BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14674/1/T1... · 2018-04-26 · Batas usia...

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat 1 . Sedangkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain yang juga telah dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 3. Upah atau imbalan yang dimaksud adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 2 Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja 1 Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. 1, 1995. hlm.1 2 Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Buku pegangan bagi pekerja untuk mempertahankan hak-haknya), Citra aditya bakti, Bandung, C-2, 2000, hlm.47

Transcript of BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14674/1/T1... · 2018-04-26 · Batas usia...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No.

13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang

yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat1. Sedangkan pekerja/buruh

adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk

lain yang juga telah dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Bab I

Pasal 1 Ayat 3. Upah atau imbalan yang dimaksud adalah hak pekerja/buruh yang

diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau

pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu

perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan

bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau

akan dilakukan.2

Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk

tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah

berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja

disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja

1 Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. 1,

1995. hlm.1 2 Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Buku pegangan bagi pekerja untuk

mempertahankan hak-haknya), Citra aditya bakti, Bandung, C-2, 2000, hlm.47

ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20

tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah

termasuk tenaga kerja.

Di dalam dunia kerja tentu saja kita akan menjumpai berbagai permasalahan yang

ada. Salah satu dari permasalahan tentang ketenagakerjaan tersebut yaitu adalah

masalah pokok yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya

Indonesia. Seiring dengan gerak laju pembangunan di Negara kita serta tingkat

pekembangan teknologi dan industrial, maka masalah ketenagakerjaan mempunyai

peranan yang sangat strategis. Namun demikian kebijaksanaan pemerintah dalam

pembangunan tetap diarahkan pada perluasan dan kesempatan kerja bagi tenaga kerja

Indonesia. Jumlah penduduk yang terus meningkat tanpa diikuti pertambahan lapangan

pekerjaan menjadi pemicu bertambahnya jumlah pengangguran setiap tahunnya. Di

negara-negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh

lebih tinggi berdasarkan angka resmi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah. Hal

tersebut diakibatkan karena ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah

satu sumber penghasilan bagi tenaga kerja yang memiliki pendidikan.

Secara kuantitas, jumlah penduduk Indonesia memang jauh lebih banyak

dibandingkan dengan negara-negara lain dalam ASEAN. Namun, persaingan secara

kuantitas tidak akan memenangkan persaingan ketika kualitas masih jauh dibawahnya.

Oleh karena itu, masalah tenaga kerja Indonesia bukan hanya menyangkut jumlah dan

kesempatan kerja saja, melainkan juga kualitasnya yang masih rendah. 3

3 Mamat Ruhimat, Jurnal Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia dalam Era Globalisasi. 2011.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang

cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur

yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Kondisi pengangguran

dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan

potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan,

dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat

pembangunan dalam jangka panjang. Pengangguran menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah dipaparkan dalam International Labour

Organization, “ASEAN’s youth unemployment rate is similar to the global rate, it is

higher than those in East Asia and South Asia (roughly ten per cent). High youth

unemployment imposes social and economic costs and results in the loss of

opportunities for economic growth.”4

Berikut adalah gambar mengenai data jumlah pengangguran di Indonesia dari tahun

2011-2016:

Gambar 1.1.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Provinsi Tahun

2011-2016

4 ILO: The youth employment crisis: A call for action, Resolution and conclusions of the International

Labour Conference, 101st session (Geneva, 2012).

Provinsi

2011 2012 2013 2014 2015 2016

Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari

Aceh

8,62

9,00

7,94

9,06

8,34

10,12

6,75

9,02

7,73

9,93 8,13

Sumatera

Utara

7,47

8,18

6,43

6,28

6,09

6,45

5,95

6,23

6,39

6,71

6,49

Sumatera

Barat

7,51

8,02

6,49

6,65

6,39

7,02

6,32

6,50

5,99

6,89

5,81

Riau

7,51

6,09

5,29

4,37

4,19

5,48

4,99

6,56

6,72

7,83

5,94

Jambi

3,98

4,63

3,69

3,20

2,89

4,76

2,50

5,08

2,73

4,34

4,66

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)

Sumatera

Selatan

6,29

6,60

5,60

5,66

5,41

4,84

3,84

4,96

5,03

6,07

3,94

Bengkulu 3,46

3,46

2,18

3,62

2,10

4,61

1,62

3,47

3,21

4,91

3,84

Lampung

5,52

6,38

5,21

5,20

5,07

5,69

5,08

4,79

3,44

5,14

4,54

Kepulauan

Bangka

Belitung

3,31

3,86

2,82

3,43

3,22

3,65

2,67

5,14

3,35

6,29

6,17

Kepulauan

Riau

7,20

5,38

5,71

5,08

6,05

5,63

5,26

6,69

9,05

6,20

9,03

DKI Jakarta

10,86

11,69

10,60

9,67

9,64

8,63

9,84

8,47

8,36

7,23

5,77

Jawa Barat 10,01

9,96

9,84

9,08

8,88

9,16

8,66

8,45

8,40

8,72

8,57

Jawa Tengah

6,18

7,07

5,90

5,61

5,53

6,01

5,45

5,68

5,31

4,99

4,20

DI

Yogyakarta

5,54

4,39

3,98

3,90

3,75

3,24

2,16

3,33

4,07

4,07

2,81

Jawa Timur

4,24

5,38

4,16

4,11

3,97

4,30

4,02

4,19

4,31

4,47

4,14

Banten

13,62

13,74

10,68

9,94

9,77

9,54

9,87

9,07

8,58

9,55

7,95

Bali

3,00

2,95

2,23

2,10

1,93

1,83

1,37

1,90

1,37

1,99

2,12

Nusa

Tenggara

Barat

5,46

5,25

5,23

5,23

5,28

5,30

5,30

5,75

4,98

5,69

3,66

Nusa

Tengggara

Timur

2,76

3,11

2,53

3,04

2,12

3,25

1,97

3,26

3,12

3,83

3,59

Kalimantan

Barat

5,23

4,60

3,42

3,54

3,13

3,99

2,53

4,04

4,78

5,15

4,58

Kalimantan

Tengah

3,83

3,54

2,73

3,14

1,81

3,00

2,71

3,24

3,14

4,54

3,67

Kalimantan

Selatan

5,74

6,29

4,34

5,19

3,88

3,66

4,03

3,80

4,83

4,92

3,63

Kalimantan

Timur

10,90

11,43

9,48

9,02

8,94

7,95

8,89

7,38

7,17

7,50

8,86

Kalimantan

Utara

-

-

-

-

-

-

-

-

5,79

5,68

3,92

Sulawesi

Utara

9,74

10,10

8,55

7,98

7,50

6,79

7,27

7,54

8,69

9,03

7,82

Sulawesi

Tengah

4,31

6,78

3,75

3,95

2,67

4,19

2,92

3,68

2,99

4,10

3,46

Sulawesi

Selatan

6,89

8,13

6,56

6,01

5,88

5,10

5,79

5,08

5,81

5,95

5,11

Sulawesi

Tenggara

4,45

4,69

3,20

4,14

3,43

4,38

2,13

4,43

3,62

5,55

3,78

Gorontalo

4,95

6,74

4,92

4,47

4,51

4,15

2,44

4,18

3,06

4,65

3,88

Sulawesi

Barat

2,77

3,35

2,10

2,16

2,02

2,35

1,60

2,08

1,81

3,35

2,72

Maluku

8,18

10,81

7,59

7,71

6,97

9,91

6,59

10,51

6,72

9,93

6,98

Maluku

Utara

5,80

5,34

5,50

4,82

5,50

3,80

5,65

5,29

5,56

6,05

3,43

Papua Barat 6,82

6,73

6,57

5,42

4,36

4,40

3,70

5,02

4,61

8,08

5,73

Papua

3,84

5,02

3,03

3,71

2,91

3,15

3,48

3,44

3,72

3,99

2,97

Indonesia

6,96

7,48

6,37

6,13

5,88

6,17

5,70

5,94

5,81

6,18

5,50

Data di atas menjelaskan tingkat permasalahan yang ada di Indonesia kaitannya

dengan pengangguran yang ada di Indonesia. Namun permasalahan di Indonesia bukan

hanya seputar pengangguran saja, ada banyak permasalahan lain terkait dengan

ketenagakerjaan. Permasalahan-permasalahan tersebut telah dijelaskan oleh penulis di

paragraf sebelumnya.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia,

setelah Cina, India, dan Amerika Serikat sedangkan negara kelima yang memiliki

penduduk terbesar adalah Jepang. Indonesia dengan jumlah penduduk 254,9 juta jiwa

berdasarkan sensus penduduk tahun 2015, menyatakan bahwa penyerapan tenaga

kerja hingga Februari 2014 masih didominasi oleh penduduk yang bekerja dengan

berpendidikan rendah yaitu Sekolah Dasar (SD) ke bawah sebanyak 55,3 juta orang

(46,80 persen) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 21,1 juta (17,82

persen). Penduduk bekerja dengan berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12,0 juta

orang mencakup 3,1 juta orang (2,65 persen) berpendidikan Diploma dan sebanyak 8,8

juta orang (7,49 persen) berpendidikan hingga tingkat Universitas. Kondisi seperti ini

merupakan sebuah tantangan yang besar terkait dengan datangnya MEA tahun 2015

lalu, dan tentu saja hal ini menyebabkan Indonesia yang memiliki sumber daya manusia

atau tenaga kerja melimpah, bisa disalurkan untuk mempercepat proses pembangunan

Indonesia.5

Data terakhir World Development Indicators Bank Dunia menunjukkan bahwa

Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengangguran terendah untuk tenaga kerja

dengan tingkat pendidikan tersier, relatif terhadap tingkat pengangguran yang sama di

5 Data Badan Pusat Statistik Indonesia yang diunggah pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 21.18

negara-negara di kawasan Asia Pasifik, yakni sekitar 8,7%. Angka ini jauh lebih rendah

dibandingkan negara-negara lainnya. Kondisi pengangguran yang memprihatinkan

tersebut tentu berdampak pada perekonomian di Indonesia dan permasalahan tersebut

tentu harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, apalagi Indonesia adalah

salah satu negara yang turut serta dalam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dimana

nantinya masyarakat Indonesia akan dihadapkan pada berbagai hal di sektor

perdagangan bebas yang menuntut pemerintah harus mempersiapkan diri untuk

menyusun berbagai peraturan baru untuk menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi

ASEAN) ini yang bertujuan untuk melindungi masyarakat Indonesia yang ikut serta

dalam MEA.

MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) atau AEC (ASEAN Economic Community)

adalah suatu bentuk realisasi dari tujuan integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Suatu bentuk kerjasama ekonomi ASEAN ini dimulai dengan disahkannya Deklarasi

Bangkok tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,

kemajuan sosial, dan pengembangan budaya. Namun dengan perkembangan yang ada,

kerjasama tersebut diarahkan pada pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN

(ASEAN Economic Community) yang pelaksanaanya berjalan relatif lebih cepat

dibandingkan dengan kerjasama di bidang politik-keamanan dan sosial budaya. 6

AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN dalam

mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar atau karakteristik utama

dalam pembentukan AEC:

6 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community, 2015, dalam

sebuah ringkasan eksekutif MEA.

1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan

elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal

yang lebih bebas.

2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen

peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual,

pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce.

3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan

elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN

untuk negara-negara CLMV (Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam). Keempat

negara tersebut dianggap "belum memiliki kesetaraan perekonomian" dengan

anggota ASEAN yang lain, dan keempat negara tersebut diperlakukan secara

khusus.7

4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian

global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar

kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.8

Dengan adanya 4 pilar tersebut, penulis akan menitikberatkan penelitian pada pilar

pertama, dimana ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal ini akan dibahas

secara detail mengenai permasalahan-permasalahan seputar tenaga kerja dan

perlindungan hukum yang diberikan sehubungan dengan diberlakukannya MEA pada

tahun 2015. Dalam pilar utama mengenai pasar dan basis tunggal, seluruh ASEAN

harus mampu setidaknya untuk mewujudkan MEA 2015 ini dengan melakukan

liberalisasi aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal

7 Arie Siswanto, et.al., Kesiapan UMKM Dalam Menghadapi MEA 2015, hlm.21

8 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, op.cit., hlm.9

yang bebas, sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam Cetak biru MEA. Berikut

merupakan karakteristik dan unsur-unsur MEA pilar pertama:

a. Kebebasan Arus Barang

Pada intinya kebebasan arus barang akan membawa dampak positif dalam hal

mendorong terbentuknya jaringan produksi regional yang juga akan memperkuat

posisi ASEAN sebagai kawasan pusat produksi dalam pasar global. Komponen dari

pada kebebasan arus barang ini sesuai dengan Cetakbiru MEA yaitu meliputi

penurunan dan penghapusan tarif secara signifikan maupun penghapusan hambatan

non-tarif sesuai skema AFTA (ASEAN Free Trade Area). Disamping itu, perlu

dilakukan peningkatan fasilitas perdagangan yang diharapkan mampu memperlancar

arus perdagangan ASEAN seperti prosedur kepabeanan, melalui pembentukan dan

penerapan pelayanan satu pintu atau ASEAN Single Window (ASW), dan juga

mampu mengevaluasi skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Rules of

Origin (ROO), maupun harmonisasi standard dan kesesuaian (standard and

conformance). Dan untuk mewujudkan beberapa hal tersebut di atas, negara-negara

anggota ASEAN telah menyepakati ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA)

pada pertemuan KTT ASEAN ke-14 tanggal 27 Februari 2009 di Chaam, Thailand.

ATIGA tersebut terdiri dari 11 Bab, 98 Pasal, dan 10 Lampiran, yang antara lain

mencakup prinsip-prinsip umum perdagangan international (non-discrimination,

Most Favoured Nations-MFN treatment, national treatment), liberalisasi tarif,

pengaturan non-tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, kepabeanan,

standar, regulasi teknis dan prosedur pemeriksaan penyesuaian, SPS (Sanitary and

Phytosanitary Measures), dan kebijakan pemulihan perdagangan (safeguards, anti-

dumping, countervailing measures).

b. Kebebasan Arus Jasa

Kebebasan arus jasa mengandung makna bahwa di dalam kawasan MEA tidak ada

hambatan bagi penyedia jasa dari kawasan ini untuk menjual jasanya serta untuk

mendirikan badan usaha secara lintas batas negara dengan tetap tunduk pada

peraturan perundang-undangan domestik masing-masing negara. Mekanisme

mengenai hal ini diatur dalam ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS).

c. Kebebasan Arus Penanaman Modal/Investasi

Investasi merupakan pilar utama dalam penmbangunan sebuah negara. Hal ini

menjadikan kebebasan arus investasi menjadi tujuan pokok ASEAN dalam upaya

mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN (AEC) 2015.

d. Arus Modal Yang Lebih Bebas

Dalam hal keterbukaan yang sangat bebas atas arus modal, akan berpotensi

menimbulkan risiko yang mengancam kestabilan kondisi perekonomian suatu

negara. Namun ASEAN telah membuat kebijakan dimana kata "bebas" dalam hal ini

secara umum dapat diterjemahkan dengan pengurangan (relaxing) atas restriksi-

restriksi dalam arus modal misalnya relaxing on capital control. Dan untuk

memperlancar arus modal, MEA menghendaki agar liberalisasi modal

memperhatikan agenda nasional masing-masing negara sesuai dengan kesiapan

ekonomi mereka masing-masing.

e. Kebebasan Arus Tenaga Terampil

Kebebasan arus tenaga terampil merupakan pendukung bagi kebebasan arus jasa.

Dimana setelah MEA terwujud di tahun 2015, maka kesempatan kerja seluas-luasnya

bagi warga negara ASEAN akan menjadi terbuka. Pembatasan tenaga kerja dalam

AEC BluePrint dibatasi pada pengaturan khusus tenaga kerja (skilled labour). Skilled

labour dapat diartikan sebagai pekerja yang mempunyai ketrampilan atau keahlian

khusus, pengetahuan, atau kemampuan di bidangnya, yang bisa berasal dari lulusan

perguruan tinggi, akademisi atau sekolah teknik ataupun dari pengalaman kerja.

f. Sektor-Sektor Prioritas Integrasi

Sektor Prioritas Integrasi (Priority Integration Sectors/PIS) adalah sektor-sektor

yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis

produksi.

g. Makanan, Pertanian, dan Kehutanan

Melalui harmonisasi kualitas dan standar, jaminan keamanan pangan, dan

standardisasi sertifikasi perdagangan, produk pertanian ASEAN diharapkan siap

bersaing di pasar global dengan menawarkan makanan yang aman, sehat dan

berkualitas. ASEAN telah mengembangkan Good Agricultural Practices (GAP),

Good Animal Husbandry Practices (GAHP), Good Hygiene Practices (GHP), Good

Manufacturing Practices (GMP), and Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP), standar untuk produksi, penanganan panen dan pasca-panen produk

pertanian, batasan residu maksimum pestisida, kriteria untuk akreditasi usaha ternak

dan produk ternak, pedoman GMP untuk udang, dan ”code of conduct” untuk usaha

perikanan yang bertanggungjawab, untuk digunakan sebagai referensi dalam

mengembangkan prioritas nasional dan sarana untuk mendukung pembangunan

industri-agro.

Indonesia harus melihat MEA sebagai peluang yang terbuka untuk memperbaiki

kualitas SDM yang ada dengan meningkatkan daya saing, menyediakan pendidikan dan

kesehatan yang memadai, dan memberikan edukasi terhadap pentingnya MEA.

Pemerintah Indonesia harus mampu mendorong diadakan pelatihan keterampilan karena

mayoritas tenaga kerja Indonesia kurang dalam kecerdasan sikap, kemampuan

berbahasa Inggris dan pengoperasian komputer. Meskipun peran dominan dalam

meningkatkan kualitas menjadi milik pemerintah, bukan berarti seluruh tanggung jawab

berada di tangan pemerintah. Perlu adanya kesadaran bahwa efek dari MEA akan

dirasakan langsung oleh masyarakat dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dan

mempersiapkan diri menjelang 2016 menjadi milik bersama.

Kemunculan MEA mengakibatkan banyaknya tenaga kerja asing yang datang untuk

bekerja dan bersaing di Indonesia. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah

Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk dan bekerja di Indonesia berdasarkan Izin

Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) per akhir Februari 2016 adalah 5.339

orang. Data TKA sebanyak 5.339 orang tersebut, terdiri dari periode bulan Januari

sebanyak 2.067 orang untuk TKA yang bekerja lebih dari 6 bulan, dan 516 orang untuk

TKA yang bekerja di bawah 6 bulan sedangkan bulan Februari sebanyak 2.303 orang

(lebih dari 6 bulan) dan 453 orang (di bawah 6 bulan).

Saat MEA berlaku, di bidang ketenagakerjaan ada 8 (delapan) profesi yang terkena

kebijakan pasar bebas yang kebetulan tertuang dalam ASEAN Mutual Recognition

Agreement (MRA). MRA masing-masing profesi telah menetapkan standar dan

kompetensi yang diperlukan di kancah ASEAN, yaitu insinyur, arsitek, perawat, tenaga

survei, tenaga pariwisata, praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan. Tenaga kerja asing

dengan adanya MEA tersebut akan dengan mudah masuk dan bekerja di Indonesia

begitu pula sebaliknya sehingga mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin

ketat di bidang ketenagakerjaan, khususnya ke 8 (delapan) profesi yang telah disebutkan

di atas. Dengan melihat akan adanya persaingan di dunia ketenaga-kerjaan, tentunya

setiap negara-negara di ASEAN akan menyiapkan tenaga kerja mereka untuk

menghadapi MEA, begitu pula dengan Indonesia.

Keikutsertaan Indonesia di dalam MEA mengharuskan Indonesia membuka pasar

bebas tanpa batas. Dalam hal ini tentu saja Indonesia akan kedatangan tenaga-tenaga

kerja dari negara anggota MEA lainnya. Tentunya diperlukan izin dari mereka yang

akan bekerja di Indonesia ini, Selain dari perlu adanya keterlibatan pihak perusahan

pelayanan pengurusan izin mempekerjakan tenaga asing, perlu juga sekiranya

melibatkan pihak lain sehubungan dengan penggunaan tenaga kerja asing tersebut.

Pihak lain yang dimaksud disini adalah lembaga keimigrasian Indonesia. Sebagaimana

dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,

menyatakan bahwa : “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau

keluar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan terhadap orang asing di

wilayah Negara Republik Indonesia”

Orang asing adalah tiap orang bukan warga negara Republik Indonesia, definisi

tersebut diambil dari Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011

tentang Keimigrasian. Sedangkan tenaga kerja asing (TKA) adalah warga negara asing

pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia, sesuai dengan Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 18. TKA yang

bermaksud untuk bekerja di Indonesia hanya dapat dipekerjakan di Indonesia hanya

dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu dalam Pasal 42 Angka

4. Jadi dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja asing adalah tiap

orang yang bukan warga negara Republik Indonesia yang melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau kebutuhan

masyarakat. Tujuan penggunaan tenaga kerja asing tersebut adalah untuk memenuhi

kebutuhan tenaga kerja terampil dan profesional di bidang tertentu yang belum dapat

diisi oleh tenaga kerja Indonesia serta mempercepat proses pembangunan nasional

dengan jalan mempercepat alih ilmu pengetahuan dan tekonologi dan meningkatkan

investasi asing sebagai penunjang pembangunan di Indonesia walaupun pada

kenyataanya perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia baik itu perusahaan-

perusahaan swasta asing ataupun swasta nasional wajib menggunakan tenaga ahli

bangsa Indonesia sendiri9.

Tenaga kerja asing dibatasi oleh pemerintah hanya dalam suatu bentuk pekerjaan

yang dianggap perlu untuk dibatasi, jadi pemerintah dapat menyediakan ruang untuk

warga negara Indonesia sendiri. Penempatan tenaga kerja asing sampai sekarang tidak

banyak berbeda daripada sebelum kemerdekaan. Keadaan ini akan berlangsung terus,

jika pemerintah tidak mulai turut campur dalam penempatan tenaga itu dengan tegas. Di

dalam melaksanakan penempatan tenaga-tenaga asing itu Pemerintah berpendapat

9 HR abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan, Penerbit Restu agung, Jakarta, 2008, Hlm 322

bahwa khusus untuk menghilangkan unsur- unsur kolonial dalam struktur ekonomi

Negara kita dalam lapangan usaha yang vital bagi perekonomian nasional.10

Dengan masuknya tenaga kerja asing yang tak terbatas ini, pemerintah perlu untuk

membuat suatu aturan guna kepentingan tenaga kerja Indonesia di Indonesia

perlindungan hukum yang lebih eksplisit sehubungan dengan diberlakukannya MEA

2015 ini yang harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan demi

kepastian hukum yang jelas. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 telah dijelaskan

bahwa Pemerintah negara Indonesia harus melindungi segenap tumpah darah Indonesia,

maka dengan hal tersebut, sudah menjadi kewajiban dari Pemerintah sebagai aparatur

negara untuk melindungi segenap masyarakat khususnya bagi tenaga kerja Indonesia.

Secara eksplisit telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 28D. Oleh karena itu

negara seseungguhnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh

warga negaranya tanpa terkeculai, perlindungan terhadap warga negara pada hakikatnya

tidak hanya perlindungan keamanan akan tetapi juga adalah perlindungan dari tingkat

kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri, karenanya negara juga berkeawjiban untuk

memajukan kesejahteraan umum. Hal tersebut sangat didukung dengan asas dari

Hukum Ketenagakerjaan, berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan bahwa Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila

dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang ditegaskan

dalam penjelasannya, dimana Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam

rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan

10

H. S.Syarif, Pedoman Penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

1996, hlm 35

ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia

yang sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.

Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas

pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan merata.Hal tersebut

dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multi-dimensi dan terkait

dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Oleh

karenanya, pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk

kerjasama yang saling mendukung. Jadi, asas Hukum Ketenagakerjaan adalah asas

keterpaduan melalui koordinasi fungsionallintas sektoral pusat dan daerah.11

Sementara itu, Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

keadilan. Bahkan keadilan merupakan salah satu tujuan hukum menurut Gustav

Radbrugh. Begitu juga dikemukakan oleh Sendjun Manulang bahwa tujuan Hukum

Ketenagakerjaan ialah:

a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan,

b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari

pengusaha.12

Oleh karena itu menurut Soepomo, Perlindungan hukum tenaga kerja dibagi tiga,

yaitu:

a. Perlindungan Ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan

yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.

11

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014,

hlm.7 12

Sendjun H Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,

jakarta, Cet-2, 1995, hlm.2

b. Perlindungan Sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan

kesehatan kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja dan kebebasan berserikat dan

perlindungan hak untuk organisasi.

c. Perlindungan Teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan

keselamatan kerja.13

Tidak hanya 3 perlindungan tersebut yang akan penulis kaji, namun ada 2 bentuk

perlindungan hukum selanjutnya yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif

b. Perlindungan Hukum Represif

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, perlu dilakukan kajian

menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dampak atau implikasi yang disebabkan

karena munculnya MEA di Indonesia terkait masalah ketenagakerjaan. Dari uraian

tersebut, penulis mengambil judul "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA

KERJA INDONESIA DI INDONESIA DENGAN DIBERLAKUKANNYA MEA

(Masyarakat Ekonomi ASEAN)".

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah tersebut yaitu:

Bagaimanakah perlindungan hukum di Indonesia kaitannya dengan MEA bagi

tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

13

Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo, Jakarta, 1993, hlm.76

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan data-data serta

informasi yang peneliti dapatkan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut

:

1. Tujuan Obyektif :

Mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum bagi tenaga kerja di Indonesia

dengan keikutsertaan Indonesia dalam MEA.

2. Tujuan Subyektif

Menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan penulis mengenai

perlindungan hukum yang ditimbulkan oleh tenaga kerja Indonesia di Indonesia

dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia sehubungan dengan

keikutsertaan Indonesia dalam MEA.

1.4. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian, diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang

dapat diambil dari penelitian yang dilakukan. Besar kecilnya manfaat penelitian akan

menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam memperkaya wawasan dalam bidang MEA khususnya mengenai

perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia dengan diberlakukannya MEA

2015. Dan juga penelitian ini diharapkan mampu menjadi rujukan ataupun bahan

bantu dalam dunia perkuliahan, maupun untuk kepentingan pribadi.

2. Manfaat Praktisi

Hasil penelitian ini secara praktisi diharapkan dapat membantu lembaga

ketenagakerjaan untuk menjadi bahan referensi dalam pertimbangan-pertimbangan

Hukum Ketenagakerjaan selanjutnya, khususnya terkait dengan perlindungan hukum

bagi tenaga kerja Indonesia sendiri kaitannya dengan MEA 2015.

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu metode yang digunakan oleh peneliti untuk

mengelola data sesuai dengan tujuan penelitian.

1. Jenis Penelitian

Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan atau sumber data, yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Bahan hukum tersebut disusun secara sistematis kemudian di dapatkan suatu

kesimpulan yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian

normatif berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang apa

yang seharusnya dari setiap permasalahan. Metode penelitian hukum Normatif ini juga

biasa disebut dengan penelitian hukum doktriner atau juga di sebut dengan penelitian

perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktriner ,sebab penelitian ini hanya

ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian tersebut sangat erat

hubungannya pada perpustakaan dikarenakan hukum normatif ini akan membutuhkan

data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan. Pendekatan perundang-undangan

ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-

Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan

Undang-Undang yang lain, dengan menitikberatkan pada peraturan-peraturan mengenai

ketenagakerjaan dan MEA.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis data sekunder. Data Sekunder,

yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari subyek penelitian seperti data dari

buku-buku, laporan, arsip, dan data penunjang lainnya yang berhubungan dengan

ketenagakerjaan dan MEA 2015. Sumber rujukan penelitian hukum normatif sendiri

berasal dari bahan hukum yang penulis sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan

hakim.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan dari non-hukum. Menurut Peter Mahmud

Marzuki bahan-bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik,

Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan, atau pun laporan penelitian non-hukum

dan jurnal-jurnal non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik

penelitian. Relevan atau tidaknya bahan-bahan non-hukum bergantung dari peneliti

terhadap bahan-bahan itu.

3. Unit Amatan dan Unit Analisis

Unit amatan pada penelitian ini ialah pada Pembukaan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan dalam Pasal 28 D UUD 1945, serta pada

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana unit

amatan ini akan menjadi bahan acuan untuk segala unit analisis yang dalam hal ini

ialah perlindungan hukum tenaga kerja Indonesia dengan keikutsertaan Indonesia

dalam MEA 2015.