Post on 09-Feb-2016
description
ALERGI“Etiologi Penyakit Alergi berdasar Klasifikasinya, Patogenesa Penyakit Alergi,
Gambaran Klinis Penyakit Alergi, Penatalaksanaan Penyakit Alergi, Kaitan Alergi Dengan Gizi, Interaksi Obat pada Penyakit Alergi Dengan Zat Gizi”
(Makalah diselesaikan untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Patologi Manusia Lanjut, Semester III )
Oleh:
KELOMPOK IV
1. Ida Ayu Widiastuti (P07131013008)
2. Komang Dwi Pradnyani Laksmi (P07131013018)
3. Ni Kadek Jumita Rianti (P07131013028)
4. A.A. Titian Megasari (P07131013038)
5. Ni Wayan Ratih Puspa Dewi (P07131013048)
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN GIZI
DENPASAR
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di
masyarakat. Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya
terbatas pada gatal-gatal di kulit. Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua
bagian tubuh, tergantung pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut. Alergi
merupakan manifestasi hiperresponsif dari organ yang terkena seperti kulit,
hidung, telinga, paru, atau saluran pencernaan. Pada hidung gejala alergi yang
timbul berupa pilek; pada paru-paru berupa asma; pada kulit berupa
urtikaria/biduran, eksema, serta dermatitis atopik; sedangkan pada mata berupa
konjungtivitis. Gejala hiperresponsif ini dapat terjadi karena timbulnya respon
imun dengan atau tanpa diperantarai oleh IgE (Mahdi, 2003). Pada studi populasi,
penyakit alergi dapat timbul pada usia yang berbeda-beda, seperti alergi makanan
dan eksim terutama pada anak-anak, asma didapatkan pada anak dan dewasa, dan
rinitis alergika didapatkan pada dekade kedua dan ketiga (Mahdi, 2003). Di
Indonesia, prevalensi alergi pada anak-anak dan dewasa cukup tinggi. Penyakit
alergi akan timbul pada individu yang mempunyai kecenderungan yang didasari
faktor genetik, yang biasanya diwariskan dari kedua orangtua. Bila kedua
orangtua menderita alergi kemungkinan anak menunjukkan gejala alergi sekitar
50%, namun bila hanya salah satu yang menderita alergi kemungkinannya hanya
25% (Hidayati, 2002). Alergi merupakan kepekaan tubuh terhadap benda asing
(alergen) di dalam tubuh. Reaksi setiap individu terhadap alergen berbeda-beda,
sehingga individu yang satu bisa lebih peka daripada individu yang lain. Untuk
mencegah reaksi alergi, selain menghindari kontak dengan alergen, masyarakat
banyak menggunakan obat kimiawi karena menganggap obat kimiawi cepat
menyembuhkan serta mudah diperoleh. Seiring dengan timbulnya kesadaran akan
dampak buruk produk-produk kimiawi, timbul pula kesadaran akan pentingnya
kembali ke alam (back to nature). Masyarakat mulai beralih pada pengobatan 2
alami dengan menggunakan berbagai tanaman obat dalam mengobati penyakit
alergi. Salah satu tanaman obat yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
alergi adalah pegagan (Centella asiatica).
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Etiologi Alergi
1. Pengertian Alergi
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas akibat masuknya antigen dalam tubuh.
Masuknya antigen dapat melalui jalan apa saja, jalan napas/hirupan, paparan kulit,
termasuk makanan yang masuk saluran pencernaan. Masuknya antigen kedalam
tubuh dikenali oleh limfosit dan antibodi dalam tubuh sebagai benda asing yang
harus dilawan. Terjadilah reaksi alergi yakni antigen-antibodi. Aktifitas limfosit
akan menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan peningkatan kadar antibodi
dalam tubuh. Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh
manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh
tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut allergen. Bersama dengan sel fagosit , sistem
komplemen, limfosit dan antibodi berupaya mengeliminasi antigen. Pada individu
normal (tanpa bakat alergi), reaksi tersebut berlangsung normal tanpa
menimbulkan gejala abnormal seperti gatal-gatal, kemerahan di kulit, hingga
sesak napas. Namun, pada individu dengan bakat alergi, reaksi antigen-antibodi
akan menyebabkan dilepaskannya senyawa-senyawa bioaktif (histamine,
prostaglandin, tromboksan,dll) oleh sel mast.
2. Faktor
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas
juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
3. Klasifikasi Alergi
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I
adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab
alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda
terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung
oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit
non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh
untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi
tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi
pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi
tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru,
sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena
kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi
timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus
yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai
sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
B. Patogenesa
Alergi terjadi jika sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi benda
asing sehingga benda asing itu dianggap sebagai ancaman. Karena di anggap
ancaman maka sistem kekebalan tubuh akan mengeluarkan berbagai macam zat
dan antibody untuk melawan benda asing tersebut. Zat dan senyawa yang
dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk
ke dalam tubuh menimbulkan gejala – gejala alergi bagi tubuh penderita. Benda
asing yang menyebabkan alergi disebut sebagai alergen. Sistem kekebalan tubuh
yang berperan dalam proses terjadinya alergi adalah IgE (immunoglobulin E).
Seseorang akan mudah menderita alergi jika orang tersebut ada riwayat keturunan
alergi.
C. Gambaran Klinis
Gambaran Klinik Alergi:
1. Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik
merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal
biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
2. Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
3. Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
a) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
lain. gejala sering disertai pruritis
b) Demam
c) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
d) Limfadenopati
- kejang perut, mual
- neuritis optic
- glomerulonefritis
- sindrom lupus eritematosus sistemik
- gejala vaskulitis lain
4. Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga
dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
Pada saluran pernafasan : asma
Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
Laboratorium
Pemeriksaan Fisik:
- Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala
adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
- Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
- Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
- Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus
(karena pada orang yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih
meningkat)
D. Penatalaksanaan :
1. Terapi nonfarmakologi
Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus alergi.
Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu mengenali pemicu
alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat sulit disembuhkan,
hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan pemicu ini sangat penting
dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya karena dengan menghindari
pemicu, kematian dapat terhindarkan.
2. Terapi farmakologi
Obat antihistamin dan antiserotonin, serta penghambat sel mast adalah pilihan
untuk terapi alergi. Antihistamin generasi lama selalu menimbulkan efek samping
sedasi/mengantuk, seperti: klorfeniramin maleat (CTM), dimenhidrinat,
triprolidin, dan prometasin. Antihistamin generasi baru sebagian besar tidak
menimbulkan rasa ngantuk, seperti: astemisol, loratadin, terfenadin, dan cetrisin.
Sementara itu, satu-satunya antiserotonin yang dipasarkan adalah siproheptadin.
Obat ini selain menghambat alergi juga dikenal sebagai pemicu nafsu makan.
Penghambat sel mast yang dipasarkan adalah sodium kromoglikat.
3. Diet
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak
efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma
alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,
produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro.
Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E
yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama
seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa
penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E
ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
E. Kaitan Alergi dengan Gizi
Contoh Alergi makanan adalah Karena makanan penyebab alergi pada
umumnya bergizi tinggi, maka sebaiknya harus dicari makanan pengganti yang
relatif aman yang nilai gizinya tidak kalah bagusnya. Misalnya, ayam dan telor
diganti daging sapi, tahu dan tempe atau mentega diganti margarine dan
seterusnya.
Sebagian besar penderita alergi dengan gangguan pencernaan akan mengalami
kesulitan kenaikkan berat badan atau malnutrisi. Perlu dilakukan penanganan
pemberian diet yang teliti dan cermat di bawah pengawasan dokter alergi.
Perencanaan menu makanan untuk harian dan mingguan harus dilakukan dengan
baik.
Terapi diit adalah penatalaksanaan gizi paling penting pada penderita
alergi. Orang tua sering mengalami kebingungan karena merasa menu makan pada
penderita alergi sangat terbatas sehingga sering timbul kebosanan. Bila kita
cermat dalam menyusun menu makanan maka masalah pemberian makan pada
anak anak alergi dapat diatasi tanpa harus mengurangi nilai gizi dan rasa masakan.
Syarat – syarat diit alergi pada anak:
1. Energi diberikan sesuai dengan kondisi tubuh anak yang terkena alergi
2. Proporsi hidrat arang terhadap energi tidak banyak berbeda dengan makanan
anak sehat
3. Proporsi protein terhadap energi adalah 15 – 20%
4. Proporsi lemak terhadap energi adalah 20 – 25%
5. Cukup mineral dan vitamin
6. Cukup serat untuk memberikan rasa kenyang.
Pemberian makanan disesuaikan dengan macam obat yang diberikan
Memberikan motovasi dan penyembuhan kepada anak dan orang tua
Semua bahan makanan boleh diberikan dalam jumlah yang telah ditentukan,
kecuali makanan seperti yang terdapat pada :
1. Susu sapi diganti dengan susu yang dipakai bisa berupa susu soya (kedelai),
susu sapi formula hipo alergi, atau susu sapi formula lainnya.,
2. Ikan laut seperti tongkol, kepiting dan udang sering menyebabkan alergi pada
anak diganti dengan ikan tuna dan salmon.
3. Ikan air tawar seperti gabus harus dihindari oleh anak.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di
masyarakat. Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya
terbatas pada gatal-gatal di kulit. Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua
bagian tubuh, tergantung pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut. Alergi
adalah reaksi hipersensitivitas akibat masuknya antigen dalam tubuh. Masuknya
antigen dapat melalui jalan apa saja, jalan napas/hirupan, paparan kulit, termasuk
makanan yang masuk saluran pencernaan. Faktor yang berperan dalam alergi
makanan yaitu :
1. Faktor Internal
2. Fakor Eksternal
Klasifikasi Alergi yaitu :
1. Hipersensitifitas tipe I
2. Hipersensitifitas tipe II
3. Hipersensitifitas tipe III
4. Hipersensitifitas tipe IV
Patogenesa Alergi terjadi jika sistem kekebalan tubuh salah
mengidentifikasi benda asing sehingga benda asing itu dianggap sebagai ancaman.
Karena di anggap ancaman maka sistem kekebalan tubuh akan mengeluarkan
berbagai macam zat dan antibody untuk melawan benda asing tersebut. Gambaran
Klinis. Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi
lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Manifestasi klinis hipersensitivitas
tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis
intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi
obat.
Pemeriksaan Fisik:
- Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala
adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
- Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
- Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
- Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus
(karena pada orang yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih
meningkat)
Penatalaksanaanya adalah :
- Terapi nonfarmakologi
- Terapi farmakologi
- Diet
Kaitan Alergi dengan Gizi, Contoh Alergi makanan adalah Karena makanan
penyebab alergi pada umumnya bergizi tinggi, maka sebaiknya harus dicari
makanan pengganti yang relatif aman yang nilai gizinya tidak kalah bagusnya.
Misalnya, ayam dan telor diganti daging sapi, tahu dan tempe atau mentega
diganti margarine dan seterusnya.
Daftar Pustaka
Tersedia pada : http://insanimj.blogspot.com/2010/11/makalah-farmakologi-
tentang-alergi.html , tanggal : 13 November 2014
Tersedia pada : file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND.../MAKALAH_POLIx.pdf,
tanggal : 13 November 2014
Tersedia pada : http://sofiatussholeha.blogspot.com/2013/06/makalah-
hipersensitivitas.html, tanggal : 13 November 2014
Tersedia pada : https://artikesehatan.wordpress.com/alergi/, tanggal : 13 November 2014
Tersedia pada : http://poppyherlianty.blogspot.com/2010/12/alergi.html, tanggal : 13 November 2014
Tersedia pada : http://3.bp.blogspot.com/_9SaLM0ANdbw/TCRBtKu8eGI/AAAAAAAAA3Q/VWxj8RGCESw/s1600/alergi.jpg, tanggal : 13 November 2014
Tersedia pada : (www.drlizagizi.blogspot.com) , tanggal : 13 November 2014