BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1....
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1....
11
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. PENDAHULUAN
Keadilan merupakan suatu nilai moral di dalam kehidupan bermasyarakat, yang selalu
diimpikan oleh setiap manusia ada di dunia ini, karena merupakan nilai yang dapat mengatur
relasi yang baik antar individu, relasi dalam hal ini adalah menghargai dan menghormati hak
masing-masing individu, melihat orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang patut untuk
diperlakukan sama dan sederajat, tidak adanya intervensi terhadap sesama tetapi memberikan
kebebasan untuk berkarya dan berkreasi, tidak adanya diskriminasi, dan sebagainya sehingga
keadilan berguna dan bermanfaat bagi semua warga masyarakat. Untuk memahami lebih
mendalam mengenai konsep keadilan sosial dalam kitab Amos 6:1-7 dalam perspektif teori
keadilan. Terlebih dahulu saya akan memaparkan mengenai teori-teori keadilan. Teori-teori
keadilan yang akan dikaji di sini adalah teori-teori keadilan modern.
Membicarakan mengenai keadilan, tentu sudah bukan hal yang baru dan asing,
Aristoteles, Ulpianus, dan tokoh-tokoh keadilan lainnya telah membahas akan hal tersebut, yang
kemudian terus berkembang oleh para penerusnya hingga saat ini, demi menjawab persoalan
sosial yang terjadi dalam konteksnya masing-masing. Misalnya saja, konsep keadilan yang
dikembangkan oleh Notohamidjojo, yang mana bertolak dari pemikirannya Ulpianus yakni
keadilan akan terwujud apabila setiap orang mendapatkan hak dan bagiannya masing-masing.
12
Dalam bukunya “Kreativitas yang Bertanggungjawab”, Notohamidjojo memahami
keadilan dalam enam1 bagian yang sebelumnya juga telah diuraikan oleh Aristoteles yakni; 1)
Justitia cummutativa; di mana masing-masing individu menerima bagiannya dengan mengingat
persamaan, misalnya prestasi dibalas dengan prestasi atau jasa dibalas dengan jasa. Artinya
bahwa dapat dikatakan adil apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang
kedudukan dan sebagainya. 2) Justitia distributiva; merupakan keadilan yang memberikan
kepada masing-masing bagiannya dalam memperhitungkan perbedaan mutu atau kualitas setiap
manusia. pada umumnya keadilan seperti ini diterapkan dalam lapangan hukum publik, dalam
arti pemerintah membagi/memberi kewajiban bagi warganya berdasarkan kualitasnya.3) Justitia
vindicativa; setiap individu berhak mendapat ganti rugi yang sebanding dengan kejahatan atau
pelanggaran yang dialaminya ataupun sebaliknya apabila ia yang melakukan kejahatan, ia berhak
untuk menggantinya. 4) Justitia creativa; setiap individu diberikan kebebasan untuk berkreasi
sesuai dengan daya kreativitasnya. 5) Justitia proctectiva; setiap manusia berhak mendapat
perlindungan secara pribadi dan yang terakhir adalah6) Justitia legalis; keadilan ini menuntut
ketaatan kepada undang-undang negara yang adil.
Pendekatan Notohamidjojo dengan bertujuan untuk memberikan kepada setiap individu
hak dan bagiannya, kebebasan untuk berkreasi tanpa ada intervensi dari pihak manapun, dan
setiap hak dan kebebasan dari setiap individu tentunya harus dilindungi oleh hukum atau
1Pemahaman akan keadilan menurut Notohamidjojo dikutip dari Ulpianus dan hukum Romawi (Justianus)
yakni justicia, bahwa keadilan merupakan “kehendak yang menetap untuk memberikan kepada masing-masing
haknya atau bidangnya” (Justicia est constants et purpetua volunts ius suum cuique Tribuens). O. Notohamidjojo,
Kreativitas yang Bertanggungjawab, (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2011), 637-638. Sebelumnya
Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan dan membaginya dalam lima (5) bagian tanpa justitia
proctiva yang baru ditambahkan oleh Notohamidjojo sehingga menjadi enam bagian. Bandingkan Elisabeth
Nurhaini Butarbutar, Konsep Keadilan dalam Sistem Peradilan Perdata, Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 2, Juni
2009, 365.
13
undang-undang negara yang adil. Jika hal tersebut yang dilakukan maka, kehidupan yang adil
dan damai akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat.
Notohamidjojo dalam pemahamannya mengenai keadilan, membaginya dalam enam
bagian, sedangkan Karen Lebacqz, memahami keadilan dalam enam pendekatan2 yakni; 1.
Utilitarian menurut John Stuart Mill, penekanannya pada bagaimana suatu tindakan dapat
memberikan manfaat yang maksimal atau sebesar-besarnya bagi semua; 2. Teori Kontrak
menurut John Rawls, baginya keadilan berarti memberikan kepada masing-masing individu
sesuai dengan struktur dasar yang dapat menguntungkan pihak-pihak yang kurang beruntung
(batasannya adalah kesetaraan hak-hak politik, kesetaraan kesempatan, dan pelestarian yang adil
bagi generasi masa depan); 3. Teori Hak menurut Robert Nozick, di mana keadilan berarti bahwa
setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan dengan hak dan keinginan
masing-masing; 4. Pendekatan Katolikisme, menurut aliran ini, keadilan berarti memberikan
kepada masing-masing individu sesuai dengan martabat mereka sebagai makhluk ciptaan Allah;
5. Pendekatan Protestan menurut Reinhold Niebuhr, keadilan berarti memberikan kepada
masing-masing individu sesuai prinsip kebebasan, khususnya kesetaraan, yang diimbangi kasih
dan keadilan, dan ke-6. Pendekatan Teologi Pembebasan menurut Jose Porforio Miranda,
keadilan berarti memberikan kepada masing-masing individu sesuai dengan campur tangan
Tuhan di dalam sejarah, dalam membebaskan orang miskin dan tertindas.
Lanjutnya, dalam enam pendekatan tersebut dapat dipersempit hanya menjadi dua bagian
yakni Liberalisme (utilitarian, teori kontrak, dan teori hak), yakni memberikan kebebasan pada
setiap individu atau kelompok untuk mendapatkan bagian dan haknya tanpa terkecuali dan pada
2Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan: Analisis Kritis Pemikiran J.S. Mill, J. Rawls, R. Nozick, R. Niebuhr,
J.P. Miranda (Bandung: Nusa Media, 2014), 3.
14
akhirnya dapat memberikan manfaat bagi semua anggota masyarakat; dan teologi Kristen
(katolikisme, protestanisme, dan teologi pembebasan), dimana setiap individu-individu dalam
suatu masyarakat diperlakukan dengan penuh kasih, setara, dan adil sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang sama derajatnya. Intinya dari pendekatan yang digunakan oleh Lebacqz ialah
mengutamakan pada kebebasan individu maupun kelompok dalam menerima hak dan bagiannya
sebagai makhluk ciptaanTuhan yang sama kedudukannya.
Setelah melihat pada pemahaman dari Notohamidjojo, yang bertolak dari para tokoh-
tokoh pendahulu teori keadilan. Thobias Messakh dalam bukunya “Konsep keadilan dalam
Pancasila”, membangun konsep keadilannya dalam pendekatan keadilan modern yang dalam
delapan pendekatan3 yakni; 1. Keadilan Liberal dari Robert Nozick, mengutamakan pada hak
kebebasan individual dalam proses perolehan dan pemilikan perorangan. 2. Keadilan Sosialis
dari Kai Nielsen. Konsep keadilannya berdasarkan pada konsep mengenai ekualitas
(kesederajatan), yang merupakan nilai paling utama dalam konsep keadilan sosialisme. 3.
Keadilan Kesejahteraan perspektif Utilitarian dari John Stuart Mill. Penekanannya ialah
kebebasan untuk mendatangkan kebahagiaan dan sebesar-besarnya jumlah warga masyarakat
harus mampu memperoleh kebahagiaan. Kebebasan tidak dihargai pada dirinya sendiri, tetapi
berdasarkan manfaatnya. 4. Keadilan Kesejahteraan perspektif teori kontrak sosial dari John
Rawls. Konsep keadilan ini lebih melihat pada kesejahteraan dan perlindungan hak bagi
kelompok masyarakat yang paling kurang beruntung; 5. Keadilan Komunitarian dari Michael J.
Sandel. Titik berangkat dari konsep komunitarian adalah masyarakat, dengan prioritas paling
utama adalah kebaikan bersama (common good) artinya bahwa, segenap warga masyarakat
sebagai satu keutuhan merupakan tujuan paling utama; 6. Keadilan Gerakan Perempuan dari
3Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacan University Press, 2007),
34.
15
Susan Moeller Okin. Tujuannya adalah untuk menghargai dan melindungi kemanusiaan terutama
perempuan dan anak-anak; 7. Keadilan dalam perspektif Kristen menurut Reinhold Niebuhr dan
8. Karen Lebacqz. Keduanya sama-sama menjadikan realitas kehidupan manusia, dosa, dan
ketidakadilan, sebagai titik berangkat konsep keadilan.
Melihat pada pendekatan yang ditawarkan oleh Messakh, dari ke-8 teori keadilan tersebut
jika dibandingkan dengan pendekatannya Lebacqz, ada beberapa pendekatan yang sama,
misalnya pendekatan Utilitarian dari Mill, Libertarian dari Nozick, dan Kontrak sosial dari
Rawls, maupun pendekatan dari perspektif Kristen. Namun ada beberapa pendekatan dari
Messakh, yang tidak ada pada pendekatan yang diusung oleh Lebacqz, yakni feminisme dari
Susan Okin, Sosialis dari Nielsen, dan Komunitarian dari Sandel. Jadi, dari kedelapan
pendekatan yang ditawarkan oleh Messakh bila digabungkan dengan pendekatan dari Lebacqz
maka, saya melihat sebenarnya hanya ada lima pendekatan yakni; 1. Kesejahteraan perspektif
Utilitarian; 2. Libertarian; 3. Kesejahteraan perspektif Kontrak Sosial; 4. Sosialisme, yang di
dalamnya terkandung Komunitarian, Feminisme, dan Sosial. Penggabungan ini dengan alasan
bahwa inti permasalahan yang digumuli dari ketiga pendekatan ialah bagaimana setiap manusia
diperlakukan setara dan sederajat (equality) di dalam kehidupan bermasyarakat; 5. Perspektif
Kristen. Maka, dalam penulisan saya akan memaparkan lima pendekatan mengenai keadilan,
bukan berarti bahwa kelima pendekatan inilah yang paling benar dari semua teori keadilan yang
ada, tetapi setidaknya menjadi pintu masuk bagi saya untuk dapat memahami konsep keadilan
dalam Amos 6:1-7.
16
2.2. TEORI-TEORI KEADILAN
2.2.1. Teori Keadilan Menurut Robert Nozick
Konsep keadilan Nozick adalah sebuah konsep yang berangkat dari keadilan Individual,
didukung oleh teori kontrak sosial John Locke yang berpandangan bahwa setiap orang
merupakan insan yang bebas mengatur dan mengurus kehidupannya sesuai dengan kehendaknya
sendiri, tanpa bergantung pada orang lain atau kehendak dari institusi sosial manapun, artinya
bahwa kebebasan setiap individu haruslah dihormati dan dihargai dalam kehidupan
bermasyarakat, namun pada sisi yang berbeda kebebasan individu tidak boleh membahayakan
kehidupan, kebebasan, dan harta milik sesamanya.4
Bagi Nozick tujuan dari kehidupan bermasyarakat adalah perlindungan terhadap hak
individual setiap warga masyarakat. Setiap individu memiliki kebebasan untuk mengatur dan
mengurus kehidupannya. Dalam konteks tersebut, negara tidak begitu diperlukan sebab baginya
negara diperlukan hanya untuk membantu setiap orang melindungi hak-hak individualnya.5
Artinya bahwa kepentingan individual merupakan perhatian utama dari Nozick, kebebasan dari
setip individu-individu untuk memperoleh hak-hak dan bagiannya harus didukung dan dilindungi
oleh negara sehingga kebebasannya tidak diganggu maupun mengganggu kebebasan orang lain.
Konsep keadilan seperti ini, jika dikaitkan dengan pendekatan Notohamidjojo disebut sebagai
justicia protectiva bahwa dalam suatu masyarakat setiap manusia secara pribadi diberikan
kebebasan dan kebebasan tersebut harus dihargai dan dihormati bahkan kebebasan tersebut
diberi perlindungan sehingga tidak disewenang-wenangkan dalam batas-batas tertentu oleh
siapapun. Selain justitia protectiva, pendekatan yang hampir sama dengan konsep keadilan
4Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Chicago: Basic Books, 1974), 10.
5Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila., 34.
17
Nozick adalah justitia creativa, dimana kebebasan individu masih menjadi prioritas yang utama
dimana setiap kebebasan individu tersebut diberikan kebebasan untuk berkereasi sesuai dengan
daya kreativitasnya masing-masing tanpa ada intervensi dari pihak lain.
Inti konsep keadilan Nozick adalah setiap orang tidak boleh dikorbankan oleh siapapun,
termasuk negara dalam mencapai sesuatu tanpa persetujuan dari pribadi itu sendiri. Walaupun
dapat dikatakan demi kepentingan bersama/kepentingan umum. Karena itu Nozick tidak
mengenal kepentingan umum atau kepentingan atas nama masyarakat. Dengan demikian berarti
bahwa, apabila semua tindakan yang dilakukan selagi tidak mengorbankan dan memanfaatkan
orang lain dalam masyarakat tersebut, maka tidak akan ada saling menyakiti, saling
mnengganggu maupun saling membunuh, dikarenakan masing-masing individu hidup menurut
kehendaknya masing-masing.6
Dalam realitas hidup bermasyarakat ada masyarakat yang mampu memanfaatkan hak
kebebasannya untuk mensejahterahkan dirinya, tetapi ada pula yang tidak mampu memanfaatkan
hak kebebasannya dalam persaingan “pasar cari untung” sehingga ia jatuh miskin dan menderita.
Nozick tidak peduli terhadap realitas sosial. Namun pada sisi yang sama, dalam penegakan pasar
cari untung ini, kemungkinan besar hilangnya penghargaan akan orang lain sebagai sesama
ciptaan Tuhan yang mulia. Jadi, orang tidak lagi melihat sesamanya sebagai subjek-subjek
melainkan subjek-objek, karena meskipun ada sesama yang menderita kelaparan karena merugi
dalam pasar tersebut, hal tersebut dipandang tetap adil, selagi masih dalam proses yang adil.7
Konsep keadilan Nozick selain tidak peduli terhadap mereka yang paling kurang
beruntung dalam masyarakat dan pembatasan terhadap daya eksploitasi kelompok kuat dalam
6Ibid., 36.
7Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan., 97.
18
masyarakat, walaupun sebenarnya konsepnya merupakan perlindungan bagi kebebasan
individual setiap manusia, justru akan mengakibatkan ketidak-bebasan bagi mereka yang lemah
dalam masyarakat.8 Melihat akan hal tersebut, tentunya menjadi suatu pertanyaan besar,
dimanakah peran negara? Menjawab pertanyaan tersebut, Nozick menekankan hak keotonomian
individu yang sedemikian kuat sehingga keterlibatan negara dalam hal ini kehidupan
bermasyarakat harus sekecil mungkin. Maka dapat dikatakan bahwa tugas negara hanyalah
menjadi penjaga bukan menentukan sesuatu.9 Negara tidak dapat melarang setiap individu
tersebut dalam mencapai kebebasannya. Negara hanya bertugas dalam menjaga dan melindungi
individu-individu agar tidak terjadi tindakan yang mengorbankan individu-individu tersebut.
Jadi masyarakat yang dimaksud bukanlah sebuah masyarakat yang bekerja sama, atau
masyarakat yang mengutamakan kepentingan bersama, namun menurut Nozick masyarakat yang
dimaksud adalah masyarakat yang berjuang sendiri-sendiri, tanpa mengganggu kepentingan
orang lain dalam memilhara kepentingan kehidupannya.
Dengan demikian, yang ada hanyalah kepentingan individu-individu dengan kepentingan
individualnya. Hal ini disebabkan oleh karena setiap kepentingan individual memiliki nilai yang
tinggi yang tidak bisa ditawar-menawar. Hal ini menurut Galston, sebagai hyperindividualisme
yaitu pandangan yang secara berlebihan menekankan keterpisahan antar individu dalam
masyarakat. Dalam pandangan ini setiap individu hanya mengejar kepentingannya sendiri-sendiri
tanpa peduli pada kepentingan bersama dalam masyarakat.10
8Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila., 42.
9Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia.,51.
10William A. Galston, Justice and Human Good (Chicago and London: The University of Chicago Press,
1980), 3.
19
Menurut Nozick, dalam masyarakat dimana beberapa orang hidup melimpah ruah
sedangkan orang lain hidup menderita tentulah suatu keadaan yang tidak setara, tidak merata,
dan tidak ideal, karena itu diperlukannya kejelian untuk melihat keadaan sosial secara jernih.
Baginya, suatu bentuk ketidakadilan apabila orang kaya tadi dipergunakan hanya sebagai sarana
atau alat untuk memenuhi kebutuhan orang miskin demi mengatasi kemiskinan.11
Nozick
menyetujui bahwa dalam membantu orang miskin merupakan panggilan moral dan kewajiban
solidaritas hidup bermasyarakat, tetapi di lain pihak perlu juga kajian mendalam untuk
memahami mengapa anggota masyarakat tersebut menjadi miskin. Apakah kemiskinan yang
mereka alami adalah karena kemalasan atau kegagalannya dalam membenahi diri dan
sebagainya. Dengan demikian Nozick tetap mengedepankan pandangan Kant mengenai filsafat
moral.12
2.2.1.1. Konsep Keadilan Berdasarkan Hak Perolehan dan Pemilikan Individu yang Bebas.
Konsep keadilan Nozick berdasarkan pada hak kepemilikan individu yang bebas untuk
memperoleh dan memiliki secara personal apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dalam konsep
keadilannya, Nozick membentuk sebuah prinsip dasar yakni apapun yang dilakukan/apapun yang
dimunculkan dari sesuatu yang adil melalui cara-cara yang adil adalah adil, oleh karena itu
apabila dalam sebuah masyarakat ada yang kaya dan ada yang miskin, tidak akan menjadi
masalah selagi kekayaan tersebut diperoleh dengan adil.13
Misalnya dalam contoh pemain basket
oleh Nozick,14
setiap orang ingin menonton permainan basket, namun masing-masing orang
harus memberikan $ 1. Tidak perlu melihat apakah setelah orang tersebut memberi dia miskin
11
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 106. 12
Bagi Kant, penilaian dan tindakan moral harus dapat dibenarkan oleh dengan argumentasi yang rasional.
Hal inilah yang kemudian dipakai oleh Nozick dalam menganalis teori keadilannya. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh
Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 141. 13
Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia.,150. 14
Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan., 97.
20
atau kaya, baginnya hal tersebut adalah adil, karena pada satu sisi si pemain basket telah
memberikan pertontonan basket bagi mereka, dan pada sisi yang berbeda penonton harus
membayar karena mereka telah menonton permainan tersebut. Walaupun setelah itu si pemain
semakin kaya dari mereka, Nozick melihat bahwa kesenjangan seperti ini tetap adil karena mucul
dari hal-hal yang adil.
Konsep dengan contoh seperti ini, jika dilihat dalam pendekatannya Notohamidjojo,
merupakan keadilan distributif (justitia distributive) dan keadilan komutatif (justitia
kommutativa). Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi dan
penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Ditinjau
dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa
dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa
dan pihak lain memiliki uang. Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif
akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan
dua pihak. Tentunya pandangan ini sangat berbeda jauh dari apa yang ditekankan oleh Rawls
yang mana ia lebih mengutamakan pada mereka yang paling kurang beruntung dalam
masyarakat. Mereka yang memiliki kelebihan harusnya membagi dengan mereka yang kurang
beruntung tersebut. Jelasnya, Nozick menolak semua prinsip keadilan yang mengatur akan
kesetaraan kepemilikan, karena menurutnya prinsip seperti ini hanya melihat pada hasilnya saja
dan mengabaikan proses dalam mencapai hasil tersebut.
Konsep keadilan Nozick juga bertolak dari pemikiran John Locke, mengenai keadilan
yang didasarkan pada hak kebebasan Individu dalam memperoleh dan memiliki secara personal
apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. “Saya bebas untuk memperoleh apapun dengan cara
apapun selain tidak mengganggu orang lain dalam prosesnya. Karena tidak adil bagi saya untuk
21
mencapai sesuatu yang begitu terbatas, karena pencapaian tersebut akan memperburuk kondisi
orang lain. Tidak adil apabila saya mengambil sesuatu yang terbatas dan meniadakan pada orang
lain dan tentu hal tersebut akan sangat menyakiti atau memperburuk keadaan orang lain”.15
Dalam bukunya, Anarchy, State, and Utopia, yang menjadi sorotan Nozick adalah
mengenai pajak. Pajak baginya ekuivalen dengan kerja paksa. Membayar pajak sama seperti
dipaksa bekerja demi orang lain.16
Karena itu ia sangat mengkritik prinsip keadilan distributif
yang menuntut pajak walaupun dengan alasan untuk memberikan pada pihak-pihak yang kurang
beruntung, tetap saja bagi Nozick, merupakan sebuah pemaksaan atau perampasan hak orang lain
dan akan merusak secara moral. Karena itu, baginya keadilan bukanlah „distributif‟ melainkan
sepenuhnya bergantung pada pencapaian dan pengalihan kepemilikan yang adil.
Mengenai kekayaan alam, bagi Nozick setiap individu dalam menjalani kehidupannya,
memiliki kemampuan dan tenaga dalam menggali/menggarap kekayaan alam bagi kehidupannya
masing-masing.17
“Siapa yang rajin tentu dia mendapatkan hasil yang banyak sedangkan siapa
yang malas tentunya dia akan jauh dari kehidupan yang sejahtera”. Titik tolaknya bagi Nozick
yakni ia tidak menerima bahwa ada orang yang lain yang dikorbankan bagi kepentingan
bersama, “bukan manna yang diturunkan langsung dari surga, yang tinggal dibagi-bagi kepada
orang lain, sehingga tidak perlu bekerja dan mengeluarkan tenaga”. Jika melihat ini dalam
keseharian kita, tentu tidak jauh berbeda karena, bagaimana bisa mendapatkan sesuatu jika tidak
berusaha.
Dari penjelasan singkat di atas, jelas bahwa yang paling utama dalam konsep keadilan
Nozick adalah proses yaitu dengan cara bagaimana seseorang memperoleh atau memiliki
15
Ibid., 99. 16
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia., 169. 17
Ibid., 213.
22
sesuatu, dan ia sangat menolak keadilan sosialis yang menekankan akan kesejahteraan bersama,
sebab menurutnya konsep-konsep seperti demikian hanyalah bersifat pemaksaan, di mana orang
dipaksa untuk mengorbankan apa yang menjadi miliknya bagi kepentingan orang lain. Dengan
demikan setiap orang mempunyai hak untuk bebas mengusahakan dan memiliki apa yang
diperlukan bagi kehidupannya. Bagi Nozick negara tidak perlu mengatur “siapa dapat apa”,
tetapi negara memberikan kebebasan bagi warganya untuk berusaha dengan bebas tanpa ada
intervensi dari pihak lain, sehingga setiap individu mempunyai hak untuk dengan bebas
mengusahakan dan memiliki apa yang yang diperlukan bagi kehidupannya. Tidak boleh ada
warga masyarakat yang tanpa sepengetahuannya dan persetujuannya, hak perolehan dan
pemilikannya dikurangi untuk membantu orang lain.
Bagi saya inilah yang menarik dari pemikirannya Nozick, setiap individu diberikan hak
kebebasan untuk memiliki, bertindak dan memilih apa yang dibutuhkannya dan hak tersebut
dilindungi dan dijamin oleh negara sehingga jika ada yang melanggar akan mendapat hukuman
sehingga pengeksplotasian terhadap individu-individu dapat terhindarkan. Hal ini juga
ditekankan oleh Notohamidjojo, yang disebut justitia vindicativa, setiap individu yang
melakukan pelanggaran dan kejahatan harus dihukum sesuai dengan kejahatan yang telah
diperbuat. Karena jika tidak ada perlindungan dan jaminan dari negara maka, tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam suatu masyarakat atau negara tidak akan terciptanya suatu persekutuan
yang adil, damai dan sejahtera, justru yang terjadi adalah eksploitasi terhadap sesama manusia,
diperalat untuk memenuhi hasrat dan kepentingan tertentu saja. Karena itu konsep keadilan
sosialis perlu hadir untuk menjawab akan persoalan tersebut yakni konsep keadilan yang
menjadikan kesederajatan dan kesetaraan sebagai nilai dasarnya.
23
2.2.2. Teori Keadilan Menurut Kai Nielsen
Kesedarajatan dan kesetaraan atau perlakuan yang sama pada setiap insan manusia
merupakan nilai yang paling utama dalam konsep keadilan sosialisme. Konsep keadilan
berdasarkan pada ekualitas, menekankan pada perlakuan yang sama bagi semua manusia,
sehingga tidak terkesan bahwa ada kelompok yang kaya dan kelompok miskin, oleh karena itu,
dalam kehidupan bermasyarakat perlu untuk adanya ekualitas dalam kemampuan dan
kesempatan antar warga masyarakat untuk dapat mengelola sumber-sumber kehidupan yang
tersedia.
Dalam pengelolaannya harus ada ekual di situ; jika tidak maka akan timbulnya sistem
memonopoli dan penindasan akan sesama, bahkan akan munculnya berbagai kelas dalam
masyarakat. Oleh karena itu menurut Nielsen, tidak sekedar dalam arti hak perlindungan yang
sama bagi setiap warga masyarakat akan tetapi, terutama dalam arti adanya suatu kondisi yang
ekual bagi segenap warga masyarakat, sehingga segenap warga mampu memenuhi kebutuhannya
se-optimal mungkin sama seperti sesamanya.18
2.2.2.1. Ekualitas atau Kesetaraan
Konsep ekualitas mengandung dua arti yaitu; ekualitas sebagai tujuan dan ekualitas
sebagai hak. Ekualitas sebagai tujuan adalah kondisi yang harus dicapai. Dalam kondisi yang
harus dicapai tersebut ekualitas sebagai hak dapat ditegakkan. Prinsip ini juga yang ditekankan
oleh Niebuhr, yang melihat bahwa kebebasan dan ekualitas menjadi standar nilai dalam konsep
keadilan yang menjadikan kasih kepada sesama sebagai sumber acuan. Karena jika tidak
demikian baginya, ketidakadilan dan ketidakbebasan akan sulit bahkan tidak dimiliki oleh
18
Kai Nielsen, Equality and Liberty:A Defence of Radical Egalitarianism (New Jersey: Rowman and
Allandheld, Publisher, 1985), 283.
24
mereka yang lemah dalam masyarakat, atau dalam bahasanya Ralws, mereka yang paling kurang
beruntung.19
Dalam konsep keadilan Nielsen, ada beberapa prinsip penting yang ditekankan yakni;
pertama, setiap individu mempunyai hak kebebasan dan kesempatan (kesempatan bekerja,
menentukan nasib sendiri, partisipasi politik dan ekonomi) yang sama dengan sesamanya.
Kedua, setiap ketentuan yang dibuat harus berdasarkan pada ketentuan nilai-nilai bersama, agar
bisa dinikmati secara bersama-sama menurut kemampuan dan kondisi personal setiap anggota
masyarakat. Artinya bahwa beban kehidupan bermasyarakat harus ditanggung secara bersama-
sama. Tujuan dari prinsip kedua Nielsen adalah untuk mengurangi kesenjangan kebutuhan
pokok, mengurangi kesenjangan barang yang menjadi sumber atau dasar perbedaan yang pada
akhirnya menimbulkan kesenjangan, juga perbedaan antara warga masyarakat.20
Sehingga dapat
dikatakan bahwa tujuan dari kedua prinsip ini adalah untuk mencapai keadaan dimana tidak ada
lagi perbedaan yang besar tetapi menciptakan kesetaraan antar warga masyarakat.
Dalam kedua prinsip tersebut, setiap orang memiliki hak untuk bagian yang sama,
kelimpahan yang cukup, hak mendapat sumber daya yang sama untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Namun bukan berarti bahwa segenap warga masyarakat akan menggunakan haknya
tersebut. Secara rasional setiap orang akan menggunakan haknya untuk mencari kekayaan,
kekuasaan, dan sebagainya, karena mereka merasa perlu untuk mencapai apa yang mereka
inginkan, namun tidak semua yang dituntut akan sama hasilnya karena kebutuhan setiap orang
sangat berbeda. Dengan demikian kebebasan harus diberikan kepada masing-masing individu
untuk berkreasi sesuai dengan daya kreativitasnya dalam kehidupan bermasyarakat karena jika
19
D. B. Robertson, ed., Love and Justice: Selection from the Shorter Writings of Reinhold Niebuhr
(Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1957), 87. 20
Kai Nielsen, Equality and Liberty:A Defence of Radical Egalitarianism., 284-285. Bandingkan dengan
Thobias Messakh, Konsep keadilan dalam Pancasila, 43.
25
kebebasan setiap individu tersebut dibatasi maka hanya akan menimbulkan problem
ketidakadilan, inilah yang oleh Notohamidjojo disebut sebagai justitia creativa.21
Artinya bahwa
setiap individu berhak dan bebas untuk melaksanakan berkreasi demi mendapatkan apa yang
diinginkan dan diperlukan sesuai kebutuhannya.
Nielsen dalam menerapkan konsep keadilannya, ia juga menekankan bagaimana adanya
moralitas cinta akan sesama. Dengan adanya moralitas cinta akan sesama tersebut bagi Nielsen
tidak akan ada kelas-kelas dalam warga masyarakat. Orang tanpa rasa cinta kepada sesamanya,
sulit untuk menerima dan menjalankan konsep keadilan ekualitas.22
Karena masyarakat yang adil
adalah menghargai dan menghormati akan orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang sama
derajatnya, meniadakan monopoli kekuasaan, kepentingan individual, perampasan hak, maupun
pemerasan dan penindasan akan sesama.23
Bagi Nielsen, dalam konsep keadilan Ekualitas ada dua prinsip atau asas yakni: pertama,
Nielsen menempatkan ekualitas kebebasan dan ekualitas kesempatan dalam satu paduan. Secara
implisit, Nielsen hendak mengemukakan bahwa kebebasan tanpa peluang sama saja dengan
tidak ada kebebasan. Jadi kebebasan akan bermanfaat jika ada ekualitas kebebasan. Dari asas
yang pertama inilah, hak dari masing-masing individu diberikan kebebasan. Misalnya: hak
menentukan nasib sendiri, hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak berpartisipasi dalam
bidang politik dan ekonomi, dan sebagainya. artinya bahwa adanya moralitas yang menghargai
otonomi dan harga diri dari masing-masing individu. Kedua, mengatur hasil kerjasama dalam
21
O. Notohamidjojo, Kreativitas yang Bertanggungjawab., 638. 22
Pandangan Nielsen selengkapnya sebagai berikut: what I am predicting is that a person who has a good
understanding of what morality is, has a good knowledge of facts, is not ideologically mystified, takes an impartial
point of view, and has and attitude of impartial caring, would, if not conceptually confused, come to accept the
abstract egalitarian thesis. I see no way of arguing someone into such an egalitariansm so does not in this general
way have a love of humankind. Ibid.,309. 23
Bandingkan Ricardo Antoncich, Iman & Keadilan: ajaran sosial gereja dan praksis sosial iman
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 15.
26
masyarakat. Hasil itu digunakan untuk membiayai berbagai perlengkapan institusional
masyarakat, dana untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan umum, dan sisanya dibagikan
kepada anggota masyarakat berdasarkan prinsip ekualitas (disesuaikan dengan kebutuhan).
Semua anggota masyarakat juga secara ekualitas (disesuaikan dengan kemampuan dan situasi
personal) berkewajiban menanggung biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan hidup
bermasyarakat.24
Kedua asas tersebut akan dapat terlaksana apabila ekualitas dijadikan sebagai
tujuan utamanya, sebab jika tidak maka hanya akan menjadi slogan belaka.
Dengan demikian yang diperlukan di sini adalah bagaimana manusia melakukan suatu
pekerjaan yang bervariasi dan lebih pada peran sosial yang berbeda, mengembangkan peran
sosial, dan memperbaiki ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam posisi yang menindas dan
mendominasi bahkan mengeksploitasi sesamanya demi kepentingan-kepentingan tertentu dan
dapat mewujudkan suatu masyarakat yang semakin seimbang dan selaras dan dengan demikian
semakin adil.25
Konsep keadilan sosialis pada dasarnya melihat pada konsep ekualitas. Konsep ekualitas
mengandung dua arti yakni ekualitas sebagai tujuan dan ekualitas sebagai hak (rights). Untuk
mencapai ekualitas sebagai hak, terlebih dahulu harus diciptakan ekualitas kondisi, agar setiap
orang mampu mengakses sumber-sumber penghidupan secara ekual. Tidak ada dominasi dan
eksploitasi. Ekualitas sebagai hak merupakan isi konsep keadilan egalitarianisme, yakni: 1. setiap
orang mempunyai hak kebebasan dasar dan peluang partisipasi (ekonomi dan politik) yang ekual
dengan sesamanya; 2. beban dan hasil masyarakat ditanggung dan dinikmati secara ekual
menurut kemampuan dan kondisi personal setiap anggota masyarakat. 3. Dasar moralitas dari
24
Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila.,45. 25
Franz Magnis Suseno, Kuasa & Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 64.
27
konsep keadilan yang berdasarkan nilai ekualitas adalah cinta kepada sesama atau cinta
kemanusiaan. Implikasinya adalah bahwa orang yang tidak memiliki cinta kepada kemanusiaan,
tidak mungkin mau menerima dan mampu melaksanakan keadilan ekualitas.26
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kesetaraan merupakan nilai yang penting dan
utama dari konsep keadilan sosialis. Selagi masih ada penindasan, dominasi, dan eksploitasi
terhadap sesama maka selama itu juga masyarakat belum dapat dikatakan sebagai suatu
masyarakat yang adil. Dalam pandangan Nielsen bahwa tanpa ekualitas kondisi, tidak akan ada
ekualitas hak yang mana dalam kesetaraan ekonomi, masing-masing individu memiliki
kebebasan hak yang sama dalam mengelola atau mengakses sumber-sumber kehidupan yang
tersedia. Tidak ada individu atau kelompok tertentu yang sedemikian besar kekuasaannya,
sehingga pada akhirnya akan menguasai orang lain. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat
yang berkeadilan ekualitas, faktor ekonomi dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi monopoli
dan penindasan.
Menurut konsep keadilan sosialis, untuk mencapai masyarakat yang berkeadilan ekualitas
maka diperlukan intervensi negara, namun ia menolak bentuk-bentuk negara sistem kapitalis
karena dalam negara sistem kapitalis, manusia tidak akan melihat sesama sebagai manusia tetapi
melihatnya sebagai objek (sesuatu yang menghasilkan atau tidak). Bagi kelompok ini, negara
sosialis merupakan sistem yang lebih memungkinkan, karena dalam sistem sosialis akan
munculnya masyarakat tanpa kelas, hak perolehan dan kepemilikan dibatasi agar tidak
menimbulkan atau terciptanya dominasi dalam kehidupan bermasyarakat.
26
Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila., 47.
28
2.2.3. Teori Keadilan menurut John Rawls
Menurut Karen Lebacqz, teori dari Rawls yang dalam bukunya A Theory of Justice,
merupakan suatu teori alternatif mengenai keadilan dengan harapan untuk menjawab kelemahan
dari utilitarianisme, dengan tetap mengutamakan kepentingan pribadi individu tanpa
mempertaruhkan kesejahteraan atau hak-haknya demi kebaikan banyak orang, sehingga Rawls
menawarkan sebuah teori keadilan yang disebut justice as fairness.27
“Keadilan sebagai kesetaraan” dari Rawls, berdasarkan pada teori kontak sosial Jean J.
Rousseau dan teori rasional moralnya Imanuel Kant. Tujuannya dalam menggunakan teori
kontrak sosial adalah memberikan interpretasi prosedural bagi konsep Kant mengenai pilihan
otonom sebagai basis prinsip etika.28
Bertolak dari pemikiran Kant, Rawls melihat bahwa setiap
manusia sebagai insan otonom, rasional, dan moral. Sebagai insan yang otonom, setiap individu
pastinya memiliki kebebasan untuk mengatur hidupnya secara rasional tanpa ada intervensi dari
pihak manapun, artinya bebas dalam menentukan apa yang baik bagi dirinya secara rasional.29
Dan mempunyai kemampuan pertimbangan moral, kemampuan ini dimaksudkan untuk dapat
menimbang dan memutuskan suatu keputusan yang baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
sesamanya dalam membangun kehidupan bersama dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan pada penyampaian Kant, bahwa manusia sebagai makhluk yang rasional
tentu mempunyai kebutuhan dasarnya maing-masing yaitu: a. hak-hak akan kebebasan dasar
(misalnya kebebasan berpikir dan kebebasan nurani); b. kebebasan bergerak dan kebebasan
memilih pekerjaan; c. kekuasaan dan hak-hak prerogatif yang bertanggung-jawab; d. pendapatan
dan kekayaan; e. basis harga diri. Menurut Rawls bahwa setiap individu dalam masyarakat
27
Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan., 49. 28
Ibid., 50. 29
Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila., 56.
29
tentunya saling membutuhkan satu dengan yang lain, selain itu juga kebutuhan yang paling
mendasar yakni kebutuhan akan barang-barang sosial (social goods).30
Oleh karena itu, agar
kebutuhan tersebut dapat dirasakan oleh mayarakat secara adil maka terlebih dahulu harus
menyepakati asas keadilan yang dapat mengatur pendistribuan yang adil. Pendistribusian yang
adil, maksudnya adalah memberikan pada masing-masing individu sesuai dengan bagian dan
haknya seperti yang dikemukakan oleh Notohamidjojo dalam bukunya “Kreativitas yang
Bertanggungjawab”.
Pandangan Rawls mengenai masyarakat yang didasarkan pada teori kontrak sosial.
Baginya suatu masyarakat yang rasional dan bermoral akan membangun dan membentuk
masyarakat yang adil dari generasi ke generasi (a fair system of cooperation from one generation
to the next).31
Dengan tujuan agar setiap anggota masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya
secara lebih baik dibandingkan dengan bekerja secara individu dan untuk menjaga serta dapat
memilihara kerjasama sosial yang ada, maka diperlukan suatu asas yang dapat mengatur
kehidupan bersama dalam suatu masyakat yakni keadilan. Kerjasama sosial yang dimaksudkan
oleh Rawls adalah kerjasama resiprositas (timbal-balik) tidak sama dengan kerjasama yang lebih
mengutamakan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan bersama.32
Ketika berbicara tentang ketentuan-ketentuan sosial yang mengatur kehidupan bersama,
Rawls sebenarnya sedang menekankan upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur
distribusi hak dan kewajiban di antara segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap
masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama
sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana
30
Ibid., 62. 31
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, Massachusstts: Harvard University Press, 1971), 15. 32
Ibid., 16.
30
mendistribusikan hak secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang
memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya,
agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan
pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair
yang mampu mendorong kerja sama sosial.33
Demikian, kesepakatan yang fair adalah kunci untuk memahami rumusan keadilan
Rawls. Masalahnya, bagaimana kesepakatan yang fair itu bisa diperoleh? Rawls memandang
bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya prosedur yang tidak memihak.
Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak itulah prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap
adil. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah “keadilan prosedural murni”.34
Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep
keadilan hanyalah suatu prosedur yang tidak memihak, ataupun tidak adanya kepentingan-
kepentingan di dalamnya, karena hanya dengan begitulah akan mampu menjamin hasil akhir
yang adil.
2.2.3.1. Prinsip-Prinsip Keadilan
Rawls berpendapat bahwa, menghadirkan sebuah masyarakat yang setara atau sebuah
masyarakat yang tertata baik, yang hidup sesuai dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat,
tentu didasarkan pada suatu prinsip keadilan dan yang juga menjadi poin utama bagi Rawls,
33
Ibid., 4-5. 34
Menurut Andre Ata Ujan, Rawls ingin menegaskan bahwa prosedural yang sifatnya tidak memihak
merupakan satu-satunya jaminan untuk suatu hasil akhir yang adil bagi semua pihak. Rawls bahkan berpendapat
bahwa prosedural seperti ini mampu menjamin lahirnya prinsip-prinsip pertama keadilan yang dapat diterima oleh
siapapun melalui refleksi sistematik atas prinsip-prinsip tersebut. Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah
Filsafat Politik John Rawls (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 42.
31
dalam prinsip keadilannya adalah melindungi pihak-pihak yang paling kurang beruntung dalam
masyarakat.
Ada dua Prinsip keadilan menurut Rawls35
yakni; pertama: setiap orang memiliki
sebesar-besarnya kesederajatan hak akan kebebasan sejauh yang diatur dalam sistem
kesederajatan kebebasan dasar untuk semua. Kedua: ketidak-sederajatan sosial-ekonomi diatur
sedemikian rupa sehingga: a. Bermanfaat sebesar-besarnya bagi warga masyarakat yang paling
kurang beruntung, konsisten dengan prinsip menabung yang adil, b. Dikaitkan dengan jabatan
dan posisi yang terbuka untuk semua berdasarkan syarat semua memiliki kesempatan yang adil.
Rawls mempunyai dua argumen untuk prinsip-prinsip keadilannya. Argumen yang
pertama adalah mengkontraskan teorinya dengan apa yang dianggapnya sebagai ideologi yang
kini berlaku dalam keadilan distributif yaitu, cita-cita tentang persamaan kesempatan. Ia
berpendapat bahwa teorinya lebih cocok dengan kesimpulan intuisi-intuisi tentang keadilan, dan
bahwa teorinya memberi penjelasan yang lebih baik atas cita-cita yang pasti tentang fairness.
Argumen yang kedua, Rawls mengatakan bahwa prinsip-prinsip keadilannya lebih unggul karena
merupakan hasil sebuah kontrak sosial. Ia bahkan mengklaim bahwa jika orang dalam suatu
keadaan pra-sosial tertentu dipaksa memutuskan mana prinsip-prinsip yang harus mengatur
masyarakat mereka, mereka akan memilih prinsip-prinsipnya.36
Bagi Rawls, keadilan sebagai
keberimbangan (fairness) yang dibangun di atas dua prinsip, yakni: pertama, kesetaraan hak bagi
setiap orang untuk meraih kebebasan, penunaian hak dan kewajiban; kedua, ketimpangan sosial
dan ekonomi dapat diterima sejauh hal itu memberikan keuntungan besar bagi semua orang,
khususnya bagi warga masyarakat yang paling kurang beruntung, serta tidak eksklusif pada
35
John Rawls, A Theory of Justice., 302. 36
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian khusus Teori-teori Keadilan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 73.
32
segelintir orang. Meskipun Rawls, tidak mengangkat fakta ketimpangan sosial ekonomi yang
selalu melekat dalam setiap sistem kemasyarakatan, namun baginya hal itu adalah musuh besar
keadilan sosial jika menghadirkan kerugian, sekalipun bagi sekelompok kecil anggota
masyarakat.37
Kebebasan-kebebasan yang ada diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang
adil mempunyai hak-hak dasar yang sama. Dari prinsip ini, dapat dilihat bahwa Rawls
menginginkan sebuah masyarakat yang adil, setara dan tidak adanya intervensi dari pihak
manapun untuk memperoleh kebebasan dasar tersebut dan dalam menjalankan kebebasan-
kebebasan dasarnya dalam meningkatkan prospek kehidupannya, terkecuali bagi mereka yang
berdasarkan undang-undang, ada hak kebebasan dasarnya dibatasi. Akan tetapi pembatasan ini
bersifat sementara dan hanya dibolehkan untuk membatasi pelanggaran terhadap hak
kesederajatan kebebasan segenap warga masyarakat.
Pada prinsip yang kedua dari Rawls, yakni keadilan bagi institusi-institusi: “Ketidak-
setaraan sosial dan ekonomi disusun sedemikian rupa agar mereka dapat, (a) memberi
keuntungan terbesar bagi pihak yang kurang beruntung, sesuai prinsip penghematan yang adil,
dan (b) dilekatkan pada jawaban dan jabatan pemerintahan yang terbuka bagi semua orang
berdasarkan kondisi kesetaraan yang adil. Ketidak-setaraan sosial dan ekonomi, contohnya
ketidak-setaraan dalam kekayaan dan otoritas, akan menjadi adil jika menghasilkan
pengkompensasian keuntungan bagi setiap orang, khususnya bagi anggota-anggota masyarakt
yang kurang bertuntung.38
Lanjutnya kelompok yang paling kurang beruntung dalam masyarakat
menjadi prioritas utamanya sehingga prospek kesejahteraan meningkat, maka otomatis dengan
37
Janianton Damanik, “Menuju Pelayanan Sosial yang Berkeadilan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol.
15, Nomor 1, Juli 2011, 9-10. 38
John Rawls, A Theory of Justice., 302.
33
sendirinya prospek kesejahteraan hidup kelompok masyarakat diatasnya pun mengalami
peningkatan. Oleh karena itu masyarakat sebagai persekutuan kerjasama seharusnya saling
peduli satu terhadap yang lain dan saling memberi manfaat antar anggota masyarakat sehingga
dapat terciptanya suatu masyarakat yang adil.
Dalam prinsip-prinsip tersebut, yang menjadi prioritas utama adalah prinsip ekualitas
kebebasan. Dimana kesederajatan kebebasan menjadi yang utama, artinya bahwa tidak boleh ada
individu yang dikorbankan dengan alasan apa pun. Ketidak-sederajatan kebebasan diantara
anggota masyarakat ditolerir untuk sementara sepanjang untuk mengendalikan berkembangnya
ketidak-sederajatan akan kebebasan dan menciptakan kesederajatan hak akan kebebasan yang
lebih besar dalam masyarakat. Dengan demikian berarti bahwa kesederajatan kebebasan tidak
boleh memperdalam jurang ketidakadilan sosial-ekonomi antar warga masyarakat.39
Menurut
Keraf, asumsi yang dikembangkan Rawls merupakan suatu kenyataan bahwa dalam masyarakat
dijumpai ketidaksamaan sosial ekonomis sehingga perlu diatur sedemikian rupa agar
menguntungkan terutama orang-orang yang the least advantaged. Di samping itu sekaligus pula
melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan
yang menjamin persamaan peluang yang fair. Ia menganggap keadilan sebagai kesamaan yang
fair.40
Kesamaan yang fair artinya bahwa semua atau masing-masing tersebut menerima haknya
tanpa pandang kedudukan, kelas, dan sebagainya.41
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Rawls memusatkan
perhatiannya pada pendistribusian hak secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap
orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang
39
Thobias Messakh., Konsep Keadilan., 59. 40
A. S. Keraf, Pasar Bebas, Keadilan, dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 103. 41
Bandingkan dengan justitia cummatativa dari Notohamidjojo.
34
sama. Karenanya, agar menjamin distribusi hak yang berimbang tersebut, Rawls juga
menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya
kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial.
Menurut saya, yang menarik dari konsep keadilan yang diusung oleh John Rawls
memprioritaskan mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat yang diperlakukan dengan
tidak adil, dan inilah yang membedakannya dengan konsep keadilan yang ditawarkan oleh
Nozick. Oleh karena itu menurut saya, peraturan-peraturan dalam masyarakat atau undang-
undang seharusnya mampu melihat persoalan yang ada dalam masyarakat sehingga mereka yang
lemah mendapatkan perlindungan serta perlakuan yang adil. Namun perhatian atau keberpihakan
pada mereka yang kurang beruntung bukan hanya mercy „rasa ibah’ tapi bagaimana mampu
memberdayakan masyarakat yang ada misalnya dengan memberikan pekerjaan, dapat bersekolah
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan sebagainya.
2.2.4. Teori Keadilan John Stuart Mill (Konsep Keadilan Utilitarianisme)
Utilitarianisme klasik berakar di paruh kedua abad ke-19 dan paruh kedua abad ke-20.
Mashab ini diasosiakan dengan nama-nama filsuf terkenal seperti Jeremy Bentham, James Mill,
John Stuart Mill, Henry Sidgwick dan G. E. Moore.42
Dari antara mereka para tokoh
Utilitarianisme hanya John Stuart Mill yang menghubungkan utilitarianisme dengan keadilan.
Ide dasar dari utilitarianisme yakni bahwa yang benar untuk dilakukan adalah yang
menghasilkan kebahagiaan dan kebaikan bersama seperti yang disampaikan oleh Mill,
kemanfaatan atau prinsip kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa tindakan yang benar jika
42
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 13.
35
cenderung memperbesar kebahagiaan bukan sebaliknya mengurangi kebahagiaan. Kebahagiaan
yang dimaksudkan adalah kesenangan dan bebas penderitaan atau tidak ada rasa sakit.43
Kaum utilitarian secara tradisional telah mendefinisikan utiliti dalam pengertian
kebahagiaan (happiness), dengan slogan yang umum yakni the greatest happiness of the greatest
number (kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbesar).44
Istilah utilitarianisme berasal dari kata bahasa Latin utilis artinya berguna, manfaat.
Aliran ini berpendapat bahwa baik buruknya suatu tindakan bergantung dari berguna atau
manfaatnya, tapi manfaat tersebut harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan.45
Jeremy Bentham merupakan salah satu tokoh peletak dasar
dari utilitarianisme, mengawali teorinya dengan pernyataan: “Nature has placed mankind under
the governance of to sovereign masters, pain and plesure, it is for them alone to point out what
we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the other hand the standard of right
and wrong. On the other chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us
in all we do, in all we say, in all we think.”46
Pernyataan Bentham di atas menunjukkan bahwa
manusia cenderung pada dua hal yaitu rasa sakit dan kesenangan, karena tujuan akhir manusia
pada umumnya adalah untuk mencapai kebahagiaan.47
Bentham percaya bahwa asas
kebahagiaannya itu berlaku baik bagi tindakan-tindakan individu maupun pemerintah, dan, jika
43
John Stuart Mill, Utilitarinianism, ( New York: Bobbs-Merrill, 1957), 10. 44
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik., 16. 45
Yohanes Wisok, Etika Mengalami Krisis, Membangun Pendirian, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 85. 46
John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Essay on Bentham, edited with an Introduction by Mary
Warnock, (New York: New American Liberty, 1962), 33. 47
Menurut Messakh, motivasi dasar setiap orang dalam bertindak adalah mencapai kebahagiaan dan
menghindari penderitaan. Thobias Messakh, Konsep keadilan dalam Pancasila., 49.
36
diterapkan dalam pemerintah, hal itu mensyaratkan bagaimana memaksimalkan kebahagiaan
terbesar bagi sebagian terbesar masyarakat.48
Dalam membuktikan bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup, ia mengklaim bahwa lewat
pembentukan alamiah manusia, namun ia juga mengakui bahwa hal tersebut tidak dapat
dibuktikan secara langsung.49
Hal ini juga diakui oleh Mill, namun ia menawarkan sebagai
argumennya fakta bahwa setiap orang secara universal sungguh mengharapkan kebahagiaan.50
Karena itulah tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan, dan setiap insan manusia tentunya
menginginkan kebahagiaan.
Dalam kaitannya dengan keadilan, utilitarianisme melihat dua asumsi dasar yakni;
pertama ialah sebuah tindakan yang dikatakan bermoral diukur dari sejauhmana ia diarahkan
pada kebahagiaan. Pada pemahaman inilah Mill selangkah lebih maju dari Bentham. Mill
berpendapat bahwa kebahagiaan bukan hanya kesenangan melainkan juga penderitaan. Asumsi
kedua, suatu tindakan dikatakan benar ditentukan oleh kontribusinya terhadap kebahagiaan.51
Oleh karena itu, sesuatu yang paling utama bagi manusia menurut Bentham adalah bahwa
harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin
dan sedapat-dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Karena kebahagianlah yang baik dan
penderitaanlah yang buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari
kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
48
Ian Shapiro, Asas Moral dalam Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 14. 49
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 14. 50
John Stuart Mill, Utilitarinianism., 7. 51
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 17.
37
Utility (kegunaan), menurut Bentham, adalah setiap objek yang cenderung menghasilkan
manfaat, keuntungan, kesengan, kebaikan, dan kebahagiaan bagi pihak yang kepentingannya
telah dipertimbangkan dengan matang, atau menghindarkan yang bersangkutan dari kejahatan,
pemderitaan, kemalangan, atau ketidak-bahagiaan. Bila pihak yang bersangkutan adalah
masyarakat pada umumnya maka kebahagiaan dimaksud adalah kebahagiaan adalah kebahagiaan
masyarakat; bila pihak yang bersangkutan adalah perorangan maka kebahagiaan yang dimaksud
adalah kebahagiaan perorangan.52
Namun yang menjadi kelemahan dari pemaparan Bentham adalah ia hanya membahas
sebatas pada masalah kebahagiaan. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana menghasilkan
kebahagiaan terbesar bila hanya menekankan pada yang hedonis tanpa menerima rasa sakit,
sedangkan secara realistis penderitaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, keduanya
sudah bagaikan koin mata uang dengan dua sisi yang tidak terpisahkan.53
John Stuart Mill adalah penerus aliran utilitarianisme, dalam karyanya yang berjudul
utilitarianism ia mengakui bahwa apa yang dikemukakan Bentham, bahwa prinsip utama dari
utilitarian adalah mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya (the greatest happiness)
bukan mendatangkan penderitaan.54
Namun yang membedakan anatara Bentham dan Mill adalah
terkait dengan usaha untuk mengukur kebahagiaan atau manfaat sebuah tindakan. Baginya tidak
cukup hanya dengan kuantitatif seperti yang disampaikan oleh Bentham, tetapi kualitas juga
diperlukan dalam mengukur kebahagiaan atau manfaat sebuah tindakan. Artinya bahwa akan
52
John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty., 34. Lih. dalam Thobias Messakh, Konsep keadilan.,49-50. 53
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika., 179. 54
John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty., 257.
38
sulit mengukur serta membandingkan nilai-nilai yang berlainan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tetapi dalam praktik bisa menentukan manakah nilai yang paling berguna untuk banyak orang.55
Menurut Mill, kebahagiaan merupakan satu-satunya tujuan hidup manusia, lanjutnya
suatu tindakan yang benar apabila proporsinya cenderung meningkatkan kebahagiaan.56
Tujuan
inilah yang merupakan tolak ukur tindakan dan perilaku manusia. Tidak ada tujuan lain yang
kelihatannya dikejar oleh manusia sebagai tujuan, sesungguhnya hanyalah alat untuk mencapai
kebahagiaan atau menediakan penderitaan. Sedangkan bagi Bentham, prinsip utilitarisme sebagai
the greatest happiness for the greatest number (kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah
yang sebesar mungkin). Menurut Bentham kehidupan manusia ditentukan oleh dua ketentuan
dasar: Nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Ide dasar the greatest happiness for the
greatest number bagi Mill disebut sebagai “manfaat” atau “prinsip kebahagiaan terbesar.”
Kebahagiaan bagi Mill, haruslah menjadi milik semua orang bukan hanya sekedar pada
kelompok atau individu tertentu.57
Kebahagiaan yang dimaksud oleh Mill, bukan hanya sekedar kenikmatan jasmani
(hedonistik). Kebahagiaan manusia tidak hanya setinggi kepuasan binatang. Sebagai manusia ia
menginginkan kebahagiaan lebih tinggi dari itu, yakni kebahagiaan intelektual.58
Menurut Mill,
moralitas setiap insan manusia dapat dibentuk melalui pendidikan untuk mampu mengekang diri
55
Ibid., xv. 56
Ibid., 273. Lih. Karen Lebaqcz, Teori-teori Keadilan., 15. 57
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika., 179. 58
Paham hedonisme disebarkan oleh Epicurus (341-270 SM), filsuf Yunani kuno. Hedonisme memahami
kenikmatan sebagai tujuan etis manusia. Menurut pemahaman aliran ini, kodratnya manusia
mengusahakan kenikmatan. Kenikmatan tidak selalu berbentuk atau bersifat fisik/jasmani. Etika
Hedonisme berpandangan bahwa manusia akan menjadi bahagia kalau ia mengejar kenikmatan dan
menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. John Stuart Mill, On Liberty (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), xii.
39
sehingga tidak mengejar kepentingan diri sendiri, tetapi mampu memajukan kepentingan
bersama dalam masyarakat.59
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menganut aliran Utilitarianism yang mengajarkan
bahwa manusia harus mengusahakan manfaat atau akibat baik yang sebesar-besarnya bagi
sebanyak mungkin orang di dalam tindakan-tindakannya. Prinsip utilitarian perlu dilengkapi
prinsip keadilan, agar orang tidak mengorbankan hak orang lain dalam mengejar manfaat yang
sebesar-besarnya bagi diri sendiri tetapi mampu menciptakan dan menghadirkan manfaat yang
sebesarnya bagi kehidupan bersama dalam masyarakat.
2.2.4.1. Konsep Keadilan Utilitarianisme
Konsep keadilan yang dibangun oleh Mill, adalah bahwa keadilan utilitarianisme tidak
mengejar akan kepentingan pribadi semata akan tetapi kepentingan bersama sebagai warga
masyarakat. Artinya setiap individu dalam masyarakat harus memiliki kesempatan yang sama
untuk mampu mengakses sumber-sumber penghidupan untuk mencapai kebahagiaannya.
Keadilan berdasarkan pada utilitarian tidak mengijinkan orang mengejar kebahagiaan
individualnya dengan nafsu egoisme karena kebahagiaan individual setiap orang dipenuhi dalam
relasinya dengan utilitas bersama dalam masyarakat (social utility) sehingga terciptanya
kehidupan bersama dalam masyarakt yang adil. Jika tidak maka kepentingan individual yang
diutamakan dan mendatangkan kebahagiaan dan manfaat hanya untuk pribadinya masing-masing
dan mengabaikan kehidupan bersama dalam masyarakat. Sehingga menurut Mill, bahwa
keadilan akan lebih tepat jika diformulasikan berdasarkan pada apa yang berlawanan dengan
keadilan yakni ketidakadilan.
59
Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila., 50.
40
Berdasarkan pada pendekatan tersebut, Mill mencatat ada lima bentuk ketidakadilan; 1.
Merampas kebebasan personal dan harta benda serta hal lain yang dimiliki orang berdasarkan
hukum. Dalam kasus ini konsep keadilan ialah menghargai hak orang berdasarkan hukum (legal
rights) dan yang tidak adil adalah melanggar hak yang ada; 2. Merampas hak moral yang
dimiliki oleh setiap individu. Maka dalam hal ini yang adil adalah menghargai hak moral setiap
individu dalam masyarakat; 3. Manusia tidak memperoleh apa yang seharusnya diterima,
kebaikan dibalas dengan kejahatan dan kejahatan dibalas dengan kebaikan. Yang seharusnya
adalah kebaikan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas dengan kejahatan; 4. Tidak
menaati apa yang telah disepakati bersama. Sedangkan yang adil adalah melaksanakan apa yang
telah disepakati bersama. Akan tetapi yang ingkar janji dapat menebusnya dengan mengganti
kerugian yang ada; 5. Ketidakadilan dalam keberpihakan yang tidak netral. Dimana yang adil
merupakan suatu tindakan yang netral, memperlakukan semua orang secara setara.60
Prinsip-
prinsip tersebut jika dilihat dalam buku Notohamidjojo, kreativitas yang bertanggungjawab, ia
menambahkan satu bentuk ketidakadilan yakni, merampas hak dan kebebasan seseorang untuk
berkreasi dan menciptakan sesuatu.
Kondisi-kondisi seperti ini tampaknya berbeda-beda satu sama lainnya, namun memiliki
elemen dasar yang sama, yaitu pembatasan dalam hukum, namun menurut Mill, konsep ini juga
berlaku bagi setiap kewajiban moral. Lalu, yang membedakan antara kewajiban dalam keadilan
dengan kewajiban yang lain, atau dari aspek moralitas pada umumnya, untuk menjawab
pertanyaan ini, Mill mengadopsi pemikiran Kant, yang mana membedakan antara tanggung
jawab terhadap kewajiban yang sempurna dan terhadap kewajiban yang tidak sempurna. Dimana
pada tanggung jawab yang sempurna melahirkan hak-hak bagi penerimanya; jika saya memiliki
60
John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty., 298-301. Lih. Karen Lebaqcz, Teori-teori keadilan, 20. Lih.
Juga, Notohamidjojo, Kreativitas yang Bertanggungjawab., 638.
41
tanggung jawab untuk tidak menyakiti anda, maka anda memilik hak untuk tidak saya sakiti.
Sedangkan pada tanggung jawab yang tidak sempurna adalah sebaliknya yakni melahirkan hak-
hak yang tidak setara.61
Jadi keadilan bukan hanya sekedar berisi apa yang benar untuk dilakukan atau tidak
benar dilakukan, namun juga sesuatu yang memperbolehkan orang lain mengklaim dari kita
sesuatu sebagai hak moralnya. Hak, pada intinya adalah sesuatu yang mendatangkan utilitas
(manfaat). Sesuatu tindakan adil karena mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyak orang. Karena itu dasar dari keadilan adalah utilitas. Apa yang adil bagi seseorang adalah
apa yang bagi orang lain berguna baginya. Apa yang adil bagi masyarakat adalah apa yang
menurut masyarakat yang bersangkutan bermanfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya
orang. Bagi konsep keadilan utilitarian, sebenarnya yang adil adalah yang dapat mendatangkan
manfaat bagi warga masyarakat. Sehingga jika ada pihak yang merampas dan melanggar hak
sesamanya harus dihukum. Pemahaman semacam ini jika dikaitkan dengan konsep keadilan
menurut Notohamidjojo, maka dapat disebut sebagai justitia creativa, bahwa setiap manusia
sejak awalnya telah menerima bagiannya masing-masing, sehingga jika ada pihak yang
mengambil atau merampas hak milik orang lain maka akan mendapatkan ganjaran atau hukuman
sebanding dengan apa yang dilakukan.
Sifat-sifat esensial dalam keadilan utilitarian sebagai berikut; keadilan mengakui
eksistensi hak-hak individu yang didukung masyarakat dan dijamin dengan hukum yang keras
demi melindungi hak-hak individu, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Hal ini bagi Mill
merupakan hak-hak akan kebebasan.62
Namun yang terpenting adalah keadilan bukan untuk diri
61
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 20. Lih. Thobias Messakh, Konsep keadilan, 52. 62
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 24.
42
sendiri namun yang harus diutamakan adalah kepentingan segenap warga masyarakat. Dalam
kepentingan masyarakat terdapat nilai-nilai yang melindungi dan menjamin hak-hak yang
mendatangkan manfaat umum (general utility) bagi setiap warga masyarakat.63
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan utilitarian yang dibangun oleh
John Stuart Mill, bahwa semua perilaku moral manusia didorong oleh keinginan untuk
memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud juga adalah mencakup kebahagiaan
individu dan kebahagiaan masyarakat sebagai satu totalitas. Warga masyarakat tidak
diperkenankan untuk mengejar kebahagiaan individual, tetapi dalam mengejar kebahagiaannya
harus berdasarkan pada prinsip ada kesempatan yang sama bagi sesamanya untuk memperoleh
kebahagiaan.
Hal terpenting dari konsep keadilan utilitarian adalah di mana adanya kebebasan yang
sebesar-besarnya untuk mendatangkan kebahagiaan bagi jumlah warga masyarakat yang sebesar-
besarnya. Kebebasan tidak dihargai pada dirinya sendiri, tetapi berdasarkan manfaatnya. Dan
inilah yang membedakannya dengan teori-teori keadilan lainnya misalnya konsep keadilan
Nozick, yang mengagungkan kepentingan individual dan mengabaikan kepentingan bersama
dalam masyarakat. Salah satu tokoh keadilan yang mengkritik konsep keadilan utilitarianisme
adalah John Rawls, ia berpendapat bahwa utilitarianisme sudah merusak tuntutan keadilan
dengan mengijinkan adanya warga masyarakat yang dikorbankan demi kebahagiaan bagi
sebesar-besarnya jumlah warga masyarakat. Yang dipertentangkan Rawls adalah bahwa yang
harus didahulukan adalah hak setiap individu itu sendiri bukan manfaat, karena baginya
mendahulukan manfaat berarti manusia menjadikan dirinya hanya sebagai alat dalam aktifitas
63
Bandingkan dengan justitia legalis dan justitia vindicativa dari pendekatannya O. Notohamidjojo dalam
bukunya Kreativitas yang Bertanggungjawab, 638.
43
sosialnya dan ini merupakan sesuatu yang tidak adil, karena beberapa orang akan mendapat lebih
banyak daripada yang lainnya.
2.2.5. Teori Keadilan dalam Perspektif Alkitabiah dari Karen Lebacqz
Konsep keadilan yang dibangun oleh Karen Lebacqz, lebih kepada pengalaman atau
realitas ketidakadilan, tidak saja hanya berdasarkan pada nalar rasional-filosofis semata, karena
jika demikian, maka tidak mampu menjawab persoalan ketidakadilan sosial yang ada dalam
masyarakat. Karena yang dibutuhkan adalah keterlibatan dan mampu menghargai serta
mendengarkan suara dari mereka-mereka yang mengalami ketidakadilan sebagai titik berangkat
dalam membangun konsep keadilan. Dalam pengertian bahwa, konsep keadilan tersebut tidak
hanya akan menjadi suatu teks saja tetapi justru mampu menjawab masalah dalam masyarakat
karena bertolak dari pengalaman ketidakadilan.64
Keadilan dimaksud adalah keberpihakan dan pembelaan kepada mereka yang lemah dan
tertindas yakni dalam bentuk pembebasan. Perbuatan pembebasan terdiri atas mendengarkan,
memperhatikan, dan membebaskan. Dalam artian bahwa Tuhan dalam melawan dan mengakhiri
ketidakadilan akan berujung pada aksi pembebasan. Dalam peristiwa pembebasan oleh Tuhan,
mereka yang mengalami ketidakadilan secara penuh dibebaskan dari cengkeraman penindas
dengan tetap membutuhkan partisipasi dari mereka yang tertindas. Para korban ketidakadilan,
tidak membutuhkan sekedar konsep-konsep filosofis-rasional, seperti netralitas, tidak memihak
dan rasionalitas murni tanpa perasaan tetapi yang diperlukan adalah empati dan solidaritas.
Menurut pandangan Henry Stob, bahwa pengalaman untuk bersama-sama dengan mereka
yang mengalami ketidakadilan dan keberpihakan kepada mereka yang tertindas, lemah, dan
64
Karen Lebacqz, Justice in an Unjust World: Foundation for Christian Approach to Justice (Minneapolis:
Augsburg Publishing House, 1987), 52.
44
korban eksploitasi merupakan bukti nyata dari sikap empati dan solidaritas kepada mereka yang
mengalami ketidakadilan. Karena menurutnya jika hal inilah yang harus dilakukan, dengan
menjadikan keadilan sebagai suatu operasi dalam memeberikan jaminan bagi masyarakat, maka
otomatis akan membangkitkan kemenangan atau kemerdekaan bagi setiap warga terutama
mereka yang terasing dan kurang mendapatkan tempat dalam masyarakat.65
Dalam memahami maksud dan tujuan dari teks Alkitab, menurut Lebacqz diperlukan
hermeneutika kecurigaan. Hermeneutika kecurigaan yang dimaksud adalah memanfaatkan
konsep-konsep yang ada untuk menginterpretasi realitas ketidakadilan sosial, dengan kesadaran
kritis bahwa konsep-konsep yang ada tidak luput dari pengaruh egoisme individu dan kelompok
tertentu di dalam masyarakat. Demikian juga setiap orang dalam membaca dan menafsir Alkitab
menurut kepentingannya masing-masing baik untuk hal yang baik maupun sebaliknya. Karena
itu dibutuhkannya suatu dialog dan saling menerangi baik dari Alkitab maupun dari realitas
kehidupan kita. Alkitab menerangi pemahaman kita terhadap realitas kehidupan dan realitas
kehidupan menerangi interpretasi kita terhadap Alkitab.66
2.2.5.1. Keberpihakan Allah pada Mereka yang Tertindas
Keadilan harus pertama-tama dilihat dalam keadilan Allah, maksudnya adalah keadilan
yang dinyatakan Allah dalam kerelaan-Nya membela hak-hak orang miskin dan tertindas (Mzm
10:18; 35: 10; 103:6; Yer. 9:24). Stephen Charles Mott, dalam kajiannya melihat bahwa keadilan
secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya bagaimana mendistribusikan kebutuhan bagi
orang lain. Ia bertolak dari pemahamannya Rawls bahwa keadilan diharuskan dan diutamakan
bagi mereka yang paling tidak beruntung. Artinya bahwa Allah memberi kepada orang miskin
65
Henry Stob, “The Concept of Justice.”Calvin Theological Jurnal, jil. 9. No. 2, 1974, 133-147. 66
Karen Lebacqz, Justice in an Unjust World., 61.
45
karena mereka membuthkannya, namun pada satu sisi Allah juga menuntut ketaatan dari
umatnya, sehingga Mott, memberi penegasan bahwa keadilan sebenarnya adalah suatu respon
atau tanggungjawab terhadap keadilan Tuhan.67
Menurut Lebacqz, keadilan merupakan apa yang Tuhan kerjakan. Maksud dari apa yang
Tuhan kerjakan adalah membebaskan dan mengasihi mereka-mereka yang tertindas, lemah dan
miskin. Misalnya dalam cerita-cerita dalam Alkitab mengungkapkan realitas ketidakadilan
sekaligus perjuangan untuk menegakan keadilan. Cerita-cerita tersebut merupakan pengalaman
komunitas iman (Israel dan gereja awal) terhadap peristiwa yang diimani sebagai tindakan
Allah.68
Meskipun manusia mengalami berbagai ancaman, termasuk ketidakadilan, yang
merusak dan memusnahkan kehidupannya tetapi Allah selalu bertindak untuk membela dan
menyelamatkan, termasuk menegakkan keadilanNya bagi manusia, sebab itu dalam peristiwa
yang diimani sebagai peristiwa yang dalamnya Allah secara khusus menyatakan kehendak dan
perbuatanNya, diperingati oleh komunitas iman, turun temurun dari generasi ke generasi.69
Peristiwa dimana Allah menyatakan kehendak dan perbuatanNya dalam kehidupan
umatNya salah satunya adalah melalui peristiwa pembebasan umat Israel dari perbudakan Mesir.
Sebagai suatu cara bagaimana keberpihakan Allah akan penderitaan dan keluhan yang dialami
oleh bangsa Israel dibawah pemerintahan bangsa Mesir.70
Peristiwa Keluaran (kitab Keluaran),
hukum Tahun Yobel (kitab Imamat), dan kesaksian Yesus tentang misiNya sebagai Mesias
dalam Lukas 4:18-20, inilah yang dipakai oleh Lebacqz sebagai sumber inspirasi utama dalam
membangun konsep keadilannya. Dalam peristiwa Keluaran, jika diperhatikan dengan seksama,
67
Stephen Charles Mott, Biblical Ethics and Social Change (New York: Oxford University Press, 1982),
59-64. 68
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 208. 69
Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila., 96. 70
Karen Lebacqz, Teori-teori keadilan., 202.
46
bahwa kepedulian Allah terhadap keadilan sosial bukan hanya dalam tuntutan moral belaka
melainkan bagaimana menerapkannya dalam konteks kehidupan nyata. Kepedulian terhadap
mereka yang lemah, marginal, miskin dan kurang beruntung dalam suatu komunitas masyarakat
tidak dapat dibiarkan karena bagaimanapun itu mereka adalah ciptaan Allah yang patut untuk
dihargai dan dihormati.
Berdasarkan peristiwa Keluaran, Lebacqz menyimpulkan bahwa pembebasan (liberation)
adalah tindakan Allah yang utama berhadapan dengan ketidakadilan.
The God of the Bible therefore first and foremost the God of liberation God is the
liberator God of Exodus, who leads (the) people out of every kind of bondage,
spiritual, political, social, and economic. It is the saving of the “rabble of
slaves” that becomes God’s, signal act of justice. God’s justice begins in the
declaration, “I will rescue you”...For oppressed peoples around the world, today
as in the days of ancient Israel, liberation from oppression is the primary from of
God’s justice. God’s justice begins in respons to the injustice of exxploitation
and oppression...The God known to both the Israelites and the early Christians
was a God who hears and responds to the sufferings of the people. It was this
that distinguished YHWH from other God’s.71
Pembebasan adalah isi dan bentuk keadilan Allah. Keadilan Allah selalu berpihak dan
membela hak-hak mereka yang tertindas. Perbuatan pembebasan Allah terdiri atas
mendengarkan, memperhatikan, dan membebaskan. Pembebasan Israel dari penindasan Mesir
merupakan tanda keberpihakan Allah terhadap merekayang lemah, dan penghukuman bagi
mereka yang menindas sesamanya sepertinya yang dilakukan Allah kepada Firaun sebagai
pemimpin kejahatan. Keadilan yang dinyatakan Allah dengan menghukum yang jahat, bukan
saja pada Firaun tetapi juga pada umatnya yang berlaku tidak setia pada Tuhan.72
Dalam Perjanjian Lama, perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan telah ada
sebagaimana yang ditunjukan oleh hukum atau peraturan, misalnya pengaturan hak-hak milik,
71
Karen Lebacqz, Justice in an Unjust World: Foundation for Christian., 71 72
Bandingkan: Keluaran 9:27; Nehemia 9:33.
47
Yobel dan sebagainya. Kata Yobel diambil dari kata Ibrani yobeel, yang berarti nafiri. Nafiri
merupakan alat yang dipakai untuk membuka tahun tersebut pada hari perdamaian besar. Yakni
pada tanggal 10 bulan ketujuh tahun ke-49 atau tahun sabat yang ketujuh. Tahun Yobel terdapat
dalam Imamat 25:8-17, 23-55. Singkatnya, isi hukum Tahun Yobel sebegai berikut. Setelah tujuh
tahun Sabath (49 tahun) berlalu, yaitu pada tahun kelima puluh, bertepatan dengan hari raya
perdamaian, yaitu Imam Besar melaksanakan ritual pengampunan dosa bagi segenap umat Israel,
diumumkan hari pembebasan bagi Israel. Pada hari itu nafiri dibunyikan di seluruh negeri Israel
dan mengumumkan bahwa hari pembebasan telah tiba. Yang berhutang harus dibebaskan dari
hutangnya dan hutangnya dihapus. Para budak harus memperoleh kembali kebebasannya tanpa
syarat. Demikian pula, tanah-tanah yang sedang dijual ataupun digadai dikembalikan kepada
pemiliknya tanpa harga tebusan.
Para tuan wajib membebaskan para budak, dan para pembeli/penerima gadai harus
mengembalikan tanah kepada pemiliknya tanpa harga tebusan.” Kamu harus menguduskan tahun
kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus
menjadi tahun Yoel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulanh ke tanah milik dan
kaumnya.” (Imamat 25:10). Kewajiban umat Israel melaksanakan hukum Tahun Yobel
didasarkan pada asas iman: 1. TUHAN pemilik tanah dan orang-orang Israel hanya penggarap,
dan 2. Orang Israel adalah budak-budak yang dibebaskan oleh Tuhan.
Hukum tahun Yobel adalah tindakan intervensi Allah untuk menegakan keadilanNya
dalam kehidupan umat Israel yang dibelenggu oleh ketidakadilan. Warga Israel yang karena
berbagai alasan, terutama ekonomi, telah menjadi budak dan kehilangan kebebasannya,
berdasarkan keadilan Allah, mereka harus memperoleh kembali kebebasannya. Sebagai orang
48
bebas, setiap orang Israel memperoleh kembali hak politik dan ekonominya. Lebacqz
menyimpulkan bahwa:
Whether the jubilee was practied – or, indeed, whether it was ever intended to be
practiced – the range of provisions is such that the jubilee laws have had a
“sweeping impact” on the social and political life of the community. The freeing of
slaves, rest on renewal for the land, amnesty of the indebted... They are rich in
images of political liberation and economic renovation...Further, the jubilee year
was to be “consecrated” or “hallowed.” This means that the year is submitted in
special way to Yahweh’s will. It includes the announcement of God’s reign.73
Menurut Lebacqz, meskipun hukum tahun Yobel, senyatanya diberlakukan atau tidak, ia
tetap menjadi sumber inspirasi yang relevan bagi masyarakat modern untuk membangun
keadilan sosialnya. “The jubilee is an image, not a program for justice. It tell us with a once for-
all plan of how to go about such liberation and restructuring.”74
Dari hukum tahun Yobel masyarakat modern memperoleh pelajaran sebagai berikut: 1.
Keadilan, pertama-tama, berarti membebaskan yang tertindas dari kekuasaan yang menindas.
Dalam hal ini keadilan berarti mengembalikan hak-hak (sosial, politik, ekonomi, religius)
kelompok tertindas. Untuk menegakan keadilan dalam dunia yang tidak adil, diperlukan tidak
sekedar perubahan periferal, misalnya, bantuan karitatif. Yang diperlukan adalah perubahan
struktur sosial, politik, dan ekonomi agar lebih memampukan kelompok masyarakat yang
tertindas memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk membagun kehidupannya, tanpa
penindasan; 2. Konsep bahwa Allah adalah pemilik kehidupan dan sumber-sumber kehidupan
memperingatkan manusia modern untuk tidak mengartikan keadilan hanya sebagai hak
kebebasan individual untuk memperoleh dan memiliki, sebab, tanpa Allah, sebagai pencipta dan
73
Ibid., 124-125. 74
Ibid., 126-127.
49
pemilik alam semesta manusia tidak mampu memiliki apa-apa oleh karena itu yang dikehendaki
oleh Allah ialah manusia hidup saling peduli satu sama lainnya.75
Menurut Lebacqz, konsep keadilan dalam hukum tahun Yobel merupakan inti dari misi
Yesus sebagai Mesias, menurut Injil Lukas (Lukas 4:16-21). Yesus datang untuk menggenapi
apa yang dinubuatkan nabi Yesaya: Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk
memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang” (Lukas 4:18-19, bandingkan Yesaya 62:1-2a). Dalam Lukas 4: 18-19, mereka yang
lemah, miskin, dan tertindas menjadi tujuan dari pembebasan Allah. Orang-orang ini sebenarnya
merupakan ungkapan simbolik yang mewakili semua orang yang tertindas dalam konteks relasi
sosial umat Israel. Jurgen Moltmann mengungkapkan bahwa istilah orang miskin merupakan
istilah simbolik bagi mereka yang kelaparan, tidak mempunyai sumber penghidupan, orang yang
sakit, yang diasingkan dan direndahkan, orang yang tidak punya pengharapan masa depan, orang
yang sedih dan menderita.76
Memahami misi Yesus sebagai Mesias tidak dapat terlepas dari tindakan keadilan Allah
yang berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas. Yesus telah menjadikan mereka yang
miskin dan tertindas sebagai tujuan paling utama dari pelayanan-Nya. Permohonan
pengampunan dosa dalam doa Bapa Kami yang Yesus ajarkan, menggunakan kata Yunani
(aphiemi) yang berarti pembebasan dari hutang. Para teolog pembebasan menjadikan hukum
75
Ibid., 137-139. 76
Jurgen Moltmann, The Way of Jesus Christ: Christology in Mesianic Dimensions (London: SCM Press,
1990), 99.
50
Tahun Yobel dan misi Yesus menurut Injil Lukas, sebagai sudut pandang pemahaman tentang
keadilan.77
Melihat tujuan misi sebenarnya adalah menegakan keadilan sosial. Selain masalah
pemberitaan firman dan pemuridan sebagai bagian penting dalam penginjilan adalah masalah
sosial, maksudnya bagaimana misi tersebut dapat menjangkau konteks manusia yang hidup
dalam satu komunitas masyarakat khususnya mereka yang tertindas dan lemah karena tanpa hal
tersebut misi itu tidaka akan berarti.
Menurut saya, konsep keadilan dari Karen Lebacqz, menekankan pada peran
pembebasan, yakni menegakan keadilan dengan cara membebaskan warga masyarakat dari
penindasan dan ketidakadilan. Yang membuat menarik dari konsep keadilan Lebacqz adalah di
mana ia mendekati konsep keadilannya dari pengalaman-pengalaman mereka yang mengalami
ketidakadilan tersebut, karena bagi saya metode yang digunakan Lebacqz, merupakan suatu
metode yang sangat baik dan cocok dalam membangun suatu konsep keadilan karena suara dan
pengalaman mereka mengenai ketidakadilan dan keadilan bersumber dari pengalaman yang
nyata, bukan hanya sekedar konstruksi akal-budi belaka.
Realitas ketidakadilan harus menjadi titik berangkat dalam perumusan konsep keadilan,
ini yang menjadi penekanan dari Lebacqz. Para konseptor keadilan dari etika filsafat
mengabaikan hal ini. karena itu ia berusaha membangun konsep keadilan berdasarkan realitas
ketidakadilan. Akan tetapi dalam usaha seperti ini tetap diperlukan dasar yang menjadi acuan
interpretasi. Karena itu, ia memilih konsep-konsep teologis dalam Alkitab sebagai acuan
interpretasinya. Lebacqz, akhirnya, tiba pada kesimpulan bahwa konsep keadilan yang
77
Ibid., 126.
51
didasarkan pada realitas ketidakadilan dan usaha untuk mengatasinya, harus: 1. Berpihak pada
yang miskin dan tertindas; 2. Menjadikan pembebasan sebagai nilai utamanya; 3. Pembebasan
untuk menciptakan relasi yang benar berdasarkan keadilan Allah, yaitu saling peduli dan saling
betanggungjawab; 4. Untuk itu diperlukan perombakan dan pembaharuan struktur sosial, politik,
dan ekonomi; 5. Setiap konsep keadilan harus terbuka untuk dikoreksi dan diperbaiki, karena
manusia selalu lengah dan lemah terhadap godaan egoismenya.
2.3. Kesimpulan
Melihat kembali pada pandangan tokoh mengenai keadilan yang sudah disampaikan
sebelumnya, menurut saya, bahwa dalam suatu persekutuan hidup bersama harus ada satu nilai
bersama yang yakni nilai keadilan. Dengan bertujuan agar mampu mengatur hubungan manusia
yang satu dengan yang lainnya demi tercapainya tujuan hidup bersama. Tujuan hidup bersama
yang dimaksudkan adalah kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh anggotanya.
Keadilan bukan berarti melihat orang lain sebagai objek dan diri kita sebagai subyek, tetapi
melihat orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang seharusnya dan patut untuk dihargai dan
dihormati.
Konsep keadilan yang diangkat oleh para tokoh keadilan, menurut hemat saya, lebih
menekankan kepada dua kepentingan utama yakni kepentingan bersama dan kepentingan
individu. Ada yang mengharuskan untuk hidup bersama walaupun harus berkorban namun
adapula yang tetap menekankan pada kepentingan pribadi, tanpa mempedulikan orang lain di
sekitarnya. Misalnya konsep keadilan Rawls, melihat bahwa keadilan yang sesungguhnya adalah
ketika pendistribusian haruslah merata kepada setiap anggota masyarakat, terutama berpihak
kepada mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat. Demikian halnya dengan Mill, bahwa
52
keadilan dalam kehidupan bersama akan mampu bertahan jika mendatangkan kebahagiaan atau
manfaat bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Artinya bahwa dalam membangun suatu
kehidupan bersama, kepentingan-kepentingan individual sebaiknya disampingkan dan
mengutamakan pada kepentingan bersama.
Konsep keadilan Rawls, Mill, dan para tokoh keadilan lainnya yang mengutamakan pada
kepentingan bersama ditolak oleh kelompok Nozick, di mana lebih menekankan pada
kepentingan individu dibandingkan kepentingan bersama. Bahwa keadilan sesungguhnya adalah
bukan dengan berkorban demi kebahagiaan orang lain tetapi keadilan itu adalah ketika bekerja
dan mendapatkan hasil. Bukan seperti kisah manna pada masa Israel, yang hanya menunggu, dan
makanan datang dengan sendirinya. Baginya walaupun saya secara pribadi memeliki harta yang
berlimpah, dan orang disamping saya hidup dalam kemelaratan, itu bukan hak saya untuk
memberinya bantuan, tetapi itu adalah kesalahannya, yang tidak mau berusaha dan bekerja
dengan keras.
Dari dua kelompok ini dapat kita melihat bahwa masing-masing ada kekurangan dan
kelebihannya masing-masing, tetapi yang sekarang diharapkan adalah bagaimana
mempersatukannya dalam satu konsep bersama dimana keadilan dapat dirasakan oleh semua
pihak. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita mampu melihat dan
mendengarkan suara mereka yang mengalami ketidakadilan tersebut, karena dengan begitu,
maka akan memudahkan dan membantu untuk merumuskan konsep keadilan bagi semua. Hal
inilah yang dilihat oleh Lebacqz dalam membangun konsep keadilannya, bahwa sebelum
membangun suatu konsep keadilan, langkah awal yang patut untuk dilihat adalah mendengarkan
suara dari mereka yang mengalami ketidakadilan.
53
Sebagai suatu langkah yang baik membangun konsep keadilan dengan mendengarkan
mereka yang mengalami ketidakadilan, namun ada satu hal menarik yang coba saya lihat dari
konsep keadilan Notohamidjojo, dimana ia mengelompokannya dalam enam bagian
(kommntativa, distributiva,vindicativa, creative, protective, dan legalis) yakni memberikan
kepada setiap individu hak dan kewajibannya, dengan diberikan perlindungan untuk menjamin
kebebasan masing-masing individu dalam menjalankan kreativitasya tanpa ada intervensi dari
kelompok tertentu.