Post on 29-Nov-2020
1
Pendahuluan
Saat ini setiap negara tidak lepas dari Perdagangan international,
Perdagangan international adalah kegiatan pertukaran barang dan jasa yang
melintasi batas-batas negara dan berhubungan dengan pemerintah serta
pendududk negara lain ,perdagangan international bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyrakat yang ada pada negara tersebut serta untuk Memperoleh
barang dan jasa yang tidak dapat di hasilkan di dalam negeri dan mendorong
terciptanya kemajuan teknologi, dapat memperluas pasar, meningkatkan
penerimaan negara melalui bea masuk maupun bea keluar, mempererat hubungan
dengan negara lain seringnya perdagangan international di lakukan oleh setiap
negara maka harus berhati-hati dalam melakukan perdagangan international
karena perdagangan international terdapat kerugian yang di timbulkan bagi negara
yang tidak tahan seperti ketidakmampuan beradaptasi di pasar global
menyebabkan perekonomian negara terpuruk. Produksi dalam negeri yang tidak
mampu bersaing dengan barang impor akan ditinggalkan konsumen karena hal
tersebutlah akan menyebabkan inflasi pada negara tersebut.
Barang-barang impor sangat berpengaruh dengan barang-barang produk
dalam negeri, karena selain harga barang-barang impor yang sangat murah
kualitasnya pun dapat dibilang baik. Sehingga orang-orang dalam negeri
cenderung lebih memilih produk impor. Hal tersebut disebabkan karena belum
maksimalnya penerapan sebuah teknologi dalam proses produksi. Kebanyakan
pengusaha dalam kegiatan proses produksi tanpa diiringi penguasaan konsep dan
teknologi yang membuat tidak maksimalnya proses produksi. Permasalahan yang
selanjutnya adalah dalam menjalankan proses produksinya, pelaku usaha di tanah
air selalu dibayang-bayangi masalah finansial atau pendanaan proses produksi.
Secara tidak langsung keadaan ini mengganggu proses produksi yang
membuat pengusaha lebih memilih untuk menekan biaya produksi hingga
seminimal mungkin. Misalnya saja dengan menggunakan bahan baku yang
kualitasnya dibawah standar yang seharusnya serta penggunaan teknologi
2
konvensional yang membuat proses produksi tidak maksimal. Dua permasalahan
klasik diatas merupakan sebagian kecil dari hambatan-hambatan yang membuat
produk-produk dalam negeri menjadi lebih rendah mutunya jika dibandingkan
dengan produk-produk yang diproduksi negara-negara maju. Hal ini tentunya
menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha nasional karena kita telah memasuki
gerbang perdagangan bebas. Sedangkan pada perdagangan bebas itu diharapkan
barang-barang produksi Indonesia mampu menyaingi produk luar yang masuk ke
Indonesia sehingga dapat tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Guna memasuki pasar internasional, maka perusahaan dalam kegiatan
produksinya harus mampu menghasilkan produk yang berkualitas. Peningkatan
kualitas produk dengan harapan tercapainya tingkat cacat produk mendekati zero
defect membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Perbaikan kualitas dan perbaikan
proses terhadap sistem produksi secara menyeluruh harus dilakukan jika
perusahaan ingin menghasilkan produk yang berkualitas baik dalam waktu yang
relatif singkat. Suatu perusahaan dikatakan berkualitas bila perusahaan tersebut
mempunyai sistem produksi yang baik dengan proses terkendali. Melalui
pengendalian kualitas (quality control) diharapkan bahwa perusahaan dapat
meningkatkan efektifitas pengendalian dalam mencegah terjadinya produk cacat
(defect prevention), sehingga dapat menekan terjadinya pemborosan dari segi
material maupun tenaga kerja yang akhirnya dapat meningkatkan produktivitas
produksi dalam menghasilkan produk yang berkualitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Nenny Ika Cendrawati (2007), menyatakan
bahwa dalam kegiatan proses produksi tekstil untuk meningkatkan mutu produksi
diperlukan rancangan pengendalian mutu dengan metode six sigma. Melalui
metode ini proses spinning dapat menghasilkan produk benang yang bermutu.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sahrial Amri dan I Wayan Suletra (2009),
mengungkapkan bahwa terdapat gangguan yag bersifat khusus (di luar sistem)
yang mempunyai potensi menganggu proses produksi, sehingga diperlukan
analisis stabilitas dan kapabilitas dalam proses spinning.
3
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Yogi Yusuf Wibisono dan
Theressa Suteja (2013), mengemukakan bahwa aplikasi dan potensi DMAIC Six
Sigma dalam proyek perbaikan mutu untuk satu jenis produk di mana dalam
proyek ini hanya melibatkan orang-orang di bagian produksi. Salah satu
pendekatan dan metode yang efektif dalam kegiatan produksi adalah DMAIC Six
Sigma yang berhasil memperbaiki kualitas produksi.
PT. Pismatex yang berada di Kota Pekalongan Jawa Tengah salah satu
perusahan tekstil yang sudah merambah di bidang produk tekstil, kemudian
mengembangkan bisnisnya menjadi tekstil yang memproduksi kain sarung
pelekat. Sistem modal dan saham yang dimiliki adalah milik keluarga. PT
Pismatex didirikan pada tahun 1971 oleh H. Ghozi Salim sebagai pemilik
perusahaan dan pada tahun 1972 mulai memproduksi kain sarung pelekat merek
‘Gajah Duduk’. Sejalan dengan perkembangan penggunaan teknologi dalam
industri tekstil, maka sarung ‘Gajah Duduk’ diproduksi dengan berbagai
tingkatan mutu, antara lain mutu 4.000 benang, 5.000 benang dan 7.000 benang.
Pada awal berdiri PT. Pismatex menggunakan proses produksi kain sarung
dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Penggunaan teknologi yang semakin
berkembang dalam industri tekstil menuntut perusahaan mengadopsi
perkembangan teknologi dalam proses produksinya. Oleh karena itu, pada tahun
1973 perusahaan melakukan pembaharuan teknologinya dengan mengganti
penggunaan ATBM menjadi Alat Tenun Mesin (ATM). Penggantian penggunaan
mesin dalam proses produksi kain sarung atas pertimbangan perusahaan dan
dikarenakan meningkatnya daya beli masyarakat, tingkat produktivitas yang tinggi
dan mutu kain sarung yang lebih baik.
Perkembangan ekonomi membuat PT. Pismatex mencoba merambah pasar
internasional, maka dari itu PT. Pismatex dituntut untuk selalu berusaha
memperbaiki kualitas dengan tujuan agar dapat memberikan produk yang
berkualitas dan selalu menjaga reputasi merek dagang sarung yang terkenal
dengan merek ‘Gajah Duduk’. Apabila produk sarung yang dihasilkan bermutu
rendah, maka akan menyebabkan konsumen berpaling pada produk yang
4
lebih bermutu. Sebaliknya, bila produk sarung yang dihasilkan mempunyai mutu
yang baik dari perusahaan pesaing, konsumen akan lebih memilih untuk
menggunakan produk sarung tersebut (Faris Andinova Yuliawan, 2005).
Untuk menjaga persaingan PT. Pismatex harus selalau menjaga kualitas
produk yang baik dengan menerapkan proses pengendalian kualitas sangatlah
penting untuk diaga dan dilakukan guna menghasilkan produk yang dapat
bersaing di pasaran. Proses pengendalian kualitas dilihat dari manajemen
operasional, maka dapat muncul kualitas produk yang baik. Pengendalian kualitas
produk merupakan salah satu kebijakan penting dalam meningkatkan daya
saing produk, dengan kualitas produk yang bagus diharapkan perusahaan dapat
meningkatkan omset pendapatan, dan ditambah lagi jika kualitas produk dapat
tejaga dengan baik dapat meningkatkan persaingan dibandingkan dengan produk
lain (Muhaemin, 2005).
Dalam melakukan kegiatan produksi di PT Pismatex, kualitas menjadi
sangat penting untuk menjaga reputasi merek dagang, maka dari itu PT Pismatex
selalu melakukan pengendalian kualitas (Quality Control) mengurangi tingkat
produk cacat mendekati zero defect, tetapi untuk melakukannya dibutuhkan biaya
operasional yang tidak sedikit. Maka dari itu hal yang perlu dilakukan PT
Pismatex adalah melakukan perbaikan kualitas maupun perbaikan proses terhadap
sistem produksi secara menyeluruh untuk menghasilkan produk yang berkualitas
dengan efisiensi biaya dan proses produksi yang relatif singkat.
Selama ini, PT. Pismatex Pekalongan dalam upaya meningkatkan kualitas
produk menggunakan metode Total Quality Management (TQM). Meskipun
penggunaan metode ini umum digunakan oleh perusahaan untuk mengontrol
produk cacat, namun tingkat keakuratannya masih relatif kurang. Karena dalam
proses produksi masih ditemukan masalah seperti terjadi ketidaksesuaian antara
hasil produksi dengan yang diharapkan konsumen, kecacatan produk saat
produksi yang sering terjadi mengakibatkan penjualan dan tingkat produktivitas
menurun. Berikut tabel prosentase kecacatan sehingga mempengaruhi
produktivitas dan penjualan dari tahun 2008 – 2012.
5
Tabel 1
Jumlah Produksi, Jumlah Produk Cacat dan Presentase Kecacatan
Tahun 2008 – 2012
Tahun Jumlah Produksi Jumlah Produk Cacat Presentase
Kecacatan
2008 253.150,04 17.064,33 6,74%
2009 235.582,10 19.906,69 8,45%
2010 209.495,95 19.923,06 9,51%
2011 252.981,45 27.853,26 11,01%
2012 243.486,50 28.080,70 8,67%
Sumber: Dokumen arsip PT. Pismatex, 2012
Dari permasalahan yang terjadi maka implementasi metode Six sigma
digunakan dalam memperbaiki prinsip nilai dan teknik kualitas. Pihak
perusaahaan harus mengubah sistem pengendalian kualitas yang semula
menggunakan TQM ke metode six sigma. Metode Sig sima mengutamakan
pengurangan produk cacat agar lebih efisien dalam proses produksi serta
mengurangi biaya produksi untuk penggantian produk cacat. Mengingat metode
Six sigma sebagai salah satu metode baru yang paling popular dan
salah satu alternatif dalam prinsip-prinsip pengendalian kualitas yang
merupakan terobosan di bidang manajemen kualitas (Gasperzs, 2005). Six
sigma dapat dijadikan ukuran kinerja sistem industri yang memungkinkan
perusahaan melakukan peningkatan yang luar biasa dengan terobosan strategi
yang aktual. Six sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses
industri yang berfokus pada pelanggan dengan memperhatikan kemampuan
proses. Pencapaian six sigma hanya terdapat 3,4 cacat per sejuta kesempatan.
Semakin tinggi target sigma yang dicapai maka kinerja sistem industri semakin
membaik.
Metode yang digunakan dalam Six Sigma adalah DMAIC (define, measure,
analysis, improve, control). Metode DMAIC banyak digunakan pada program Six
Sigma di perusahaan kecil menengah di Inggris dan memberikan hasil yang
memuaskan (Antony, 2005) dan secara tradisional metode ini banyak diterapkan
oleh tim Six Sigma dalam melakukan perbaikan untuk mencapai tingkat enam
sigma (Thomas, 2006). Sehingga Fokus dalam penelitian ini adalah strategi
6
peningkatan kualitas dengan metode six sigma menggunakan DMAIC pada
produk sarung Gajah Duduk.
Rumusan Masalah
Berkenaan dengan deskripsi di atas, masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran pengendalian kualitas produk sarung gajah duduk
dengan metode six sigma menggunakan DMAIC untuk mengurangi produk
cacat?
2. Hambatan apakah yang terjadi dalam proses pengendalian kualitas dengan
metode six sigma menggunakan DMAIC guna mengurangi produk cacat pada
PT. Pismatex?
3. Solusi apa yang diterapkan untuk mengatasi hambatan yang terjadi dalam
pengendalian kualitas dengan metode six sigma menggunakan DMAIC guna
mengurangi produk cacat pada PT. Pismatex?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan dan menganalisis proses pengendalian kualitas dengan
metode six sigma menggunakan DMAIC untuk mengurangi produk cacat
pada PT. Pismatex.
2. Mendeskripsikan hambatan-hambatan pengendalian kualitas dengan metode
six sigma menggunakan DMAIC untuk mengurangi produk cacat pada PT.
Pismatex.
3. Mendeskripsikan solusi yang diterapkan untuk mengatasi hambatan yang
dialami dalam proses pengendalian kualitas dengan metode six sigma
menggunakan DMAIC untuk mengurangi produk cacat pada PT. Pismatex.
7
Kerangka Teoritis
Kualitas Produk
Pengertian atau definisi kualitas mempunyai cakupan yang sangat luas,
relatif, berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga definisi dari kualitas memiliki
banyak kriteria dan sangat bergantung pada konteksnya terutama jika dilihat dari
sisi penilaian akhir konsumen dan definisi yang diberikan oleh berbagai ahli serta
dari sudut pandang produsen sebagai pihak yang menciptakan kualitas. Konsumen
dan produsen itu berbeda dan akan merasakan kualitas secara berbeda pula sesuai
dengan standar kualitas yang dimiliki masing-masing. Begitu pula para ahli dalam
memberikan definisi dari kualitas juga akan berbeda satu sama lain karena mereka
membentuknya dalam dimensi yang berbeda. Oleh karena itu definisi kualitas
dapat diartikan dari dua perspektif, yaitu dari sisi konsumen dan sisi produsen.
Namun pada dasarnya konsep dari kualitas sering dianggap sebagai kesesuaian,
keseluruhan ciri-ciri atau karakteristik suatu produk yang diharapkan oleh
konsumen.
“Kualitas produk adalah keseluruhan ciri serta dari suatu produk atau
pelayanan pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang
dinyatakan/tersirat” (Philip Kotler diterjemahkan oleh Hendra Teguh & Rommy.
A. Rusli, 2002).
Pada dasarnya tujuan dilaksanakan proses produksi adalah untuk
menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan konsumen baik
dalam hal selera maupun kegunaannya. Salah satu aspek yang dapat mendukung
tercapainya tujuan tersebut adalah dengan memperhatikan kualitas yang benar-
benar sesuai dengan keinginan konsumen. Kualitas yang baik adalah produk yang
dihasilkan perusahaan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Untuk
menciptakan produk berkualitas sesuai dengan keinginan konsumen tidak harus
mengeluarkan biaya yang lebih besar, diperlukan peningkatan kualitas, untuk
menghasilkan produk yang lebih baik (better), lebih cepat (faster), dan dengan
biaya lebih rendah (at lower cost). Kualitas yang baik menurut sudut pandang
konsumen jika produk yang dibeli tersebut sesuai dengan keinginan, memiliki
8
manfaat yang sesuai dengan kebutuhan setara dengan pengorbanan yang
dikeluarkan. Apabila kualitas produk tidak memenuhi kebutuhan dan keinginan,
maka konsumen menganggap sebagai produk yang berkualitas jelek. (Latief &
Utami, 2009).
“Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan
bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas “ Lupiyoadi (2007). Kata kualitas
juga mengandung banyak sekali definisi makna, setiap orang berbeda-beda dalam
mengartikannya. Akan tetapi dapatlah diambil kesimpulan bahwa ada beberapa
contoh definisi yang kerap dijumpai mengenai kualitas :
1. Kecocokkan dengan persyaratan atau ketentuan.
2. Kecocokkan untuk pemakaian.
3. Perbaikan atau penyempurnaan berkelanjutan.
4. Bebas dari kerusakan atau cacat.
5. Pemenuhan kebutuhan pelangggan sejak awal dan setiap saat.
Kualitas mempunyai definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang
konvensional sampai yang lebih strategis. Definisi konvensional dari kualitas
biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari produk seperti performansi
(Performance), keandalan (Realibility), mudah didalam penggunaan (Easy of use)
dan estetika (Easthetic). dikutip dari buku Jurnal mutu Proyek Pembangunan
Gedung (Gaspersz, 2004).
Dari pengertian kualitas produk diatas dapat disimpulkan kualitas produk
adalah suatu kondisi dinamis yang saling berhubungan meskipun dapat memiliki
definisi yang berbeda tetapi produk pada intinya memiliki suatu spesifikasi
terhadap suatu barang dan/ atau jasa yang dapat menimbulkan kepuasan yang
memenuhi atau melebihi harapan bagi konsumen yang menggunakannya.
Pengendalian Kualitas Produk
Dalam menjalankan aktivitas, pengendalian kualitas merupakan salah satu
teknik yang perlu dilakukan mulai dari sebelum proses produksi berjalan, pada
9
saat proses produksi, hingga proses produksi berakhir dengan menghasilkan
produk akhir. Pengendalian kualitas dilakukan agar dapat menghasilkan produk
berupa barang atau jasa yang sesuai dengan standar yang diinginkan dan
direncanakan, serta memperbaiki kualitas produk yang belum sesuai dengan.
standar yang telah ditetapkan dan sedapat mungkin mempertahankan kualitas
yang telah sesuai.
Menurut Schermerhorn (2003) pengendalian merupakan kegiatan atau
aktivitas yang sudah atau sedang dilakukan, dengan tujuan dapat berjalan
sesuai dengan harapan. Pengendalian merupakan proses pengukuran kinerja,
membandingkan antara hasil sesungguhnya dengan rencana serta mengambil
tindakan pembetulan yang diperlukan.
Tetapi menurut Gasperz, 2004 pengendalian tidak cukup memantau kegiatan
atau aktivitas dalam proses produksi tetapi juga dapat berarti evaluasi yang bersifat
korektif untuk menjadikan produk berkualitas. Control can mean an evaluation to
indicate needed corrective responses, the act guilding, or the state of process in
which the variability is attribute to a constant system of chance couses.
Pendapat Agus Ahyari (2000) menyatakan bahwa pengendalian kualitas
produk tidak hanya mencakup pengukuran kinerja, menjaga dan mengarahkan
agar kualitas produk yang dihasilkan,tetapi juga dapat dilakukan sebagai tindakan
preventif dengan tujuan tidak terjadi produk cacat pada hasil akhir produksi.
Arman Hakim Nasution (2008) mempunyai pendapat yang sederhana
tentang arti pengendalian kualitas produk yaitu proses yang dibuat untuk menjaga
supaya realisasi sesuai dengan yang direncanakan. Supaya hal ini terjadi sistem
pengendalian kualitas mempunyai fungsi mengontrol proses produksi dari awal
proses input hingga output yang dihasilkan.
10
Jadi dapat disimpulkan dari beberapa pendapat diatas pengendalian kualitas
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memantau aktivitas dengan cara
memfokuskan pada proses control yaitu dengan cara membuat rencana produksi
yang baik sehingga dapat sesuai dengan realisasinya, kemudian memastikan
kinerja yang dilakukan telah sesuai dengan yang direncanakan serta mengevaluasi
hasil proses produksi. Selain itu juga pengendalian kualitas juga dapat dilakukan
sebagai tindakan preventif perusahaan agar tidak terjadi produk cacat.
Tujuan dari pengendalian kualitas menurut Sofjan Assauri (1998) adalah:
1. Agar barang hasil produksi dapat mencapai standar kualitas yang telah
ditetapkan.
2. Mengusahakan agar biaya inspeksi dapat menjadi sekecil mungkin.
3. Mengusahakan agar biaya desain dari produk dan proses dengan
menggunakan kualitas produksi tertentu dapat menjadi sekecil mungkin.
4. Mengusahakan agar biaya produksi dapat menjadi serendah mungkin.
Tujuan utama pengendalian kualitas adalah untuk mendapatkan jaminan
bahwa kualitas produk atau jasa yang dihasilkan sesuai dengan standar kualitas
yang telah ditetapkan dengan mengeluarkan biaya yang ekonomis atau serendah
mungkin.
Pengendalian kualitas tidak dapat dilepaskan dari pengendalian produksi,
karena pengendalian kualitas merupakan bagian dari pengendalian produksi.
Pengendalian produksi baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan
yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena semua
kegiatan produksi yang dilaksanakan akan dikendalikan, supaya barang dan jasa
yang dihasilkan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, dimana
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diusahakan serendah-rendahnya.
Pengendalian kualitas juga menjamin barang atau jasa yang dihasilkan dapat
dipertanggungjawabkan seperti halnya pada pengendalian produksi. Dengan
demikian antara pengendalian produksi dan pengendalian kualitas erat kaitannya
dalam pembuatan barang.
11
Six Sigma
Menurut Breyfogle dalam Rahardjo (2003), six sigma merupakan tingkat
variabilitas yang menyatakan performance dari suatu proses. Tingkat mutu enam
sigma merupakan tingkat mutu dimana proses dengan penyebaran enam
sigma terhadap rataan proses masih memenuhi spesifikasi. Six sigma juga
diartikan sebagai tingkat mutu, dimana 3,4 persen kecacatan dihasilkan dari
satu juta kesempatan terjadinya kecacatan.
Nama "Six sigma" berasal dari tingkatan mutu : performa pada
tingkatan enam sigma yang berarti hanya 3,4 DPMO. Abjad Yunani Sigma adalah
lambang dalam statistik untuk deviasi standar, suatu ukuran variasi (Brue,
2005).
Six Sigma juga bisa diartikan sebagai suatu framework atau sistem yang
komprehensif dan fleksibel untuk melakukan proses perbaikan yang
berkesinambungan. Dalam prosesnya Six Sigma dikendalikan oleh pemahaman
yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan. Kemudian mengikuti perkembangan
jaman sigma dapat digunakan untuk mengukur kemampuan proses untuk
menghasilkan produk tanpa cacat. Indeks pengukuran yang sering digunakan
adalah "defect per unit". Nilai sigma mengindikasikan seberapa sering
kecacatan terjadi. Semakin meningkat nilai sigma, jumlah cacat semakin
sedikit sehingga biaya dan cycle time menurun. Selain itu tingkat kepuasan
pelanggan akan semakin meningkat (Muslim, 2005).
Six Sigma memiliki dua metodologi, yaitu (1) six sigma – DMAIC (Define,
Measure, Analyze, Improve, Control) dan (2) Design For Six Sigma – DFSS
DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, Verify) (Gaspersz, 2007).
Salah satu ciri dari sistem pengendalian kualitas modern adalah bahwa di
dalamnya terdapat aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan
kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja.
12
Dalam Six Sigma ada siklus 5 fase DMAIC (Define, Measure, Analyze,
Improve, Control) yaitu proses peningkatan terus menerus menuju target six
sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik berdasarkan pengetahuan dan fakta.
DMAIC merupakan suatu proses closed–loop yang menghilangkan langkah–
langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–
pengukuran baru dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju
target six sigma.
Menurut Pete dan Holpp (2002), tahap-tahap implementasi peningkatan
kualitas dengan Six sigma terdiri dari lima langkah yaitu menggunakan metode
DMAIC atau Define, Measure, Analyse, Improve and Control.
1. Define
Define adalah penetapan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas Six
Sigma. Langkah ini untuk mendefinisikan rencana-rencana tindakan yang
harus dilakukan untuk melaksanakan peningkatan dari setiap tahap proses
bisnis kunci (Gaspersz, 2005). Tanggung jawab dari definisi proses bisnis
kunci berada pada manajemen.
Menurut Pande dan Cavanagh (2002:166) tiga aktivitas utama yang
berkaitan dengan mendefinisikan proses inti dan para pelanggan adalah
a. Mendefinisikan proses inti mayor dari bisnis.
b. Menentukan output kunci dari proses inti tersebut, dan para pelanggan
kunci yang mereka layani.
c. Menciptakan peta tingkat tinggi dari proses inti atau proses strategis.
Termasuk dalam langkah definisi ini adalah menetapkan sasaran dari
aktivitas peningkatan kualitas six sigma itu. Pada tingkat manajemen puncak,
sasaran-sasaran yang ditetapkan akan menjadi tujuan strategi dari organisasi
seperti: meningkatkan return on investement (ROI) dan pangsa pasar. Pada
tingkat oprasional, sasaran mungkin untuk meningkatkan output produksi,
produktivitas, menurunkan produk cacat, biaya oprasional. Pada tingkat
proyek, sasaran juga dapat serupa dengan tingkat oprasional, seperti:
13
menurunkan tingkat cacat produk, menurunkan downtime mesin,
meningkatkan output dari setiap proses produksi.
2. Measure
Measure merupakan tindak lanjut logis terhadap langkah define dan
merupakan sebuah jembatan untuk langkah berikutnya. Menurut Pete dan
Holpp (2002) langkah measure mempunyai dua sasaran utama yaitu:
a. Mendapatkan data untuk memvalidasi dan mengkualifikasikan masalah
dan peluang. Biasanya ini merupakan informasi kritis untuk memperbaiki
dan melengkapi anggaran dasar proyek yang pertama.
b. Memulai menyentuh fakta dan angka-angka yang memberikan petunjuk
tentang akar masalah.
Measure merupakan langkah oprasional yang kedua dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat tiga hal pokok yang harus
dilakukan, yaitu:
a. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (Critical to Quality)
kunci.
Penetapan Critical to Quality kunci harus disertai dengan pengukuran
yang dapat dikuantifikasikan dalam angka-angka. Hal ini bertujuan agar
tidak menimbulkan persepsi dan interprestasi yang dapat saja salah bagi
setiap orang dalam proyek Six sigma dan menimbulkan kesulitan dalam
pengukuran karakteristik kualitas keandalan. Dalam mengukur
karakteristik kualitas, perlu diperhatikan aspek internal (tingkat
kecacatan produk, biaya-biaya karena kualitas jelek dan lain-lain) dan
aspek eksternal organisasi (kepuasan pelanggan, pangsa pasar dan lain-
lain).
14
b. Mengembangkan rencana pengumpulan data
Pengukuran karakteristik kualitas dapat dilakukan pada tingkat, yaitu
1) Pengukuran pada tingkat proses (process level)
Mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan
karakteristik kualitas input yang diserahkan oleh pemasok (supplier)
yang mengendalikan dan memengaruhi karakteristik kualitas output
yang diinginkan
2) Pengukuran pada tingkat output (output level)
Adalah mengukur karakteristik kualitas output yang dihasilkan dari
suatu proses dibandingkan dengan spesifikasi karakteristik kualitas
yang diinginkan oleh pelanggan.
3) Pengukuran pada tingkat outcome (outcome level)
Adalah mengukur bagaimana baiknya suatu produk (barang dan atau
jasa) itu memenuhi kebutuhan spesifik dan ekspektasi rasional dari
pelanggan.
c. Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output
Karena proyek peningkatan kualitas Six sigma yang ditetapkan akan
difokuskan pada upaya peningkatan kualitas menuju ke arah zero defect
sehingga memberikan kepuasan total kepada pelanggan, maka sebelum
proyek dimulai, kita harus mengetahui tingkat kinerja yang sekarang atau
dalam terminology Six sigma disebut sebagai baseline kinerja, sehingga
kemajuan peningkatan yang dicapai setelah memulai Six sigma dapat
diukur selama masa berlangsungnya Six Sigma.
Pengukuran pada tingkat output ini dimaksudkan untuk mengetahui
sejauh mana output akhir tersebut dapat memenuhi kebutuhan spesifik
pelanggan sebelum produk tersebut diserahkan kepada pelanggan.
15
3. Analyze
Merupakan langkah operasional yang ketiga dalam program peningkatan
kualitas six sigma. Ada beberapa hal yang harus dilakukan pada tahap ini
yaitu:
a. Menentukan stabilitas dan kemampuan ( kapabilitas) proses
Proses industri dipandang sebagai suatu peningkatan terus menerus
(continous improvement) yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya
ide ide untuk menghasilkan suatu produk (barang dan atau jasa),
pengembangan produk, proses produksi/operasi, sampai kepada distribusi
kepada pelanggan. Target six sigma adalah membawa proses industri
yang memiliki stabilitas dan kemampuan sehingga mencapai zero defect.
Dalam menentukan apakah suatu proses berada dalam kondisi stabil dan
mampu akan dibutuhkan alat-alat statistik sebagai alat analisis.
Pemahaman yang baik tentang metode-metode statistik dan perilaku
proses industri akan meningkatkan kinerja sistem industri secara terus-
menerus menuju zero defect.
b. Menetapkan target kinerja dari karakteristik kualitas (CTQ) kunci
Secara konseptual penetapan target kinerja dalam proyek peningkatan
kualitas Six sigma merupakan hal yang sangat penting dan harus
mengikuti prinsip :
1) Spesific, yaitu target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six
sigma harus bersifat spesifik dan dinyatakan secara tegas.
2) Measureable, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six
sigma harus dapat diukur menggunakan indikator pengukuran
(matrik) yang tepat, guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan
ulang, dan tindakan perbaikan di waktu mendatang.
3) Achievable, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas harus
dapat dicapai melalui usaha-usaha yang menantang (challenging
efforts).
16
4) Result-Oriented, yaitu target kinerja dalam proyek peningkatan
kualitas Six sigma harus berfokus pada hasil-hasil berupa
peningkatan kinerja yang telah didefinisikan dan ditetapkan.
5) Time-Bound, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six
sigma harus menetapkan batas waktu pencapaian target kinerja dari
setiap karakteristik kualitas.
6) Time-Bound, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six
sigma harus menetapkan batas waktu pencapaian target kinerja dari
setiap karakteristik kualitas. (CTQ) kunci itu dan target kinerja harus
dicapai pada batas waktu yang telah ditetapkan (tepat waktu).
c. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab masalah kualitas
Untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan sumber penyebab
masalah kualitas, digunakan alat analisis diagram sebab akibat atau
diagram tulang ikan. Diagram ini membentuk cara-cara membuat
produk-produk yang lebih baik dan mencapai akibatnya (hasilnya).
Money Media Material Method
Akibat
Predictable Motivation Machine Manpower
Causes
Gambar 1. Diagram Sebab Akibat (Gaspersz, 2005)
17
Sumber penyebab masalah kualitas yang ditemukan berdasarkan
prinsip 7 M, yaitu (Gasperz, 2005) :
1) Manpower (tenaga kerja), berkaitan dengan kekurangan dalam
pengetahuan, kekurangan dalam ketrampilan dasar akibat yang
berkaitan dengan mental dan fisik, kelelahan, stress, ketidakpedulian,
dan lain-lain.
2) Machiness (mesin) dan peralatan, berkaitan dengan tidak ada sistem
perawatan preventif terhadap mesim produksi, termasuk fasilitas dan
peralatan lain tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak dikalibrasi,
terlalu complicated, terlau panas, dan lain-lain.
3) Methods (metode kerja), berkaitan dengan tidak adanya prosedur dan
metode kerja yang benar, tidak jelas, tidak diketahui, tidak
terstandarisasi, tidak cocok, dan lain-lain.
4) Materials (bahan baku dan bahan penolong), berkaitan dengan
ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong
yang ditetapkan, ketiadaan penanganan yang efektif terhadap bahan
baku dan bahan penolong itu, dan lain-lain.
5) Media, berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak
memerhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan dan keselamatan
kerja, dan lingkungan kerja yang konduktif, kekurangan dalam lampu
penerangan, ventilasi yang buruk, kebisingan yang berlebihan, dan
lain-lain.
6) Motivation (motivasi), berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang
benar dan professional, yang dalam hal ini disebabkan oleh sistem
balas jasa dan penghargaan yang tidak adil kepada tenaga kerja.
7) Money (keuangan), berkaitan dengan ketiadaan dukungan financial
(keuangan) yang mantap guna memperlancar proyek peningkatan
kualitas Six sigma yang akan ditetapkan.
18
4. Improve
Pada langkah ini diterapkan suatu rencana tindakan untuk
melaksanakan peningkatan kualitas Six sigma. Rencana tersebut
mendeskripsikan tentang alokasi sumber daya serta prioritas atau alternatif
yang dilakukan. Tim peningkatan kualitas Six sigma harus memutuskan target
yang harus dicapai, mengapa rencana tindakan tersebut dilakukan, dimana
rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana itu akan dilakukan,
siapa penanggungjawab rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan
rencana tindakan itu dan berapa besar biaya pelaksanaannya serta manfaat
positif dari implementasi rencana tindakan itu. Tim proyeksi Sigma telah
mengidentifikasikan sumber-sumber dan akar penyebab masalah kualitas
sekaligus memonitor efektifitas dari rencana tindakan yang akan dilakukan di
sepanjang waktu. Efektivitas dari rencana tindakan yang dilakukan akan
tampak dari penurunan persentase biaya kegagalan kualitas (COPQ) terhadap
nilai penjualan total sejalan dengan meningkatnya kapabilitas Sigma.
Seyogyanya setiap rencana tindakan yang diimplementasikan harus dievaluasi
tingkat efektivitasnya melalui pencapaian target kinerja dalam program
peningkatan kualitas Six sigma yaitu menurunkan DPMO menuju target
kegagalan nol (zero defect oriented) atau mencapai kapabilitas proses pada
tingkat lebih besar atau sama dengan 6-Sigma, serta mengkonversikan
manfaat hasil-hasil ke dalam penurunan persentase biaya kegagalan kualitas
(COPQ).
5. Control
Menurut Susetyo (2011), Control merupakan tahap operasional terakhir
dalam upaya peningkatan kualitas berdasarkan Six Sigma. Pada tahap ini hasil
peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktik-praktik
terbaik yang sukses dalam peningkatan proses distandarisasi dan
disebarluaskan, prosedur didokumentasikan dan dijadikan sebagai pedoman
standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim kepada
pemilik atau penanggung jawab proses.
19
Terdapat dua alasan dalam melakukan standarisasi, yaitu:
a. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak
distandarisasikan, terdapat kemungkinan bahwa setelah periode waktu
tertentu, manajemen dan karyawan akan menggunakan kembali cara
kerja yang lama sehingga memunculkan kembali masalah yang telah
terselesaikan itu.
b. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak
distandarisasikan dan didokumentasikan, maka terdapat kemungkinan
setelah periode waktu tertentu apabila terjadi pergantian manajemen dan
karyawan, orang baru akan menggunakan cara kerja yang akan
memunculkan kembali masalah yang sudah pernah terselesaikan oleh
manajemen dan karyawan terdahulu.
Pengendalian Kualiatas dengan Metode Six Sigma
Hubungan pendekatan dengan proses pengendalian kualitas di dalam proses
produksi merupakan salah satu inovasi penting yang membuat six sigma berhasil.
Ketiga unsur dasar tersebut adalah (Nasfiendry, 2003) :
1. Perbaikan proses
Perbaikan proses dilakukan untuk menemukan target dan melakukan
perbaikan untuk mengurangi kecacatan dalam proses produksi. Istilah
perbaikan proses merujuk pada sebuah strategi membangun solusi terfokus
untuk mengeliminasi akar penyebab dari dan menganalisis penyebab yang lain
terkait temuan produk yang cacat.
2. Desain ulang proses
Membangun bisnis yang lebih baik. Six Sigma membawa bersama-sama baik
perbaikan proses maupun perancangan ulang, menggabungkannya sebagai
strategi paling penting yang komplementer untuk meraih sukses terus
menerus. Pada model desain ulang sasarannya bukanlah untuk memperbaiki
melainkan untuk mengganti dengan proses yang baru.
20
3. Manajemen proses
Infrastruktur untuk kepemimpinan Six Sigma merupakan strategi yang paling
revolusioner karena melibatkan suatu perubahan fokus, dari kekeliruan dan
arah fungsi-fungsi kepada memahami dan memfasilitasi proses-proses, aliran
kerja yang memberikan nilai kepada pelanggan dan para pemegang saham.
Jadi secara singkat Pengendalian Kualitas dengan metode Six Sigma dapat
dijadikan ukuran kinerja sistem industri yang memungkinkan perusahaan
melakukan peningkatan yang luar biasa dengan terobosan strategi yang
actual dengan hanya menaai target terdapat 3,4% barang cacat per sejuta
kesempatan, perusahaan bisa menerapkan Six Sigma sebagai proses pengendalian
kualitas dengan menggunakan suatu pengukuran Defect Per million Opportunities
(DPMO) tingkat kapabilitas Six Sigma level, mengklasifikasikan semua
karakteristik kualitas itu sebagai (Critical To Quality) CTQ sebagai standar
produk,serta terus melakukan control dalam proses produksi ataupun hasil
produksi (output akhir),dan terus melakukan penyempurnaan dengan tujuan
meminimalisai pemborosan pada neraca keuangan perusahaan.
Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian penulis mencoba mencari referensi berupa
penelitian terdahulu yang sudah dilakukan terkait pengunaan Six Sigma di
perusahaan tekstil untuk mengurangi produk cacat dan dampaknya terhadap
penjualan. Berikut tabel penelitian terahulu yang menjelaskan judul
penelitian,tahun penelitian, serta rangkuman hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.
21
Tabel 2
Penelitian Terdahulu Penggunaan Six Sigma di Perusahaan
Peneliti, Tahun dan Judul Penelitian Hasil Penelitian
Nenny Ika Cendrawati, (2007),
Rancangan Pengendalian Mutu dengan
Metode Six Sigma pada Divisi Spinning
PT. Unitex Tbk Bogor
Divisi Spinning pada PT Unitex Tbk
bertugas untuk mengolah bahan baku
kapas menjadi benang melalui proses
pemintalan. Kapas yang digunakan
terdiri dari beberapa jenis yaitu kapas
jenis Suplima, China, Zimbabwe,
Australia, Mesir, Ultima dan America
Hotco. Selain kapas, bahan baku lain
yang digunakan adalah polyester
yang merupakan senyawa kimia.
Benang yang dihasilkan oleh Divisi
Spinning terbagi menjadi dua bagian
yaitu benang yang akan diolah
menjadi kain dan benang yang akan
langsung dijual kepada konsumen.
Benang yang akan diolah menjadi kain
tersebut melalui beberapa proses
selanjutnya yaitu proses Weaving atau
penenunan dan proses Dyeing yang
memoles kain terhadap warna,
penampilan dan pegangan (handling)
sedangkan benang yang langsung dijual
kepada konsumen melewati proses yarn
dyeing atau pencelupan benang untuk
memberikan warna pada benang yang
akan dijual. Benang yang dihasilkan
divisi spinning terbagi menjadi tiga
jenis yaitu jenis TC, CVC, dan Cotton.
Limbong W.H, (2008), Analisis Strategi
Perusahaan PT. Pismatex Pekalongan
Strategi pemasaran tersebut harus
sesuai dengan faktor-faktor strategis
yang dimiliki oleh perusahaan, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal,
serta bauran pemasaran (product,
price, place dan promotion). Analisis
data menggunakan matriks Internal
Factor Analysis Summary (IFAS) dan
matriks External Factor Analysis
Summary (EFAS), matriks IE dan
matriks SWOT, serta matriks QSPM.
Hasil analisis matriks IFAS dan EFAS
22
Peneliti, Tahun dan Judul Penelitian Hasil Penelitian
didapatkan kekuatan perusahaan adalah
mutu sarung ‘Gajah Duduk’ bagus
dan harga sarung yang terjangkau,
serta keterbatasan modal merupakan
kelemahan yang dimiliki oleh
perusahaan. Peluang perusahaan adalah
pelanggan yang terdiri dari hampir
seluruh golongan masyarakat dan
ancaman bagi perusahaan adalah
meningkatnya biaya produksi akibat
kenaikan harga BBM dan tarif dasar
listrik (TDL). Hasil analisis IE
menempatkan perusahaan pada sel I
dan IV dengan strategi yang tepat
adalah growth and build seperti
penetrasi pasar, pengembangan produk
dan perluasan pasar. Analisis SWOT
menghasilkan beberapa alternatif
strategi untuk memudahkan penilaian
matriks QSPM. Dari matriks QSPM
didapatkan alternatif strategi yang tepat
bagi perusahaan, yaitu efisiensi biaya
produksi dalam proses produksi
(pengolahan, bahan baku dan bahan
bakar).
Faris Andinova Yuliawan, (2009),
Kajian Optimasi untuk Meningkatkan
Profitabilitas pada PT. Pismatex,
Pekalongan
Hasil penelitian dengan metode linier
programing yang bertujuan
meningkatkan profit PT. Pismatex
dengan cara meningkatkan kinerja
karyawan dan mengoptimalkan
pengggunaan bahan baku secara
optimal sehingga dapat meningkatakan
profit secara signifikan.
Sahrial Amri dan I Wayan Suletra,
(2009), Analisis Stabilitas dan
Kapabilitas Proses Spinning Benang
Katun dengan Metode Six Sigma
Dari pengolahan hasil dari data mentah
benang ukuran 40 cm dan 50 cm
menunjukkan di dalam proses
pengerjaannya kurang stabil. Kondisi
ini menunjukkan bahwa terdapat
gangguan yang bersifat khusus (di luar
sistem) yang mempunyai potensi untuk
mengganggu kinerja proses.
23
Peneliti, Tahun dan Judul Penelitian Hasil Penelitian
Bayu Sopyan, (2010), Usulan
Pengendalian Kualitas untuk
Mengurangi Cacat pada Produk Kain
Sarung Tipe 40/2 Tr Di Departemen
Finishing PT. Pismatex
Hasil penelitiannya adalah ditemukan
cacat pada warna yang kotor, corak
warna yang putus-putus (ngombak),
dan kerusakan pada kain yang sobek
Jadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini memfokuskan pada solusi yang harus dilakukan oleh PT. Pismatex
untuk menjaga kualitas produk sarung ‘Gajah Duduk’.
Metode Penelitian
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer dengan cara melakukan wawancara
kepada Manajer Produksi Bapak Khulwan untuk menanyakan proses
pengendalian kualitas pada perusahaan, hasil wawancara tersebut dapat
mengetahui sistem yang digunakan PT. Pismatex dalam melakukan pengendalian
kualitas sarung yang akan diekspor serta mendapatkan data tentang prosentase
kecacatan sarung dari jumlah yang diproduksi tiap tahunnya.
Wawancara juga dilakukan kepada manajer penjualan khususnya di Bagian
Departemen Ekspor dengan Bapak Taufik untuk menanyakan tentang volume
penjualan terkait dengan jumlah produksi yang layak untuk dijual (tidak terjadi
kecacatan). Penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari
dokumen-dokumen perusahan yang berkaitan dengan pengendalian kualitas
seperti dokumen data tentang prosesntasi kecacatan dan data produksi sarung tiap
tahunnya dari tahun 2008 – 2012.
Selain menggunakan metode wawancara juga melakukan pengamatan
langsung (observasi) dilakukan dengan turun langsung ke perusahaan bagian
produksi untuk mengetahui sistem pengendalian kualitasnya serta di bagian
distribusi dan penjualan untuk mengetahui apakah terjadi kecacatan disaat proses
24
distribusi hingga sampai ke tangan konsumen. Observasi dilakukan mulai
pertengahan Mei 2013.
Teknik Analisis
Teknik analisis menggunakan metode six sigma dengan DMAIC untuk
melakukan proses pengendalian kualitas produk ekspor dan sebelum dilakukan
DMAIC memerlukan tahap dimana perusahaan harus mencari dan mengetahui
kriteria kecacatan yang terjadi, maka dilakukan tahap sebagai berikut:
1. Menentukan kapabilitas dan kemampuan (proses capability). Dalam proses
produksi ini perlu dilakukan karena merupakan suatu proses dimana
menentukan penyebab produk cacat terjadi.
2. Penyebab kecacatan produk ada dua penyebab yang tidak dapat dikendalikan
dan penyebab yang dapat dikendalikan. Penyebab diidentifikasi dari sumber-
sumber dan akar masalah dari kemampuan dan kapabilitas produksi, sehingga
memungkinkan pihak manajemen mengantisipasi dan meminimalisasi dengan
mencegah dan memperkirakan agar tidak terjadi kecacatan, dan jika terjadi
produk cacat pihak manajemen yang bertanggung jawab. Sedangkan
penyebab yang tidak dapat dikendalikan yaitu penyebab kecacatan produk
akibat pihak manajemen tidak menguasai atau tidak ada pengetahuan
sebelumnya.
3. Dari penyebab yang tidak dapat dikendalikan tersebut, maka pihak manajemen
harus melakukan menetapkan target kinerja dari karateristik kunci (CTQ).
Setelah mengetahui CTQ maka perusahaan melakukan analisis stabilitas dan
kemampuan proses. CTQ ini sangat penting untuk menjalankan metode Six
Sigma karena untuk mengukur kesiapan pihak manajemen melakukan proses
agar proses terus berjalan dan selalu meningkat (Countinously and Improve).
Setelah melakukan langkah menemukan CTQ (kriteria kecacatan produk)
kemudian tahap berikutnya yang dilakukan DMAIC. Berikut penjabaran DMAIC
yang dilakukan di PT. Pismatex untuk proses pengendalian kualitas.
25
1. Perumusan (define)
Fase menentukan/mendefinisikan masalah, menetapkan persyaratan-
persyaratan pelanggan. Setelah menentukan menetapkan persyaratan-
persyaratan pelanggan kemudian bisa dirumuskan apa saja yang harus
dilakukan untuk menetapkan masalah kemudian masalah langkah berikutnya
untuk mengukur masalah yang sering terjadi dengan tujuan agar dapat
mengambil langkah yang efektif untuk mengurangi produk cacat.
2. Pengukuran (measure)
Setelah ditemukan CTQ atau garis besar masalah kemudian perusahaan
mengukur masalah yang terjadi dengan menggunakan perbandingan data
produksi sarung dibandingkan dengan prosentase kecacatan yang terjadi, hal
ini dilakukan untuk mengukur sejauh mana efektivitas perusahaan untuk
mengurangi produk cacat.
3. Analisis (analyze)
Fase mencari dan menentukan akar sebab dari suatu masalah. Fokus pada
fase ini adalah pada pertanyaan mengapa cacat, kesalahan atau variasi
yang berlebihan terjadi. Alat yang digunakan untuk menganalisis adalah
diagram tulang ikan dan diagram pareto dengan menggunakan dua alat
analisis ini dapat diketahui kecacatan yang sering terjadi, disertai penyebab
kecacatan sehingga dapat mengetahui mengapa terjadi kecacatan.
4. Improve
Setelah mengetahui akar permasalahan dan mengidentifikasi masalah yang
terjadi berupa kecacatan pada proses produksi, maka harus dilakukan
langkah-langkah solusi yang merupakan sebagai tahap improve atau tindak
lanjut untuk melakukan peningkatan untuk memperbaiki sistem. Langkah
untuk memperbaiki sistem selain dilihat dari hasil analisis dengan diagram
pareto dan diagram tulang ikan disesuaikan juga dengan hasil wawancara
dengan manajer produksi PT. Pismatex sehingga bisa menghasilkan
peningkatan yang signifikan terkait pengurangan produk cacat.
26
5. Control
Setelah hasil analisis dan improve perlu dibuat sistem yang bertujuan
mengendalikan terhadap proses dengan tujuan mengurangi kesalahan yang
sama, dan juga untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six
Sigma.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Umum Perusahaan
PT. Pismatex Pekalongan merupakan sebuah perusahaan berbentuk
Perseroan tertutup, yaitu perusahaan perseroan terbatas yang modalnya
berasal dari kalangan tertentu misalnya pemegang sahamnya hanya dari
kerabat dan keluarga saja atau kalangan terbatas dan tidak dijual kepada
umum. PT. Pismatex bergerak di bidang industri tekstil kain sarung
pelekat, di mana saham atau modal yang dimiliki adalah milik keluarga. PT
Pismatex didirikan pada tahun 1971 oleh H. Ghozi Salim sebagai pemilik
perusahaan dan pada tahun 1972 mulai memproduksi kain sarung pelekat
merek Gajah Duduk. Sejalan dengan perkembangan penggunaan teknologi
dalam industri tekstil, maka sarung Gajah Duduk diproduksi dengan
berbagai tingkatan mutu, antara lain mutu 4.000 benang, 5.000 benang dan
7.000 benang.
Pada awal didirikannya, PT Pismatex menggunakan proses produksi
kain sarung dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Penggunaan
teknologi yang semakin berkembang dalam industri tekstil menuntut
perusahaan mengadopsi perkembangan teknologi dalam proses produksinya.
Oleh karena itu, pada tahun 1973 perusahaan melakukan pembaharuan
teknologinya dengan mengganti penggunaan ATBM menjadi alat tenun
mesin (ATM). Penggantian penggunaan mesin dalam proses produksi kain
sarung atas pertimbangan perusahaan dan dikarenakan meningkatnya daya
beli masyarakat, tingkat produktivitas yang tinggi dan mutu kain sarung.
27
PT. Pismatex merupakan perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam
Negeri), Ijin Perusahaan No. 28/DJAI/IUT/III/NON PMA-PMDN/1998.
Tanggal 26 Januari 1988. SIUP No. 40/II.03/PB/III/1994. Proses produksi
sarung ‘Gajah Duduk’ terbagi dalam lima unit produksi, yaitu unit pencelupan
(dyeing), Unit Persiapan (Preparation), Unit Pertenunan (Weaving), Unit
Penyempurnaan (Finishing) dan Unit Jahit Sarung (Sewing). Keseluruhan
proses produksi tersebut secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Unit Pencelupan (Dyeing)
Pada unit pencelupan terdiri dari dua bagian, yaitu:
1) Bagian Soft Cone, proses mengcover benang cone (ex patal) dengan
standar tension tertentu (soft) untuk mempermudah dalam proses
pewarnaan.
2) Bagian Pencelupan (Cone Dyeing), merupakan proses pemberian
warna benang dengan bahan, temperatur dan tekanan tertentu, agar
menghasilkan warna yang tidak luntur dan rata, sesuai dengan warna
yang dikehendaki desaigner.
b. Unit Persiapan (Preparation)
Pada unit persiapan terdiri dari lima bagian, yaitu:
1) Kelos (cone winder) proses menutupi cone warna dengan standar isi
tertentu dan mengatur kembali jajaran atau gulungan benang untuk
memperlancar proses selanjutnya, yaitu proses palet dan hani.
2) Palet (pirn winder) merupakan proses mengcover cone warna yang
sudah melalui proses kelos (ex kelos) menjadi palet dengan isi dan
tension tertentu untuk menghasilkan gulungan pakan.
3) Hani (warping) membuat jajaran benang lusi pada beam tenun sesuai
dengan corak. Proses ini bertujuan menghasilkan gulungan benang
untuk lusi.
28
4) Kanji (sizing) merupakan proses melapisi benang yang sudah digulung
terpisah sesuai dengan corak bahan atau obat kanji. Proses pelapisan
tersebut bertujuan untuk memperlancar proses tenun benang.
5) Cucuk (reach in) yaitu memisahkan helaian benang lusi ex hani dan
kanji, sehingga membentuk mulut lusi untuk jalannya pakan.
c. Unit Pertenunan (Weaving)
Hal ini merupakan proses menganyam atau menyilangkan benang pakan
ke dalam mulut lusi, sesuai kartu dan corak yang terpasang pada mesin
dengan standar penyetelan mesin. Tujuan proses ini adalah adalah untuk
memperoleh hasil anyaman sesuai dengan standar corak dan kerataan pick,
panjang dan lebar kain agar tidak timbul BS.
d. Unit Penyempurnaan (Finishing)
Pada proses penyempurnaan (finishing) terdiri dari lima bagian, yaitu:
1) Inspeksi (inspection) merupakan proses memperbaiki, memisahkan
dan mengklasifikasikan produk yang cacat untuk menghindari
tercampurnya dengan produk yang baik dan BS.
2) Bakar Bulu (singeing) merupakan proses untuk menghilangkan atau
membersihkan bulu atau kapuk yang melekat pada permukaan
sarung, agar menghasilkan produk bersih dan tidak mengapuk.
3) Pencucian (washing) merupakan proses mencuci atau membersihkan
kain sarung karena kotoran dari proses bakar bulu. Proses ini bertujuan
untuk menghasilkan produk bersih dan warna kain cerah.
4) Stenter (stentering) merupakan proses memperbaiki jajaran benang lusi
dan pakan, sehingga tegangan benang rata dan panjang maupun lebar
kain sarung kembali seperti semula (pada saat mentah). Proses ini
bertujuan agar menghasilkan mutu produk sesuai standar, bermutu dan
kuat.
29
5) Kalender (calendaring) yaitu proses memperhalus permukaan kain
sarung, agar mutu kain sarung jadi lebih bermutu dan menarik.
e. Unit Jahit Sarung (Sewing)
Hal ini merupakan proses menghubungkan ujung dan pangkal kain,
sehingga terbentuk sarung. Pada unit sewing terdiri dari dua bagian, yaitu :
1) Lipat (folding), yaitu proses melipat kain sarung dengan standar lipatan
untuk menyesuaikan dengan kemasan.
2) Pengemasan (packing), proses pemberian logo, cap atau merek, etiket
perusahaan dan membungkusnya dengan rapi, agar produk mudah
dikenal oleh konsumen.
f. Unit distribusi dan penjualan
Setelah sarung diberi logo, cap atau merek dari unit finishing sewing
maka sarung akan dikirim ke bagian distribusi dan penjualan untuk dipilih
mana sarung yang merupakan pemesanan ekspor dan pemesanan
domestik, setelah dipilih sarung yang akan diekspor dikirim ke unit
penjualan ekspor untuk dikirim ke agen ataupun perseorangan yang telah
melakukan pemesanan ekspor sebelumnya. Karyawan yang bekerja di
unit departemen ekspor berjumlah 15 orang yang bertugas mengambil
barang dari unit finishing sarung yang akan diekspor, sebelum dikirim
dilakukan pengecekan ulang terhadap ada kemasan yang rusak atau
tidak,dan jika sudah sarung akan dikirim ke agen atau perseorangan yang
telah melakukan pemesanan sebelumnya. Jika terjadi retur maka diretur
ke agen di negara eksportir dan dari agen langsung mengirim dan
melakukan koordinasi terhadap unit produksi untuk melakukan
penggantian barang.
30
Pengendalian Kualitas dengan Metode Six Sigma untuk Mengurangi
Produk Cacat pada PT Pismatex
Berikut gambaran hasil dari proses DMAIC untuk mengurangi produk cacat
1. Define
Tahap ini menentukan/mendefinisikan masalah, menetapkan persyaratan-
persyaratan pelanggan (CTQ - critical to quality). CTQ disini sendiri
mempunyai arti garis besar masalah yang terjadi adalah kecacatan sarung
pada proses produksi yang menimbulkan turunnya penurunan penjualan.
Setelah menentukan CTQ kemudian dirumuskan garis besar masalah yang
terjadi sehingga bisa melakukan langkah berikutnya untuk mengukur
masalah yang sering terjadi dengan tujuan agar dapat mengambil langkah
yang efektif untuk mengurangi produk cacat.
2. Measure
Ditahap ini perusahaan melakukan pengukuran masalah dengan
menggunakan sistem perbandingan data produksi sarung dibandingkan
dengan presentase kecacatan yang terjadi.
Berikut tabel yang menggambarkan perbandingan antara jumlah produksi
sarung presentase rata-rata cacat produk.
No Masalah Persyaratan Pelanggan
1 Kesalahan perwarnaan kain Warna cerah, tajam, dan sesuai tema
2 Ngombak pada kain Kain mulus
3 Pemberian logo dan pengemasan Print logo pada tempatnya, pengemasan rapi
4 Cat buh bercak pada motif Motif tidak pecah
5 Lusi putus (benang tidak sesuai) Komposisi benang sesuai aturan
31
Tabel 3
Perbandingan Jumlah Produksi Sarung dan
Presentase Rata-Rata Cacat Produk
Tahun Jumlah
Produksi
Jumlah
Produk Cacat Presentase Kecacatan
2008 253.150 17.064 6,74%
2009 235.582 19.907 8,45%
2010 209.496 19.923 9,51%
2011 252.981 27.853 11,01%
2012 243.487 28.081 8,67%
1.194.696 112.828 Rata-rata cacat per tahun 8,8%
Setelah mengetahui jumlah produksi sarung yang bagus dan cacat serta
rata-rata kecacatan dari tahun 2008 sampai 2012 kemudian dilakukan
pengukuran nilai Sigma yang menggunakan ukuran Defect Per Oportunities
(DPO) dan Defect Per Milions Oportunities (DPMO)
Tabel 4
Hasil Perhitungan DPMO
Tahun Jumlah
Produksi
Jumlah
Produk
Cacat
DPU Prob
Kerusakan
DPMO
(satuan
pengukuran
six sigma)
2008 253.150 17.064 0,06740668 23908 3
2009 235.582 19.907 0,08450136 22249 4
2010 209.496 19.923 0,09509967 19785 5
2011 252.981 27.853 0,11009918 23892 5
2012 243.487 28.081 0,11532854 22995 5
1.194.696 112.828 0,09444076 112828
DPU : DPMO:
Prob Kerusakan: jumlah produksi x rata-rata kerusakan
Rata-rata kerusakan 0,094487085
32
3. Analisis (Analyze)
Fase mencari dan menentukan akar sebab dari suatu masalah. Fokus
pada fase ini adalah pada pertanyaan mengapa cacat, kesalahan atau variasi
yang berlebihan terjadi. Alat yang digunakan untuk menganalisis adalah
diagram tulang ikan dan diagram pareto dengan menggunakan dua alat
analisis ini dapat diketahui kecacatan yang sering terjadi, disertai penyebab
kecacatan sehingga dapat mengetahui mengapa terjadi kecacatan.
Berikut diagram tulang ikan untuk menggambarkan dan menjabarkan
sebab akibat kecacatan yang sering terjadi:
a. Kecacatan yang berupa bercak pada motif (catbuh), kesalahan warna
corak kain
33
b. Cacat kesalahan penggunaan benang (lusi putus), dan ngombak pada kain
c. Cacat pada pemberian logo dan pengemasan akhir
34
Tabel 4
Hasil Deskripsi Diagram Tulang Ikan
No Masalah Prosentase
Kesalahan
Penyebab
Material Manpower Method Machine
1 Kesalahan
perwarnaan
kain
20 Kesalahan
pencampuran
bahan
kimia,tidak
seimbang
antara air dan
warna
Kurang teliti
membaca
spesifikasi
pesanan,terburu-
buru
Tidak
mengikuti
standar
yang
ditentukan
Mesin rusak,kurang
perawatan,pemakaian
terus menerus
2 Ngombak
pada kain
20 Kain licin Operator baru,Lalai
memonitor, kurang
hati-hati memasang
kain
Prosedur
kurang
diperhatikan
Umur mesin tua
3 Pemberian
logo dan
pengemasan
10 Design logo
tidak
pas,plastik
pengemasan
kurang bagus
Keteledoran
karyawan,skill
rendah,kurangnya
pengarahan kerja
Tidak
mengikuti
standar
yang
ditentukan
Mesin rusak,Alat
pasang logo kurang
tajam
4 Cat buh
bercak pada
motif
30 Salah
pencampuran
obat dan air
kebanyakan
air
Kurang teliti Kontrol
tidak
maksimal
Mesin dol
5 Lusi putus
(benang
tidak
sesuai)
20 Benang tidak
terstandarisasi
Cara menyambung
tidak mengikuti
instruksi
Tidak ada
prosedur
yang jelas
Konslet pada mesin
35
Diagram Pareto Menunjukan Prosentase Kecacatan
No Jenis Cacat Jumlah Dalam
Persen
1. Bercak pada motif (catbuh) 30
2. Kesalahan pewarnaan kain 20
3. Pemberian logo dan
pengemasan
10
4. Lusi putus (benang tidak
sesuai)
20
36
4. Improve
Setelah melakukan analisis dengan menggunakan diagram tulang ikan dan diagram
pareto yang harus dilakukan untuk mengurangi produk cacat kemudian dilakukan
tahap improve atau tindak lanjut untuk melakukan peningkatan dengan cara
memperbaiki sistem. Penggabungan antara hasil analisis dengan hasil Wawancara
yang telah dilakukan kepada manajer produksi ditemukan solusi untuk mengurangi
hasil cacat kemudian dibuat tabel sebagai berikut:
Tabel 5
Aktivitas Improve pada Produk Cacat
No Faktor
Produksi
Masalah (Define) Penyebab
(Analyze)
Cara Mengatasi
(Improve)
1 Material Kesalahan perwarnaan kain Kesalahan
pencampuran bahan
kimia,tidak seimbang
antara air dan warna
Standar bahan baku
lebih diperhatikan.
Ngombak pada kain Kain licin Standar mesin dan
bahan baku lebih
diperhatikan. Pemberian logo dan
pengemasan Design logo tidak
pas,plastik
pengemasan kurang
bagus
Standar mesin dan
bahan baku lebih
diperhatikan.
Cat buh bercak pada motif Kebanyakan air Standar bahan baku
lebih diperhatikan. Lusi putus (benang tidak
sesuai) Benang tidak
terstandarisasi Standar bahan baku
lebih diperhatikan.
2 Manpower Kesalahan pewarnaan kain Kurang teliti
membaca spesifikasi
pesanan,terburu-buru.
Membuat form
pemesanan lebih
baik lagi. Ngombak pada kain Operator baru, lalai
memonitor,kurang
hati-hati memasang
kain.
Selalu cek dan
memberi
pengarahan.
Pemberian logo dan
pengemasan
Keteledoran
karyawan,skill
rendah,kurangnya
pengarahan kerja
Pendampingan dan
pengarahan kerja
dintensifkan.
Cat buh bercak pada motif Kurang teliti. Menata ulang
kembali job disk dan
37
No Faktor
Produksi
Masalah (Define) Penyebab
(Analyze)
Cara Mengatasi
(Improve)
job spek sehingga
karyawan lebih bisa
kerja lebih teliti. Lusi putus (benang tidak
sesuai)
Pengerjaan tidak
sesuai standar. Mengatur kembali
standar yang
digunakan.
3 Method Kesalahan perwarnaan kain Tidak mengikuti
standar yang
ditentukan.
Mengatur kembali
standar agar bisa
diterapkan.
Ngombak pada kain Prosedur kurang
diperhatikan.
Mengatur kembali
dan lebih
memperhatikan
metode dan prosedur
yang digunakan. Pemberian logo dan
pengemasan Tidak mengikuti
standar yang
ditentukan.
Mengatur kembali
standar yang
digunakan.
Cat buh bercak pada motif Kontrol tidak
maksimal.
Mengatur kemabli
metode yang
digunakan. Lusi putus (benang tidak
sesuai) Tidak ada prosedur
yang jelas.
Mengatur kembali
prosedur.
4 Machine Kesalahan pewarnaan kain Mesin rusak,kurang
perawatan,pemakaian
terus menerus.
Mengatur kembali
sistem perawatan
mesin.
Ngombak pada kain Umur mesin tua. Mengatur kembali
peremajaan mesin
yang sudah tidak
layak pakai. Pemberian logo dan
pengemasan
Mesin rusak,Alat
pasang logo kurang
tajam.
Mengatur kembali
sistem perawatan
mesin.
Cat buh bercak pada motif Mesin rusak Mengatur kembali
perawatan dan
pemakaian mesin.
38
5. Control
Setelah melakukan langkah-langkah analisis dan improve kemudian melakukan control
kegiatan di setiap bagiannya dengan tujuan agar langkah-langkah yang ditempuh akan
bisa dilakukan secara kontinu dan konsisten tidak mengulangi kesalahan yang sama,
dampak langsung yang akan dirasakan yaitu produk cacat berkurang, serta lebih efisien
dalam penggunan bahan baku,mesin dan karyawan yang bekerja akan lebih efektif.
Berikut tabel yang menggambarkan langkah control yang dilakukan perusahaan.
Tabel 6
Aktivitas Control pada Produk Cacat
No Faktor
Produksi
Masalah (Define) Cara Mengatasi
(Improve)
Pengendalian
(Control)
1 Material Kesalahan perwarnaan kain Standar bahan baku
lebih diperhatikan.
Mengatur kembali
standar yang
digunakan, bahkan jika
dimungkinkan
membuat standar yang
baru yang mengatur
tentang penggunaan
bahan baku, dengan
tujuan agar
penggunaan bahan
baku.
Ngombak pada kain Standar mesin dan
bahan baku lebih
diperhatikan.
Pemberian logo dan
pengemasan
Standar mesin dan
bahan baku lebih
diperhatikan.
Cat buh bercak pada motif Standar bahan baku
lebih diperhatikan.
Lusi putus (benang tidak
sesuai)
Standar bahan baku
lebih diperhatikan.
2 Manpower Kesalahan pewarnaan kain Membuat form
pemesanan lebih baik
lagi.
Membuat suatu sistem
yang berupa tindakan
atau langkah perbaikan
mengontrol kegiatan
teknis fokus pada
perbaikan kinerja
karyawan yang
kemudian dibuat
standar operasi
produksi agar
karyawan dapat
bekerja sesuai standar
yang dibuat.
Ngombak pada kain. Selalu cek dan
memberi pengarahan.
Pemberian logo dan
pengemasan.
Pendampingan dan
pengarahan kerja
dintensifkan.
Cat buh bercak pada motif. Menataulang kembali
job disk dan job spek
sehingga karyawan
lebih bisa kerja lebih
teliti.
Lusi putus (benang tidak
sesuai).
Membuat standar
yang baku.
39
3 Method Kesalahan pewarnaan kain Tidak mengikuti
standar yang
ditentukan.
Membuat suatu sistem
yang berupa tindakan
mengontrol metode
dan proses yang bisa
berupa sistem audit
manajemen interna
maupun dari eksternal
perusahaan tang
bertujuan
mengevaluasi metode
yang selama ini
digunakan.
Ngombak pada kain. Prosedur kurang
diperhatikan.
Pemberian logo dan
pengemasan.
Tidak mengikuti
standar yang
ditentukan.
Cat buh bercak pada motif. Kontrol tidak
maksimal.
Lusi putus (benang tidak
sesuai).
Tidak ada prosedur
yang jelas.
4 Machine Kesalahan pewarnaan kain Mesin rusak,kurang
perawatan,pemakaian
terus menerus.
Mengatur kembali
standar penggunaan
dan perawatan mesin,
contoh konkrit
melakukan pelabelan
mesin anatar mesin
baru dan mesin lama
sehingga dapat
mengoptimalkan
kinerja.
Ngombak pada kain. Umur mesin tua.
Pemberian logo dan
pengemasan.
Mesin rusak,Alat
pasang logo kurang
tajam.
Cat buh bercak pada motif. Mesin rusak.
Lusi putus (benang tidak
sesuai).
Mesin dol konslet
Hambatan-hambatan Peningkatan Kualitas Produk pada PT. Pismatex
Hambatan-hambatan Peningkatan Kualitas Produk pada PT. Pismatex dengan
menggunakan metode Six sigma, antara lain:
1. Perusahaan belum sepenuhnya melakukan aktivitas untuk memenuhi keinginan pasar
konsumen dan mampu menerapkan strategi peningkatan kualitas produk.
40
2. Pihak manajemen perusahaan belum mengidentifikasi CTQ (critical to quality),
kapabilitas produk, kapabilitas proses produksi, dan taksiran resiko.
3. Perusahaan hanya menggunakan pola produksi yang konstan, sehingga perusahaan
belum menganalisa alternatif-alternatif yang dirancang dan dibangun, menciptakan
rancangan tingkat atas dan mengevaluasi kapabilitas rancangan untuk memilih
rancangan yang terbaik.
4. Perusahaan melalui manajemen operasional belum merancang detail, mengoptimalkan
rancangan, dan merencanakan verifikasi rancangan.
Solusi Mengatasi hambatan Pengendalian Kualitas dengan Metode Six Sigma
Menggunakan DMAIC Guna Mengurangi Produk Cacat pada PT. Pismatex
No Faktor
Produksi
Hambatan untuk
Memecahkan Masalah
Solusi untuk Mengatasi
Hambatan
1 Material Bahan baku belum
terstandarisasi.
Membuat dan
mengatur ulang
standarisasi
penggunaan mesin dan
bahan baku
Bahan baku pembuatan kain
belum terstandarisasi.
Penggunan mesin dan bahan
baku belum memenuhi
standar.
Standar pencampuran bahan
kimia dan air belum
memenuhi standar.
Bahan baku belum memenuhi
standar.
2 Manpower Pembuatan form pemesanan
tidak mengikuti standar.
Membuat sistem
dan megatur
ulang kembali
standar
operasional
karyawan.
Penerimaan karyawan baru
harus memenuhi job spek dan
job disknya.
mengatur sistem pengawasan
karyawan sesuai standar.
Menata ulang job disk dan job
spek karyawan sesuai standar.
Menata ulang job disk dan job
spek karyawan sesuai standar.
41
No Faktor
Produksi
Hambatan untuk
Memecahkan Masalah
Solusi untuk Mengatasi
Hambatan
3 Method Metode yang digunakan tidak
mengikuti standar.
Membuat dan
mengatur kembali
standar prosedur
produksi yang
digunakan.
Prosedur yang dibuat belum
terstandarisasi.
Prosedur yang dibuat belum
terstandarisasi.
Sistem kontrol belum
memenuhi standar.
Prosedur yang digunakan
belum memenuhi standar.
4 Machine Sistem perawatan mesin harus
mengikuti standar. Membuat dan
mengatur kembali
standar perawatan dan
peremajaan mesin
yang digunakan.
Membuat standar peremajaan
mesin.
Penggunaan mesin tidak
mengikuti standar.
Penggunaan mesin tidak
sesuai standar.
Solusi mengatasi hambatan pengendalian kualitas dengan metode six sigma
menggunakan DMAIC guna mengurangi produk cacat pada PT. Pismatex, antara lain:
1. Perusahaan berupaya dalam melakukan aktivitas produksinya untuk memenuhi
keinginan pasar konsumen dan mampu menerapkan sistem pengendalian kualitas
produk yang lebih baik.
2. Pihak manajemen perusahaan dapat mengatasi hambatan yang terjadi dalam mengatasi
produk cacat dengan cara:
a. Perbaikan proses
Perbaikan proses dilakukan untuk menemukan target dan melakukan perbaikan untuk
mengurangi kecacatan dalam proses produksi. Istilah perbaikan proses merujuk pada
sebuah strategi membangun solusi terfokus untuk mengeliminasi akar penyebab dari
dan menganalisis penyebab yang lain terkait temuan produk yang cacat.
42
b. Desain ulang proses
Membangun bisnis yang lebih baik. Dalam Six Sigma dilakukan perbaikan proses
maupun perancangan ulang, menggabungkannya sebagai strategi paling penting
yang komplementer untuk meraih sukses terus menerus. Pada model desain ulang
harus dilakukan pengawasan terhadap standar penggunaan bahan baku serta
memperhatiakn standar operasi karyawan bagian produksi agar mutu barang yang
dihasilkan lebih baik.
c. Manajemen proses
Infrastruktur untuk kepemimpinan Six Sigma merupakan strategi yang paling
revolusioner karena melibatkan suatu perubahan fokus, dari kekeliruan dan arah
fungsi-fungsi kepada memahami manajemen proses, dan aliran kerja yang
memberikan nilai kepada pelanggan dan para pemegang saham. Dalam melakukan
manajemen proses dilakukan pengaturan ulang dengan melakukan pencatatan dan
penimbangan seluruh produk catat setiap hari dari masing-masing jenis yang
dilakukan oleh karyawan dalam proses produksi. Kemudian melaporkan hasil
penimbangan produk cacat berdasarkan type produk catat kepada supervisor,
sehingga manajemen perusahaan dapat mengubah pola produksi sesuai dengan
permintaan pasar, dan pihak manajemen produksi mampu menganalisa penggunaan
alternatif-alternatif sistem manajemen yang baru, dan terus melakukan evaluasi
kapabilitas rancangan untuk memilih rancangan yang terbaik dalam kegiatan
produksi agar proses pengendalian produk yang dilakukan oleh perusahaan dapat
optimal.
Kesimpulan, dan Saran
Kesimpulan
PT. Pismatex melakukan sistem pengendalian kualitas dengan metode Six Sigma
dengan DMAIC. DMAIC dilakukan dengan kedua alat analisis diagram tulang ikan dan
diagram pareto dengan kedua alat tersebut perusahan dapat menekan angka kecacatan
secara menyeluruh dengan rata-rata kecacatan 0,094487085 dan level sigma mencapai
43
target selama 5 tahun terakhir. Langkah terpenting dalam tahap DMAIC adalah pada
langkah analisis yang bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan
produk cacat beberapa faktor tersebut yaitu faktor bahan baku serta mesin yang
digunakan,faktor tenaga kerja, serta faktor metode atau standar yang digunakan. Faktor
yang dianggap penting oleh perusahaan untuk dapat menjaga kualitas adalah faktor
penggunaan bahan baku dan mesin serta faktor metode atau standar yang digunakan disaat
proses produksi. Kedua faktor ini dianggap penting karena sarung dapat terjaga kualitasnya
jika bahan baku yang digunakan bagus dari kain yang tidak cacat kain tidak bergelombang
ataupun tidak cacat pada proses pewarnaan. Standar operasi juga dianggap penting karena
jika dalam proses produksi tidak mengikuti standar atau prosedur yang diterapkan oleh
manajemen maka sarung akan menjadi jelek dan cacat. Faktor lain yang dianggap penting
adalah lemahnya pengawasan kinerja adalah kurangnya dukungan manajemen dan
organisasi. Karyawan yang ditugaskan mengawasi kegiatan karyawan atau biasa yang
disebut mandor terkadang lalai mengawasi kinerja bawahannya sehingga menimbulkan
kesalahan metode yang digunakan ataupun kesalahan dalam melakukan pekerjaan sehingga
menyebabkan produk cacat. Selain itu dukungan dari manajemen dan organisasi juga
penting untuk mengevaluasi kebijakan standar kinerja yang telah dibuat atau bahkan bisa
membuat standar baru jika dimungkinkan dengan tujuan untuk meminimalisasi kesalahan
kinerja karyawan, sehingga berdampak kepada berkurangnya produk cacat.
Setelah mengetahui hasil dari tahap analisis perusahaan dapat mengetahui seberapa
efektif langkah yang dilakukan sehingga dapat melakukan Improve dan Control. Langkah
Improve dan Control harus lebih bersifat teknis sebagai contoh selalu melakukan evaluasi
setelah proses produksi kemudian juga lebih mengecek dan mengawasi lebih teliti lagi
dibagian sumber daya manusia agar tidak terjadi human eror. Langkah improve dan control
ini harus selalu dilakukan dengan tujuan mengevaluasi kinerja sehingga kualitas produk
sarung ‘Gajah Duduk’ dapat terjaga dengan baik.
44
Saran
1. Perusahaan perlu menggunakan metode six sigma untuk dapat mengetahui jenis
kerusakan yang sering terjadi dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Dengan
demikian perusahaan dapat segera melakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi
terjadinya produk cacat.
2. Secara umum penyebab utama terjadinya produksi cacat berasal dari faktor manusia
dan mesin.. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk mengatasi terjadinya produksi cacat
yang disebabkan oleh faktor tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Manusia
1) Melakukan pengawasan atas para pekerja dengan lebih ketat.
2) Memberikan pelatihan kepada para pekerja baru.
3) Membuat sistem penilaian kerja yang baru dengan tujuan untuk memotivasi
kinerja para pekerja agar lebih baik.
b. Mesin
1) Melakukan perawatan mesin rusak, kurang perawatan, pemakaian terus
menerus.
2) Segera mengganti komponen mesin yang rusak dan sudah tua sehingga tidak
menghambat proses produksi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Agus Ahyari, 2000. Pengertian Kualitas Produk Sebagai Tindakan Preventif. Jurnal
Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta.
Heizer and Render. 2001. Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Salemba Empat. Jakarta.
Anis Wahyuningsih 2002. Definisi Kualitas Sebagai Strategi Bisnis. Jurnal Ekonomi IPB.
Kotler terjamahan Rommy A Rusli 2002. Pengertian Kualitas Produk PT Gramedia
Pustaka Utama Jakarta.
Nasfiendry 2003. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengendalian Kualitas Dengan
Metode Six Sigma. Jurnal Ilmiah Teknik Industri IPB
Schermerhorn 2003. Filosofi Pengendalian Kualitas Dengan Metode Six Sigma. PT
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Gasperz 2004. Pengendalian Kualitas Dengan Metode Six Sigma. PT Gramedia Pusaka
Utama Jakarta.
Kotler 2005 terjemahan Tjiptono Fandi. Manajemen Pengendalian Kualitas Produk PT
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Lupiyoadi Rambat 2007. Manajemen Pemasaran implementation and Control. Jurnal
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Ika Cendrawati, N 2007 Rancangan Pengendalian Mutu dengan Metode Six Sigma pada
Divisi Spinning PT Unitex Bogor.
Arman Hakim Nasution 2008. Perencanaan dan Pengendalian Proses Produksi. PT
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Limbong WH 2008. Analisis Strategi Perusahaan PT Pismatex Pekalongan. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah.
Amri Sahrial 2009. Analisis Stabilitas dan Kapabilitas Proses Spining Benang Katun
dengan Metode Six Sigma. Jurnal Teknik Industri Institut Teknik Bandung.
Yuliawan AF 2009. Kajian Optimisasi Untuk Meningkatkan Profitabilitas Pada PT
Pismatex Pekalongan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro
Semarang Jawa Tengah.
46
Latief dan R.P Utami 2009. Penerapan Pendekatan Metode Six Sigma dalam Menjaga
Kualitas Produk. Jurnal Makara Teknologi Institut Teknik Bandung.
Susetyo Joko, Winarni,Hartanto Catur. 2010. Aplikasi Six Sigma DMAIC dan KAIZEN
sebagai Metode Pengendalian dan Perbaikan Kualitas Produk. Jurnal teknik
Industri, Fakultas Teknologi Industri Institut Sains dan Teknologi AKPRIND
Yogyakarta.
Sopyan Bayu 2010. Usulan Pengendalian Kualitas Untuk Mengurangi Produk Cacat Pada
Kain Sarung tipe 40/2tr di Depatemen Finishing PT Pismatex. Jurnal Teknik
Industri Universitas Diponegoro Semarang.