Post on 02-Mar-2019
1
PSK DALAM CERPEN 2000-AN1
Resti Nurfaidah
Balai Bahasa Jawa Barat
goresan_penaku@yahoo.com dan sineneng1973@gmail.com
Abstrak
Perempuan PSK selalu menjadi cerita dari masa ke masa. Sepakterjangnya
dianggap sebagai biang dari kehidupan kelam, tetapi di satu sisi lain, ia
digandang-gandang sebagai sumber penghasilan bagi pihak-pihak yang terlibat di
dunia prostitusi. Kehidupan bak dua sisi mata uang yang berbeda dari para PSK
banyak dituangkan ke dalam karya sastra, antara lain, puisi, drama, atau prosa
(cerpen atau novel). Berlandaskan pada konsep stilistika feminis dari Sara Mills,
makalah ini akan mengangkat cerpen-cerpen bertemakan kehidupan para PSK
pada era 2000-an. Cerpen-cerpen tersebut memuat potret kehidupan PSK dari
berbagai sudut, seperti latar belakang, keseharian, resiko, serta dampak yang
dirasakan, baik oleh PSK itu sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Dari
pengamatan terhadap cerpen-cerpen tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa alur
kehidupan para PSK statis dan ironis. Di satu sisi dipandang hina, tetapi di satu
sisi ia menjadi sasaran empuk para pemburu materi.
Kata Kunci: PSK, cerpen, statis, hina
Abstract:
Female sex workers has always been a neverending topic from time to
time. Their considered as a part of the darkness, but, on the other hand, their
were moneymaker for those who got involved in prostitution. Their lifes simply
like two different sides of a coin which were written into literary works, among
others, poetry, drama, or prose. Based on the feminist stylistic of Sara Mills, this
paper will explore short stories about their lives of the prostitutes in the era of the
2000s. They contain portraits of their lifes from various sides, such as
backgrounds, daily life, the risks, and the impact, either felt by themselves and
people around them. As the result, On the one hand, they have static lifes, but, on
the other ironic hand, they are interesting to be an easy target for material
hunters.
Keywords: PSK, short stories, static, contemptible
1 Disampaikan pada Seminar Nasional Sosiologi Sastra” yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB) dan Departemen Ilmu Susastra FIB UI, di
Auditorium Gedung I FIB UI, 10—11 Oktober 2016.
2
Pendahuluan
Penulisan makalah ini diawali dengan ketertarikan saya pada film pendek
Fitri yang bercerita tentang peliknya kehidupan seorang perempuan PSK. Film
yang disutradarai oleh Sidi Saleh (2013) tentang seorang PSK bernama Fitri yang
ingin merayakan Idulfitri di kampung bersama kedua orangtuanya. Namun,
kendala profesi sebagai seorang PSK andalan sang mucikari, ia terjerat kontrak
sepihak. Mami menghendaki Fitri untuk terus bekerja pada malam takbiran
sekalipun. Langkah Fitri untuk menemui kedua orangtuanya lalu terhalang strategi
hebat yang dirancang oleh Mami. Fitri terpaksa kehilangan barang-barangnya di
terminal dan ia kembali harus bekerja melayani seorang rentenir yang menjadi
tumpuan Mami selama ini. Fitri merasa jijik dengan laki-laki itu dan berusaha
untuk melarikan diri. Ia pun berusaha keras menyelamatkan diri di tengah hingar
bingar suasana malam takbiran, serta keremangan lorong dan gang sebuah
lokalisasi di Jakarta. Film pendek yang disutradarai oleh Sidi Saleh pada tahun
produksi 2013 tersebut2 menghilhami saya untuk menelusuri kehidupan para
pekerja seksual terkini, pada era 2000-an, yang digambarkan dalam bentuk
ekspresi lainnya, yaitu karya sastra—sesuai dengan latar pendidikan saya--berupa
cerpen. Selain itu, banyaknya peristiwa naas yang menimpa para pekerja seksual,
seperti kasus Holly dan Gatot, atau Tata Chubby, penutupan lokalisasi Dolly dan
Kalijodo, bahkan peristiwa serupa yang pernah menimpa pelaku profesi yang
sama pada masa lampau, semakin menguatkan pandangan saya bahwa dunia para
penjaja cinta cukup kompleks.
Dunia PSK merupakan tema yang tidak akan pernah habis untuk dibahas
dan dieksplorasi. Kompleksitas dunia PSK yang cukup tinggi dengan eksistensi
abadinya yang selalu mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan,
menjadikan mereka sebagai tema menarik yang kerapkali dituangkan dalam
berbagai tulisan—baik ilmiah maupun popular, karya visual berupa film-drama-
sinetron. Beberapa penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan sebelum ini,
antara lain, siswa Santa Ursula Jakarta (1994) dengan hasil penelitian yang
dibukukan dan diberi judul Orang-Orang Malam: Studi Tentang Pekerja Malam
Jakarta. Siswa-siswa Kelas 1 SMA Santa Ursula tahun ajaran 1993—1994
tersebut secara partisipatif melakukan pengamatan dan penelitian kepada orang-
orang yang melakoni berbagai profesi yang pada umumnya dilakoni pada malam
hari, antara lain, PSK, waria, DJ, penyiar radio, satpam, wanita pemijat, pedagang
kaki lima, sopir taksi, dan pramuria. Hasil pengamatan dan penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kebanyakan para pelakon berlatar pada pilihan hidup yang
tersandung pada tingkat pendidikan yang rendah (kecuali pada DJ dan penyiar
2 Meraih penghargaan dalam Clermont-fd International Film Festival tahun 2013 di Perancis
3
radio), unsur keterpaksaan karena atas desakan faktor ekonomi, latar perkawinan
tidak bahagia, atau terpengaruh oleh teman. Terkadang menjadi orag malam
bukan merupakan profesi yang menyenangkan, terutama dalam menghadapi
sitgma buruk dari masyarakat. Jujur mereka mengakui bahwa pekerjaan itu
kebanyakan bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena beberapa faktor
pemicu, seperti: ekonomi, pelecehan seksual, dan perkawinan yang tidak bahagia.
Namun, ada pula, pada kasus satpam, yang merupakan penghasilan tambahan atas
perintah atasan. Sedyaningsing-Mamahit (2010) menjadikan kehidupan PSK
sebagai bahan penulisan disertasi dengan memfokuskan penelitian pada
penggunaan kondom di lokalisasi Kramat Tunggak. Hasil penelitian tersebut
dialihwahanakan menjadi buku yang diberi judul Perempuan-Perempuan Kramat
Tunggak. Dalam buku tersebut, Sedyaningsing-Mamahit (2010:106)
menyampaikan bahwa terjerumusnya seorang perempuan ke dalam dunia
pelacuran karena empat hal, yaitu terpaksa oleh keadaan, mengikuti arus,
terdorong frustasi, dan sekadar mencari nafkah. Penderitaan para PSK tersebut
semakin bertambah dikaitkan dengan keharusan pemakaian kondom. Kebanyakan
para pelangan menolak untuk memakai benda tersebut, mau tidak mau—terlebih
dalam kondisi terdesak kejar setoran, penolakan itu diiyakan. Bayangan akan
ancaman bahaya penularan penyakit kelamin menyebabkan habitual action para
PSK untuk menggunakan berbagai obat-obatan jenis antibiotika tanpa dosis yang
benar, serta obat dan benda lain yang digunakan untuk mencuci vagina. Tanpa
mereka sadari, sebagai dampak dari rendahnya latar edukasi para PSK tersebut,
penggunaan obat tersebut, sebaliknya, akan menimbulkan resistensi jenis kuman
tertentu. Latar belakang ekonomi masih menempati urutan utama, selain latar
psikologis akibat trauma pada pernikahan yang buruk atau dampak sebagai korban
pelecehan seksual. Di balik itu semua, kebanyakan PSK mengatakan bahwa
profesi mereka hanyalah sementara waktu tanpa menentukan kapan akan diakhiri.
Hanya segelintir PSK yang menikmati pekerjaan tersebut dan bahkan ingin
meningkatkan statusnya sebagai seorang germo! Baker, salah seorang staf
UNICEF (2015) menulis tentang profil seorang PSK bernama Dewi dalam sebuah
artikel pendek berjudul “Kisah Dewi: Rumah Pelacuran di Papua” dalam
http://indonesiaunicef.blogspot.co.id/ diunduh 1 Oktober 2016. Kisah Dewi
mengungkapkan bahwa unsur sanitasi kurang dipedulikan. Namun, Dewi
menjalani profesi tersebut dengan berlatarkan pada desakan ekonomi serta cita-
cita untuk menabung persiapan masa depan.
Seperti yang diungkapkan pada bagian awal, makalah ini akan
mengeksplorasi kehidupan PSK melalui teks berbentuk cerpen. Melalui narasi
cerpen yang pendek tersebut, para PSK cukup berbicara banyak tentang hidup
mereka sehari-hari hingga tiba akhir hidupnya. Tema tentang para PSK selalu
menarik dibahas dan selalu terbilang kompleks karena salah satu keunikannya,
4
sulit dibasmi dan senantiasa hadir pada setiap generasi. Bahkan, banyak kalangan
yang menyebutkan bahwa profesi PSK merupakan profesi yang paling tua di
dunia. Hal itu terjadi karena unsur demand terhadap pelayanan para PSK cukup
besar. Dalam Sedyaningsing-Mamahit (2010:158) terdapat fakta yang
menunjukkan bahwa pelanggan PSK kebanyakan dari laki-laki yang berstatus
sudah menikah! PSK sulit dimusnahkan. Ketika beberapa pusat kegiatan
prostitusi/lokalisasi ditutup, ia seperti kista: memencar ke tempat lain secara
sporadis, lalu bermunculan embrio lokalisasi yang baru. Eksplorasi ini dilakukan
dengan metodologi deskriptif analisis melalui pendekatan analisis wacana kritis
pada cerpen-cerpen bertemakan pelacur yang ditulis pada interval tahun 2000-an.
Langkah pertama penelitian adalah mengunduh atau mencari cerpen yang
bertemakan sosok pelacur yang muncul pada tahun 2000-an pada beberapa laman
resmi serta beberapa media cetak. Pencarian tersebut berbuahkan 13 cerpen
dengan rincian: 1 cerpen dari media cetak—PR Minggu berjudul “Ambai-Ambai”
(Damhuri Muhammad), dan 12 cerpen lainnya dari beberapa laman di dunia
maya, yaitu “R.I.P. (Cerita Seorang Pelacur Tentang Kematian Seorang
Pelanggannya)” (Trubus Sugiarjo), “Cerita Seorang Pelacur” (Retno Prasetiani),
“Catatan Seorang Pelacur” (Lucifer), “Kamulah Seorang Pelacur Terhormat”
(Fajar Sasmita), “Aku Menikahi Pelacur Perawan” (Dgreato Jogja), “Salahkah
Aku Mencintai Seorang Pelacur?” (Immanuel Lubis), “Balada Pelacur dan Pria
Tamak Kekasihnya” (Witoratop), “Istriku Seorang Pelacur” (Yaliati Airy), “Ssst
(Ternyata) pelacur Itu Mengajariku” (Posma Ramos Simanjuntak), “Pelacur yang
Mati di kali” (Bode Riswandi), “Pelacur” (Pamungkas), dan “Tiga Perempuan
Pelacur” (Nyangtu). Ketigabelas cerpen itu, lalu diamati dan poin-poin penting
diposisikan pada beberapa kolom (lihat pada hasil dan pembahasan). Poin-poin
tersebut lalu dianalisis dengan pendekatan teori Sara Mills yang memandang teks
dari sudut AWK dan feminisme. Hasil pengamatan lalu dituangkan ke dalam
bentuk laporan berupa makalah seminar.
Kajian Teori
Eksplorasi tentang PSK dalam cerpen tahun 2000-an tersebut dilandaskan
pada konsep analisis wacana kritis (AWK) Sara Mills yang menggabungkan
konsep feminisme dalam teks. Sara Mills memandang bahwa perempuan selalu
didudukkan pada posisi yang salah dalam teks dan ia menyebutnya sebagai
konsep feminist stylistic. Sara Mills (1995:13) mengatakan bahwa feminist
stylistics bertujuan untuk membuat asumsi yang ada dalam stilistika konvensional
menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya menambahkan topik gender pada daftar
elemen yang dianalisis, tetapi menggunakan stilistika menjadi sebuah fase baru
dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan stilistika dalam
5
analisis bahasa. Dengan demikian, bahasa dalam wacana atau sebuah teks bukan
sekadar bahasa biasa, melainkan bahasa merupakan unsur utama yang harus
diadakan dan dimunculkan. Melalui bahasa tersebut dapat ditelusuri bagaimana
kedudukan perempuan di dalam teks, kondisi dan situasi yang mendukung
kedudukan perempuan di dalam teks, serta reaksi lingkungan di sekitar terhadap
sosok perempuan di dalam teks itu.
Sebagai contoh, dalam penelitian Supriyadi, (2014:225—234)
menunjukkan bahwa melalui bahasa maskulin dalam novel Belenggu dan
Pengakuan Pariyem dapat ditelusuri bahwa perempuan di dalam kedua novel
tersebut terkungkung dalam budaya patriarki. Namun, budaya patriarki tersebut
memiliki pandangan yang berbeda. Novel Belenggu yang hadir pada awal abad
ke-20 tidak banyak memberikan keleluasaan bagi perempuan dan keseteraan
gender. Unsur stilistika cenderung menyudutkan perempuan dan membanggakan
laki-laki. Dalam situasi peralihan antara kehidupan tradisional dan modern,
perempuan harus berjuang keras untuk mendapatkan haknya, terutama dalam
pendidikan dan pekerjaan. Sementara itu, novel Pengakuan Pariyem
menunjukkan bahwa kesetaraan derajat mulai tampak meskipun dalam beberapa
hal, kaum laki-laki tetap menunjukkan superioritas kepada lawan jenis.
Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan pun tampak lebih luas.
Pada contoh lain, penelitian berbasis stiliska feminis dilakukan oleh Wardani,
dkk. (2013) dalam repository.uksw.edu (diunduh 1 Oktober 2016), menunjukkan
bahwa media berbasis kepedulian kepada perempuan menempatkan mereka
sebagai subjek. Sosok perempuan yang ditampilkan turut dilibatkan sebagai
narasumber yang menceritakan kisah sukses yang mereka alami. Pendengar juga
dilibatkan sebagai subyek untuk bersikap pro kepada sosok yang ditampilkan.
Program radio tersebut memunculkan citra perempuan yang positif karena
keberhasilan di ranah publik mampu diimbangi dengan kemampuan mereka
mengelola di ranah domestik.
Dalam menganalisis sebuah teks, Sara Mills (1995:62—156) membagi
sistematika analisis ke dalam tiga level berikut, yaitu (1) analisis pada level
kata/frasa berupa seksisme dalam bahasa dan seksisme dan maknanya; (2) analisis
pada level klausa/kalimat berupa penamaan, pelecehan pada wanita, belas
kasihan/pengkerdilan, penghalusan/tabu; serta (3) analisis pada level wacana
berupa karakter/peran, fragmentasi, fokalisasi, dan skemata. Sara Mills
(1995:157) mengatakan bahwa stilistika feminis memudahkan peminat
representasi hubungan gender. Stilistika feminis merupakan sarana bagi para ahli
bahasa untuk dapat mengembangkan secara pribadi seperangkat alat yang dapat
mengekspos kinerja gender pada tingkatan yang berbeda di dalam teks. Analisis
feminis diperlukan untuk melihat kejelasan batas-batas sebuah teks karena di
dalamnya terdapat penyusupan wacana dan ideologi. Sara Mills juga mengatakan
6
bahwa di dalam teks perbedaan antara unsur tekstual dan extratextual tidak selalu
ditemukan. Teks sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial budaya, ideologi,
sejarah, kekuatan ekonomi, gender, rasisme, dan sebagainya. Bukan berarti
penulis tidak memiliki kontrol terhadap hal-hal yang ditulisnya, tetapi is tunduk
pada interpelasi dan interaksi dengan kekuatan-kekuatan diskursif tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan dilakukan dengan cara menguraikan poin-poin
penting dalam sumber data ke dalam bentuk tabel. Hal itu dilakukan untuk
menghemat ruang karena sumber data yang ditemukan cukup banyak.
Pembahasan di ditulis ke dalam dua tabel. Tabel pertama merupakan tabel
penguraian identitas sumber data, sementara tabel kedua merupakan pembahasan
data berdasarkan konsep AWK stilistika feminis Sara Mills. Tabel bahasan dapat
dilihat selengkapnya pada bagian lampiran.
Analisis Pada Level Kata/Frasa
Jika mendengar kata aku sebagai penanda jati diri, akan muncul kesan
tinggi, percaya diri, dan angkuh. Tokoh PSK maupun pelanggan/kekasih/suami
memiliki kecenderungan untuk menunjukkan eksistensi yang solid. Konsep ke-
aku-an sangat kuat pada sosok PSK maupun orang yang berada di dekat tokoh
PSK itu. Pemakaian kata aku merupakan penanda jati diri terbanyak dalam data
penelitian (9 buah). Penanda jati diri lain yang terdapat di dalam data adalah gue
(1), saya (1). Kata aku pada tokoh PSK menunjukkan resistensi yang ditujukan
untuk melawan stigma negatif dari orang-orang di lingkungan terdekat dan
masyarakat sekitar. Namun, pada tokoh non-PSK atau pelanggan/kekasih, kata
aku digunakan untuk menunjukkan representasi laki-laki sebagai malaikat atau
pahlawan bagi sosok PSK, seperti dalam cerpen “Salahkah Aku Mencintai
Seorang Pelacur?” dan “Istriku Seorang Pelacur”.
Kata pelacur sangat mendominasi pemberian gelar kepada wanita
penghibur, selain istilah lain yang digunakan untuk merujuk kepada mereka, yaitu
lonte, kupu-kupu malam, dan wanita hina. Penggunaan istilah tersebut menjadi
penanda pengotak-kotakkan dalam masyarakat kita berdasarkan profesi yang
digeluti, selain pada stigma negatif yang lama melekat pada sosok PSK. Kata
Bapak sebagai sapaan tidak ditujukan kepada ayah kandung tokoh PSK, tetapi
kepada seorang pelanggan tetap, yang memperlakukan perempuan itu seperti
anaknya sendiri.
Banyak kata/frasa yang digunakan sebagai penanda kompleksitas dunia
PSK. Istilah tersebut menunjukkan siapa saja yang hadir dalam dunia malam, apa
sebab dan akibat yang muncul dalam kehidupan PSK, sifat yang muncul dalam
7
kehidupan PSK, kondisi fisik seperti apa yang harus dipenuhi oleh seorang PSK,
dan aktivitas apa yang dilakukan oleh PSK.
Tabel 1
Kata/Frasa yang terdapat di dalam cerpen 2000-an
KATA/FRASA
YANG
MENUNJUKKAN
NOMINA
KATA/FRASA
YANG
BERKAITAN
DENGAN
SEBAB-AKIBAT
KATA/FRASA
YANG
BERKAITAN
DENGAN SIFAT
KATA/FRASA
YANG
BERKAITAN
DENGAN
KONDISI FISIK
KATA/FRASA
YANG
BERKAITAN
DENGAN
AKTIVITAS
1. Bapak
2. langganan
3. mucikari
4. pelacur
5. pelacur kelas
kakap (2)
6. pelanggan kelas
kakap
7. selir
8. mainan pria
9. pelacur yang
masih perawan
10. lelaki bajingan!
11. gigolo = pengisi
waktu
12. ambai-ambai
13. lonte
14. lelaki brengsek
itu
15. wanita bayaran
16. wong cilik
17. anjing kudisan
1. faktor
ekonomi
2. tuntutan
keluarga
3. masa lalu
4. dendam
5. kota besar
6. iklim kota
7. aib (2)
8. tidak perawan
9. masa lalu
1. sisi hitam
2. pekerjaan hinaku
3. nakal
4. jijik
5. … di tempat
merah ini
6. fenomena beauty
and the beast
7. dendam
8. najis
9. genangan nasib
buruk
10. cairan amis
menjijikkan
11. nafsu bejatnya
12. dunia kotor
13. pekerjaan hina
14. dunia hitam.
1. persaingan
ketat
2. harus jadi
cantik
3. diet
4. seindah
gitar
spanyol
5. sikap genit
6. wajahku
yang cantik
7. tubuhku
yang sangat
solek
8. keadaan
yang
berantakan
9. bayaran
yang tinggi
1. direnggut
2. lantunan
taubatku
Kata Bapak yang muncul di dalam teks mengacu pada seorang pelanggan
tetap yang memperlakukan seorang PSK dengan sangat manusiawi. Frasa pelacur
yang masih perawan mengacu pada istri yang resmi dinikahi dalam sebuah ikatan
pernikahan tanpa cinta dari sudut pandang si suami. Sosok suami merasa dirinya
sebagai lelaki hidung belang yang menggauli istrinya—yang dipandang sebagai
seorang pelacur, sebagai buah perjodohan antarorangtua yang dipandangnya
sebagai mucikari. Anjing kudisan mengacu pada perbandingan yang dilakukan
pihak keluarga seorang suami demi menolak pernikahan dia dengan seorang
pelacur (ambai-ambai). Lelaki bajingan dan lelaki brengsek merupakan luapan
kebencian si PSK kepada pelanggannya. Terlebih, bagi PSK yang memiliki latar
sebagai korban pelecehan seksual, ia akan melakoni pekerjaannya itu dengan
kebencian, tanpa cinta dan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
ekonomis. Ditambah dengan munculnya kata direnggut yang menunjukkan bahwa
8
ada bagian dari kehidupan si PSK yang hilang sebagai akibat dunia yang
dilakoninya. Frasa kota besar dan iklim kota muncul sebagai faktor geografis yang
menuntut pemenuhan kebutuhan tinggi yang berkonflik dengan tingkat kecakapan
hidup yang rendah. Namun, ada beberapa sosok PSK di dalam data yang berasal
dari kalangan menengah ke atas yang karena sesuatu sebab beralih menjadi
pelacur. Dunia hitam, dunia kotor, najis, jijik, pekerjaan hinaku merujuk pada
tingkat kebencian yang tinggi terhadap dunia yang dilakoninya. Kebanyakan
sosok PSK di dalam data menyatakan profesi kelam mereka sebagai pilihan sesaat
sambil menabung dan berikhtiar untuk profesi lain yang dianggap lebih normatif.
Kata dendam muncul untuk menggambarkan beratnya kehidupan PSK yang
berada dalam jeratan berbagai pihak yang berkepentingan. Penghasilan mereka
tidak dapat dinikmati sendiri, tetapi harus dibagi dengan mucikari, petugas
keamanan/preman, keluarga/kekasih, dan sebagainya. Kata/frasa yang
menunjukkan ciri fisik yang mutlak dimiliki oleh seorang PSK menggambarkan
perjuangan yang berat untuk mempertahankan eksistensi dirinya jika ingin meraup
penghasilan yang besar dan mendapatkan pelanggan yang berkelas.
Analisis Pada Level Klausa/Kalimat
Pada level klausa/kalimat banyak bermunculan pandangan dan perasaan
sang PSK terhadap aktivitas yang dijalani, reaksi orang terdekat terhadap PSK,
dan reaksi masyarakat terhadap PSK.
Tabel 2
Pandangan dan perasaan PSK, serta reaksi orang terdekat/orang sekitar
terhadap PSK.
NO. KLAUSA/KALIMAT YANG MENUNJUKKAN KOMPLEKSITAS KEHIDUPAN PSK
1. Bagiku tak masalah, uangnya tetap harum.
Ternyata istri Bapak juga cantik. Jadi apanya yang masih kurang?
2. Begitu banyak pria yang rela membayar mahal saya.
“Yah, pengennya sih kayak gitu, Dit, tapi kan seorang pelacur tidak bisa memilih, kami ada karena kami
tidak punya pilihan, kan?”
Kaum yang bernama prialah yang menjadikan saya seorang pelacur.
Menjadi pelacur lebih terhormat daripada menjadi kekasih seorang seorang pria.
Atau mungkin itulah alasan mereka memakai saya, karena istrinya di rumah sudah berat, makanya
mereka mencari saya yang ringan.
9
sama-sama harus ngangkang dan melayani nafsu mereka, bedanya saya dibayar dan dia tidak.
3. Balutan gaun indah, menutup tubuh, yang akhirnya akan terhempas juga demi pundi-pundi rupiah yang
hendak kuraih.
Tak mau hidup seperti ini
[…] tidak akan memikirkan apa pun selain tubuhku?
[…] kesepianku yang dibunuh sang waktu.
Aku hanya menyambung hidup, adikku butuh makan, sekolah, apakah mereka mau menanggungnya.
Hidupku sudah berhenti di sini, tapi bukanlah masa depanku masih ada di sana.
4. Adat di tempat ini adalah datang, milih, maen, bayar.
“… kalo udah pelacur ya pelacur aja, gak usah disesali”
“… kamu sendiri yang milih jadi kayak gini.”
“Pria itu tak ubahnya seperti sampah.”
“Kamulah seorang pelacur terhormat!”
5. Aku seorang lelaki sejati dengan segala kelebihan dan kekuranganku.
Kami dibersarkan dalam budaya timur di mana menghormati dan berbakti kepada orang tua adalah yang
utama.
Kenapa kalian mucikari yang berbusana orangtua tidak pernah peduli bahwa kami juga punya hati?
6. […] cinta itu buta bukan hanya sekadar pepatah kuno.
Sama seperti WTS-WTS lainnya, ia terjerumus ke liang prostitusi ini juga karena faktor keluarga.
Hutang yang begitu besar membuat abangnya nekat menjual dia ke seorang pengusaha klub malam.
Dengan berat hati, ia melakoni pekerjaan barunya.
[…] rela dipukuli oleh seorang germo.
[…] wajah cantiknya, tubuh montoknya, hingga penampilan seronoknya […].
“[…] Aku wanita jalang. Kotor. […]”
7. Malam itu lelaki serupa dengan Marjun. Brengsek semua.
[…] harus merawat diri yang butuh biaya tinggi.
[…] menjaga bodi agar tetap aduhai.
Marjun menjelma menjadi penguasa tunggal lokalisasi liar itu.
10
8. […] semua akan baik-baik saja.
9. “Ah, dasar semua laki-laki sama saja. Semuanya mau enaknya sendiri dan tidak menepati yang
dijanjikannya,” ujarnya agak ketus.
Lalu, dia menceritakan tentang hidupnya yang telah ditinggalkan suaminya.
Melampiaskan kemarahan.
10. Kami terlahir sebagai anak-anak ayah karena seorang ambai-ambai, dan kami meninggalkan ayah, juga
karena ambai-ambai…
11. Selain orang-orang Zarkasih itu.
12. Aku adalah seorang wanita yang hancur dari keluarga yang dibangun dengan tembok kemiskinan dan
kesengsaraan.
Dunia tidak pernah memberikan keindahan sedikitpun padaku.
Aku menjadi seperti ini karena kebodohan dan ketololanku sewaktu aku baru saja lulus dari bangku
SMA.
Aku tidak percaya lagi adanya Tuhan.
Belum juga satu minggu aku lalui, lelaki brengsek itu pergi meninggalkanku ke luar negeri bersama
seluruh keluarganya.
[…] bukan untuk menikmati hidupku, tetapi untuk menikmati tubuhku.
[…] ya, aku tahu Tuhan tidak pernah menciptakan matahari dalam hidupku.
[…] mereka hanya menginginkan tubuhku, ya, hanya tubuhku.
Setahuku, semua tetangga-tetanggaku di sini tidak pernah mengetahui pekerjaanku sebagai pelacur.
Walau sekarang aku sudah dapat menghidupi diriku dengan pekerjaanku, tapi aku aku masih selalu
merasa sengsara.
Tak bisa kupungkiri memang, dalam relung bathinku selalu bergejolak dan menyeruak pesan, aku pun
ingin menikah, aku pun ingin memiliki suami dan anak, untuk ku jadikan keluarga yang bahagia.
13. Menjadi sampah masyarakat yang tidak berharga sama sekali.
Namun, yang lebih menyakitkan, anakku (Asti) dan cucuku (Rina) berani mengikuti jejakku.
Aku ini orang kotor, najis.
Aku ini mantan pelacur.
Kalimat Bagiku tak masalah, uangnya tetap harum. menunjukkan bahwa
PSK tidak memedulikan sikap orang lain kepadanya. Pemenuhan kebutuhan
sehari-hari jauh lebih penting dari sekadar mendengarkan reaksi masyarakat.
11
Kalimat Begitu banyak pria yang rela membayar mahal saya menunjukkan bahwa
PSK sedang mencapai puncak kejayaannya dengan berhasil menjerat pria-pria
berduit untuk menyentuh tubuhnya. Salah jika beranggapan bahwa para pelacur
menikmati kehidupannya karena mereka melakukan hal itu dengan landasan
tingkat kebencian yang tinggi kepada laki-laki yang menyentuh tubuhnya. Hal itu
banyak terungkap dalam beberapa kalimat berikut, antara lain, (1) Kaum yang
bernama prialah yang menjadikan saya seorang pelacur; (2) Ternyata istri
Bapak juga cantik. Jadi apanya yang masih kurang?; (3) Atau mungkin itulah
alasan mereka memakai saya, karena istrinya di rumah sudah berat, makanya
mereka mencari saya yang ringan; (4) “Pria itu tak ubahnya seperti sampah.”;
(5) Malam itu lelaki serupa dengan Marjun. Brengsek semua; (6) “Ah, dasar
semua laki-laki sama saja. Semuanya mau enaknya sendiri dan tidak menepati
yang dijanjikannya,” ujarnya agak ketus.; (7) Belum juga satu minggu aku lalui,
lelaki brengsek itu pergi meninggalkanku ke luar negeri bersama seluruh
keluarganya.; dan (8) […] bukan untuk menikmati hidupku, tetapi untuk
menikmati tubuhku.
PSK terkadang harus menanggung beban berat sebagai dampak dari
aktivitas yang dijalaninya. Stigma negatif dari masyarakat membuatnya terkadang
tidak mampu menunjukkan jatidirinya sendiri. Aditya (dalam Sedianingsih-
Mamahit, 2010:xxiv) mengatakan bahwa stigma sebagai pendosa sangat
membebani mereka sehingga untuk tampil sebagai manusia pun mereka tak
sanggup. Beberapa klausa atau kalimat yang menggambarkan keterpurukan
mereka atas reaksi masyarakat pada eksistensi PSK berikut: (1) “Yah, pengennya
sih kayak gitu, Dit, tapi kan seorang pelacur tidak bisa memilih, kami ada karena
kami tidak punya pilihan, kan?”; (2) Aku hanya menyambung hidup, adikku
butuh makan, sekolah, apakah mereka mau menanggungnya.; (3) Hidupku sudah
berhenti di sini, tapi bukanlah masa depanku masih ada di sana.; (4) “[…] Aku
wanita jalang. Kotor. […]”; (5) Kami terlahir sebagai anak-anak ayah karena
seorang ambai-ambai, dan kami meninggalkan ayah, juga karena ambai-
ambai…; (6) Selain orang-orang Zarkasih itu.; (7) Setahuku, semua tetangga-
tetanggaku di sini tidak pernah mengetahui pekerjaanku sebagai pelacur.; (8)
Menjadi sampah masyarakat yang tidak berharga sama sekali; (9) Aku ini orang
kotor, najis.; dan (10) Aku ini mantan pelacur. Sulitnya lahan untuk “kembali” ke
tengah masyarakat menjadikan mereka terpuruk dalam rutinitas sebagai seorang
PSK. Kutipan nomor (3) dan (10) menunjukkan bahwa perempuan yang
terjerumus menjadi PSK seolah terpenjara secara permanen di dalam dunianya.
Bahkan, ketika ia sudah berhenti beraktivitas sebagai PSK. Pendapat Aditya
berkorelasi dengan nomor (7) karena kebanyakan mereka menyembunyikan
jatidiri ke PSK-annya dari dunia luar. Seperti dalam beberapa cerpen, hanya
segelintir yang keluarganya mengetahui profesi anggotanya sebagai seorang PSK.
12
Hanya segelintir PSK yang menikmati kehidupan tersebut lalu memutuskan untuk
meningkatkan statusnya menjadi mucikari.
Terkadang frustasi tidak dapat dihindari ketika PSK merasa terkurung di
dalam rutinitas keseharian, seperti yang terungkap dalam kutipan berikut: (1)
Menjadi pelacur lebih terhormat daripada menjadi kekasih seorang seorang
pria.; (2) […] ya, aku tahu Tuhan tidak pernah menciptakan matahari dalam
hidupku; (3) Walau sekarang aku sudah dapat menghidupi diriku dengan
pekerjaanku, tapi aku aku masih selalu merasa sengsara.; dan (4) Tak bisa
kupungkiri memang, dalam relung bathinku selalu bergejolak dan menyeruak
pesan, aku pun ingin menikah, aku pun ingin memiliki suami dan anak, untuk ku
jadikan keluarga yang bahagia. Beratnya beban yang harus ditanggung oleh
seorang PSK rentan menimbulkan frustasi. Kutipan nomor (3) dan (4)
menunjukkan adanya kontradiksi antara pemenuhan kebutuhan yang mendesak,
situasi lingkungan yang tidak kondusif bagi pengembangan diri, serta perlawanan
hati nurani yang terpaksa kerapkali diabaikan ketika pelanggan datang atau
adanya ancaman sang mucikari. Beratnya beban hidup tersebut, terkadang
membuat seseorang memalingkan muka dari Tuhan-Nya. Terlebih jika ia pernah
mengalami peristiwa traumatis yang menyebabkan kehilangan benda berharga,
kekecewaan yang berlebihan, serta lingkungan yang kurang mendukung
pemulihan trauma, memicu seseorang untuk melampiaskan kemarahannya pada
Tuhan yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa traumatis itu, seperti yang
terungkap dalam kutipan nomor (2).
Analisis Pada Level Wacana
Pada cerpen nomor satu terungkap pencetus seorang perempuan ke dalam
dunia pelacuran, yaitu faktor ekonomi dan kehilangan figur orangtua, terutama
ayah sebagai kepala keluarga, serta potret ibu yang tidak memiliki kecakapan
hidup. Selain itu, stigma umum sang PSK kepada lawan jenisnya dianggap sama
dengan menganalogikan mereka sebagai kuda liar. Konteks kuda liar bermakna
siapa saja tidak dapat mengendalikannya kecuali pawang. Peranan pawang dalam
pengendalian nafsu si kuda liar tersebut mengarah pada perempuan. Perempuan
seolah ingin menunjukkan “giginya” sebagai penguasa kaum laki-laki. Cerpen
yang ditulis oleh penulis laki-laki tersebut masih mengusung kepentingan
maskulin dalam alur cerita. Tokoh perempuam dianggap tidak mampu berpikir
panjang karena dalam waktu singkat ia memutuskan untuk mengubah diri menjadi
PSK.
13
Tabel 3
Pandangan dan perasaan PSK, serta reaksi orang terdekat/orang sekitar
terhadap PSK.
NO.
KONTEKS
1. Ayahku meninggal enam bulan sebelumnya, sedangkan ibu ku sama sekali tidak punya pekerjaan.
Dua bulan kemudian aku nekat melakukan perbuatan haram ini karena aku dan ibu butuh makan, dan
aku tidak mau DO dari kuliahku. Tentu saja aku tidak melakukannya di kotaku S. Ada kereta api
yang bisa mengantarku ke kota Y sore hari, dan membawaku pulang ke S pagi harinya.
Aku tak peduli! Lelaki memang begitu. Banyak yang membiarkan nafsunya seperti kuda liar… tak
bisa mengendalikannya.
Kupikir aku akan segera mencari pekerjaan halal sambil meneruskan kuliahku. Tentang transfer
otomatis dari Bapak setiap bulannya, kupikir juga akan segera berhenti. Atau mereka akan mencari
jejak rekamku,dari rekening tujuan transfer dan dari HP Bapak, siapa tahu?
2. “Gatel! Nggak tahu diri! Nggak laku ya, lo, jadi cewek?” Masih banyak makian lain yang mampir di
telinga saya ketika saya melewati gang kecil yang menghubungkan rumah saya dengan jalan raya
yang akan mengantarkan berbagai jenis kendaraan untuk membawa saya mencari rupiah. Makian-
makian yang keluar dari mulut-mulut sekumpulan ibu-ibu yang sering bergerombol menghabiskan
waktu diujung gang itu memang sudah dangat familiar untuk telinga saya. Daripada saya membuang
waktu untuk menjawabi mereka.
Banyak orang yang bilang gampang jadi pelacur. Cuma ngangkang maka uang akan berdatangan?
Buktinya saya harus mematikan hati dan perasaan saya dulu, baru saya bisa ngangkang. Dan tidak
jarang saya harus dipukuli dulu oleh orang-orang yang memberi saya uang baru bisa saya
ngangkang. Hanya orang bodoh yang bilang jadi pelacur itu gampang.
Mereka mungkin tidak punya kaca. Lihat saja perut mereka yang nggak beda jauh sama ibu hamil.
Atas nama cinta mereka menggagahi saya. Atas nama cinta mereka meninggalkan saya. Atas nama
cinta mereka menggerogoti uang yang saya punya. Saya tidak mau menjadi budak seperti itu. Jadi
saya memilih menjadi pelacur saja.
3. -
4. “Gak habis pikir aja. Kenapa istri yang baru aku nikahi sekarang nunjukkin kelakuan yang
menurutku itu bodoh.”
“Contohnya?”
“Sebagai istri harusnya ia tahu bahwa kodrat dia adalah melayani suami, eh … ini malah keluyuran
sama temen-temennya, yang ke mallah, arisanlah, ini lah, itulah… gatel!’
5. Kota metropolitan sudah membentukku menjadi seorang lelaki yang angkuh, egois, dan
perfeksionis. Dari kota metropolitan ini juga aku mendapatkan segalanya, pekerjaan, rumah, dan
teman-teman yang bermuka dua.
6. Ia masih memiliki harga diri seorang wanita yang wajib dibela, walau hanya secercah saja. Tak
sepantasnya ia diperlakukan seperti binatang, hanya karena statusnya sebagai seorang pelacur.
7. Rumi sih senang-senang saja apalagi Marjun kerap memberikan uang tips lebih banyak dibanding
pria hidung belang yang pernah ditemuinya. Uang lebih sangatlah dibutuhkan bagi wanita berprofesi
seperti dirinya. Tahu sendirilah. Uang jerih payahnya masih harus dibagi untuk kepentingan macam-
macam, ada untuk germolah, untuk keamanan atau premanlah, dan untuk ojek langganan. Padahal,
ia juga harus menyisihkan uang untuk dikirim ke kampungnya. Orangtua tahunya Rumi atau
14
Ruminten bekerja di sebuah restoran.
Marjun pun marah dan membawa Rumi ke taman bawah Jembatan Semanggi. Di tempat yang gelap
itu, Rima dianiaya. Ditampar mukanya, dipukul perutnya, belum puas, ditendang kakinya. Setelah tak
berdaya, tas milik Rumi beserta isinya dibawa kabur Marjun. Hujan kemudian mengguyur. Rumi pun
tergeletak sendirian di bawah jembatan Semanggi. Salah satu kawasan ikon Jakarta yang sangat
padat dan menyesakkan di siang hari, malam itu terasa begitu sunyi.
8. Mata itu…. Masih hangat. Kehangatan yang kupikir telah lenyap semenjak video tak senonoh itu
menyebar luas. Aku tidak tahu siapa pemiliknya, aku bahkan tak ingat siapa yang merekam dan
seperti apa wajah pria yang tengah bergumul bersamaku.
“Sekarang kau sudah tahu siapa aku, video itu…, pemberitaan di media. Itu semua memang benar…,
tapi…!” kucoba untuk tidak menangis. Aku tak ingin dianggap memelas belas kasihnya, “Sungguh,
Mas, video itu berasal dari masa laluku. Aku bahwak tidak ingat video itu sempat ada!” akuku.
Hampir semua pemberitaan di media menjadikan kasus videoku sebagai headline. Video mesum istri
dari seorang anggota MK bersama pria lain menyebar luas di dunia maya. Ibrahim Fatih Kuncoro
Putra, seorang anggota MK yang beristrikan seorang pelacur. Hal itu tak dapat dipungkiri. Video itu
memang nyata, itu memang aku. Tak masalah jika itu hanya akan menghancurkanku, tapi suamiku.
Karirnya di kursi pemerintahan? Keluarganya? Bisa kubayangkan bagaimana tanggapan teman-
teman sejawatnya terhadap kasus ini. Tanggapan publik! Semua pelanggan butikku saja mulai
melarikan diri. Butik yang kumulai dari sebuah kios jahit sederhana di sebuah pasar pascakuputuskan
untuk berhenti menjajakan tubuhku lagi.
9. Dari penjelasannya terlihat bahwa ketika ia dapat melakukan hal tersebut, ia menganggap bahwa
dirinya menjadi pengontrol, penguasa atas para pria yang diajaknya berhubungan seks.
Pelajaran buatku hanya di hari itu, aku semakin disarkan betapa bahayanya jika kita
mempermainkan, melecehkan, melakukan penyiksaan terhadap batin seseorang. Apalagi orang
tersebut adalah orang terdekat dengan diri kita. Dan betapa kejinya jika seorang pria melakukan hal-
hal tersebut di atas karena dampaknya sungguh merusak jiwa seorang wanita.
10. Dulu, kami tak sungguh-sungguh memercayai celaan keluarga ayah, begitu juga dengan gunjing
yang bergerak tentang masa lalu ayah dan mendiang ibu. Sedapat-dapatnya kami berusaha
menebalkan muka, menganggap semua hinaan pada ibu sebagai omong-kosong lantaran kedengkian
keluarga ayah. Kini, pembenaran itu kami dengar langsung dari ayah, orang yang selama bertahun-
tahun bersetia pada ibu, meski namanya harus terhapus dari ranji silsilahnya.
11. Caci maki seperti ini, biasa terjadi sini. Wong mereka senasib semua. Jika sodara berkunjung ke
sana, di saat musim hujan seperti sekarang ini, sodara akan mendengar gegap gempita makian dari
setiap pintu. Berulang-ulang. Selalu berulang-ulang. Meski mereka sadar bahwa makian sama halnya
mencaci nasibnya sendiri.
Penghuni Gg. H. Zarkasih sudah dapat ditakar berapa penghasilannya. Jika ada yang lebih, tak
kurang dari lima ribu rupiah saja selisihnya. Hampir seluruh kepala keluarga di sana berprofesi
sebagai kuli pasar dan bangunan. Keluar jam tiga pagi hingga rehat sore nanti.
Ada satu rumah yang dihuni empat orang perempuan yang menggantungkan hidupnya sebagai lonte.
Warga Gg. H. Zarkasih tidak sedikitpun mengumengusiknya. Mereka sama-sama tahu kesulitan
wong cilik. Jika perlu, para kuli sering membawakan tamu baginya. Lumayan tambalan sedikit buat
dapur kilahnya.
Sebagian orang dalam mushola berdoa untuk kesehatan dan kenyamanan hidupnya. Di serambi
mushola, tiga lonte muda berharap hujan reda seketika. Dan segera datang langganan atau tamu baru
yang menjemput mereka.
15
“Pemerintah sakit! Makhluk gebleg! Saban hari saya harus nyapu bekas-bekas banjir,” foto senyum
tengil walikota terpilih itu masih setia nempel di badan Kinyang.
“Mayatnya ada di bantaran kali. Ada bekas cekikan di lehernya,” tutur Mis’ad. Tiga lonte muda
memeluk tubuh kawannya masing-masing. Berderai matanya.
“Kang Mis’ad, terus siapa yang ngurus Teh Dedeh di sana?” suaranya berat, lonte muda itu tak kuasa
menahan sedih.
Sebulan setelah meninggalnya Renata , kasusnya seperti sengaja dipetieskan. Dan hukum seolah
tidak berbicara untuk seorang pelacur yang mati dibunuh. Beda dengan anak tuan jenderal yang mati
sebab duel di diskotek tempo lalu. Dua hari kemudian ditangkaplah seseorang yang dicap pembunuh
anaknya. Padahal banyak saksi berkata, anak tuan Jenderallah yang onar awalnya.
12. Saat ini aku masih menjadi seorang pelacur, pelacur yang tidak pernah henti-hentinya dihubungi para
lelaki hidung belang, lelaki-lelaki yang hidupnya hanya mengumpulkan kayu bakar untuk kemudian
mereka bakar dan membakar tubuh mereka sendiri di neraka nanti, sama seperti diriku.
Malam itu pun kita lewatkan dengan segala cumbu mesra penuh nafsu. Namun, sudah menjadi
kewajibanku untuk tidak menikmati itu. sedikit saja aku merasakan kenikmatan, maka aku akan
termasuk wanita yang tidak biasa memuaskan seorang lelaki hidung belang.
Aku tahu, ternyata Tuhan telah menjemputku pagi itu untuk kembali ke haribaannya melalui
suruhan-Nya, yang kulihat itu ternyata jasadku yang telah aku tinggalkan, malaikat juru pati
mengajakku pergi meninggalkan semua apa-apa yang aku pernah miliki di dunia, termasuk
keluargaku, dan juga Purnama.
13. Namun, nyatanya aku melahirkan bayi perempuan. Wiryo begitu kecewa dan aku begitu merana.
Suatu hari, Wiryo sedang apes di meja judi, dan untuk menyelesaikan masalah ia menjualku ke
seorang germo.
Di usi delapan belas aku sudah rela kehilangan keperawanan. Aku tidak tahu siapa yang melakukan.
Karena pada waktu itu tiga orang bertopeng menyekapku, membawaku ke sebuah tempat yang entah
berada di mana.
Cerpen-cerpen lain pun hampir sama. Kebanyakan masih mengusung
keutamaan maskulinitas dalam alur cerita. Cerpen mengusung faktor pencetus
perempuan terjerumus ke dalam dunia pelacuran, jika bukan faktor ekonomi tentu
faktor psikologis. Tidak jarang kedua faktor tersebut muncul secara bersamaan.
Terkadang, lingkungan terdekat sendiri yang menjerumuskan seorang, atau dari
diri sendiri. Soedjono D. (1977:42) mengatakan bahwa pelacuran muncul dari
aspek biologis manusia berupa sifat-sifat alami tertentu, baik laki-laki maupun
wanita yang kadang-kadang tidak mudah tunduk pada aturan-aturan kultur
masyarakat. Lebih jauh lagi ia menegaskan bahwa pelacuran muncul dari konflik
seksualitas pada laki-laki yang tingkat kematangan seksnya lebih cepat, tetapi
terhadang oleh aturan budaya setempat. Terlebih maraknya kasus konflik rumah
tangga yang ditunjang dengan kondisi lingkungan sekitar (misalnya kota
metropolitan) semakin memuluskan jalan seseorang untuk terjerumus ke dalam
sarang pelacuran. Kesenjangan yang luar biasa juga menjadi beban tersendiri bagi
16
para pegiat kepentingan di dunia pelacuran, ujung-ujungnya PSK sendiri menjadi
komoditi sapi perah bagi pihak-pihak tersebut (Aditya, 2010:xxxi). Aditya
selanjutnya menyampaikan bahwa relasi kuasa sangat menyudutkan PSK dalam
bisnis seks tersebut karena mereka kerapkali harus mengalah pada keinginan
pihak terkait, seperti pelanggan atau mucikari.
Kesulitan demi kesulitan bagi PSK seolah tiada henti, baik selama ia
menjalani tugas sampai ia menemui ajalnya. Kasus Renata dalam cerpen nomor
(11) merupakan bukti masih kuatnya kesenjangan sosial di antara peliknya
kehidupan masyarakat kota. Renata mati sebagai sampah yang tidak layak dilihat
banyak mata manusia. Kematiannya yang tragis dalam sebuah peristiwa
pembunuhan hanya ditangani oleh aparat keamanan. Kematiannya hanya berita
lokal bagi penduduk Gang H. Zarkasih. Sangat kontras dengan kematian anak
seorang petinggi yang terlibat keributan di sebuah tempat hiburan ibukota. Semua
mata manusia di negeri ini dapat menyaksikan dan mendengar beritanya. Dalam
hal ini, media pun turut berperan untuk melebarkan kesenjangan sosial tersebut.
Tidak semua data menunjukkan penistaan pada eksistensi PSK. Ada pula
cerpen yang menunjukkan bahwa segelintir masyarakat pun dapat menghargai
PSK. Dalam data dimunculkan tokoh orang terdekat, yaitu suami dan kekasih.
Namun, dalam alur cerita, perlakuan baik tersebut harus dibayar mahal dengan
konsep penyerahan diri. PSK sebagai perempuan harus tunduk pada sosok suami
atau kekasih yang bertindak seolah-olah menjadi pahlawan atau malaikat bagi
dirinya, seperti dalam cerpen nomor (6), (8), dan (12).
Penutup
Dari masa ke masa, pembahasan tentang pelacuran cenderung statis.
Pembahasan senantiasa berkaitan dengan faktor pencetus yang menyebabkan
seseorang terjerumus ke dalam dunia pelacuran. Selebihnya, pembahasan akan
berkaitan dengan kesulitan sang PSK dalam menjalankan aktivitasnya serta pada
masa pensiunnya. Stigma negatif yang sudah mengakar—dengan munculnya
berbagai istilah yang mengarah pada aktivitas PSK sebagai wanita penghibur--
dalam masyarakat kita ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, masyarakat yang
berperanan seolah lebih baik, memandang PSK tidak sebagai bagian dari
masyarakat mainstream. Istilah sampah masyarakat pun berlaku seumur hidupnya.
Namun, di sisi lain, eksistensi PSK sangat diperlukan sebagai sapi perah untuk
menutup kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan dalam bisnis tersebut.
Cerpen bertemakan dunia pelacuran pada era 2000-an tidak mengalami perubahan
dari alur cerita dengan tema serupa pada era sebelumnya. Sama halnya dengan
pembahasan tentang dunia pelacuran pada berbagai buku atau artikel lain. Pada
era 2000-an pun kehidupan PSK masih berjalan statis seperti dua sisi mata uang.
Satu bagian merupakan lahan bagi stigma negatif masyarakat. Sementara itu, sisi
17
yang satu menjadi lahan untuk meraup keuntungan yang banyak dalam dunia
kelam itu. PSK yang digambarkan di dalam cerpen berdasarkan konsep stilistika
feminis Sara Mills tersebut, masih mengalami kesenjangan yang luar biasa di
dalam teks. Sebagai perempuan yang berkiprah dalam dunia berisiko tinggi
tersebut, ia diposisikan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Sekalipun ada
pihak yang berusaha untuk memuliakan dirinya, ia tidak memiliki ruang gerak
yang luas serta harus tunduk pada pihak yang bersangkutan, seperti suami atau
kekasih.
Daftar Pustaka
Aditya, Baby Jim. 2010. “Pria Idaman”: Mata Rantai Penularan HIV/AIDS dari
Lokalisasi ke Rumah Tangga” dalam Sedyaningsih-Mamahit, Endang R.
2010. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: KPG.
Airy, Yaliati. 2016. “Istriku Seorang Pelacur” dalam
http://fiksiana.kompasiana.com/y.airy/istriku-seorang-
pelacur_57b0aa4279937321190d8184, diunduh 18 Agustus 2016, pukul
14.45 WIB.
Baker, Nick. 2015. “Kisah Dewi: Rumah Pelacuran di Papua” dalam diunduh 1
Oktober 2016, pukur 12:40 WIB.
Jogja, Dgreato. 2011. “Aku Menikahi Pelacur Perawan”
http://www.kompasiana.com/dgreato/aku-menikahi-pelacur-
perawan_5509937ba33311637b2e3a85, diunduh 18 Agustus 2016, pukul
14.17 WIB.
Lubis, Immanuel. 2014. “Salahkah Aku Mencintai Seorang Pelacur?” dalam
http://www.kompasiana.com/immanuelsnotes/salahkah-aku-mencintai-
seorang-pelacur_54f3c0ae745513a22b6c7d7f, diunduh 18 Agustus 2016,
pukul 14.40WIB.
Lucifer. 2014. “Catatan Seorang Pelacur...”
http://www.kompasiana.com/zerolife/catatan-seorang-
pelacur_54f7b2e7a3331182208b47c3, diunduh 18 Agustus 2016, pukul
14.30 WIB.
Sedyaningsih-Mamahit, Endang R. 2010. Perempuan-Perempuan Kramat
Tunggak. Jakarta: KPG.
Soedjono D. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam
Masyarakat. Bandung: Karya Nusantara.
Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London: Routledge.
Muhammad, Damhuri. 2010. “Ambai-Ambai” dalam PR Minggu edisi 13 Juni
2010, hlm. 23. Bandung: Granesia.
Nyangtu. 2010. “Tiga Perempuan Pelacur”
http://nyangtu.blogspot.co.id/2010/11/cerpen-tiga-perempuan-
pelacur.html, diunduh 18 Agustus 2016, pukul 15.30 WIB.
Pamungkas. 2012. “Pelacur” dalam
https://pamungkas29.wordpress.com/2012/07/07/pelacur-cerpen, diunduh
18 Agustus 2016, pukul 15.25 WIB.
18
Prasetyani, Retno. 2012. “Cerita Seorang Pelacur” dalam
http://www.kompasiana.com/nenonenoo/cerita-seorang-
pelacur_550e84a8813311852cbc655e, diunduh 18 Agustus 2016, pukul
14.25 WIB.
Putranda, Panji. 2014. “Sidi Saleh: Bikin Film Murah yang Tidak Murahan”
dalam http://filmindonesia.or.id/article/sidi-saleh-bikin-film-murah-yang-
tidak-murahan#.V-uJUPQykdU diunduh 28 September 2016, pukul
17.50 WIB.
Riswandi, Bode. 2010. “Pelacur yang Mati di Kali” dalam
http://hminews.com/2010/03/uncategorized/pelacur-yang-mati-di-kali/,
diunduh 18 Agustus 2016, pukul 15.15 WIB.
Saleh, Sidi. 2013. Fitri. Jakarta:.
Sasmita, Fajar. 2012. “Kamulah Seorang Pelacur Terhormat” dalam
http://www.kompasiana.com/fumi46/kamulah-seorang-pelacur-
terhormat_551a30558133112e7f9de0f7, diunduh 18 Agustus 2016, pukul
14.30 WIB.
Simanjuntak, Posma Ramos. 2011. “Ssst (Ternyata) Pelacur Itu Mengajariku”
http://www.kompasiana.com/posmaramossimanjuntak/ssst-ternyata-
pelacur-itu-mengajariku_550a4fe2a33311d11c2e393a, diunduh 18
Agustus 2016, pukul 14.50 WIB.
Sugiarjo, Trubus. 2014. “RIP. (Cerita Seorang Pelacur tentang Kematian Seorang
Pelanggannya)” dalam http://www.kompasiana.com/greentea/r-i-p-cerita-
seorang-pelacur-tentang-kematian-seorang-
pelanggannya_54f99ba8a333110c568b4730, diunduh 18 Agustus 2016,
pukul 14.17 WIB.
Supriyadi. 2014. “Masculine Language in Indonesian Novel: A Feminist Stylistic
on Belenggu and Pengakuan Pariyem” dalam Humaniora, Volume 26, 2
Juni 2014, hlm. 225—234. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Wardani, Septian Widya, Purnomo, Daru, dan Lahade, John R. 2013. “Analisis
Wacana Feminisme Sara Mills Program Tupperware She Can! On Radio
(Studi Kasus Pada Radio Female Semarang)” dalam repository.uksw.edu
diunduh 1 Oktober 2016, pukul 16:00 WIB.
Witoratop. 2011. ‘Balada Pelacur dan Pria Tamak Kekasihnya” dalam
http://indonesiaunicef.blogspot.co.id/2015/12/kisah-dewi-rumah-
pelacuran-di-papua.html diunduh 18 Agustus 2016, pukul 14.41 WIB.