta menjadi lebih baik seperti yang
diharapkan;
(c) Memberikan masukan secara khusus bagi klasis dimana jemaat GKJ
Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok berada supaya
membentuk tim pendampingan pendeta yang terdiri dari Pendeta emeritus,
Pendeta-Pendeta utusan dari Klasis, maupun Majelis Jemaat dari klasis yang
bersangkutan guna membentuk karakter pendeta
(d) Memberikan masukan secara khusus bagi Sinode Gereja Kristen Jawa, bahwa
ketika ingin mengirimkan calon pendeta ke jemaat GKJ yang sedang
membutuhkan pendeta, alangkah baiknya ditelusuri terlebih dahulu kriteria
pendeta ideal seperti apa yang jemaat inginkan, sehingga tidak melukai hati
calon pendeta yang diutus.
1.5 METODE PENELITIAN
Menurut Tejoyuwono Notohadiprawiro, metode merupakan suatu kerangka
kerja untuk melakukan suatu tindakan, atau kerangka berfikir menyusun gagasan,
yang beraturan, terarah dan berkonteks yang relevan dengan maksud dan tujuan.
Berkaitan dengan upaya ilmiah, Koentjaraningrat mengartikan metode sebagai
seperangkat cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran suatu ilmu
pengetahuan.24 Seperangkat ilmu yang mempelajari metode ini yang disebut
metodologi.
Menurut Manheim, sebagaimana dikutip oleh Soekamto, penelitian dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan mengkaji (study) secara teliti, metodik dan teratur
pada suatu bidang ilmu menurut kaidah tertentu.25
“the careful, diligent, and exhaustive investigation of scientific subject matter, having as its aim the advancement of mankind’s knowledge”.
Pada judul “Kriteria Pendeta Ideal Menurut Jemaat GKJ Argomulyo Salatiga
24
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1973), 16. 25
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta : Teras, 2009), 11.
10
dan Jemaat GKJ Yeremia Depok”, yang dikaji ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif yang berbasis lapangan (field research). Hal ini menurut Saifuddin
Azwar, jenis penelitian kualitatif ini sebagai kegiatan ilmiah yang rasional,
empiris, dan sistematis, suatu penelitian sedikitnya mempunyai lima karakteristik
utama, yaitu : (a) bertujuan, artinya kegiatan penelitian tidak terlepas dari maksud
dan tujuan tertentu, (b) sistematik, maksudnya langkah-langkah yang ditempuh
sejak dari persiapan hingga penyelesaian laporan harus terencana dan mengikuti
metodologi yang benar, (c) terkendali, maksudnya dalam batas-batas tertentu
peneliti dapat menentukan fenomena-fenomena yang diamati dan memisahkannya
dengan fenomena lain yang mengganggu sudut pandang teoritisnya, (d) objektif,
maksudnya semua proses observasi, analisis yang dilakukan, dan kesimpulan yang
diambil tidak didasari oleh subjektivitas pribadi maupun pihak lain, dan (e) tahan
uji (verifiable), maksudnya penyimpulan penelitian merupakan hasil dari telaah
yang dilandaskan pada teori yang koheren dan metode yang benar.26
Selain itu, penelitian kualitatif secara umum digunakan pada ilmu-ilmu sosial
dan budaya dengan karakteristik, antara lain (1) latar belakang bersifat alamiah,
(2) peneliti menjadi instrument utama, bahkan subjek, (3) metode yang digunakan
adalah kualitatif, (4) analisis data secara induktif; dari khusus ke umum, (5) teori
dan kerangka konsepsi dari dasar; (6) bersifat deskriptif, merupakan uraian
mendalam atas fakta, (7) mementingkan proses daripada hasil, (8) adanya batas
atau fokus pada masalah yang diteliti, (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan
data, (10) desain bersifat sementara, dan (11) hasil penelitian dirundingkan,
sehingga menghasilkan kesimpulan obyektif.27
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
(interview) yang merupakan perangkat riset yang dipakai dalam bentuk kegiatan
tanya jawab secara tidak terstruktur dengan responden untuk memahami dan
mencari kedalaman analisis. Responden sebagai unit analisis terdiri dari Ketua
Majelis Jemaat, aktivis, dan anggota jemaat. Wawancara merupakan kegiatan
percakapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan terwawancara yang memberikan
26
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), 2-4. 27
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitan, 106-108.
11
jawaban atas pertanyaan tersebut dengan tujuan menggali dan mendapatkan
informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dikehendaki. Wawancara
juga diartikan sebagai interaksi sosial yang di dalamnya terdapat pertukaran atau
berbagi aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi
mengenai segala sesuatu yang ditetapkan tujuannya.28
Metode wawancara dipakai untuk melengkapi data-data dari hasil observasi
partisipasi yang belum ditemukan karena sifatnya yang kasat mata, terutama data
untuk mengungkapkan pandangan dan sikap subyek. Teknik analisas data yang
dilakukan ialah tahap pertama, dengan mengumpulkan data-data29 yang
ditemukan di lapangan, berupa fakta sosial yang hidup maupun dokumentasi
tertulis melalui observasi partisipasi, wawancara, dokumentasi.
1.6 Kerangka Penulisan
Sistematika penulisan pada tesis ini disusun menjadi lima bab yang terbagi ke
dalam sub tema terstruktur. Pada bab I memuat Pendahuluan yang mencakup latar
belakang persoalan yang diungkapkan, rumusan masalah yang difokuskan, tujuan
penelitian yang dicapai, signifikansi penelitian yang diperoleh untuk kegunaan
praksis maupun empiris, metodologi penelitian yang mencakup metode penelitian,
jenis penelitian dan instrument pengumpulan data yang digunakan, teknik analisis
data, serta kerangka penulisan untuk mensistematisasikan laporan hasil penelitian.
Pada bab II mencakup uraian mengenai Landasan konseptual yang berkaitan
dengan pendeta, yang meliputi siapa itu pendeta?, pendeta dalam jabatan gereja,
karakteristik pendeta, tipe kepemimpinan pendeta, fungsi utama dan tanggung
jawab pendeta, tugas dan pelayanan pendeta, pegangan seorang
pemimpin/pendeta. Hal yang kedua yang akan dibahas di bab II, yaitu mengenai
pemimpin Jawa, yang meliputi budaya Jawa, budi pekerti pemimpin Jawa, sikap
hidup orang Jawa, motivasi pemimpin Jawa, pedoman hidup pemimpin Jawa,
28
Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta : Salemba Humanika, 2010), 118. 29
Data di sini diartikan sebagai fakta atau keterangan-keterangan yang diperoleh dari riset dengan menggunakan instrument penelitian tertentu. Data dalam penelitian merupakan segala fakta dan angka…. Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 1987), 92-
93.
12
kepemimpinan Jawa. Hal yang ketiga yang juga akan dibahas di bab II, yaitu
mengenai pendeta GKJ (Gereja Kristen Jawa), yang meliputi pemahaman GKJ
tentang pendeta, pandangan GKJ terhadap suku dan bahasa seorang pendeta,
pandangan GKJ terhadap gender seorang pendeta, asas kepemimpinan GKJ,
kewajiban pendeta GKJ, aturan GKJ terhadap proses pemanggilan pendeta.
Pada Bab III berisi deskripsi objektif lokasi penelitian, yaitu kondisi GKJ
Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia Depok. Pada bab III ini berisi sejarah
berdirinya GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia Depok, perkembangan
jemaat semenjak berdiri hingga saat ini menurut jemaat GKJ Argomulyo Salatiga
dan GKJ Yeremia Depok, data-data tentang kriteria pendeta ideal menurut jemaat
GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok, tahapan penjaringan
pendeta yang dilakukan jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia
Depok.
Pada Bab IV berisi mengenai analisa yang dikaitkan dengan teori yang ada,
yang meliputi kriteria pendeta ideal kaitannya dengan jenis kelamin, kriteria
pendeta ideal kaitannya dengan status pernikahan, kriteria pendeta ideal kaitannya
dengan rentang usia, kriteria pendeta ideal kaitannya dengan pendidikan, kriteria
pendeta ideal kaitannya dengan IPK Kelulusan, kriteria pendeta ideal kaitannya
dengan suku bangsa, kriteria pendeta ideal kaitannya dengan kondisi kesehatan,
kriteria pendeta ideal kaitannya dengan gaya hidup/sikap hidup, kriteria pendeta
ideal kaitannya dengan domisili, kriteria pendeta ideal kaitannya dengan hobi,
kriteria pendeta ideal kaitannya dengan kepemimpinan.
Pada Bab V merupakan penutup yang mencakup kesimpulan penelitian dan
saran-saran dari hasil penelitian.