Post on 02-Mar-2019
11
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Surimi
Surimi merupakan konsentrat dari protein myofibrilar yang diperoleh dari
daging ikan. Sifat-sifat utamanya adalah membentuk gel yang elastis dan kuat
melalui perlakuan panas. Selain itu, disamping sebagai bahan gel, sifat-sifat
protein surimi yang baik yaitu sebagai bahan pengikat, dan bahan pengemulsi.
Oleh karena itu, surimi terutama digunakan sebagai ingredient structural dalam
formulasi seafood analog (Suzuki 1981).
2.1.1 Pengertian surimi dan penggunaannya
Menurut Okada (1992), surimi merupakan istilah Jepang yang
menunjukkan pasta dari gilingan daging ikan yang dibentuk selama proses
pembuatan kamaboko yakni suatu produk tradisional Jepang berbasis surimi. Saat
daging ikan dipisahkan dari kulit dan duri secara mekanis dinamakan hancuran
daging ikan yang merupakan bahan awal untuk produksi surimi. Apabila hancuran
daging ikan dicuci dengan air, untuk menghilangkan lemak dan komponen-
komponen larut air, ini akan dihasilkan surimi. Surimi merupakan konsentrat dari
protein miofibrilar ikan dan mempunyai kemampuan dan pembentukan gel,
pengikatan air, pengikatan lemak dan sifat-sifat fungsional dibandingkan hancuran
daging ikan. Perkembangan produk baru yang berbasis surimi yaitu produk analog
seperti analog daging, analog kepiting dan surimi kering.
Surimi beku adalah daging ikan yang dihaluskan yang telah dicuci dengan
air, dicampur dengan gula dan polifosfat, dan kemudian dibekukan. Selanjutnya
dari surimi beku dapat dibuat berbagai macam produk lanjutan diantaranya adalah
baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya, yang
spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel. Menurut Ramirez
et al. (1999), surimi adalah konsentrat protein miofibrilar yang bermutu tinggi
yang diperoleh dari otot ikan. Aplikasi dari protein surimi terutama karena sifat-
sifat yang lebih baik sebagai bahan pengikat, gel dan pengemulsi, dibandingkan
protein tanaman yang saat ini digunakan dalam analog daging. Surimi terutama
12
digunakan sebagai ingredient structural dalam formulasi produk analog,
sedangkan surimi yang dikeringbekukan berfungsi sebagai bahan pengemulsi
pada produk sosis.
Menurut Suzuki (1981), terdapat 3 (tiga) tipe surimi yaitu : (1) Mu-en
Surimi yaitu surimi yang dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan
yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan fosfat, tanpa penambahan garam
dan telah mengalami pembekuan; (2) Ka-en Surimi yaitu surimi yang dibuat
dengan cara menggiling hancuran daging ikan, yang telah dicuci dan dicampur
dengan gula dan garam tanpa penambahan fosfat dan telah mengalami proses
pembekuan; (3) Na-ma Surimi yaitu surimi yang tidak mengalami pembekuan.
Surimi komersial mempunyai kadar air 75 persen, protein 18 persen, lemak
kurang dari 0,5 persen dan bahan-bahan lain 6,5 persen (Park et al. 1996).
Komposisi proksimat surimi dari beberapa jenis ikan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi proksimat surimi beku dari beberapa jenis ikan
Surimi Beku Air (%) Abu (%) Protein (%)
Lemak (%)
Bahan dari ikan nila merah (Oreochromis nilotica)* 78 0,42 15,1 0,48
Bahan dari ikan fat sleeper (Dormitator maculatus)* 75 0,35 18,1 0,57
Bahan dari ikan Layang (Decopterus sp)** 82,36 0,58 12,18 3,82
Bahan dari ikan Marlin (Makaira sp)** 81,66 0,53 11,82 3,53
Keterangan: * : Ramirez et al., 1999 ** : BPPMHP 2004
2.1.2 Sifat-sifat surimi
Ramirez et al. (2002), mengatakan bahwa salah satu sifat surimi adalah
membentuk gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Gel yang fleksibel
dan elastis tersebut terbentuk jika Surimi dicampur dengan garam, yang melalui
proses pelumatan akan terbentuk sol, dan dengan pembentukan dan pemanasan
akan terbentuk gel (Roussel dan Cheftel 1988). Gelasi dari protein larut garam
13
selama proses dengan panas terutama berperan pada stablisasi lemak dan air,
pengikatan hancuran daging ikan, kemudian membentuk kembali produk
(McCord et al. 1998). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel
adalah bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan
(Lan et al. 1995).
Penggunaan garam pada proses pembentukan gel yaitu sebagai bahan
pelarut myofibril. Untuk kosentrasi kurang dari 2 persen miofobril tidak dapat
terlarut, sementara pada konsentrasi lebih dari 12 persen myofibril terhidrasi yang
disebabkan efek salting-out dari garam. Untuk konsentrasi 2 - 3 persen merupakan
penggunaan yang umum pada beberapa spesies ikan dan jenis produk, karena
pada kisaran yang lebih tinggi akan memberikan rasa asin (Tan et al. 1988;
Shimizu dan Toyohara 1994).
Gelasi termal dari otot ikan terjadi dalam tiga tahapan proses yaitu:
(1) disosiasi dari struktur myofibril oleh kelarutan protein dengan adanya garam;
(2) terbukanya sabagian struktur protein yang disebabkan perlakuan panas;
(3) agregasi dari protein yang terbuka melalui ikatan kovalen dan non kovalen
untuk membentuk jaringan tiga dimensi (Stone and Stanley 1992 yang diacu
dalam Benjakul et al. 2001).
Perubahan dari sol menjadi gel tersebut melewati tiga tahap proses, yaitu
suwari, modori, dan ashi. Suwari (setting) terjadi pada suhu kurang dari 50°C,
merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan-lahan berubah
menjadi gel yang elastis (Tan et al. 1988; Roussel dan Cheftel 1988). Fenomena
ini menurut Ramirez et al. (2002), berkaitan dengan endogenous calcium-
dependent transglutaminase. Mexican flounder tidak menunjukan fenomena
setting ini; yang kemungkinan disebabkan rendahnya level kalsium akibat tahap
pencucian pada saat proses pembuatan surimi (Ramirez et al. 2002).
Modori merupakan gejala degradasi gel, dimana gel menjadi tidak elastis
dan fragile. Modori berarti ”kembali” yaitu kembali ke tekstur awal daging ikan.
Gejala modori biasanya terjadi pada suhu 60-65°C (Roussel dan Cheftel 1990;
Ramirez et al. 2002). Gejala modori bervariasi tergantung kondisi biologi yaitu
kesegaran, umur, lokasi penangkapan dan musim. Ou et al. (2000), menemukan
bahwa pada suhu 40°C terjadi gejala modori pada surimi dari paddle fish
14
(Polydon spathula), dimana degradasi miosin tersebut dapat dikurangi dengan
menambahkan plasma sapi. Pada pembentukan gel surimi dari sardin, gejala
modori terjadi pada pemanasan pada suhu 50- 60°C (Alvarez et al. 1999). Gejala
modori tersebut berkaitan dengan adanya aktivasi dengan panas terhadap protein
otot, terutama cathepsin (Ramirez et al. 2002), cathepsin-cysteine proteinase (An
et al. 1996); dan serine-proteinase (Cao et al. 2000). Ramirez et al. (2002),
menemukan bahwa ekstrak biji legume mengandung protease inhibitir yang
spesifik terhadap serine-proteinase, yang dapat menghambat aktivitas proteolitik
pada gel surimi dari Mexican flounder dan Atlantic croacker, sehingga
mengurangi hidrolisis miosin dan aktin. Oleh karena itu, kisaran suhu tersebut
harus dilewati agar gel yang mulai terbentuk pada tahap setting tidak mengalami
kerusakan atau degradasi.
Gel ashi terbentuk setelah melewati dua zone suhu tersebut. Oleh karena
itu jika sol dipertahankan dalam waktu yang cukup lama pada zona suhu
terjadinya gel suwari atau dengan cepat melewati zona suhu terjadinya gel
modori, akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Tan et al. (1988), melakukan
prinsip pemanasan dua tahap yaitu setting pada suhu 40°C selama 20 menit
dilanjutkan dengan pemanasan pada 90°C selama 20 menit; dimana pada
pemanasan 90°C bertujuan untuk pemasakan dan sterilisasi. Ou et al. (2000),
menemukan bahwa maksimum kekuatan gel dapat dicapai dengan pre-inkubasi
pada 70°C diikuti dengan pemasakan pada 90°C.
Gel surimi yang terbentuk dapat diuji kekuatan gelnya dengan tekstur
analyzer, atau diuji dengan Texture Profile Analysis atau secara subyektif dapat
dilakukan dengan melakukan uji lipat dan uji gigit. Selain itu juga ditentukan dari
warna yang menunjukan derajat putih, yang secara obyektif dapat diukur dengan
Whitenessmeter atau Chromameter. Menurut Tan et al. (1988), surimi komersial
yang bermutu baik mempunyai nilai uji lipat AA dan masih dapat diterima jika
mempunyai nilai uji gigit 5-6.
15
2.1.3 Bahan utama surimi
Bahan utama yang digunakan pada pembuatan surimi adalah daging ikan,
sehingga perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan ikan segar
sebagai bahan baku surimi. Awalnya surimi diolah dari ikan Alaska Pollack yang
merupakan sumber bahan baku terbesar di Jepang dan mempunyai sifat fungsional
yang baik (Suzuki 1981; Tan et al. 1988; Okada 1992).
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Meskipun begitu,
ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan mempunyai kemampuan
pembentukan gel yang bagus yang akan memberikan hasil surimi yang lebih baik.
Miyake et al. (1985), menyatakan bahwa surimi dapat dibuat dari berbagai jenis
ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai kemampuan membentuk gel, rasa dan
penampakan yang baik. Umumnya ikan berdaging putih mempunyai kemampuan
membentuk gel yang lebih baik dibandingkan dengan ikan berdaging merah. Ikan
marlin dan mackerel mempunyai kemampuan pembentukan gel baik. Ikan air
tawar biasanya mempunyai kemampuan pembentukan gel yang kurang baik,
demikian juga udang dan keong (Shimizu dan Toyohara 1994). Ikan berdaging
merah seperti sardin dan bonito biasanya mempunyai gel yang kurang baik (Yu
1993). Untuk mendapatkan tekstur gel yang baik, ikan sardin yang pada saat mati
mempunyai pH 5,6 – 5,8 perlu ditingkatkan menjadi pH 6,4 – 8,4 (Roussel dan
Cheftel 1990).
Jenis ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi harus mempunyai nilai
kesegaran yang tinggi, sebab tidak mungkin akan diperoleh mutu yang baik dari
ikan yang tidak segar (Tan et al. 1988). Dengan berbagai alternatif jenis yang
digunakan tersebut maka dimungkinkan untuk mencampur berbagai spesies ikan
yang berbeda untuk mendapatkan sifat-sifat yang baik (Suzuki 1981; Shimizu dan
Toyohara 1994).
2.2 Industri Pengolahan Surimi
Sejak dimulainya industri surimi beku di Jepang tahun 1960, penelitian,
teknologi pengolahan dan peralatan mulai dikembangkan (Noguchi 1984).
Teknologi pengolahan surimi yang saat ini paling banyak digunakan oleh industri
16
adalah teknologi dengan metode rotary rinser/screw press. Secara umum alir
proses pengolahan surimi terdiri dari persiapan bahan baku, penghilangan tulang,
pencucian daging lumat, pengurangan kadar air (pengepresan), penapisan
(straining), penambahan bahan tambahan dan pembekuan (Gambar 2). Skema
proses pengolahan dan peralatan yang digunakan pada industri surimi beku
dijelaskan pada Gambar 3.
2.2.1 Penanganan bahan baku
Selain jenis, kesegaran bahan baku merupakan hal penting dalam proses
pengolahan surimi. Surimi dengan mutu tinggi tidak akan dihasilkan bila
digunakan bahan baku yang kurang segar, meskipun diolah dengan teknologi
tinggi (Uno dan Nakamura 1958). Selain itu, protein ikan (aktin dan miosin)
masih tinggi sehingga kemampuan mengikat air pun tinggi.
Pada umumnya, ikan di kapal trawl memiliki kesegaran yang sangat tinggi
(ditangani < 24 jam setelah ditangkap), yang dapat diolah menjadi surimi dengan
kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku yang digunakan di
kapal pengumpul atau di industri surimi di darat karena telah mengalami
penyimpanan beberapa hari setelah penangkapan. Untuk kapal pengolah dapat
dengan mudah berpindah tempat dari satu fishing ground ke fishing ground
lainnya, maka kebutuhan bahan baku dapat diatur sesuai dengan kapasitas
produksi sehingga ikan yang digunakan selalu dalam kondisi sangat segar, karena
ikan langsung diolah tidak lebih dari 12 jam setelah ditangkap (Lee 1986).
Jika ikan tidak langsung diolah maka harus disimpan pada suhu di bawah
5oC. Untuk penanganan ikan di atas kapal, refrigerated sea water (RSW)
merupakan metode penyimpanan ikan yang sangat baik untuk mempertahankan
mutu bahan baku surimi karena metode ini mampu mendinginkan ikan secara
cepat dengan distribusi suhu yang merata dan tidak merusak ikan. Namun metode
ini disarankan tidak lebih dari 2 hari karena garam yang terkandung dalam larutan
akan masuk ke dalam daging ikan dan menyebabkan denaturasi protein (Lee
1986), sehingga perlu adanya pengawasan terhadap suhu dan waktu penyimpanan.
17
PROSES TUJUAN METODE
SEMI MODERN
MODERN
IKAN SEGAR
Pencucian Cuci dalam air es
Mendinginkan ikan Rotary fish washer
Rotary fish washer
Penyiangan Membuang kepala dan
isi perut Pisau Mesin
Cuci dalam air
es Menghilangkan sisik dan darah
Rotary fish washer
Rotary fish washer
Pemisahan daging Memisahkan daging
dari tulang, duri dan kulit
Meat-bone separator
Meat-bone separator
HANCURAN / LUMATAN DAGING (MINCED MEAT) Leaching Air es (1 : 4) +
0,3% garam (2 kali)
Menghilangkan protein larut air, darah, lemak dan bau
Tanki leaching Tanki leaching
Pengepresan Membuang air
Mengepres Membuang air cucian Mengatur kadar air
Rotary sieve Rotary sieve
kelebihan air Sampai 80-82% Hidraulic press Screw press
LUMATAN DAGING YANG TELAH DICUCI (LEACHED MEAT) Straining Menghilangkan sisa
kulit, duri dan sisik Strainer
Pencampuran 3-5% gula halus
0,2% poliposfat Mengurangi freeze-denaturation dan meningkatkan WHC
Mixer silent cutter
Pengepakan Dalam plastik
PE Pengemasan Manual Filling machine
Pembekuan - 30oC Suhu pusat –20oC
dalam waktu 4-6 jam Contact/air blast
freezer
SURIMI BEKU
Kotak karton –(18oC –20oC)
Mengurangi dehidrasi selama penyimpanan beku
Cold storage
Gambar 2 Alir proses pengolahan surimi beku (Tan et al. 1988).
19
Untuk penyimpanan jangka pendek, penyimpanan cukup di dalam peti
berinsulasi. Dengan menyusun ikan secara berlapis dengan hancuran es sampai
penuh dengan perbandingan antara ikan dan es adalah 1 : 3. Dengan cara seperti
ini suhu ikan dapat dipertahankan rendah (sekitar 0oC) dan kesegaran ikan dapat
dipertahankan hingga beberapa hari.
Dalam mengolah surimi, diperlukan daging ikan yang bermutu tinggi,
karena itu segala cara yang ditempuh harus selalu disertai upaya mempertahankan
mutu daging ikan. Dalam hal ini penggunaan suhu rendah merupakan suatu yang
mutlak diperlukan, baik selama penyiangan, pembilasan, pelumatan hingga
pengemasan.
2.2.2 Sortasi
Penanganan awal untuk ikan hasil tangkapan di kapal adalah memisahkan
tangkapan utama dari jenis ikan lainnya. Bila bahan baku digunakan untuk surimi,
sebaiknya pemisahan ikan dilakukan juga berdasarkan ukuran, sehingga bila
diolah secara mekanis kecepatan mesin dan rendemen fillet dapat ditingkatkan.
Sortasi juga dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan mesin sortir.
Jika kulit ikan tidak dibuang, harus dilakukan pembuangan sisik untuk
mencegah terjadinya akumulasi dan penyumbatan pada mesin pemisah daging
(meatbone separator) pada proses selanjutnya. Pencucian dan pembuangan sisik
dilakukan secara simultan, menggunakan alat dengan sistem rotary (berputar)
(Toyoda et al. 1992).
2.2.3 Pemfilletan
Pada tahap pemfilletan, dilakukan juga proses pemotongan kepala,
pembuangan insang dan tulang. Penyiangan dilakukan dengan hati-hati agar isi
perut tidak mencemari daging.
Pemotongan kepala berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas
(rendemen) surimi, jika pemotongan terlalu ke depan maka isi perut masih tersisa
dan menyebabkan mudah terjadi kemunduran mutu, tetapi jika pemotongan terlalu
ke belakang maka rendemen yang dihasilkan akan kecil. Isi perut ikan harus
20
dibuang seluruhnya, karena banyak mengandung lemak dan enzim protease serta
menjadi sumber bakteri yang dapat dengan cepat menurunkan mutu ikan yang
mengakibatkan turunnya kemampuan pembentukan gel surimi (Suzuki 1981).
Selain itu,isi perut ikan akan berpengaruh terhadap penampakan produk karena
mengakibatkan warna surimi dan produk olahannya menjadi gelap.
Pemfilletan dapat dilakukan secara manual atau mekanis. Apabila ikan
yang diolah dalam jumlah besar, jenis dan ukuran sama, penggunaan mesin
penyiangan (gutting machine) akan lebih efisien. Namun apabila jumlah ikan
sedikit, ukuran ikan tidak seragam atau dikerjakan dalam skala kecil, penyiangan
secara manual lebih sesuai.
Ukuran, musim dan kondisi biologis ikan (bertelur atau tidak) sangat
menentukan rendemen yang dihasilkan, namun yang paling penting adalah cara
atau proses pengolahannya (Toyoda et al. 1992).
2.2.4 Pemisahan daging ikan
Pemisahan daging adalah kegiatan memisahkan daging ikan dari tulang,
sirip dan kulit. Pemisahan daging dilakukan dengan menggunakan meat-bone
separator (Gambar 4). Dengan alat ini, ikan akan terpisah dari kulitnya.
Prinsipnya, ikan dipres di antara silinder logam yang berlubang dan berputar.
Ikan yang telah disiangi dan dicuci bersih, diletakkan di antara sabuk
(conveyor belt) dan silinder berlubang yang berputar dengan kedua sisi yang
bergerak berlawanan arah sehingga ikan akan terjepit diantara keduanya. Daging
ikan akan masuk ke dalam silinder melalui lubang sedangkan bagian tulang dan
kulit mengikuti arah perputaran conveyor belt dan jatuh ke tempat pembuangan.
Daging yang masuk ke dalam silinder dan telah terpisah dari kulit, tulang dan duri
disebut daging lumat (minced fish). Selama proses pemisahan suhu ikan harus
dipertahankan tetap rendah, demikian juga alat yang digunakan.
Diameter lubang silinder berpengaruh terhadap proses leaching
dewatering, rendemen dan mutu surimi. Besarnya diameter lubang berkisar
antara 4 – 7 mm disesuaikan dengan ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Untuk
meningkatkan kapasitas produksi dan rendemen, digunakan lubang silinder yang
lebih besar namun tetap disesuaikan dengan kekuatan alat.
21
Bila digunakan ikan berkulit, penempatan ikan di alat sangat penting.
Bagian daging diletakkan menghadap silinder sehingga kulit tidak menghalangi
masuknya daging ke silinder.
Gambar 4 Meat-bone separator.
2.2.5 Pembilasan (leaching)
Daging ikan lumat yang keluar dari alat pemisah daging biasanya
berwarna gelap karena mengandung sisa darah, lemak dan kotoran lainnya.
Pembilasan dengan air dingin merupakan tahap yang paling penting dalam
pembuatan surimi.
Pembilasan daging ikan lumat dilakukan untuk mengeluarkan garam
organik, protein larut air (water soluble protein), pigmen, bakteri, produk yang
tidak dapat dihancurkan/terurai, dan mereduksi kadar lemak. Pembilasan daging
ikan lumat juga melarutkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat
pembentukan gel. Secara umum dilakukan dengan air dingin, diikuti dengan
22
pengepresan (Grantham 1981). Larutnya protein sarkoplasma akan meningkatkan
konsentrasi protein miofibril, yang berperan sangat penting dalam pembentukan
gel. (Noguchi 1982).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas leaching dan mutu
surimi, adalah :
1) Frekuensi dan waktu leaching
Frekuensi dan waktu leaching dipengaruhi oleh jenis, komposisi dan
kesegaran ikan. Pada umumnya, komponen-komponen yang mudah larut dapat
dengan mudah terbuang pada pembilasan pertama, tetapi diperlukan waktu
tertentu untuk melarutkan water soluble component dari daging ikan. Ekstraksi
water soluble component daging ikan terjadi pada saat pembilasan yang disertai
dengan pengadukan dan dipengaruhi oleh waktu serta perbandingan antara air dan
minced fish. Waktu optimal pencucian antara 9 – 12 menit, jumlah protein yang
terlarut meningkat nyata seiring dengan bertambahnya waktu pembilasan, namun
berhenti setelah waktu tersebut (Lee 1986). Jika waktu pembilasan terlalu
panjang, minced akan menyerap banyak air sehingga akan mempersulit proses
pengepresan. Meskipun waktu leaching bervariasi tergantung dengan kesegaran
bahan baku, suhu air dan ukuran partikel daging ikan, tetapi 15 – 20 menit
merupakan waktu yang disarankan untuk industri surimi (Toyoda et al. 1992).
Pada umumnya, gelstrength akan meningkat dengan peningkatan
frekwensi pembilasan, terutama pada pencucian ke dua, namun dengan 2 kali
pembilasan belum mampu menghilangkan bau dan memudarkan warna daging
ikan dengan sempurna (Lee 1986).
2) Kualitas air
Air adalah faktor yang paling penting pada proses leaching. Faktor penting
dalam efektivitas proses leaching adalah konsentrasi larutan garam, pH dan suhu.
3) Kekuatan ion/konsentrasi garam anorganik
Kekuatan ion pada larutan leaching menyebabkan daging ikan cenderung
mengembang. Kekuatan ion larutan leaching yang lebih besar memudahkan
pengeluaran air dari daging ikan. Oleh karena itu, sangat sulit mengeluarkan air
23
dari daging yang telah mengembang, akibatnya kandungan air pada surimi
menjadi tinggi. Faktor penting yang terkait dengan kualitas air pada industri
surimi adalah level garam anorganik. Level garam anorganik yang tinggi,
khususnya Ca2+ dan Mg2+ akan mengganggu kemampuan pembentukan gel
surimi, yang menyebabkan terjadinya denaturasi actomiosin selama penyimpanan.
4) pH
pH larutan leaching berdampak terhadap water retention selama proses
leaching (Tokunaga dan Nishioka 1988; Lee 1986) dan water binding properties
serta kemampuan pembentukan gel (Shimizu et al. 1994). pH produk akhir sangat
tergantung dari pH bahan baku. Pembentukan gel optimal pada daging ikan
berkisar antara 6,5 – 7,0 sedangkan pada kondisi asam, protein miofibril
cenderung tidak stabil (Shimizu dan Toyohara 1994). Pada ikan berdaging merah,
segera setelah ikan mati pH daging akan turun hingga 5,7 – 6,0 sehingga
diperlukan perlakuan alkali (natrium bicarbonat) pada saat leaching untuk
mengatur pH daging ikan.
5) Suhu
Suhu pencucian harus tetap dijaga antara 3 – 10oC untuk mencegah
terjadinya denaturasi protein dan perkembangbiakan mikroorganisme. Selain itu,
fungsi protein akan menurun dengan cepat bila terjadi peningkatan suhu dan
protein miofibril akan kehilangan kemampuan pembentukan gel.
Pada awal dikembangkannya surimi, proses leaching dilakukan dengan
sistem batch dengan penambahan sejumlah air, kemudian minced fish diaduk dan
dibiarkan beberapa saat. Selanjutnya, endapan yang dihasilkan disaring. Proses
leaching dengan teknologi modern menggunakan sistem berkelanjutan, yang
terdiri dari leaching tank dan rotary screen (Gambar 5). Leaching tank dilengkapi
dengan pengaduk yang secara terus menerus dan secara otomatis berputar selama
proses leaching. Minced fish yang telah dicuci selanjutnya disaring menggunakan
rotary screen sebelum menuju proses leaching selanjutnya. Proses leaching
dilakukan beberapa kali sesuai yang diperlukan.
24
Gambar 5 Rotary screen/sieve.
Keuntungan perlakuan leaching adalah (1) melarutkan protein larut air
yang menganggu pembentukan gel sehingga kemampuan pembentukan gel
menjadi meningkat (2) memperbaiki warna dan penampakan (3) menghilangkan
bau yang tidak diinginkan (4) produk akhir mempunyai rasa tawar sehingga
memungkinkan untuk memberikan rasa sesuai yang diinginkan (Tan et al. 1988).
2.2.6 Pengepresan
Proses pengurangan kadar air terakhir merupakan kegiatan pengepresan
yang menggunakan alat screw press (Gambar 6). Pengepresan bertujuan untuk
mengurangi kadar air setelah pembilasan karena pada pengolahan surimi
diperlukan air yang cukup banyak selama proses pembilasan untuk melarutkan
kotoran, pigmen dan protein larut air. Setelah proses refining, kadar air produk
rata-rata sebesar 90% dan akan berkurang hingga 80 – 84% setelah pengepresan.
Screw press yang terdiri dari screw yang berputar dan screen yang berbentuk
silinder.
25
Kemampuan pengepresan screw press ditentukan dari ukuran lubang pada
screen. Semakin besar lubang maka semakin besar kemampuan pengepresan
tetapi kemungkinan daging keluar bersamaan dengan air juga besar. Ukuran
lubang yang biasa digunakan adalah 0,5 – 1,0 mm pada bagian inlet dan 1,0 – 2,0
mm pada outlet.
Gambar 6 Screw press.
2.2.7 Penyaringan
Tahap penyaringan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan
ikat, membran dan duri-duri halus yang masih tertinggal. Proses ini biasanya
dilakukan setelah pencucian dengan menggunakan alat strainer, dimana lumatan
daging ikan ditekan melalui alat yang mempunyai filter dengan ukuran mesh 1– 3
mm. Lumatan daging yang telah dicuci dimasukkan ke dalam mesin, daging akan
keluar melalui lubang dengan tekanan dari rotor. Daging yang putih dan lembut
akan keluar dari bagian depan refiner, sedangkan bagian-bagian ikan seperti
jaringan ikat, kulit, duri dan sisik yang tidak dapat keluar dari lubang tetapi
melalui bagian ujung strainer (Gambar 7).
26
Gambar 7 Strainer (Toyoda et al., 1992).
2.2.8 Pencampuran bahan tambahan
Pencampuran adalah proses penambahan dan mencampur bahan-bahan
krioprotektan, yaitu polifosfat, sorbitol dan gula untuk menstabilkan protein dan
mencegah denaturasi selama penyimpanan beku. Penambahan gula berkisar 3 –
5%, sorbitol sebesar 4 – 5 % dan polifosfat sebesar 0,2 – 0,3 %. Penambahan
cryoprotectant mampu meningkatkan tingkat N-aktomiosis dari 350 mg% menjadi
520 mg% (Lanier 1992). Dengan penambahan cryoprotectant, surimi belum
mengalami kehilangan mutu yang berarti selama penyimpanan 3 – 6 bulan.
Polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain
dinatrium phosfat (disodium monophosphate), natrium hexametaphosphat dan
natrium tripolifosfat (sodium tripoliphosphate). Fungsi polifosfat pada surimi
adalah untuk memperbaiki daya ikat air (water binding ability) dan memberikan
pasta yang lembut pada produk olahan surimi.
Pencampuran dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter hingga
didapatkan adonan yang benar-benar homogen (Gambar 8).
2.2.9 Pengepakan dan pembekuan
Setelah dicampur dengan bahan tambahan, surimi dikemas dalam plastik
hingga berbentuk blok kemudian dibekukan dengan sistem pembekuan cepat
27
hingga suhu produk mencapai – 30oC. Untuk kebutuhan industri, biasanya blok
surimi berukuran 10 kg/blok.
Gambar 8 Silent cutter.
Setelah beku, surimi dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam
gudang beku. Surimi dapat bertahan hingga satu tahun bila disimpan pada suhu
yang cukup baik (maksimal – 20oC), tanpa banyak mengalami perubahan sifat
fungsional. Fluktuasi suhu yang terjadi selama penyimpanan dapat menurunkan
kemampuan pembentukan gel pada surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992).
Pembekuan dapat mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi
produk dari kerusakan selama penyimpanan dalam jangka waktu lama (Sikorsi
dan Pan 1994). Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan terhadap nilai
protein produk (Desrosier 1988).
2.2.10 Rendemen surimi
Rendemen surimi sangat bervariasi tergantung dari jenis ikan, ukuran,
musim dan jenis teknologi yang digunakan, namun untuk memperoleh rendemen
yang tinggi diperlukan pengawasan pada tahap pemfilletan dan pemisahan daging
dari tulang dan duri. Proses pemfilletan hanya direkomendasikan untuk ikan-ikan
yang berukuran besar, sedangkan untuk yang berukuran kecil hanya diperlukan
pemotongan kepala dan pembuangan insang.
28
2.3 Sumber Bahan Baku
Menurut Okada (1992), bahan baku mince dan surimi dapat digunakan dari
berbagai jenis ikan, namun secara umum surimi di peroleh dari jenis ikan
demersal. Menurut Eong et al. (2003), saat ini penggunaan ikan pelagis sebagai
bahan baku surimi sudah mulai dikembangkan mengingat potensi ikan tersebut
yang melimpah dan rendah pemanfaatannya.
Tan et al. (1988) mengemukakan bahwa surimi dapat dibuat dari spesies
ikan tropis yang merupakan hasil sampingan trawl yaitu ikan kurisi (Nemipterus
sp), ikan mata besar (Priacanthus sp), ikan alu-alu (Sphypaena sp), ikan gulamah
(Argyrosomus amoyensis), ikan pisang-pisang (Caesio sp), ikan dorab (Chirocentrus
dorab), ikan beloso (Saurida sp), ikan kaca piring (Pentaprion longimanus), ikan
merah (Lutjanus sp). Surimi itoyori yang diproduksi di Thailand terutama terbuat
dari jenis ikan kurisi, cod, beloso, alu-alu, conger eel, wolf herring, gulamah,
jewfish, dan hiu. Beberapa jenis ikan di Indonesia yang menunjukkan kemampuan
gel yang baik adalah ikan cunang-cunang (Congresox talabon), ikan manyung
(Arius thalassinus), ikan pisang-pisang (Caesio chrysozonus), ikan ekor kuning
(Caesio sp), ikan kurisi (Nemipterus sp), ikan gulamah (Pseudociena amoyensis),
ikan nila merah (Oreochromis sp), dan ikan gabus (Ophiocephalus sp) (Istihastuti
et al. 1997). Demikian juga dengan ikan mujair dan ikan cucut sudah dicoba
sebagai bahan baku pengolahan surimi.
Perairan Arafura dan sebagian Maluku merupakan salah satu daerah
penangkapan udang dan ikan yang potensial dengan basis operasional kapal
penangkapan terdapat di Sorong, Ambon, Tual dan Benjina. Beberapa tahun
terakhir ini, basis penangkapan ikan berkembang ke daerah Merauke, Kendari dan
Bitung. Armada kapal yang beroperasional di wilayah laut Arafura sebanyak +
503 buah pukat udang dengan operasional penangkapan 50 – 70 hari untuk sekali
trip. Untuk pukat ikan (fish net) beroperasional di ZEEI laut Arafura sebanyak
766 buah dengan operasional penangkapan 15 hari dan 30 – 60 hari untuk sekali
trip (Sumiono 2000).
Komposisi rata-rata tangkapan ikan dari pukat ikan terdiri dari ikan
demersal sebanyak 38,45 persen, ikan rucah (trash fishes) 31,53 persen, ikan
29
pelagis 8,63 persen, udang 8,11 persen, cumi-cumi 2,06 persen, rajungan 4,59
persen dan lainnya 6,63 persen (Sumiono 2000). Di ZEE selatan Papua
didominasi oleh famili kakap 20,53 persen, gulamah 15,86 persen dan beloso
10,26 persen (Budiharjo et al. 1993). Untuk penangkapan udang di laut Arafura
didominasi udang jerbung (white shrimp) 45,4 persen, udang dogol (endeavour
shrimp) 27,9 persen, udang windu (tiger shrimp) 22,8 persen dan udang krosok
(mix shrimp) 17,1 persen (Sugianto 1998). Berdasarkan data produksi perikanan
tahun 2000, ikan-ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua sebesar 525.728 ton
yang didominasi oleh ikan pelagis yang dikarenakan penangkapan ikan disekitar
pantai didominasi oleh alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, jaring, bagan
apung, pancing tonda dan sero. Namun bila dilihat dari penangkapan di Laut
Arafura dan ZEEI Laut Arafura ikan-ikan yang tertangkap didominasi ikan
demersal (Tabel 2 dan Tabel 3).
Usaha penangkapan udang selalu memberikan hasil tangkap sampingan
(HTS) yang volumenya jauh lebih besar dari hasil udangnya. Persentase HTS
bervariasi menurut daerah penangkapan dan waktu. Menurus Allops (1981) di
daerah tropis rata-rata rasio HTS terhadap udang berkisar 10:1. Sumiono (2002)
menyatakan rasio udang dan ikan HTS pada penangkapan di laut Arafura adalah
1 : 12 dengan sebagian besar berupa ikan demersal.
Naamin dan Sumiono (1983) menyebutkan banyaknya HTS di Laut
Arafura diperkirakan mencapai 80 persen dari hasil tangkapan atau rata-rata 19
kali lebih besar dari hasil tangkapan udang. Menurut Widodo (1998) menyatakan
ikan HTS bervariasi antara 8 – 13 kali hasil tangkapan udang dengan estimasi
produksi udang laut sebesar 40.000 – 170.000 ton per tahun. Rasio HTS terhadap
udang di Laut Arafura dapat dilihat pada Tabel 4.
30
Tabel 2 Kelompok ikan yang didaratkan di Maluku dan Papua
Jenis ikan Jumlah (ton) Persentase (%) Pelagis Nomei Paperek Ekor kuning Layang Selar Tatengek Daun bambu/talang-talang Sunglir Ikan terbang Julung-julung Teri Tembang Japuh Lemuru Kembung Tuna Cakalang Tongkol Tenggiri
643
1.121 5.056 14.641 17.183 1.301 2.215 2.003 3.955 9.464 12.385 11.220 3.450 3.942 17.055 41.825 84.133 17.643 11.587
0,12 0,21 0,96 2,78 3,27 0,25 0,42 0,38 0,75 1,8 2,36 2,13 0,66 0,75 3,24 7,96 16,00 3,36 2,20
Jumlah 263.638 50,15 Demersal Ikan sebelah Ikan lidah Manyung Beloso Biji Nangka/Kuniran Bambangan Karapu Lencam Kakap Kurisi Swangi Gulamah/Tiga Waja Cucut Pari Bawal Alu-alu Kuwe Kuro/Senangin Layur
186 209
10.466 5.694 2.362 8.195 6.625 5.555 21.363 5.714 1.334 7.636 8.707 1.764 6.924 2.066 6.250 9.868 3.772
0,03 0,04 1,99 1,08 0,45 1,56 1,26 1,06 4,06 1,09 0,25 1,45 1,66 0,33 1,32 0,39 1,19 1,88 0,72
Jumlah 119.464 22,72 Ikan lain 142.626 27,13
Jumlah total 525.728 100 Keterangan : Data diolah dari produksi perikanan laut 2000.
31
Tabel 3 Jenis dan jumlah ikan dari hasil tangkapan pukat ikan/hauling
Jenis ikan Jumlah (kg) Persentase (%)
1.Kakap (Lutjanus sp) 2.Sebelah (Psettodes sp) 3.Biji Nangka (Openeus sp) 4.Selar Kuning (Selaroides sp) 5.Terubuk (Hilsa sp) 6.Alu-alu (Sphyraena sp) 7.Bawal (Formio dan Pampus) 8.Mata besar (Scolopsis sp) 9.Kakap (Lates calcarifer) 10. Kembung (Rastrelliger sp) 11. Bambangan (Lutjanus sp) 12. Ikan buntal (Lagocephalus sp) 13. Beloso (Saurida sp) 14. Lemuru (Sardinella sp) 15. Nomei (Harpodon sp) 16. Peperek (Leiognathus sp) 17. Kurisi (Nemiptherus sp) 18. Pisang-pisang (Caesio chrysozonus) 19. Ketang-ketang (Drepane sp) 20. Bulu Ayam (Thryssa sp) 21. Cendro (Triacanthus sp) 22. Layur (Trichiurus sp) 23. Swangi (Priacanthustayenus) 24. Japuh (Dusumieria sp) 25. Trompet (Fistularia sp) 26. Tenggiri (Scomberomorus sp) 27. Ekor kuning (Anthias sp) 28. Lencam (Lethrinus sp) 29. Pinjalo (Pristipomoides sp) 30. Gulamah (Argyrosomus amoyensis sp) 31. Tiga waja (Johnius dussumieri) 32. Baronang (Siganus sp) 33. Kerong-kerong (Therapon sp) 34. Gerot-gerot (Pomadasys sp)
17,5 28 9,8 18,2 14
87,5 24,5 14
22,4 25,2 21
15,4 315 11,9 14 980 21 14
19,6 14,7 5,6 27,3 5,6 14 7 28
18,2 21
17,5 14 35
16,1 17,5 26,6
0,89 1,43 0,50 0,93 0,72 4,47 1,25 0,72 1,14 1,28 1,07 0,79 16,09 0,61 0,72 50,05 1,07 0,72 1,00 0,75 0,29 1,39 0,28 0,72 0,35 1,43 0,93 1,073 0,88 0,72 1,79 0,82 0,89 1,36
Jumlah 1957,9 100
Sumber : Sumiono (2002)
32
Tabel 4 Rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura
Tahun Rasio HTS : Udang Wilayah Sumber 1991 1992 1993
1996
1997
1998 2000
8:1 – 13:1 9:1 12:1
7:1 – 8:1 24:1 29:1 13:1 11:1 8:1 13:1 12:1
Laut arafura Sele, Bintuni
Dolak Bintuni
Kaimana Aru Aru Sele
Kaimana Laut Arafura
Aru Kaimana
Aru Aru
Widodo (1991) Iskandar et al. (1993) Badrudin dan Karyana (1993) Widodo (1997) Suharyanto (1997) Sumiono et al. (2000)
Latelay dan Malawat (1995), ikan HTS yang dibuang kembali ke laut
dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun,
sedangkan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen, dengan pemanfaatannya
dalam bentuk produk beku (untuk ikan ekonomis) dan tepung ikan (fish meal)
untuk ikan non ekonomis (Tabel 5).
Tabel 5 Hasil penangkapan udang dan HTS (kg) di Laut Arafura oleh kapal trawl yang berbasis di Sorong
Tahun Produksi Produksi HTS Produksi Lain-lain Udang Di Manfaatkan Di Buang Jumlah
1997 950.436 34.039 31.008 65.047 32.505 1998 634.815 15.900 16.092 31.092 13.202
2.4 Hasil Tangkap Sampingan (“By-catch”)
Dalam bahasa Indonesia, by-catch diartikan sebagai hasil tangkap
sampingan (HTS). Dalam FAO Technical Paper 470 (2005) dan Eayrs (2005),
selain by-catch digunakan juga istilah target catch, incidental catch, discards dan
trash fish. Eayrs (2005) mendefinisikan sebagai berikut :
1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut
yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya
33
organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak
terangkat dari dalam laut. Hasil tangkap sampingan yang terangkat ke atas
kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku
dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded) .
2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkap sampingan yang tidak diinginkan
karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang kembali
ke laut baik dalam keadaan hidup atau mati. Buangan ini tidak termasuk
bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke
laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum disimpan di dalam ruang
pendingin.
3) Trash fish, adalah jenis ikan yang berukuran kecil dan binatang lainnya yang
dibuang kembali ke laut karena tidak memiliki nilai ekonomis.
FAO Fisheries technical Paper 470 (2005), mendefinisikan :
1) Target catch, adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau atau
berbagai spesies yang merupakan sasaran utama kegiatan penangkapan.
2) Incidental catch, adalah hasil tangkap sampingan yang dimanfaatkan
3) Trash fish, adalah hasil tangkap sampingan yang tidak dimanfaatkan dan
dibuang kembali ke laut. Trash fish merupakan jenis ikan yang memiliki
nilai ekonomis yang sangat rendah.
5) By-catch, adalah semua hasil tangkapan yang bukan menjadi target operasi
(discarded catch ditambah incidental catch).
2.5 Alat Tangkap Pukat Udang
Trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti
kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri dari atas dua lembar sayap (wing)
yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-
end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan
terbuka selama operasi penangkapan, hal ini dilakukan agar ikan maupun udang
yang menjadi tujuan operasi masuk dan terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa
1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertical maupun secara horisontal
digunakan otter board dan pelampung di bagian atas mulut jaring.
34
Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan
Barus (1988) diidefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya
yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada
kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya,
meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di
antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device
(BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan yang masuk ke dalam kantong.
Pada prinsipnya, pukat udang terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope)
dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali
panarik (warp), bridle line dan BED (Gambar 9). Penjelasan masing-masing alat
adalah sebagai berikut :
(1) Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan
belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masing-
masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada
kantong, sedangkan yang terbesar pada bagian sayap. Badan jaring adalah
bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baitting dan
belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang
membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baitting
adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bagian bawah dan
baitting di bagian atas.
1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri. Masing –masing
bagian tersebut terdari dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian
kedua bagian tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah. Pada tali ris
atas dipasang pelampung (float) agar sayap bagian atas terangkat pada saat
jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan
otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan
square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan
belly.
2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat
terkumpulnya hasil tangkapan. Kantong ini memiliki ukuran mata jaring
kecil yang bertujuan agar ikan yang telah tertangkap tidak lepas dan agar
lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak.
35
(2) Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope). Tali ris atas adalah tali
yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan
melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayan tersebut.
Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari
pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung
sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Pada tali ris bagian bawah ditempatkan
pemberat (sinker).
(3) Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat adalah untuk
membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal. Pelampung menarik atau
mengangkat tali ris atas, sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke
dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari
logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus.
(4) Otter board, fungsi dari otter board adalah untuk membuka mulut jaring
secara horizontal. Bentuk otter board bermacam-macam dan yang banyak
digunakan adalah tipe rectanguler.
(5) Tali penarik (wrap), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik
jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali
penarik ini biasanya terbuat dari serta-serta baja yang berbentuk cabled yarn.
Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan tegangan
yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus.
(6) Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring.
Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu,
juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang.
(7) Alat pereduksi ikan (API), API merupakan alat yang wajib dipasang pada
pukat udang yang biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk
meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehingga disebut turtle excluder
devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA-
USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukan, alat ini telah mengalami
perubahan konstruksi secara terus menerus. Sekarang ini, TED yang
direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai
performansi lebih baik di dalam mereduksi hasil tangkap sampingan
dibanding yang diperkenalkan sebelumnya. Hasil penelitian penggunaan TED
36
di Laut Arafura yang dilakukan oleh Monintja dan Sudjastani (1985)
membuktikan bahwa penggunaan pukat udang dapat meloloskan 42,5% hasil
tangkapan samping yang biasanya tertangkap dengan trawl dan pukat udang
memiliki kemampuan yang sama dengan trawl biasa dalam penangkapan
udang. Gambar 10 (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini
banyak dipasang pada pukat udang.
Sumber : NOAA Library Centre (2004) Gambar 9 (a) Turtle Excluder Device. (b) By-catch Excluder Ddevice.
(b)
(a) (c)
Sumber : Eayrs (2005)
Gambar 10 (a) Pukat udang sedang hauling. (b) Hasil tangkap sampingan.
(c) Proses pemisahan
37
2.6 Pengelolaan By-catch
Hasil tangkap sampingan telah menjadi permasalahan dan isu perikanan
penting dunia sejak tahun 1990-an, hal ini karena peningkatan jumlah hasil
tangkap sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat
mengancam keberlanjutan perikanan dunia. Secara umum diketahui hampir semua
kegiatan perikanan tangkap menghasilkan hasil tangkap sampingan. Industri
penangkapan dengan alat tangkap pukat udang memberikan kontribusi hasil
tangkap sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya.
Menurut Allops (1981), hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS
agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak
menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan. Untuk dapat
mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkap sampingan secara ekonomis, maka
pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerjasama dalam
mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkap sampingan menjadi produk yang
laku di pasar dengan harga kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kepedulian dan
intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkap sampingan melalui
peraturan atau kemudahan-kemudahan yang diperlukan.
Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan
ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral
kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi
dan sosial.
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 7,
merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan
diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan,
2) ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam
memanfaatkan sumberdya,
3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan
turunnya keanekaragaman hayati, serta
38
4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi,
sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai
biologinya.
CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan
pelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara
didukung hukum dan undang-undang yang secara baik dideseminasikan kepada
masyarakat.
2.7 Pemasaran Surimi
Perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, yakni surimi
digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular di
negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya.
Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang
tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia.
Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish
jelly products) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain
sebagainya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi
komoditas internasional (Gapindo 2000).
Total produksi surimi dunia diperkirakan antara 850.000 – 1,2 juta ton per
tahun. Negara produsen surimi terbesar di dunia adalah Jepang, tetapi Amerika
Serikat dan Thailand juga mempunyai sejarah sebagai produsen surimi. Pada
tahun 2005, produksi surimi Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang,
yakni mencapai 140.000 ton, sedangkan produksi surimi Jepang sebesar 100.000
ton (FAO 2007).
Amerika Serikat adalah negara pengekspor surimi yang terbesar di dunia,
yang menguasai hampir 35% pasar surimi dunia (FAO 2007). Produsen surimi
terbesar di Asia Tenggara adalah Thailand, dengan jumlah produksi sebesar
65.000 ton per tahun, yang hasilnya 90 persen diekspor ke Jepang, Eropa,
Amerika dan 10 persen dikirim ke Malaysia dan Singapura (Gapindo 1999). Pada
beberata tahun terakhir ini muncul negara-negara lain yang menjadi produsen
surimi seperti China, Vietnam, India, Malaysia dan Indonesia.
39
Uni Eropa (UE) merupakan pasar dunia surimi dan produk olahan
berbahan dasar surimi terbesar kedua setelah Jepang. Perancis dan Spanyol
merupakan konsumen utama surimi terbesar di Eropa, dengan konsumsi masing-
masing 20.000 dan 18.000 ton per tahun (FAO 2007). Maraknya permintaan, telah
memaksa Uni Eropa untuk mengimpor surimi dari negara Asia seperti China,
Jepang, Korea Selatan dan lainnya. Volume impor dunia surimi pada tahun 2005
mencapai 809.314 ton, dengan negara importir terbesar adalah Jepang kemudian
diikuti Uni Eropa, Rusia, China dan USA, seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Volume impor surimi beberapa negara tahun 2001-2005 (Ton)
NEGARA 2001 2002 2003 2004 2005 Uni Eropa 149 204 160 343 145 942 148 808 151 831 Jepang 269 586 311 454 315 994 269 983 314 674 Korea Selatan 74 414 99 44 93 20 99 47 104 4 Rusia 5 909 10 559 20 323 32 049 40 020 China 16 202 16 892 16 027 25 760 29 810 USA 11 974 13 269 15 599 13 984 12 582 Kanada 14 477 17 100 16 976 16 147 15 108 Lain-lain 77 998 91 021 130 506 121 590 103 897 Total 619 764 630 582 670 687 638 266 668 966 Sumber : Giraud dan Chateau (2007)
Dalam perkembangan industri surimi sangat pesat dewasa ini, dimana
surimi digunakan sebagai bahan baku produk olahan fish jelly yang sangat popular
di negara ASEAN dan biasa disajikan pada acara pesta serta acara resmi lainnya.
Permintaan surimi dari tahun ke tahun semakin meningkat tidak hanya di Jepang
tetapi juga di USA, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia.
Permintaan tersebut bukan hanya surimi tetapi juga produk lanjutan surimi (fish
jelly product) seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan lain sebagainya.
Dengan demikian dalam waktu yang singkat surimi menjadi komoditas
internasional.
Di Indonesia baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan
kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu)
buah. Produksi rata-rata perhari 3 – 5 ton atau 3.600 – 4.000 ton per tahun, dimana
produksinya 90 persen untuk ekspor dan 10 persen domestik. Industri pengolahan
produk-produk fish jelly seperti di Jakarta, pada umumnya merupakan industri
sampingan pengolahan ikan dengan produksi 5 ton per bulan dan
40
beberapa industri skala rumah tangga dengan produksi sebesar 1 – 2 ton per bulan
yang seluruh produksinya dipasarkan untuk domestik (Budiyanto dan Djazuli
2003). Surimi belum banyak dikembangkan di Indonesia meskipun sumber
bahan baku yang dimiliki sangat melimpah, namun produk olahan lanjutan surimi
(surimi based-products) sangat memasyarakat, antara lain mpek-mpek, bakso,
otak-otak dan produk lainnya. Sementara itu, unit pengolahan ikan yang
memproduksi surimi masih terbatas, antara lain di Jawa Timur, Pulau Moro –
Riau, Jakarta, Pekalongan – Jawa Tengah dan Jambi.
2.8 Teori Sistem
Sistem didefinisikan ke dalam dua bagian kelompok pendekatan yaitu
pendekatan yang menekankan pada prosedurnya dan menekankan pada komponen
atau elemen. Melalui pendekatan pada prosedur, maka sistem merupakan jaringan
kerja dari prosedur yang terkait untuk melakukan kegiatan dalam mencapai
sasaran dan yang telah ditentukan. Pendekatan secara komponen mendefinisikan
sistem sebagai suatu kumpulan elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai
tujuan. Menurut Wetherbe (1988) sistem didefinisikan sebagai sekumpulan
entinitas atau komponen yang saling berhubungan dengan terorganisasi
membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan.
Menurut Eriyatno (1999), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang
mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama
dimensi ruang dan waktu.
Falsafah kesisteman diperlukan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang semakin kompleks sehingga diperoleh solusi yang
komprehensif. Tahun 1968, Bertalanffy mempekenalkan pemikirannya tentang
General System Theory (GST) yang mendefinisikan sistem sebagai totalitas dari
bagian-bagian yang saling berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya
keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata
secara efisien. Sudut pandang inilah berkembang metode sintesis dan teknik
sistem yang bersifat holistik (Pressman 1992). Dalam pemikiran sistem selalu
mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka
diperlukan suau kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem
41
(system approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal,
yaitu (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang
baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 1999).
Dalam logika sistem (sistemologi) terdapat rangkaian proses transformasi
yang mengolah masukan menjadi luaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Subsistem adalah suatu elemen atau komponen fungsional suatu sistem yang
berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tinggi, sedangkan elemen adalah
pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah. Masing-masing subsistem
saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar subsistem
(disebut juga interface) terjadi karena luaran dari subsistem dapat menjadi salah
satu masukan bagi subsistem yang lain. Apabila interface antar subsistem
terganggu akan menyebabkan proses transformasi pada sistem secara keseluruhan
akan terganggu pula, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bias dari tujuan
yang ingin dicapai (Wetherbe 1988).
Dengan mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem,
maka pengkajian suatu permasalahan sebaiknya memenuhi karakteristik: (1)
kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis dalam arti
faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaaan ke masa depan,
dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan
maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang
menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam merekayasa solusi
permasalahan, yaitu (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan,
(2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan
(3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang
operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai
efisiensi keputusan.
2.9 Sistem Penunjang Keputusan
Akhir abad ke-20, telah dikembangkan usaha manajerial untuk
memisahkan informasi dari keinginan dan harapan institusional dan personal.
Usaha ini didukung oleh falsafah bahwa dasar pengambilan keputusan adalah
42
transformasi informasi menjadi usulan alternatif. Apabila informasi
dikembangkan secara teratur dan sistematik maka akan meningkatkan efektivitas
proses pengambilan keputusan. Prosse pengambilan keputusan semakin efektif,
digunakan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer
untuk pengolahan data elektronik. Pendekatan proses tersebut telah melahirkan
sistem berbasis komputer, antara lain: Electronic Data Processing (EDP) dan
Management Information System (MIS). Perkembangan tersebut kemudian
mendorong lahirnya Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support
System (DSS) dan Expert System (ES).
EDP adalah sistem yang digunakan untuk tingkat operasional yang
memfokuskan pada penanganan data. MIS adalah sistem yang dapat
menghasilkan informasi untuk digunakan oleh manajemen tingkat menengah
untuk melaksanakan fungsi pengendalian. DSS merupakan sistem yang
menghasilkan alternatif keputusan bagi manajemen tingkat atas untuk
melaksanakan fungsi perencanaan dan ES adalah sistem yang memberikan satu
keputusan untuk masalah yang sangat spesifik bagi manajemen tingkat atas (Leigh
dan Doherty 1986).
Menurut Turban (1993), DSS merupakan suatu sistem informasi berbasis
komputer (Computer Based infromation System) yang interaktif, fleksibel, dan
mudah diadaptasikan dengan menggunakan basis data dan basisi model, serta
persepsi pengguna dan pengambilan keputusan. Minch dan Burns yang dikutip
oleh Eriyatno (1999) menyatakan bahwa terminologi DSS adalah konsep spesifik
yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil
keputusan sebagi pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik DSS
adalah:
1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambilan keputusan.
2) Adanya dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda.
3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu
komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen dan kecerdasan buatan.
4) Mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan
berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
43
DSS dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci dari elemen-elemen
sistem, sehingga dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. DSS
dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada peningkatan efektivitas
(akurasi, kualitas dan kecepatan) pengambilan keputusan dari pada efisiensinya
(Eriyatno 1999). Landasan utama dalam pengembangan DSS untuk model
manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk
menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu
(1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model dan (3) data (Gambar 11).
Masing-masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Sistem
Manajemen Dialog merupakan program yang mengelola tampilan layar yang
menerima masukan dari pengguna dan mengirim iuran ke pengguna atau
semacam user interface. Sistem Manajemen Basis Data berfungsi sebagai
penyimpanan dan pengolahan informasi dan data. Sistem Manajemen Basis
Model merupakan paket program yang berisi perhitungan finansial statistik,
model teknik optimasi dan metode kuantitatif lainnya yang memiliki kemampuan
analitik (Turban 1993; Eriyatno 1999).
Gambar 11 Struktur dasar sistem penunjang keputusan.
Sistem Pengolahan Problematik adalah koordinator dan pengendali dari
operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga
subsistem lain dalam bentuk baku. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga
untuk menjamin masih adanya jaminan keterkaitan antar subsistem (Eriyatno
Data Model
Sistem Manajemen basis Data Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan Dialog
Pengguna
44
1999). Menurut Keen and Morton (1978), kelayakan penerapan DSS dalam suatu
manajemen harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu adanya basis data,
adanya keterbatasan waktu, adanya manipulasi dan komputasi, serta pentingnya
pengembangan alternatif dan memilih solusi berdasarkan akal sehat.
ES memiliki komponen inferencia yang berbeda dengan DSS, karena
adanya perbedaan luaran yang dihasilkan. DSS mengahsilkan keputusan yang
masih perlu mendapatkan pertimbangan keahlian dari pengguna, sedangkan ES
bertujuan membuat keputusan tanpa adanya pertimbangan keahlian dari pengguna
(Wetherbe 1988). Kemampuan lebih dari ES disebabkan adanya komponen
knowledge base yang dimasukan ke dalam sistem berupa fakta dan aturan-aturan
yang diperoleh dari ahli, dan program inference engine yang berfungsi untuk
memformulasikan kesimpulan.
2.10 Proses Hirarki Analitik
Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP)
merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk
memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam
pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu
melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini digunakan dalam
memodelkan masalah dan pendapat, dimana permasalahannya telah benar-benar
dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk
dikaji (Saaty 1980). AHP yang disampaikan oleh Saaty (1980) sebagai
pengkajian terhadap kondisi nyata tanpa melalui proses penyederhanaan, tetapi
mempertahankan model yang kompleks seperti semula. Untuk itu masalah nyata
yang kompleks dan tidak terstruktur perlu dilakukan penyusunan beberapa bagian
komponen atau perubahan pada struktur bangunan secara hirarki.
Hirarki adalah abstraksi struktur suatu sistem, dimana fungsi hirarki antar
komponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari.
Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, semuanya tersusun ke
bawah dari suatu puncak (tujuan akhir), kemudian ke suatu sub tujuan (sub
objective), kemudian faktor-faktor pendorong (forces) yang mempengaruhi sub
tujuan tersebut, serta pelaku (actors) yang memberikan dorongan, selanjutnya ke
45
tujuan-tujuan pelaku aktor, kebijakan, strategi. Hasil dari strategi tersebut
selanjutnya timbul pertanyaan yang berkaitan dengan hirarki ini, bagaimana dan
berapa besar suatu faktor individu dari tingkat yang lebih rendah pada hirarki itu
mempengaruhi faktor puncak, yaitu tujuan utama, karena pengaruh ini tidak akan
seragam bagi semua faktor dan untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap
intensitasnya, atau sering disebut dengan menyusun prioritas (Fewidarto 1996).
Teknik analisis AHP digunakan untuk menemukan pemecahan masalah
yang bersifat strategis dengan prinsip kerja yaitu decomposition, comparative
judgment, síntesis of priority dan logical consistency.
(1) Decomposition (Dekomposisi), merupakan pemecahan permasalahan yang
utuh menjadi beberapa bagian komponennya. Untuk mendapatkan hasil kajian
yang teliti diperlukan proses penyusunan komponen pada beberapa
tingkatan/hirarki. Tahapan ini mendefinisikan persoalan dengan membagi
persoalan tersebut menjadi beberapa unsur. Pembagian dilakukan sampai ke
tingkat yang tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi, sehingga akan didapat
beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara terstruktur. Proses tersebut
dinamakan hirarki karena memiliki lima tingkatan yaitu fokus, faktor, aktor,
tujuan dan alternatif.
(2) Comparative Judgment (Perbandingan Komparasi), merupakan penilaian
terhadap masalah berdasarkan kepentingan relatif 2 (dua) komponen pada
tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian
tersebut, merupakan faktor penting dari PHA karena akan berpengaruh
terhadap prioritas komponen. Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matrix
pairwise comparasion. Elemen-elemen pada suatu tingkatan tertentu dinilai
kepentingan relatif terhadap elemen lainnya, yang mengacu pada elemen yang
dibandingkan dengan jalan meminta pendapat dari pakar. Penilaian dilakukan
dengan komparasi berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan
elemen lain pada setiap tingkatan hirarki secara berpasangan, akhirnya dapat
dinilai antar dua elemen secara kuantitaif, yang disajikan dalam matriks
komparasi berpasangan.
46
(3) Síntesis of Priority, merupakan penentuan peringkat beberapa komponen
berdasarkan penilaian kepentingan relatif. Penentuan peringkat dilakukan
berdasarkan nilai eigen vector pada setiap matrix pairwise comparasion untuk
mendapatkan local priority. Untuk mendapatkan global priority harus
dilakukan síntesis terhadap local priority. Proses pengurutan berdasarkan
kepentingan relatif melalui prosedur síntesis dinamakan priority setting.
(4) Logical Consistency, merupakan proses untuk menjamin semua komponen
dikelompokkan secara logis dan dilakukan prioritas secara konsisten sesuai
kriteria yang logis. Konsistensi memiliki dua makna, pertama bermakna
bahwa obyek serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan
relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek yang
didasarkan kriteria tertentu. Apabila penilaian tidak konsisten, maka proses
diulang untuk memperoleh penilaian yang tepat.
AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik
sebagaimana yang terjadi dalam kondisi nyata dalam usaha mencapai konsensus.
Semua problema sistem ini tidak dapat dipecahkan melalui komponen yang
terukur seperti keadaan ya dan tidak (1 dan 0). Karena ada kondisi perbedaan
kepentingan. AHP mencoba memecahkan masalah dengan cara membandingkan
masukan secara berpasangan berdasarkan skala yang dapat membedakan setiap
pendapat serta mempunyai keteraturan dalam nilai skala komparasi Saaty : 1
sampai dengan 9 yang ditunjukkan pada Tabel 7.
Saaty (1993) telah membuktikan bahwa nilai skala komparasi 1 sampai
dengan 9 merupakan pengambilan keputusan individual yang baik dalam
pendekatan suistem dengan pertimbangan ketelitian yang ditunjukkan pada nilai
RMS (Root Means Square) dan MAD (Mean Absolute Deviation).
Tabel 7 Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty
Nilai Keterangan 1 Sama pentingnya 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih penting 9 Mutlak lebih penting
2,4,6,8 Jika terjadi keraguan jawaban antara 2 nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9
47
Dalam analisis menggunakan AHP dilakukan melalui beberapa proses
yakni sebagai berikut:
(1) Matriks pendapat individu
Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas
masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan
menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan,
sehingga membentuk matriks segi. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigen vector dan untuk
mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value.
(2) Matriks pendapat gabungan
Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang
eleven matriknya gij berasal dari rataan geometrik atau “geometric means”
elemen matriks pendapat individu aij yang rasio konsistensinya (CR) memenuhi
persyaratan.
(3) Pengolahan horizontal
Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven
keputusan pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada
pengolahan horizontal adalah 1) perkalian baris 2) perhitungan vektor prioritas
atau vektor eigen 3) perhitungan nilai eigen maksimum 4) perhitungan indeks
konsistensi dan 5) perhitungan rasio konsistensi.
(4) Pengolahan vertikal
Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap
eleven pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama (ultimate
goal).
48
(5) Revisi pendapat
Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi pendapat cukup
tinggi, dan dianggap konsistensi jika mempunyai nilai sama dengan 0.1,
sedangkan nilai akurasi data ditunjukkan dengan nilai RMS dari baris dan
perbandingan nilai bobot baris terhadap kolom.
2.11 Analisis Kelayakan Finansial
Kelayakan adalah penelitian yang dilakukan secara mendalam untuk
menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan memberikan manfaat yang
lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dengan kata lain
kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan
keuntungan finansial dan non finansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Kelayakan juga diartikan akan memberikan keuntungan tidak hanya bagi
perusahaan yang menjalankan usaha, tetapi juga bagi investor, kreditor,
pemerintah dan masyarakat luas. Aspek-aspek yang dinilai dalam studi kelayakan
bisnis meliputi aspek hukum, aspek pasar dan pemasaran, aspek finansial, aspek
teknis/operasional, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial serta aspek
dampak lingkungan. Dalam penelitian ini kriteria kelayakan secara khusus
ditekankan pada aspek finansial.
Analisis kelayakan finansial didasarkan pada analisis keuangan yang
dihitung berdasarkan harga riil dari apa yang sebenarnya terjadi. Dalam tahap ini
akan dianalisis biaya dan manfaat kegiatan agroindustri perikanan laut. Analisis
keuangan merupakan suatu penilaian terhadap kinerja perusahaan pada waktu
yang lalu dan prospeknya pada masa yang akan datang. Melalui analisis keuangan
diharapkan dapat ditemukan kekuatan dan kelemahan perusahaan dengan
menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan (financial
statement). Analisis keuangan ini diperlukan berbagai pihak seperti para
pemegang saham atau investor, kreditur dan para manajer karena melalui hasil
analisis keuangan ini mereka akan mengetahui posisi perusahaan yang
bersangkutan dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam satu kelompok
49
industri. Evaluasi aspek keuangan rencana investasi mencakup hal – hal sebagai
berikut:
1) Penyusunan anggaran investasi yaitu jumlah dana yang dibutuhkan untuk
membangun dan mengoperasikan kegiatan (proyek)
2) Struktur dan sumber pembiayaan proyek yang akan dibangun
3) Kemampuan proyek menghasilkan keuntungan
4) Analisis break even point
Menurut Awat (1999) dari aspek keuangan, suatu usul investasi akan
dinilai menguntungkan atau tidak tergantung pada berbagai metode kriteria
investasi seperti Payback Period (PP), Accounting Rate of Return (ARR), Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Profitability Index (PI).
Menurut Sutojo (2000) jika metode evaluasi profitabilitas proyek dikaitkan
dengan nilai uang (the time value of money) maka diperoleh dua macam metode
yakni metode konvensional dan metode discount cashflow. Metode konvensional
mempergunakan dua macam tolak ukur yaitu Payback Period (PP) dan
Accounting Rate of Return (ARR). Sedangkan metode discount cashflow
dipergunakan tiga macam tolok ukur yaitu Net Present Value (NPV), Internal
Rate of Return (IRR), dan Profitability Index (PI). Penjelasan secara rinci
mengenai beberapa metode investasi dapat dilihat sebagai berikut:
(1) Net present value (NPV)
Menurut Sutojo (2000), NPV adalah selisih antara nilai saat ini (present
value) dari seluruh cash flow tahunan yang diterima investor selama umur
ekonomis proyek dengan nilai (anggaran) investasi proyek. Nilai bersih sekarang
(NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan) dengan
nilai sekarang biaya. Apabila NPV bertanda positif menunjukkan bahwa investasi
menguntungkan sehingga layak, karena (1) investasi awal telah kembali (2) biaya
modal telah diperoleh dan (3) menerima penghasilan dari kelebihan (1) dan (2).
Sebaliknya apabila NPV negatif maka investasi harus ditolak. Sementara apabila
NPV sama dengan nol, maka keputusan dapat menerima atau menolak investasi
dengan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya.
50
(2) Internal Rate of Return (IRR)
IRR dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukan
bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi
proyek. Dengan perkataan lain, IRR adalah nilai discount rate sosial yang
membuat NPV proyek sama dengan nol (Djamin, 1993). Menurut Husnan (1998),
analisis investasi dengan NPV lebih baik karena pada metode IRR terdapat
beberapa kelemahan, yaitu:
1) Tidak memungkinkan untuk menghitung IRR yang tingkat bunganya
berbeda setiap tahun
2) Terdapat kemungkinan diperoleh hasil lebih dari satu, apabila arus kas
berubah-ubah tandanya
3) Metode IRR akan mengakibatkan kesalahan pengambilan keputusan
apabila proyek bersifat mutually exclusive.
(3) Payback Period (PP)
Menurut Awat (1999) metode PP ini menunjukkan jangka waktu yang
diperlukan untuk mengembalikan seluruh modal yang digunakan pada investasi
awal (initial invesment). Banyak orang menggunakan PP sebagai tolok ukur dalam
penentuan risiko suatu proyek. Hal ini disebabkan karena selama masih berada
dalam PP berarti perusahaan belum mampu mengembalikan investasi yang
ditanamkan dalam proyek. Semakin lama PP maka semakin tinggi risiko usaha
yang ditanggung.
(4) Profitability Index (PI)
Profitability index (PI) merupakan perbandingan antara nilai akumulasi
Present Value (PV) dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan
suatu usaha. PI juga merupakan perbandingan antara nilai sekarang penerimaan-
penerimaan bersih di masa akan datang dengan nilai investasi. Hal ini ditujukan
untuk menilai risiko yang dihadapi dalam menjalankan suatu usaha.
51
(5) Nisbah Bersih Manfaat dan Biaya (Net B/C)
Net B/C adalah angka perbandingan antara present value total bersih dari
hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih.
Selain analisis investasi, perlu dilakukan analisis perhitungan Break Even
Point (BEP) yakni keadaan suatu usaha yang tidak memperoleh laba dan tidak
menderita rugi. Dengan kata lain, suatu usaha dikatakan impas jika jumlah
pendapatan sama dengan jumlah biaya atau apabila laba kontribusi hanya dapat
digunakan untuk menutup biaya tetap saja. Analisis impas adalah suatu cara untuk
mengetahui volume penjualan minimum agar suatu usaha tidak menderita rugi
tetapi juga belum memperoleh laba (Mulyadi 1993). Di samping itu, terdapat dua
cara untuk menentukan titik impas yaitu dengan pendekatan teknik persamaan dan
pendekatan grafis.
2.12 Konsep Strategi
Menurut Allison dan Kaye (2005), strategi didefinisikan sebagai prioritas
atau arah keseluruhan yang luas yang diambil oleh organisasi. Strategi merupakan
pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi
atau mencapai kondisi masa depan yang dinginkan (Tripomo dan Udan 2005).
Rumusan strategi yang baik akan memberikan gambaran pola tindakan utama dan
pola keputusan yang dipilih untuk mewujudkan tujuan organisasi. Apabila strategi
telah ditetapkan, selanjutnya disusun rencana (plan), seperangkat kebijakan
(policies), tahapan-tahapan pencapaian, organisasi dan personalia yang
mengisinya, anggaran dan program aksi. Wheelen dan Hunger (2006) menyatakan
bahwa manajemen strategi adalah sekumpulan keputusan dan tindakan manajerial
yang akan menentukan kinerja jangka panjang dalam suatu organisasi.
Manajemen strategi yang berkembang saat ini merupakan jalan keluar dari
persoalan yang dihadapi dalam bentuk keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
oleh suatu organisasi.
Selain definisi strategi yang bersifat umum, terdapat definisi secara khusus
seperti yang dikemukakan oleh Hamel dan Prahaland (1995) yang mendefinisikan
strategi yang terjemahannya adalah bahwa strategi merupakan tindakan yang
52
bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan
berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di
masa depan. Oleh karena itu, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat
terjadi dan bukan dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang
baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti.
Tahapan perumusan strategi tidak lepas dari pengertian tentang
manajemen strategik. David (2001) menyatakan bahwa manajemen strategik
adalah seni dan ilmu untuk “formulasi-implementasi dan evaluasi” keputusan-
keputusan yang bersifat lintas fungsional agar organisasi dapat mencapai
tujuannya. Kerangka manajemen strategik menyeluruh digambarkan dalam tiga
tahapan seperti pada Gambar 12, yang meliputi identifikasi lingkungan (internal-
eksternal), perumusan/formulasi strategi (visi, misi dan tujuan), implementasi
strategi (program, budget dan proyek), serta monitoring dan evaluasi.
Gambar 12 Kerangka manajemen strategik.
Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi,
mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan
dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, mengembangkan
strategi-strategi alternatif dan memilih strategi untuk pelaksanaan. Implementasi
Melaksanakan Audit eksternal
Mengembangkan visi & misi
Audit eksternal
Menetapkan tujuan jangka
panjang
Membuat kebijakan dan tujuan tahunan
Pengalokasian sumber daya
Mengukur dan
mengevaluasi kinerja
Melaksanakan Audit internal
Umpan Balik
Membuat, mengevaluasi dan memilih
strategi
Formulasi Strategi
Implementasi Strategi
Evaluasi strategi
53
strategi memerlukan suatu perangkat untuk menetapkan tujuan tahunan,
merencanakan kebijakan memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya
sehingga strategi strategi yang diformulasikan dapat dilaksanakan; implementasi
strategi termasuk mengembangkan budaya pendukung strategi, menciptakan
struktur organisasi yang efektif, mengarahkan kembali usaha-usaha pemasaran,
menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dan
menghubungkan kompensasi karyawan dengan kinerja organisasi. Evaluasi
strategi adalah tahap akhir pada manajemen strategi. Tiga aktivitas penting untuk
mengevaluasi strategi adalah me-review faktor eksternal dan internal yang
menjadi dasar penerapan strategi, mengukur kinerja dan mengambil tindakan
perbaikan. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan
jaminan untuk kesuksesan hari esok.
Allison dan Kaye (2005) menyatakan perencanaan strategik setiap
organisasi berbeda tergantung pada besar dan kompleksitas organisasi lingkup
maupun peubah-peubah yang digunakan. Namun demikian perencanaan strategik
memiliki kesamaan sebagai upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien
dengan menyadari terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Proses perencanaan
strategik yang berhasil selalu memiliki pertanyaan dan jawaban sebagai berikut :
(1) Dimana kita sekarang ? (2) Dimana kita ingin berada di masa mendatang ? (3)
Bagaimana kita mengukur kemajuan? (4) Bagaimana kita mencapai sasaran dan
tujuan ? dan (5) Bagaimana kita menelusuri kemajuan (Gazpers 2004).