Post on 05-Aug-2015
SKRIPSI
SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN
AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Oleh :
ALDILLA SARI UTAMI
F24104001
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SKRIPSI
SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN
AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ALDILLA SARI UTAMI
F24104001
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Aldilla Sari Utami. F24104001. Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan
Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung. Di bawah bimbingan Harsi
D.Kusumaningrum.
ABSTRAK
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang
dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Ketersediaan
merupakan salah satu faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi
pengaruh terhadap kesukaan. Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra
penanaman jagung memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan
berbasis jagung. Faktor ketersediaan ini akan dikaji hubungannya dengan tingkat
konsumsi penduduk dan dijadikan perbandingan terhadap tingkat konsumsi
produk jagung di kota Bogor sebagai daerah sub-urban. Upaya pemberdayaan
jagung sebagai bentuk diversifikasi pangan harus diimbangi dengan upaya
peningkatan keamanan pangan. Di Indonesia, kadar aflatoksin pada jagung telah
ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI yakni sebesar 20 ppb
untuk jenis aflatoksin B1.
Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik
survey dengan alat bantu kuesioner. Pengambilan sampel responden dilakukan
secara purposive sampling technique. Survey dilakukan pada 2 lokasi yakni
Bojonegoro sebagai daerah sentra produksi jagung dan Bogor sebagai daerah sub
urban dengan jumlah responden dari masing-masing lokasi sebanyak 50 orang.
Analisis aflatoksin dilakukan dengan metode Thin Layer Chromatography (TLC)
terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.
Hasil kuesioner pada butir tingkat kesukaan menunjukkan bahwa sebesar
28% responden di kota Bojonegoro menyukai produk jagung sedangkan 60%
responden bersikap netral. Responden di kota Bogor yang menyukai produk
jagung adalah sebesar 42% dan sebanyak 50% responden bersikap netral. Akses
responden Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung tidak berbeda nyata
untuk lokasi pasar, warung, minimarket dan supermarket. Hasil kuesioner pada
responden Bogor menunjukkan bahwa responden di lokasi ini lebih memilih
warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat membeli dibandingkan
pasar (24% dan supermarket (22%).
Rata-rata frekuensi konsumsi jagung di daerah Bojonegoro lebih tinggi
dibandingkan rata-rata frekuensi konsumsi jagung di kota Bogor. Sebanyak lebih
dari 50% responden (62%) di Bojonegoro mengonsumsi produk jagung minimal
sekali dalam seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden Bogor belum tentu
mengonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Responden di Bojonegoro
yang memiliki tingkat frekuensi konsumsi lebih tinggi ternyata lebih banyak
memilih snack marning jagung (76%) diikuti popcorn siap makan (70%). Hal
menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di kota Bogor.
Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk pangan tradisional
berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan lainnya.
Domisili responden tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan responden
tetapi berpengaruh terhadap frekuensi konsumsi produk jagung. Hal ini terkait
erat dengan adanya pengalaman makan di masa kecil serta faktor ketersediaan
akan produk jagung. Responden yang menyukai produk jagung belum tentu
memiliki frekuensi konsumsi yang tinggi pula dimana hasil yang didapatkan
menunjukkan korelasi yang sangat lemah antara faktor kesukaan dan frekuensi.
Begitupun halnya dengan porsi konsumsi produk jagung, semakin tinggi frekuensi
konsumsi tidak mempengaruhi besarnya porsi konsumsi respoden.
Analisis aflatoksin dilakukan pada 3 kategori sampel, yakni jagung pipil,
produk intermediate, dan produk akhir. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin,
sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar
melebihi batas yang ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Aflatoksin juga
sudah ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih <
20 ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara
keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel
jagung pipil dan produk intermediate.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN
AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Oleh :
ALDILLA SARI UTAMI
F24104001
Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1987
di Palembang
Tanggal lulus : Juni 2008
Menyetujui,
Bogor, Mei 2008
Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.
Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang, 26 Juni 1987. Penulis adalah
anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Dr. H. M. Hatta
Dahlan, M.Eng dan Hj. Erwana Dewi, M.Eng. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Kartika
II-3 Palembang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah
pertama di SLTPN 1 Palembang hingga tahun 2001. Penulis menamatkn
pendidikan menengah atas di SMUN 1 Palembang pada tahun 2004. Penulis
melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI (Undangan
Saringan Masuk IPB) pada tahun 2004.
Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus
HIMITEPA masa bakti 2006-2007 sebagai staf Divisi Profesi dan Internal,
anggota Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Bendahara OMDA (Organisasi
Mahasiswa Daerah) IKAMUSI, staf FORCES masa bakti 2005-2006, serta
Koordinator Reporter pada Majalah Emulsi. Selain itu, penulis juga pernah
mengikuti berbagai kepanitiaan, diantaranya Bendahara LCTIP XIV 2006,
Koordinator Sie Konsumsi Baur 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan
penelitian dengan judul “Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan
Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung” di bawah bimbingan
Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak Pelita V, pemerintah menetapkan untuk lebih menggalakkan
penganekaragaman pangan melalui pengembangan tanaman pangan non padi
guna memenuhi kebutuhan pangan nasional. Salah satu tanaman pangan non padi
yang mendapat prioritas untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung (Zea mays
L.) di Indonesia merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi. Konsumsi
jagung sebagai pangan mengalami peningkatan dari 2,21 juta ton pada tahun 1970
menjadi 6,09 juta ton pada tahun 1998, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata
mencapai 3,70% per tahunnya. Pertumbuhan ini juga didorong oleh terjadinya
pertumbuhan populasi sebesar 2,09% dan konsumsi per kapita yang meningkat
rata-rata 1,52% setiap tahunnya. Bahkan, tingkat konsumsi pada tahun 1999-2004
terus mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga mencapai lebih dari 2
juta ton.
Upaya perbaikan tingkat konsumsi jagung perlu dilakukan sebagai bentuk
diversifikasi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat konsumsi jagung perlu mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintah. Sehingga, perbaikan yang dilakukan dapat berjalan efektif dan tepat
sasaran. Upaya ini tentunya harus diimbangi dengan jaminan keamanan pangan
terhadap produk jagung itu sendiri. Kontaminan yang sering ditemukan pada
jagung dan produk olahannya adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.
Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari
berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau
tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat
terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan
terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan.
Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture
Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan United Nation
Development Program (UNDP) pada Conference on Mycotoxins di Nairobi,
Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan toksin asal kapang
akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relevan dan
potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang. Masalah
mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita
ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-
kembang segala jenis kapang, termasuk Aspergillus flavus sebagai penghasil
utama aflatoksin. Faktor- faktor lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan
cara penanganan, pengelolaan dan penyimpanan hasil komoditi pertanian pasca
panen dari berbagai jenis bahan makanan masih sering dilakukan secara
tradisional dan kurang higienis.
Meningkatnya penggunaan jagung sebagai bahan baku pada beberapa
produk pangan akan menjadi beresiko apabila terdapat kandungan aflatoksin di
dalamnya, karena aflatoksin sendiri mempunyai sifat tidak rusak terhadap
pemanasan. Sehingga, beberapa produk olahan jagung yang telah melewati proses
pemanasan pun tidak luput dari bahaya aflatoksin. Di Indonesia, Setdal Bimas
mempersyaratkan kandungan aflatoksin maksimal 40 ppb untuk jagung,
sedangkan Departemen Kesehatan mengusulkan 20 ppb untuk jagung dan
kacang-kacangan beserta produknya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih
lanjut mengenai kandungan aflatoksin yang masih terdapat dalam beberapa
produk olahan jagung di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperoleh data konsumsi jagung dari 2 jenis
kelompok masyarakat, yakni kelompok konsumen yang bermukim di sentra
penanaman jagung dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban. Selain
itu juga dilakukan analisis aflatoksin dengan tujuan mengetahui kandungan
aflatoksin yang terdapat pada produk pangan berbasis jagung yang beredar di
pasaran yang sering menjadi konsumsi masyarakat.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah :
1. Memberikan gambaran mengenai aspek konsumsi produk pangan berbasis
jagung serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya
sehingga dapat dijadikan landasan dalam upaya peningkatan konsumsi
jagung sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan
2. Memberikan data mengenai kandungan aflatoksin pada beberapa produk
berbasis jagung, dimulai dari sampel jagung pipil tingkat petani, produk
intermediate hingga produk akhir sehingga dapat dijadikan gambaran
mengenai titik kecenderungan dimulainya kontaminasi aflatoksin.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Produk Olahan Jagung
Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada
endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan
kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa
dan amilopektin. Pada jagung ketan, sebagian besar atau seluruh patinya
merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak berpengaruh pada kandungan
gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan sebagai bahan pangan. Komposisi
kimia butir jagung, tepung jagung dan maizena dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Butir Jagung, Tepung dan Pati Jagung
Komposisi Jagung pipil Tepung Jagung Pati
Jagung Putih Kuning Putih Kuning
Kalori (cal)
Protein (gr)
Lemak (gr)
Hidrat arang (gr)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Air (%)
355
9.2
3.9
73.7
10.0
256.0
2.4
0.0
0.38
0.0
12.0
355
9.2
3.9
73.7
10.0
256.0
2.4
510.0
0.38
0.0
12.0
355
9.2
3.9
73.7
10.0
256.0
2.4
0.0
0.38
0.0
12.0
355
9.2
3.9
73.7
10.0
256.0
2.4
510.0
0.38
0.0
12.0
343
0.3
0.0
85.0
20.0
30.0
1.5
0.0
0.0
0.0
4.0
Sumber : Hubeis, 1984
Jagung merupakan sumber karbohidrat sesudah padi. Selain itu juga
digunakan sebagai sayuran (baby corn dan jagung manis), sebagai makanan
ringan (pop corn) dan dan makanan ternak atau sayuran (waxy-corn atau pulut).
Klobot keringnya dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan, misalnya
wajid Cililin. Pada jenis jagung opaque yang mengandung tryptophan dan lysine,
dimanfaatkan sebagai sumber makanan untuk meningkatkan gizi.
Jagung manis tidak mampu memproduksi pati sehingga bijinya terasa
lebih manis ketika masih muda. Jenis jagung manis dan baby corn yang biasa
digunakan sebagai sayuran banyak menjadi konsumsi rumah tangga sehari-hari.
Para ibu rumah tangga biasa mendapatkan pasokan jagung ini dari pasar setempat
ataupun warung-warung sayur yang berada di sekitar lingkungannya. Jagung
manis yang digunakan sebagai sayuran ini akan mengalami pengolahan terlebih
dahulu sebelum dikonsumsi.
Penggunaan jagung sebagai makanan ringan biasanya terdapat dalam
bentuk popcorn atau yang sering disebut berondong jagung. Berondong jagung ini
berasal dari jagung yang telah mengalami proses pemipilan dan kemudian
diproses hingga mengembang. Produk ini biasanya diproduksi oleh industri-
industri kecil rumah tangga maupun pada stand-stand kios makanan yang
langsung mengolah berondong jagung tersebut di hadapan konsumen. Kios-kios
ini biasa berlokasi di tempat-tempat umum seperti bioskop ataupun pameran-
pameran. Popcorn berasal dari jagung jenis flint corn yang sudah populer sejak
dahulu. Volume pengembangan menjadi parameter kualitas popcorn yang paling
utama (White dan Johnson, 2003).
Selain itu, jagung juga banyak digunakan oleh industri pangan sebagai
bahan baku snack dalam bentuk lain seperti halnya tortilla, keripik jagung, opak
jagung dan lain sebagainya yang biasa diproduksi oleh industri-industri pangan
dan banyak beredar di kalangan masyarakat. Produk-produk ini telah mengalami
proses pengolahan tertentu yang kemudian dikemas dan dipasarkan ke konsumen.
Jenis snack seperti inilah yang kemungkinan cukup sering dijangkau oleh
masyarakat karena banyak beredar di minimarket maupun warung-warung kecil
setempat. Snack yang terbuat dari jagung relatif lebih murah dan lebih mudah
proses pengolahannya daripada snack kentang.
Tortilla termasuk pengolahan sekunder dari jagung. Jenis produk tortilla
dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti corn chips, taco shells, toscados,
nachos, table tortilla dan sebagainya. Tortilla dapat dibuat dari jagung putih atau
kuning. Proses pembuatan tortilla merupakan pemasakan alkali. Produk akhir
berbentuk pipih dan merupakan hasil pemanggangan. Berdasarkan ukuran partikel
dan adonannya, tortilla dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) Table Tortilla,
memiliki partikel halus, produk akhir berbentuk pipih dan mengembang selama
proses pemanggangan ; (2) Tacos/tostados, memiliki partikel yang lebih besar,
produk akhir berbentuk U yang diisi dengan keju, kacang goreng, daging giling,
krim asam, selada, tomat atau lada. Produk yang banyak berbedar di Indonesia
adalah jenis snack berupa tortilla chips.
Selain tortilla, dikenal pula jenis snack keripik jagung yang hampir mirip
dengan tortilla. Snack ini dibuat dari tepung jagung yang diproses hingga
menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Perbedaan utama keripik jagung dengan
tortilla adalah tidak terdapatnya proses nixtamalisasi (pemasakan alkali) dalam
proses pengolahan keripik jagung, yakni proses pemasakan alkali (Wikipedia,
2007).
Pembentukan cornflakes dari jagung dapat dilakukan dengan cara
ekstrusi, pembentukan serpihan (flaking) dan pengirisan (shredding) atau puffing.
Prinsip pembentukan cornflakes adalah pemasakan untuk menggelatinisasi pati
dan kemudian pembentukan dan pencetakan adonan atau partikel yg sudah
dimasak menjadi serpihan (flake, pemotongan/pengirisan, granula atau kollet)
(White dan Johnson, 2003). Citarasa, aroma, tekstur produk timbul karena proses
pemanggangan. Citarasa juga dapat terbentuk dengan penambahan flavor, buah-
buahan, ataupun kacang.
Jagung goreng disebut juga jagung marning yang dibuat melalui proses
penggorengan (pemasakan di dalam minyak panas). Produk ini dapat dibuat pada
berbagai tingkat kerenyahan. Biasanya konsumen lebih menyukai jagung goreng
yang kerenyahannya seperti kerupuk. Garam, bawang merah, bawang putih dan
merica dicampurkan ke jagung goreng sebagai bumbu (Kemal, 2001).
Selain itu, hasil pengolahan primer jagung seperti pati dan tepung jagung
juga banyak beredar di masyarakat. Jagung merupakan tanaman penghasil pati
utama di dunia. Jagung memiliki kandungan pati tertinggi dibandingkan tanaman
serealia lainnya. Pati jagung dapat diperoleh dengan cara mengekstraknya dari biji
jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada beberapa tempat terutama pada
endosperm sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah
sebesar 8,2% dan tip cap sebesar 5,3%. Pati jagung adalah hasil utama
penggilingan basah yang melalui tahapan pembersihan, perendaman (steeping),
penggilingan, pemisahan dengan ayakan, sentrifugasi dan pencucian (Deptan,
2006).
Industri pengolahan pati jagung mempunyai prospek cukup cerah karena
banyak industri turunan lainnya yang memanfaatkan pati jagung sebagai bahan
bakunya, baik industri pangan maupun non-pangan. Pada industri pangan, pati
jagung banyak berfungsi sebagai zat pengental dan zat pengisi dalam bahan
mkanan atau produk-produk kalengan, sedangkan industri-industri non pangan
yang menggunakan pati jagung antara lain industri kertas, industri perekat,
industri kosmetik, dan sebagainya (Azmi, 2004).
Tepung jagung merupakan hasil penggilingan kering yang melalui tahap
penghancuran, pengayakan dan penghembusan. Tepung jagung ini memiliki
ukuran partikel lebih kecil dari 0.191 mm (White dan Johnson, 2003). Tepung
jagung banyak digunakan pada industri sereal sarapan dan snack. Selain itu,
tepung jagung ini juga digunakan sebagai bahan pengikat pada produk olahan
daging.
Hal ini menunjukkan bahwa jagung memiliki potensi yang besar sebagai
bahan baku berbagai industri makanan, minuman, bahkan digunakan pula pada
industri kimia dan farmasi, pakan ternak, serta industri lainnya (Gambar 1)
Gambar 1. Produk-Produk yang Dapat Dihasilkan dari Jagung
(Dharmaputra, 1997)
B. Keadaan Konsumsi Jagung di Indonesia
Salah satu komoditas pertanian yang mempunyai posisi sangat strategis
dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah komoditas jagung. Penggunaan
jagung sebagai bahan makanan pokok masyarakat dari tahun ke tahun terus
meningkat, meskipun pertumbuhannya menurun seiring dengan keberhasilan
swasembada beras (Imron, 2007).
Secara kuantitatif, penggunaan jagung untuk konsumsi langsung hingga
tahun 2004 telah mencapai 4.299 juta ton/tahun, industri pangan 2.638/tahun.
Namun, dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, konsumsi jagung
secara langsung mengalami penurunan yang disebabkan keberadaan jagung
jagung
grits minyak pati
Dekstrin Gula
Homini
Industri makanan
Industri
tekstil,
farmasi,
dll
Industri
kimia dan
farmasi
Asam organik
Bahan kimia
lain
etanol
Maizena
Industri
makanan
sebagai bahan makanan merupakan barang inferior sehingga ketika pendapatan
masyarakat meningkat, maka konsumsinya menurun. Konsumsi langsung jagung
pada tahun 2004 hanya memiliki pangsa sebesar 37.01% dari total penggunaan
jagung di Indonesia.
Penggunaan jagung untuk bahan baku industri makanan dan industri
olahan lainnya telah mencapai 2.638.000 ton/tahun Sejak tahun 2000, jumlah
jagung yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan telah meningkat
menjadi 2.340 juta ton atau 21.85% dari keseluruhan kebutuhan jagung di
Indonesia dan secara berangsur-angsur meningkat menjadi 2.64 juta ton atau
22.71 % pada tahun 2004. Oleh sebab itu, potensi usaha yang ditimbulkan oleh
komoditas jagung untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan olahan
lainnya tidak dapat diabaikan begitu saja.
Tabel 2. Penggunaan Jagung di Indonesia Tahun 1980-2004
Tahun Konsumsi Industri pangan Industri pakan Total
(000) ton (%) (000) ton (%) (000) ton (%) (000) ton
1980
1990
2000
2001
2002
2003
2004
3 705
5703
4657
4567
4478
4388
4299
93.99
86.44
43.48
41.76
40.11
38.53
37.01
0
499
2340
2415
2489
2564
2638
0
7.56
21.85
22.08
22.29
22.51
22.71
237
396
3713
3955
4197
4438
4680
6.01
6.00
34.67
36.16
37.59
38.96
40.29
3942
6598
10 710
10 937
11 164
11 390
11 617
Rata-rata 4478 40.18 2489 22.29 4.197 37.53 11 164
R (%/thn) -1.98 -3.95 3.04 0.97 5.96 3.83 2.05
*rata-rata dan pertumbuhan untuk periode 2000-2004
Sumber : Seperti dikutip oleh Imron, 2007
Konsumsi jagung secara umum dapat dibedakan menjadi empat kelompok,
yaitu konsumsi langsung, untuk bahan baku industri pakan ternak, bahan baku
industri makanan dan untuk kebutuhan lain seperti bibit, hilang tercecer dan lain-
lain. Penggunaan jagung untuk konsumsi langsung atau makanan pokok
masyarakat dari tahun ke tahun terus meningkat meskipun pertumbuhannya
semakin menurun seiring dengan keberhasilan swasembada beras. Secara mikro,
konsumsi jagung sebagai bahan makanan pada umumnya lebih banyak dilakukan
oleh masyarakat desa dibanding masyarakat kota (Imron, 2007).
C. Survey Konsumsi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok (kebutuhan dasar) manusia
untuk hidup sehat (Harper,dkk, 1985). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan
(tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan
tujuan tertentu seperti dikutip oleh Suhardjo (1989).
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh faktor fisiologi, psikologi, preferensi
dan pengetahuan tentang makanan. Faktor sosial yang memegang peranan penting
dalam konsumsi pangan. Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), penilaian
konsumsi pangan dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi
yang dimakan melalui survey secara kuantitatif maupun kualitatif. Survey secara
kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi,
sedangkan survey secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan,
frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali
informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan.
Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri
konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun
jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan makannya serta
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Oleh karena
itu, survey konsumsi pangan dapat menghasilkan data atau informasi yang bersifat
kualitatif atau kuantitatif atau kedua-duanya (Suhardjo et al., 1988).
Survei konsumsi pangan yang dirancang dengan benar akan dapat
dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun program-program dalam bidang
ekonomi, pertanian, sosial dan pembangunan secar keseluruhan (Suhardjo, et al.,
1988). Pada penelitian ini, survey konsumsi pangan dilakukan secara kualitatif.
Pada survey secara kualitatif, data yang dikumpulkan menitikberatkan pada
kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan
seseorang atau masyarakat.
D. Kebiasaan Makan dan Pola Konsumsi Makanan Tradisonal
Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi
kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan
makanan (Khumaidi, 1989). Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan
merupakan suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang
berhubungan dengan makan atau makanan seperti frekuensi pangan seseorang,
pola makan yang digunakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi pangan di
antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (suka/tidak) dan cara
pemilihan makanan yang hendak dimakan.
Kebiasaan makan merupakan cara-cara individu atau kelompok
masyarakat dalam memilih, mengonsumsi dan menggunakan makanan yang
tersedia, yang didasarkan kepada latar belakang sosial budaya tempat dia atau
mereka hidup (den Hertog dan van Staveren, 1983).
Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
distribusi pangan (Khumaidi, 1989). Kebiasaan makan seseorang atau keluarga
sangat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi karena kebiasaan
makan tersebut bersifat menyatu dengan perilaku konsumsi. Keragaan pada
pangan lokal dari studi mengenai kebiasaan pangan pada 11 golongan etnik yang
dominan di Indonesia yaitu suku-suku : Jawa, Madura, Batak, Aceh, Mandailing,
Minangkabau, Banjar, Bugis, Kaili, Manado, Seram dan Sikka, pada penduduk
yang tinggal di wilayah pedesaan dan pinggiran kota masih tergantung pada
komoditi pangan yang dibudidayakan sendiri atau yang tersedia dalam lingkungan
alam setempat, sedangkan penduduk yang tinggal di perkotaan menggantungkan
sumber pangan pada setempat (Roestamsjah dkk, 1989). Terdapat 2 faktor utama
yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yakni faktor ekstrinsik
(lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan agama, dan
lingkungan ekonomi) serta faktor intrinsik (emosional, jasmani, dan penilaian
terhadap mutu makanan).
Kebiasaan makan jagung ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia.
Dengan kondisi agroekologi lahan yang kering, masyarakat NTT
mempertahankan hidupnya dengan mengkonsumsi jagung sebagai makanan
pokok utama (Hosang, 2006). Akan tetapi, hasil produksi jagung di Nusa
Tenggara Timur (NTT) menjadi semakin menurun beberapa tahun terakhir akibat
dari menurunnya etos kerja masyarakat. Pergeseran nilai dan kebudayaan
masyarakat yang melihat beras sebagai komoditas utama, juga menjadi faktor
utama penyebab menurunnya produktivitas tanaman itu (Anonim, 2007). Di
Madura, makanan pokok masyarakat semula adalah jagung. Akan tetapi, beberapa
tahun terakhir ini, ada pergeseran pola konsumsi dari nonberas ke beras.
akibat gencarnya penyuluhan tentang swasembada beras. Hal ini mampu
mengubah pola pikir masyarakat yang sebelumnya tidak mengonsumsi beras
menjadi pengonsumsi beras (Siagian, 2003). Meskipun begitu, sebagian
masyarakat Madura masih ada yang tetap mengonsumsi jagung hingga saat ini.
Susanto et al. (1992) mengemukakan bahwa pola konsumsi makanan
tradisional sebagai bagian dari kebisaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor
di luar sistem sosial keluarga seperti iklan-iklan beragam makanan dan minuman
“modern”, meningkatnya alokasi waktu yang digunakan anggota keluarga untuk
melakukan kegiatan di luar rumah dan kecenderungan perubahan pola pikir yang
mengarah pada segi kepraktisan dan efisiensi dalm pemilihan pangan sehari-hari
serta berkembangnya kuantitas pedagang makanan dn minuman kaki lima yang
relatif pesat.
Program penganekaragaman pangan perlu dilakukan melalui proses
identifikasi makanan tradisional yang meliputi tidak hanya kebiasaan dan
kesukaan konsumen tetapi juga produsen termasuk usaha tani yang beraneka
ragam, pengelola dan pedagang (Susanto, 1993).
Menurut Winarno (1993), makanan tradisional merupakan makanan yang
berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan sesuai dengan tradisi daerah
setempat. Pernyataan ini dipertegas oleh Suhardjo (1989) yang mengemukakan
bahwa makanan tradisional secara harfiah artinya adalah adanya hubungan antara
pangan dengan tradisi kelompok penduduk atau masyarakat di suatu daerah
tertentu.
E. Preferensi Terhadap Makanan
Preferensi terhadap makanan sangat dipengaruhi oleh sikap erat
hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak atau menerima terhadap
makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap pemilihan makanan merupakan
penggabungan antara sesuatu apa yang dipelajari dan apa yang dilihat misalnya
melalui berbagai iklan di media massa.
Menurut Suhardjo (1989), kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna
dan bentuk makanan akan mempengaruhi nafsu makan seseorang. Dickins yang
dikutip oleh Sanjur (1982) menegaskan bahwa preferensi makanan sebagian besar
ditentukan sejak dini.
Selera makan merupakan faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang
terhdap makanan. Menurut Harper et al (1985), selera makan terdiri dari
sekumpulan citarasa yang dapat merangsang seseorang untuk mengkonsumsi
makanan. Rosegrant et al. seperti dikutip oleh Adiwirman (1992) mengungkapkan
bahwa masyarakat di pedesaan memiliki pola konsumsi jagung yang berbeda
dengan masyarakat di perkotaan. Masyarakat desa memiliki preferensi yang lebih
tinggi untuk menggunakan jagung sebagai makanan pokok pengganti beras
maupun campuran beras, sedangkan masyarakat kota lebih senang mengkonsumsi
jagung sebagai makanan selingan.
Suryana (1991) mengungkapkan bahwa di Jawa Timur, baik di pedesaan
maupun perkotaan, konsumsi jagung segar (jagung basah dengan kulit)
meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa jagung
segar menunjukkan karakteristik sebagai komoditas normal, bukan inferior.
Jagung segar ini biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan yang dijajakan dan
dikonsumsi di tempat rekreasi.
Masyarakat kota Bogor lebih memilih mengkonsumsi jagung sebagai
makanan selingan atau jajanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Chapman (1984), makanan jajanan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Bogor. Sebesar 25% anggaran belanja untuk makanan pada semua
tingkat pendapatan dikeluarkan untuk membeli makanan jajanan.
F. Aspergillus flavus sp.
Aspergillus flavus termasuk dalam divisi Thallophita, sub divisi
Deuteromycotine, kelas fungi imperfecti, ordo Moniciales, famili Moniliceae dan
genus Aspergillus. Warna spesifik dari koloni ini adalah hijau kekuningan dengan
diameter umumnya 3-6 μm (Fassatiova, 1986).
Gambar 2. Aspergillus flavus
Aspergillus flavus sp.adalah suatu spesies cendawan yang galur-galurnya
pada kondisi lingkungan tertentu dapat menghasilkan aflatoksin. Toksin tersebut
dapat menyebabkan kanker hati baik pada manusia maupun hewan piaraan (Butler
dalam Dharmaputra et al., 1994).
Menurut Christensen dan Kauffman (1969), Aspergillus flavus umumnya
terdapat di tanah, khususnya tanah-tanah garapan untuk tanaman pangan, dan juga
umum terdapat pada semua bahan yang telah rusak seperti biji-bijian yang kadar
airnya memungkinkan untuk pertumbuhan Aspergillus flavus.
Menurut Shank (1970) dan Parpia (1971) dalam Samson et al., (1981),
Aspergillus flavus sering menyerang berbagai hasil pertanian yang dikeringkan,
terutama bila pengeringan bahan berlangsung lambat, sedangkan makanan segar
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak menunjukkan kandungan aflatoksin
yang positif.
Aspergillus flavus sp. dapat menimbulkan kerugian ekonomi dalam
industri dan dapat juga menimbulkan masalah kesehatan yaitu menghasilkan
aflatoksin yang mempunyai efek racun (toksigenik), mutagenik, teratogenik, dan
karsinogenik (Makfoeld, 1993).
Kemampuan kapang untuk membentuk dan menimbun aflatoksin
tergantung beberapa faktor yaitu potensial genetik kapang, persyaratan-
persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak
antara kapang dengan substrat (Jay, 1996).
Adanya pertumbuhan Aspergillus flavus pada beberapa bahan pangan
menunjukkan kemungkinan terjadinya pencemaran aflatoksin pada bahan pangan
tersebut. Suatu penelitian melaporkan bahwa dari 1390 isolat Aspergillus flavus di
berbagai negara, 803 di antaranya (kurang lebih 60%) menghasilkan aflatoksin
(Diener dan Davis, 1969).
Hesseltine et al. dalam Kusbiantoro (1984) melaporkan bahwa jagung,
gandum dan beras yang diinokulasikan dengan tiga isolat Aspergillus flavus
menghasilkan aflatoksin lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum dan kacang
kedelai pada kultur tetap maupun bergoyang. Aspergillus flavus juga
menghasilkan aflatoksin jenis lain bila ditumbuhkan dalam media asam.
Aflatoksin tersebut mempunyai warna fluoresensi biru dan hijau dengan
kepolaran lebih besar dan daya racun lebih kecil.
G. Aflatoksin
Penelitian aflatoksin dimulai ketika pada tahun 1960 terjadi wabah penyakit
pada ternak unggas dan ikan. Wabah ini menyebabkan kematian 100.000 anak
ayam kalkun secara mendadak di Inggris. Oleh karena pada waktu itu faktor
penyebbnya belum diketahui, wabah tersebut dikenal dengan nama Turkey X
disease. Wabah ini diikuti dengan kematian 14.000 anak bebek dan 9 anak sapi.
Hasil penelitian selanjutnya memperlihatkan bahwa wabah tersebut disebabkan
oleh toksin yang dihasilkan kapang Aspergillus yang tumbuh pada kacang tanah
sebagai campuran pakan unggas yang diimpor dari negara Brasil, selanjutnya
toksin tersebut diberi nama aflatoksin (Makfoeld, 1993).
Aflatoksin merupakan produk metabolisme sekunder yang terbentuk setelah
fase logaritmik pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus (Heathcote, 1984). Produksi aflatoksin dimulai pada hari kedua
setelah inkubasi dan mencapai maksimum sekitar hari ketujuh. Faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi aflatoksin adalah tingkat aerasi karena
produksi aflatoksin adalah proses aerobik, tingkat gas atmosfir, suhu, RH, dan
kelembaban atmosfir.
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang berbentuk turunan poliketida.
Aflatoksin mempunyai titik cair relatif tinggi, tidak rusak terhadap pemanasan,
tetapi dapat rusak oleh oksidator kuat. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
pelarut organik dan mudah untuk dikristalkan kembali. Aflatoksin tereduksi oleh
O2 sehingga dapat menurunkan kadar aflatoksin dari 5% menjadi 1% (Bogley,
1997).
Terdapat beberapa jenis aflatoksin yang telah diisolasi secara terpisah, tetapi
hanya enam yang diamati secara mendalam karena sifat toksisitasnya dan banyak
ditemukn dalam produk-produk alami yaitu B1, B2, G1, G2, M1, dan M2.
Pemberian nama aflatoksin sesuai dengan fluoresensinya pada lempeng
kromatografi dengan silika gel yang disinari dengan ultraviolet pada panjng
gelombang 365 nm. Jika fuoresensinya biru maka diberi kode B dari kata Blue,
dan jika fuoresensinya hijau diberi kode G dari kata Green (Betina, 1989).
Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang mempunyai
pengaruh biologis terhadap makhluk hidup yang mengkonsumsinya. Aflatoksin
dapat menyebabkan toksigenik, mutagenik, teratogenik dan karsinogenik
(Makfoeld, 1993).
Gambar 3. Struktur Kimia Beberapa Jenis Aflatoksin
(www.dailyscience.com)
Aktivitas biologis atau sifat racun aflatoksin berhubungan dengan struktur
kimianya. Aflatoksin B1 merupakan toksin yang paling berbahaya dan paling
banyak dihasilkan, diikuti dengan aflatoksin G1, B2, G2, M1 dan M2. Efek
aflatoksin pada manusia dan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
spesies yang terkena aflatoksin, umur dan jenis kelamin, dosis yang termakan,
status gizi, lamanya aflatoksin terpapar dan jenis makanan (Krausz, 2001).
Pembentukan senyawa aflatoksin oleh A. flavus pada substrat alami
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya oleh jenis kapang, jenis substrat,
kelembaban dan kadar air, suhu dan waktu inkubasi, tingkat kematangan substrat,
kerusakan substrat, kadar oksigen dan karbondioksida, serta interaksi mikrobial.
Jenis aflatoksin yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus berbeda-beda. Beberapa isolat Aspergillus flavus hanya memproduksi
senyawa aflatoksin B, beberapa lagi hanya afltoksin G, tetapi sebagian besar
memproduksi kedua jenis aflatoksin B dan G. Tidak semua galur Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus menghasilkan aflatoksin (Heathcote, 1984).
Menurut Jay (1996), aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu
antara 7.5 – 40o C dengan suhu optimum 24-280 C. Aflatoksin tidak dapat
dihasilkan pad Aw 0.83 akan tetapi pertumbuhan Aspergillus flavus dapat terjadi
pada Aw yang lebih rendah dari 0.83. Bullerman et al. (1984) menunjukkan
bahwa batas Aw yang dapat membentuk aflatoksin oleh Aspergillus flavus antara
0.83 – 0.87 tetapi pertumbuhan kapng pada Aw yang lebih rendah dari 0.83.
Aflatoksin bersifat sangat stabil. Beberapa cara perlakuan tidak sepenuhnya
mengurangi toksisitasnya. Usaha pencegahan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut : menghindari pertumbuhan mikroba pada bahan pangan (seperti
yang umum dilakukan pada mikroba) antara lain dengan menurunkan kelembaban
hingga di bawah 80% sehingga didapat Aw sekitar 0.65-0.70 dimana kapang akan
terhambat pertumbuhannya (Jay, 1996).
Beberapa cara telah dicoba untuk menghilangkan aflatoksin dari bahan
pangan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Heathcote (1984),
metode fisik meliputi radiasi, pemanasan dan ekstraksi aflatoksin dari bahan
pangan. Metode kimia meliputi perlakuan dengan asam, basa, oksidator dan
dengan bisulfit. Metode biologi dilakukan dengan cara menghambat pertumbuhan
sel penghasil aflatoksin oleh mikroba lain.
Tidak seperti racun yang dihasilkan bakteri, racun yang dihasilkan kapang
relatif stabil terhadap pemanasan (Tabel 2). Racun botulinin dapat diinaktifkan
pada suhu 85 0C selama 30 menit (Winarno, 1997) sedangkan aflatoksin jauh
lebih stabil terhadap suhu yang tinggi.
Tabel 3. Beberapa Sifat Fisik Aflatoksin B1 dan Aflatoksin B2
Aflatoksin RM BM Titik Cair (oC)
B1
B2
C17H12O6
C17H14O6
312
314
268-269
286-289
Penambahan zat-zat kimia seperti dimetil amina, amonia, natrium hidroksida,
hidrogen peroksida dan ozon dapat mendeaktivasi aflatoksin. Cara ini hanya
berlaku terhadap aflatoksin B1 dan G1 tetapi tidak terhadap aflatoksin lainnya.
Dan dalam hal ini tidak mudah dilakukan pada bahan-bahan yang dikonsumsi
manusia (Murni, 1993). Biji jagung yang terkontaminasi Aspergillus flavus akan
mengalami perubahan warna seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Biji Jagung yang Terkontaminasi Aspergillus flavus
Sumber : www.agnet.org/images/library/pt2003012f1.jpg
Masyarakat Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk terpapar
oleh aflatoksin karena cukup banyak komoditi-komoditi pangan yang populer
bagi masyarakat sebenarnya merupakan sumber substrat bagi aflatoksin
(Situngkir, 2005).
Prevalensi kejadian aflatoksin di Indonesia cukup beragam. Hal ini
disebabkan perbedaan aplikasi teknologi penanganan pasca panen yang diterapkan
pada masing-masing daerah. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di
Balitsereal mengkaji proses pascapanen jagung di provinsi Gorontalo dan
kaitannya dengan cemaran Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa produk biji jagung dari petani sampai pedagang
pengumpul/pengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu kisaran
4,5 ppb – 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi (>72,0 ppb) ditemukan pada
tingkat pedagang pengumpul/pengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat
pengering pada saat berlangsungnya penelitian.
Mengingat efeknya pada kesehatan, suatu badan yang bertanggungjawab
terhadap keamanan makanan, obat dan kosmetik, yaitu Food and Drug
Administration (FDA) mengeluarkan kadar baku tertinggi aflatoksin yang
diizinkan pada makanan yaitu sebesar 20 ppb (Shanhan dan Brown, 2001). Di
Indonesia sendiri, kadar aflatoksin pada jagung telah ditetapkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI seperti tercantum pada Tabel 4
Tabel 4. Batas Maksimum Aflatoksin pada Produk Olahan Jagung (BPOM RI)
No Jenis Pangan Batas Aflatoksin
Jenis (ppb) Total
1.
2.
3.
4.
Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak :
- Minyak jagung
Sereal dan Produk Sereal Termasuk
Tepung dan Pati dari Akar-Akaran dan
Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan dan
Polong-Polongan:
- Biji jagung
- Tepung jagung
- Pati jagung
- Makanan Cereal ( Corn flakes)
Makanan Ringan Siap Makan:
- Pop corn
Lain-Lain:
-Pangan Olahan Lain yang Mengandung
Jagung
B1
B1
B1
B1
B1
B1
B1
20
20
20
20
20
20
20
35
35
35
35
35
35
35
H. Metode Analisis Aflatoksin
Beberapa metode analitik untuk deteksi dan analisis kuantitatif dari residu
mikotoksin di makanan maupun pakan sangat penting dilakukan untuk
memastikan bahwa suatu komoditi aman dikonsumsi hewan maupun manusia.
Secara kimia, analisis aflatoksin dilakukan menggunakan metode Thin layer
chromatography (TLC) dan High performance liquid cromatography (HPLC).
TLC banyak digunakan sebagai teknik separasi yang mengkombinasikan metode
analisis kualitatif maupun kuantitatif. Limit deteksinya berada pada kisaran
microgram dan nanogram. Pada metode TLC, digunakan pelat yang umum
dipakai adalah silika gel. Tahap elusi dapat dilakukan secara monodimensional
ataupun bidimensional. Jenis pelarut yang digunakan untuk elusi tergantung pada
jenis pelat yang digunakan. Pelarut yang banyak digunakan adalah etanol,
kloroform ataupun aseton. Deteksi yang paling umum digunakan adalah
menggunakan UV ataupun fluoresens karena teknik ini memungkinkan dilakukan
kuantifikasi residu mikotoksin (Cazes, 2005). TLC merupakan metode yang
paling umum dilakukan saat ini karena memberikan beberapa keuntungan, seperti
cukup singkatnya waktu analisis yang diperlukan, teknik yang sederhana untuk
dilakukan serta memiliki kesensitivitasan yang cukup tinggi.
Secara biokimia, analisis aflatoksin dapat dilakukan menggunakan uji
biologis seperti immunoassays. Akan tetapi, uji ini jarang sekali dilakukan oleh
para pengawas pangan. Teknik immunoassay yang sedang dikembangkan adalah
radio immunoassay (RIA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Limit deteksinya berada pada kisaran pikogram hingga nanogram. Selain itu,
terdapat aplikasi metode yang lebih canggih dikenal dengan teknik kromatografi
afinitas antibodi. Penggunaan kolom tunggal yang terdiri dari antibodi anit-
aflatoksin yang secara kovalen berikatan dengan matriks gel (agarosa) dalam
cartridge plastik telah diperkenalkan. Cara ini pernah diaplikasikan pada jenis
aflatoksin M1 yang ditemukan di susu. Limit deteksinya diperkirakan sekitar 0.05
µg/ l , sepuluh kali lebih rendah daripada level yang disarankan FDA (Nielsen,
1998).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Survey Konsumsi Jagung
Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik
survey dengan alat bantu kuesioner. Jumlah responden yang digunakan adalah
100 orang. Responden dibagi menjadi 2 kelompok besar konsumen jagung, yakni
kelompok konsumen yang bermukim di sentra penanaman jagung (Bojonegoro)
dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban (Bogor). Pengambilan
sampel responden dilakukan secara purposive sampling technique atau suatu
penarikan sampel non-random dengan dasar sampling availability.
Ukuran contoh responden ditentukan menggunakan persamaan :
Dalam hal ini : p adalah proporsi popuasi yang akan diukur, n = besar contoh
yang ditarik, Z = nilai tabel Z yang sesuai dengan besarnya α yang digunakan, dan
E besarnya ketelitian yang diinginkan.
Dalam penentuan besarnya ukuran contoh responden yang harus ditarik
digunakan besar proporsi responden yang mengonsumsi jagung terhadap populasi
konsumen jagung di Bogor dan Bojonegoro adalah p = 5% atau p = 0.05; dan (1-
p) = 0.95. Dengan menggunakan presisi sebesar 5% besarnya sampel responden
yang akan ditarik berdasarkan persamaan adalah sebesar :
(1.96)2 (0.05) (1-0.05)
n = = 72
(0.05)2
Survey yang dilakukan di penelitian ini menggunakan ukuran contoh 100
orang responden yang berarti lebih besar dari seharusnya, yakni 72 orang. Hal ini
untuk mengantisipasi adanya responden yang tidak menjawab pada pertanyaan
tertentu.
Penelitian didasarkan pada tahapan penelitian validitas metodologi
penelitian survey (Singarimbun dan Effendi, 1995). Tahapan tersebut
digambarkan pada flow chart Gambar 5.
Z2 (p) (1-p)
n =
E2
Penentuan sampel, teknik dan cara pengambilan
Pembuatan kuesioner
Ujicoba kuesioner
Pengumpulan data
Tabulasi data
Analisis Data
Pembuatan laporan
Gambar 5. Skema Tahapan Penelitian Survei
Kuesioner yang telah disusun diujicoba terlebih dahulu sebelum diajukan
pada responden yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki desain
kuesioner yang telah dibuat serta memberi kesempatan kepada responden untuk
memberikan saran dalam pembuatan kuesioner. Contoh kuesioner dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Untuk mengetahui kelayakan kuesioner dilakukan uji validitas dan
realibilitas terhadap 24 kuesioner yang telah diisi sebagai sampel. Uji validitas
dilakukan dengan menggunakan uji korelasi berdasarkan metode One shot
(pengukuran satu kali) yaitu memasukkan data yang diperoleh dari kuesioner ke
program SPSS versi 12 for windows.
Pembuatan kuesioner didasarkan pada tujuan penelitian. Pertanyaan yang
disusun merupakan kombinasi dari pernyataan tertutup dan pertanyaan terbuka.
Jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner meliputi data identitas
responden, tingkat kesukaan akan produk berbasis jagung, cara memperoleh
produk olahan jagung, frekuensi makan dan jenis-jenis produk jagung yang biasa
dikonsumsi.
Data identitas responden meliputi nama, umur dan jenis kelamin. Pada
butir tingkat kesukaan, responden diminta memilih tingkat kesukaan ”suka”,
”netral”, hingga ”tidak suka” terhadap produk berbasis jagung. Pengolahan
dilakukan menggunakan uji Duncan untuk melihat adanya perbedaan yang nyata
atau tidak terhadap kesukaan responden di kedua lokasi. Selanjutnya, pada butir
akses untuk mendapatkan produk berbasis jagung, responden diberikan pilihan
’warung’, ’pasar’, ’minimarket’ dan ’supermarket’. Pengolahan juga dilakukan
menggunakan uji Duncan untuk melihat kecenderungan responden di kedua lokasi
dalam memilih tempat membeli produk olahan jagung. Frekuensi makan
merupakan butir pertanyaan kuesioner yang digunakan untuk mengetahui
seberapa sering responden mengkonsumsi produk berbasis jagung dalam
seminggu. Selanjutnya, kuesioner menampilkan 10 jenis produk jagung yang
beredar di pasaran. Responden diminta memilih produk jagung yang biasa
dikonsumsi dan diberikan tingkatan frekuensi secara kualitatif, mulai dari
”jarang”, ”kadang-kadang” hingga ”sering”.
Selain itu, pengolahan data juga menggunakan uji korelasi Spearman,
Pearson Product dan Chi-Square untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi
antara masing-masing variabel yang diuji. Variabel-variabel yang diuji adalah
hubungan antara lokasi domisili responden dengan tingkat kesukaan terhadap
produk jagung, hubungan antara lokasi domisili responden dengan frekuensi
konsumsi, hubungan antara tingkat kesukaan dengan frekuensi konsumsi dan
hubungan antara frekuensi dan porsi konsumsi produk jagung. Hasil analisis
korelasi ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumsi produk jagung responden.
B. Analisis Aflatoksin Menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC)
1. Prinsip Analisis
Metode analisis aflatoksin yang digunakan diadopsi dari metode Tropical
Product Institute (TPI) tahun 1980. Aflatoksin dalam contoh diekstrak memakai
asetonitril dan dihilangkan lemaknya memakai n-heksana. Pemurnian dilakukan
memakai diklorometana dan dehidrasi dilakukan memakai sodium sulfat anhidrat.
Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan cara elusi 1 (satu) dimensi pada TLC
plate.
2. Ekstraksi Aflatoksin (TPI, 1980)
Sampel jagung ditimbang sebanyak 25 gram ke dalam labu Erlenmeyer
250 ml, ditambahkan 50 ml setonitril, 10 ml larutan KCl 4% dan 1 ml larutan HCl
5 M. Campuran ini dikocok menggunakan mechanical shaker selama 30 menit.
Setelah itu disaring menggunakan kertas saring Whatman No.1.
Larutan sampel yang sudah disaring dimasukkan ke dalam corong pemisah
250 ml. Selanjutnya ditambah 25 ml akuadest. Bagian ini diekstraksi
menggunakan 50 ml n-heksana. Setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah (fraksi
asetonitril) dikumpulkan dalam botol 100 ml. Diulangi dengan menambahkan
kembali 50 ml n-heksana.
Fraksi asetonitril yang telah bebas lemak ini dimasukkan kembali ke
dalam labu kocok 250 ml, ditambahkan 25 ml aquadest, setelah itu ditambahkan
50 ml diklorometana. Dikocok 1 menit, kemudian fraksi asetonitril dan
diklorometana dikumpulkan dalam botol bersih. Ekstraksi dengan 50 ml
diklorometana diulangi sekali lagi, setelah itu didehidrasi menggunakan 5 gram
Na2SO4 anhidrat.
Cairan hasil ekstraksi diuapkan sampai hampir kering, kemudian residu
yang diperoleh dipindahkan ke dalam vial memakai kloroform, setelah itu
diuapkan kembali. Sebelum identifikasi, contoh hasil penguapan dilarutkan
kembali menggunakan 500 µL kloroform secara kuantitatif.
3. Pembuatan Deret Standar dan Pembercakkan Contoh
Disiapkan bejana kromatografi berisi eluen kloroform aseton 9:1. Pada
lempeng kromatografi ukuran 10 x 20 cm, dibuat garis menggunakan pensil yang
mengindikasikan batas bawah (1.5 cm dari tepi bawah) dan batas atas (1.5 cm dari
tepi atas). Dibuat juga titik-titik yang menunjukkan tempat pembercakkan larutan
standar maupun contoh, masing-masing titik berjarak 1-1.5 cm.
Sebanyak 1 µL sampai dengan 8 µL larutan working standard B1
konsentrasi 4 ppm dibercakkan pada lempeng kromatografi menggunakan
microsyringe 10 µL. Pada lempeng yang sama dibercakkan pula 5 µL dan 10 µL
larutan contoh. Lempeng kromatografi tersebut dimasukkan ke dalam bejana yang
berisi eluen, lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas atas.
Setelah dikeringkan memakai dryer, diamati menggunakan UV viewing cabinet
pada panjang gelombang 366 nm.
4. Identifikasi Aflatoksin
Uji kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu tambat (Rf) bercak
contoh dengan standar sedangkan uji kuantitatif dilakukan dengan
membandingkan intensitas perpendaran bercak contoh dan standar.
Kandungan aflatoksin dihitung sebagai (µg/kg) dengan perhitungan
sebagai berikut :
Kandungan aflatoksin (ppb) =
Keterangan :
S : Volume aflatoksin standar yang intensitas perpendarannya setara dengan z
μl sampel
Y : Konsentrasi aflatoksin standar dalam μg/ml
Z : Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran
setara dengan S μl standar aflatoksin
V : Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak akhir (μl)
W : Volume sampel (ml)
Fp: Faktor pengenceran
S x Y x V x fp
Z x W
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengujian Kuesioner
a. Uji Reliabilitas
Uji coba kuesioner responden dilakukan kepada 24 responden yang
terbiasa mengkonsumsi produk jagung. Data hasil pengisian kuesioner diolah
dan dicari hubungan korelasi antar variable yang diperoleh dari pengolahan
menggunakan SPSS versi 12 for windows. Sebanyak 13 variable yang
berhubungan dengan aspek konsumsi produk jagung dihitung korelasi dan
matriks reliabilitasnya. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5. Korelasi
antar variable berupa nilai korelasi (r dari Pearson) ini dihitung menggunakan
metode one shot (pengukuran hanya sekali).
Secara statistik, angka yang diperoleh dibandingkan dengan angka r table
untuk α = 0.05. Nilai r table pada n-2 = 22 adalah 0.27. Oleh karena r hitung
yang diperlihatkan pada Tabel 5 sebagian besar lebih besar dari 0.27 maka
pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner dapat dianggap reliabel.
Tabel 5. Nilai koefisien korelasi (r) variable pada kuesioner
Item -Total Statis tics
20.3750 27.201 .060 .818
20.5833 27.645 -.058 .838
20.7083 24.650 .420 .795
20.7917 22.433 .752 .767
20.5417 24.346 .296 .809
20.3750 21.984 .642 .773
21.0000 23.826 .554 .785
20.3750 20.940 .650 .770
20.1250 22.549 .504 .787
21.1250 24.027 .614 .783
21.1250 23.853 .647 .780
20.3750 22.071 .546 .783
VAR00001
VAR00002
VAR00003
VAR00004
VAR00005
VAR00006
VAR00008
VAR00007
VAR00010
VAR00011
VAR00012
VAR00013
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Correc ted
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
b. Uji Validitas
Pengukuran validitas dilakukan dengan memeriksa nilai α Cronbach dari
korelasi antar variabel (Reliability Coefficients) atas item variable yang
diperlihatkan matriks nilai korelasinya pada Tabel. Nilai untuk responden
adalah sebesar :
Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), standar untuk uji validitas dapat
dikatakan valid adalah 0.75. Dengan nilai Alpha Cronbach yang diperoleh
dari pengolahan menggunakan SPSS versi 12 for windows lebih besar dari
0.75 maka pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dianggap
valid.
B. Profil Responden
Deskripsi profil responden diperoleh berdasarkan penyebaran kuesioner
yang dilakukan pada 2 lokasi survei. Profil responden meliputi jenis kelamin,
usia, dan status pekerjaan.
a. Jenis Kelamin
Dari total 50 responden yang berlokasi di Bojonegoro, 30% dari jumlah
responden ( 14 orang) adalah wanita dan 70 % (33 orang) adalah pria. Di
Bogor, 90 % dari jumlah responden (37 orang) adalah wanita dan 10 % (4
orang) adalah pria. Sebaran frekuensi jenis kelamin responden konsumen
secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.
Reliability Statis tics
.806 12
Cronbach's
Alpha N of Items
Gambar 6. Frekuensi Jenis Kelamin Responden
b. Usia
Berdasarkan usia responden yang berlokasi di Bojonegoro, 88 % (42
orang) responden berusia 15-25 tahun dan 12% responden berusia di atas 25
tahun. Tabel frekuensi usia repsonden konsumen selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Frekuensi Umur Responden
Kategori usia Responden
Bojonegoro
Responden Bogor
n % n %
15-25 tahun 42 88 43 100
26-35 tahun 3 6 - -
36-45 tahun 2 4 - -
>45 tahun 1 2 - -
Total 48 100 43 100
Tidak menjawab 2 - 7 -
c. Status Pekerjaan
Dari total 50 responden di Bojonegoro, sebagian besar responden
(54%) berstatus sebagai mahasiswa, sedangkan sebanyak 50 responden
yang berlokasi di Bogor, total keseluruhan responden yakni 100% (50
orang) adalah mahasiswa. Sebaran frekuensi status pekerjaan responden
dapat dilihat pada Tabel 7.
30%
70%
wanita
pria
90%
10%
wanita
pria
Tabel 7. Frekuensi Status Pekerjaan Responden
Kategori status
pekerjaan
Responden
Bojonegoro
Responden Bogor
n % n %
Pelajar 17 35 - -
Mahasiswa 26 54 43 100
Wiraswasta 5 10 - -
Total 48 100 43 100
Tidak menjawab 2 - 7 -
C. Aspek Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung
a. Kesukaan Terhadap Produk Pangan Berbasis Jagung
Kesukaan terhadap suatu makanan akan berpengaruh terhadap konsumsi
pangan (Suhardjo, 1989). Kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : (1)Karakteristik individu (umur, jenis
kelamin, pendidikan) ; (2) Karakteristik pangan itu sendiri (rasa, harga,
penampakan); dan (3) Karakteristik lingkungan (musim, pekerjaan, tingkat
social dalam masyarakat) (Sanjur, 1982). Selain itu, keterikatan yang kuat
terhadap pola makan (kebiasaan) biasanya terbentuk ketika masyarakat
menyukai makanan tersebut seperti dikutip oleh Khumaidi (1989).
Penilaian perilaku konsumsi responden di 2 lokasi survei, yakni
Bojonegoro dan Bogor berdasarkan tingkat kesukaan terhadap produk jagung
dapat dilihat pada Tabel 8
Tabel 8. Frekuensi Tingkat Kesukaan Responden Terhadap
Produk jagung
No Tingkat Kesukaan
Terhadap Produk
Jagung
Responden
Bojonegoro
Responden Bogor
n % n %
1. Suka 14a 28 21a 42
2. Netral 30b 60 25a 50
3. Tidak Suka 4a 8 - -
Total 48 96 46 92
Tidak menjawab 2 - 4 -
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 60% responden yang berada di Bojonegoro
bersikap netral terhadap produk jagung dan hanya 28% responden yang
menyukai produk jagung. Sedangkan di Bogor, persentase responden yang
menyukai produk jagung lebih banyak dibandingkan responden di
Bojonegoro. Sebanyak 42% menyukai produk jagung dan 50% lainnya
bersikap netral.
Data ini menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh
responden di kedua lokasi. Adanya dominasi sikap netral responden
Bojonegoro dapat dijadikan motivasi bagi industri pangan untuk menghasilkan
produk olahan jagung yang lebih menarik. Hasil pengolahan produk jagung
yang lebih variatif dan berkualitas nantinya akan dapat meningkatkan
kesukaan responden. Hal serupa juga dapat ditujukan bagi kelompok
responden di Bogor. Bogor sebagai daerah sub-urban menuntut warganya
untuk mengikuti gaya hidup modern. Hal ini memicu munculnya produk-
produk pangan baru yang berupaya memenuhi tuntutan akan gaya hidup
tersebut. Responden Bogor yang hanya bersikap netral terhadap produk
jagung akan bertambah kesukaannya jika produk-produk jagung yang
ditawarkan dapat bersaing dengan produk-produk lain yang memenuhi
tuntutan gaya hidup modern.
Sejalan dengan penelitian ini, penelitian lain yang pernah dilakukan
kepada mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi angkatan tahun 1999-2001
sebanyak 100 orang memberikan hasil kajian mengenai perilaku konsumen
terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Berdasarkan kajian tersebut, seluruh
responden diketahui mengenal jagung. Hal ini disebabkan jagung merupakan
bahan pangan yang sudah tersebar hampir di seluruh wilayah tanah air dan
sudah banyak dikonsumsi sebagi pangan pokok maupun sebagai pangan
olahan dalam bentuk yang beragam seperti sereal instan untuk sarapan, snack
atau makanan selingan (Juniawati, 2003). Berdasarkan penelitian tersebut juga
diketahui bahwa responden mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi yang
mewakili responden Bogor umumnya menyukai produk jagung. Hal ini
terlihat dari banyaknya responden yang mengonsumsi jagung pada 1 minggu
yang lalu saat kajian dilakukan menunjukkan bahwa jagung merupakan bahan
pangan yang sering dikonsumsi. Waktu terakhir mengonsumsi pangan asal
jagung dapat dilihat pada Gambar 7
Gambar 7. Waktu Terakhir Mengonsumsi Pangan Asal Jagung (n=100)
(Juniawati, 2003)
b. Tempat Memperoleh Produk Pangan Berbasis Jagung
Akses responden di Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung
tersebar hampir merata di pasar, warung, minimarket dan supermarket. Data
kuesioner menunjukkan bahwa banyaknya responden Bojonegoro yang
memilih pasar, warung, minimarket maupun supermarket tidak berbeda nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk olahan jagung terdistribusi secara
merata di lokasi-lokasi tersebut. Ketersediaan yang merata ini menunjang
akses konsumen dalam hal kemudahan mendapatkan produk. Hal ini nantinya
dapat dilihat berdampak pada frekuensi konsumsi produk olahan jagung
responden di Bojonegoro.
Sumarwan di dalam Nadeak (2004) mengungkapkan bahwa adanya
keinginan membeli produk akan mendorong konsumen untuk mencari toko
atau pusat perbelanjaan tempat untuk membeli produk tersebut. Konsumen
akan memilah-milah dan membandingkan karakteristik toko yang sesuai
dengan keinginannya. Pasar swalayan atau supermarket merupakan konsep
pasar modern yang cepat berkembang di Indonesia dan mendapat respon yang
baik dari konsumen. Pasar swalayan memiliki konsep dengan operasi yang
relatif lebih besar, berbiaya rendah, memiliki margin yang rendah, serta
volume yang tinggi. Swalayan dirancang untuk memenuhi semua kebutuhan
51
12
4 4
23
0
10
20
30
40
50
60
(%)
1 minggu
lalu
2 minggu
lalu
3 minggu
lalu
4 minggu
lalu
>4 minggu
lalu
konsumen. Dari hasil survey mengenai sifat dan kualitas keragaman barang di
Superindo, sebanyak 33% responden mengatakan sangat penting dan 61%
lainnya menyatakan penting (Nadeak, 2004).
Hasil kuesioner pada responden Bogor menunjukkan bahwa responden di
lokasi ini lebih memilih warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat
membeli dibandingkan pasar (24%) dan supermarket (22%). Kondisi ini
cukup menarik karena responden di Bogor, yang dikenal sebagai daerah sub
urban, tentunya lebih familiar dengan keberadaan supermarket. Akan tetapi,
responden di daerah ini justru lebih memilih warung dan minimarket. Bila
diamati lebih lanjut, tidak ada perbedaan jenis produk olahan jagung yang
ditawarkan di keempat lokasi tersebut. Hal ini diasumsikan terkait dengan
kemudahan responden untuk menjangkau lokasi warung dan minimarket di
Bogor. Responden Bogor yang 100% berstatus sebagai mahasiswa yang
berdomisili di Dramaga lebih memilih lokasi mendapatkan produk olahan
jagung di tempat-tempat yang lebih mudah dijangkau tanpa harus melakukan
perjalanan yang cukup jauh. Lokasi suatu toko sangat ditentukan oleh letaknya
yang strategis, kemudahan dalam menjangkau toko dengan berbagai sarana
transportasi dan keadaan jalan yang lancar (Purba, 2006). Dalam pemilihan
lokasi, toko harus strategis supaya mudah dicapai oleh para konsumen.
Menurut Purba (2006), keputusan dimana pembelian akan dilakukan
tergantung pada pengetahuan tentang pembelian yang dimiliki. Berdasarkan
hasil penelitian terhadap kepentingan konsumen mengenai lokasi dan sarana
untuk menuju Matahari Bandar Lampung, sebanyak 94% menyatakan penting
dan sangat penting.
Selain itu, citra toko merupakan realitas yang diandalkan oleh konsumen
sewaktu membuat pilihan dimana mereka memutuskan tempat untuk
berbelanja (Setiadi dalam Nadeak, 2004). Minimarket yang berada di daerah
Dramaga memiliki citra yang baik sebagai tempat strategis untuk mencari
produk-produk yang dibutuhkan oleh para mahasiswa. Konsumen sering
mengembangkan citra toko didasarkan pada iklan, kelengkapan di dalam toko,
pendapat teman dan kerabat dan juga pengalaman belanja (Nadeak, 2004)
Data sebaran frekuensi pilihan tempat mengakses produk olahan jagung
oleh responden di kedua lokasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8
Gambar 8. Grafik Sebaran Tempat Memperoleh Produk
c. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung
Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari
kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan untuk memenuhi
rasa lapar serta dari hubungan emosional dengan yang memberi makan pada
saat anak-anak. Biasanya jenis makanan yang telah terbiasa disukai sejak
masa anak-anak akan berlanjut menjadi makanan kesukaan pada usia dewasa
(Khumaidi, 1989). Selain itu, kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok
masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat
dan kekal terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan. Pola
kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan ( Suhardjo et al.,
1988).
Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra penanaman jagung
memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan berbasis jagung.
Penduduk di sekitar daerah tersebut biasa mengkonsumsi produk olahan
jagung ini sebagai camilan. Terbentuknya kebudayaan mengkonsumsi jagung
ini mungkin memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap frekuensi
konsumsi produk jagung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suryana
2224 24
44
22
32 32
22
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
%
pasar
warung
minimark
et
supermark
et
tempat memperoleh
responden Bojonegoro
responden Bogor
(1991), kabupaten Bojonegoro termasuk ke dalam kelompok daerah tingkat
konsumsi jagung tinggi. Bila dihubungkan dengan keragaan tingkat produksi,
ternyata daerah tingkat konsumsi tinggi ini berimpit dengan kabupaten yang
diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi dimana Bojonegoro merupakan
salah satu sentra produksi jagung di Indonesia. Perbandingan antara rata-rata
frekuensi konsumsi jagung per minggu dari responden di Bojonegoro dan
responden di kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 . Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung
Selama Periode 5 Tahun Terakhir
No Rata-Rata Frekuensi
Konsumsi
Responden
Bojonegoro
Responden Bogor
n % n %
1. <1 kali/minggu 16a 32 35a 70
2. 1 kali/minggu 16a 32 7b 14
3. 2 kali/minggu 12ab 24 1b 2
4. 3 kali/minggu 3b 6 2b 4
Tidak menjawab 3 6 5 10
Total 50 100 50 100
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Ada hubungan penilaian konsumen terhadap makanan dengan frekuensi
yaitu penilaian yang positif diikuti dengan frekuensi yang semakin sering.
Menurut Suhardjo (1989), hal ini disebabkan makanan-makanan yang disajikan
dan diterima menjadi kesukaan dan kebiasaan makan konsumen remaja
menjadikan seseorang mempunyai emosional yang kuat terhadap loyalitas dan
kepekaan terhadap makanan tersebut yang ditunjukkan dari frekuensi
mengonsumsinya. Lewin (1943) dalam Suhardjo (1989), sebagian besar orang
lebih suka makan apa yang mereka sukai daripada menyukai apa yang mereka
makan.
Meskipun responden di Bogor yang menyukai produk jagung lebih banyak
dibandingkan responden di Bojonegoro, frekuensi konsumsi per minggu
terhadap produk jagung di Bojonegoro ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan frekuensi konsumsi di Bogor. Sebanyak lebih dari 50% responden
(62%) di Bojonegoro mengkonsumsi produk jagung minimal sekali dalam
seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden di Bogor belum tentu
mengkonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari literatur disebutkan bahwa ketersediaan
dan harga merupakan faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi
pengaruh terhadap kesukaan (Meiselman dan Macfie, 1996).
d. Perkiraan Porsi Konsumsi Produk Olahan Jagung Oleh Responden
Pada butir kuesioner, responden mengisi rata-rata porsi konsumsi produk
olahan jagung dalam 1 kali konsumsi. Porsi dibedakan berdasarkan jenis
kemasan seperti kemasan plastik dan kemasan kaleng. Selain itu, jenis ukuran
kemasan juga dibedakan berdasarkan ukuran besar, kecil ataupun porsi
konsumsi setiap menyantap sereal sarapan cornflakes. Perhitungan perkiraan
porsi konsumsi dilakukan hanya terhadap produk yang sering dan kadang-
kadang dikonsumsi responden. Hasil perhitungan perkiraan porsi konsumsi
produk jagung responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 10
Tabel 10. Perkiraan Rata-Rata Porsi Konsumsi Produk Jagung
Lokasi Tingkatan Frekuensi Rata – Rata Porsi
Konsumsi (gram)
Bojonegoro Kadang-kadang 78.03
Sering 85.37
Rata-Rata Total 81.7
Bogor Kadang-kadang 80.41
Sering 65.09
Rata-Rata Total 72.75
Berdasarkan Tabel 10, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi
konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Hasil ini dapat
didukung oleh hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Fachrina (2005)
mengenai pola konsumsi pangan pada rumah tangga miskin di pedesaan dan
perkotaan di lima propinsi pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
Bogor yang dapat diwakili oleh rumah tangga miskin perkotaan di Jawa Barat
memiliki tingkat konsumsi per kapita yang lebih rendah dibandingkan rumh
tangga miskin di wilayah perkotaan Jawa Timur. Hasil penelitian ini secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 11
Tabel 11. Konsumsi pangan pokok pada rumah tangga Miskin Berdasarkan
Propinsi dan Wilayah (g/kapita/hari)
Jenis Pangan Propinsi
DKI Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur
Kota Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Beras 205.1 256.8 306.2 227.1 209.4 208.3 199.1 224.7 212.7
Jagung * 0.1 1.4 0.5 0.2 25.9 0.0 8.6 7.4 25.6
Ubi Jalar 3.4 5.5 8.4 3.2 9.8 5.1 3.3 6.9 4.1
Ubi kayu 8.7 15.3 21.5 17.3 34.3 23.6 20.6 17.8 25.5
Tepung
terigu
0.9 1.4 0.8 1.6 1.9 1.5 1.1 0.3 0.4
Mie ** 5.8 2.7 1.5 3.0 1.6 4.1 3.6 1.6 1.2
* jagung pipilan
** mie basah dan mie kering
Selain itu juga, penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Situmorang
(2005) mengungkapkan bahwa bila dibandingkan antara masing-masing
komoditi, jagung masih jarang atau tidak pernah dikonsumsi oleh kebanyakan
responden bila dibandingkan dengan beras yang rata-rata konsumsi per
minggunya mencapai 21 kali, serta roti dan mie yang dikonsumsi sebanyak 2
kali per minggu.
e. Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Beberapa Produk Pangan Berbasis
Jagung di Pasaran
Produk-produk olahan jagung yang beredar di pasaran cukup beragam.
Meningkatnya keberadaan teknologi pengolahan pangan memicu diproduksinya
produk-produk pangan sebagai hasil inovasi. Beragamnya produk pangan yang
dihasilkan membuat produk olahan jagung kini tidak hanya dikonsumsi dalam
bentuk makanan tradisional tetapi juga sebagai makanan dalam kemasan
(camilan).
Salah satu butir dalam kuesioner yang diajukan kepada responden dapat
dijadikan gambaran mengenai preferensi konsumen terhadap jenis-jenis produk
%
Jenis produk
Jenis produk
persentase
%
olahan jagung yang beredar di pasaran. Data preferensi responden di kedua
lokasi survei secara lengkap disajikan pada Gambar 9a dan Gambar 9b
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 9a. Grafik Preferensi Responden di Bojonegoro
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 9b. Grafik Preferensi Responden di Bogor
Keterangan :
1 = tortilla 6 = keripik jagung
2 = corn flakes 7 = snack marning
3 = snack jagung puff 8 = sup krim jagung
4 = popcorn siap makan 9 = sup krim jagung kaleng
5 = popcorn siap masak 10 = pangan tradisional
Bar menunjukkan persentase responden (n-100) yang memilih produk
tertentu dari 10 jenis produk olahan jagung yang ditampilkan pada kuesioner.
Berdasarkan grafik, responden di daerah Bojonegoro paling banyak memilih
snack marning (76%). Snack marning ini merupakan produk olahan jagung yang
dikonsumsi sebagai camilan. Selanjutnya, sebanyak 70% responden Bojonegoro
memilih popcorn siap makan. Hal ini dapat dijadikan gambaran bahwa produk
camilan lebih banyak disukai oleh konsumen. Sehingga, upaya peningkatan
konsumsi jagung nantinya diaarankan untuk lebih diarahkan kepada jenis
produk-produk camilan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rosegrant et al.
(1987) yang mengungkapkan bahwa konsumsi jagung di daerah perkotaan
bisanya sebagai makanan selingan. Snack termasuk makanan jajanan. Pada
umumnya, konsumen lebih memperhatikan makanan jajanan dari segi rasa yang
enak dan murah (Guhardja dalam Setiawan, 2006).
Hal menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di
kota Bogor. Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk
pangan tradisional berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan
lainnya. Makanan yang berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan
sesuai dengan tradisi daerah setempat disebut makanan tradisional (Winarno,
1993).
Bogor sebagai daerah sub-urban tentunya dibanjiri dengan produk-produk
pangan modern baik produk impor maupun hasil produksi industri dalam negeri.
Produk-produk ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di daerah
perkotaan. Keberadaan produk pangan tradisional seringkali dijadikan sebagai
bentuk ”penyegaran” terhadap kejenuhan akan produk-produk pangan modern.
Selain itu, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan daerah yang tidak hanya
dihuni oleh penduduk asli Bogor sendiri, tetapi juga oleh penduduk pendatang
dari daerah lain. Keberadaan penduduk pendatang ini juga diasumsikan
memberikan pengaruh terhadap preferensi konsumsi produk pangan tradisional.
Sejalan dengan hal tersebut, hasil survey konsumsi makanan tradisional
Sunda yang dilakukan Yasminia (2003) menyebutkan bahwa sumber informasi
yang membuat responden tertarik mengonsumsi makanan tradisional Sunda
adalah paling banyak didapat dari responden yaitu keluarga sebanyak 158 orang
(79%), teman sebanyak 56 orang (28%), majalah sebanyak 36 orang (18%),
iklan sebanyak 21 orang (10.5%), brosur atau leaflet sebanyak 11 orang (5.5%),
lainnya yaitu pedagang makanan Sunda (4%) dan koran (3%). Hasil survey
secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Persentase Responden Remaja Berdasarkan Sumber Informasi yang
Membuat Tertarik Mengonsumsi Makanan Tradisional Sunda
(Yasminia, 2003)
Bila dilakukan perbandingan pemilihan antara makanan tradisional dengan
makanan ”modern”, Yasminia (2003) juga mendapatkan hasil survey yang
menunjukkan bahwa responden paling banyak memilih makanan tradisional
Sunda sebanyak 155 orang (77.5%) dan sedangkan yang memilih makanan
fastfood sebanyak 45 orang (22.5%).
Menurut Dewi (2004), konsumen di perkotaan cenderung lebih mudah
terpengaruh oleh : (a) Budaya makan di luar rumah baik jajanan maupun makan
di lingkungan bekerja atau sekolah ;(b) Jenis-jenis makanan bergengsi dan
menyenangkan ; dan (c) Aspek kepraktisan dan kecepatan pelayanan, sedangkan
konsumsi di wilayah pengembangan industri akan lebih mempertimbangkan
aspek kepraktisan dan efisiensi dalam pemilihan makanan.
Bila dikaitkan dengan data tempat mengakses produk olahan jagung
seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, responden Bogor lebih
memilih warung dan minimarket sebagai tempat membeli. Hal ini dapat menjadi
gambaran bahwa akses untuk mendapatkan produk tradisional tidak hanya
terbatas pada pasar saja. Produk pangan tradisional ini sudah mulai terdistribusi
di warung, minimarket hingga supermarket.
Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau
ketidaksukaan terhadap makanan, sehingga preferensi ini akan berpengaruh
79
28
1810.5
5.5 4 30
10
20
30
40
50
60
70
80
%
keluargateman
majalah iklan
brosur/leaflet
pdgg mknn Sundakoran
terhadap konsumsi pangan (Setyawan, 2006). Kotler di dalam Setyawan (2006)
mengungkapkan bahwa preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen
dari berbagai pilihan produk yang ada.Preferensi terhadap makanan sangat
dipengaruhi oleh sikap erat hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak
atau menerima terhadap makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap
pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu apa yang
dipelajari dan apa yang dilihat misalnya melalui berbagai iklan di media massa.
Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari
kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan (Khumaidi, 1989). Hal
ini menunjukkan bahwa pengalaman mengonsumsi produk akan sangat
berdampak pada keputusan untuk mengonsumsi pada masa selanjutnya. Pada
butir kuesioner, responden diminta untuk memilih jenis produk olahan jagung
yang biasa dikonsumsi. Pilihan berkisar di antara 10 produk olahan jagung yang
banyak beredar di pasaran. Responden yang tidak memilih salah satu produk
diasumsikan tidak pernah mengonsumsi produk tersebut. Kesepuluh produk
dikategorikan menjadi produk pangan tradisional, cemilan tradisional, cemilan
dalam kemasan, dan produk instan. Hasil tabulasi data perbandingan preferensi
responden untuk masing-masing kategori produk olahan jagung dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12. Sebaran Pernyataan Sikap Mengonsumsi Responden Berdasarkan
Kategori Produk Olahan Jagung
No Jenis Produk Lokasi
Responden
Perrnyataan Mengonsumsi
(orang)
Pernah Tidak Pernah
1. Pangan tradisional Bojonegoro 33 17
Bogor 37 13
2. Cemilan tradisional
Marning Bojonegoro 38 12
Bogor 33 17
Keripik jagung Bojonegoro 33 17
Bogor 23 27
3. Cemilan dalam kemasan
Tortilla Bojonegoro 32 18
Bogor 35 15
Popcorn Bojonegoro 35 15
Bogor 29 21
4. Produk instan
Sup krim bubuk Bojonegoro 21 29
Bogor 20 30
Sup krim kaleng Bojonegoro 23 27
Bogor 17 33
Pop corn instan Bojonegoro 25 25
Bogor 17 33
5. Sereal sarapan (corn
flakes)
Bojonegoro 24 26
Berdasarkan Tabel 12, kategori produk pangan tradisional, cemilan
tradisional, dan cemilan dalam kemasan dapat dikatakan cukup populer di
masyarakat Bogor dan Bojonegoro karena frekuensi responden yang pernah
mengonsumsi lebih besar dibandingkan responden yang tidak pernah
mengonsumsi. Produk instan dan sereal sarapan yang tergolong produk
’modern’ justru belum begitu diminati masyarakat di kedua lokasi.
Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi pangan tradisional, baik
berupa cemilan maupun jajanan tradisional, lebih besar dibandingkan produk-
produk pangan ’modern’. Hal ini dapat dijadikan landasan untuk
mengoptimalkan pengembangan produk pangan tradisional berbasis jagung.
Hardinsyah, dkk (2001) pernah mengadakan penelitian mengenai konsumsi
pangan tradisional pada siswa remaja di kota Bogor menyebutkan bahwa lebih
dari 50% responden menyukai produk pangan tradisional karena citarasanya
yang enak. Hal ini menunjukkan bahwa cita rasa pangan tradisional dapat
memenuhi selera responden. Banyak alasan seseorang memilih makanan,
preferensia atau kesukaan merupakan salah satu faktor utama yang
dipertimbangkan konsumen dalam pemilihan makanan (Hardinsyah, 1996).
Kebiasaan mengonsumsi produk camilan menjadi hal yang tidak dapat
terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Produk camilan ini merupakan salah
satu bentuk pemenuhan atas waktu senggang di sela-sela kesibukan kehidupan
perkotaan. Bagi industri, prospek pengembangan produk camilan berbasis
jagung pun masih cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Juniawati (2003), Produk pangan non beras paling banyak dikonsumsi pada
saat sarapan dan sebagai makanan selingan. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan beras sebagai bahan pangan pokok belum dapat tergantikan dengan
jenis komoditi lain. Sebanyak 62% responden mengonsumsi pangan non beras
saat sarapan dan sebanyak 49% responden mengonsumsi pangan sebagai
makanan selingan (Gambar 11)
62
49
511
0
10
20
30
40
50
60
70
(%)
sarapan selingan makan siang makan malam
Gambar 11. Waktu frekuensi konsumsi produk pangan non beras (n=100)
(Juniawati, 2003)
Di lain pihak, keberadaan produk-produk instan maupun sereal sarapan
merupakan tuntutan akan gaya hidup masa kini. Akan tetapi, berdasarkan Tabel
12, jumlah responden yang pernah mengonsumsi lebih sedikit dibandingkan
jumlah responden yang belum pernah mengonsumsi produk tersebut. Merujuk
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003), hasil kajian
mengenai perilaku konsumen dalam mengkonsumsi karbohidrat non beras
menunjukkan bahwa sereal termasuk salah satu produk dengan frekuensi
konsumsi paling kecil. Juniawati menyebutkan bahwa faktor harga menjadi
salah satu penyebabnya. Produk dengan cita rasa yang enak tetapi menawarkan
harga yang kurang terjangkau akan kurang diminati oleh konsumen.
g. Opini Responden Terhadap Upaya Perbaikan Konsumsi Jagung
Pada butir terakhir kuesioner, responden diminta untuk memberikan opini
mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki dalam upaya peningkatan konsumsi
jagung masyarakat. Beberapa pilihan jawaban kemudian dikelompokkan ke
dalam 6 kategori, yakni opini yang berkaitan dengan peningkatan variasi,
perbaikan harga, perbaikan kualitas dan kuantitas, perbaikan distribusi dan
promosi, perbaikan keamanan pangan, serta dari segi organisasi perusahaan.
Data sebaran pilihan opini responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Gambar
12a dan Gambar 12b
87%
4% 7%
0%
0%
2%variasi
harga
kualitas-kuantitas
distr.-promosi
keamanan pangan
perusahaan
Gambar 12a. Grafik Sebaran Opini Responden Bojonegoro
76%
4%
7% 11%
2%
0%
variasi
harga
kualitas-kuantitas
distr.promosi
keamanan pangan
perusahaan
Gambar 12b. Grafik Sebaran Opini Responden Bogor
Berdasarkan hasil analisis, responden di Bojonegoro (86.96%) dan Bogor
(76.1%) memiliki kecenderungan yang sama dimana opini yang diberikan lebih
mengarah kepada upaya peningkatan variasi produk. Menurut Suhardjo (1989),
kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna dan bentuk makanan akan
mempengaruhi nafsu makan seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan
perlunya dilakukan inovasi terhadap produk pangan berbasis jagung.
Selanjutnya, perbaikan kualitas dan kuantitas menjadi perhatian bagi 6.52%
responden baik di Bojonegoro maupun di Bogor. Perbaikan dari segi kualitas
dan kuantitas akan sangat mempengaruhi harga produk yang beredar di pasaran.
Berdasarkan data pada tabel dapat diasumsikan bahwa responden di
Bojonegoro merasa tidak memiliki masalah dalam hal distribusi dan promosi.
Hal ini mungkin terkait dengan tingginya ketersediaan jagung di kota ini,
sedangkan responden di Bogor (10.9%) menyatakan masih perlu dilakukan
upaya perbaikan dari segi distribusi dan promosi. Promosi pun mungkin perlu
lebih ditekankan kepada sosialisasi jenis-jenis produk pangan baru yang
berbasis jagung. Hal ini dikarenakan berdasarkan pembahasan sebelumnya
mengenai sikap mengonsumsi responden, produk-produk instan dan sereal
sarapan masih belum terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat.
Kenyataan yang cukup memprihatinkan teramati dimana kesadaran
responden mengenai keamanan pangan produk berbasis jagung belum menjadi
hal yang cukup mendapat perhatian. Hanya 2.17% responden di Bogor (1 orang)
yang menyatakan perlunya perbaikan dari segi keamanan pangan, sedangkan
tidak ada seorang pun responden Bojonegoro yang memiliki kekhawatiran akan
hal ini. Seperti dikutip oleh Yasminia (2003), perilaku konsumen terhadap
makanan yang aman dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu (1) Faktor predisposisi
perorangan (kepribadian, kebiasaan, norma, nilai, kepercayaan, kemampuan,
ketrampilan, pengetahuan dan sikap dari konsumen sehubungan dengan
makanan tersebut) ; (2) Faktor dukungan pemerintah maupun swasta terhadap
keberadaan makanan yang aman sehingga tersedia kapan saja dibutuhkan,
terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan
menyenangkan, tempatnya nyaman dan tersedia informasi rujukan ; dan (3)
Faktor penguat (ajakan teman dekat, dukungan orangtua, pimpinan, guru dan
petugas kesehatan) yang menganjurkan makan makanan yang aman.
Kondisi keamanan pangan dari produk-produk jagung ini dibahas pada
pembahasan selanjutnya mengenai kandungan aflatoksin yang telah dianalisis.
D. Korelasi Antara Dua Variabel
Untuk melihat keterkaitan antara dua faktor yang dapat menjadi dasar
dalam upaya pengembangan produk pangan berbasis jagung, dilakukan
pengujian korelasi antara dua variabel yang berbeda. Kumpulan data dianalisis
dengan menggunakan metode Chi-square, Pearson dan Spearman.
Hasil analisis ini berguna dalam mengetahui faktor-faktor hubungan
perilaku konsumen terhadap variabel yang diteliti dalam kuesioner.
a. Hubungan Lokasi Responden dengan Kesukaan Terhadap Produk Jagung
Dari hasil analisis, diperoleh hubungan tidak nyata antara variabel lokasi
responden dengan kesukaan terhadap produk jagung dengan nilai probabilitas
(p) sebesar 0.055 lebih besar dari 0.05 seperti terlihat pada tabel. Adanya
hubungan yang tidak nyata ini memberikan pandangan bahwa tradisi/kebiasaan
makan masyarakat yang berada di lokasi yang berbeda tidak mempengaruhi
kesukaan terhadap produk pangan berbasis jagung. Hal ini dapat dijadikan
asumsi bahwa upaya perbaikan konsumsi jagung di Indonesia tidak akan
terbatas pada lokasi tertentu ssja, tetapi secara merata dapat diusahakan di setiap
daerah. Faktor kesukaan produk pangan berbasis jagung ini mungkin
dipengaruhi oleh variabel lain yang dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Hasil analisis ini membuktikan bahwa kesukaan responden tidak
dipengaruhi oleh tempat dimana responden berdomisili. Seperti yang kita
ketahui, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan tempat para pendatang
yang berasal dari berbagai daerah. Adanya pengalaman atau kebiasaan makan
masa kanak-kanak di daerah asal kemudian terbawa hingga dewasa. Keadaan
inilah yang mempengaruhi preferensi ataupun kesukaan responden terhadap
produk jagung ketika responden menemukan adanya ketersediaan akan produk
tersebut di Bogor. Menurut Khumaidi (1989), terbentuknya rasa suka terhadap
makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh
pada saat makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan emosional
dengan yang memberi makan pada saat anak-anak. Biasanya jenis makanan
yang telah terbiasa disukai sejak masa anak-anak akan berlanjut menjadi
makanan kesukaan pada usia dewasa.
Hasil analisis korelasi dan nilai probabilitas (p) yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Chi-square Antara Variabel Lokasi Responden dan
Kesukaan terhadap Produk Jagung
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-
Square 5.815(a) 2 .055
Likelihood Ratio 7.367 2 .025
N of Valid Cases 94
a 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1.96.
b. Hubungan Lokasi Responden dengan Frekuensi Konsumsi Produk Jagung
Dari hasil analisis, diperoleh hubungan nyata antara variabel lokasi
responden dengan frekuensi konsumsi terhadap produk jagung per minggu
dengan nilai probabilitas (p) sebesar 0.00 lebih kecil dari 0.05 seperti terlihat
pada tabel. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi produk
jagung dipengaruhi faktor lokasi atau tempat domisili responden. Hal ini dapat
dikaitkan dengan adanya perbedaan ketersediaan akan jagung di kedua lokasi.
Suryana (1991) mengungkapkan bahwa bila dihubungkan dengan keragaan
tingkat produksi, daerah dengan tingkat konsumsi jagung tinggi ternyata
berimpit dengan kabupaten yang diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi
dimana Bojonegoro merupakan salah satu sentra produksi jagung di Indonesia.
Selain itu, tradisi atau kebiasaan mengonsumsi produk pangan berbasis
jagung juga mempengaruhi seberapa sering responden mengonsumsi produk
tersebut dalam tiap minggunya. Hal ini terkait dengan pilihan opini responden
yang menyarankan perlunya perbaikan dari segi kualitas dan kuantitas dalam
rangka memperbaiki konsumsi jagung di Indonesia. Hasil analisis korelasi dan
nilai probabilitas (p) yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Analisis Chi-square Antara Variabel Lokasi Responden dan
Frekuensi Konsumsi Produk Jagung
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-
Square 20.074(a) 3 .000
Likelihood Ratio 21.998 3 .000
N of Valid Cases 92
a 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2.45.
c. Hubungan Tingkat Kesukaan dengan Frekuensi Konsumsi Produk Jagung
Korelasi antara variabel “kesukaan” dengan “frekuensi” menunjukkan
angka sebesar 0.031. Angka tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat
lemah (dianggap tidak ada) dan searah. Hubungan kedua variabel tidak
signifikan karena angka probabilitasnya 0.770 > 0.05 seperti terlihat pada Tabel
15.
Tabel 15. Hasil Analisis Korelasi Antara Variabel Kesukaan dan Frekuensi
Konsumsi Produk Jagung Responden
kesukaan Frekuensi
Spearman's
rho
Kesukaan Correlation
Coefficient 1.000 .031
Sig. (2-tailed) . .770
N 94 91
Frekuensi Correlation
Coefficient .031 1.000
Sig. (2-tailed) .770 .
N 91 92
Besarnya sumbangan atau peranan variabel kesukaan terhadap frekuensi dapat
dihitung dengan rumus koefisien determinasi :
KD = r2 x 100%
= 0.0312 x 100%
= 0.09 %
Hasil ini dapat menjadi kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat
kesukaan responden terhadap produk jagung belum tentu menyebabkan semakin
meningkatnya frekuensi konsumsi akan produk tersebut karena pengaruh yang
diberikan tidak signifikan, hanya sebesar 0.09%.
Kesukaan yang tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi konsumsi
responden semakin memberikan penguatan bahwa frekuensi konsumsi sangat
dipengaruhi oleh faktor ketersediaan akan produk jagung itu sendiri.
d. Hubungan Antara Variabel Frekuensi Konsumsi dengan Porsi Konsumsi
Produk Pangan Berbasis Jagung
Selanjutnya, pada penelitian juga dilakukan analisis korelasi Spearman
untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi konsumsi
dengan porsi konsumsi produk pangan berbasis jagung responden. Korelasi
antara variabel frekuensi dan porsi konsumsi menunjukkan angka sebesar -
0.042. Angka tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat lemah
(dianggap tidak ada) dan korelasi yang dihasilkan merupakan korelasi negatif.
Korelasi negatif ini menunjukkan arah yang berlawanan. Hubungan kedua
variabel tidak signifikan karena angka probabilitasnya 0.693>0.05 seperti
terlihat pada Tabel 16
Tabel 16. Hasil Analisis Korelasi Antara Variabel Frekuensi Konsumsi
dan Porsi Konsumsi Produk Jagung Responden
frekuensi Porsi
Spearman's
rho
Frekuensi Correlation
Coefficient 1.000 -.042
Sig. (2-tailed) . .693
N 92 92
Porsi Correlation
Coefficient -.042 1.000
Sig. (2-tailed) .693 .
N 92 93
Besarnya sumbangan atau peranan variabel frekuensi terhadap porsi konsumsi
dapat dihitung dengan rumus koefisien determinasi :
KD = r2 x 100%
= -0.0422 x 100%
= 0.017 %
Hasil ini dapat menjadi kesimpulan bahwa semakin tinggi frekuensi
konsumsi produk jagung belum tentu menyebabkan semakin meningkatnya
porsi konsumsi akan produk tersebut karena pengaruh yang diberikan tidak
signifikan, hanya sebesar 0.017%. Hal ini mungkin dapat diperjelas dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003) yang melakukan kajian
mengenai perilaku konsumen terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Hasil
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam
hal kepuasan yang didapatkan saat mengonsumsi produk-produk pangan non
beras antar responden (n=200). Sebanyak 60% responden merasa kepuasan yang
didapat saat mengkonsumsi pangan non beras tidak sama dengan saat
mengonsumsi nsi. Adanya ketidakpuasan ini disebabkan karena tingkat
kekenyangan yang didapatkan berbeda. Konsumsi produk jagung yang
didominasi sebagai produk camilan menyebabkan porsi konsumsinya hanya
terbatas.
E. KANDUNGAN AFLATOKSIN PRODUK JAGUNG DI TINGKAT
PETANI, TINGKAT BAHAN BAKU DAN TINGKAT PRODUK
AKHIR
a. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan Metode Thin Layer
Chromatography (TLC)
Aflatoksin adalah mikotoksin yang paling sering ditemukan pada jagung
(Cole et al. ,1982). Kontaminasi aflatoksin juga mungkin dapat menjadi lebih
parah ketika tanaman yang sedang tumbuh mengalami kondisi kering dalam
waktu yang cukup lama (Winter dan Helferich, 2001).
Pencegahan pembentukan aflatoksin selama masa pra-panen sangatlah
sulit, terlebih kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan menjadi suatu
resiko yang berkelanjutan (Winter dan Helferich ,2001). Menurut Winter dan
Helferich (2001), kontaminasi aflatoksin pada makanan mulai terjadi ketika
spesies aflatoksigenik dari Aspergillus flavus berkoloni dan kemudian didukung
oleh kondisi yang tepat untuk memproduksi toksin.
Selama ini, analisis mengenai kandungan aflatoksin pada produk jagung
lebih banyak ditekankan kepada produk jagung di tingkat petani dan bahan baku
saja, sedangkan analisis terhadap produk akhir masih belum banyak dilakukan.
Analisis aflatoksin menggunakan metode Thin Layer chromatography (TLC)
dilakukan terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Limit deteksi kadar
aflatoksin yang dapat terukur menggunakan metode ini adalah 4 ppb untuk
aflatoksin B1 dan G1 dan 3 ppb untuk aflatoksin B2 dan G2. Pembahasan pada
penelitian lebih ditekankan kepada aflatoksin B1 karena keseluruhan sampel
hanya mengandung ketiga jenis aflatoksin lainnya di bawah limit deteksi.
Prevalensi cemaran aflatoksin pada berbagai tingkatan sampel dapat dilihat pada
Tabel 17
Tabel 17. Prevalensi Cemaran Aflatoksin Pada 3 Kategori Sampel
Kategori Jumlah
Sampel
Jumlah Sampel
Terkontaminasi
% Terkontaminasi
Aflatoksin B1*
Jagung pipil 6 2 33.33%
Produk intermediate 9 4 44.44%
Produk akhir 10 4 40%
* limit deteksi aflatoksin B1 adalah 4 ppb
Data di atas menunjukkan bahwa sampel jagung pipil sudah mulai
terkontaminasi aflatoksin. Hal ini dapat ditunjukkan dari data yang
menggambarkan bahwa 2 dari 6 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 (33.33%).
Sampel yang mengandung aflatoksin di bawah limit deteksi diasumsikan tidak
terkontaminasi aflatoksin. Titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin pun
dapat dinyatakan sudah mulai terjadi pada sampel jagung pipil yang berasal dari
petani. Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. (1993), kontaminasi aflatoksin
pada jagung berawal dari petani, kemudian meningkat selama masa
penyimpanan oleh pedagang pengumpul. Lebih lanjut, Deshpande (2002)
menyatakan bahwa Aspergillus flavus sudah dapat memproduksi aflatoksin
sebelum masa panen.
Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. (1994), suatu survei yang
dilakukan oleh BULOG dan Tropical Product Institute (TPI) menunjukkan
bahwa 27% contoh jagung yang dikumpulkan dari beberapa propinsi di
Indonesia mengandung aflatoksin lebih dari 20 ppb. Survei yang dilakukan oleh
Biotrop pada tahun 1985 menunjukkan bahwa 6 dari 11 contoh tepung jagung
yang sedang dikeringkan dan diperoleh dari Pedagang Pengumpul Pedesaan
(PPP) di Provinsi lampung mengandung 2-83 ppb aflatoksin B1 (Rahayu dan
Dharmaputra dalam Dharmaputra et al., 1993), sedangkan survey pada tahun
1992 menunjukkan bahwa 35 contoh jagung yang diperoleh dari petani,
pedagang pengumpul pedesaan (PPP), pedagang pengumpul menengah dan
pedagang besar di provinsi Lampung mengandung aflatoksin 23.4 – 367.4 ppb.
Tiga puluh contoh mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb (Dharmaputra et al.,
1993).
Prevalensi terbesar terdapat pada sampel produk intermediate dimana 4
dari 9 sampel terkontaminasi aflatoksin. Sampel-sampel bahan mentah yang
positif terkontaminasi aflatoksin adalah tepung jagung, menir jagung, beras
jagung, serta 1 merk maizena. Sampel-sampel pada kategori ini diproduksi
tanpa melalui proses pemasakan, yakni hanya melewati proses pengecilan
ukuran saja. Lamanya penyimpanan sebelum dimulainya proses produksi
sampel jenis ini pun diduga dapat menjadi penyebab kontaminasi aflatoksin.
Hasil analisis aflatoksin pada 6 sampel uji jagung pipil secara lengkap
dapat dilihat pada Gambar 13.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
kadar
aflatoksin
(ppb)
JPP4 P3 PCR 3 JG P6 P7
Gambar 13. Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Pipil
Keterangan :
JPP 4 = jagung pipil 1 JG = jagung pipil gorontalo
P3 = jagung pipil 2 P6 = jagung pipil 4
PCR 3 = jagung pipil 3 P7 = jagung pipil 5
Berdasarkan grafik, keenam sampel yang berada pada tingkatan petani
memiliki kadar aflatoksin pada batas yang masih diperbolehkan, yakni di bawah
20 ppb. Sebanyak 5 sampel didapat dari daerah Bojonegoro, sedangkan sisanya
merupakan jagung pipil kering Gorontalo yang dijadikan bahan baku dalam
pembuatan maizena. Kondisi ini kemungkinan besar didukung oleh adanya
upaya perbaikan yang cukup efektif dalam hal produksi jagung dimana cara
bercocok tanam merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam
menghindari kontaminasi aflatoksin pada jagung (Jonas dalam Dharmaputra et
al., 1994). Selain itu, Widstrom et al. (1990) mengatakan bahwa kondisi
lingkungan terutama temperatur dan RH selama musim tanam merupakan faktor
yang mempengaruhi terjadinya kontaminasi aflatoksin pada jagung.
Penelitian lain mengenai prevalensi aflatoksin pada beberapa tingkatan
sampel pernah dilakukan oleh Balitsereal pada tahun 2005. Berdasarkan hasil
penelitian ini, pada umumnya produk biji jagung dari petani sampai pedagang
0.0 <4 <4
11.98
19.63
0.0
pengumpul/pengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu
kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian 47,62% sampel terinfeksi aflatoksin
dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38% sampel terinfeksi dengan kadar 72,0
ppb – 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi (>72,0 ppb) ditemukan pada tingkat
pedagang pengumpul/pengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat
pengering pada saat berlangsungnya penelitian (Balitsereal, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Toha (2008), kadar air contoh
jagung pipil dengan kode P3, P6 dan P7 berkisar antara 13.5-14.9 %. sedangkan
kelembaban relatif, aw dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu
kisaran antara 50-54 %, 0.74-0.81 dan 34.5 oC. Pada sampel P3 dan P6, populasi
Aspergillus flavus belum ditemukan, sedangkan pada sampel P7 telah ditumbuhi
Aspergillus flavus sebanyak 102 cfu/g. Akan tetapi, ketiga sampel ini masih
memiliki kandungan aflatoksin pada level yang aman.
Kandungan aflatoksin tertinggi dimiliki oleh jagung pipil dengan kode JPP
4 yakni sebesar 19.63 ppb. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan populasi
Aspergillus flavus yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan sampel lain,
yakni sebesar 360 cfu/g, sedangkan untuk sampel jagung gorontalo tidak
dilakukan analisis Aspergillus flavus.
Analisis kandungan aflatoksin juga dilakukan terhadap sampel uji produk
intermediate yang terdiri dari tepung jagung, menir jagung, beras jagung, nasi
jagung, maizena dan babycorn. Hasil analisis aflatoksin pada 9 sampel produk
intermediate secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 14.
BC = Baby corn
PBB 4 = Maizena 1
PBB 6 = Maizena 2
PBB 5 = Maizena 3
0
5
10
15
20
25
30
35
40
kadar
aflatoksin
(ppb)
PBB1 PBB3 PBB2 NJ MH BC PBB4 PBB6 PBB5
Gambar 14 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk
Intermediate
Keterangan :
PBB1 = Menir Jagung
PBB3 = Tepung Jagung
PBB2 = Beras Jagung
NJ = Nasi Jagung
MH = Maizena 4
Sebanyak 4 sampel merupakan maizena dengan 4 merk berbeda yang
didapat di daerah Bogor, sedangkan tepung jagung didapat dari daerah
Bojonegoro. Maizena dan tepung jagung merupakan jenis bahan baku yang
populer digunakan masyarakat dan industri pangan. Keberadaan aflatoksin pada
kedua jenis bahan ini akan berkaitan erat dengan kandungan aflatoksin yang
terdapat pada produk akhir.
Menurut SNI tahun 1995, definisi tepung jagung adalah tepung yang
diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea Mays LINN) yang baik dan
bersih. Mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, tepung
jagung yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini mengandung
aflatoksin melewati batas maksimal yang ditetapkan, yakni 20 ppb untuk
<4 <4 <4 <4 <4
7.92 9.8
38.84
29.65
aflatoksin B1 sedangkan keseluruhan sampel maizena memiliki kandungan
aflatoksin yang masih berada pada batas yang aman.
Menurut Sinha (1993), sangat sulit untuk menghilangkan kandungan
mikotoksin di dalam bahan pada kondisi lingkungan yang normal. Selain itu,
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan
makanan antara lain yaitu galur cendawan, nutrisi yang dikandung substrat,
kadar air bahan, suhu dan kelembaban relatif lingkungan dan lama penyimpanan
(Diener dan Davis ,1969). Menurut Butler (1974) substrat yang berbeda akan
berpengaruh terhadap pembentukan aflatoksin.
Selanjutnya, hasil analisis aflatoksin pada 10 sampel uji produk akhir
secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 15.
0
20
40
60
80
100
120
140
kadar
flatoksin (ppb)
PJ8 KJ PJ5 PJ6 PC PJ4 CS PU GJ PJ3
Gambar 15 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk Akhir
Keterangan :
PJ 8 = Marning tradisional PJ 4 = Brondong jagung
KJ = Keripik jagung CS = Snack Corn Stick
PJ 5 = Emping jagung PU = Jagung puff
PJ 6 = tortilla GJ = Grontol Jagung
PC = Popcorn PJ 3 = Snack Jagung
9.64
<4 <4 <4 <4 <4 0.0
43.99
4.99
137.53
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dharmaputra et al. (1993)
didapatkan bahwa kandungan aflatoksin pada produk olahan jagung umumnya
lebih rendah daripada jagung itu sendiri. Hal ini tidak sejalan dengan hasil
analisis yang didapat. Seperti terlihat pada Gambar 15, kadar aflatoksin masing-
masing sampel cukup beragam.
BPOM RI menetapkan batas aflatoksin dalam makanan yang dikonsumsi
tidak melebihi 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan 35 ppb untuk aflatoksin total.
Pada penelitian ini, sebanyak 20% (2 dari 10 sampel) contoh jagung pada
tingkatan produk akhir mengandung aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb.
Produk corn stick yakni produk cemilan dalam kemasan memiliki kadar
aflatoksin sebesar 0 ppb. Dharmaputra dan Putri (1997) mengungkapkan bahwa
produk olahan jagung yang berupa makanan ringan melalui banyak proses dan
biasanya dicampur dengan bahan lain seperti zat aditif. Bahan-bahan tersebut
kemungkinan berpengaruh terhadap kandungan aflatoksin yang terdapat pada
produk-produk olahan jagung. Akan tetapi, hal yang cukup mengkhawatirkan
dapat diamati dari hasil analisis dimana berondong jagung memiliki kadar
aflatoksin yang paling tinggi diantara keseluruhan sampel di berbagai tingkatan.
Tingginya kandungan aflatoksin ini telah melewati batas aman yang ditetapkan
BPOM RI, yakni sebesar 20 ppb. Kandungan aflatoksin yang tinggi ini diduga
karena pada produk berondong jagung jumlah populasi Aspergillus flavusnya
memang cukup tinggi. Selain itu, proses pengolahan popping pada pembuatan
berondong jagung hanya menggunakan suhu proses sekitar 144-1490C dimana
aflatoksin masih dapat bertahan. Snack jagung puff juga memiliki kadar
aflatoksin yang melewati batas yang telah ditetapkan oleh BPOM. Padahal, jenis
produk dalam kemasan ini cukup populer dikonsumsi masyarakat beberapa
tahun terakhir ini. Produk-produk dengan kondisi seperti ini semestinya sudah
tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan efek bahaya terhadap
kesehatan manusia. Menurut Viquez et al. seperti dikutip oleh Putri (1996),
faktor kimiawi seperti nutrisi dan substrat memegang peranan penting dalam
pembentukan aflatoksin. Jagung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi
dan kandungan nitrogen yang rendah merupakan substrat yang baik untuk
produksi aflatoksin. Seperti dikutip oleh Samson et al. (1981), kebanyakan
pembentukan aflatoksin juga dipengaruhi oleh keberadaan beberapa asam
amino, asam-asam lemak serta mineral Zn.
Secara keseluruhan, dari 25 sampel yang diuji kandungan aflatoksinnya,
sebanyak 4 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb. Penelitian
yang pernah dilakukan oleh Biotrop pada tahun 1997 menyebutkan bahwa dari 9
sampel produk olahan jagung yang diperoleh dari pasar swalayan, sebanyak 4
sampel terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar 10-20 ppb.
b. Korelasi Kandungan Aflatoksin dan Populasi Aspergillus flavus Pada Sampel
Jagung Pipil dan Produk Intermediate
Aspergillus flavus adalah mikroflora yang umum ditemukan di udara dan
tanah. Spesies ini juga umum ditemukan pada gandum, jagung, biji kapas, beras,
barley, dedak, tepung, kacang, kedelai sorghum cabe bubuk, kopra, millet, tree
nuts, biji kopi hijau, dibanding komoditi lain (Winter dan Helferich, 2001).
Diener dan Davis (1987) melaporkan bahwa inokulum awal Aspergillus
flavus pada jagung diduga berasal dari koloni cendawan yang bersporulasi.
Koloni tersebut berasal dari miselium yang terdapat pada sisa bahan tanaman
yang membusuk di tanah dan atau dari spora yang terbawa angin. Produksi
aflatoksin bergantung pada galur Aspergillus flavus (Diener dan Davis, 1969)
dan dipengaruhi oleh keberadaan spesies cendawan lain yang berkompetisi
dengan Aspergillus flavus (Choudhary dalam Dharmaputra et al., 1994).
Kemungkinan keberadaan populasi fungi serta kontaminasi aflatoksin
akan lebih tinggi pada biji jagung yang pecah ataupun retak. Menurut
Deshpande (2002), serangan Aspergillus flavus dapat terjadi pada saat tanaman
masih berada di lahan ataupun pada saat penyimpanan.
Perlakuan pasca panen dapat berpengaruh terhadap serangan cendawan.
Pada umumnya, kadar air jagung yang baru saja dipanen masih tinggi, sehingga
merupakan substrat yang sesuai untuk pertumbuhan cendawan dan produksi
mikotoksin. Oleh karena itu, pengeringan merupakan tahapan yang penting
untuk mencegah serangan cendawan pada jagung
Hasil analisis aflatoksin pada beberapa sampel dihubungkan dengan hasil
analisis Aspergillus flavus yang dilakukan oleh Toha (2008) untuk dilihat
korelasinya. Sebanyak 16 sampel dianalisis total Aspergillus flavus dan
kandungan aflatoksinnya seperti terlihat pada Tabel 18
Tabel 18. Hasil Analisis Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin
Kode Sampel Total
A.flavus (cfu/g)
Kadar
aflatoksin B1(ppb)
Jagung pipil 1 0 0
Jagung pipil 2 0 0
Jagung pipil 3 102 0
Jagung pipil 4 1.8 x 102 19.63
Jagung pipil 5 1.8 x 102 0
Menir jagung 0 9.8
Beras jagung 0 29.65
Tepung Jagung 103 38.84
Maize 1 0 0
Maize 3 0 0
Maize 2 0 7.92
Snack 0 0
Brondong Manis 102 137.53
Emping 0 0
Tortila Meksiko 0 0
Marning 0 9.64
*)Sumber : Toha, 2008
y = 0.0322x + 5.3545
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 200 400 600 800 1000 1200
total A. flavus
kad
ar
afl
ato
ksin
(p
pb
)
Gambar 17 . Korelasi Populasi Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin
Pada Sampel Jagung Pipil dan Produk Intermediate
Menurut Makfoeld (1993), pati jagung biasanya tidak begitu banyak
mengandung fungi di dalamnya (di bawah 102 koloni/gram). Hal ini sesuai
dengan hasil analisis dimana ketiga sampel maizena sama sekali tidak
ditumbuhi oleh koloni Aspergillus flavus. Total Aspergillus flavus paling tinggi
terdapat pada sampel tepung jagung, yakni sebesar 103 cfu/g. Akan tetapi,
berondong jagung yang diketahui memiliki kandungan aflatoksin tertinggi
masih memiliki total Aspergillus flavus yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan tepung jagung. Sampel beras jagung dan menir jagung yang diuji
menunjukkan kadar aflatoksin melewati batas aman meskipun populasi
Aspergillus flavus dinyatakan tidak ada. Padahal, jenis produk ini merupakan
produk yang hanya melewati proses pengecilan ukuran saja dimana proses
tersebut semestinya tidak akan menyebabkan penurunan jumlah populasi
Aspergillus flavus. Populasi Aspergillus flavus kemungkinan telah ada sejak
pasca panen sehingga kemungkinan juga sudah mulai memproduksi aflatoksin.
Akan tetapi, proses pengeringan yang berlangsung sebelum terjadinya
pengecilan ukuran menyebabkan pertumbuhan Aspergillus flavus terhambat,
sementara residu aflatoksin masih tertinggal pada bahan.
Berdasarkan analisis statistik, kandungan aflatoksin memiliki korelasi
positif dengan populasi Aspergillus flavus. Analisis regresi hanya dilakukan
pada sampel jagung pipil dan produk intermediate saja. Hal ini dikarenakan
produk akhir umumnya memiliki korelasi yang bervariasi. Pada tabel dapat
dilihat bahwa sampel produk akhir yang populasi Aspergillus flavus-nya tinggi
belum tentu kandungan aflatoksinnya juga tinggi. Proses pengolahan yang
dilakukan pada saat memproduksi produk olahan jagung umumnya
mengakibatkan jumlah populasi Aspergillus flavus menurun bahkan hilang sama
sekali. Penelitian yang dilakukan oleh Dharmaputra et al. (1993) menemukan
bahwa terdapat korelasi positif antara populasi Aspergillus flavus dan
kandungan aflatoksin pada sampel jagung yang diambil di tingkat petani dan
pedagang di propinsi Lampung.
Menurut Diener dan Davis (1969) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan makanan antara lain yaitu galur
cendawan, nutrisi yang dikandung substrat, kadar air bahan, suhu dan
kelembaban relatif lingkungan, dan lama penyimpanan. Populasi Aspergillus
flavus sp.dan produksi aflatoksin dapat dipengaruhi oleh metabolit yang
dihasilkan oleh jagung. Selain itu, jenis metabolit yang dihasilkan bergantung
kepada varietas jagung. Pada penelitian ini, sampel yang diperoleh berasal dari
berbagai varietas jagung sehingga menghasilkan variasi terhadap hasil analisis
yang didapat.
]
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Survey tingkat kesukaan responden terhadap produk jagung di Bogor dan
Bojonegoro menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh masyarakat.
Preferensi yang ditunjukkan responden di kedua lokasi cukup bervariasi.
Responden Bojonegoro umumnya menyukai produk berbasis jagung dalam
bentuk camilan. Responden Bogor memiliki preferensi lebih tinggi terhadap
produk tradisional dibandingkan jenis produk lainnya. Sedangkan produk-produk
instan terkesan kurang begitu diminati responden di kedua lokasi. Selanjutnya,
berkaitan dengan ketersediaan, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi
konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Akses responden
Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung sudah terdistribusi secara merata
baik di pasar, warung, minimarket maupun supermarket sedangkan responden
Bogor lebih memilih warung dan minimarket sebagai lokasi membeli. Hal ini
terkait dengan kemudahan dalam menjangkau lokasi.
Tempat berdomisili yang berbeda di antara dua kategori responden tidak
mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap produk jagung tetapi mempengaruhi
frekuensi konsumsi responden. Hal ini terkait dengan adanya pengalaman masa
kecil yang juga turut mempengaruhi perkembangan preferensi konsumen akan
suatu produk. Akan tetapi, frekuensi konsumsi yang tinggi tidak menjamin
besarnya porsi konsumsi produk jagung. Upaya pengembangan produk pangan
berbasis jagung perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Responden lebih
menawarkan opini dari segi inovasi produk. Hal ini mengindikasikan belum
begitu bervariasinya produk jagung yang beredar di pasaran. Opini yang terkait
dengan keamanan pangan belum mendapat perhatian yang cukup serius dari
responden.
Berkaitan dengan perbaikan mutu, upaya perbaikan konsumsi juga harus
diikuti dengan upaya peningkatan keamanan pangan. Berdasarkan hasil analisis
aflatoksin, sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan
kadar melebihi batas yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Produk
ini semestinya sudah tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Aflatoksin juga sudah
ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih < 20
ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara
keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel
jagung pipil dan produk intermediate.
B. Saran
Perbaikan survey perlu dilakukan dengan memperbanyak jumlah
responden dan memperluas wilayah survey. Selain itu, karakteristik responden
lain seperti tingkat pendapatan sebaiknya juga dijadikan variabel yang diteliti
dalam survey konsumsi selanjutnya. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin,
perbaikan penanganan komoditi jagung perlu dilakukan mulai dari penanganan
pascapanen hingga proses produksi produk olahan jagung.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwirman. 1992. Analisis Usaha Tani Jagung Berdasarkan Berbagai Bentuk
Produk. Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Tesis.
Agrotek, 2006. Menjadi Eksportir Jagung Dunia:Terlalu Ambisiuskah?. Edisi
Agustus-Sepetember.
Anonim. 2007. Produksi Jagung NTT Rendah. www. ntt online. org. 19 Mei
2008.
Anonim. 2007. www.sciencedaily.com/releases/2007/06/070628071623.htm.
Image courtesy of CABI
Anonim. 2007. http://www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp
Balitsereal. 2007. Proses Pascapanen Menunjang Perbaikan Kualitas Produk Biji
Jagung. www.Balitsereal.com
Azmi, N. 2004. Analisis Tekno-Ekonomi Pendirian Agroindustri Corn Starch,
Gluten Feed dan Gluten Meal. Program Studi Teknologi Industri Pertanian.
Fakultas Pasc Sarjana IPB.
Bainton, S. J., R. D. Coker, B. D. Jones, E. M. Morlet, M. J. Naglerand dan R. L.
Turner. 1980. Mycotoxin Training Manual. Tropical Product Institute.
London. Pp. 18-22.
Betina, V. 1989. Mycotoxins : Chemical, Biological and Environmental Aspects.
Elsevier, New York.
Blanney, B. J., C. J. Moore dan L. Tyler. 1984. Mycotoxins and fungal damaged
in maize harvested during 1982 in Far North Queensland. Aust. J. Agric.
Res. 35 : 463-471
Bogley, C. V. 1997. Aflatoxins. http:www. Micotoxins. Com. Br/buletin 11. html.
20 Agustus 2007.
Bullerman, L. B., L. L. Schroeder and K. Y. Park. 1984. Formation and Control of
Mycotoxin in Food. J. Food Protection. 47 : 637-646.
Butler, W. H. 1974. Aflatoxin. In Purchase, I. F. H (ed). Mycotoxins. Elsevier
Scientific Publishing Company, Amsterdam. Pp. 1-10.
Cazes, J. 2005. Encyclopedia of chromatography volume 2. Boca Raton : Taylor
& Francis.
Christensen, C. M. dan H. H. Kauffman. 1969. Grain Storage : The Role of Fungi
and Quality Loss. University of Minnesota, Minneapolis.
Cole, R. J., R. A. Hill, P. D. Blankenship, T. H. Sandera and K. H. Garren. 1982.
Influence of irrigation and drought stress on invasion by Aspergillus flavus
on corn kernels and peanut pods. Publication of the Society for Industrial
Microbiology.
den Hertog, A. P. dan W. A. Von Staveren. 1983. Manual for Social Surveys of
Food Habits and Consumption in Developing Countries. Pudoc
Wageningen, Netherlands.
Deshpande, S. S. 2002. Handbook of Food Toxicology. Marcel Dekker, New
York.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SM 01-3920-1995. Badan Standardisasi
Nasional, Jakarta.
Dewi, S. T. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian oleh
Konsumen Restoran Tradisional Sunda. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. IPB, Bogor.
Dharmaputra, O. S. , I. Retnowati, Sunjaya dan S. Ambarwati. 1993. Populasi
Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin pada Jagung di Tingkat
Petani dan Pedagang di Propinsi Lampung. SEAMEO Biotrop, Bogor.
Dharmaputra, O. S., Ina R. , Hadi K.P., 1994. Survei Penanganan Pascapanen,
Butir Rusak, Serangan Cendawan dan Kontaminasi Mikotoksin pada
Jagung. SEAMEO Biotrop.
__________. 1996. Pengaruh Beberapa Cara Penyimpanan Terhadap Serangan
Cendawan dan Produksi Mikotoksin pada Jagung. SEAMEO Biotrop.
Dharmaputra, O. S. Dan A. S. Putri. 1997. Populasi Aspergillus flavus dan
Kandungan Aflatoksin pada Jagung, Pakan Ayam dan Produk Olahan
Jagung. SEAMEO Biotrop.
Diener, U.L. dan N.D. Davis. 1969. Aflatoxin formation by Aspergilus flavus. Di
dalam: L.A. Godblatt (ed.) Aflatoxin Scientific Background, Control and
Implication. Academic Press, New York.
_________. 1987. Biology of A. Flavus and A. Parasiticus. In Zuber, M. S., E. B.
Lillehoj and B. L. Renfro (eds.). Aflatoxin in Maie. A proceeding of the
workshop C\MMYT, Mexico City.
Fachrina, A. 2005. Pola Konsumsi Pangan pada Rumah Tangga Miskin di
Pedesaan dan Perkotaan di Lima Propinsi Pulau Jawa. Departemen Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Skripsi.
Fassatiova, O. 1986. Moulds and Filamentous Fungi in Technical Microbiology.
Elsevier Scientific Publishing Company, New York.
Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology.Tata McGraw Hill
Publ. Co., Ltd., New Delhi.
Guhardjo, S. dan B. Chapman. 1984. Jadwal Kegiatan Ibu Rumah Tangga dan
Kebiasaan Jajan Kelurga. Dalam B. Chapman (W. K. Harsanugraha,
penerjemah). Makanan Jdi Indonesia : Peranan Pedagang Kecil dalam Supli
Makanan Masyarakat Kota. Equity Policy Center. Bogor.
Hardinsyah, T. Eliawati dan C. M. Dwiriani. 2001. Konsumsi Pangan Tradisional
pada Siwa Remaja di Kota Bogor. Di dalam : Pangan Tradisional, Basis
bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. PKMT, Bogor.
Harper, L.J., B.J. Deaton, dan J.A. Driskel. 1985. Pangan, Gizi, dan Pertanian
(Suhardjo, Penerjemah). UI Press, Jakarta.
Heathcote, J. G. 1984. Aflatoxin and Related Toxins. Di dalam: Betina, V., (ed).
Mycotoxins: Production, Isolation, Separation, and Purification. Elsevier
science Publisher. Amsterdam.
Helferich, W. And Winter, C. K. 2001. Food Toxicology. CRC Press, Florida.
Hosang, E. 2006. Jagung Srikandi Menyelamatkan Masyarakat NTT dari Gizi
Buruk. Majalah. Sinar tani edisi 17-23 mei 2006.
Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Imron, A. 2007. Dampak Kebijakan ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal
Terhadap Kinerja Pasar Jagung dan Produk Turunannya di Indonesia.
Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Tesis.
Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. 5th edition. Chapman and Hall, New
York.
Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan
Kajian Preferensi Konsumen. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi.
Skripsi.
Kemal, E. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat .
Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, Jakarta.
Khumaidi. 1989. Gizi Mayarakat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU, IPB Bogor.
Krausz, JP. 2001. Aflatoxin in Texas. URL. http : /Plant pathology. Tamu.
Edu/aflatoxin/ effects.htm. 4 Maret 2008.
Kusbiantoro, Bram. 1984. Kandungan Aflatoksin pada Beberapa Jensi Beras di
Gudang Depot Logistik Wilayah Bandung dan Cirebon. Fakultas Teknologi
Pertanian. Skripsi.
Makfoeld, D. 1993. Mikotoksin Pangan. Kanisius, Yogyakarta.
Meiselman, H. L dan Macfie, H. J. H. 1996. Food Choice Acceptance and
Consumption. Chapman and Hall, London.
Murni, R. 1993. Penggunaan Zeolit untuk Meningkatkan Daya Simpan Ransum
dan Pengaruhnya Terhadap kandungan Aflatoksin Serta Kadar Nutrien
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis
Nadeak, H. 2004. Analisis Atribut Pasar Swalayan dan Pengaruhnya Terhadap
Keputusan Kunjungan Konsumen. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian. IPB, Bogor.
Nielsen, S. 1998. Food analysis 2nd ed. Maryland: Aspen Publisher.
Purba, S. 2006. Analisis Respon Konsumen Terhadap Kualitas Pelayanan
Matahari . Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisinis. IPB, Bogor.
Putri, A.S. R. 1996. Pengaruh Jenis dan Alas Kemasan Terhadap Serangan
Kapang, Produksi Mikotoksin dan Susut dalam Penyimpanan Jagung .
Fakultas Pascasarjana, IPB.
Roestamsjah, S. T., Sumardi, Tigor N., Djoko S., Barizi, Susono S. dan E. K. M.
Masinambow. 1989. Kebiasaan Pangan di Daerah Pedesaan dan Kota dari
Sebelas Suku Bangsa di Indonesia. Prosiding Widya Karya Pangan dan
Gizi. LIPI. Jakarta.
Samson, R. A., E. S. Hoekstra, C. A. N. Van Oorschot. 1981. Introduction to Food
Brone Fungi. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and
Sciences.
Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. Prentice Hall,
Engle Wood Cliffs, New York.
Setiawan, A. P. 2006. Kebiasaan Konsumsi Makanan Kudapan dan Kontribusinya
Terhadap Kecukupan Energi dan Protein pada Mahasiswa TPB IPB dengan
Status Gizi Kurang. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga. IPB, Bogor.
Setyawan, H. 2006. Analisis Sikap dan Preferensi Konsumen dalam Pembelian
Produk Bakery Tradisional Kartika Sari Bakery Bandung. Program Sarjana
Ekstensi Manajemen Agribisinis. IPB, Bogor
Shanhan, J. F, and Brown, Jr WM. 2001. Aflatoxins.
http://www.ext.colostate.edu/pubs/crops/ 00306. html#top. 20 Agustus
2007.
Siagian, V. 2003. ”Voucher” Pangan untuk Diversifikasi Pangan. www.sinar
harapan. 19 Mei 2008.
Sinha, K. K. 1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal. 8(3) : 87-93.
Situngkir, R. U. 2005. Aplikasi Kultur Bakteri Asam laktat dengan Gram untuk
Mereduksi Aspergillus flavus d Aflatoksin pad Proses Pengolahan Kacang
Asin. Sekolah Pascasarjana IPB. Tesis.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU Pangan dan Gizi. Bogor.
_______. 1989. Petunjuk Laboratorium Berbagai Cara Pendidikan Gizi.
Departemen Pendidikan dan Kebidayaan. PAU Pangan dan Gizi. IPB.
Bogor.
Suhardjo, Hardinsyah, dan H. Riyadi. 1988. Survey Konsumsi Pangan. PAU IPB.
Bogor.
Suhardjo dan H. Riyadi. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Depdikbud,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU, IPB.
Suryana, R. N. 1991. Analisis Respon Penawaran dan Keragaan Perekonomian
Jagung di Jawa Timur. Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor. Tesis.
Susanto, D., Roestamsjah dan Sumardi. 1992. Potensi Pola Makanan Tradisional :
Keragaan dari Study Kebiasaan Pangan (Food Habits) di Indonesia dan
Strategi Pelestariannya. Pertemuan Ilmiah Sehari : Melestarikan dan
Memantapkan Kebudayaan Kebiasaan Pangan Tradisionl di Perkotaan dan
Pedesaan Menghadapi Arus Westernisasi dan Urbanisasi. Dewan Riset
Nasional, Jakarta.
Susanto, D. 1993. Prospek Pengembangan Makanan Tradisional Rakyat
Indonesia. Seminar Pangan Tradisional dlm Rangka Penganekaragamn
Pangan. Jakarta.
White, P. J. and Lawrence A. J. 2003. Corn : Chemistry and Technology, 2nd
edition. American Association of Cereal Chemists, USA.
Widstrom, N. W.m W. W. Mc William, R. W.Beaver and D. M. Wilson. 1990.
Wheather-associated changes in aflatoxin contamination of preharvest
maize. Journal Product Agricultural 3 : 196-199.
Winarno, F. G. 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademis. IPB. Bogor.
Winarno, F. G. 1993. Makanan Tradisional, Keamanan, Gizi dan Khasiat.
Seminar Pangan Tradisional Dalam Rangka Penganekaragaman Pangan.
Jakarta.
Yasminia, D. 2003. Perilaku Konsumen Remaja Terhadap Makanan Tradisional
Sunda di Bogor. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi.IPB, Bogor.
Lampiran 1. Produk-Produk Olahan Jagung
Emping jagung corn stick
Baby corn Marning jagung
Maizena Honig Keripik jagung
Jagung pipil Tortilla
Berondong jagung Beras Jagung
Jagung puff Tepung jagung
Popcorn
Jagung gorontalo
Menir Jagung
Nasi jagung
Lampiran 2. Kuesioner Survey Konsumsi Jagung
KUESIONER SURVEY KONSUMSI JAGUNG
Nama : Umur : Jenis Kelamin :
1. Apakah Saudara suka makan produk jagung? a. Suka b. Biasa/netral c. Tidak Suka
2. Berapa kali rata-rata Saudara makan produk jagung dalam seminggu? a. 1x b.2x c. 3x d. lainnya….. 3. Dari beberapa produk jagung di bawah ini, produk mana yang sering Saudara
makan?
No Nama Produk Ket No Nama Produk Ket
1 HappyTos Tortilla Chips
6 Keripik Jagung dalam Kemasan (eq.Merk Quindo)
2 Sereal sarapan corn flakes segala merk (Nestle, Kellogs, dsb)
7 Snack marning bulat dan pecah dalam kemasan
3 Snack Turbo segala rasa (jagung puff)
8 Sup Krim Jagung Royco
4 Popcorn siap makan 9 Sup krim jagung impor dalam kaleng merk Vinisi & Campbells
5 Popcorn mentah (diolah terlebih dahulu)
10 Produk-produk pangan tradisional
Keterangan : Beri tanda sesuai keterangan di bawah ini + = jarang +++ = sering ++ = kadang-kadang 4. Berapa banyak Saudara mengkonsumsi produk jagung tersebut dalam 1x
konsumsi? - Kemasan plastik : a. Bungkus kecil = .... bungkus b. Bungkus besar = ..... bungkus - Kemasan kaleng : ...... kaleng - Produk jajanan tradisional : ...... porsi - Sereal sarapan : ........ porsi 5. Darimana Saudara memperoleh produk jagung tersebut? a. Pasar b. warung c. Minimarket (Alfamart, Indomaret,dll) d. Supermarket 6. Menurut Saudara, langkah apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
konsumsi jagung di Indonesia? a. Memperbanyak variasi produk jagung yang lebih menarik b. Lainnya .................
Lampiran 3. Data Uji Kuesioner Case Processing Summary
N %
Cases Valid 24 82.8
Excluded(a)
5 17.2
Total 29 100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.806 12
Item Statistics
Mean Std. Deviation N
VAR00001 2.1250 .53670 24
VAR00002 1.9167 .82970 24
VAR00003 1.7917 .65801 24
VAR00004 1.7083 .69025 24
VAR00005 1.9583 .90790 24
VAR00006 2.1250 .85019 24
VAR00008 1.5000 .65938 24
VAR00007 2.1250 .99181 24
VAR00010 2.3750 .92372 24
VAR00011 1.3750 .57578 24
VAR00012 1.3750 .57578 24
VAR00013 2.1250 .94696 24
Item -Total Statis tics
20.3750 27.201 .060 .818
20.5833 27.645 -.058 .838
20.7083 24.650 .420 .795
20.7917 22.433 .752 .767
20.5417 24.346 .296 .809
20.3750 21.984 .642 .773
21.0000 23.826 .554 .785
20.3750 20.940 .650 .770
20.1250 22.549 .504 .787
21.1250 24.027 .614 .783
21.1250 23.853 .647 .780
20.3750 22.071 .546 .783
VAR00001
VAR00002
VAR00003
VAR00004
VAR00005
VAR00006
VAR00008
VAR00007
VAR00010
VAR00011
VAR00012
VAR00013
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Correc ted
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Lampiran 4. Analisis SPSS Tingkat Kesukaan Responden Bojonegoro
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: hasil
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 419.020(a) 51 8.216 31.576 .000
responden .327 48 .007 .026 1.000
kesukaan 7.020 2 3.510 13.490 .000
Error 24.980 96 .260
Total 444.000 147
a R Squared = .944 (Adjusted R Squared = .914)
Post Hoc Tests hasil
Duncan
kesukaan N Subset
1 2
netral 49 1.39
suka 49 1.71
tidak suka 49 1.92
Sig. 1.000 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .260. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 49.000. b Alpha = .05.
Lampiran 5. Analisis SPSS Tingkat Kesukaan Responden Bojonegoro
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: hasil
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 253.174(a) 48 5.274 20.796 .000
kesukaan 7.841 2 3.920 15.457 .000
responden .000 45 .000 .000 1.000
Error 22.826 90 .254
Total 276.000 138
a R Squared = .917 (Adjusted R Squared = .873)
Post Hoc Tests hasil
Duncan
kesukaan N Subset
1 2
tidak suka 46 1.00
suka 46 1.46
netral 46 1.54
Sig. 1.000 .410
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .254. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.
Lampiran 6. Analisis SPSS Tempat Memperoleh Produk Jagung Responden
Bojonegoro
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pilihan
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 566.191(a) 50 11.324 43.640 .000
responden .702 46 .015 .059 1.000
sumber .191 3 .064 .246 .864
Error 35.809 138 .259
Total 602.000 188
a R Squared = .941 (Adjusted R Squared = .919)
Post Hoc Tests pilihan Duncan
sumber N Subset
1
supermarket 47 1.70
warung 47 1.70
minimarket 47 1.77
pasar 47 1.77
Sig. .587
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .259. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 47.000. b Alpha = .05.
Lampiran 7. Analisis SPSS Tempat Memperoleh Produk Jagung Responden
Bogor
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pilihan
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 466.333(a) 48 9.715 44.735 .000
responden 10.000 44 .227 1.047 .411
sumber 5.083 3 1.694 7.802 .000
Error 28.667 132 .217
Total 495.000 180
a R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .921)
Post Hoc Tests pilihan
Duncan
sumber N Subset
1 2
minimarket 45 1.36
warung 45 1.49
pasar 45 1.73
supermarket 45 1.76
Sig. .177 .821
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .217. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 45.000. b Alpha = .05.
Lampiran 8. Analisis SPSS Frekuensi Konsumsi Produk Jagung Responden
Bojonegoro
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pilihan
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Model 594.099(a) 51 11.649 49.923 .000
responden .245 47 .005 .022 1.000
frekuensi 2.349 3 .783 3.356 .021
Error 32.901 141 .233
Total 627.000 192
a R Squared = .948 (Adjusted R Squared = .929)
Post Hoc Tests pilihan Duncan
frekuensi N Subset
1 2
1 kali 48 1.67
<1 kali 48 1.67
2 kali 48 1.75 1.75
3 kali 48 1.94
Sig. .430 .059
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .233. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.000. b Alpha = .05.
Lampiran 9. Analisis SPSS Frekuensi Konsumsi Produk Jagung Responden
Bogor
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pilihan
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 586.783(a) 49 11.975 93.896 .000
responden .478 45 .011 .083 1.000
frekuensi 15.783 3 5.261 41.250 .000
Error 17.217 135 .128
Total 604.000 184
a R Squared = .971 (Adjusted R Squared = .961)
Post Hoc Tests pilihan Duncan
frekuensi N
Subset
1 2
<1 kali 46 1.26
1 kali 46 1.85
3 kali 46 1.96
2 kali 46 1.98
Sig. 1.000 .100
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .128. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.
Lampiran 10. Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung Selama Periode 5
Tahun Terakhir di Bojonegoro
No Jenis Makanan Frekuensi Konsumsi Persentase dari 50
jarang Kadang-
kadang
sering Responden
(%)
n % n % n %
1. Tortilla 22 68.75 10 31.25 - - 64
2. Sereal sarapan
corn flakes
19 79.17 5 20.83 - - 48
3. Snack jagung
puff
19 63.33 8 26.67 3 10 60
4. Popcorn siap
makan
20 57.14 12 34.28 3 8.58 70
5. Popcorn siap
dimasak
21 84 4 16 - - 50
6. Keripik jagung 20 60.61 8 24.24 5 15.15 66
7. Snack marning
bulat dan pecah
21 55.26 13 34.21 4 10.53 76
8. Sup krim jagung 16 76.19 5 23.81 - - 42
9. Sup krim jagung
impor dalam
kaleng
19 82.61 3 13.04 1 4.35 46
10. Produk-produk
pangan
tradisional
17 51.51 11 33.33 5 15.15 66
Lampiran 11. Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung Selama Periode 5
Tahun Terakhir di Bogor
No Jenis Makanan Frekuensi Konsumsi Persentase dari 50
jarang Kadang-
kadang
sering Responden
(%)
n % n % n %
1. Tortilla 19 54.28 15 42.86 1 2.86 70
2. Sereal sarapan
corn flakes
18 81.82 2 4.54 2 4.54 44
3. Snack jagung
puff
14 46.67 15 50 1 3.33 60
4. Popcorn siap
makan
16 55.17 13 44.83 - 58
5. Popcorn siap
dimasak
12 70.59 5 29.41 - 34
6. Keripik jagung 15 65.22 5 21.74 3 13.04 46
7. Snack marning
bulat dan pecah
17 73.91 5 21.74 1 4.35 46
8. Sup krim jagung 18 90 2 10 - 40
9. Sup krim jagung
impor dalam
kaleng
15 88.23 2 11.77 - 34
10. Produk-produk
pangan
tradisional
11 29.73 18 48.65 8 21.62 74
Lampiran 12. Analisis SPSS Opini Responden Bojonegoro
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: HASIL
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 403.087(a) 51 7.904 162.954 .000
RESPONDE .000 45 .000 .000 1.000
OPINI 27.420 5 5.484 113.068 .000
Error 10.913 225 4.850E-02
Total 414.000 276
a R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .968)
Post Hoc Tests HASIL Duncan
OPINI N
Subset
1 2
distrb.promosi 46 1.00
kshtn 46 1.00
lain2 46 1.02
harga 46 1.04
kualitas&kuantitas 46 1.07
variasi 46 1.87
Sig. .212 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4.850E-02. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.
Lampiran 13. Analisis SPSS Opini Responden Bogor
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: HASIL
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 395.478(a) 51 7.754 94.200 .000
RESPONDE .000 45 .000 .000 1.000
OPINI 19.812 5 3.962 48.134 .000
Error 18.522 225 8.232E-02
Total 414.000 276
a R Squared = .955 (Adjusted R Squared = .945)
Post Hoc Tests HASIL Duncan
OPINI N
Subset
1 2
lain2 46 1.00
kshtn 46 1.02
harga 46 1.04
kualitas&kuantitas 46 1.07
distrb.promosi 46 1.11
variasi 46 1.76
Sig. .108 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8.232E-02. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.
Lampiran 14. Analisis SPSS Korelasi Lokasi-Kesukaan
Case Process ing Summ ary
94 94.0% 6 6.0% 100 100.0%kesukaan * lokasi
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
kesukaan * lokas i Crosstabulation
Count
4 0 4
30 25 55
14 21 35
48 46 94
tidak suka
netral
suka
kesukaan
Total
Bjnegoro Bogor
lokasi
Total
Chi-Square Tes ts
5.815a 2 .055
7.367 2 .025
94
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig.
(2-s ided)
2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 1.96.
a.
Lampiran 15. Analisis SPSS Korelasi Lokasi-Frekuensi
Case Process ing Summ ary
92 92.0% 8 8.0% 100 100.0%frekuensi * lokasi
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
frekuens i * lokas i Crosstabulation
Count
16 35 51
16 7 23
12 1 13
3 2 5
47 45 92
0
1
2
3
frekuensi
Total
Bjnegoro Bogor
lokas i
Total
Chi-Square Tes ts
20.074a 3 .000
21.998 3 .000
92
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig.
(2-s ided)
2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 2.45.
a.
Lampiran 16. Analisis Korelasi Frekuensi Konsumsi dan Porsi Konsumsi
Nonparametric Correlations
Correlations
frekuensi porsi
Spearman's rho frekuensi Correlation Coefficient 1.000 -.042
Sig. (2-tailed) . .693
N 92 92
porsi Correlation Coefficient -.042 1.000
Sig. (2-tailed) .693 .
N 92 93
Lampiran 17. Analisis Korelasi Kesukaan dan Frekuensi Konsumsi
Nonparametric Correlations
Correlations
kesukaan frekuensi
Spearman's rho kesukaan Correlation Coefficient 1.000 .031
Sig. (2-tailed) . .770
N 94 91
frekuensi Correlation Coefficient .031 1.000
Sig. (2-tailed) .770 .
N 91 92
Lampiran 18. Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Produk Jagung
No SAMPEL UJI KANDUNGAN
AFLATOKSIN (PPB)
KETERANGAN
B1 B2 G1 G2
I Tingkatan Petani
1. Jagung pipil 1 19.63 <3 <4 <3 Pemipil
2. Jagung pipil 2 0.00 <3 <4 <3 Petani
3. Jagung pipil 3 0.00 <3 <4 <3 Pengecer
4. Jagung pipil 4 11.98 <3 <4 <3 Penjual
5. Jagung pipil 5 <4 <3 <4 <3 Petani
6. Jagung pipil 6 <4 <3 <4 <3 Petani
II Tingkatan Bahan Baku/Bahan
Mentah
1. Menir Jagung 9.8 <3 <4 <3 BPPT Bojonegoro
2. Tepung Jagung 38.84 <3 <4 <3 BPPT Bojonegoro
3. Beras Jagung 29.65 <3 <4 <3 BPPT Bojonegoro
4. Nasi Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual
5. Maizena 1 <4 <3 <4 <3 Penjual
6. Baby corn <4 <3 <4 <3 Penjual
7. Maizena 2 <4 <3 <4 <3 Penjual
8. Maizena 3 7.92 <3 <4 <3 Penjual
9. Maizena 4 <4 <3 <4 <3 Penjual
III Tingkatan Produk Akhir
1. Marning Jagung 9.64 <3 <4 <3 Penjual
2. Keripik Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual
3. Emping Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual
4. Jagung Meksiko <4 <3 <4 <3 Penjual
5. Popcorn <4 <3 <4 <3 Penjual
6. Brondong Jagung 137.53 <3 <4 <3 Penjual
7. Corn Stick 0.00 <3 <4 <3 Penjual
8. Jagung puff 43.99 <3 <4 <3 Penjual
9. Grontol Jagung 4.99 <3 <4 <3 Penjual
10. Snack Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual