11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
Bab ini terdiri dari empat subbab, yaitu pertama adalah kajian pustaka yang
berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian
yang akan dilakukan saat ini. Kedua merupakan konsep yang merupakan batasan-
batasan terminologi teknis berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah.
Ketiga, berupa landasan teori yang merupakan teori-teori yang digunakan untuk
memecahkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Terakhir adalah
model penelitian yang menjelaskan mengenai abstraksi dan sintesis antara teori
dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan).
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan kajian mengenai penelitian–penelitian yang
relevan terhadap penelitian yang akan dilakukan saat ini. Kajian pustaka ini
bertujuan untuk menghindari duplikasi dan menjadi bahan pertimbangan dalam
meneliti topik yang diteliti nantinya serta dapat menambah wawasan baik dalam
segi pemanfaatan metode ataupun landasan teori yang relevan, sehingga hasil
penelitian dapat menjadi lebih baik. Terdapat dua macam cara penulisan kajian
pustaka, pertama kajian pustaka yang berorientasi pada peneliti dan yang kedua
yang berorientasi kepada tema penelitian (tematik). Dalam penelitian ini
digunakan cara kedua, yaitu penulisan yang berdasarkan pada tema penelitian.
11
12
Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya akan dipaparkan secara
tematik adalah sebagai berikut:
2.1.1 Penelitian Mengenai Hubungan Ruang dan Perilaku
Penelitian ini melihat bagaimana hubungan antara ruang atau seting dengan
perilaku manusia, sehingga dapat ditemukan kesamaan penelitian ini yang melihat
bagaimana hubungan masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola ruang di
Tanjung Benoa. Terdapat dua penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku
yang dapat dijadikan sebagai kajian pustaka.
Penelitian dengan judul “Telaah Toleransi Penduduk Kampung Kota di
Daerah Aliran Sungai Code Berdasarkan Perilaku Dalam Berhubungan Sosial
Dengan Tetangga” (Setiawan, 1987) dan penelitian kedua “Perilaku Pemukim
Terhadap Lahan Permukiman Sekitar Sungai Di Kawasan Pusat Kota” (Najib,
2005) sama-sama membahas mengenai bagaimana hubungan interaksi manusia
pada suatu tempat dapat mempengaruhi lingkungan atau permukimannya.
Kedua penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku sama-sama
menggunakan metode kualitatif, tetapi pendekatan yang berbeda. Penelitian yang
dilakukan oleh Setiawan menggunakan pendekatan fenomenologi dan penelitian
oleh Najib menggunakan pendekatan naturalistik. Kedua pendekatan, pendekatan
fenomenologi dan naturalistik ini mirip karena sama-sama melihat fenomena yang
terjadi di lapangan tanpa berbekal kerangka berpikir yang jelas. Selain itu, teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh kedua peneliti juga tidak berbeda, yaitu
dengan cara observasi, survei, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data
13
dengan tiga cara ini merupakan teknik yang paling sesuai dengan penelitian
mengenai hubungan ruang dan perilaku.
Materi bahasan yang sama pada kawasan yang berbeda menemukan hasil
penelitian yang sama. Masyarakat selalu memanfaatkan lingkungan mereka
dengan semaksimal mungkin dan dibuat suatu tempat yang dijadikan ruang
bersama untuk menampung interaksi sosial yang ada di Sungai Code dan di
sekitar sungai di kawasan pusat kota. Ruang bersama yang ada tidak selalu
digunakan oleh orang yang tinggal dekat dengan ruang bersama tersebut.
Penggunaan ruang bersama tidak berdasarkan dekat jauhnya ruang tersebut
dengan tempat tinggal karena alasan kecocokan hubungan sosial. Hubungan sosial
suatu masyarakat tidak terlihat dari jauh dekatnya tempat tinggal, sehingga
terkadang orang menggunakan ruang bersama yang jauh dari rumahnya, tetapi
hubungan sosial dengan orang di tempat jauh tersebut sangat dekat.
Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Setiwan dan Najib dengan
penelitian Pola Ruang Interaksi Multi Etnis di Tanjung Benoa, Bali, adalah materi
yang dibahas. Materi yang dihasilkan oleh Setiawan dan Najib sama dengan
materi yang ingin ditemukan di Tanjung Benoa, yaitu ditemukan suatu ruang atau
pembentukan ruang dalam suatu kawasan dipengaruhi oleh aktivitas interaksi
sosial masyarakatnya.
2.1.2 Penelitian Mengenai Penggunaan Ruang
Penelitian mengenai penggunaan ruang ini dipergunakan untuk melihat
bagaimana menentukan suatu pola ruang dalam suatu kawasan dan metode yang
14
yang paling efektif digunakan untuk menemukan suatu pola penggunaan ruang
pada suatu wilayah.
Untuk penelitian mengenai penggunaan ruang terdapat dua penelitian, kedua
penelitian sama-sama mengkaji arus perkembangan menyebabkan kebutuhan
ruang semakin bertambah. Pertambahan kebutuhan ruang akan menciptakan
pemanfaat ruang dan menimbulkan pola yang berbeda dengan pola semula.
Terdapat dua penelitian yang membahas mengenai pola ruang, penelitian
pertama dilakukan oleh Haryanti (2008) yang berjudul “Kajian Pola Pemanfaatan
Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang”. Penelitian
kedua dilakukan oleh Kasuma dan Iwan (2011) yang berjudul “Karakteristik
Ruang Tradisional Pada Desa Adat Penglipuran, Bali”. Penelitian pertama melihat
bagaimana pola pemanfaat ruang berdasarkan ruang terbuka publik, ruang terbuka
hijau, pola pedestrian dan pola jalur lambat. Penelitian kedua yang berjudul
“Karakteristik Ruang Tradisional Pada Desa Adat Penglipuran, Bali” melihat
kebutuhan ruang yang semakin bertambah dapat mengancam pola ruang yang
seharusnya tetap lestari pada Desa Adat Penglipuran. Penelitian pertama lebih
condong untuk meneliti pola ruang dalam bidang perkotaan, sedangkan penelitian
kedua meneliti dalam kajian etnik.
Metode yang digunakan oleh kedua penelitian untuk dapat mengetahui pola
ruang suatu kawasan adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
rasionalistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan sama dengan penelitian
yang ada sebelumnya, observasi, survei dan dokumentasi. Teknik pengumpulan
15
data inilah yang akan digunakan untuk penelitian Teritorialitas dan Interaksi
Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali.
2.1.3 Penelitian Mengenai Teritorialitas
Kajian pustaka ketiga membahas mengenai teritorialitas. Penelitian
mengenai teritorialitas yang telah ada sebelumnya perlu untuk dibahas, selain
membuktikan terdapat penelitian yang hampir serupa dengan penelitian ini dan
tidak meniru dari penelitian lain yang serupa.
Terdapat tiga penelitian mengenai teritorialitas. Pertama dilakukan oleh
Nuraini (2010) yang berjudul “Studi Awal Teritorialitas dan Sistem Seting
Permukiman di Sekitar Candi Sukuh” dan yang kedua melihat penelitian
teritorialitas di Yogyakarta yang dilakukan oleh Burhanuddin (2009) yang
berjudul “Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Permukiman Padat Di Kampung
Klitren Lor Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta”. Dan penelitian berjudul
“Konsep Perilaku Teritorialitas di Kawasan Pasar Sudirman Pontianak”
(Kurniadi, dkk, 2012).
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Nuraini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin dan Kuradi. Penelitian yang
dilakukan Nuraini menunjukkan bahwa teritorialitas permukiman di sekitar Candi
Sukuh dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu teritorialitas desa dan teritorialitas
rumah. Teritorialitas desa di tandai dengan batas desa, penduduk, pola aktivitas
masyarakat serta zonifikasi dan hierarki aktivitas masyarakat. Teritorialitas rumah
di bedakan atas, teritorialitas dalam satu area hunian dan teritorialitas dalam
rumah. Teritorialitas dalam satu area hunian ditandai dengan adanya tingkat atau
16
hierarki area kepemilikan. Teritorialitas dalam rumah dinyatakan dengan
perletakan elemen bangunan.
Hasil penelitian Barhanuddin dan Kurniadi menyatakan terdapat faktor-
faktor penentu yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang. Pada
penelitian teritorialitas Barhanuddin, hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor
penentu yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang pada Kampung ini
adalah berdasarkan status tanah dan jumlah aktivitas warga pengguna ruang pada
tiap-tiap kasus, hal ini dapat dilihat pada saat sore dan malam hari. Faktor penentu
dapat mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang adalah keterkaitan dengan
keterlibatan personal, involvement, kedekatan individu atau kelompok penguna
dalam membentuk seting ruang, sehingga terbentuk teritori masyarakat
berdasarkan kategori teritori yaitu primary territory, secondary territory dan
public territory.
Penelitian teritorialitas yang dilakukan di Pontianak menghasilkan terjadinya
peluasan teritori diakibatkan oleh kebutuhan, ketika ancaman dari pihak lain
dirasakan semakin besar, akibatnya mereka berusaha memperkuat dan memperjelas
teritorialitasnya itu dengan menggunakan batas-batas fisik hasil ketiga menunjukkan
karena merupakan teritori publik maka pengguna hanya berusaha menyesuaikan diri
terhadap keadaan di lapangan dengan mamanfaatkan ruang yang ada untuk
bersirkulasi.
Penelitian pertama yang diteliti oleh Nuraini dapat dijadikan pedoman untuk
menandakan dan mengetahui teritorialitas dari ruang-ruang yang ada di Tanjung
Benoa. Berbeda dengan kedua penelitian yang dilakukan oleh Barhanuddin dan
Kurniadi di atas dapat dijadikan pertimbangan dan untuk membantu menjawab
17
rumusan masalah ketiga yang ingin memahami dan mengetahui faktor-faktor atau
hal yang melatarbelakangi terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang
publik yang merupakan teritorialitas dari suatu etnik yang ada pada Desa Adat
Tanjung Benoa. Secara keseluruhan ketiga penelitian di atas dibedah dengan
menggunakan teori utama berupa teori teritorialitas. Teori teritorial juga akan
digunakan juga dengan penelitian ini, sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan. Selain itu, teknik pengumpulan data berupa mapping atau
pemetaan aktivitas juga dapat dijadikan contoh untuk memecahkan masalah kedua
pada penelitian dengan judul “Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung
Benoa, Bali”.
Metode yang digunakan oleh seluruh penelitian mengenai teritorialitas
menggunakan metode yang sama, yaitu metode penelitian kualitatif. Teknik
pengumpulan data yang dilakukanpun sama, yaitu melalui observasi, wawancara
secara mendalam dan dokumentasi.
2.1.4 Penelitian Mengenai Pola Interaksi Sosial Multi-etnik
Banyak penelitian mengenai multi-etnik karena hubungan antar etnis
menjadi salah satu fenomena yang cukup menarik untuk dibahas. Penelitian
mengenai interaksi sosial multi-etnik inipun dapat diteliti dari berbagai sudut
pandang yang berbeda.
Penelitian mengenai interaksi multi-etnik umumnya lebih condong melihat
bagaimana bentuk dari pola interaksi sosial suatu komunitas atau daerah yang
terdiri dari beberapa etnis. Penelitian lain juga ada yang melihat dari perspektif
yang berbeda, yaitu mengenai bentuk dari interaksi sosial masyarakat dalam suatu
18
daerah yang dihuni oleh lebih dari satu etnis. Penelitian yang melihat bentuk
interaksi sosial menjadi menjadi urutan kedua pilihan penelitian yang paling
banyak dikaji di samping mengenai pola interaksi. Selain itu, terdapat penelitian
mengenai interaksi multi-etnik yang mengkaji lebih mendalam dengan melihat
akibat munculnya globalisasi yang dapat menimbulkan hegemoni budaya pada
masyarakat etnis yang minoritas pada suatu daerah.
Penelitian mengenai interaksi sosial multi-etnik yang melihat dari sudut
pandang bagaimana pola yang dari interaksi sosial masyarakat multi-etnik dan
bentuk interaksi dalam suatu kawasan tertentu yang terdiri dari beberapa etnik,
adalah penelitian dengan judul “Pola Interaksi dan Integrasi Masyarakat Multi
Etnis: Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak”
(Nazarudin dkk, 2007) dan penelitian dengan judul “Pola Interaksi Sosial
Masyarakat Etnis Jawa Dengan Etnis Cina: Studi di Desa Gurah Kecamatan
Gurah Kabupaten Kediri” (Astutik, 2007).
Penelitian lain yang dapat menjadi kajian pustaka adalah penelitian “Suku
Bajo Dalam Lintas etnik di Kepulauan Karimunjawa Analisis Interaksi Sosial
Antar Etnis” (Indiatmoko, 2004). Penelitian ini mengkaji lebih mendalam
mengenai munculnya globalisasi yang mengakibatkan hegemoni budaya pada
masyarakat etnis yang minoritas pada suatu daerah.
Secara keseluruhan ketiga penelitian mengenai interaksi sosial multi etnis di
atas dibedah dengan menggunakan teori utama berupa teori interaksi sosial. Teori
interaksi sosial digunakan karena hanya teori ini yang membahas mengenai jenis
interaksi sosial, proses sosial yang ada dan bentuk-bentuk interaksi dari proses
19
sosial tersebut. Berdasarkan hal inilah ketiga penelitian menggunakan teori
interaksi sosial karena paling memegang peranan penting untuk melihat hubungan
dan bentuk dari interaksi antar etnis pada suatu wilayah.
Metode yang digunakan oleh seluruh penelitian mengenai interaksi sosial
multi-etnik ini menggunakan metode yang sama, yaitu metode penelitian
kualitatif. Seluruh penelitian di atas bersifat deskriptif, dilihat berdasarkan
masalahnya. Teknik pengumpulan data yang dilakukanpun sama, yaitu melalui
observasi, wawancara secara mendalam dan dokumentasi. Teknik pengumpulan
data yang digunakan pada semua penelitian dalam penelitian pola interaksi sosial
multi-etnik merupakan teknik yang paling tepat untuk memecahkan hubungan
interaksi sosial masyarakat multi-etnik.
Terakhir akan dilihat dari hasil dari seluruh penelitian mengenai interaksi
sosial multi-etnik. Penelitian yang dilakukan oleh Nazarudin dkk (2007) dan
Astutik (2007) yang ingin melihat bagaimana bentuk interaksi sosial pada suatu
wilayah yang dihuni oleh lebih dari satu etnik menghasilkan hal yang sama.
Kedua penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa agar tercipta interaksi sosial
yang baik dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis, terdapat bentuk interaksi,
seperti kerja sama, asimilasi dan akomodasi yang merupakan proses assosiatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Idiatmoko (2004) dan Nazarudin dkk (2007)
mengenai pola interaksi juga menghasilkan suatu kesimpulan yang sama. Hasil
penelitian keduanya menunjukkan bahwa pola interaksi sosial masyarakat antar
etnik merupakan interaksi yang saling menghargai, sehingga tercipta hubungan
yang harmonis. Integrasi tercipta dengan baik antar etnis ini dikarenakan setiap
20
anggota masyarakat memiliki sifat toleransi yang sangat tinggi terhadap etnis lain
tanpa adanya sifat saling merendahkan antar etnis. Kesimpulan yang didapatkan
kedua peneliti ini sama, walaupun pola interaksi yang diteliti sedikit berbeda.
Idiatmoko melihat pola interaksi antar etnis mayoritas dan minoritas di Kepulauan
Karimunjawa. Penelitian Nazarudin dkk melihat pola interaksi antar masyarakat
multi-etnik di Kecamatan Sungai Ambawang tanpa adanyanya etnis mayoritas
dan minoritas.
Pemaparan tiga penelitian mengenai interaksi sosial masyarakat multi-etnik
di atas memberikan masukan terhadap penelitian ini, Pola Ruang Interaksi Multi
Etnis di Tanjung Benoa, Bali. Peneliti dapat menggunakan teori yang sama, teori
interaksi sosial untuk memecahkan rumusan masalah pertama mengenai perilaku
interaksi sosial yang terjadi antara lima etnis yang ada di Tanjung Benoa. Lima
etnis tersebut adalah etnis Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue (Flores).
Apabila ketiga penelitian di atas menggunakan teori interaksi sosial, maka dalam
penelitian ini terdapat teori lain yang digunakan seperti teori perilaku sosial dan
behavioral setting.
Teknik pengumpulan data yang digunakan memang harus observasi,
wawancara yang mendalam dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data sudah
sesuai untuk mendapatkan gambaran keseluruhan hubungan atau interaksi yang
terjadi di Tanjung Benoa serta tempat yang digunakan untuk mewadahi interaksi
tersebut.
Hasil penelitian antara Idiatmoko, Nazzarudin dkk dan Astutik berbeda
dengan penelitian dengan Judul Pola Ruang Interaksi Multi Etnis di Tanjung
21
Benoa, Bali. Ketiga penelitian yang menjadi kajian pustaka memiliki tujuan untuk
memahami dan mengetahui pola interaksi, intergritas dan bentuk interaksi sosial
antar multi-etnik di kawasan penelitian masing-masing. Sedangkan penelitian di
Tanjung Benoa ingin memahami dan mengetahui tidak hanya bentuk interaksi
sosial multi-etnik saja, tetapi juga tempat serta waktu dilakukannya interaksi serta
penggunaan ruang akibat interaksi sosial tersebut.
Berdasarkan beberapa kajian pustaka di atas, maka dibuatkan suatu
kesimpulan secara ringkas (lihat lampiran 1) mengenai penelitian pada kajian
pustaka. Kajian pustaka dibagi menjadi empat tema penelitian, yaitu penelitian
mengenai hubungan ruang dan perilaku, mengenai penggunaan ruang,
teritorialitas serta penelitian mengenai pola interaksi sosial multi-etnik.
Berdasarkan keempat tema ini peneliti dapat menjadikannya sebagai bahan
pertimbangan. Penelitian mengenai teritorialitas dapat menjadi dijadikan pedoman
untuk menandakan dan mengetahui teritorialitas dari ruang-ruang yang ada di
Tanjung Benoa dan untuk membantu menjawab rumusan masalah ketiga yang
ingin memahami dan mengetahui faktor-faktor atau hal yang melatarbelakangi
terjadinya aktivitas interaksi multi-etnik pada ruang publik yang merupakan
teritorialitas dari suatu etnik yang ada pada Desa Adat Tanjung Benoa.
Penelitian mengenai pola interaksi sosial multi-etnik membantu peneliti
dalam menentukan teori yang sesuai untuk membedah rumusan masalah yang ada
dalam penelitian mengenai Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di Tanjung
22
Benoa, Bali. Teori interaksi sosial membantu untuk menjawab rumusan masalah
pertama.
Terdapat persamaan penggunaan metode dalam keseluruhan penelitian
dengan penelitian yang dilakukan di Tanjung Benoa, yaitu penggunaan metode
kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena penelitian mengenai hubungan
interaksi sosial dengan ruang membutuhkan perkembangan dari topik kajian
selama dilakukan penelitian di lapangan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan oleh seluruh penelitian pada kajian pustaka dengan penelitian lima
etnik ini sama, yaitu dengan cara observasi, survei (wawancara secara mendalam)
dan dokumentasi.
2.2 Konsep
Dalam penelitian konsep dapat berupa bagian untuk menjelaskan arti dari
potongan kalimat yang terdapat dalam judul penelitian atau rumusan masalah.
Sama halnya dalam penelitian ini konsep yang digunakan berasal dari penggalan
kata pada judul penelitian dan dari rumusan masalah. Konsep digunakan untuk
menyamakan persepsi antara peneliti dengan pembaca, sehingga maksud peneliti
atau penulis dapat tersampai dengan benar terhadap pembaca.
2.2.1 Konsep Teritorialitas
Teritorialitas berasal dari kata teritori. Teritori berarti wilayah atau daerah
dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang.
Teritorialitas merupakan perwujudan “ego” seseorang karena orang tidak ingin
diganggu atau dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi seseorang.
23
Menurut Julian Edney pada tahun 1974 (dalam Laurens, 2004: 124)
teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda,
kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi dan identitas.
Teritorialitas juga terdapat dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan
sesuatu dan pertahanan. Teritorialitas merupakan suatu tempat yang nyata, yang
relatif tetap dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan.
Secara singkat teritorialitas dapat dikatakan sebagai suatu pola tingkah laku yang
ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang
atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis.
Pengertian teritorialitas yang dimaksudkan oleh penulis berhubungan
dengan penelitian yang berjudul Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di
Tanjung Benoa, Bali, adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya
dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat
di kawasan penelitian ini. Dalam hal ini teritorialitas yang ingin dilihat adalah
teritori atau tempat yang dikuasai atau dimiliki oleh suatu etnik di Tanjung Benoa
atau teritorialitas etnik.
2.2.2 Konsep Interaksi Multi-etnik
Untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai interaksi multi-etnik ini,
setidaknya perlu dikaji terlebih dahulu mengenai interaksi dan multi-etnik tersebut
terlebih dahulu agar lebih mudah untuk menyamakan persepsi mengenai interaksi
multi-etnik.
Terdapat beberapa pengertian dari interaksi. Menurut Homans, interaksi
merupakan suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang
24
terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu
tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang
dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau individu dalam interaksi
merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya
(Alimah, 2012).
Pengertian interaksi yang dimaksud oleh peneliti dengan tiga pengertian
yang dipaparkan di atas memiliki persamaan, tetapi untuk melengkapi pengertian
dari interaksi, peneliti menggabungkan pengertiannya dengan pengertian yang
ada. Interaksi pada penelitian ini memiliki pengertian hubungan yang terjadi
secara timbal balik baik antar individu, antar kelompok, maupun antar individu
dengan kelompok manusia dan masing-masing dari individu atau kelompok yang
terlibat di dalam hubungan tersebut memainkan peran secara aktif atau saling
mempengaruhi satu sama lain.
Berikutnya akan dibahas sedikit mengenai pengertian multi yang memiliki
arti, banyak; lebih dari satu; lebih dari dua dan berlipat ganda. Etnik sendiri
memiliki arti yang sangat ambigu dan banyak sekali pengertian mengenai etnik,
antara lain:
1. Kata etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada
pengertian bangsa atau orang. Ethnos sering diartikan sebagai kelompok sosial
yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya dan
lain sebagainya (Liliweri, 2005: 8).
25
2. Istilah etnik adalah himpunan manusia karena kesamaan ras (lebih kepada
perbedaan fisik), agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori
tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya (Frederich Barth, 1988 dan
Zastrow, 1989 dalam Liliweri, 2005: 9).
3. Etnik sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai
sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut
(Koentjaraningrat, 1989 dalam Liliweri, 2005: 9-10)
Pengertian etnis di atas memiliki pengertian yang hampir sama dengan
pengertian etnis menurut penulis. Guna melengkapi pengertian etnik menurut
penulis, maka dilakukan penggabungan pengertian yang ada dan disesuaikan
dengan pengertian penulis. Etnik menurut penulis adalah hal yang berhubungan
dengan suatu kelompok manusia yang berkaitan dengan ras atau suku, asal usul,
adat, agama, bahasa, dan kebudayaan tertentu yang sama. Jadi, multi-etnik adalah
beberapa kelompok atau aneka kelompok manusia yang memiliki ras, suku, asal
usul, adat, agama, bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Pengertian interaksi multi-etnik dalam judul penelitian Teritorialitas dan
Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali adalah hubungan yang terjadi secara
timbal balik baik antar individu, antar kelompok utama (etnis Bali, Tionghoa,
Bugis, Jawa dan Palue), maupun antar individu dengan kelompok manusia yang
memiliki kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya dan masing-masing dari
individu atau kelompok yang terlibat di dalam aktivitas tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain.
26
2.2.3 Tanjung Benoa
Tanjung Benoa merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan
Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Kelurahan Tanjung Benoa ini terdiri dari dua
desa Adat, yaitu Desa Adat Tengkulung yang terdiri dari satu banjar, yaitu Banjar
Tengkulung dan Desa Adat Tanjung Benoa yang terdapat lima lingkungan banjar.
Kelima lingkungan banjar adalah Lingkungan Banjar Kertha Pascima,
Lingkungan Banjar Purwa Santhi, Lingkungan Banjar Anyar, Lingkungan Banjar
Tengah dan Lingkungan Banjar Panca Bhinneka.
Sebagian besar sisi kelurahan ini berbatasan langsung dengan laut, kecuali
bagian selatan yang berbatasan dengan Kelurahan Benoa. Desa adat ini terdapat
lima etnik utama yang tinggal di Tanjung Benoa, yaitu etnik Bali, Tionghoa,
Bugis, Jawa dan Palue (Flores).
Jadi, penelitian dengan judul “Teritorialitas dan Interaksi Multi-etnik di
Tanjung Benoa, Bali” membahas mengenai bagaimana pola ruang yang dapat
terbentuk dari wadah yang tercipta guna menampung aktivitas interaksi antar
multi etnis, yaitu antar etnik Bali, Tionghoa, Bugis, Jawa dan Palue (Flores) di
salah satu desa adat yang ada di kelurahan ini yaitu Desa Adat Tanjung Benoa.
2.3 Landasan Teori
Dalam suatu penelitian, landasan teori memegang peranan yang cukup
penting karena dapat dimanfaatkan untuk menjawab atau memecahkan masalah
yang ada dalam penelitian. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini,
teori yang digunakan adalah teori behavioral setting (seting perilaku), teori
27
teritorialitas, teori seting, teori sakral dan profan, teori perilaku sosial dan teori
interaksi sosial.
2.3.1 Behavioral Setting (Seting Perilaku)
Istilah behavioral setting atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan seting
perilaku, pertama kali diperkenalkan oleh Roger Barker, pelopor kajian ecological
psychology, sekitar tahun 1950-an bersama dengan Wright dalam studi mereka
tentang perilaku anak-anak di berbagai lokasi yang berbeda. Penelitian studi oleh
Barker dan Wright menemukan pola perilaku yang unik dan spesifik terkait secara
khusus dengan unsur-unsur fisik atau seting yang ada. Berdasarkan studi ini,
Barker dan Wright mengembangkan metode behavioral setting untuk mangkaji
kaitan antara perilaku dan sistem seting. Hasil-hasil kajian ini dituangkan oleh
Barker dalam suatu buku yang cukup monumental di bidang kajian arsitektur
lingkungan dan perilaku, yaitu Ecological Psychology yang terbit pada tahun
1969. Dalam buku ini dijelaskan penekanan dalam kajian seting perilaku adalah
bagaimana cara mengidentifikasikan perilaku-perilaku yang secara konstan atau
berkala muncul pada suatu tempat atau seting tersebut (Haryadi, 2010: 28).
Behavioral setting didifinisikan oleh Roger Barker pada tahun 1968 dalam
dalam bukunya yang berjudul Ecological Psychology sebagai kombinasi yang
stabil antara aktivitas, tempat dan kriteria sebagai berikut: (1) Terdapat suatu
aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku. Dapat terdiri atas satu atau
lebih pola ekstra individual; (2) Dengan tata lingkungan tertentu, milieu
(lingkungan pergaulan) ini berkaitan dengan pola perilaku; (3) Membentuk suatu
28
hubungan yang sama antar keduanya; (4) Dilakukan pada periode waktu tertentu
(Laurens, 2004: 175).
Behavioral setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi
antara suatu kegiatan dengan tempat dan waktu yang spesifik. Dengan demikian,
behavioral setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan
sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut dan
tempat serta waktu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Manusia dan obyek
adalah komponen primer. Manusia adalah bagian yang paling paling utama bagi
behavioral setting, tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna, behavioral
setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan
obyek fisik mewujudkan keberadaan behavioral setting. Contoh dari behavioral
setting dapat kita temui di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari (Haryadi,
2010: 27).
Dalam banyak kajian arsitektur lingkungan dan perilaku istilah behavioral
setting dijabarkan dalam dua istilah, yaitu system of setting dan system of activity,
keterkaitan antara kedua istilah ini membentuk suatu behavior setting tertentu.
System of setting atau sistem ruang diartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik
atau spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai
untuk suatu kegiatan tertentu. System of activity atau sistem aktivitas diartikan
sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau
beberapa orang. Kedua istilah ini menegaskan bahwa di antara beberapa unsur
ruang atau di antara beberapa kegiatan tersebut, terdapat suatu struktur atau
rangkaian yang menjadikan kesatuan kegiatan atau perilakunya mempunyai
29
makna, terlepas dari apakah makna ini dapat diartikan oleh orang lain yang tidak
terkait dengan kegiatan tersebut.
Behavioral setting mempunyai spektrum yang sangat luas, mulai dari
sesuatu yang mikro seperti kamar hingga yang berskala makro dalam hal ini
contohnya adalah kota. Setiap spektrum mempunyai batasan area tersendiri yang
dikenal dengan teritorial, karena setiap sekelompok manusia dapat membentuk
suatu behavior setting yang berbeda tergantung nilai-nilai, kesempatan dan
keputusan yang dibentuk oleh kelompok tersebut (Haryadi, 2010: 28-29).
Teknik yang sering digunakan untuk mengamati kegiatan dalam suatu
lingkungan adalah behavioral mapping. Teknik ini mempunyai kekuatan utama
dalam aspek spasialnya. Dengan teknik ini akan didapatkan sekaligus suatu
bentuk informasi mengenai fenomena (terutama perilaku individu dan
sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spasialnya (Ittelson, 1970 dalam
Haryadi, 2010: 81).
Behavioral mapping digambarkan dalam sketsa atau diagram mengenai suatu
area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi
perilaku serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud
perancangan yang spesifik (Sommer dalam Haryadi, 2010: 81). Jenis perlaku yang
biasa dipetakan adalah pola perjalanan, migrasi, kegiatan rumah tangga serta
penggunaan berbagai fasilitas publik.
Terdapat dua cara dalam melakukan pemetaan perilaku, yaitu place-centered
mapping dan person-centered mapping (Haryadi, 2010: 82-83).
30
1. Pemetaan berdasarkan tempat (place-centered mapping)
Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok
manusia memanfaatkan, menggunakan atau mengakomodasikan perilakunya
dalam suatu situasi waktu dan tempat yang tertentu. Dengan kata lain, perhatian
dari teknik ini adalah salah satu tempat yang spesifik, baik kecil maupun besar.
Dalam teknik ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa
dari tempat atau seting, meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan
mempengaruhi perilaku pengguna ruang tersebut. Berikutnya membuat daftar
perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap
perilaku. Kemudian, dalam kurun waktu tertentu, peneliti mencatat perilaku yang
terjadi dalam tempat tersebut dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta
dasar yang telah disiapkan.
2. Pemetaan berdasarkan pelaku (person-centered mapping)
Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode tertentu.
Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan beberapa tempat atau lokasi.
Pada pengamatan ini peneliti hanya mengamati seseorang yang telah ditentukan
sebelumnya. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memilih seseorang yang
akan diamati perilakunya lalu mulai mengikuti pergerakan atau aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang diamati. Pengamatan dapat
dilakukan secara berlanjut atau hanya pada waktu-waktu tertentu tergantung dari
tujuan dari penelitian.
31
Berdasarkan pemaparan mengenai behavioral setting dapat diketahui bahwa
teori ini akan membantu dalam meneliti bagaimana aktivitas masing-masing
kelompok etnik dapat mempengaruhi seting yang menampung aktivitas tersebut.
Behavioral mapping akan sangat membantu dalam meneliti fokus dari
penelitian ini yang ingin melihat suatu aktivitas dan wadah dari aktivitas dan
bagaimana hubungan antara aktivitas dan wadahnya begitupula sebaliknya,
sehingga ini merupakan salah satu teori yang baik untuk digunakan untuk
menemukan jawaban dari permasalahan yang ada.
Dengan teknik pemetaan perilaku, dapat dilihat bagaimana masing-masing
etnik di Tanjung Benoa, etnik Bali, Bugis, Jawa, Palue (Flores) dan Tionghoa
berperilaku di suatu seting yang ada di daerah Tanjung Benoa ini, seperti pada
bale banjar, sekolah, pasar dan fasilitas umum yang ada. Setelah meneliti perilaku
masyarakat multi etnis, selanjutnya penelitian dilakukan secara terbalik, yaitu
untuk melihat bagaimana seting yang ada di Tanjung Benoa tersebut dapat
mempengaruhi aktivitas dari masing-masing etnik yang ada. Setelah melakukan
penelitian dengan menggunakan teknik behavioral mapping, maka dapat
diketahui bagaimana pola ruang yang terjadi di Tanjung Benoa.
2.3.2 Teori Teritorialitas
1. Pengertian Teritorialitas
Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang
dianggap sudah menjadi hak seseorang. Teritorialitas merupakan perwujudan
“ego” seseorang karena orang tidak ingin diganggu, atau dapat dikatakan sebagai
perwujudan dari privasi seseorang. Teritorialitas manusia dapat dilihat dalam
32
kehidupan sehari-hari, seperti papan nama, pagar pembatas atau papan
kepemilikan suatu lahan.
Julian Edney pada tahun 1974 (dalam Laurens, 2004: 124) mendefinisikan
teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda,
kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi dan identitas.
Teritorialitas juga terdapat dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan
sesuatu dan pertahanan.
Teritorialitas merupakan suatu tempat yang nyata, yang relatif tetap dan tidak
berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Misalnya, kamar tidur
seseorang adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hal milik seseorang.
Meskipun individu yang bersangkutan tidak sedang berada di dalam ruang
tersebut dan apabila terdapat orang yang memasuki kamar tersebut tanpa meminta
izin, pemilik ruang akan merasa teritorialitasnya telah diganggu dan akan merasa
tidak nyaman atau marah.
Selain ruang dalam lingkup yang besar, ruang yang tidak dimiliki permanen
juga dapat menjadi teritorialitas seseorang apabila terdapat tanda. Misalnya,
bangku-bangku di kantin. Apabila ada orang yang menempati bangku tersebut,
kemudian ingin pergi sebentar untuk keperluan lain, dia akan meninggalkan
sesuatu seperti buku atau tas di atas meja. Individu lain yang melihat buku atau tas
di tempat tersebut akan tahu bahwa bangku tersebut sudah menjadi teritorinya,
sehingga tidak diduduki.
Dari contoh tersebut, teritorialitas dapat diartikan sebagai suatu pola tingkah
laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau
33
sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku
ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar.
Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan
oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi ini bisa aktual, yaitu
memang pada kenyataannya dia benar memiliki, seperti kamar tidur, tetapi bisa
juga hanya merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat,
seperti meja makan atau bangku di kantin.
Teritorialitas memiliki lima ciri, yaitu (1) ber-ruang, (2) dikuasai, dimiliki atau
dikendalikan oleh seorang individu atau kelompok, (3) memuaskan beberapa
kebutuhan (misalnya status), (4) ditandai baik secara konkrit atau simbolik, (5)
dipertahankan atau setidaknya orang merasa tidak senang bila dimasuki atau
dilanggar dengan cara apapun oleh orang asing.
Menurut Lang (1987 dalam Wulandari, 2011), terdapat empat karakter dari
teritorialitas, yaitu kepemilikan atau hak dari suatu tempat, personalisasi atau
penandaan dari suatu area tertentu, hak untuk mempertahankan diri dari gangguan
luar, dan pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar
psikologis sampai kepada kepuasaan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
2. Kriteria Teritorialitas
Terdapat berbagai teritori, ada yang berukuran besar, ada yang berukuran
kecil. Terkadang ada yang bersarang dalam teritori lainnya atau saling berbagi
satu sama lain. Mengenal klasifikasi teritori merupakan salah satu cara untuk
mengerti bagaimana teritorialitas ini terjadi.
34
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara
khusus pada desain lingkungan, maka Husesein El-Sharkawy (dalam Wulandari,
2011) mengidentifikasikan empat tipe teritori, yaitu attached, central, supporting
dan peripheral. (1) Attached territory adalah gelembung ruang atau batas maya
yang mengelilingi diri seseorang; (2) Central territory, seperti rumah seseorang,
ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi:
Oscar Newman menyebutnya ruang privat; (3) Supporting territory adalah ruang-
ruang yang bersifat semi-privat dan semi-publik pada semi-privat terbentuknya
ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk atau santai di tepi kolam
renang, atau area-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan
rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang
semi publik, antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam toko, kedai
minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publik tidak
dimiliki oleh pemakai; (4) Peripheral territory adalah ruang publik, yaitu area-
area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok, tetapi tidak dapat
memiliki dan menuntutnya.
Tingkah laku teritorialitas manusia mempunyai dasar yang berbeda dengan
binatang karena teritorialitas manusia berintikan pada privasi. Sedangkan untuk
hewan lebih kepada pertahanan diri, dorongan untuk pertahanan hidup dan
mempertahankan jenis. Teritorialitas manusia mempunyai fungsi yang lebih tinggi
daripada sekedar fungsi mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini
tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi
teritorialitas juga memiliki fungsi sosial dan fungsi komunikasi.
35
Fungsi sosial dari teritorialitas dapat dilihat dalam pertemuan-pertemuan resmi
ketika sudah ditentukan tempat duduk setiap orang sesuai dengan kedudukan,
jabatan dan pangkat yang bersangkutan. Seorang pegawai biasa tidak akan berani
duduk di daerah terdepan meskipun bangku tersebut kosong. Bangku kosong
tersebut dianggap merupakan bangku untuk para pejabat. Dengan demikian,
teritorialitas juga mencerminkan lapisan sosial dalam masyarakat.
Sebagai media komunikasi, teritori juga dapat dibagi menjadi beberapa
golongan. Klasifikasi teritori lain yang terkenal dan lebih sering digunakan adalah
klasifikasi yang dibuat Altman pada tahun 1980 (dalam Laurens, 2004: 126) yang
didasarkan pada derajat privasi, afiliasi dan kemungkinan pencapaian. Terdapat
tiga golongan, yaitu teritori primer, teritori sekunder dan teritori publik.
Teritori primer adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya bisa
dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau sudah mendapat izin
khusus. Teritori ini dimiliki oleh perorangan atau sekelompok orang yang juga
mengendalikan penggunaan teritori tersebut secara relatif tetap, berkenaan dengan
kehidupan sehari-hari ketika keterlibatan psikologis penghuninya sangat tinggi.
Misalnya, ruang tidur atau ruang kantor. Meskipun ukuran dan jumlah
penghuninya tidak sama, kepentingan psikologis dari teritori primer bagi
penghuninya selalu tinggi.
Teritori sekunder merupakan tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh
sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini
tidaklah sepenting teritori primer dan terkadang berganti pemakai atau berbagi
36
penggunaan dengan orang asing. Misalnya ruang kelas, kantin kampus dan ruang
olahraga.
Terakhir adalah teritori publik. Teritori ini merupakan tempat-tempat yang
terbuka untuk umum. Pada prinsipnya, setiap orang diperkenankan untuk berada
di tempat tersebut. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, lobi hotel dan
ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum. Terkadang terjadi
teritori publik yang dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok
lain, seperti bar yang hanya untuk orang dewasa atau tempat-tempat hiburan yang
tebuka untuk dewasa umum, kecuali anggota ABRI, misalnya.
Berdasarkan pemakaiannya, teritorial publik atau umum dapat dibagi menjadi
tiga (Wulandari, 2011), yaitu (1) Stalls merupakan suatu tempat yang dapat
disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara
jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel,
kamar-kamar di asrama, ruangan kerja, lapangan tenis, sampai ke bilik telepon
umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan
berhenti pada saat penggunaan waktu habis; (2) Turns mirip dengan stalls, hanya
berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam
waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin dan
sebagainya; (3) Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari
titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati
seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan
dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang
mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh
37
orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih
mengamati lukisan tersebut.
Selain pengklasifikasian tersebut, Altman pada tahun 1975 (dalam Laurens,
2004: 127) juga mengemukakan dua tipe teritori lain, yaitu objek dan ide.
Meskipun keduanya bukan berwujud tempat, diyakini juga memenuhi kriteria
teritori. Karena seperti halnya dengan tempat, orang juga menandai, menguasai,
mempertahankan dan mengontrol barang mereka, seperti buku-buku, pakaian,
motor dan objek lain yang dianggap miliknya.
Ruang kerja seseorang bisa menjadi teritori sekunder ketika dia masih
mengizinkan orang lain, seperti tamunya masuk. Demikian pula dengan ide, orang
mempertahankannya melalui hak paten atau hak cipta; pemilik perangkat lunak
memasang kunci dengan kode-kode tertentu pada program mereka agar tidak
dikuasai orang lain.
Selain tipologi tersebut, Lyman dan Scott pada tahun 1967 (dalam Laurens,
2004: 128) juga membuat klasifikasi tipe teritorialitas yang sebanding dengan
klasifikasi Altman. Namun, terdapat dua tipe yang berbeda, yaitu teritori interaksi
(interactional territories) dan teritori badan (body territory).
Teritori interaksi ditujukan pada suatu daerah yang secara temporer
dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuat tempat
perkemahan yang sedang dipakai oleh sekelompok remaja untuk kegiatan
perkemahan, ruang kuliah yang dipakai oleh sejumlah mahasiswa peserta mata
kuliah tertentu, lapangan sepakbola yang dipakai untuk pertandingan oleh
sekelompok klub sepakbola. Apabila terjadi intervensi ke dalam daerah ini, tentu
38
dianggap sebagai gangguan. Misalnya, sekelompok anak yang masuk ke dalam
lapangan bola ketika sedang dilakukannya pertandingan bola orang dewasa atau
seorang anak kecil masuk ke dalam ruang kuliah yang tidak diperuntukkan
baginya.
Sementara itu, teritori badan dibatasi oleh badan manusia (kulit manusia)
artinya segala sesuatu mengenai kulit manusia tanpa izin dianggap gangguan.
Orang akan mempertahankan diri terhadap gangguan tersebut.
3. Pelanggaran dan Pertahanan Teritori
Bentuk pelanggaran teritori yang dapat diindikasikan adalah invasi ruang.
Seseorang secara fisik memasuki teritori orang lain, biasanya dengan maksud
mengambil kendali atas teritori tersebut dari pemiliknya. Hal ini dapat terjadi pada
berbagai tingkatan dari antar individu hingga suatu wilayah kenegaraan.
Bentuk kedua adalah kekerasan. Suatu bentuk pelanggaran yang bersifat
temporer atas teritori seseorang. Biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori
orang lain, melainkan suatu bentuk gangguan. Terkadang gangguan terjadi tanpa
disengaja, misalnya seorang anak laki-laki memasuki toilet wanita karena dia
belum bisa membaca. Namun, ada juga gangguan yang terjadi dengan sengaja
tanpa harus memasuki teritori secara fisik. Contohnya terlihat pada saat pencurian
atau gangguan pada data computer di sebuah perusahaan atau memasuki
gelombang radio tertentu tanpa izin.
Bentuk ketiga adalah kontaminasi, yaitu seseorang mengganggu teritori orang
lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti sampah,
coretan atau bahkan merusak barang atau teritori tersebut. Pertahanan yang dapat
39
dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori adalah (1) Pencegahan, seperti
memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar batas sebagai
antisipasi sebelum terjadinya pelanggaran; (2) Reaksi, sebagai respon terhadap
terjadinya pelanggaran, seperti langsung menindak atau menghadapi si pelanggar;
(3) Batas sosial yang digunakan pada tepi teritori internasional. Pertahanan ini
terdiri atas suatu kesepakatan yang dibuat oleh tuan rumah dan tamunya. Batas
sosial ini dapat dilihat saat seseorang menggunakan paspor untuk memasuki
wilayah negara tertentu.
4. Pengaruh pada Teritorialitas
Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaan teritori adalah karakteristik
personal seseorang, perbedaan situasional baik berupa tatanan fisik maupun
situasi sosial budaya seseorang (Laurens, 2004: 130-133).
a. Faktor personal
Karakteristik seseorang, seperti jenis kelamin, usia dan kepribadian yang
diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas. Penelitian yang
dilakukan di sebuah asarama mendapatkan bahwa pria menggambarkan teritori
mereke lebih besar daripada wanita. Penghuni asrama diminta menggambarkan
teritori mereka dalam ruang tidur bersama dan menandai mana yang dianggap
teritorinya dan mana yang dianggap teritori milik teman sekamarnya. Pria
menggambarkan teritori yang diklaim sebagai miliknya lebih besar daripada yang
digambarkan wanita (Mercer dan Benyamin, 1980 dalam Laurens, 2004: 131).
Pada umumnya, pria menganggap dirinya mempunyai status yang lebih tinggi
di tempat kerjanya dan mengklaim teritori yang lebih besar dari wanita.
40
Sementara itu, pria akan beranggapan bahwa rumah adalah teritori bersama, tetapi
dapur adalah teritori wanita. Dari hal ini disimpulkan bahwa gender dan
kepribadian merupakan dua hal yang saling terkait dalam penentuan teritori.
b. Faktor Situasi
Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi, yaitu
tatanan fisik dan sosial budaya yang dianggap mempunyai peran dalam
menentukan sikap teritorialitas seseorang. Oscar Newman dalam teorinya (dalam
Laurens, 2004: 131) mengenai defensible space mengemukakan bahwa
kriminalitas di perumahan dan ketakutan akan kriminalitas merupakan dua gejala
yang berkaitan dengan invasi teritori.
Bentuk desain tertentu, seperti penghalang yang nyata ataupun barrier
simbolis dapat digunakan untuk memisahkan teritori publik dan pribadi. Dengan
demikian memberikan peluang bagi pemilik untuk melakukan pengamatan
daerahnya akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi kriminalitas dalam
teritori tersebut. Desain tata letak bangunan atau desain jalan dapat mempengaruhi
perilaku penghuni atau penggunanya.
c. Faktor Budaya
Faktor budaya dapat mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya
terdapat perbedaan sikap teritori yang dilatarbelakangi oleh budaya individu yang
sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada
di luar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Pada sebuah
contoh penelitian yang dilakukan oleh Smith pada tahun 1980 (dalam Laurens,
2004: 132) mengenai teritori pantai pada orang Jerman dan Prancis, ditemukan hal
41
yang sama, yaitu kelompok yang lebih besar mengklain area perorang yang lebih
kecil dibandingkan kelompok kecil.
Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritorial. Orang Prancis mempunyai
sikap teritorial terendah. Mereka menganggap pantai itu milik semua orang.
Sementara itu, orang Jerman lebih banyak memberi tanda-tanda kepemilikan
dengan membuat istana pasir atau hal lainnya untuk membatasi teritori mereka.
5. Teritorialitas dan Perilaku
Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi,
dominasi, menenangkan, koordinasi dan control (Laurens, 2004: 135-136).
a. Personalisasi dan Penandaan
Personalisasi dan penandaan, seperti memberi nama, tanda atau menempatkan
di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan teritorialitas. Seperti
membuat pagar batas, memberi papan nama yang merupakan tanda kepemilikan.
Perilaku personalisasi dapat juga dilakukan secara verbal.
Penandaan juga dipakai seseorang untuk mempertahankan haknya di teritori
publik, seperti kursi di ruang publik. Personalisasi dan penandaan kadang juga
dibuat dengan sengaja dengan maksud tertentu, seperti tulisan “dilarang parkir di
depan pintu” dan tulisan lainnya yang menandakan teritorialitas.
b. Agresi
Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras
bila pelanggaran terjadi di teritori primernya dibandingkan dengan pelanggaran
yang terjadi di ruang publik. Pada tingkat yang lebih luas, misalnya teritori daerah
42
atau Negara, perang sudah sangat sering terjadi karena adanya agresi. Agresi
biasanya terjadi karena batas teritori tidak jelas.
c. Dominasi dan Kontrol
Dominasi dan kontrol umumnya banyak terjadi di teritori primer. Kemampuan
suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi
penting. Hal ini berarti tatanan tersebut mampu memenuhi beberapa kebutuhan
dasar manusia, yaitu kebutuhan akan identitas yang berkaitan dengan kebutuhan
akan kepemilikan harga diri dan aktualisasi diri.
6. Teritorialitas dalam Desain Arsitektur
Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk
membuat demarakasi teritori. Semakin banyak sebuah desain mampu
menyediakan teritori primer bagi penghuninya, desain itu akan semakin baik
dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.
Sebuah ruang terbuka, sebuah ruangan atau ruang arsitektural dapat diklaim
sebagai teritori yang bersifat publik ataupun bersifat pribadi, bergantung pada
pencapaian, bentuk pengawasan, pengguna ruangan tersebut, orang yang merawat
dan bertanggung jawab atas ruang tersebut. Sebuah ruang tidur dianggap lebih
pribadi sifatnya daripada dapur. Ruang tidur memiliki kunci sendiri untuk bisa
masuk, merawat dan menata sesuai dengan kehendak pemilik ruang. Berbeda
dengan ruang keluarga atau dapur yang pemeliharaannya ditanggung bersama
seluruh penghuni rumah.
43
a. Publik dan Privat
Gradasi teritori dalam desain arsitektur bersifat primer, sekunder dan publik.
Dapat kita lihat contohnya dalam sebuah hunian di Bali yang dibatasi oleh dinding
keliling dan pintu masuk melalui sebuah candi bentar sebagai penanda teritori.
Ruang-ruang fungsi ditata sesuai dengan adat istiadat Bali. Sebuah fungsi berupa
sebuah bangunan, seperti ruang tidur dan dapur sebagai bangunan yang berdiri
sendiri, sehingga jika seseorang telah melewati candi bentar, dia tidak langsung
masuk dalam ruangan yang bersifat privat. Dia tidak merasa berada dalam teritori
hunian yang sifatnya pribadi, karena tidak dengan sendirinya mempunyai akses ke
ruang-ruang fungsi tersebut. Untuk menuju ruang yang bersifat lebih intim, tidak
dapat dicapai dengan mudah. Dengan demikian, rumah Bali ini membentuk
gradasi teritori melalui urutan aksesibilitas.
Pada kompleks perumahan real estate di perkotaan juga diberi penanda teritori
kompleks. Biasanya berupa pos penjaga dengan portal, sehingga meskipun jalan
yang ada di dalam kompleks perumahan tersebut adalah jalan umum atau teritori
publik, tidak mudah bagi orang asing untuk memasukinya. Seseorang yang bukan
penghuni akan merasa asing atau setidaknya merasa sebagai tamu di kawasan
tersebut. Sebaliknya sebagai penghuni, orang merasa telah berada dalam
teritorinya, meski sesungguhnya dia merasa di teritori publik.
Ruang publik adalah area yang terbuka. Ruang ini dapat dicapai oleh siapa
saja pada waktu kapan saja dan tanggung jawab pemeliharaannya adalah kolektif.
Sementara itu, ruang privat adalah area yang aksesibilitasnya ditentukan oleh
seseorang atau oleh sekelompok orang dengan tanggung jawab ada pada mereka.
44
Apabila seseorang atau sekelompok orang mendapat ruang untuk memakai
sebagian area publik untuk kepentingannya dan hanya secara tidak langsung
berguna bagi orang lain, akan terbentuk semacam kesepakatan umum bahwa
penggunaan itu dibenarkan secara temporer ataupun permanen.
Dalam perancangan ruang-ruang arsitektural, apabila disadari adanya derajat
teritori yang berkaitan dengan aksesibiltas menuju ruang tertentu, arsitek dapat
mengekspresikan perbedaan teritori ini baik melalui batas nyata ataupun batas
simbolik melalui artikulasi bentuk, penggunaan material, permainan cahaya atau
warna, sehingga dapat terbentuk suatu tatanan yang utuh.
b. Ruang Peralihan
Apabila teritori primer individual tidak dimungkinan dalam desain, arsitek
bisa merancang adanya teritori primer atau sekunder bagi sekelompok orang.
Merancang adanya peluang mengatur diri bagi pengguna, seperti membuat
“saran” bagi seseorang atau sekelompok pengguna, memberi kenyamanan agar
pengguna merasa nyaman, tidak terganggu dan mempunyai lingkungan sesuai
dengan kebutuhannya.
Daerah peralihan dibuat sebagai penghubung berbagai teritori yang berbeda
sifatnya. Sebagai daerah peralihan dari teritori primer yang bersifat privat ke
teritori publik, perwujudan arsitekturalnya hendaknya ramah, karena merupakan
daerah penyambutan atau perpisahan. Area peralihan semacam ini juga dipakai
sebagai wadah melakukan kontak sosial, sehingga secara administratif bisa
termasuk teritori publik ataupun teritori privat.
45
Arsitek dapat memberi kontribusi dalam merancang suatu lingkungan.
Lingkungan tersebut dapat menawarkan peluang bagi individu untuk membuat
identifikasi dan tanda-tanda personal, sehingga bisa bersinergi dengan
kepentingan publik membentuk suatu tempat yang sungguh menjadi teritori
mereka. Suatu tempat yang dikontrol dan dikelola oleh setiap individu, sehingga
bisa menghindari kriminalitas.
2.3.3 Teori Seting
Menurut Rapoport (1982: 4-5), seting merupakan tata letak dari suatu
interaksi antara manusia dengan lingkungannya, seting mencakup lingkungan
tempat manusia (komunitas) berada (tanah, air, ruangan, udara, pohon, makhluk
hidup lainnya), yaitu untuk mengetahui tempat dan situasi dengan apa mereka
berhubungan sebab situasi yang berbeda mempunyai tata letak yang berbeda pula.
Dalam konteks ruang, seting dapat dibedakan atas seting fisik dan seting aktifitas.
Berdasarkan elemen pembentuknya, seting dapat dibedakan atas (Rapoport,
1982):
1. Elemen fixed, merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau perubahannya
jarang. Secara spasial elemen-elemen ini dapat di organisasikan ke dalam
ukuran, lokasi, urutan dan susunan. Tetapi dalam suatu kasus fenomena,
elemen-elemen ini bisa dilengkapi oleh elemn-elemen yang lain, meliputi:
bangunan dan perlengkapan jalan yang melekat.
2. Elemen semi fixed, merupakan elemen-elemen agak tetap tapi tetap berkisar
dari susunan dan tipe elemen, seperti elemen jalan, tanda iklan, etalase toko
46
dan elemen-elemen urban lainnya. Perubahannya cukup cepat dan mudah,
meliputi parkir dan sistem penanda.
3. Elemen non fixed, merupakan elemen yang berhubungan langsung dengan
tingkah laku atau perilaku yang di tujukan oleh manusia itu sendiri yang selalu
tidak tetap, seperti posisi tubuh dan postur tubuh serta gerak anggota tubuh,
seperti pejalan kaki, pergerakan kendaraan.
Aktivitas manusia sebagai wujud dari perilaku yang ditujukan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tatanan (seting) fisik yang terdapat dalam
ruang yang menjadi wadahnya, sehingga untuk memenuhi hal tersebut di
butuhkan adanya:
1. Kenyamanan, menyangkut keadaan lingkungan yang memberikan rasa sesuai
dengan panca indra
2. Aksesibilitas, menyangkut kemudahan bergerak melalui dan menggunakan
lingkungan sehingga sirkulasi menjadi lancar dan tidak menyulitkan pemakai.
3. Legibilitas, menyangkut kemudahan bagi pemakai untuk dapat mengenal dan
memahami elemen-elemen kunci dan hubungannya dalam suatu lingkungan
yang menyebabkan orang tersebut menemukan arah atau jalan.
4. Kontrol, menyangkut kondisi suatu lingkungan untuk mewujudkan
personalitas, menciptakan teritori dan membatasi suatu ruang.
5. Teritorialitas, menyangkut suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya
dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu
tempat. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap
gangguan dari luar.
47
6. Keamanan, menyangkut rasa aman terhadap berbagai gangguan yang ada baik
dari dalam maupun dari luar.
Ruang yang menjadi wadah dari aktivitas di upayakan untuk memenuhi
kemungkinan kebutuhan yang diperlukan manusia, yang artinya menyediakan
ruang yang memberikan kepuasan bagi pemakainya. Seting terkait langsung
dengan aktivitas atau kegiatan manusia, sehingga dengan mengidentifikasi sistem
aktivitas yang terjadi dalam suatu ruang akan teridentifikasi pula sistem setingnya
yang terkait dengan keberadaan elemen dalam ruang.
2.3.4 Teori Sakral dan Profan
Seluruh kebudayaan manusia memecahkan dunia mereka ke dalam dua
kelompok, yaitu sakral dan profan. Sakral dan profan merupakan dua hal yang
sangat berbeda. Perbedaan sakral dan profan terbentuk dari pikiran orang (Eliade,
1957: 14).
Menurut Emile Durkheim, seluruh keyakinan manapun, baik yang sederhana
maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu
memisahkan antara ”yang sakral” dan ”yang profan” yang terkadang dikenal
dengan ”natural” dan ”supernatural”. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal
yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang
dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-
hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat
biasa-biasa saja (Durkheim, 1995: 44).
Durkheim mengatakan, konsentrasi utama keyakinan terletak pada ”yang
sakral”, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan
48
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh
yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu.
Maka, Durkheim mengingatkan bahwa ”yang sakral” dan ”yang profan”
hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang
sakral sebagai kebaikan dan yang profan sebagai keburukan. Menurut Durkheim,
kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam ”yang sakral” ataupun ”yang
profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan
begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral (Pals, 1996:
91-92).
Eliade menyatakan pada awalnya mitos dianggap sebagai kebenaran yang
mutlak dan pada saat inilah sakral pertama kali muncul. Atau sakral sejalan
dengan mitos. Sakral dianggap jauh melebihi dari pengertian manusia (Eliade,
2013).
Kata sakral (sacred) berasal dari bahasa Latin “sacrum” yang berarti para
dewa atau apa pun yang termasuk kekuasaan mereka, imam, suci. Dilihat secara
spasial, hal ini merujuk ke daerah sekitar kuil. Pendapat ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Eliade saat membahas tempat suci. Ia mencontohkan dengan
gereja, pintu yang merupakan ambang batas antara profan di luar dan bagian
dalam adalah sakral. Setara dengan gereja dalam budaya kuno adalah kandang
suci, yang dibuka ke atas menuju langit, dunia para dewa. Tempat-tempat suci
yang diturunkan kepada manusia religius melalui tanda-tanda berbagai macam,
diakui sebagai berasal dari ilahi (Eliade, 1957: 25).
49
Sakral berarti dihormati karena hubungannya dengan kesucian. Kesakralan
atau kesucian, pada umumnya keadaan menjadi suci (dirasakan oleh individu
agama terkait dengan ilahi) atau sakral (merupakan hal spiritual yang dianggap
layak untuk dihormati). Dalam konteks lain, benda yang sering dianggap 'suci'
atau 'sakral' digunakan untuk tujuan spiritual, seperti ibadah. Sakral sering
dianggap berasal dari orang (orang suci, pendudukan agama atau nabi suci yang
dihormati oleh para pengikutnya), obyek (artefak suci yang diberkati), waktu
("hari suci" introspeksi spiritual, seperti selama liburan musim dingin), atau
tempat ("tanah suci").
Biasanya, kelompok sosial atau agama menganggap wilayah yang sakral
atau suci, di mana ada kehadiran manusia, misalnya pemakaman atau bangunan
atau tempat untuk ibadah. Namun, ada daerah alami di setiap daerah, seperti
lembah, gunung, sungai, hutan, gurun, dan lain sebagainya yang terkadang
dianggap sakral.
Profan merupakan kebalikan dari segala hal yang berhubungan dengan
sakral. Profan tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan. Sakral
dikatakan berhubungan dengan kesucian atau kekudusan dan profan merupakan
hal yang tidak kudus (suci) karena tercemar, kotor, dan lain sebagainya. Secara
umum profan disebut dengan keduaniawian.
Polaritas sakral-profan sering dinyatakan sebagai pertentangan antara yang
nyata dan tidak nyata atau nyata semu. Terkadang perbedaan nampak dari waktu,
waktu sakral kembali ke awal, sedangkan waktu profan adalah linear. Sakral
berorientasi kepada dunia. Profan tidak memiliki orientasi yang terkandung di
50
dalamnya. Secara keruangan, ruang sakral menuntut respon tertentu dari manusia,
sedangkan ruang profan tidak memberi manusia pola atas perilakunya atau tidak
menuntut respon (Eliade, 1957: 68).
Arsitektur sakral (juga dikenal sebagai arsitektur religius) adalah praktek
arsitektur religius yang berkaitan dengan desain dan konstruksi tempat ibadah atau
ruang suci, seperti gereja, masjid, kuil, pura ataupun klenteng. Struktur sakral,
religius atau suci selalu berkembang selama berabad-abad dan merupakan
bangunan terbesar di dunia, sebelum adanya gedung pencakar langit modern.
Dengan munculnya monoteisme, bangunan sakral semakin menjadi pusat ibadah,
berdoa dan meditasi (Anonim, 2013).
Teori sakral dan profan digunakan pada penelitian ini untuk membedakan
fasilitas publik yang bersifat sakral dan profan. Dengan mengetahui zona yang
bersifat sakral pada bangunan publik, maka akan diketahui penggunaan ruang
masyarakat multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali.
2.3.5 Teori Perilaku Sosial
Perlu diketahui mengenai pengertian sosiologi sebelum membahas mengenai
teori perilaku sosial. Sosiologi menurut Max Weber adalah ilmu yang
memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretatif atas tindakan sosial pada
penjelasan kausal pada proses dan konsekuensi dari tindakan tersebut (Ritzer dan
Goodman, 2010 dalam Mahira, 2011: 2). Dapat disimpulkan bahwa sosiologi itu
mencakup tiga hal yaitu sosiologi merupakan ilmu, sosiologi memusatkan
perhatian pada kausalitas (hubungan sebab akibat) dan sosiologi menggunakan
pemahaman interpretasi.
51
Kata perikelakuan atau perilaku digunakan oleh Weber untuk perbuatan-
perbuatan yang bagi si pelaku mempunyai arti subjektif, pelaku dalam ingin
mencapai suatu tujuan didorong oleh motivasi. Perikelakuan menjadi sosial
menurut Weber terjadi hanya kalau dan sejauh mana arti maksud subjektif dari
tingkah laku membuat individu memikirkan dan menunjukkan suatu keseragaman
yang kurang lebih tetap. Pelaku individual mengarahkan kelakuannya kepada
penetapan-penetapan atau harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau
dituntut dengan tegas atau bahkan dibekukan dengan undang-undang (Veeger
dalam Mahira, 2011: 3).
Terkait dengan tindakan sosial, Weber menjadikan individu sebagai fokus
kajian. Manusia sebagai makhluk hidup melakukan sesuatu karena mereka
memutuskan untuk melakukannya guna mencapai apa yang dikehendaki yang
akhirnya dapat memilih tindakan (Jones, 2009 dalam Mahira, 2011: 3). Dalam hal
ini masyarakat merupakan hasil akhir dari interaksi manusia yang berasal dari
interaksi individual.
Tindakan sosial menurut Weber terbagi menjadi dua, yaitu reactive behavior
berupa reaksi perilaku spontan yang memiliki subjective meaning atau tindakan
yang dilakukan sekedar spontanitas belaka berikut tak berkelanjutan. Tindakan
semacam ini adalah tindakan yang tak bertujuan atau tak disadari sebelumnya
oleh seseorang. Kedua adalah social action yang muncul dari respon terhadap
perilaku manusia yang menjalankan fungsinya sebagai anggota dalam masyarakat.
Secara tidak langsung, tindakan ini lebih bersifat subjektif pada tindakan yang
dilakukan aktor dalam lingkungan masyarakat. Mereka reaktif dan dikondisikan
52
bukan produk pengambilan keputusan kreatif yang sukarela (Wirawan, 2012:
103).
Selain dua tindakan sosial, Weber juga mengkaji empat tipologi tindakan
sosial, yaitu pertama adalah traditional action (tindakan tradisional) adalah
tindakan yang diulang secara teratur, menjadi kebiasaan, tidak menjadi persoalan
kebenaran dan keberadaannya. Tindakan semacam ini adalah tindakan warisan
yang diturunkan dari generasi yang lalu atau berlaku secara turun temurun.
Tindakan tradisional tidak menghasilkan suatu masalah besar bagi pelakunya.
Kedua adalah affectual action (tindakan afeksi) merupakan tindakan yang
didasarkan pada sentimen atau emosi yang dimiliki seseorang, tergambar dari
beberapa tindakan, seperti gembira, marah atau takut. Hal ini akan mempengaruhi
tindakan atau respon orang dalam melakukan tindakan. Tindakan ketiga adalah
instrumentally rational action (tindakan rasional instrumental), tindakan yang
pada dasarnya dilakukan mengingat eksisnya kepentingan maupun tujuan tertentu.
Dengan kata lain tindakan rasional instrumental merupakan tindakan yang
dilakukan oleh seseorang didasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang secara
sadar dipilih untuk mencapai sebuah tujuan.
Tindakan terakhir adalah value rational action (tindakan rasional nilai),
tindakan sosial ini mirip dengan tindakan rasional instrumental. Perbedaannya
tindakan ini dengan tindakan rasional instrumental terletak pada tujuan dan
manfaat. Tindakan rasional instrumental lebih memperhitungkan tujuan daripada
manfaatnya. Tindakan rasional nilai lebih memperhitungkan manfaat dan
berorientasi kepada nilai, sedangkan tujuan yang ingin dicapai tidak terlalu
53
dipertimbangkan. Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran serta tak
terlepas dari nilai-nilai dasar yang berlaku dalam masyarakat, seperti nilai agama
dan sosial budaya (Wirawan, 2012: 101).
Tindakan sosial serupa dengan perbuatan sosial. Tindakan sosial ini akan
menimbulkan tanggapan atau reaksi, hal inilah yang disebut dengan perilaku
sosial. Penelitian ini membahas bagaimana tindakan sosial dalam konteks spasial,
berbicara tentang spasial (ruang) tidak terlepas dari bidang arsitektur. Arsitektur
yang menggarap sebuah ruang untuk masyarakat dan mempertimbangkan
kebutuhan masyarakat, sebenarnya melakukan rekayasa sosial (sosiologi terapan).
Dalam hal ini sosial (sosiologi) diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan di
dalam memperkirakan pola perilaku masyarakat (Hariyono dalam Mahira, 2011:
6).
Relasi antara sosiologi dan arsitektur dapat dilihat dari penataan tata ruang
yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakatnya, seperti di rumah masyarakat
Tionghoa. Tindakan sosial orang Tionghoa, seperti yang selalu berkumpul
bersama keluarga pada saat-saat tertentu (Tahun Baru Imlek atau Capgome dan
acara besar masyarakat Tionghoa lainnya) dan selalu dilakukan secara berulang
dengan teratur dan menjadi kebiasaan termasuk ke dalam tindakan sosial.
Tindakan ini merupakan sesuatu yang tanpa disadari selalu akan dilaksanakan.
Akibat dari tindakan tradisional ini menimbulkan perilaku sosial, yaitu berkumpul
bersama untuk merayakan suatu acara, makan bersama atau hanya berkumpul
tanpa ada alasan yang jelas. Perilaku sosial inilah yang rumah orang Tionghoa
54
(totok) pada umunya terdapat ruang tengah yang dibuat luas sebagai tempat
berkumpul keluarga.
Dari hal di atas dapat diketahui, dalam penataan suatu bangunan ataupun
kawasan, perlu dilihat bagaimana pola aktivitas dari masyarakat yang tinggal
dalam kawasan tersebut. Pola aktivitas masyarakat dapat menjadi pertimbangan
dalam merencanakan panataan suatu kawasan, termasuk peruntukannya.
Teori perilaku sosial perlu menjadi salah satu landasan teori karena aktivitas
yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilaku sosial masyarakat tersebut. Teori ini
dapat digunakan untuk memecahkan rumusan masalah pertama, yaitu untuk
memahami dan mengetahui perilaku dari aktivitas interaksi multi-etnik di Tanjung
Benoa, Bali.
2.3.6 Teori Interaksi Sosial
Interaksi sosial memiliki arti yang sangat beragam dari masing-masing ahli
mengenai ilmu sosial budaya, sehingga untuk menyimpulkan apa yang dimaksud
dengan interaksi sosial harus dilihat secara menyeluruh pengertian interaksi dari
masing-masing ahli. Pengertian interaksi dari beberapa sumber, antara lain:
1. Menurut Shaw (dalam Alimah, 2012), interaksi sosial adalah suatu pertukaran
antar pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama
lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku mempengaruhi satu
sama lain. Hal yang serupa juga dikemukan oleh ahli sosial Thibaut dan
Kelley bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu
sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama. Pelaku interaksi
menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain.
55
Jadi, dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk
mempengaruhi individu lain.
2. Menurut Gillin dan Gillin (dalam Alimah, 2012), interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antar orang,
antar kelompok, maupun antar individu dengan kelompok manusia. Interaksi
sosial dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik. Hal ini disebabkan
dalam interaksi sosial terdapat aksi dan reaksi dari individu yang berinteraksi.
Interaksi sosial terjadi apabila satu individu melakukan tindakan sehingga
menimbulkan reaksi dari individu-individu lain.
3. Pengertian interaksi sosial menurut Bonner merupakan suatu hubungan antara
dua orang atau lebih. Dimana kelakuan suatu individu akan mempengaruhi
atau mengubah kelakuan individu lain dan sebaliknya (Saripudin, 2010: 4).
Berdasarkan tiga pengertian interaksi sosial di atas dapat disimpulkan
bahwa, interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antar individu, antar
kelompok, maupun antar individu dengan kelompok manusia. Individu ataupun
kelompok yang terlibat di dalamnya memainkan perannya secara aktif. Dalam
interaksi terjadi lebih dari sekedar hubungan antara pihak-pihak yang terlibat.
Hubungan yang terjadi memberikan pengaruh signifikan terhadap pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya.
Dalam definisi interaksi yang telah disimpulkan di atas, interaksi sosial
selalu melibatkan dua orang atau lebih. Terdapat tiga jenis interaksi sosial
(Hendra, 2009), yaitu interaksi antara individu dengan individu, antara kelompok
dengan kelompok dan antara individu dengan kelompok. Interaksi antara individu
56
dengan individu terjadi pada saat dua individu bertemu, walaupun tidak
melakukan kegiatan apa-apa. Sebenarnya interaksi sosial telah terjadi apabila
masing-masing pihak sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan
dalam diri masing-masing, seperti minyak wangi, bau keringat, bunyi sepatu
ketika berjalan, dan hal-hal lain yang bisa mengundang reaksi orang lain. Wujud
lain dari interaksi antara individu dengan individu yang lebih nampak jelas terjadi
pada saat berjabat tangan, saling bercakap-cakap, saling menyapa, dan lain
sebagainya.
Jenis interaksi sosial yang kedua adalah interaksi antara kelompok dengan
kelompok, interaksi jenis ini terjadi pada kelompok yang bersifat sebagai satu-
kesatuan. Kepentingan individu dalam kelompok merupakan satu-kesatuan yang
berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok lain, contohnya pada
pertandingan antar-tim kesebelasan sepak bola. Pada pertandingan sepak bola
setiap individu bermain untuk kepentingan kesebelasannya (kelompok). Jenis
yang ketiga adalah interaksi antara individu dengan kelompok, interaksi ini
menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan
kelompok. Bentuk interaksi dalam suatu aktivitas berbeda-beda sesuai dengan
keadaan (Nitihardjo, 2010).
Secara teoritis, terdapat dua syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu terdapat
kontak sosial dan komunikasi (Syarbaini, 2009: 26). Kontak sosial merupakan
suatu usaha pendekatan baik dengan pertemuan fisik ataupun rohaniah. Kontak
pada dasarnya merupakan aksi individu atau kelompok dan mempunyai makna
bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok.
57
Kontak sosial dapat dibagi menjadi dua (Syarbaini, 2009: 26-27), yaitu
berdasarkan tingkat hubungannya dan berdasarkan sifatnya. Kontak sosial yang
berdasarkan tingkat hubungannya, dibagi lagi menjadi dua. Pertama kontak sosial
yang bersifat primer (face to face), seperti bertemu secara langsung dengan
individu atau kelompok lain. Kedua kontak sosial yang bersifat sekunder, kontak
antara individu tidak saja terjadi pada jarak yang dekat misalnya dengan
berhadapan, muka juga tidak hanya pada jarak sejauh kemampuan panca indra
manusia. Tetapi alat-alat kebudayaan manusia memungkinkan individu-individu
berkontak pada jarak yang amat jauh, misalnya hubungan yang dilakukan melalui
berbagai media seperti media komunikasi, baik perantara orang maupun alat,
seperti telepon, surat kabar, TV, radio dan lainnya.
Kontak sosial berdasarkan sifatnya, juga dibagi menjadi dua, yaitu bersifat
positif atau negatif. Kontak sosial positif merupakan hubungan sosial yang
mengarah pada suatu kerjasama. Kontak sosial yang bersifat negatif adalah
hubungan sosial yang mengarah pada pertentangan atau bahkan tidak terdapat
interaksi sosial sama sekali (Syarbaini, 2009: 28).
Syarat kedua terjadinya interaksi sosial adalah komunikasi. Komunikasi
adalah usaha penyampaian informasi kepada individu lainnya. Komunikasi
hampir sama dengan kontak, namun adanya kontak belum tentu berarti terjadi
komunikasi. Komunikasi menuntut adanya pemahaman makna atas suatu pesan
dan tujuan bersama antara masing-masing pihak. Tanpa adanya komunikasi tidak
mungkin terjadi proses interaksi sosial. Dalam komunikasi terdapat perbedaan
interpretasi terhadap tingkah laku orang lain akibat perbedaan konteks sosialnya.
58
Karakter komunikasi manusia dapat menggunakan isyarat fisik sederhana ataupun
dengan kata-kata.
Dalam komunikasi terdapat empat unsur, yaitu pengirim, penerima, pesan,
dan umpan balik. Unsur pertama adalah pengirim (sender) atau yang biasa disebut
communicator adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada orang lain. Unsur
kedua, penerima (receiver) yang biasa disebut communicant adalah pihak yang
menerima pesan dari pengirim. Selanjutnya, terdapat pesan (message) yang
merupakan isi atau informasi yang disampaikan pengirim kepada penerima. Unsur
terakhir terdapat umpan balik (feed back) berupa reaksi dari penerima atas pesan
yang diterima lihat Gambar 2.1 (Nitiharjo, 2010).
Sekunder
Primer
Tingkat
Hubungan
Face to face
Dengan perantara orang
atau alat
Negatif
Positif
Sifat
Kerjasama
Pertentangan (Tidak ada
interaksi)
Kontak
Sosial
Komunikasi
Isyarat Fisik
Kata-kata
Empat
unsur
Receiver
Message
Feed back
Sender
Gambar 2.1
Syarat Interaksi Sosial
(Dokumen Ongelina, 2013)
59
Terdapat konsep jarak dalam berkomunikasi yang dikemukakan oleh
Edward T. Hall pada tahun 1963 (dalam Laurens, 2004: 112-113). Menurut Hall,
dalam situasi sosial, manusia cenderung menggunakan empat macam jarak, yaitu
jarak intim, jarak personal atau pribadi, jarak sosial dan jarak publik. Masing-
masing dari keempat jarak ini memiliki dua fase, fase dekat dan fase jauh. Dalam
satu jenis jarak terdapat fase paling dekat dan terdapat fase terjauh yang masih
termasuk dalam jenis jarak tersebut.
Jarak intim, dengan fase dekat antara 0,00 hingga 0,15 meter dan fase jauh
antar 0,15 hingga 0,50 meter. Pada jarak ini kehadiran seseorang sangat jelas.
Masing-masing pihak dapat saling mendengar, mencium atau merasakan nafas
yang lain. Fase dekat digunakan bila sedang melakukan kontak fisik (otot dan
kulit saling bersentuhan), seperti bergulat, bertinju atau untuk melindungi dan
menenangkan. Jarak ini sering dilakukan pada saat merangkul kekasih, sahabat
atau anggota keluarga. Pada jarak ini tidak diperlukan usaha keras seperti
Gambar 2.2
Jarak Komunikasi
(Laurens, 2005: 109)
60
berteriak atau menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi, cukup dengan
berbisik.
Jarak personal atau jarak pribadi dengan fase dekat dari 0,50 hingga 0,75
meter dan fase jauh antara 0,75 sampai 1,20 meter. Jarak pribadi merupakan
daerah yang melindungi diri dari sentuhan orang lain. Jarak ini terjadi pada
percakapan antara dua sahabat atau antara orang yang sudah saling akrab.
Gerakan tangan diperlukan untuk berkomunikasi normal. Bila ruang pribadi
diganggu, seseorang sering merasa tidak nyaman dan tegang. Dalam berbincang
dengan jarak yang dekat, pembicaraan akan terganggu, tidak mantap dan biasa
terputus-putus. Pada saat tertentu seorang individu tidak merasa terganggu saat
jarak pribadinya dimasuki oleh individu lain. Sebagai contoh, apabila individu
lain memasuki ruang pribadi dalam pesta atau orang yang disukai yang
memasukinya, tidak ada rasa terganggu (DeVito, 1997: 197).
Jarak sosial memiliki fase dekat antara 1,20 hingga 2,10 meter dan fase jauh
antar 2,10 hingga 3,60 meter. Jarak sosial merupakan batas normal bagi individu
dengan kegiatan serupa atau kelompok sosial yang sama. Pada jarak ini
komunikasi dapat terjadi dengan baik apabila seseorang berbicara dengan suara
agak keras dan gerak anggota badan disengaja untuk membantu maksud dalam
berkomunikasi. Jarak sosial membutuhkan kontak mata agar komunikasi tidak
terputus (DeVito, 1997: 197). Jarak sosial sering terjadi pada hubungan yang
bersifat formal seperti bisnis dan sebagainya.
Jarak publik memiliki dengan fase dekat dari 3,60 sampai 7,50 meter dan
fase jauh dengan jarak lebih dari 7,50 meter. Jarak publik biasa terjadi pada
61
hubungan yang lebih formal lagi seperti penceramah di depan kelas atau aktor
dengan hadirin atau penontonnya. Suatu jarak yang tidak dilakukan dalam
interaksi antara dua individu, tetapi dalam suatu pembicaraan antara satu individu
dengan suatu kelompok orang. Semakin besar jarak, semakin keras pula suara
yang harus dikeluarkan. Pada jarak ini diperlukan usaha keras untuk bisa
berkomunikasi dengan baik.
Dalam melakukan suatu interaksi, manusia sebagai anggota masyarakat pada
hakikatnya mempunyai beberapa ciri sehingga hal tersebut dikatakan interaksi,
(Nitihardjo, 2010), yaitu (1) Jumlah pelaku lebih dari satu orang, artinya dalam
sebuah interaksi, setidaknya ada dua orang yang sedang bertemu dan mengadakan
hubungan, (2) Ada komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol,
artinya dalam sebuah interaksi sosial di dalamnya terdapat proses tukar menukar
informasi. Informasi yang diberikan melalui proses komunikasi menggunakan
isyarat atau tanda yang dimaknai dengan simbol-simbol yang hendak
diungkapkan dalam komunikasi itu, (3) Ada dimensi waktu (masa lampau, masa
kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.
Artinya dalam proses interaksi dibatasi oleh dimensi waktu, sehingga dapat
menentukan sifat aksi yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat
dalam interaksi, (4) Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya
tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat, artinya dalam sebuah
interaksi sosial, orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki tujuan yang
diinginkan oleh mereka. Tujuan tersebut ada yang berguna untuk menggali
informasi, atau sekedar beramah-tamah atau yang lainnya.
62
Teori ini akan sangat menunjang atau membantu untuk penelitian di lapangan
untuk mengetahui interaksi sosial yang terjadi antar masyarakat multi-etnik di
Tanjung Benoa. Dari kedua teori sosial yang digunakan, dapat dilihat relasi antara
perilaku atau tindakan sosial dengan interaksi sosial. Perilaku atau tindakan sosial
mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan interaksi sosial. Tindakan
sosial adalah perbuatan yang dipengaruhi oleh orang lain untuk mencapai tujuan
dan maksud tertentu. Interaksi sosial adalah hubungan yang terjadi sebagai akibat
dari tindakan individu atau kelompok dalam masyarakat.
Tidak semua tindakan yang dilakukan oleh manusia dikatakan sebagai
interaksi sosial. Misalnya tabrakan yang terjadi di jalan raya. Tabrakan itu bukan
merupakan interaksi sosial karena tidak ada aksi dan reaksi. Namun apabila
setelah terjadinya tabrakan itu mereka saling menolong atau justru saling
berkelahi, maka tindakan itu menjadi interaksi sosial.
Disebutkan sebagai interaksi sosial karena terjadi hubungan timbal balik yang
disebabkan oleh adanya tindakan (aksi) dan tanggapan (reaksi) antara dua pihak.
Tanpa tindakan, tidak mungkin ada hubungan. Jadi, tindakan merupakan syarat
mutlak terbentuknya hubungan timbal balik atau interaksi sosial.
1.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan
permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk bagan. Latar belakang
utama dalam penulisan tesis ini adalah melihat fenomena sosial dalam masyarakat
dan perwujudan penggunaan ruang yang merupakan teritori dari suatu etnik, dua
63
hal inilah yang menjadi permasalahan utama yang terdapat dalam penelitian ini.
Fenomena sosial di penelitian ini adalah aktivitas interaksi sosial yang dilakukan
multi-etnik, untuk mencari pengaruh interaksi terhadap perwujudan penggunaan
ruang terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti aktivitas, waktu,
frekuensi dan tentunya tempat terjadinya interaksi sosial tersebut.
Selanjutnya dari interaksi sosial masyarakat dilihat pengaruhnya terhadap
perwujudan penggunaan ruang yang tercipta dalam melihat hal ini diperlukan juga
beberapa aspek penting, seperti ruang yang dapat digunakan bersama, tetapi
merupakan teritorialitas dari suatu etnik. Ruang tersebut adalah sarana
peribadatan, pemakaman, bale banjar dan pasar desa. Fenomena sosial dan
teritorialitas etnik yang akan diteliti dilakukan pada kawasan Tanjung Benoa,
Bali. Berdasarkan hal-hal inilah, maka dilakukan penelitian Teritorialitas dan
Interaksi Multi-etnik di Tanjung Benoa, Bali.
Ketiga rumusan masalah yang ada saling berhubungan. Jawaban dari
rumusan masalah pertama sangat dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah
kedua dan begitu pula pada rumusan masalah ketiga dapat dijawab dengan
mengetahui jawaban dari rumusan masalah pertama dan kedua, dapat dilihat dari
Gambar 2.3.
Penelitian ini menggunakan beberapa teori atau pendekatan untuk dijadikan
pedoman bentuan untuk menemukan hal yang baru di lapangan. Sehingga
akhirnya didapatkan suatu temuan atau kesimpulan. Keenam teori tersebut adalah
teori behavioral setting, teori teritorialitas, teori seting, teori sakral dan profan,
64
teori perilaku sosial, dan yang terakhir merupakan teori interaksi sosial. Karena
teori perilaku dan interaksi sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Teori behavior setting digunakan untuk membantu memecahkan rumusan
masalah pertama dan kedua, yaitu untuk memahami dan mengetahui perilaku dan
waktu terjadinya aktivitas interaksi dan gambaran aktivitas interaksi multi-etnik
pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa. Teori kedua, yaitu teori
teritorialitas digunakan untuk mengetahui ruang yang merupakan teritorialitas
suatu etnik, sehingga akan sangat membantu menjawab masalah kedua, yaitu
gambaran aktivitas interakasi multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik dan
rumusan masalah ketiga, faktor-faktor yang melatarbelakangi aktivitas interaksi
multi-etnik pada ruang teritorialitas satu etnik di Tanjung Benoa, Bali.
Teori seting yang digunakan untuk membentu peneliti mengetahui pengaruh
ruang terhadap interaksi yang terjadi di desa adat ini. Dengan demikian, teori ini
digunakan untuk dijadikan acuan dalam memecahkan rumusan masalah kedua.
Teori sakral dan profan juga akan sangat membantu untuk memecahkan rumusan
masalah kedua karena teori ini membentu peneliti untuk mengetahui mana ruang
teritori yang bersifat sakral dan ruang yang bersifat profan.
Teori perilaku sosial digunakan untuk memecahkan rumusan masalah
pertama yaitu memahami dan mengetahui perilaku dari aktivitas interaksi multi-
etnik. Teori interaksi sosial digunakan untuk mengetahui apakah interaksi yang
terjadi di Tanjung Benoa merupakan suatu interaksi multi-etnik atau bukan.
65
Gambar 2.3
Model Penelitian
(Analisis Penulis, 2013)
Teritorialitas dan Interaksi Multi-
etnik di Tanjung Benoa, Bali
Bagaimana dan apa faktor-
faktor yang
melatarbelakangi aktivitas
interaksi multi-etnik pada
ruang teritorialitas satu
etnik di Tanjung Benoa,
Bali?
Bagaimana perilaku dan
waktu terjadinya aktivitas
interaksi multi-etnik di
Tanjung Benoa, Bali?
Bagaimana gambaran aktivitas
interaksi multi-etnik pada
ruang teritorialitas satu etnik di
Tanjung Benoa, Bali?
Teori Behavioral
Setting
Temuan
Teori Perilaku
Sosial
Teori Seting
Teori
Teritorialitas
Teori Sakral dan
Profan
Teori Interaksi
Sosial
66
DAFTAR PUSTAKA
Acwin, D. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal
Permukiman Natah, Vol. 1: 8 - 24
Acwin, D. 2010. Arsitektur Tradisional Bali di Ranah Publik. Denpasar: CV. Bali
Media Adhikarsa.
Adhika, I Made. 1994. “Peran Banjar dalam Penataan Komunitas, Studi Kasus
Kota Denpasar” (tesis). Bandung: Program Magister PWK ITB.
Adhiputra, A. A. N. 2010. Konseling Lintas Budaya. Denpasar: CV. Kayumas
Agung.
Amelia, Rizki. 2011. “Komunikasi Antar Budaya dan Proses Akulturasi Budaya
Kaum Urban” (skripsi). Medan: Universitas Sumatra Utara.
Andrini, S. 2006. “Stereotif Masyarakat Pegayaman Dalam Komunikasi Antar
Budaya: Sebuah Kajian Budaya” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Astutik, W. 2007. “Pola Interaksi Sosial Masyarakat Etnis Jawa Dengan Etnis
Cina (Studi di Desa Gurah Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri)” (tesis).
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2012. Badung Dalam Angka 2012.
Denpasar.
______________. 2012. Data Monografi Desa dan Kelurahan Tanjung Benoa.
Denpasar.
______________. 2012. Pemetaan dan Identifikasi Pola Ruang Permukiman di
Kabupaten Badung. Denpasar.
Burhanuddin. 2009. “Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Permukiman Padat
Di Kampung Klitren Lor Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta” (tesis).
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. (Agus Maulana, Pentj).
Jakarta: Professional Books.
Dewi, dkk. 2011. “Eksitensi Klenteng/Vihara Amurva Bhumi Ditinjau Dari
Perspektif Sejarah Lokal Desa Adat Blahbatuh” (laporan penelitian).
Gianyar: SMA Negeri 1 Blahbatuh.
Dharmayuda, I Md. S. dan I Wayan K. Cantika. 1991. Filsafat Adat Bali.
Denpasar: Upada Sastra.
Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. 2010. Mengenal Agama-agama:
Memperluas Wawasan Pengetahuan Agama Melalui Mengenal dan
Memahami Agama-agama. Surabaya: PĀRAMITA.
Durkheim, Emile. 1915. The Elementary Forms of the Religious Life. London:
George Allen & Unwin.
67
______________. 1995. Sejarah Agama. (Inyak Ridwan Muzir, Pentj).
Yogyakarta: Ircsod.
______________. 1915. The Elementary Forms of the Religious Life, (Joseph
Swain, Pentj). London: The Free Press.
Effendi, Sofian. 2012. Prinsip-prinsip Pengukuran dan Penyusunan Skala. Dalam
Effendi, S., Tukiran. editors. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
hlm. 116.
Eliade, Mircea. 1957. The Sacred and the Profan: The Nature of Religion.
London: Harcourt Brace Jovanovich.
_____________. 1959. The Sacred and the Profan: The Nature of Religion.
(Willard R. Trask, Pentj). New York: Harcourt, Brace & World.
Ery. 2002. “Tanjung Benoa Nyaris Jadi Kuta Kedua”. Bali Post, 26 September,
hal: 1.
Fasta, Feni. 2011. “Judul, Bab I-III” (skripsi). Jakarta: Universitas Mercu Buana.
Gelebet, I Nyoman. 1985. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harahap, A. R. 2006 Multikulturalisme Dalam Bidang Sosial. Jurnal Antropologi
Sosial Budaya Etnovisi Vol. II (1): 29.
Hariyono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara.
Haryadi, B. Setiawan. 2010. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Haryanti, D. T. 2008. “Kajian Pola Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik kawasan
Bundaran Simpang Lima Semarang” (tesis). Semarang: Universitas
Diponegoro.
Horton, Paul.B, dan Hunt, Chester L. 1984. Sosiologi. (Aminuddin Ram dan Tita
Sobari, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Indiatmoko, B. 2004. “Suku Bajo Dalam Lintas Etnik Di Kepulauan Karimunjawa
Analisis Interaksi Sosial Antar Etnis” (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: GP Press.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kasuma, I Putu Agus Wira, Iwan Suprijanto. 2011. Karakteristik Ruang
Tradisional Pada Desa Adat Penglipuran, Bali. Denpasar: Badan Litbang
Kementerian Pekerjaan Umum.
Koentjaraningrat. 1974. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas
Indonesia.
______________. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kurniadi, Fery; Diananta Pramitasari dan Djoko Wijono. 2012. “Konsep Perilaku
Teritorialitas di Kawasan Pasar Sudirman Potianak”. Vokasi 8(3): 197-208.
68
Laurens, Joyce Marcella. 2004. Aritektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT.
Grasindo.
Lengkey, Michael. 2011. “Ruang Sosial Sebagai Wadah Budaya Berkumpul Pada
Kawasan Tepian Air Kota Manado” (laporan). Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka Dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.
Mahira, Eka Diana, 2011. “Teori Perilaku Sosial Max Weber” (laporan).
Denpasar: Universitas Udayana.
Mantra, Ida Bagoes dkk. 2012. Penentuan Sampel. Dalam Effendi, S., Tukiran.
editors. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. hlm. 158-159.
Martini, Indah. 2012. “Dasar-dasar Komunikasi (Semiotika: Makna Dalam
Komunikasi)” (laporan). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Moens, J.L. 1986. Budhisme di Jawa dan Sumatra. Jakarta: Bhatara Karya
Aksara.
Najib, Muhammad. 2005. Perilaku Pemukim Terhadap Lahan Permukiman
Sekitar Sungai di Kawasan Pusat Kota. Mektek IV (19).
Nasution, S. 2007. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.
Nazaruddin, dkk. 2007. Pola Interaksi Dan Integrasi Masyarakat Multi Etnis:
Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak.
Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Nuraini, Cut. 2004. Permukiman Suku Batak Mandailing. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
___________. 2010. “Studi Awal Teritorialitas dan Sistem Seting Permukiman di
Sekitar Candi Sukuh” (tesis). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pals, Daniel L. 1996. Seven Theories of Religion, New York: Oxford University
Press.
___________. 2001. Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama.
(Ridhwan Muzir, M.Sykri, Pentj). Yogyakarta: Ircisod.
Putra, I Gusti Made. 1988. “Arsitektur Bale Banjar Modern Tradisional Bali”
(laporan). Denpasar: Fakultas Teknik Universitas Udayana
Rapoport, A, 1982. The Meaning of the Built Environment. London: Sage
Publication.
Rata, Ida Bagus. 1991. “Pura Besakih Sebagai Kahyangan Jagat” (disertasi).
Jakarta: Universitas Indonesia.
Republik Indonesia. 2007. Undang-undang No.26 Tahun 2007. Jakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi
Wacana.
Rossi, Aldo. 1982. The Architecture of the City. Cambridge: MIT Press.
69
Salain, P.R. 2013. Arsitektur Posmo pada Masjid Al Hikmah Dalam Serapan
Arsitek Tradisional Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa
dan Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sanaky, Hujair. 2005. “Sakral (Sacred) dan Profan Studi Pemikiran Emile
Durkheim Tentang Sosiologi Agama” (laporan). Makalah Diskusi Kelas,
Program Doktor [S-3] Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta 6 Oktober.
Saripudin, Asep. 2010. “Hambatan Interaksi dan Komunikasi” (laporan
penelitian). Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sarjana, I Made Bram. 2006. “Studi Tentang kebijakan Pengembangan Pariwisata
Kota Kediri Provinsi Jawa Timur” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Silalahi, Gabriel Amin. 2003. Metodologi Penelitian dan Studi Kasus. Sidoarjo:
CV. Citramedia.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Suardana, Gede. 2010. “Ribuan Orang Ikuti Ruwatan Massal di Klenteng Bali”.
Detik News, 6 Mei, hlm. 10.
Surpha, I.W. 2004. Eksitensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Denpasar:
Pustaka Bali Post.
Susilo, Edi. 2010. Dinamika Struktur Sosial Dalam Ekosistem Pesisir. Malang:
Universitas Brawijaya Press.
Sutedjo, S. B. 1982. Pencerminan Nilai Budaya Dalam Arsitektur Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Syarbaini, Syahrial, Rusdiyanta. 2009. Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Taher, H. Tarmizi. 1997. Mayarakat Cina ketahanan Nasional dan Integrasi
Bangsa di Indonesia. Jakata: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM).
Titib, I Made. 2011. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya:
Badan Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat dan PĀRAMITA.
Veeger, KJ. 1993. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan
Individua-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Wahid, Abdurrahman. 1995. Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari
Jati Diri. Yogyakarta: Interfidei.
Wirata, I Ketut. 2000. “Integrasi Etnis Tionghoa di desa Adat Carangsari
kecamatan Petang Kabupaten Badung Bali (Suatu Kajian Budaya)” (tesis).
Denpasar: Universitas Udayana.
70
Wirawan, Ida Bagus. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta
Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Studi Internet:
Alamanda, Linda. 2010. Teritorialitas. (serial online), Apr, [cited 2013 Ags. 7].
Available from: URL: http://alamanda-
linda.blogspot.com/2010/04/teritorialitas.html.
Alimah, N. 2012. Kaitan Interaksi Sosial dan Proses Sosial. (serial online), Okt,
[cited 2012 Nov. 12]. Available from: URL:
http://www.artikelbagus.com/2012/06/kaitan-interaksi-sosial-dan-
proses.html.
Anonim, 2011. Pengertian Interaksi Sosial. (serial online), Feb, [cited 2012 Nov.
12]. Available from: URL: http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-
sosial/.
Anonim. 2011. Makalah Interaksi Sosial. (serial online), Nov, [cited 2013 Feb.
14]. Available from: URL: http://santosa-
innovation.blogspot.com/2011/11/lomba-cipta-cerpen.html.
Anonim. 2011. Tanjung Benoa. (serial online), Feb, [cited 2013 Okt. 29].
Available from: URL: http://www.bali-indonesia.com/tanjung-
benoa/attractions.htm.
Anonim. 2011. Teritorialitas. (serial online), Mar, [cited 2013 Ags. 7]. Available
from: URL: http://syemol.blogspot.com/2011/03/teritorialitas.html.
Anonim. 2011. The Balinese-Chinese. (serial online), Feb, [cited 2013 Okt. 29].
Available from: URL: http://www.balihomeland.net/2011/02/the-balinese-
chinese/#more-364.
Anonim. 2011. The Balinese-Chinese. (serial online), Feb, [cited 2013 Okt. 29].
Available from: URL: http://www.balihomeland.net/2011/02/they-blend-
perfectly-in-bali/#more-371.
Anonim. 2012. Borgadus Social Sistance Scale. (serial online), Mei, [cited 2012
Okt. 17]. Available from: URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bogardus_social_distance_scale.
Anonim. 2012. Interaksi. (serial online), Okt, [cited 2012 Nov. 12]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Interaksi.
Anonim. 2012. Kapal Jung. (serial online), Des, [cited 2013 Mar. 3]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung.
Anonim. 2012. Pengertian dan Fungsi Pura. (serial online), Sep, [cited 2013 Okt.
29]. Available from: URL:
http://tiangnakbaliaga.blogspot.com/2012/09/pengertian-dan-fungsi-
pura_7259.html.
71
Anonim. 2012. Pinisi. (serial online), Nov, [cited 2013 Mar. 3]. Available from:
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Pinisi.
Anonim. 2012. Pulau Palue. (serial online), Okt, [cited 2013 Mar. 3]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Palue.
Anonim. 2013. Baruna. (serial online), Apr, [cited 2013 Sep. 29]. Available from:
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Baruna.
Anonim. 2013. Cina Indonesia. (serial online), Jan, [cited 2013 Mar. 8]. Available
from: URL: http://ms.wikipedia.org/wiki/Cina_Indonesia.
Anonim. 2013. Junk (ship). (serial online), Feb, [cited 2013 Mar. 3]. Available
from: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Junk_(ship).
Anonim. 2013. Kepercayaan tradisional Tionghoa. (serial online), Apr, [cited
2013 Okt. 25]. Available from: URL:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepercayaan_tradisional_Tionghoa.
Anonim. 2013. Klenteng. (serial online), Ags, [cited 2013 Okt. 25]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng.
Anonim. 2013. Masjid. (serial online), Okt, [cited 2013 Okt. 25]. Available from:
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid.
Anonim. 2013. Mircea Eliade. (serial online), Okt, [cited 2013 Okt 12]. Available
from: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Mircea_Eliade.
Anonim. 2013. Mosque. (serial online), Okt, [cited 2013 Okt. 25]. Available from:
URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Mosque.
Anonim. 2013. Pura. (serial online), Apr, [cited 2013 Sep. 29]. Available from:
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Pura.
Anonim. 2013. Sacred. (serial online), Okt, [cited 2013 Okt. 12]. Available from:
URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Sacred.
Anonim. 2013. Sacres Architecture. (serial online), Sep, [cited 2013 Okt. 18].
Available from: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Sacred_architecture.
Anonim. 2013. Sawerigading. (serial online), Feb, [cited 2013 Feb. 17]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Sawerigading.
Anonim. 2013. Sinkretisme. (serial online), Apr, [cited 2013 Okt. 8]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Sinkretisme.
Anonim. 2013. Suku Bugis. (serial online), Jan, [cited 2013 Mar. 3]. Available
from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis.
Anonim. 2013. The Sacred and the Profan. (serial online), Jul, 12 Okt]. Available
from: URL: http://rationalwiki.org/wiki/The_Sacred_and_the_Profan.
Anonim. 2013. Tionghoa-Indonesia. (serial online), Mar, [cited 2013 Mar. 8].
Available from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.
Chintya, Mirna. 2011. Pengertian Teritorialitas. (serial online), Apr, [cited 2013
Ags. 7]. Available from: URL:
http://chintyamirna.blogspot.com/2011/04/pengertian-teritorialitas.html.
72
Damarayanthi, Febri. 2011. Tanjung Benoa. (serial online), Jan, [cited 2012 Des.
3]. Available from: URL:
http://satudeako.wordpress.com/2011/01/23/tanjung-benoa/.
Dwija, Bhagawan. 2000. Asta Kosala dan Asta Bumi. (serial online), Apr, [cited
2013 Ags. 7]. Available from: URL:
http://www.babadbali.com/astakosalakosali/astakosala.htm.
Fadlillah. 2010. Kebudayaan. (serial online), Apr, [cited 2011 Jan. 7]. Available
from: URL: http://fadillah.wordpress.com.
Hakim, D. F. A. 2009. Apa Itu Pluralitas?. (serial online), Mei, [cited 2012 Nov.
12]. Available from: URL: http://mengaisilmu.blogspot.com/2009/05/apa-
itu-pluralitas.html.
Hayat, Indra Nurul. 2012. Suku Bali. (serial online), Mei, [cited 2013 Mar. 8].
Available from: URL:
http://indrasangpujangga.blogspot.com/2012/05/suku-bali.html.
Hendra. 2009. Interaksi Sosial Dalam Hubungan Antar Manusia. (serial online),
Des, [cited 2012 Nov. 12]. Available from: URL:
http://stikunsap.forumotion.net/t6-interaksi-sosial-dalam-hubungan-antar-
manusia#bottom.
Jayalina. 2011. Penanganan Konflik Sosial. (serial online), Mei, [cited 2012 Okt.
16]. Available from: URL:
http://jayalina.wordpress.com/2011/05/02/penanganan-konflik-sosial.htm.
Johanis. 2010. Ekspedisi: Tanjung Benoa. (serial online), Jan, [cited 2012 Des. 3].
Available from: URL: http://forum.upi.edu/index.php?topic=12787.0.
Lela, E. 2011. Teori Lokasi dan Pola Ruang. (serial online), Okt, [cited 2012 Nov.
12]. Available from: URL: http://ibuazkha.blogspot.com/2011/10/teori-
lokasi-dan-pola-ruang.html.
Lisna, 2012. Kerukunan Antar Umat Beragama Sulawesi Utara: “Torang Semua
Bersaudara”. (serial online), Jun, [cited 2013 Feb. 9]. Available from: URL:
http://www.indonesia.go.id/in/susunan-anggota-wantimpres/11232-
kerukunan-antar-umat-beragama-sulawesi-utara-torang-samua-basudara.
Maddy, K. 2008. Interaksi Sebagai Proses Sosial. (serial online), Mei, [cited 2012
Nov. 12]. Available from: URL: http://id.shvoong.com/social-
sciences/sociology/1809953-interaksi-sebagai-proses-sosial/.
Mambo. 2012. Kecamatan Kuta. (serial online), Des, [cited 2012 Des. 3].
Available from: URL: http://www.badungkab.go.id.
Nitihardjo, A. A. 2010. Interaksi Sosial. (serial online), September, [cited 2012
Nov. 12]. Available from: URL: http://alfinnitihardjo.ohlog.com/interaksi-
sosial.oh112676.html.
Nurman. 2010. Kronologis Kerusuhan Etnis di Tarakan, Kalimantan Timur.
(serial online), Sep, [cited 2012 Okt. 16]. Available from: URL:
73
http://justnurman.wordpress.com/2010/09/28/kronologi-kerusahan-etnis-di-
tarakan-kalimantan-timur.html.
Rafian, Shindoh. 2010. Proses Sosial Dan Interaksi Sosial. (serial online), Jan,
[cited 2013 Feb. 14]. Available from: URL:
http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-
proses-sosial-dan-interaksi-sosial/.
Risaf, Karina. 2011. Kebudayaan. (serial online), Mei, [cited 2013 Ags. 28].
Available from: URL:
http://karinarisaf.blogspot.com/2011/05/kebudayaan.html.
Sam, San. 2013. Kelenteng Tertua di Bali. (serial online), Sep, [cited 2013 Okt.
29]. Available from: URL: http://nusaduapost.com/kelenteng-tertua-dibali/.
Steven, Michael. 2012. Bagaimana Penyebaran Tionghoa Bisa Sampai Indonesia.
(serial online), Sep, [cited 2013 Mar. 8]. Available from: URL:
http://mikeportal.blogspot.com/2012/09/bagaimana-penyebaran-tionghoa-
bisa-sampai-indonesia.html.
Suhirmanto. 2008. Ruang Sosial: Perspektif Sosiologis. (serial online), Apr, [cited
2013 Jan. 7]. Available from: URL:
http://ruangsosialpembangunan.blogspot.com/2008/04/ruang-sosial-
mungkinkah.html.
Suryanto. 2005. Sejarah Kelenteng dan Asal Mula Istilah Kelenteng. (serial
online), Apr, [cited 2013 Okt. 25]. Available from: URL:
http://www.wihara.com/forum/kong-hu-cu/881-sejarah-kelenteng-dan-asal-
mula-istilah-kelenteng.html.
Sutanja, Effendi. 2012. Manado Menjadi Kota Model Kerukunan Umat
Beragama. (serial online), Des, [cited 2013 Feb. 9]. Available from: URL:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/22/manado-menjadi-kota-model-
kerukunan-umatberagama-518935.html.
Windiswatikapa, Hanum. 2011. Pengertian Teritorialitas. (serial online), Apr,
[cited 2013 Ags. 7]. Available from: URL:
http://hanumwindiswatikapa04.blogspot.com/2011/04/pengertian-
teritorialitas.html.
Wulandari, Nina. 2011. Teritorialitas. (serial online), Apr, [cited 2013 Ags. 7].
Available from: URL:
http://ninambel89.blogspot.com/2011/04/teritorialitas.html.
74
Wawancara: 1. Nama Narasumber : Dahlan
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Antar Jemput Anak Buah Kapal
Tanggal wawancara : 20 Oktober 2012
Tempat wawancara : Koperasi Nelayan
Informasi : Nama-nama banjar di Kawasan Tanjung Benoa dan
letaknya.
2. Nama Narasumber : Nengah
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal wawancara : 1 November 2012
Tempat wawancara : Jalan Segara Ening
Informasi : Letak Banjar Tengah.
3. Nama Narasumber : Siska
Pekerjaan : Mahasiswi
Tanggal wawancara : 3 Februari 2013
Tempat wawancara : Halaman Depan Klenteng Caow Eng Bio
Informasi : Informasi mengenai upacara dan kegiatan di Tanjung
Benoa.
4. Nama Narasumber : Devian
Umur : 21 tahun
Pekerjaan : Panitia Acara Perayaan Tahun Baru Imlek
Tanggal wawancara : 10 Februari 2013
Tempat wawancara : Klenteng Caow Eng Bio
Informasi : Informasi seputar etnis Tionghoa.
5. Nama Narasumber : Ida Bagus Mahedewa
Pekerjaan : Bagian Administrasi Kelurahan Tanjung Benoa
Tanggal wawancara : 11 Februari 2013
Tempat wawancara : Kelurahan Tanjung Benoa
Informasi : Data Monografi, Peta Lokasi Tanjung Benoa.
6. Nama Narasumber : Kadek
Pekerjaan : Bagian Administrasi Desa Adat Tanjung Benoa
Tanggal wawancara : 15 Februari 2013
Tempat wawancara : Kantor LPD Desa Adat Tanjung Benoa
Informasi :
Data Susunan Organisasi Desa Adat Tanjung Benoa,
Nama masing-masing Kelian di Desa Adat Tanjung Benoa.
7. Nama Narasumber : I Nyoman Wana Putra B. A.
Pekerjaan : Bendesa Adat Tanjung Benoa
Tanggal wawancara : 16 Februari 2013
Tempat wawancara : Kantor LPD Desa Adat Tanjung Benoa
75
Informasi :
Gambaran Desa Adat Tanjung Benoa,
Sejarah Tanjung Benoa,
Informasi mengenai masyarakat etnik (etnik yang ada dan tinggal serta
perkiraan waktu kedatangan masing-masing etnik di Desa Adat Tanjung Benoa),
Kehidupan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa,
Interaksi antar masyarakat di Desa Tanjung Benoa,
Perayaan yang ada di Desa Adat Tanjung Benoa dan tata cara pengadaannya.
8. Nama Narasumber : Kisun
Pekerjaan : Mangku Klenteng Caow Eng Bio
Tanggal wawancara : 16 Februari 2013
Tempat wawancara : Klenteng Caow Eng Bio
Informasi :
Informasi mengenai masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal dan perkiraan
waktu kedatangan etnis Tionghoa di Desa Adat Tanjung Benoa,
Lokasi tempat tinggal etnis Tionghoa pada awalnya dan saat ini,
Kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Adat Tanjung Benoa,
Interaksi antar masyarakat sesama etnis Tionghoa dan dengan masyarakat etnis
lain di Desa Tanjung Benoa,
Lokasi interaksi masyarakat antar masyarakat sesama etnis Tionghoa dan
dengan masyarakat etnis lain di Desa Tanjung Benoa,
Perayaan umat Buddha (yang pada umumnya adalah etnis Tionghoa) yang ada
di Desa Adat Tanjung Benoa dan tata cara pengadaannya.
9. Nama Narasumber : I Wayan Wadio
Umur : 53 tahun
Pekerjaan : Petajuh atau Kelian Adat Banjar Anyar
Tanggal wawancara : 17 Februari 2013
Tempat wawancara : Rumah tinggal Petajuh atau Kelian Adat Banjar
Anyar (Jalan Segara Ening Gang Beluncat No.8)
Informasi :
Gambaran Desa Adat Tanjung Benoa,
Sejarah Tanjung Benoa,
Informasi mengenai masyarakat etnik (etnik yang tinggal dan perkiraan waktu
kedatangan masing-masing etnik di Desa Adat Tanjung Benoa),
Kehidupan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa,
Interaksi antar masyarakat di Desa Tanjung Benoa,
Perayaan yang ada di Desa Adat Tanjung Benoa dan tata cara pengadaannya.
10. Nama Narasumber : Suardi Indrajaya
Pekerjaan : Kelian Banjar Panca Bhinneka
Tanggal wawancara : 17 Februari 2013
76
Tempat wawancara : Rumah tinggal Kelian Banjar Panca Bhinneka (Jalan Segara
Lor No.11)
Informasi :
Gambaran umum lingkungan Panca Bhinneka,
Informasi mengenai masyarakat etnis Bugis yang tinggal di Desa Adat Tanjung
Benoa,
Lokasi tempat tinggal etnis Bugis pada awalnya dan saat ini,
Kehidupan masyarakat etnis Bugis di Desa Adat Tanjung Benoa,
Interaksi antar masyarakat sesama etnis Bugis dan dengan masyarakat etnis lain
di Desa Tanjung Benoa,
Lokasi interaksi masyarakat antar masyarakat sesama etnis Bugis dan dengan
masyarakat etnis lain di Desa Tanjung Benoa,
Perayaan umat Islam (yang pada umumnya adalah etnis Bugis) dan kegiatan
sosial yang ada di Desa Adat Tanjung Benoa,
Susunan organisasi Banjar panca Bhinneka.
11. Nama Narasumber : Mohammad Rujahan
Pekerjaan : Wakil Kelian Banjar Panca Bhinneka
Tanggal wawancara : 17 Februari 2013
Tempat wawancara : Rumah tinggal Kelian Banjar Panca Bhinneka (Jalan Segara
Lor) Informasi : Perkiraan waktu kedatang
Top Related