Post on 13-Dec-2014
TUGAS
TEKNIK LAHAN URUG SAMPAH
TATA CARA PEMILIHAN LOKASI TPA BERDASARKAN
SNI 19 – 3241 – 1994
OLEH
KELOMPOK 1:
ARY ZAMZAMI 0810942028
ELSANDY ADHA MUKHTI 0810942035
KURNIA NOVITASARI 0910941005
NADIA PUTRI 1010941001
WIDIA YULIANTI 1010941009
RAGIL NUR PERMADI 1010941010
RIZKI ANANDA 1010942002
DOSEN:
YOMMI DEWILDA, MT
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehadiran tempat pemrosesan akhir (TPA) seringkali menimbulkan dilema. TPA dibutuhkan,
tetapi sekaligus tidak diinginkan kehadirannya di ruang pandang. Kegiatan TPA juga
menimbulkan dampak gangguan antara lain: kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan
binatang-binatang vektor. Belum terhitung ancaman bahaya yang tidak kasat mata, seperti
kemungkinan ledakan gas akibat proses pengolahan yang tidak memadai. Lebih lanjut,
sampah juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang ada di
sekitarnya akibat penguasaan lahan oleh kelompok orang yang hidup dari pemulungan.
Konflik bisa memuncak pada protes dari masyarakat kepada pengelola TPA untuk
menutupnya dan memindahkannya ke tempat yang lain.
Pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah merupakan salah satuprogram
nasional di daerah, yang berkaitan dengan penyediaan tempat penampungan akhir sampah.
UU No 18 Tahun 2008 menyatakan pada BAB XVI Ketentuan Peralihan Pasal 44 bahwa
“Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir
sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini”. Hal ini mengakibatkan masing-masing kota
atau kabupaten wajib untuk merencanakan TPA yang berbasiskan sanitary landfill atau
controlled landfill terhitung 1 tahun sejak undang-undang ini diberlakukan (Undang-undang
No.18, 2008). Oleh karena itu, studi penentuan lokasi pembangunan TPA disuatu Kota atau
kawasan perlu dilakukan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami tata cara pemilihan lokasi TPA berdasarkan SNI 19 – 3241 – 1994;
2. Menganalisa studi kasus pemilihan lokasi TPA berdasarkan SNI 19 – 3241 – 1994.
BAB II
SNI 19 – 3241 – 1994
Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap akhir
dalam pengelolaannya, dimana diawali dari sumber, pengumpulan, pemindahan atau
pengangkutan, serta pengolahan dan pembuangannya. TPA merupakan tempat dimana
sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan kerusakan atau dampak negatif
terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan penyediaan fasilitas dan
penanganan yang benar agar pengelolaan sampah tersebut dapat terlaksanan dengan baik.
Penentuan tempat akhir pembuangan (TPA) sampah harus mengikuti persyaratan dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah melalui SNI nomor 03-3241-1994
tentang tata cara pemilihan lokasi TPA sampah.
Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus
mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), ketertiban umum,
kebersihan kota atau lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan
perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
2.1 Prinsip Pemilihan Calon Lokasi
Salah satu kendala pembatas dalam penerapan metoda pengurugan limbah dalam tanah
(landfilling atau lahan-urug) adalah bagaimana memilih lokasi yang cocok baik dilihat dari
sudut kelangsungan pengoperasian, maupun dari sudut perlindungan terhadap lingkungan
hidup. Aspek teknis sebagai penentu utama untuk digunakan adalah aspek yang terkait
dengan hidrologi dan hidrogeologi site.
Limbah merupakan kumpulan dari beberapa jenis buangan hasil samping dari kegiatan,
yang akhirnya harus diolah dan diurug dalam suatu lokasi yang sesuai. Permasalahan yang
timbul adalah bahwa sarana ini merupakan sesuatu yang dijauhi oleh masyarakat sehingga
persyaratan teknis untuk penempatan sarana ini perlu didampingi oleh persyaratan non
teknis. Apalagi bila yang akan diurug adalah jenis limbah yang berbahaya. Persyaratan non
teknis yang utama ialah kecocokan sarana tersebut dalam lingkungan sosial budaya
masyarakat di sekitarnya. Lebih luas lagi, kecocokan lokasi ini dipengaruhi oleh
kebijaksanaan daerah yang dalam bentuk formal dinyatakan dalam rencana tata ruang.
Dalam rencana tersebut biasanya sudah dinyatakan rencana penggunaan lahan.
Secara ideal, pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi sebuah landfill adalah didasarkan
atas berbagai aspek, terutama:
1. Kesehatan masyarakat;
2. Lingkungan hidup;
3. Biaya, dan
4. Sosio-ekonomi
disamping aspek-aspek lain yang sangat penting, seperti aspek politis dan legal yang
berlaku disuatu daerah atau negara.
Aspek kesehatan masyarakat berkaitan langsung dengan manusia, terutama kenaikan
mortalitas (kematian), morbiditas (penyakit), serta kecelakaan karena operasi sarana
tersebut. Aspek lingkungan hidup terutama berkaitan dengan pengaruhnya terhadap
ekosistem akibat pengoperasian sarana tersebut, termasuk akibat transportasi dan
sebagainya. Aspek biaya berhubungan dengan biaya spesifik antara satu lokasi dengan
lokasi yang lain, terutama dengan adanya biaya ekstra pembangunan, pengoperasian dan
pemeliharaan. Aspek sosio-ekonomi berhubungan dengan dampak sosial dan ekonomi
terhadap penduduk sekitar lahan yang dipilih. Walaupun dua lokasi yang berbeda
mempunyai pengaruh yang sama dilihat dari aspek sebelumnya, namun reaksi masyarakat
setempat dengan dibangunnya sarana tersebut bisa berbeda.
Pertimbangan utama yang harus selalu dimasukkan dalam penentuan lokasi site adalah
[EPA 530-R-95-023]:
1. Mempertimbangkan penerimaan masyarakat yang akan terkena dampak;
2. Konsisten dengan land-use planning di daerah tersebut;
3. Mudah dicapai dari jalan utama;
4. Mempunyai tanah penutup yang mencukupi;
5. Berada pada daerah yang tidak akan terganggu dengan dioperasikan landfill tersebut;
6. Mempunyai kapasitas tampung yang cukup besar, biasanya 10 sampai 30 tahun;
7. Tidak memberatkan dalam pendanaan pada saat pengembangan, pengoperasian,
penutupan, pemeliharaan setelah ditutup, dan bahkan biaya yang terkait dengan upaya
remediasi;
8. Rencana pengoperasian hendaknya terkait dengan upaya kegiatan lain yang sangat
dianjurkan, yaitu kegfiatan daur-ulang.
Suatu metodologi yang baik tentunya diharapkan bisa memilih lahan yang paling
menguntungkan dengan kerugian yang sekecil- kecilnya. Dengan demikian metodologi
tersebut akan memberikan hasil pemilihan lokasi yang terbaik, dengan pengertian:
1. Lahan terpilih hendaknya mempunyai nilai tertinggi ditinjau dari berbagai aspek;
2. Metode pemilihan tersebut dapat menunjukkan secara jelas alasan pemilihan.
Proses pemilihan lokasi lahan-urug idealnya hendaknya melalui suatu tahapan penyaringan.
Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan dipilih dan disaring. Pada
setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur, berdasarkan kriteria yang digunakan di
tingkat tersebut. Penyisihan tersebut akan memberikan beberapa calon lokasi yang paling
layak dan baik untuk diputuskan pada tingkat final oleh pengambil keputusan. Di negara
industri, penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat tahapan, yaitu:
1. penyaringan awal;
2. penyaringan individu, dan;
3. penyaringan final.
Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata guna dan
peruntukan yang telah digariskan di daerah tersebut. Secara regional, daerah tersebut
diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi-lokasi mana saja yang dianggap
tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah. Pada taraf ini parameter yang digunakan
hanya sedikit.
Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu, kemudian
dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian-kajian yang lebih mend
alam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit. Parameter beserta kriteria yang
diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan lengkap. Lokasi-lokasi tersebut kemudian
dibandingkan satu dengan yang lain, misalnya melalui pembobotan.
Tahap terakhir adalah tahap penentuan. Penyaringan final ini diawali dengan pematangan
aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang terkait dengan aspek
sosio-ekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada. Tahap ini kemudian diakhiri dengan
aspek penentu, yaitu oleh pengambil keputusan suatu daerah. Aspek ini bersifat politis,
karena kebijakan pemerintah daerah/pusat akan memegang peranan penting. Kadangkala
pemilihan akhir ini dapat mengalahkan aspek teknis yang telah disiapkan sebelumnya.
2.2 Ketentuan-Ketentuan Penentuan Lokasi TPA
Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA ialah
sebagai berikut (SNI nomor 03-3241-1994) :
1. Ketentuan Umum
Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut.
2. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu :
a. Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi
daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona
kelayakan
b. Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi
terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap
regional
c. Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi
yang berwenang.
3. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA
sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.
2. Kriteria
Adapun Kriteria untuk penentuan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian :
a. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak
layak sebagai berikut :
1) Kondisi geologi
a. tidak berlokasi di zona holocene fault.
b. tidak boleh di zona bahaya geologi.
2) Kondisi hidrogeologi
a. tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter.
b. tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm / det.
c. jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran.
d. dalam hal tidak ada zona yang memenuffi kriteria-kriteria tersebut diatas, maka harus
diadakan masuJkan teknologi.
3) kemiringan zona harus kurang dari 20%.
4) jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan
turbojet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain
5) tidak boleh pada daerah lindung / cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25
tahun
b. Kriteria penyisih, yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri
dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut :
1) Iklim
a. hujan intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
b. angin : arah angin dominan tidak menuju ke pemukiman dinilai makin baik
2) Utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik
3) Lingkungan biologis :
a. habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik
b. daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik
4) Kondisi tanah
a. produktivitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi
b. kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih
baik
c. ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup dinilai lebih baik
d. status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik
5) Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik
6) Batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai makin baik
7) Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
8.) Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
9) Estetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai makin baik
10) Ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3 / ton) dinilai semakin
baik.
c. Kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk
menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang
berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.
2.3 Beberapa Parameter Penentu
Beberapa alasan mengapa sebuah parameter serta kriterianya penting untuk
dipertimbangkan dalam pemilihan sebuah calon lokasi akan diuraikan di bawah ini. Biasanya
parameter yang digunakan dalam pemilihan awal dapat digunakan lagi pada pemilihan
tingkat berikutnya dengan derajad akurasi data yang lebih baik. Jumlah parameter pemilihan
awal yang digunakan umumnya lebih sedikit, dan dipilih yang paling dominan dalam
menimbulkan dampak. Parameter-parameter tersebut biasanya sudah terdata ( data
skunder) dengan baik, dan langsung dapat dimanfaatkan sehingga dapat disebut sebagai
parameter penyisih.
Beberapa parameter penyaring awal yang sering digunakan adalah: Geologi
1. Hidrogeologi;
2. Hidrologi;
3. Topografi;
4. Ketersediaan tanah;
5. Tataguna lahan;
6. Kondisi banjir;
7. Aspek-aspek penting yang lain.
1. Geologi:
Fasilitas landfilling tidak dibenarkan berlokasi di atas suatu daerah yang mempunyai sifat
geologi yang dapat merusak keutuhan sarana tersebut nanti. Daerah yang dianggap tidak
layak adalah daerah dengan formasi batu pasir, batu gamping atau dolomit berongga dan
batuan berkekar lainnya. Daerah geologi lainnya yang penting untuk dievaluasi adalah
potensi gempa, zone volkanik yang aktif serta daerah longsoran.
Lokasi dengan kondisi lapisan tanah di atas batuan yang cukup keras sangat diinginkan.
Biasanya batu lempung atau batuan kompak lainnya dinilai layak untuk lokasi landfill. Namun
jika posisi lapisan batuan berada dekat dengan permukaan, operasi
pengurugan/penimbunan limbah akan terbatas dan akan mengurangi kapasitas lahan
tersedia. Disamping itu, jika ada batuan keras yang retak/patah atau permeabel, kondisi ini
akan meningkatkan potensi penyebaran lindi ke luar daerah tersebut. Lahan dengan lapisan
batuan keras yang jauh dari permukaan akan mempunyai nilai lebih tinggi.
2. Hidrogeologi
Hidrogeologi adalah parameter kritis dalam penilaian sebuah lahan dan merupakan
komponen penyaring yang paling pent ing, terutama untuk mengevaluasi potensi
pencemaran air tanah di bawah lokasi sarana, dan potensi pencemaran air pada akuifer di
sekitarnya. Sistem aliran air tanah akan menentukan berapa hal, seperti arah dan kecepatan
aliran lindi, lapisan air tanah yang akan dipengaruhi dan titik munculnya kembali air tersebut
di permukaan. Sistem aliran air tanah peluahan (discharge) lebih diinginkan dibandingkan
yang bersifat pengisian (recharge). Lokasi yang potensial untuk dipilih adalah daerah yang
dikontrol oleh sistem aliran air tanah lokal dengan kemiringan hidrolis kecil dan kelulusan
tanah yang rendah.
Lahan dengan akuitard, yaitu formasi geologi yang membatasi pergerakan air tanah, pada
umumnya dinilai lebih tinggi dari pada lokasi tanpa akuitard, karena formasi ini menyediakan
perlindungan alami guna mencegah tersebarnya lindi. Tanah dengan konduktivitas hidrolis
yang rendah (impermeabel) sangat diinginkan supaya pergerakan lindi dibatasi. Pada
umumnya lahan yang mempunyai dasar tanah debu (silt) dan liat (clay) akan mempunyai
nilai tinggi, sebab jenis tanah seperti ini memberikan perlindungan pada air tanah. Lahan
dengan tanah pasir dan krikil memerlukan masukan teknologi yang khusus untuk dapat
melindungi air tanah sehingga akan dinilai lebih rendah.
3. Hidrologi
Fasilitas pengurugan limbah tidak diinginkan berada pada suatu lokasi dengan jarak antara
dasar sampai lapisan air tanah tertinggi kurang dari 3 meter, kecuali jika ada pengontrolan
hidrolis dari air tanah tersebut. Permukaan air yang dangkal lebih mudah dicemari lindi.
Disamping itu, lokasi sarana tidak boleh terletak di daerah dengan sumur-sumur dangkal
yang mempunyai lapisan kedap air yang tipis atau pada batu gamping yang berongga.
Lahan yang berdekatan dengan badan air akan lebih berpotensi untuk mencemarinya, baik
melalui aliran permukaan maupun melalui air tanah. Lahan yang berlokasi jauh dari badan
air akan memperoleh nilai yang lebih tinggi dari pada lahan yang berdekatan dengan badan
air.
Iklim setempat hendaknya mendapat perhatian juga. Makin banyak hujan, makin besar pula
kemungkinan lindi yang dihasilkan, disamping makin sulit pula pegoperasian lahan. Oleh
karenanya, daerah dengan intensitas hujan yang lebih tinggi akan mendapat penilaian yang
lebih rendah dari pada daerah dengan intensitas hujan yang lebih rendah.
4. Topografi
Tempat pengurugan limbah tidak boleh terletak pada suatu bukit dengan lereng yang tidak
stabil. Suatu daerah dinilai lebih bila terletak di daerah landai agak tinggi. Sebaliknya, suatu
daerah dinilai tidak layak bila terletak pada daerah depresi yang berair, lembah-lembah yang
rendah dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan air permukaan dengan kemiringan
alami > 20 %.
Topografi dapat menunjang secara positif maupun negatif pada pembangunan saranan ini.
Lokasi yang tersembunyi di belakang bukit atau di lembah mempunyai dampak visual yang
menguntungkan karena tersembunyi. Namun suatu lokasi di tempat yang berbukit mungkin
lebih sulit untuk dicapai karena adanya lereng-lereng yang curam dan mahalnya
pembangunan jalan pada daerah berbukit. Nilai tertinggi mungkin dapat diberikan kepada
lokasi dengan relief yang cukup untuk mengisolir atau menghalangi pemandangan dan
memberi perlindungan terhadap angin dan sekaligus mempunyai jalur yang mudah untuk
aktivitas operasional.
Topografi dapat juga mempengaruhi biaya bila dikaitkan dengan kapasitas tampung. Suatu
lahan yang cekung dan dapat dimanfaatkan secara langsung akan lebih disukai. Ini
disebabkan volume lahan untuk pengurugan limbah sudah tersedia tanpa harus
mengeluarkan biaya operasi untuk penggalian yang mahal. Pada dasarnya, masa layan 5
sampai 10 tahun atau lebih sangat diharapkan.
5. Ketersediaan Tanah
Tanah dibutuhkan baik dalam tahap pembangunan maupun dalam tahap operasi sebagai
lapisan dasar (liner), lapisan atas, penutup antara dan harian atau untuk tanggul-tanggul dan
jalan-jalan dengan jenis tanah yang berbeda. Beberapa kegiatan memerlukan tanah jenis silt
atau clay, misalnya untuk liner dan penutup final, sedangkan aktifitas lainnya memerlukan
tanah yang permeabel seperti pasir dan krikil, misalnya untuk ventilasi gas dan sistem
pengumpul lindi. Juga dibutuhkan tanah yang cocok untuk pembangunan jalan atau tanah
top soil untuk vegetasi.
6. Tata guna tanah
Landfilling yang menerima limbah organik, dapat menarik kehadiran burung sehingga tidak
boleh diletakkan dalam jarak 300 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakan
oleh penerbangan turbo jet atau dalam jarak 1500 meter dari landasan lapangan terbang
yang digunakan oleh penerbangan jenis piston.
Disamping itu, lokasi tersebut tidak boleh terletak di dalam wilayah yang diperuntukkan bagi
daerah lindung perikanan, satwa liar dan pelestarian tanaman. Jenis penggunaan tanah
lainnya yang biasanya dipertimbangkan kurang cocok adalah konservasi lokal dan daerah
kehutanan. Lokasi sumber-sumber arkeologi dan sejarah merupakan daerah yang juga
harus dihindari.
7. Daerah banjir
Sarana yang terletak di daerah banjir harus tidak membatasi aliran banjir serta tidak
mengurangi kapasitas penyimpanan air sementara dari daerah banjir, atau menyebabkan
terbilasnya limbah tersebut sehingga menimbulkan bahaya terhadap kehidupan manusia,
satwa liar, tanah atau sumber air yang terletak berbatasan dengan lokasi tersebut. Suatu
sarana yang berlokasi pada daerah banjir memerlukan perlindungan yang lebih kuat dan
lebih baik. Diperlukan pemilihan periode ulang banjir yang sesuai dengan jenis limbah yang
akan diurug.
8. Aspek penentu lain
Semua lokasi lahan-urug dapat mempengaruhi lingkungan biologis. Penilaian untuk kategori
ini didasarkan pada tingkat gangguan dan kekhususan dari sumberdaya yang ada. Bila
sejenis habitat kurang berlimpah di lokasi tersebut, maka lokasi tesebut dinilai lebih rendah.
Lokasi yang menunjang kehidupan jenis-jenis tanaman atau binatang yang langka akan
dinilai lebih tinggi. Jalur perpindahan mahluk hidup yang penting, seperti sungai yang
digunakan untuk ikan, adalah sumber daya yang berharga. Lahan yang berlokasi di sekitar
jalur tersebut harus dinilai lebih rendah dari pada lokasi yang tidak terletak di sekitar jalur
tersebut.
Penerimaan masyarakat sekitar atas sarana ini merupakan tantangan yang harus
dieselesaikan di awal sebelum sarana ini dioperasikan. Penduduk pada umumnya tidak bisa
menerima suatu lokasi pembuangan limbah berdekatan dengan rumahnya atau
lingkungannya. Oleh karenanya, kriteria penggunaan lahan hendaknya disusun untuk
mengurangi kemungkinan pembangunan sarana ini di daerah yang mempunyai kepadatan
penduduk yang tinggi, atau daerah-daerah yang digunakan oleh masyarakat banyak. Lahan
dengan pemilik tanah yang lebih sedikit, akan lebih disukai dari pada lahan dengan pemilik
banyak.
Tersedianya jalan akses pada lokasi sarana ini akan menguntungkan bagi operasional
pengangkutan limbah ke lokasi. Lahan yang berlokasi di sekitar jalan yang dapat
ditingkatkan pelayanannya karena adanya operasi lahan-urug tanpa modifikasi sistem jalan
yang terlalu banyak, akan lebih disukai. Modifikasi pada sistem jalan yang sudah ada,
terutama pembangunan jalan baru atau perbaikan yang terlalu banyak, akan meningkatkan
biaya pembangunan sarana tersebut. Namun tidak diinginkan bahwa lokasi tersebut terletak
di jalan utama yang melewati daerah perumahan, sekolah dan rumah sakit. Sarana yang
berlokasi lebih dekat ke pusat penghasil limbah mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada
yang berlokasi lebih jauh. Makin dekat jarak lokasi ke sumber limbah, makin rendah biaya
pengangkutannya. Utilitas seperti saluran air buangan, air minum, listrik dan sarana
komunikasi diperlukan pada setiap lokasi pengurugan limbah.
Rancangan lahan-urug meliputi rencana tapak dan rencana perbaikan sistem dengan
rekayasa yang digunakan untuk pengelolaan lindi, air permukaan, air tanah dan gas. Sistem
pengelolaan dirancang untuk mengurangi dampak yang disebabkan oleh kehadiran atau
ketidak hadiran bermacam-macam faktor. Dari sudut kriteria, yang perlu dipertimbangkan
adalah faktor biaya operasional kelak. Pada umumnya, lahan yang memerlukan modifikasi
rekayasa yang paling sedikit merupakan yang paling murah untuk pengembangannya, dan
lebih disukai dari pada lahan yang memerlukan modifikasi banyak
2.4 Penilaian TPA Dengan Cara SNI 19-3241-1994
Tahapan dalam proses pemilihan lokasi TPA adalah menentukan satu atau dua lokasi
terbaik dari daftar lokasi yang dianggap potensial. Kriteria-kriteria yang telah dibahas di atas
digunakan semaksimal mungkin guna proses penyaringan. Kegiatan pada penyaringan
secara rinci tentu akan membutuhkan waktu dan biaya yang relatif besar dibanding kegiatan
pada penyaringan awal, karena evaluasinya bersifat rinci dan dengan data yang akurat.
Guna memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik, digunakan
sebuah tolak ukur untuk merangkum semua penilaian dari parameter yang digunakan.
Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pembobotan. Tata cara yang paling sederhana yang
digunakan di Indonesia adalah melalui SNI 19-3241-1994 (sebelumnya: SNI T-11-1191-03,
tidak ada perbedaan dengan versi 1994) yaitu tentang tata cara pemilihan lokasi TPA. Cara
ini ditujukan agar daerah (kota kecil/sedang) dapat memilih site-nya sendiri secara mudah
tanpa melibatkan tenaga ahli dari luar seperti konsultan. Data yang dibutuhkan hendaknya
cukup akurat agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip yang digunakan adalah dengan menyajikan parameter-parameter yang dianggap
dapat berpengaruh dalam aplikasi landfilling, seperti:
1. Parameter umum: batas administrasi, status kepemilikan tanah dan, kapasitas lahan,
pola partisipasi masyarakat;
2. Parameter fisika tanah: permeabilitas tanah, kedalaman akuifer, sistem aliran air tanah,
pemanfaatan air tanah, ketersediaaan tanah penutup;
3. Parameter fisik lingkungan fisik: bahaya banjir, intensiutas hujan, jalan akses, lokasi site,
tata guna tanah, kondisi site, diversitas habitat, kebisingan dan bau, dan permasalahan
estetika.
Masing-masing parameter ini ditentukan bobot skala penting-nya dengan besaran 3 sampai
5. Masing-masing parameter tersebut diuraikan lebih lanjut kriteria pembatasnya, dengan
menggunakan penilaian antara 0– 10.
Contoh Penilaian:
Nilai tertinggi dari sistem penilaian ini adalah 790, sedang nilai yang terendah adalah 117.
Dengan demikian, maka TPA X berada pada posisi 66,71% (= 566-117/790-117) terhadap
nilai tertinggi, bila nilai terendah diposisikan sebagai 0% dan nilai tertinggi sebagai 100%.
BAB III
STUDI KASUS PEMILIHAN LOKASI TPA
BERDASARKAN SNI 19 – 3241 – 1994 (PEMILIHAN CALON LOKASI
TPA DENGAN METODE GIS DI KABUPATEN BANDUNG BARAT
3.1 Umum
Sampah sebagai hasil samping dari berbagai aktifitas/kegiatan dalam kehidupanmanusia
maupun sebagai hasil dari suatu proses alamiah sering menimbulkanpermasalahanserius di
wilayah-wilayah pemukiman penduduk. Dengan bertambahnya populasi pendudukmaka
sudah tentu akan menghasilkan produk-produk sampah yang memang harus dihadapioleh
daerah tersebut dan berkurangnya lahan untuk pengolahan sampah. Permasalahan
yangdihadapi setiap wilayah adalah bagaimana cara mendapatkan lokasi pembuangan
limbahtersebut secara tepat dan aman. Area pembuangan sampah yang baik memiliki
beberapakarakteristik. Daerah ini harus berada jauh dari daerah di mana ada sejarah banjir.
Jika tidak,sampah dapat menjadi sumber pencemaran air yang pada saatnya mengancam
lingkungan dankehidupan (Akbari et al., 2008). Untuk mendapatkan lokasi TPA yang sesuai
denganpersyaratan teknis, ekonomis dan berwawasan lingkungan diperlukan metode yang
tepatseperti menempatkan lokasi TPA pada daerah dengan formasi geologi yang sesuai
sehinggapencemaran yang timbul dapat dicegah atau diperkecil.
3.2 Metodologi
Ada beberapa informasi tematik yang diperlukan dalam menentukan lokasi TPA diKabupaten
Bandung Barat. Pertama, informasi geologis yang diperoleh dari peta-peta risikobahaya
geologi teknik Kabupaten Bandung Barat skala 1:50.000 diterbitkan oleh BAPPEDAJawa
Barat. Peta ini menggambarkan jenis batu, banjir, vulkanik daerah berisiko, risikogerakan
tanah, dan permeabilitas tanah, kemiringan tanah, dll peta-peta ini di-digitasi dengansoftware
ArcGIS 9.3, kemudian lapisan informasi yang berkaitan dengan kemiringan,
zonapemukiman, penggunaan lahan, jalan, sungai, zona bahaya geologi dan tekstur
tanahdiekstraksi dan dipersiapkan. Data ini dianalisis dengan menggunakan perangkat
lunakdatabase dan langkah terakhir adalah meng-overlay peta menggunakan kriteria seleksi
SNI19-3241-1994. Pada aplikasi ini, SIG dianggap sebagai alat screening dalam proses
seleksilokasi untuk mempersempit jumlah calon lokasi, kemudian mengarah ke satu atau
lebih lokasiuntuk penyelidikan rinci (Basagaoglu, 1997). Penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahapan sampai diperoleh alternatif lokasi TPA yang sesuai dengan SNI 19-3241-
1994 yangmengatur ketentuan sebagai berikut seperti pembuangan sampah tidak boleh
dilakukan padadanau, sungai dan laut kemudian penentuan lokasi TPA dilakukan secara
bertahap meliputitahap regional, tahap penyisih dan tahap penetapan.
3.3 Analisis Penetapan TPA Berdasarkan SNI
Beberapa parameter penyaring awal yang sering digunakan adalah:
1. Geologi
Batuan dasar pada area calon TPA menjadi sangat berarti peranannya dalam
meminimalisasi penyebaran air lindian sampah (leachate) secara alamiah, baik pada
saatbergerak menuju muka air tanah maupun saat bergerak lateral bersama air tanah oleh
karenaitu diperlukan studi pemilihan area TPA yang tidak memiliki batuan dasar dengan
formasibatu pasir, batu gamping atau batuan berongga. Dari peta Geologi Jenis Batuan
Kabupaten Bandung Barat yang diterbitkan oleh Bappeda dapat diketahui bahwa formasi
batuan yangtidak cocok untuk dijadikan lokasi TPA adalah formasi batuan Gamping Neogen
yang terletakpada kecamatan Padalarang dan Gamping Oligo-Miosen yang terletak pada
kecamatanCipatat dan Batujajar.
Daerah geologi lainnya yang penting untuk dievaluasi adalah potensi gempa, zonavulkanik
yang aktif serta daerah longsoran. Peta Kawasan Lingkungan Rawan CekunganBandung
yang diterbitkan oleh Bappeda di-digitasi menjadi peta Rawan Gunung Apisehingga dapat
dilihat bahwa wilayah yang rawan gunung api ada di kecamatan Parongpongdan Lembang
yang terdapat pada sisi utara kabupaten. Daerah sekitar gunung berapimerupakan daerah
rawan geologis sehingga tidak dianjurkan untuk menjadi lokasi calon TPA.
Potensi gempa dapat dilihat pada peta Rawan Bencana Gempa Kabupaten BandungBarat
yang diterbitkan oleh Bappeda, warna merah menunjukkan wilayah yang rawan
gempasehingga tidak cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA, sedangkan warna hijau
menunjukkanwilayah ini aman untuk menjadi calon lokasi TPA karena memiliki tingkat
keamanan yangcukup baik terhadap gempa. Peta Gerakan Tanah Kabupaten Bandung
Barat yang diterbitkanoleh Bappeda menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung Barat dapat
dikelompokkan menjadi4 zona gerakan tanah, yaitu tinggi, menengah, rendah dan sangat
rendah. Gerakan tanah yangtinggi dinilai tidak cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA.
Gerakan tanah yang tinggi dapatdilihat pada peta Gerakan Tanah tersebar di seluruh
Kabupaten Bandung Barat akan tetapipersentasenya masih lebih kecil dibandingkan tanah
dengan gerakan tanah relatif stabil.
2. Hidrogeologi
Informasi hidrogeologi dibutuhkan untuk mengetahui keberadaan muka air tanah,
mendeteksi impermiabilitas tanah, lokasi sungai atau waduk atau air permukaan dan sumber
air minum yang digunakan oleh penduduk sekitar. Tanah dengan permeabilitas cepat dinilai
memiliki nilai yang rendah untuk menjadi lokasi calon TPA karena memberikan perlindungan
yang kecil terhadap air tanah dan membutuhkan teknologi tambahan yang khusus. Jenis
tanah juga mempengaruhi permeabilitas terhadap air yang masuk ke tanah. Pada calon TPA
dipilih daerah dengan jenis tanah yang tidak berpasir karena memiliki porositas yang tinggi
sehingga angka kelulusan air dalam tanah akan relatif tinggi sehingga dapat mengganggu
kualitas air tanah. Peta Hidrogeologi Kabupaten Bandung Barat yang diterbitkan oleh
Bappeda memberikan gambaran jenis tanah yang dinilai memiliki nilai permeabilitas atau
kemampuan menyerap air tanah yang cepat, baik, sedang dan lambat. Permeabilitas tanah
cepat (pasir kasar), yaitu lebih besar dari 36 cm per jam; permeabilitas tanah baik (pasir
halus), yaitu 3,6 - 36 cm per jam; permeabilitas sedang, yaitu 2,0-3,6 cm per jam; sedangkan
permeabilitas lambat dibawah 2,0 cm per jam.
3. Hidrologi
Fasilitas pengurukan limbah tidak diinginkan berada pada suatu lokasi dengan jarak antara
dasar sampai lapisan air tanah tertinggi kurang dari 3 meter. Sumber air permukaan di
Kabupaten Bandung Barat umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik
pertanian; industri, dan lain-lain. Pada peta Sumber Daya Air Kawasan Cekungan Bandung
dapat dilihat bahwa pada Kabupaten Bandung Barat rata-rata memiliki kedalaman air tanah
yang cukup dalam. Selain itu sebagian kecilnya terdiri dari sumber mata air memancar dan
sumber air tanah dangkal, keduanya dinilai kurang cocok untuk dijadikan calon lokasi TPA
karena memiliki potensi mencemari air tanah yang lebih besar. Potensi pencemaran juga
berhubungan dengan intensitas hujan. Kabupaten Bandung Barat pada umumnya memiliki
intensitas hujan 13,6-20,7 mm/hari. Daerah pada Kabupaten Bandung Barat yang memiliki
intensitas hujan sebesar 20,7-27,7 mm/hari mendapatkan penilaian yang rendah karena
dapat menghasilkan air lindi yang lebih besar.
4. Topografi
Tempat pengurukan limbah tidak boleh terletak pada suatu bukit dengan lereng yang tidak
stabil. Suatu daerah dinilai lebih bila terletak di daerah landai dengan topografi tinggi. Pada
peta Kemiringan Lereng dapat diketahui bahwa sebagian besar (42%) di wilayah cekungan
Bandung merupakan daerah datar (kemiringan 0 - 8%), 21% merupakan daerah landai
(kemiringan 8% - 15%), 20% bergelombang (kemiringan lereng 15% - 25%), 12% merupakan
daerah curam (kemiringan lereng 25% - 40%), dan 5% merupakan daerah sangat curam
(kemiringan lereng > 40%). Daerah yang sangat curam dinilai memiliki nilai yang lebih kecil
karena dikhawatirkan dapat menyebabkan kelongsoran yang berakibat fatal terutama saat
terjadi hujan atau rembesan air yang tinggi.
5. Tata Guna Lahan
Landfilling yang menerima limbah organik, dapat menarik kehadiran burung sehinggatidak
boleh diletakkan dalam jarak 300 meter dari landasan lapangan terbang yang digunakanoleh
penerbangan turbo jet atau dalam jarak 1500 meter dari landasan lapangan terbang
yangdigunakan oleh penerbangan jenis piston. Disamping itu, lokasi tersebut tidak boleh
terletakdi dalam wilayah yang diperuntukkan bagi daerah lindung perikanan, satwa liar
danpelestarian tanaman. Jenis penggunaan tanah lainnya yang biasanya dipertimbangkan
kurangcocok adalah konservasi lokal dan daerah kehutanan.
Pemilihan lokasi untuk pembuangan sampah kota seharusnya tidak berbenturan dengan
peruntukan lahan lainnya oleh karena itu pada tahap terakhir peta tematik di-overlaykan
dengan peta Land use Kabupaten Bandung Barat. Hal ini untuk mencegah kemungkinan
timbulnya pencemaran dan sisi negatif terhadap masyarakat di sekitar TPA. Kesulitan dalam
pemilihan lokasi pembuangan sampah, biasanya karena tidak dijumpai lahan yang memadai
sesuai dengan peruntukan lahan atau kondisi geologi dari wilayah tersebut.
3.4 Hasil Overlay Lokasi TPA
Lokasi Tempat Pemrosesan Akhir sampah perlu memenuhi persyaratan teknis, ekonomis
dan berwawasan lingkungan. Metoda yang tepat dalam penempatan sampah salah satunya
adalah menempatkan TPA pada daerah dengan kondisi geologi yang aman dan tepat
sehingga mengurangi resiko pencemaran lingkungan. Kondisi geologi yang tepat didapat
dari tahapan analisi regional yang merupakan tahapan untuk mendapatkan informasi zona
layak dan tidak layak TPA. Analisis kelayakan zona TPA diawali dengan analisis parameter
geologi lingkungan. analisis dilakukan dengan tumpang susun atau overlay peta-peta tematik
Kabupaten Bandung Barat yang diperoleh dari Bappeda Jawa Barat.
Parameter yang dijadikan kriteria dalam analisis zona kelayakan merupakan
parameterpersyaratan lokasi penimbunan sampah yang berkaitan dengan aspek geologi.
Parameterparameter yang digunakan dalam analisis regional ini sesuai dengan SNI 19-
3241-1994 yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional. Hasil dari overlay sembilan
parameter yaitu formasi batuan, rawan bencana gunung api, rawan gempa, rawan gerakan
tanah, jenis permeabilitas tanah, zona resapan air, sumber daya air tanah, kemiringan
lereng, tata guna lahan dan intensitas hujan menghasilkan peta zona daerah layak TPA dan
tidak layak. Hal yang dilakukan kemudian untuk mendapatkan lokasi yang tepat adalah
meng-overlay-kan peta zona daerah TPA dengan peta jalan raya. Hal ini bertujuan agar
calon lokasi TPA berada pada derah yang strategis dan didapatkan luas calon lokasi TPA
terbesar yang memungkinkan.
Peta daerah layak TPAyang telah di-overlay-kan dengan peta jalan kemudian di overlay-kan
lagi dengan petakecamatan dan desa Kabupaten Bandung Barat untuk mendapatkan
koordinat yang tepat dari kelima calon lokasi TPA yaitu:
1. Zona 1
Zona 1 terletak di desa Nanggeleng, kecamatan Cipendeuy memiliki jenis batuan gunung api
Plio-Plistos dan berada pada daerah yang jauh dari gunung berapi. Jenis permeabilitas
tanah pada zona ini lambat dan merupakan daerah resapan air tak berarti yang cocok untuk
dijadikan lokasi TPA. Zona ini berada pada daerah aman gempa bumi dan gerakan tanah
pada zona menengah. Sedangkan kemiringan lereng daerah ini berada pada rentang 16-
25%. Intensitas hujan pada daerah ini berkisar antara 13,6 - 20,7 mm/hari.
2. Zona 2
Zona 2 terletak di desa Sarimukti, kecamatan Cipatat memiliki jenis batuan Terobosan
Neogen dan berada pada daerah yang jauh dari gunung berapi. Jenis permeabilitas tanah
pada zona ini cukup baik sehingga diperlukan liner tambahan. Zona ini merupakan daerah
resapan air tak berarti yang cocok untuk dijadikan lokasi TPA. Zona ini berada pada daerah
aman gempa bumi dan gerakan tanah menengah. Sedangkan kemiringan lereng daerah ini
berada pada rentang 16-25%. Intensitas hujan pada daerah ini berkisar antara 13,6 - 20,7
mm/hari.
3. Zona 3
Zona 3 terletak di desa Sirnaraja, kecamatan Cipendeuy memiliki jenis batuan gunung api
Plio-Plistos dan berada pada daerah yang jauh dari gunung berapi. Jenis permeabilitas
tanah pada zona ini lambat dan merupakan daerah resapan air tak berarti yang cocok untuk
dijadikan lokasi TPA. Zona ini berada pada daerah aman gempa bumi dan gerakan tanah
pada zona menengah. Sedangkan kemiringan lereng daerah ini berada pada rentang 16-
25%. Intensitas hujan pada daerah ini berkisar antara 13,6 - 20,7 mm/hari.
4. Zona 4
Zona 4 terletak di desa Mekarwangi, kecamatan Sindangkerta memiliki jenis batuan gunung
api Plio-Plistos dan berada pada daerah yang jauh dari gunung berapi. Jenis permeabilitas
tanah pada zona ini sedang sehingga diperlukan liner tambahan. Zona ini merupakan daerah
resapan air tak berarti yang cocok untuk dijadikan lokasi TPA. Zona ini berada pada daerah
aman gempa bumi dan gerakan tanah pada zona menengah. Sedangkan kemiringan lereng
daerah ini berada pada rentang 16-25%. Intensitas hujan pada daerah ini berkisar antara
13,6 - 20,7 mm/hari.
5.Zona 5
Zona 5 terletak di desa Wangunsari, kecamatan Sindangkerta memiliki jenis batuan gunung
api Neogen dan berada pada daerah yang jauh dari gunung berapi. Jenis permeabilitas
tanah pada zona ini lambat dan merupakan daerah resapan air tak berarti yang cocok
untukdijadikan lokasi TPA. Zona ini berada pada daerah aman gempa bumi dan gerakan
tanah pada zona menengah. Sedangkan kemiringan lereng daerah ini berada pada rentang
16-25%. Intensitas hujan pada daerah ini berkisar antara 13,6 - 20,7 mm/hari.
3.5 Analisis Kriteria Penyisih SNI 19-3241-1994
Kriteria penyisihan merupakan batasan penilaian yang digunakan untuk memilihlokasi
terbaik dari beberapa calon lokasi yang lolos penyaringan kriteria regional untukpenentuan
calon lokasi TPA. Penilaian dengan SNI meliputi penilaian kondisi kilmatologis,kondisi jalan,
umur TPA, jalan raya dll. Dari parameter dan bobot penilaian SNI 19-3241-1994 dapat dilihat
bahwa tiga zona dengan nilai tertinggi terletak di kecamatanCipatat dan Cipendeuy dengan
peringkat prioritas sebagai berikut:
1. Zona 2 di desa Sarimukti (kecamatan Cipatat) dengan luas lahan zona ini sebesar 44,86
hadan memiliki masa layan 16,76 tahun, dari kriteria SNI zona ini sangat
direkomendasikanuntuk menjadi calon lokasi TPA sampah dan memiliki nilai 494. Setelah
ditinjau denganpengamatan langsung ke lapangan zona 2 adalah TPA Sarimukti yang telah
beroperasi,dengan demikian dapat dimungkinkan perluasan TPA Sarimukti yang saat ini
barudigunakan seluas 5 ha untuk Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung
Barat(Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, 2009).
2. Zona 1 di desa Nanggeleng (kecamatan Cipendeuy) dengan luas lahan 33,14 ha
danmemiliki masa layan 12,04 tahun, dari kritaria SNI zona ini memiliki nilai 463. Lokasi
inicukup strategis dari jalan raya, akan tetapi cukup dekat dengan pemukiman
penduduksehingga harus dilakukan peninjauan khusus apabila diperuntukkan menjadi lokasi
TPA.
3. Zona 3 di desa Sirnaraja (kecamatan Cipendeuy) dengan luas lahan 22,65 ha dan
masalayan 9,45 tahun dan nilai SNI 453. Kondisi eksisting dari lokasi ini
merupakanperkebunan oleh penduduk sekitar dan sebagian digunakan sebagai kebun karet.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tempat pembuangan akhir sampah adalah sarana fisik untuk belangsungnya kegiatan
pembuangan akhir sampah berupa tempat yang digunakan untuk mengkarantinakan
sampah kota secara aman. Kriteria lokasi TPA harus memenuhi syarat atau ketentuan-
ketentuan hukum, pengelolaan lingkungan hidup dengan AMDAL, serta tata ruang yang ada.
Kelayakan lokasi TPA ditentukan berdasarkan:
1. Kriteria regional digunakan untuk menentukan kelayakn zone meliputi kondisi geologi,
hidrogeologi, kemiringan tanah, jarak dari lapangan terbang, cagar alam banjir dengan
periode tahun 25 tahun;
2. Kriteria penyisih digunakan untuk memilih lokasi sebagai tamabahan meliputi iklim,
utilitas, lingkungan biologis, kondisi tanah, demografi, batas administrasi, kebisingan,
bau, estetika, dan ekonomi;
3. Kirteria penetapan digunakan oleh instansi berwenang untuk menyetujui dan
menetapkan lokasi terpilih sesuai kebijakan setempat.
4.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah:
1. Sebagai tempat pembungan akhir, lokasi TPA sebaiknya direncanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku, seperti mengacu kepada SNI 19 – 3241 – 1994;
2. Dalam penentuan lokasi TPA dapat menggunakan alat bantu pengerjaan seperti
menggunakan teknologi GIS.
DAFTAR PUSTAKA
SNI 19 –3241 – 1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA
Basyrat, Ade. 2006. Kajian Terhadap Penetapan Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung – Kota Depok. Universitas Diponegoro. Semarang
Rahardyan, Benno dan Oktasari Indah Anggraini. 2010. Pemilihan Calon Lokasi Tpa Dengan Metode GisDi Kabupaten Bandung Barat. Program Studi Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung