TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT LAHI KAWIN
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT LAHI KAWIN (STUDIKASUS DI REJOSARI, PAMENANG,
MERANGIN, JAMBI)
SKRIPSIDIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTAUNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR
SARJANA STRATA SATUDALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:TITIK RIYANI07350015
PEMBIMBING: 1. Drs. AHMAD PATTIROY, M.Ag.2. Hj. FATMA AMILIA, S.Ag., M.Si.
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAHFAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
ABSTRAK
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorangpria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuanmembentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkanketuhanan Yang Maha Esa. Dalam melakukan pernikahan antaramasyarakat satu dengan yang lainnya tidaklah sama, hal inidikarenakan mereka mempunyai adat dan kebiasaan sendiri.Ketentuan tentang perkawinan adat di Rejosari, KecamatanPamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi akan dibahas dalamskripsi ini.
Di masyarakat Rejosari ada lima macam tata-cara perkawinan,pertama Duduk Betunang, kedua Beciri Tuo, ketiga Kawin Selaju Berelek,keempat Kawin Salah Bujang Gadis, kelima Lahi Kawin, yaitu larinyaseorang laki-laki dan perempuan dengan didampingi seorang temanatau kerabat kerumah ketua adat untuk mengadakan pernikahan tanpaadanya peminangan dan tanpa sepengetahuan orang tua sepertilazimnya, untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agamaIslam.
Penyusun mengunakan kaidah al-‘adatul muhkamah dan maslahah-mursalah untuk menganalisis kasus lahi kawin yang terjadi di DesaRejosari untuk menentukan sah dan tidaknya perkawinan tersebut.Dalam penelitian ini, penyusun mengunakan hasil wawancara danobservasi lapangan sebagai data utamanya, sedangkan data sekunderdiambil dari berbagai literatur yang mendukung untuk dijadikanreferensi dalam penyusunan skripsi ini. Pendekatan yang digunakandalam penelitian ini adalah pendekatan sosio-historis, dimana
pada dasarnya produk pemikiran hukum merupakan hasil dariinteraksi sosial, dengan pendekatan tersebut apakah adat lahi kawinini sesuai dengan ketentuan hukum Islam dengan memperhatikannash-nash yang ada, serta apakah adat lahi kawin tersebutmendatangkan banyak implikasi positif atau implikasi negatifdalam hal pelaksanaannya, sehingga sangat ditaati dalammasyarakat.
Berdasarkan hasil analisis hukum Islam terhadap data hasilpenelitian, maka dapat disimpulkan bahwa adat lahi kawin adalahsalah satu adat yang dilakukan dalam melangsungkan pernikahan,adat lahi kawin sesuai dengan ketentuan hukum Islam, karena sudahmemenuhi syarat dan kriteria perkawinan menurut hukum Islam,undang-undang dan kompilasi hukum Islam yang berlaku diIndonesia. Dengan kata lain hukum adat lahi kawin adalah boleh(mubah). Walaupun penyusun berkesimpulan bahwa adat lahi kawinmubah, tapi hal ini tidak sesuai dengan etika masyarakat sebagaimahluk sosial.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-03/5
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR
Hal : Persetujuan skripsiLamp : -
Kepada Yth.Dekan Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Sunan Kalijaga YogyakartaDi Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami membaca, mengoreksi, dan menyarankan perbaikanseperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:
Nama : Titik RiyaniNIM : 07350015
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lahi Kawin (Studi Kasusdi Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)
Sudah dapat diajukan kembali kepada fakultas Syari’ah danHukum, jurusan/program studi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN SunanKalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperolehgelar sarjana strata satu dalam Ilmu Hukum Islam.
Dengan ini kami mengharap agar skripsi/tugas akhir saudaratersebut di atas dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannyakami ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Yogyakarta, 06 Rajab 1432 H08 Juni 2011 M
Pembimbing I
Drs. Ahmad Pattiroy, M.Ag.NIP: 19620327 199203 1 001
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-03/5
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR
Hal : Persetujuan skripsiLamp : -
Kepada Yth.Dekan Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Sunan Kalijaga YogyakartaDi Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami membaca, mengoreksi, dan menyarankan perbaikanseperlunya, maka menurut kami skripsi saudara: Nama : Titik RiyaniNIM : 07350015
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lahi Kawin (Studi Kasusdi Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)
Sudah dapat diajukan kembali kepada fakultas Syari’ah danHukum, jurusan/program studi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN SunanKalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperolehgelar sarjana strata satu dalam Ilmu Hukum Islam.
Dengan ini kami mengharap agar skripsi/tugas akhir saudaratersebut di atas dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannyakami ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Yogyakarta, 06 Rajab 1432 H08 Juni 2011 M
Pembimbing II
Hj. Fatma Amilia, S.Ag, M.Si.NIP: 19720511 199603 2 002
PENGESAHAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR
Skripsi/Tugas Akhir dengan judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lahi Kawin (Studi
Kasus di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi)
Yang dipersiapkan dan disusun oleh :
:Titik Riyani
: 07350015
Telah dimunaqosyahkan pada : Selasa, 21 Juni 2011
Nilai munaqasyah : A-
Dan dinyatakan diterima oleh fakultas syari’ah dan Hukum UIN sunan Kalijaga
TIM MUNAQOSYAH Ketua Sidang
Drs. Ahmad Pattiroy, M.Ag.NIP: 19620327 199203 1 001
Penguji I Penguji II
Drs. Abdul Halim, M.Hum. Drs. Supriatna, M.Si.NIP: 19630119 199003 1 001 NIP: 19541109 198103 1 001
DEKAN FAKULTAS SYARI”AH
UIN SUNAN KALIJAGA
Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D.NIP: 19600417 198903 1 001
MOTTO
PLAN YOUR WORK, WORK YOUR PLAN
TUJUAN BUKANLAH YANG UTAMA. YANG UTAMA ADALAH PROSES.{maka hargailah proses, karena proses yang baik akan
menghasilkan hasil yang baik}
SETIAP LANGKAH DAN NAFASMU DITUNTUT TANGGUNG JAWAB
Persembahan
Karya ini kupersembahkan untuk almamaterku. Rasa hormat dan terimakasihku kepada keluargaku tercinta yang selalu setia. Belahan jiwak {MKT} yang selalu memberi motivasi dan dukungan.
*** (~_~) ***
KATA PENGANTAR
ــــــم ــــــسم ال�له ال�رح�من� ال�رح�ي� ب��
ى ل�له ال�حمد لم ع�لم ال�د� �ال�ق سان� ع�لم ب�� علم م�ال�م الاب�� هد . ي�� هد ال�له الا اله لا ان� اش�- م�حمدا ان� واش�-ه اله وع�لى م�حمد ع�لى ص�ل ال�لهم . ال�له رس�ول ن� وص�حب� معي� .اح��
عد ام�ا .ي��Puji syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kenikmatan-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Adat Lari Kawin (Studi Kasus Di Rejosari, Pamenang,
Merangin, Jambi)
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada uswah
hasanah dan Revolusioner sejati Nabi Muhammad SAW. beserta
seluruh keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Penyusunan skripsi ini tidak mungkin bisa terselesaikan
apabila tanpa bantuan dan support dari pelbagai pihak. Berkat
pengorbanan, perhatian, serta motivasi merekalah, baik secara
langsung maupun tidak langsung, skripsi ini dapat terselesaikan.
Untuk itu, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak, antara lain kepada:
1. Prof. Drs. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., Dekan Fakultas Syari'ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Hj. Fatma Amilia, M.Si., selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Asy-
Syakhsiyyah sekaligus Pembimbing II, yang telah banyak memberi
bimbingan, arahan dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Drs. Ahmad Pattiroy, M.Ag., selaku Penasehat Akademik (PA)
dan pembimbing I yang telah banyak memberi masukan dalam
penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini.
4. Pemerintah privinsi Jambi, kabupaten Merangin, Kecamatan
Pamenang, Desa Rejosari yang telah memberikan kesempatan bagi
penyusun untuk mengadakan penelitian.
5. Ayahanda Sunardi dan Ibunda Mismi yang telah berjuang dengan
segala kemampuan baik berupa materiil maupun spiritual untuk
kelancaran studi bagi penyusun, selalu terpanjat do’a, ridho dan
kasih sayangnya. Mudah-midahan Allah membalas dengan segala
kebahagiaan.
6. Adikku Nining Purwanti yang selalu mendukung dan mengingatkan
untuk segera menyelesaikan studi. Tetap berjuang demi seulas
senyum dibibir bunda.
7. Kekasihku Mustafa Kamal Tarigan yang selalu sabar menemani.
Semoga Allah menyatukan kita dalam bingkai kehalalan.
8. Bapak lurah, para pemuka adat dan tokoh masyarakat didesa
Rejosari, Kecamatan Pamenang yang banyak membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat dikost, ninink(adek sekaligus kongsi kamar),
alma tetangga yg cerewet, mbak sofi, maryam, dan yang bisa
penyusun sebut satu persatu, terimakasih atas dukungan dan
motivasinya.
10. Teman-teman AS angkatan 2007 khususnya klas A (Fitri, Zaki,
Intan, Maryam, Chusni, bang Oby, Slamet, Lutfi, Opiq, aa’ Dede,
bang Zul, Cemel), semoga teman-teman bisa menggapai cita-cita,
angan, impian dan cinta masing-masing.
11. Anak-anak BERLEB, Tigan (tetep jadi panutan yang baik ya),
Arini (bersikap lebih dewasa ya dek), Uma (kembangkan karya dan
gombalmu kawan), Lena (sabar kawan,badai pasti berlalu). Buat
semuanya, cepet wisuda ya, sampai jumpa di Senayan.
12. Teman-teman KKN angkatan 70 tahun 2010, teman-teman Magang
Peradilan di Pengadilan Agama Sleman tahun 2010 dan semua pihak
yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih.
Akhir kata tidak ada gading yang tak retak, penyusun
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih sangat jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif
dari berbagai pihak sangat penyusun harapkan. Penyusun berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun
sendiri, dan umumnya bagi siapa saja yang berkepentingan.
Yogyakarta,04 Rajab 1432 H
06 Juni 2011 M Penyusun
Titik Riyani NIM. 07350015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu ketentuan Allah yang umum
berlaku pada semua mahluk baik pada manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan. Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti
mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan
berhubungan antara jantan dan betina secara anarki dan tidak ada
suatu aturan. Demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia,
Allah menciptakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga
hubungan laki-laki dan perempuan secara terhormat diatur dengan
tatacara pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah
sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang-biak
dan menjaga kelestarian hidupnya. Pernikahan terjadi setelah
masing-masing pasangan siap melaksanakan peranan yang positif
dalam mewujudkan tujuan perkawinan. 1[1]
ةةة ةة ةةة ةةة ةة ةةةةةة ةةةةةة ةةةةةةة ةةةةة ةةةة ةةةةة ةةةة Bةةة ا
[2]2ةةةةة ةةةة ةةة ةةة ةةةة ةةةةةةة
Allah menciptakan manusia berbeda jenis, ada laki-laki dan
ada juga perempuan yang bertujuan untuk bisa saling mencintai dan
menyayangi serta mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Islam menawarkan aturan
dan prosedur yang harus dipenuhi, salah satunya adalah dengan
proses peminangan dan pernikahan.
1[1] Berelek berarti pesta perkawinan.
2[2] Al-Bukhari, Sahîh al-Bukhărî,(Beirut:Dăr al-Hadis, 2000M), hadisNo. 4769,”Kităb al-Nikăh”, Bab al-Walimatu Walau Bi Syatin.
Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai berbagai
macam tradisi, adat istiadat, agama, suku bangsa dan ras, dalam
setiap kehidupannya. Salah satu adat yang dimiliki dan masih
hidup di masyarakat Indonesia adalah tata-cara perkawinan, mulai
dari proses meminang hingga terjadinya proses perkawinan yang
sah.
Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinan di Indonesia
dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat, hal
ini berkaitan erat dengan susunan masyarakat atau kekeluargaan
yang dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Berlakunya
hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat
adatnya. Pola kekerabatan dalam masyarakat ada yang menganut
sistem kekerabatan patrilineal yang bergariskan pada keturunan
ayah, sedangkan dalam sistem kekerabatan matrilineal berdasarkan
pada garis keturunan ibu. Salah satu contoh dalam hal peminangan,
pada sistem kekerabatan patrilineal peminangan dilakukan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan kekerabatan
matrilineal peminangan dilakukan oleh pihak perempuan kepada
laki-laki sebagaimana yang terdapat di masyarakat Sumatra Barat.
Oleh karena itu tanpa mengetahui bagaimana sistem masyarakat adat
yang bersangkutan, maka tidak mudah mengetahui hukum
perkawinannya.3[3]
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Desa Rejosari proses
terjadinya perkawinan terbagi menjadi lima:
1. Duduk Betunang, yaitu perkawinan yang menggunakan upacara adat
yang sempurna. Mulai dari proses peminangan yang biasa disebut
dengan bekampung merunding anak dilamar orang yang berarti orang
(mengumpul suku) adalah berundingnya kedua belah pihak dalam
proses menjelang melangsungkan lamaran, bekampung duduk betunang
yang berarti dua belah pihak duduk dalam satu ruangan dalam
prosesi lamaran, bekampung menyemua banyak yang berarti semua suku
induk mengantarkan telimak ke rumah pihak perempuan, dan bekampung
menyerah lek yang berarti berkumpul mengadakan pesta pernikahan. Proses
perkawinan yang seperti ini sama-sama sudah disetujui oleh
keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin
perempuan. Proses pernikahan ini biasanya sama dengan pernikahan
pada umumnya.4[4]
3[3] Al-A’raf (7): 31.
4[4] Al-Baqarah (2): 185.
2. Beciri Tuo, yaitu proses pernikahan yang masih ada ikatan famili.
Dalam seloko adat dikenal dengan:
Orang bergantang, dalam sumpi Orang memasak dalam kuali
Masih becega dalam suku.5[5] Masih terhalang dalam suku
Tata-caranya hampir sama dengan proses perkawinan di atas, hanya
saja proses tersebut tidak dihadiri oleh tetua adat.
3. kawin Selaju Berelek, sesuai dengan sluko adat:
Sehari ado sehari benano, Sehari ada sehari ilang
Sehari betepu telingo hangat, Sehari ditepuk telinga hangat
Orang bekisa ditempat yang ado, Orang bercerita ditempat itulah
Intan bejudu samo jayo.6[6] Tujuan bahagia sama bahagia
Yaitu perkawinan yang dari proses peminangan hingga pernikahan
tidak memiliki jeda waktu yang lama.
4. Lahi Kawin, yaitu larinya seorang laki-laki dan perempuan dengan
ditemani oleh orang lain ke rumah imam atau tetua adat untuk
mengadakan pernikahan tanpa adanya peminangan seperti lazimnya,
5[5] Muslim, Abu Husain Muslim Ibn al-Hajjah Ibn Muslim al-Qosirian-Nayasaburi, Shahîh Muslim, (Bairut: Dār al-Fikr, t.t.), II: 140, “Kitaban-Nîkāh”, “Bab al-Wafa bi asy-Syuyuti fi an-Nikāh”, Hadis dari AbuHurairah.
6[6] Ratno Lukito, Trasidi Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2008),hlm. 107.
untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama Islam. Hal
ini sesuai dengan seloko adat:
Bejalan kelam bulan, Berjalam gelap malam,
Besuluk batang pisang. Berobor batang pisang.
Melayang berbiduk penggal serong, Berlayar biduk berbelok arah,
Bejalan pintas sepinggal.7[7] Mencari jalan pintas.
5. Kawin Salah Bujang Gadis, yaitu perkawinan yang pada dasarnya tidak
dikehendaki oleh salah satu atau kedua belah pihak. Perkawinan
ini terjadi apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan
di tempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang
menemani, yang kemudian ditangkap atau digrebek. Pasangan yang
tertangkap ini wajib dinikahkan dan didenda adat bagi keduanya,
hal ini sesuai dengan sluko adat:
Tepekik tepukau, takeja talelah. Terpekik terpukau, dikejar tertangkap
Tetampuk tetangkai, teciri tewatang. Bertemu terangkai, tertanda bersama
Tepijak benah arang, lah itam tapak.Kaki terinjak arah, itamlah telapak kaki
Tepijak benah kapua, lah putih tapak. Kaki terinjak kapur, putihlah kaki
Lah tetangkap dengan salahnyo. Sudah terkangkap dengan bukti salah
7[7] Djazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III (Bandung:Percetakan Orba Shakti, 1992), hlm.82.
Lah bepisang tuo, lah betebu panjang.8[8] Bagai pisang tua, bagai tebu
panjang
Berangkat dari realitas yang ada, bahwa adat lahi kawin ini
adalah suatu sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat Desa
Rejosari. Bagi mereka yang beragama Islam tentu saja ingin
mengetahui bagaimana kepastian hukum Islam terhadap beberapa
pernikahan adat yang berkembang di masyarakat seperti kenyataan
yang ada.
Tata cara pelaksanaan adat lahi kawin yaitu dengan cara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling menyukai
pergi ke rumah imam atau tetua adat dengan didampingi seorang teman
dan tanpa sepengetahuan orang tua mereka terutama orang tua
perempuan. Apabila hal ini terjadi, maka setuju atau tidak setuju
orang tua harus menikahkan mereka dan membayar denda adat. Denda
ini diberlakukan bagi kedua-belak pihak keluarga sesuai dengan
adat:
Lah menyupak adat, Sudah menyoreng adat,
menyumbing paseko, Melanggar aturan,
Lah telando tali undang, sudah terikat tali undang-undang
8[8] Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,2007), hlm. 128
lah tetijak tambang teliti.9[9] sudah terpijak tambang teliti.
Tradisi lahi kawin di Desa Rejosari dilakukan muda-mudi
setempat terkadang membuat orang tua mereka kaget apabila
mendengar anaknya lahi kawin. Karena biasanya pasangan yang
melakukan lahi kawin sudah sama-sama saling suka, cinta, dan mantap
dengan pilihannya, tetapi salah satu orang tua atau keluarga
tidak menyetujuinya, dan bisa jadi orang tua sudah memiliki
pilihan yang menurut mereka lebih pantas bagi anak mereka.
Kemudian faktor yang lainnya adalah pihak laki-laki tidak sanggup
membayar telimak10[10] atau tidak sanggup membayar biaya pesta
perkawinan adat yang menggunakan lamaran pada proses kawin
beradat , Ini disebabkan telimak yang diminta oleh keluarga si-
gadis terlalu tinggi, kemudian bagaimana analisis hukum Islam
mengenai hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis
tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam skripsi yang berjudul:
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Lahi Kawin, studi kasus di
Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi”. Proses penelitian ini
9[9] Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum FiqhIslam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hlm. 168.
10[10] Ibid, hlm. 500.
merupakan awal untuk mengetahui permasalahan tersebut dengan cara
mengamati dan mencari informasi tentang lahi kawin pada masyarakat
setempat, khususnya pada orang-orang yang mengerti tentang lahi
kawin.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka penyusun merumuskan
pokok masalah yang dikaji lebih dalam adalah:
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya “lahi kawin” di Rejosari,
Pamenang, Meragin, Jambi?
2. Bagaimana proses perkawinan “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang,
Merangin, Jambi?
3. Bagaimana Tinjauan hukum Islam terhadap “lahi kawin” di
Rejosari, Pamenang, Meragin, Jambi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Mengacu pada rumusan pertanyaan dalam pokok masalah di
atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan faktor yang melatarbelakangi terjadinya “lahi kawin”
di Rejosari, Pamenang, Meragin, Jambi.
2. Menjelaskan tata cara “lahi kawin” di Rejosari, Pamenang,
Merangin, Jambi.
3. Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap “lahi kawin” di
Rejosari Pamenang, Meragin, Jambi.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan kajian dan penelitian lebih lanjut dalam rangka
memperkaya hasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum
Islam.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah wacana
keilmuan tentang “lahi kawin” pada masyarakat Rejosari, khususnya
dan masyarakat adat pada umumnya.
D. Telaah Pustaka
Dalam penyusunan sebuah skripsi, studi pustaka sangat
dibutuhkan dalam rangka menambah wawasan terhadap masalah yang
akan dibahas oleh penyusun skripsi dan sebelum penyusun melangkah
lebih jauh dalam membahas permasalahan ini, penyusun terlebih
dahulu meneliti buku atau karya ilmiah yang ada relevansinya
dengan permasalahan yang penyusun bahas.
Dari hasil penelusuran terhadap literatur yang membahas
tentang perkawinan adat, baik secara umum maupun khusus yang
penulis ketahui adalah:
Buku yang membahas tentang kawin lari yaitu karya Sution
Usman Adji yang berjudul Kawin Lari dan Kawin Antar Agama11[11] dan
karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat Sketsa Asas.12[12]Dalam dua
buku tersebut dijelaskan maksud dari kawin lari itu sendiri
beserta contoh-contohnya, dan nama lain dari kawin lari. Akan
tetapi tidak ada penjelasan secara detail hukum dari kawin lari
itu sendiri.
Adapun skripsi yang terkait dengan pembahasan perkawinan
adat lahi kawin dan kawin lari adalah:
Skripsi Imawati yang berjudul “Perlindungan Terhadap Hak-hak
Perempuan Dalam Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus
Tentang kawin Bawa Lari di Kota Metro, lampung)”.13[13] Skripsi
ini hanya membahas mengenai kawin paksa antara pasangan laki-laki
dan perempuan yang sebelumnya tidak ada janji untuk melangsungkan
perkawinan, namun hal ini erat kaitannya dengan perkawinan adat
Indonesia.
11[11] Abdul Haq dkk, Formasi Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual),(Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 209.
12[12] Ibid, hlm. 268.
13
Skripsi milik Linnida Santi yang berjudul “Kawin Lari
Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Mompang, Kecamatan
Padang Sidempuan Batunadua, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra
Utara)”.14[14] Pada skripsi ini tatacara kawin lari tidak
diketahui oleh orang tua, dan perkawinan lari ini lebih banyak
melibatkan teman atau keluarga dekat si-pelaku kawin lari. Dalam
kawin lari adat yang terjadi pada masyarakat Mopang tidak ada
tokoh adat yang terlibat selama peristiwa kawin lari berlangsung,
kemudian kawin lari yang dilakukan oleh masyarakat Mopang
dianggap perbuatan memalukan keluarga, apabila melihat
konsekuensi pada pihak perempuan yang mana pihak perempuan tidak
berhak menentukan jumlah mahar yang akan diberikan laki-laki
sebelum melangsungkan perkawinan.
Kemudian skripsi Syazili yang berjudul “Tinjauan Hukum
Perkawinan Islam Terhadap Perkawinan Rasan Tua (Studi Kasus di
Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Kemiring
Ilir, Provinsi Sumatra Selatan)”.15[15] skripsi ini membahas
14
15[15] Syazili, Tinjauan Hukum Perkawinan Islam TerhadapPerkawinan Rasan Tua(Studi Kasus di Desa Tanjung Kec. Tanjung Lubuk,Kab. Ogan Kemiring Ilir Propinsi Sumatra Selatan), Skripsi: FakultasSyari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, Tidak diterbitkan.
tentang perkawinan yang dipaksakan oleh kedua orang tua calon
pengantin.
Kemudian skripsi yang disusun oleh Nani Kuswani yang
berjudul “Wali Hakim Dalam Kawin Lari”.16[16] Dalam skripsi
tersebut menjelaskan hukum kawin lari dalam perspektif hukum
Islam dan kedudukan wali hakim dalam kawin lari.
Kesimpulan dari telaah pustaka di sini adalah adat lahi kawin
yang terjadi di masyarakat Rejosari sangat berbeda dengan
pembahasan yang telah ditulis sebelumnya, karena penelitian yang
berbeda tersebut maka adat yang digunakan tentu berbeda pula.
Beberapa telaah pustaka di atas mengambarkan kawin lari yang
sering terjadi saat ini dan wali hakim dalam proses kawin lari
sebagai penganti dari wali arqâb yang tidak mau atau enggan
menikahkan anaknya.
Sedangkan dalam kasus lahi kawin seorang wanita dan laki-laki
yang hendak menikah, akan tetapi orang tuanya dari salah satu
pasangan tersebut terutama orang tua perempuan enggan atau tidak
mau menikahkannya dengan berbagai macam alasan, namun setelah
16[16] Nani Kuswani, Wali Hakim Dalam Kawin Lari, Skripsi:Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, Tidakditerbitkan.
terjadinya lahi kawin maka mau tidak mau orang tua harus menikahkan
anaknya. Dalam adat lahi kawin orang tua mengetahui kapan dan
dimana anaknya melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam kawin
lari orang tua tidak mengetahui keberadaan anak melaksanakan
prosesi pernikahan.
Dengan demikian, dari paparan di atas maka penyusun belum
menemukan karya ilmiah yang membahas tentang “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Lahi Kawin di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi”,
maka dari ini penyusun mencoba untuk membahas permasalahan
tersebut sesuai dengan kemampuan yang penyusun miliki.
E. Kerangka Teoretik
Hukum adat sudah seharusnya merupakan salah satu pusat
perhatian dalam studi hukum dan masyarakat. Sebagaimana dipahami,
maka studi hukum dan masyarakat itu menghendaki agar pembicaraan
hukum itu senantiasa dikaitkan secara sistematis kepada
masyarakat tempat ia berlaku.
Sebagai sebuah sistem yang meliputi segala segi kehidupan
manusia, maka Islam tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Ayat-
ayat yang mengandung dan mengatur hubungan sesama manusia,
misalnya hubungan tentang suami dan istri, orang tua dan anak,
pemimpin dan rakyat. Hal ini menunjukkan adanya perhatian Islam
terhadap interaksi antar sesama manusia, sebab seperti sudah
diketahui bahwa hubungan manusia dengan manusia itu yang
berkembang terus menerus yang kemudian yang membentuk masyarakat.
Salah satu yang menjadi syarat dalam perkawinan adalah wali,
begitu juga dalam pelaksanaan perkawinan yang menggunakan adat
lahi kawin. Wali dalam perkawinan adalah wali bagi calon mempelai
perempuan yang menikahkannya atau memberi izin pernikahannya.
Seorang wali dapat langsung melaksanakan akad tersebut atau
mewakilkannya dengan orang lain.17[17]
Prosesi perkawinan adat merupakan perbuatan yang termasuk ke
dalam adat (‘urf). Adat dalam Islam diakui sebagai salah satu teori
penetapan hukum Islam. Kajian tentang perkawinan adat lahi kawin
ini sangat erat kaitannya dengan ‘urf. Pengertian ‘urf adalah sikap
dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan manusia
secara keseluruhan dalam suatu kelompok masyarakat.
‘Urf sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. ‘Urf ditinjau dari kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya
oleh syari’ah) ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
17[17] Djamar Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Toha Putra, 1993),hlm. 62.
a. ‘Urf yang shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syara’, seperti memesan barang dagangan.
b. ‘Urf yang fasid, yaitu yang bertentangan dengan syariah,
seperti kebiasaan minum-minuman keras saat merayakan pesta
kelahiran.
2. ‘Urf ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, yaitu mengenai
adat dan kebiasaan kita, ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. ‘Urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku
untuk semua orang di semua daerah, Misalnya membayar bis kota
dengan tidak menggunakan akad ijab qobul.
b. ‘Urf yang khusus, yaitu hanya berlaku di suatu daerah tertentu
saja, Misalnya adat gono-gini dalam adat jawa.18[18]
Sementara kajian adat lahi kawin juga sangat erat kaitannya ‘urf
fi’li (dalam istilah lain disebut ‘urf amalî) adalah sejenis pekerjaan
atau aktifitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus
menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial, contohnya
adalah penggunaan pakaian adat saat resepsi pernikahan.19[19]
18[18] Djazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III (Bandung:Percetakan Orba Shakti, 1992), hlm.82.
19[19] Abdul Haq dkk., Formalitas Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual),(Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 289-290.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa suatu ‘urf baru bisa
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan nash.
2. ‘Urf harus berlaku universal.
3. ‘Urf harus berlaku selamanya.20[20]
Lahi kawin dalam masyarakat Desa Rejosari merupakan
permasalahan yang muncul dalam hukum Islam, karena tidak ada
dalil yang menjelaskan secara pasti terhadap permasalahan
tersebut baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Selain qaidah ushul fiqh di atas, dalam membedah pokok
permasalahan dalam skripsi ini peneliti juga menggunakan kaidah
ushul fiqh yang lain, yaitu Al-Maslahah Mursalah sebagai teori
pembedahnya. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Al-Maslahah Mursalah
adalah kemaslahatan yang oleh syar‘i tidak dibuatkan hukum untuk
mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap
atau tidaknya perbuatan itu.21[21]
20[20] Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,2007), hlm. 128.
21[21] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh; Kaidah Hukum Islam, alihbahasa Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 110.
F. Metode Penelitian
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
sistematis, dengan maksud untuk mendapatkan info ilmiah mengenai
serentetan peristiwa dalam rangka memecakan suatu
permasalahannya. Metode tersebut meliputi:
1. Jenis penelitian
Penelitian skripsi ini dilakukan dengan cara terjun langsung
ke daerah objek penelitian. Penelitian ini difokuskan pada hasil
wawancara penyusun dengan para tokoh-tokoh masyarakat yang
terlibat dalam proses lahi kawin tersebut. Data yang diambil di
lapangan merupakan data primer, sedangkan data sekundernya di
dapatkan dari beberapa referensi yang pernah membahas dan
berkaitan dengan tema penyusunan skripsi ini.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersikap deskripsi analisis yaitu fakta yang ada
disajikan dan selanjutnya dianalisis secara sistematis menurut
pandangan hukum Islam. Penelitian ini mencoba untuk memaparkan
dan menganalisa sistem hukum adat di lokasi penelitian, khususnya
mengenai kasus lahi kawin dan hukuman bagi para pelakunya.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalan pasangan suami istri yang
melakukan adat lahi kawin, orang tua pelaku dan imam atau pejabat
selaku orang yang menerima pelaku ketika melakukan lahi kawin serta
tokoh-tokoh lain yang ada relevansinya dengan pembahasan
tersebut. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah “lahi kawin” di
Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Agar data yang diperoleh valid dan akurat maka penyusun
mengunakan beberapa teknik penelitian, diantaranya:
a. Observasi
Penulis mengunakan observasi langsung ke daerah objek penelitian.
Disini penyusun mengamati fakta yang ada dilapangan, khususnya
yang berhubungan dengan perkawinan adat lahi kawin.
b. Interview
Dalam metode pengumpulan data atau informasi penyusun melakukan
tanya jawab sepihak, hal dikerjakan secara sistematis dan
berdasarkan pada tujuan penyelidikan. Dalam interview ini,
penyusun mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan melalui interview guide (pedoman wawancara). Hal ini
dingunakan untuk mendapatkan bukti yang kuat sebagai pendukung
argumentasi.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data-data dan bahan-bahan berupa
dokumen. Data-data tersebut dapat berupa letak geografis, kondisi
masyarakat adat di Desa Rejosari maupun kondisi adat budaya serta
hal-hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
5. Pendekatan
Dalam penyusunan skripsi ini pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan sosiologis, yaitu dimana pada dasarnya produk
pemikiran hukum merupakan hasil interaksi pembuat hukum, apakah
adat lahi kawin ini sesuai dengan sosiologis masyarakat dan
ketentuan hukum Islam dengan memperhatikan nash-nash yang ada,
serta apakah adat lahi kawin tersebut mendatangkan banyak
implikasi positif atau implikasi negatif dalam hal
pelaksanaannya, sehingga sangat ditaati dalam masyarakat adat
Desa Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi.
6. Analisis Data
Setelah semua data dikumpulkan, maka dilakukan analisis
terhadap data tersebut. Analisis yang dilakukan adalah analisis
kualitatif. Artinya, analisis tersebut ditujukan terhadap data-
data yang sifatnya berdasarkan kualitas dan sifat nyata yang
berlaku dalam masyarakat, dengan tujuan untuk dapat memahami
kondisi sosio-kultural masyarakat yang dapat mempengaruhi
peneraan hukum perkawinan dalam perppektif hukum perdata
Indonesia.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan agar dapat diuraikan secara
singkat, serta mendapat kesimpulan yang benar, maka penyusun
membagi rencana spripsi ini menjadi beberapa bab diantaranya
adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang diantaranya memuat
latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan,
telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua dari pembahasan ini menjelaskan tinjauan umum
tentang pengertian, dasar hukum, tujuan perkawinan, syarat dan
rukun perkawinan serta seputar perwalian dan walimah menurut
hukum Islam. Pada bab kedua ini, juga merupakan penjelasan awal
yang bertujuan untuk menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku dalam masyarakat khususnya dalam hal perkawinan menurut
hukum Islam secara ideal.
Bab ketiga menjelaskan tentang keadaan masyarakat yang ada
di Rejosari, Pamenang, Merangin, Jambi secara geografi, sosial,
ekonomi dan pendidikan. Kemudian memaparkan pengertian adat lahi
kawin serta faktor-faktor terjadinya adat lahi kawin, dan proses
pelaksanaan adat lahi kawin. Hal ini dijelaskan untuk mengetahui
dengan jelas bagaimana lokasi penelitian dan bagaimana adat lahi
kawin menurut masyarakat setempat.
Bab keempat merupakan jawaban dari permasalahan yang
terdapat dalam proposal skripsi ini. Pada bab ini juga
mendeskripsikan tentang adat lahi kawin, analisis tentang faktor-
faktor terjadinya lahi kawin serta analisis hukumnya. Analisis
pertama bagaimana hukum Islam melihat faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya lahi kawin tersebut. Hal ini meliputi
wewenang orang tua atau wali pihak perempuan dalam kaitannya
dengan pelaksanaan walimahan yang terlampau besar sehingga
memberatkan dalam perkawinan, sedangkan analisis kedua tentang
bagaimana hukum Islam melihat adat lahi kawin sebagai salah satu
cara pernikahan.
Bab kelima ini memuat penutup, kesimpulan dan saran atas
keseluruhan skripsi dan berbagai lampiran.
BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERWALIAN
DALAM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan
Istilah atau kata perkawinan dalam al-Qur’an disebut �ةج ر�berarti “pasangan” dan berarti ةةة “berhimpun”. Dengan
demikian, makna perkawinan ialah dua insan menjadi satu kesatuan
dalam rangka mewujudkan kebahagian sesuai ajaran Allah dan Rasul-
Nya.
Kawin menurut bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan
jenis, bersuami atau beristri.22[1] Perkawinan mengandung arti
perihal (urusan dan sebagainya) kawin; pernikahan; pertemuan
hewan jantan dan betina secara seksual.23[2]
22[1] Adat berdasarkan syariah Islam, dan syariah Islam berdasarAl-Quran.
23[2] Wawancara dengan Bapak Untung Samsudin, Ketua Lingkungan III Desa Rejosari, Tanggal 07 Maret 2011.
Adapun makna perkawinan secara defenitif, masing- masing
ulama fiqih berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyyah, mendefenisikan perkawinan sebagai suatu akad
yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya,
seorang lelaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota
badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan.
2. Ulama Syāfi’iyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu
akad yang menggunakan kata nikah atau zauj yang menyimpan arti
memiliki. Artinya, dengan perkawinan seseorang dapat memiliki
atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama Mālikiyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu
akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan
tidak mewajibkan adanya harga.
4. Ulama Hambaliyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad
dengan menggunakan kata nikah atau tazwîj untuk mendapatkan
kepuasan. Artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan
dari seorang perempuan dan sebaliknya.24[3]
24[3] Maksudnya adalah setiap perilaku masyarakat ada aturannya dantata kramanya. Yang termasuk adat adalah Pucuk Undang, Induk Undang nanDelapan dan Anak Undang nan Dua Belas.
Dalam kamus bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam
beberapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin dapat
diartikan perjodohan antara laki-laki dengan perempuan untuk
menjadi suami istri, sudah beristri (berbini) atau bersuami,
dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh.25[4]
Sedangkan dalam bahasa melayu (terutama di Malaysia dan
Brunei Darussalam), digunakan istilah kahwin yang berarti
“perikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan menjadi suami
istri” 26[5]
Perkawinan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk
hidup lainnya bahkan segala sesuatu diciptakan berpasang-
pasangan, firman Allah Swt:
25[4] Adat nan tumbuh dateh tumpak adalah aturan yang mengatur tentangperilaku dan tata krama masyarakat asli daerah itu. Sedangkan lembago nantumbuh dateh tuang berarti aturan tentang perilaku orang luar yang tinggal didaerah tersebut, merantau dari daerah asalnya, berinduk semang dan menikahdengan gadis setempat.
26[5] Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, Jambi, 1987, hlm. 2-6.
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
[6]27ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
Pernikahan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau
perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki
dengan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup
keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan
cara yang diridhoi Allah.
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut
Tuhan Yang Maha Esa.28[7] Perkawinan merupakan suatu perintah
27[6] Merantau di sungai yang ditambat, merantau didarat yangdipautkan. Merantau sekali lewat, mendayung yang sekali tempuh, tapitidak membawa cupak (sejenis buah-buahan) yang di luar gantang(takaran). Tidak memanjangkan kuting (pangkal pada parang yang melekatpada gagangnya) dari gagang, tidak pula membesarkan pasak lebih daripada tiang.
28[7] Lantak adalah sejenis gubuk yang didirikan di tengah sungaiuntuk menunggu ambat (sejenis pukat), alat ini dibuat hanya untukmenangkap ikan dengan ukuran yang besar. Lantak biasanya juga dipakaisebagai tempat untuk mengambil sialang (tempat madu) di dalam hutan.
agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya karena
perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik secara penglihatan
maupun dalam bentuk perzinahan.29[8]
Maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut
hukum Islam dan menurut undang-undang tidak terdapat perbedaan
prinsipil. Sebab pengertian perkawinan menurut ajaran Islam
mempunyai nilai ibadah sedangkan pengertian perkawinan menurut
Undang-undang ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.30[9]
B. Hukum PerkawinanMeskipun pada dasarnya agama Islam menganjurkan kepada semua
umatnya untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila ditinjau dari
keadaan melaksanakannya, atau berdasarkan sebab-sebab (illāhnya)
kausanya, maka hukum perkawinan dapat menjadi wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah.
29[8] Sejenis kayu yang kuat, keras dan tahan lama di dalam air,biasanya kayu ini digunakan untuk membuat tepian mandi atau peralatanmenangkap ikan.
30[9] Hilman Hadi Kusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandar:Lampung CV, 1999), hlm. 189-190.
1. Perkawinan yang Wajib
Apabila seorang laki-laki dipandang dari sudut fisik
(jasmani) pertumbuhannya sudah sangat mendesak dan dari sudut
biaya kehidupan telah mampu atau mencukupi untuk menikah,
sehingga kalau dia tidak menikah ada kekhawatiran akan mudah
tergelincir untuk berbuat zina. Melakukan pernikahan merupakan
satu-satunya jalan baginya untuk menghindar diri dari perbuatan
yang dilarang Allah.
Ulama Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi
orang yang menyukainya dan takut dirinya terjerumus ke jurang
perzinaan jika ia tidak menikah, sedang berpuasa ia tidak
sanggup.31[10]
2. Perkawinan yang Sunnah
Bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan
telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin
juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Andaikata dia
menikah mendapat pahala kalau dia tidak atau belum menikah tidak
berdosa.
31[10] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat DesaRejosari, Tanggal 04 Maret 2011.
Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk menikah
tetapi butuh perlindung atau nafkah dari seorang suami maka
sunnah baginya menikah.32[11]
3. Perkawinan yang Haram
Melakukan perkawinan hukumnya haram bagi orang yang tidak
mempunyai kemauan dan kemampuan serta tidak mempunyai tanggung
jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan menelantarkan
dirinya dan istrinya. Begitu juga jika seseorang menikah dengan
tujuan menelantarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu tidak
diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang
lain.
Al-Qurtubi berpendapat bahwa apabila seorang calon suami
menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar
mahar (mas kawin) untuk istrinya atau kewajiban lain yang menjadi
hak istri, haram untuk mengawininya.33[12]
4. Perkawinan yang makruh
32[11] Wawancara dengan Bapak Temon, Kepala Desa Rejosari,Tanggal 04 Maret 2011.
33[12] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat DesaRejosari pada tanggal 04 maret 2011.
Perkawinan yang hukumnya makruh bagi orang yang lemah
syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya walaupun
tidak merugikannya karena ia kaya, ataupun ia mempunyai kemampuan
untuk menikah tetapi tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk
dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk menikah
tetapi ia meragukan dirinya akan mampu mematuhi dan mentaati
suaminya dan mendidik anak-anaknya.
Makruh menikahi pria yang belum mampu mendirikan rumah-
tangga dan belum mempunyai niat untuk menikah. Firman Allah Swt:
34[13]
ةهللاةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
ةةةةة
5. Perkawinan yang Mubah
Mubah merupakan hukum asal perkawinan, yaitu suatu
perbuatan yang dibolehkan untuk mengerjakannya, tidak wajib juga
34[13] Berjalam gelap malam, berobor batang pisang, berlayarbiduk berbelok arah, mencari jalan pintas.
tidak haram. Bagi laki-laki tidak terdesak alasan-alasan yang
mewajibkan segera menikah, atau alasan-alasan menyebabkan ia
harus menikah maka hukumnya mubah.
Ulama Hambali mengatakan bahwa mubah hukumnya, bagi orang
yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah.
C. Tujuan PerkawinanTujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusian. Hubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah di
atur oleh syari’ah.
Adapun tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Membentuk Keluarga Yang Sakinah, Mawadah dan Rahmah
Tujuan utama perkawinan adalah membentuk keluarga yang
sakinah (ketenangan) cinta dan kasih sayang, tujuan ini dapat
dicapai secara sempurna jika tujuan-tujuan lain dapat terpenuhi.
Dengan ungkapan lain, tujuan lain adalah sebagai pelengkap untuk
memenuhi tujuan utama ini.35[14] Firman Allah swt:
35[14] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat DesaRejosari, Tanggal 04 Maret 2011.
ةةةةةةةJ ةةةةةةةةJ ةةةةةةةةJ ةةةةةةJ ةةةةةةةJ ةةةةةJ ةJ ةةةJ ةةةةةJ ةةةةJ ةJ ةةةة
[15]36ةةةة ةةةةةةةةةةة ةة ةة ةةة
Yang dimaksud dengan rasa kasih dan sayang adalah rasa
tentram dan nyaman bagi jiwa raga dan kemantapan hati menjalani
hidup serta rasa aman dan damai, cinta kasih bagi kedua pasangan.
Suatu rasa aman dan cinta kasih yang terpendam jauh dalam lubuk
hati manusia sebagai hikmah yang dalam dari hikmat Allah kepada
makhluk-Nya yang saling membutuhkan.
2. Memenuhi Kebutuhan Biologis
Allah menciptakan manusia dalam jenis kelamin yang
berbeda-beda. Yaitu laki-laki dan perempuan, yang keduanya saling
mengandung daya tarik biolagis atau seksual.
Dalam dimensi lain, memenuhi kebutuhan biologis merupakan
salah satu hikmah yang ada dalam pernikahan, hikmah tersebut
antara lain dapat menenangkan hati dan menjaga pandangan, seperti
hadist Nabi SAW berikut:
36
37[16]
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
3. Untuk Menjaga Diri dari Perbuatan-Perbuatan yang Dilarang
Allah.
Salah satu faktor yang menyebabkan manusia mudah terjerumus
ke dalam kejahatan dan kerusakan ialah pengaruh hawa nafsu dan
seksual, dengan tidak adanya saluran yang sah untuk memenuhi
kebutuhan seksualnya, biasanya manusia baik laki-laki maupun
wanita akan mencari jalan yang tidak halal. Firman Allah:
38[17]
ةةةةةهللاةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
4. Memperoleh Keturunan
37
38
Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan
oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan
jiwa, banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak mendapat
karunia anak. Al-Qur’an juga menganjurkan agar mausia selalu
berdoa agar dianugerahi keturunan yang menjadi mutiara dalam
rumah tangga. Firman Allah Swt:
39[18]
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة ةةةة
5. Menumbuhkan Aktifitas Dalam Berusaha Mencari Rezeki Yang Halal
Dan Memperbesar Rasa Tanggung Jawab.
Sebelum melakukan perkawinan pada umumnya para pemuda dan
pemudi tidak memikirkan soal penghidupan, karena segala sesuatu
masih ditanggung oleh orang tua. Suami sebagai kepala kepala
rumah tangga mulai memikirkan bagaimana cara mencari rezeki yang
39
halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebaliknya istri
memikirkan bagaimana cara mengatur kehidupan rumah tangga 40[19]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa dalam
perkawinan bukan hanya urusan murni ibadah tetapi di dalamnya ada
unsur sosial, tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan
induktif ). Tujuan perkawinan tersebut harus diletakkan menjadi
satu-kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Untuk mencapai
tujuan secara sinergis dan konprehensif, dibutuhkan prinsip-
prinsip yang harus dipahami dan diamalkan oleh seluruh anggota
keluarga.
D. Rukun dan Syarat PerkawinanPernikahan merupakan sunnah nabi SAW yang dapat membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah serta menjaga seorang
laki-laki dan perempuan dari hubungan yang dilarang oleh agama,
serta mewujudkan hak dan kewajibannya sebagai suami-istri dalam
keluarga. Untuk mewujudkan perkawinan yang sah harus memenuhi
beberapa unsur pokok yang harus dipenuhi seperti rukun dan syarat
perkawinan.
40
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi rukun pernikahan
itu ialah : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang
saksi, ijab dan qabul.41[20]
Suatu akad perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi
segala rukun dan syaratnya sehubungan akad itu telah diakui oleh
hukum syara’. Menurut Al-ghazali didalam bukunya “Menyingkap
Hakikat Perkawinan” ada beberapa persyaratan yang harus dipenuh
dalam melaksanakan rukun dalam pernikahan yaitu:42[21]
1. Syarat Calon Suami:
a. Beragama Islam
b. Bukan muhrim dari mempelai wanita
c. Atas kemauan sendiri
d. Jelas orangnya
e. Tidak sedang menunaikan ihram haji
2. Syarat Calon Istri:
a. Tidak berhalangan syar’I, yakni tidak bersuami, bukan muhrim
dari mempelai laki-laki dan tidak sedang menjalani masa iddah
b. Atas kemauan sendiri
41
42
c. Jelas orangnya
d. Tidak sedang menunaikan ihram haji
3. Syarat Wali:
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Tidak terpaksa
e. Adil
f. Tidak sedang menunaikan ihram haji
4. Syarat Saksi:
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Adil
e. Dapat melihat dan mendengar
f. Tidak terpaksa
g. Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab dan Kabul
h. Tidak sedang menunaikan ihram haji
Selain syarat-syarat yang di atas, terdapat syarat-syarat
yang juga harus dipenuhi yaitu:43[22]
1. Adanya izin dari wali calon istri, atau wali hakim (apabila
tidak ada wali yang sah).
2. Adanya kerelaan dari calon istri. Hal ini berlaku bagi wanita
yang berstatus janda dan telah cukup umur (baligh) atau seorang
gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai
walinya bukan ayah kandungnya atau kakeknya.
3. Adanya dua orang saksi, yang dikenal luas sebagai orang-orang
baik (‘adîl dan bukan fāsiq).
4. Adanya lafal ijab dan qabul yang bersambungan tidak terputus
antara keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada
hubungannya dengan lafazd ijab dan qabul tersebut.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
terhadap syarat-syarat perkawinan ialah:
1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
43[22] Ibid., hlm. 64.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua.
3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh
dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapat, maka pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat member izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu dari yang bersangkutan menentukan lain. 44[23]
E. Perwalian dalam Perkawinan Perwalian dalam istilah fiqh ialah penguasaan dan
perlindungan, jadi arti perwalian yang dimaksud fiqh adalah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang.
Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan dan
wewenang syar’I atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada
orang yang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang
yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.45[24]
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan
untuk sahnya perkawinan menurut hukum Islam, wali nikah adalah
hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut imam
Syafi’i perkawinan tidak sah tanpa adanya wali bagi pihak
44[23] Pasal 6.
45[24] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Hazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 145.
pengantin perempuan. Sedangkan bagi pihak pengantik laki-laki
tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya perkawinan tersebut.
Demikian juga dengan Imam Malik, beliau berpendapat bahwa nikah
tidak diperbolehkan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya
nikah.46[25]
1. Syarat Perwalian
Para fuqaha menetapkan syarat bagi seorang wali yaitu:
a. Orang mukallaf/baligh
b. Muslim
c. Berakal sehat
d. Laki-laki
e. Adil, dalam artian teguh dalam menjalankan agama
2. Urutan Perwalian
Dalam perwalian, Umat Islam di Indonesia menganut madzhab
Syafi’i. Adapun tertib wali menurut madzhab Syafi’i ialah :
47[26]
a. Ayah
46[25] Ibid., hlm. 151
47[26] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta : lentera, 2008), hlm. 345.
b. Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c. Saudara laki-laki kandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Kemenakan laki-laki kandung
f. Kemenakan laki-laki seayah
g. Paman kandung
h. Paman seayah
i. Saudara sepupu kandung
j. Saudara sepupu seayah
k. Sultan atau hakim
l. Orang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan
3. Macam-macam wali
Orang yang berhak menjadi wali dapat di bedakan adanya 2
macam, yaitu:
a. Wali nasab
Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon
mempelai wanita yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan
calon mempelai wanita. Susunan wali nasab adalah:
1) laki-laki yang menurunkan calon pengantin wanita garis
keturunan yang murni yaitu: ayah, kakek dan seterusnya.
2) laki-laki keturunan dari ayah pengantin wanita dalam garis
keturunan laki-laki murni yaitu : saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki seayah, anak-anak dari saudara laki-laki
sekandung, anak-anak dari saudara laki-laki seayah dan seterusnya
kebawah.
3) laki-laki keturunan dari ayah atau kakek calon pengantin.
b. Wali hakim
Wali hakim ialah Pegawai Negri Sipil yang diangkat oleh
pemerintah yaitu departemen Agama RI yang menjabat selaku PPN
(petugas pencatat nikah) atau kepala KUA Kecamatan yang berhak
menjadi wali hakim dalam suatu pernikahan.48[27]
Seorang calon pengantin dibenarkan mengangkat wali hakim,
apabila keadaan calon pengantin sebagai berikut:
1) Tidak mempunyai (putus) wali nasab.
2) Wali tidak diketahui keberadaannya.
3) Walinya berada di tempat yang jauh (kurang lebih 92,5 km).
4) Wali berada dalam tahanan atau penjara yang tidak boleh
dijumpai.
5) Walinya sedang melakukan ibadah haji atau umrah.
48[27] E Mustofa AF, Islam Membina Keluarga Islam dan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 84.
6) Walinya adlol artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk
menikahkan putrinya.
4. Dasar hukum perwalian
Adanya wali dalam akad pernikahan merupakan rukun, dasar
hukumnya adalah firman Allah yaitu:
49[28] ةةةة JJJJJJJةةةةة JJJJJJJةةةةةةةةةةة JJJJJJJةةةةة
ةةةةةةةةة JJJJJJJJةةةةةةة JJJJJJJJةةةةةةة JJJJJJJJةة JJJJJJJJةةةةةةة
ةةةةة ةةةةةةةة
Menurut Kompilasi Hukum Islam wali nikah ada dua macam,
yaitu wali nasab yaitu wali yang hak perwaliannya didasarkan oleh
adanya hubungan darah. Kedua, wali hakim, yaitu wali yang hak
perwaliannya timbul karena orang tua perempuan menolak atau tidak
ada atau karena sebab lain. Dalam kaitan perwalian dijelaskan
lebuh rinci dalam pasal 19,20,21, 22 dan 23.50[29]
49[28] Al-Baqarah (2): 232.
50[29] Kompilasi Hukum Islam buku I Tentang Perkawinan pasal 19-23.
Pasal 19: “Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harusdipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindakmenikahkannya”.
Pasal 20Ayat (1): “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan balig”.Ayat (2): “Wali nikah terdiri dari:a. wali nasab; b. wali hakim”.Pasal 21Ayat (1): “Wali nasab terdiri empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dari empat kelompok lainnya sesuaiurutan susunan kerabat dengan calon mempelai wanita. Pertamakelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakekdari pihak ayah dan seterusnya, kedua kelompok kerabat saudaralaki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunanlaki-laki kandung seayah dan keturunan laki-laki mereka, ketigakelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka, keempat kelompoksaudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakekdan keturunan laki-laki mereka”.
Ayat (2): “Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapaorang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang palingberhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kerabatannyadengan calon mempelai wanita”.
Ayat (3): “Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekeluargaannyamaka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandungdari kerabat yang hanya seayah”.
Ayat (4): “Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama-samaderajat kandung atau sama-sama derajat seayah, mereka sama-samaberhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua danmemenuhi syarat-syarat wali”.
Pasal 22: “Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidakmemenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikahitu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka walinikah bergeser pada wali nikah yang lain”.
Pasal 23
Ayat (1): “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabilawali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkan atau tidakdiketahui tempatnya atau gaib atau adlal atau enggan”.
Ayat (2): “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapatbertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agamatentang wali tersebut”.
F. Walimah Dalam perkawinanDalam ajaran Islam, resepsi perkawinan lazim disebut dengan
walimatūl ’ūrsy. Menurut Az-Zamakhsyari, kata walimah (۱
yang berarti (ةةةة۱) berasal dari kata al-walamu (ةةةةة
tali yang mengikat. Disebut demikian karena walimah diadakan
untuk akad yang menghubungkan suami dan istri. Menurut beliau
istilah walimah itu berlaku atas setiap makanan yang dihidangkan
ketika terjadi peristiwa yang mambahagiakan, namun penggunaannya
yang lebih popular adalah untuk perkawinan.51[30]
Sedangkan secara bahasa pengertian walimah adalah suatu
istilah bagi hidangan dalam pesta perkawinan secara khusus. Maka
makan yang dihidangkan untuk peristiwa-peristiwa selain
perkawinan pada hakekatnya tidak termasuk dalam pengertian
walimah.
51[30] Asy-Syairāzi, al-Muhazzab fī fiqh al-imam asy-syafi’I, (ttp : dar alfikr, t.t),hlm 64.
Pengertian walimah menurut kamus besar bahasa Indonesia
berarti pertemua atau perjamuan resmi yang diselenggarakan untuk
menerima tamu-tamu dalam perkawinan.52[31] Pengertian walimah
secara umum dapat mencakup segala macam makanan, kenduri, pesta
atau jamuan makan untuk memperingati berbagai peristiwa. Pesta
atau jamuan makan tersebut, biasanya berhubungan dengan
terjadinya peristiwa-peristiwa yang penting dan menyenangkan
dalam kehidupan manusia. Misalnya dalam kelahiran anak, pemberian
nama pada anak, khitan, perkawinan, atau hari-hari besar lainnya.
Namun pada perkembangan selanjutnya pengertian walimah
menjadi khusus yaitu, berhubungan dengan perkawinan, karena itu
sebenarnya perjamuan yang diselengarakan untuk peristiwa selain
perkawinan mempunyai istilah masing-masing, dan tidak disebut
dengan walimah.
Pelaksanaan walimahan, meskipun bukan merupakan syarat sah
perkawinan namun merupakan hal yang sangat penting kedudukannya
sebagai sarana untuk menyiarkan adanya perkawinan. Sedangkan
menyiarkan perkawinan, sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayyid Sabiq
52[31] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hlm.745.
merupakan tindakan yang dipandang baik menurut syara’, agar
terhindar dari nikah sirri yang terlarang dan untuk menampakan rasa
bahagia apa yang dihalalkan oleh Allah dari segala yang baik.53
[32]
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakn
maupun yang menghadiri walimah, agar perbuatan itu sesuai dengan
nilai-nilai ibadah yaitu :54[33]
1. walimah harus diselenggarkan sesuai dengan kemampuan jangan
berlebih-lebihan dan jangan memboroskan hal-hal yang dipandang
tidak perlu.
2. Menyelenggarakan walimah harus dengan ikhlas, jangan mengharap
sumbangan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
3. Tamu-tamu harus disambut dengan rasa hormat dan terima kasih.
Jangan membedakan antar yang membawa sumbangan atau yang tidak,
ataupun antara yang kaya dan yang miskin.
4. Menyelenggarakan hiburan diperbolehkan, asal tidak
bertentangan dengan dengan ajaran agama.
53[32] As-Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, (kairo dar al-fath li al-I’lam al-arabi,1990), hlm.33 .
54[33] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), Yogyakarta : liberty, hlm.62.
5. Para tamu jangan sampai menolak hidangan yang disuguhkan.
6. Sebaiknya menyelenggarakan walimah diadakan sekali saja.
a. Hukum melaksanakan walimah
Hukum mengadakan walimah menurut jumhur ulama adalah sunah.
Hal ini dipahami dari sabda Nabi yang berasal dari Ibnu Malik
yaitu:
ةةةةةة[34]55
ةةةةة
Menurut jumhur ulama perintah nabi untuk mengadakan walimah
dalam hadis tersebut tidak mengandung arti wajib, tetapi sunah,
karena hanya merupakan tradisi yang hidup di kalangan orang Arab
sebelum Islam datang dan melanjutkannya. Pelaksanaan walimah masa
lalu itu diakui oleh Nabi untuk dilanjutkan dengan sedikit
perubahan menyesuaikan dengan tuntutan Islam.
Hukum menghadiri walimah adalah wajib, jadi apabila
seseorang menerima undangan untuk menghadiri walimah ia harus
55[34] Al-Bukhãri, Sahîh al-Bukhărî,(Beirut:Dăr al-Hadis, 2000M), III: 451, hadis No. 4769,”Kităb al-Nikăh”, Bab al-Walimatu Walau Bi Syatin.
datang kecuali kalau ada halangan-halangan tertentu yang benar-
benar menyebabkan orang tersebut tidak dapat mendatangi undangan
tersebut. Halangan-halangan itu misalnya: sakit, melayat tetangga
dekat atau kerabatnya yang meninggalnya bersamaan dengan waktu
undangan, dan lain sebagainya.
b. Himah mengadakan walimah
Adapun anjuran tentang walimah ini adalah dalam rangka
mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akad nikah sudah terjadi
sehingga semua pihak mengetahui dan tidak ada tuduhan dikemudian
hari.
Walimah adalah perayaan pesta dalam pernikahan. Dikarenakan
pernikahan merupaka sesuatu yang membahagiakan dalam kehidupan
seseorang maka dianjurkan untuk mengadakan pesta perayaan dan
membagi kebahagiaan itu dengan orang lain, dan pesta perayaan
pernikahan itu juga sebagai rasa syukur atau pun bagi mereka yang
kurang mampu.
BAB III
PRAKTEK DAN TATACARA PELAKSANAAN ADAT LAHI KAWIN
DI REJOSARI, PAMENANG, MERANGIN, JAMBI
A. Profil Lokasi Penelitian
1. Keadaan Geografis
Desa Rejosari adalah sebuah kampung yang terdiri dari
beberapa etnis atau suku yang berbeda dan mayoritas penduduknya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Nama kampung rejosari
mempunyai suatu arti yaitu rejo berarti ramai dan sari berarti
pusat.
Demi kelancaran dalam menjalankan administrasi pemerintahan
maka dibentuklah kepengurusan kelurahan yang terdiri dari:
a) Kepala Desa : Temon
b) Seketaris Kelurahan : Drs. Sucepto
c) Kasi Pemerintahan : Tugiman
d) Kasi Trantib : Ade Tresna
e) Kasi Pemberdayaan Masyarakat : Mugimin
f) Kasi Pembangunan : Ahmadi
g) BPD : Sumaryadi
h) Ketua Adat : Sulastito
Selain struktur di atas terdapat juga struktur kepala
lingkungan yang terdiri dari:
a) Lingkungan I : Parimin
b) Lingkungan II : Sariman
c) Lingkungan III : Untung Samsudin
d) Lingkungan IV : Edi Nuryanto
2. Monografi Wilayah
Adapun data monografi desa Rejosari adalah sebagai berikut:
a. Nama Desa : Rejosari
b. Kecamatan : Pamenang
c. Kabupaten : Merangin
d. Provinsi : jambi
Adapun batas wilayah desa Rejosari adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara: Pamenang
b. Sebelah selatan: Sarolangun
c. Sebelah barat: Kec Renah Pamenang
d. sebelah timur: Tanjung
3. Keadaan Demografis/penduduk
Masyarakat Rejosari rata-rata bermata pencarian sebagai
petani yaitu berkebun/berladang dengan penghasilan utamanya karet
dan kelapa sawit, selain itu sebagian masyarakat juga berprofesi
sebagai pegawai, buruh dan peternak sapi. Walaupun demikian
masyarakat Rejosari memiliki ikatan emosional yang kuat,
khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang berdampak positif bagi
warga.
4. Keadaan Pendidikan dan Beragama
Adapun fasilitas dan tingkat pendidikan masyarakat desa
Rejosari dapat dilihat dalam tabel berukut ini:
Tabel 1
Fasilitas Pendidikan di Rejosari Tahun 2010-2011
No. Fasilitas pendidikan Jumlahfasilitas
1. TK 12. SDN 13. MI 14. SLTP/MTS -5. SMA/MA -Sumber: monografi desa Rejosari Tahun 2010-2011
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan di
Rejosari masih minim, hal ini terbukti dengan sedikitnya
fisilitas pendidikan yang dimiliki dan kurangnya peran serta
pemerintah daaerah dalam memperhatikan fasilitas pendidikan.
Di Desa Rejosari terdapat 1 masjid dan 10 mushalla, selain
untuk tempat kegiatan ibadah juga berfungsi sebagai tempat
pendidikan dan keagamaan masyarakat seperti pengajian ibu-ibu,
majelis ta’lim, serta tempat mempelajari Al-Qur’an dan mengaji.
Kegiatan kehohanian bagi remaja yang sangat berkembang di
Rejosari adalah RISMA (Remaja Islam Masjid). Kegiatan yang rutin
diadakan adalah kegiatan khotmil Qur’an, kegiatan ini
dilaksanakan tiap Minggu pagi.
Selain itu di Rejosari juga terdapat TPA (Taman Pendidikan
Al-Qur’an), digunakan sebagai tempat mempelajari agama Islam bagi
anak-anak usia dini seperti fiqh, tauhid, akhlak, bahasa Arab
dan lain-lain. Waktu pelaksanaan TPA adalah sore hari ba’da
ashar.
Di samping itu, para orang tua di Rejosari juga selalu
melaksanakan pengajian seperti yasinan yang diadakan rutin tiap
Kamis malam untuk bapak-bapak dan Jumat siang untuk ibu-ibu.
5. Sistem Hukum
Hukum yang berlaku dalam masyarakat Rejosaroi adalah hukum
adat, tentu juga berlaku hukum negara, yang berasakan adat basendi
syara’, syara’ basendi kitabullah.56[1] Ketaatan masyarakat terhadap hukum
adat melebihi ketaatan terhadap hukum nasional maupun hukum
Islam, walaupun 100% penduduknya beragama Islam. 57[2]
Adat adalah pegang pakai masyarakat di Desa Rejosari sehari-
hari, sesuai seloko adat:
Kok jago baundo jago, Kalau bangun dibawa bangun,
Kok tidoh baundo tidoh. kalau tidur dibawa tidur.
Kok bajalan baundo bajalan, kalau berjalan dibawa berjalan,
Kok duduk baundo dudok. kalau duduk dibawa duduk.58[3]
Adat atau hukum adat merupakan landasan filosofis masyarakat
dalam setiap kegiatannya. Walaupun demikian, hukum adat rasanya
sulit untuk dipatuhi oleh masyarakat apabila tidak diimbangi
dengan adanya pemangku adat yang menjadi pilar-pilar penegakan
hukum adat.
a. Adat Lembago (Aturan Penduduk Pribumi dan Pendatang)
56[1] M. Thalib, Liku-Liku Perkawinan (Yogyakarta: PD. Hidayat, 1986),hlm. 1-2.
57[2] Ar-Rŭm (30): 21.
58[3] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut PandanganHukum Adat, Hukum Islam (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 16.
Adat lembago digunakan pada daerah yang beradat. Adakalanya
adat nan dilambung tinggi lembago nan disintak tuhun (aturan untuk penduduk
pribumi yang ditinggikan dan aturan untuk pendatang yang
diringankan) dan adakalanya pula lembago nan dilambung tinggi adat nan
disintak tuhun (aturan untuk penduduk pendatang yang ditinggikan dan
aturan untuk penduduk asli yang diringankan) adat nan tumbuh dateh
tumpak lembago nan tumbuh dateh tuang.59[4]
Lembago adalah pembedaan status masyarakat antara pribumi atau
bukan. Lembago terbagi ke dalam empat kategori, yaitu60[5]:
1) Lembago Jati
Lembago jati merupakan penduduk asli daerah tersebut, dari
nenek moyang sampai kepada dia sendiri asli daerah tersebut.
Berlaku adat nan dilambung tinggi lembago nan disintak tuhun. Hukumannya
adalah yang paling berat di bandingkan dengan jenis penduduk yang
lain, hal ini di berlakukan karena dia orang asli mustahil tidak
mengetahui adat istiadat daerah sendiri
2) Lembago Tali
59[4] Wawancara dengan Bapak Sulastito, Ketua Lembaga Adat DesaRejosari, Tanggal 04 Maret 2011.
60[5] Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, Jambi, 1987, hlm. 40.
Merupakan perantauan yang telah mendapatkan induk semang dan
punya ayah dan atau ibu angkat, lalu menikah dengan gadis desa
tersebut melalui perantara orang tua angkat dan atau induk
semangnya. Sesuai seloko, karno dibuek tali mako bungo naek kapalok
(disebabkan oleh tali maka bunga naik kepala)
3) Lembago Tambang
Adalah orang perantauan yang menetap di desa tersebut dan
terbukti mempunyai perilaku yang baik, karena perilaku baiknya
itulah maka dia dijodohkan dengan salah satu anak gadis di desa
tersebut, tapi setelah menikah dia kembali ke daerah asalnya
dengan membawa istrinya. Hal ini sesuai dengan seloko dagang di
ayek nan batambatt dagang di ateh nan bapaut, dagang nan sakali lalu galeh nan
sekali nempoh tapi dak ngundo cupak di luah gantang, dak manjang kuteng di ulu,
dak pulo ngedang pasak dari tiang.61[6] Hal ini sesuai pula dengan
pantun adat:
Manuang di dusun baru menuang di dusun baru
Jangan dilantak ka dengan besi jangan dilantak62[7] dengan besi
61[6] Ibid., hlm. 41.
62[7] Ibid., hlm. 42.
Lantak dengan malio-lio lantak(kan saja) dengan lio-
lio63[8]
Kami dagang nan sakali lalu kami merantau sekali lalu
Jangan dimasuk kadalam ati jangan dimasuk ke dalam hato
Letak di luah kiro-kiro letak di luar (juga) kira-kira
(pikir-pikir)
Pisang meh diundo balayeh pisang emas dibawa berlayar
Pisang lidi di dalam peti pisang lidi di dalam peti
Mungkin Utang meh dapek dibayeh mungkin hutang emas dapat
dibayar
Kalu utang budi yo nak dibao mati kalau hutang budi dibawa mati
4) Lembago Tuang
Lembaga tuang berarti orang yang menetap di daerah itu hanya
sebagai penambah jumlah masyarakat, baik dari segi ekonomis
maupun dari segi sosial dan politik. Tipe ini mempunyai ciri-ciri
harus tidak merupakan yang hanya menumpang mencari hidup, aleh
tempatnyo bapijak sesaknyo nyalang batinggang (alas tempat berpijak
sesaknya menjelang dia lepas bebas berdiri), dengan kata lain
63[8] Ibid., hlm. 43.
memang benar-benar mau menetap secara permanen di daerah ini.
Sesuai pantun:
Tinggi umput dek padi tinggi rumput dari padi
Dapek mato baliong dapat mata beliung
Untok panyebut setelah awak mati untuk penyebut setelah aku
mati
Dibuek anak cucong oleh anak cucu
Hukuman pada lembago yang tiga tentang orang perantaauan berlaku
lembago nan dilambung tinggi adat nan disintak tuhun, yaitu dengn denda
tegoh sapo ninek mamak (tegur sapa nenek mamak) namanya, yaitu
paling tinggi seekor kambing salemak samanih dan serendah-
rendahnya seekor ayam salemak samanih, hal tersebut dinamakan kuah
nan kuneng nasi nan puteh (kuah yang kuning nasi yang putih).
Pemberian denda ini sesuai dengan seloko disapo antu demam disapo
ninek mamak bautang (ditegur hantu demama, ditegur ninek mamak
dihukum).
Perlu dicatat, perbedaan hukuman di atas hanya berlaku bagi
pelaku yang melakukan kesalahan yang ringan, sedangkan kesalahan
berat disamakan yaitu adat nan dilambung tinggi lembago nan disintak tuhun
alias dikembalikan pada aturan yang berlaku dalam empat nan diateh
(empat yang di atas) dalam Pucuk Undang nan Delapan.
B. Pengertian Lahi Kawin
Perkawinan lari menurut Hilman Hadi Kusuma dibagi menjadi
dua, yaitu perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan.
Perkawinan lari bersama (Belanda: vlucht-huwlijk, wegloop-huwelijk;
Batak: mangaluwa; Sumatra Selatan: berlarian; Bengkulu: selarian;
Lampung: sebambangan, metadau, nakat, kacak lakei; Bali:
ngerorod, merangkat; Bugis: si lariang: Ambon: lari bini) adalah
perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas
persetujuan si gadis (wanita), cara melakukan berlarian tersebut
ialah bujang dan gadis sepakat melakukan kawin lari dan pada
waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama, atau si gadis
secara diam-diam diambil pihak bujang dari tempat kediaman pihak
si gadis dan segala sesuatunya berjalan menurut tata-tertib adat
berlarian. Yang kedua adalah perkawinan lari paksaan (Belanda:
schaak-huwelijk: Lampung: dibembangkan, ditekep, ditenggang; Bali:
melegandang) adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu,
atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak ada persetujuan si
gadis dan tidak mengikuti tata tertib berlarian.64[9]
64[9] Ibid., hlm. 43.
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang
mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran,
upacara perkawinan dan putusnya perkawinan. Aturan-aturan hukum
adat disetiap daerah berbeda-beda, dikarenakan sifat
kemasyarakatan yang berbeda pula. Di samping itu juga dikarenakan
kemajuan zaman, jadi walaupun sudah berlaku undang-undang
perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh
warga Indonesia, namun diberbagai daerah dan berbagai golongan
masyarakat juga masih berpegang pada hukum adat, apalagi undang-
undang hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, tidak mengatur
hal-hal khusus daerah tersebut.
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Desa Rejosari ada
lima macam tata-cara perkawinan. Pertama duduk betunang, yaitu
perkawinan yang menggunakan upacara adat yang sempurna. Proses
perkawinan yang seperti ini sama-sama sudah disetujui oleh
keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin
perempuan. Proses pernikahan ini biasanya sama dengan pernikahan
pada umumnya. Kedua beciri tuo, yaitu proses pernikahan yang masih
ada ikatan famili. Bedanya dengan duduk betunang perkawinan ini
lebih ringkas karena terjadi didalam satu suku sehingga menghapus
beberapa ritual yang ada dalam duduk betunang, seperti tidak
dihadiri oleh tetua adat. Ketiga kawin selaju berelek yaitu perkawinan
yang dari proses peminangan hingga pernikahan tidak memiliki jeda
waktu yang lama. Proses perkawinan ini biasanya dilakukan karena
laki-laki dan perempuan sudah berzina atau hamil sebelum adanya
pernikahan. keempat kawin salah bujang gadis, yaitu perkawinan yang
pada dasarnya tidak dikehendaki oleh salah satu atau kedua belah
pihak. Perkawinan ini terjadi apabila seorang laki-laki dan
perempuan berdua-duaan ditempat sepi pada malam hari tanpa adanya
orang lain yang menemani, yang kemudian ditangkap atau digrebek.
Pasangan yang tertangkap ini wajib dinikahkan dan didenda adat
bagi keduanya. Kelima lahi kawin, yaitu larinya seorang laki-laki
dan perempuan dengan didampingi oleh orang lain yang tidak
terhitung saudara untuk mengadakan pernikahan tanpa adanya
peminangan seperti lazimnya, untuk menjalin rumah tangga yang
sesuai dengan agama Islam.
Pengertian lari kawin yang penulis dapatkan dalam penelitian
di masyarakat Rejosari meliputi:
Menurut bapak Sulastito, lahi kawin berasal dari kata lahi
(disebagian daerah jambi menyebutnya dengan belarian) yang
berarti lari, sedangkan kawin diartikan nikah atau pernikahan,
karena dalam pelaksanaan lari kawin tersebut pelaku berlarian
dari rumah kediamannya menuju ketempat pak imam atau pegawai
syara’. Di samping itu lahi kawin dilakukan dengan menggunakan
tata-cara tertentu, misalnya harus mengajak seorang kerabat atau
teman dalam proses lahi kawin tersebut.65[10]
Lahi kawin dalam istilahnya juga bisa disebut perkawinan lari
bersama, perkawinan ini dilakukan gadis yang berlarian ke tempat
pemuka adat, kemudian pihak bujang mengadakan pertemuan kerabat,
dan mengirim utusan untuk menyampaikan permohonan maaf dan
memohon penyelesaian yang baik dari pihak kerabat perempuan, lalu
diadakan perundingan dengan mengikuti tata tertib adat berlarian
setempat.66[11]
Lahi kawin (kawin lari) adalah larinya pria dan wanita dengan
ditemani seorang kerabat atau teman untuk melakukan perkawinan
tanpa adanya peminangan terlebih dahulu. Dalam pelaksanaan adat
lahi kawin di Rejosari terjadi karena memang sudah sama-sama ada
65[10] Teliman adalah syarat yang diminta oleh calon mempelai perempuanpada saat duduk betunang.
66[11] Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, cet. ke-2,(Yogyakarta: Liberty, 2002).
kesepakatan antar pihak pria dan wanita. Lahi kawin itu sendiri itu
dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua, baik dari pihak orang
tua laki-laki maupun perempuan, dan lahi kawin dilakukan secara
diam-diam tanpa diketahui oleh masyarakat umum.67[12]
C. Faktor Penyebab Terjadinya Lahi Kawin
Perkawinan dengan cara lahi kawin ini dilakukan guna
menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat
perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan atau yang
disebut dengan duduk betunang, karena pekawinan yang mengunakan
adat duduk betunang biasanya memakai biaya yang sangat besar.
Disamping itu, lahi kawin juga terjadi akibat tidak adanya restu
dari pihak orang tua yang tidak mau menikahkan anaknya.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lari kawin
di Rejosari diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Masyarakat Rejosari merupakan masyarakat yang sebagian besar
berprofesi sebagai petani, dan dari segi ekonomi masyarakat
Rejosari tergolong pada masyarakat yang berekonomi menengah
67[12] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. Ke-2, (Yogyakarta:Liberty, 1981).
kebawah, maka ketika ada muda-mudi yang akan melaksanakan
pernikahan mereka cendrung memilih lari kawin dengan tujuan
terbebas dari kewajiban-kewajiban adat berelek.
Pengertian berelek adat menurut bapak Temon Selaku Kepala Desa
Rejosari adalah: pesta perkawinan adat jambi yang beradat duduk
betunang. Pesta perkawinan ini harus melalui semua jenis seremoni
adat, mengundang para keluarga dan seluruh pemuka adat. Pesta
adat ini memakan banyak waktu, karena waktu pelaksanaan adat
duduk bertunang dilaksanakan dua hingga tiga minggu dengan biaya
yang cukup besar salah satu syaratnya adalah memotong kerbau
dirumah pihak calon pengantin wanita. Pesta ada ini biasa
diadakan oleh orang yang mampu dari segi materi.
Tata cara dan tahapan ceremoni upacara adat duduk betunang
seperti dijelaskan bapak Sulastito adalah sebagai berikut:
a. Tahap Perkenalan
Bila seorang jejaka merasa tetarik pada seorang gadis maka
jejaka tersebut akan mencari cara agar dapat mendekati si gadis.
Pada saat acara itu jejaka tersebut bersama keluarganya melakukan
rasan, yakni menilai gadis tersebut memang sesuai dengan
pilihannya.
b. Tahap Mengirim Utusan/Merasan
Tahap berikutnya, dari pihak orang tua laki-laki menyuruh
keluarga salah seorang terdekat yang dipercayain untuk menjajaki
atau datang merasan kepihak keluarga perempuan. Apabila rasan
dari pihak laki-laki diterima maka keluarga pihak laki-laki dan
perempuan memanggil suku nan duo untuk mengabarkan rasan yang
dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan.
c. Berunding anak kemenakan dilamar orang
Pada tahap ini orang tua dari perempuan datang kerumah
tenganai selaku mamak anak, mengabarkan bahwa anak perempuannya
dirasan laki-laki dari salah satu suku. Kemudian tenganai
menyuruh keluarga pihak perempuan untuk mengundang suku nan duo,
yaitu pardu sikso dan pardu wali yang tercakup dalam nenek empat
puyang delapan untuk berunding. rundingan ini yang menentukan
diteruskannya rasan tersebut ketahap lamaran.
d. Bekampung duduk betunang
Pada tahap ini pihak laki-laki yang rasannya diterima akan
datang melamar. Prosesi ini disaksikan oleh suku nan duo yaitu
pardu sikso dan pardu wali yang tercakup dalam nenek empat puyang
delapan, jiran, ipar bisan, suku dekat suku jauh, sanak kadang, atehnyo kampung
yang betuo, dan adat dengan syaraknya. Barang hantaran lamaran ini
biasanya beras segantang, selemak-semanis (bumbu-bumbu) dan emas
dua mayam atau setara dengan 14 gram. Dalam prosesi ini juga
berunding mengenai besaran telimak yang diminta pihak perempuan
serta lamanya bertunangan atau jena waktu menuju pernikahan.
e. bekampung menyemua banyak
Pada tahap ini, segala suku induk, anak kadang, suku nan duo
dari pihak laki-laki bergotong royong mengantarkan padi kerumah
orang perempuan yang akan mengadakan pesta pernikahan, termasuk
mengantarkan telimak yang diminta keluarga perempuan.
f. bekampung menyerah lek (pesta pernikahan)
Dalam melaksanakan upacara ini pihak yang mengadakan pesta
harus mengundang suku nan duo, nenek empat puyung delapan, jiran,
suku dekat, suku jauh dalam kampung laki-laki dan perempuan, adat
dan syarat. Selanjutnya pihak laki datang kerumah mempelai
perempuan, kemudian juru bicara rombongan pihak laki-laki
menanyakan sekali lagi kesediaan mempelai perempuan untuk menikah
dengan laki-laki tersebut. Tanya jawab tersebut dilakukan oleh
perwalikan lari kedua belah pihak keluarga didepan rumah mempelai
perempuan dengan berpantun.
2. Faktor tidak adanya restu dari pihak orang tua
Wewenang orang tua atau keluarga dalam menentukan calon
suami bagi perempuan atau istri bagi laki-laki berpengaruh pada
adat Lahi Kawin, karena biasanya orang tua masih mempertimbangkan
bibit, bobot serta bebet menurut kehendak mereka. Adakalanya
orang tua mengetahui bahwa anak perempuannya di bawa lari oleh
pihak laki-laki kemudian dari orang tua ada yang mau menikahkan
anaknya dan ada juga orang tua yang tidak mau menikahi anaknya,
artinya adat lahi kawin disini adakalanya diketahui oleh orang
tuanya, dan adakalanya orang tua tidak mengetahui. Di lain pihak
perbedaan pandangan antara orang tua dan anak biasanya menjadi
salah satu faktor terjadinya adat lahi kawin, karena pelaku tidak
disetujui oleh orang tua, oleh karena itu dalam adat lahi kawin
terkadang terjadi karena wali tidak mau menikahkan anaknya.
Terjadinya adat lahi kawin menunjukan keinginan laki-laki dan
perempuan untuk melakukan pernikahan, karena hubungan asmara baik
bujang ataupun gadis tidak disetujui oleh kedua belah pihak orang
tua, faktor lain adalah pihak gadis sudah dijodohkan oleh orang
tuanya. Hal itu menyebabkan pemberontakan terhadap kekuasaan
orang tua yang berakibat laki-laki dan perempuan melakukan adat
lahi kawin.
D. Tata Cara Pelaksanaan Lari Kawin
Tradisi lahi kawin di Desa Rejosari dilakukan muda-mudi
setempat terkadang membuat orang tua mereka kaget apabila
mendengar anaknya lahi kawin. Karena biasanya pasangan yang
melakukan lahi kawin sudah sama-sama saling suka, cinta, dan mantap
dengan pilihannya.
Tata cara pelaksanaan adat lahi kawin yaitu dengan cara laki-
laki bersepakat dengan seorang perempuan yang disukainyapergi ke
rumah imam atau tetua adat didampingi orang yang mereka percaya
dengan tanpa sepengetahuan orang tua mereka terutama orang tua
perempuan. Lahi kawin ini sering dilakukan pada malam hari ketika
orang sudah tidur dan sepi, sehingga tidak banyak orang yang
mengetahui, sesuai dengan sluko adat bejalan kelam bulan, besuluk batang
pisang, melayang berbiduk penggal serong, bejalan pintas sepinggal.68[13]
68[13] Fitri Lutfiana Immawati, Perlindungan Terhadap Hak-HakPerempuan Dalam Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus TentangKawin Bawa Lari di Kota Metro, Lampung), Skripsi: Fakultas Syari’ahIAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996, Tidak diterbitkan.
Ketika pasangan melakukan lahi kawin datang kerumah imam atau
pegawai syara’, bapak imam atau pengawai syara’ selaku orang yang
menerima pelaku lari kawin terlebih dahulu memproses pasangan
tersebut karena tidak semua pelaku lahi kawin diterima. Adapun
alasan sang imam atau pegawai syara’ menolak pasangan yang
melakukan lahi kawin diantaranya:
1. Salah satu atau kedua dari calon mempelai belum cukup umur.
2. Ada unsur paksaan dari orang lain.
3. Pelaku lari kawin berbeda agama.69[14]
Sedangkan jika tiga hal tersebut diatas tidak ada, maka imam
atau pegawai syara’ akan menerima pasangan yang melakukan lahi
kawin. Setelah imam atau pegawai syara’ telah menerima mereka
dikediamannya, maka imam menyuruh calon mempelai laki-laki untuk
pulang untuk memberitahukan perbuatannya kepada keluarga sigadis
dan meminta maaf, biasanya hal ini dilakukan oleh keluarga calon
pengantin laki-laki, dengan mengatakan bahwa “sayo ko lah babuek salah
kareno sayo lah melahikan anak gadih bapak, dan sayo tarok di umah pak imam
Ahmad. Kini ko sayo meminta bapak menikahkan sayo dengan anak gadih bapak”.
69[14] Linnida Santi, Kawin Lari Menurut Hukum Islam (Studi Kasusdi Kelurahan Mompang, Kecamatan Padang Sidempuan Batunadua, KabupatenTapanuli Selatan, Sumatra Utara), Skripsi: Fakultas Syari’ah UIN SunanKalijaga Yogyakarta, 2006, Tidak diterbitkan.
maksud dari penyataan tersebut adalah “saya ini telah bertindak
dan berbuat salah dan saya mengakui kesalahan saya karena saya
telah melarikan anak gadis bapak dan saya tempatkan di rumah imam
Ahmad (misalnya), artinya saya sebenarnya walaupun salah saya
berniat dan beri’tikad baik ingin menikah dengan anak gadis
bapak”.
Proses ini biasanya terjadi selama 1 sampai 3 hari, jika
dalam waktu tiga hari belum ada jawaban dari masing-masing
keluarga, maka sang imam ataupun pengawai syara’ menemui keluarga
kedua belah pihak untuk membicarakan mengenai kelanjutan hubungan
anak mereka dan kapan pelaksanaan akad nikah, serta kesediaan
orang tua untuk menikahkan anak gadisnya. Apabila tidak ada
tanggapan juga dari kedua belah atau salah satu pihak terutama
pihak perempuan, maka sang imam atau pegawai syara’ mengambil
alih jabatan orang tua untuk memproses pernikahan pasangan
tersebut. Apabila kedua belah pihak sudah sepakat dan setuju,
maka perempuan tersebut harus dijemput oleh keluarganya dari
rumah imam atau pegawai syara’.
E. Implikasi Pelaksanaan Lahi Kawin
Menurut masyarakat Rejosari, terdapat beberapa implikasi
dalam pelaksanaan adat lahi kawin. Secara garis besar terdapat dua
implikasi, yaitu implikasi positif dan implikasi negatif seperti
dipaparkan dibawah ini:
1. Implikasi Positif
a. Meringankan biaya pernikahan.
Salah satu alasan terjadinya lahi kawin adalah pelaksanaan
adat duduk betunang keluarga perempuan meminta teliman yang terlalu
besar sehingga tidak dapat dipenuhi oleh keluarga mempelai laki-
laki. Dengan terjadinya lahi kawin, permintaan teliman gugur dengan
sendirinya. Diganti dengan denda adat yang besarannya tidak
melebihi teliman yang diminta keluarga si-gadis. Disamping itu,
lahi kawin juga meringkas waktu pelaksanaan pernikahan yang
biasanya mengunakan prosesi adat yang panjang, lahi kawin dihukum
dengan tidak boleh melakukan pesta perkawinan.
b. Ada kesepakatan antara kedua belah pihak (antara bujang dan
gadis)
Pihak bujang dan gadis sudah sama-sama saling mencintai dan
sepakat untuk melaksanakan lahi kawin. Oleh karena itu dalam
melangsungkan pernikahan mereka didasari oleh rasa suka satu
dengan lainnya. Berbeda dengan duduk betunang yang kebanyakan dari
mereka menikah atas paksaan dari orang tua atau tergiur teliman
pemberian laki-laki.
2. Implikasi Negatif
a. Menimbulkan kesalahpahaman antara pihak keluarga bujang dan
gadis.
Lahi kawin yang sepakat dilakukan oleh bujang dan gadis
tentunya tanpa sepengetahuan pihak kedua belak keluarga, hal ini
yang kemudian berpotensi untuk memanaskan situasi sehingga
hubungan dua keluarga menjadi salah paham.
b. tidak ada persetujuan dari pihak orang tua.
Dalam melaksanakan pernikahan khususnya di Rejosari orang
tua biasanya menimbang bebet bobot dari calon anak mantu yang
mereka pilih untuk anak mereka. Oleh karena itu terkadang ketika
ada bujang dan gadis yang saling mencintai tidak serta merta
disetujui oleh keluarga mereka, disinilah timbul niat dari bujang
dan gadis untuk melaksanakan lahi kawin untuk menghindari orang
tua yang tidak menyetujui hubungan mereka.
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT LAHI KAWIN DI REJOSARI,
PAMENANG, MERANGIN, JAMBI
A. Analisis Hukum Islam Terhadap faktor terjadinya Adat Lari Kawin.
Pada BAB III, penyusun telah menguraikan tentang faktor-
faktor penyebab terjadinya adat lahi kawin. Penyusun juga
menguraikan kondisi secara keseluruhan wilayah baik ditinjau dari
letak geografis dan adat masyarakat. Pada bab ini penyusun
membahas pandangan hukum islam tentang adat lahi kawin berikut
dengan faktor-faktor penyebab terjadinya adat lahi kawin.
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Desa Rejosari ada
lima macam tata-cara perkawinan. Pertama duduk betunang, kedua beciri
tuo, ketiga kawin selaju berelek, keempat kawin salah bujang gadis, kelima lahi
kawin. Seperti yang sudah penulis jelaskan pada Bab III tentang
pelaksanaan adat lahi kawin, maka pada bab IV penulis menganalisis
tentang tata cara dan faktor yang menyebabkan adat lahi kawin
terjadi serta kaitannya dengan hukun Islam.
1. Faktor ekonomi
Masyarakat Rejosari merupakan masyarakat yang sebagian besar
berprofesi sebagai petani, dari segi ekonomi masyarakat disini
lebih tergolong pada masyarakat yang berekonomi menengah kebawah,
maka ketika ada muda mudi yang akan melaksanakan pernikahan
mereka cenderung melaksanakan pernikahan lari atau lahi kawin. Lahi
kawin dilakukan oleh pasangan muda mudi yang akan melaksanakan
hubungan pernikahan tetapi tidak mempunyai banyak biaya untuk
melaksanakan berelek70[1] adat. Berelek adat sendiri lebih erat
kaitannya dengan walimah dalam Islam, karena berelek merupakan
pesta perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang melakukan
pernikahan melalui pertunangan dan tata-cara adat lebih dahulu.
Dalam kaitannya dengan hukum Islam, adat berelek yang
menyebabkan terjadinya lahi kawin tidak lepas dari pesta pernikahan
atau walimahan dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam ketika kita
akan melaksanakan perayaan nikah atau walimah disarankan agar
sesuai dengan kemampuan orang yang menikah, dan dalam ajaran
Islam tidak menganjurkan perayaan perkawinan dengan berlebih-
lebihan, sesuai kemampuan bagi yang melaksanakannya seperti dalam
hadist Nabi yaitu:
70
ةةةةةة[2]71
ةةةةة
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa ketika akan
melangsungkan pesta pernikahan atau walimah, walaupun hanya
menggunakan 1 ekor kambing, maka pesta perkawinan sudah dapat
dilaksanakan. Dalam peryaan pesta perkawinan, Islam memang tidak
melarang pelaksanaan kebiasaan yang berlaku, sejauh tidak
bertentangan dengan Islam, akan tetapi Islam tidak memperbolehkan
melaksanaka walimah secara berleihan dan dari hal tersebut bisa
menimbulkan kemudharatan. Sehubungan dengan walimah, adat
kebiasaan masing-masing daerah dapat dipertahankan bahkan
dilestarikan sepanjang tidak meyalahi prinsip ajaran Islam,
apabila adat kebiasaan yang berhubungan dengan walimah tersebut
bertentangan dengan syari’at Islam, maka adat tersebut harus
ditinggalkan.
71
Dalam ajaran Islam banyak ditemukan ketentuan yang
memaparkan tentang kesederhanaan dan melarang perbuatan yang
berlebuhan, seperti firman Allah Al-A’raf Ayat 3:
ةةةةةةةةةةةةةةةة[3]72
ةةةةةةةةةةةةةةةةةة
Dalam ayat tersebut telah dijelaskan bahwa ketika
melaksanakan segala sesuatu tidak boleh berlebihan, begitu juga
kaitannya dengan pelaksanaan walimah. Dalam ajaran syariat Islam
mengadakan acara walimah tidak diharuskan menggunakan biaya yang
besar, syariat Islam mengajarkan tidak perlu memaksakan diri
diluar kemampuan yang ada serta berlebihan dalam melaksanakan
walimah, sesuai dengan firman Allah:
ةةةةةهللاةةةةةةةة[4]73
ةةةةةةةةةةةةةة72
73
Islam merupakan agama yang sempurna, terbukti dengan ayat
diatas yang menyatakan bahwa, sebenarnya Allah tidak menghendaki
kesulitan melainkan menghendaki kemudahan dalam berbagai hal,
begitu juga dengan pelaksanaan walimah, dalam ajaran Islam tidak
diatur secara rinci bagaimana pelaksanaan walimah. Tetapi
pelaksanaan walimah dalam Islam tidak boleh memberatkan kepada
siapa saja yang akan melaksanakannya.
Dalam analisa penyusun berkesimpulan bahwa alasan terjadinya
lahi kawin di Rejosari dikarenakan pesta perkawinan adat berelek yang
terlalu besar menggunakan biaya pada perayaan pesta pernikahan
dan harus menggunakan syarat-syarat lain yang memberatkan,
sehingga masyarakat pada umumnya tidak sanggup untuk melaksanakan
pesta adat tersebut. Berbeda dengan ajaran Islam yang hanya
menganjurkan pada perayaan pesta pernikahan sudah dapat
dilaksanakan dengan menggunakan 1 ekor kambing, karena yang
terpenting dari semuanya itu adalah subtansi dari walimah
tersebut. Perlunya menyebarkan berita gembira kepada masyarakat
atas terjadinya suatu pernikahan dan dalam mengadakan walimahan
tersebut Islam menganjurkan tidak perlu memaksakan diri diluar
kemampuan yang ada.
2. faktor tidak adanya restu dari pihak orang tua
Perkawinan adalah peristiwa yang sakral dalam kehidupan
seseorang, maka restu orang tua adalah sangat penting bagi setiap
orang yang akan melakukan pernikahan. Restu orang tua merupakan
bagian dari upaya membina keluarga bahagia, sakinah dan rukun.
Bila terjadi masalah dan tidak ada kecocokan dengan orang tua,
maka upaya yang akan ditempuh adalah dengan jalan damai dan
musyawarah. Orang tua pun harus menyadari keinginan anaknya untuk
menikah dengan cara yang sah adalah suatu sikap terpuji, supaya
mereka tidak terjerumus kedalam perzinahan.
Wewenang orang tua atau keluarga dalam menentukan calon
suami bagi perempuan atau istri bagi laki-laki berpengaruh pada
adat lahi kawin, karena biasanya orang tua masih mempertimbangkan
bibit, bobot serta bebet menurut kehendak mereka. Adakalanya
orang tua yang mau menikahkan anaknya ada juga orang tua yang
tidak mau menikahkan anaknya. Dilain pihak paradigma berfikir
yang ada antara orang tua dan anak biasanya menjadi salah satu
faktor terjadinya adat lahi kawin, karena hubungan antara pelaku
lahi kawin tidak disetujui oleh orang tua. Oleh karena itu dalam
adat lahi kawin terkadang terjadi wali tidak mau menikahkan
anaknya.
Dalam menentukan pasangan hidup setiap orang berhak memilih
untuk menentukan pasangan hidup yang akan mereka pilih untuk
menuju kejenjang pernikahan. Tujuan pernikahan yaitu untuk
membentuk suatu rumah tangga yang sakinah, mawadah, warrahmah, oleh
karena itu pihak orang tua yang akan menikahkan anaknya hendaknya
tidak memaksakan kehendak menurut kriteria yang akan mereka
pilih, karena pada hakekatnya persetujuan calon mempelai yang
akan melakukan pernikahan sangatlah penting karena mereka yang
akan menjalani kehidupan rumah tangga, sesuai dengan hadis Nabi
Saw disebutkan bahwa:
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة[5]74
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
ةةة Berdasarkan hadis diatas yang paling menentukan dalam
pernikahan adalah kesediaan calon mempelai yang akan melaksanakan
74
perkawinan, bila terkait dengan adat lari kawin yang terjadi di
Rejosari maka wewenang orang tua untuk menikahkan anaknya
merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, karena hal
tersebut sudah melanggar hak dari gadis yang akan dinikahkan.
Fenomena adat lahi kawin yang terjadi pada masyarakat
Rejosari merupakan bentuk adat yang sudah terjadi sejak zaman
dahulu dan turun temurun hingga sekarang. Ketika adat lahi kawin
sudah selesai dilaksanakan maka diadakanlah pelaksanaan
pernikahan secara agama dan peraturan yang berlaku di Indonesia,
maka dalam pelaksanaan pernikahan tersebut tidak berbeda dengan
pernikahan pada umumnya, seperti adanya calon istri dan suami,
wali nikah, dan adanya ijab qobul, pelaksanaan ijab qobul dalam
pernikahan merupakan salah satu rukun, dalam pelaksanaan lahi
kawin di Rejosari, hal yang kadang terjadi pada adat lahi kawin
yang terjadi di Rejosari adalah wali tidak hadir dalam
pelaksanaan ijab qobul, maka kedudukan wali digantikan oleh wali
hakim dalam hal tersebut digantikan oleh imam masjid atau pegawai
syarak.
Dalam hasil analisa, penyusun berkesimpulan bahwa penggunaan
wali dalam memberikan perizinan dan ketidak hadiran wali akad
nikah dalam kasus lahi kawin tidak berpengaruh sedikitpun terhadap
sahnya perkawinan atau mengakibatkan nikahnya menjadi batal,
karena di dalam lahi kawin syarat sahnya pernikahan masih dipenuhi
secara keseluruhan. Dalam lahi kawin masih memenuhi rukun-rukun
yang ada dalam perkawinan, meski wali memberikan perizinan dengan
keterpaksaan, hal itu tidak berpengaruhi terhadap berlangsungnya
pernikahan.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Hukum Adat Lahi Kawin di Rejosari,
Pamenang, Merangin, Jambi.
Perkawina n di Indonesia tidak dilihat sekedar sebagai
hubungan kontraktual antara laki-laki dan perempuan saja. Hukum
Islam memandang perkawinan sebagai sebuah institusi yang terdiri
dari tiga unsur yaitu : legal, sosial dan agama.75[6]
Agama sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk
hukum apabila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh
masyarakat Indonesia secara umum. Karena adat pada esensinya
dipahami sebagai norma yang mengikat dan dipelihara dalam
masyarakat dalam rangka kepentingan mereka mengatur kehidupan
sehari-hari masyarakat. Adat kebiasaan yang sudah mengakar dalam
75
kehidupan masyarakat selama kebiasaan tersebut tidak mendatangkan
kerusakan atau menyalahi norma umum dan ajaran agama maka adat
dapat diterima dan berjalan terus sebagai salah satu dasar dalam
pengambilan keputusan hukum. Dalam adat lahi kawin yang terjadi di
Rejosari, adat tersebut telah ada sejak dahulu dan masih
dilestarikan hingga sekarang, bila fenomena tersebut dikaitkan
dengan hukum Islam maka fenomena adat tersebut tidak lepas dari
adanya ‘urf.
‘Urf yaitu sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat dan
kebiasaan masyarakat setempat. ‘Urf tersebut terbentuk dari
saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan
stratifikasi sosial, yaitu kalangan awam dari mayarakat dan
kelompok elite mereka. Hal ini berbeda dengan ijma’, karena
sesungguhnya ijma’ terbentuk dari kesempatan dari para mujtahid
secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur dalam
membentuknya.
Pada umumnya seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan
‘urf yang berkembang pada zamannya di mana seandainya ia berada
pada zaman yang lain dengan ‘urf yang baru, niscaya ia akan
mengeluarkan pendapat bahwa seorang mujtahid harus mengenali
adat-adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat
dimengerti kalau banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda
lantaran perbedaan zaman.
‘Urf sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. ‘Urf ditinjau dari kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya
oleh syari’ah) ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. ‘Urf yang fasid atau ‘urf yang batal, yaitu yang bertentangan
dengan syariah, seperti kebiasaan minum-minuman keras saat
merayakan pesta kelahiran.
b. ‘Urf yang shahih atau Al-Âdah al-shahihah yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’, seperti memesan barang dagangan.
2. ‘Urf ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, yaitu mengenai
adat dan kebiasaan kita, ‘urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. ‘Urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku
untuk semua orang disemua negeri, Misalnya membayar bis kota
dengan tidak menggunakan akad ijab qobul.
b. ‘Urf yang khusus, yaitu hanya berlaku disuatu daerah tertentu
saja, Misalnya adat gono-gini dalam adat jawa.76[7]
76
Para ulama ushul fikih sepakat bahwa suatu ‘urf baru bisa
dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan nash yang qad’î.
2. ‘Urf harus berlaku universal. Tidak dibenarkan ‘urf yang menyamai
‘urf lainnya, karena adanya pertentangan antara mereka yang
mengamalkan dan yang meninggalkan.
3. ‘Urf harus berlaku selamanya. Tidak dibenarkan ‘urf yang datang
kemudian.77[8]
Berkait dengan keterangan ‘urf diatas, terdapat kaidah ushul
fiqh yang berbunyi:
ةةةةةة[9]78
ةةةةة
Adapun syari’at Islam bukan untuk batas waktu tertentu,
bukan untuk bangsa dan tempat tertentu tetapi bersifat universal,
untuk seluruh alam. Karena itu kaidah-kaidah hukumnya bersifat
77
78
umum, prinsip dan pokok-pokok saja yang disebutkan dan diberi
kesempatan kepada ilmuan bidang hukum dan sosial ditempat masing-
masing untuk menguraikannya lebih lanjut dalam mengatasi berbagai
masalah yang timbul di daerahnya masing-masing. Hendaknya hukum
mengakomodasi problematika masyarakat seiring dengan perkembangan
zaman. Dengan ini, akan tercermin fleksibilitas dan elastisitas
proses pembentukan suatu hukum, Islam merupakan agama yang
dinamis dan sesuai dengan perkembangan zaman termasuk dalam
masalah hukum. Lebih lanjut lagi apabila hukum itu ditetapkan
berdasarkan adat, maka dapat berubah sejalan dengan perubahan
waktu dan tempat, karena perbedaan keinginan manusia. Adat
perkawinan yang ada pada masyarakat Rejosari merupakan adat yang
ada sejak zaman dulu, dan masih dipertahankan hingga sekarang,
oleh karena itu ketika ada pemuda dan pemudi yang akan menikah
maka mereka pasti menggunakan cara pernikahan adat yang berlaku
di Rejosari.
Ketetuan adat lahi kawin ini tidak diatur dalam Islam secara
jelas oleh karena itu untuk memandang apakah adat semacam ini
dibenarkan atau tidak, maka yang harus ditinjau adalah bentuk
maslahah dan mafsadat. Hal ini merupakan peraturan adat yang
berlaku dan berkembang dimasyarakat Rejosari, maka adat lahi kawin
merupakan adat yang diperbolehkan, karena pada dasarnya asal dari
sesuatu hukumnya mubah, sehingga ada dalil yang mengharamkannya,
hal berkaitan dengan kaidah ushūl fiqh yaitu:
79[10]
ةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةةة
ة
Pada pelaksanaan adat lahi kawin tidak ada pelaksanaan
pertunangan terlebih dahulu, sedangkan menurut Islam sebelum
pernikahan dianjurkan mengunakan pertunangan terlebih dahulu,
agar kedua calon mempelai dan kedua keluarga bisa saling menjalin
silaturahmi dan mengenal lebih jauh dengan adanya ta’aruf. Dalam
pelaksanaan adat lahi kawin rentan terjadi hal-hal yang tidak
sesuai dengan norma agama dan norma sosial, seperti halnya adanya
pemaksaan dari pihak bujang terhadap pihak gadis untuk pergi dari
rumahnya, pihak bujang melarikan gadis lebih dari satu hari, hal
79
ini bisa menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka
belum mempunyai ikatan yang resmi sebagai suami istri. Hal ini
terkait dengan kaidah ushūl al-fiqh yaitu:
ةةةةة[11]80
ةةة
Makna yang terkandung dalam konsep kaidah ini, yang secara
emplisit memotifasi kita untuk menbuang jauh-jauh semua bahaya,
baik bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Bahaya yang
berwujud kesusahan, kesulitan atau kesempitan, baik didunia
maupun di ahirat, sebisa mungkin harus disingkirkan, walaupun
demikian bukan berarti kegala kemudahan dan kenikmatan bisa
direngkuh. Sebab bisa jadi yang kita anggap baik atau maslahah
ternyata berdampak negatif atau mafsadah bagi orang lain, bagi
agama, bahkan bagi diri sendiri.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa adat
lahi kawin tersebut kadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dalam pelaksanaannya. Cara yang dikakukan kurang sesuai dengan
80
ajaran Islam dan adat lahi kawin. Katakan bahwa adat lahi kawin tidak
diberlakukan pada semua wilayah, maka dapat dikatakan bahwa adat
tersebut tidak berlaku universal dan tidak terdapat dalam nās.
Oleh karena itu adat lahi kawin tidak memenuhi syarat ‘urf yang
dapat dijadikan sumber penetapan hukum, maka dapat disimpulkan
ketika dilihat dari segi kebasahannya adat lahi kawin dalam
masyarakat Rejosari termasuk kategori al-‘urf al-fāsid.
Disisi lain, masyarakat Rejosari sangat mentaati hukum adat
yang berlaku di daerah setempat termasuk dalam hal pelaksanaan
perkawinan, seperti yang sudah dijelaskan pada bab III adat lahi
kawin sebagian dilaksanakan karna faktor ekonomi, karena
msyarakat Rejosari termasuk masyarakat yang berekonomi menengah
kebawah, maka faktor biaya merupakan salah satu penghambat untuk
mengadakan pesta pernikahan dengan adat duduk betunang. Dari
penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan, jika tinjauan dri
segi ekonomi masyarakat maka adat lahi kawin tersebut bisa juga
membawa kepada kemaslahatan bagi masyarakat di Rejosari.
Dalam mencetuskan hukum baru, fenomena budaya bukanlah
sebuah dalil yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk
hukum baru, melainkan “sekedar ornament” untuk meligitimasi
hukum-hukum syariat. Dan perlu dicatat pula, yang bisa dijadikan
hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut perspektif
syariah dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash yang
syar’i. Artinya, syariat hanya memberikan ketentuan secara umum,
maka batasan pastinya diserahkan pada menilaian adat istiadat
yang berlaku.81[12]
Dalam kaitan dengan adat lahi kawin, telah dijelaskan pada bab
III bahwa mayoritas penduduk di Rejosari memeluk agama Islam.
Berdasarkan kesimpulan hasil wawancara dilapangan, adat lahi kawin
sudah ada sejak zaman dulu dan berkembang hingga zaman sekarang
dan sesuai dengan hukum perkawinan di Indonesia dan agama Islam,
karena pada pelaksanaannya tidak mengurangi salah satu syarat
sahnya perkawinan, jadi melaksanakan pernikahan dengan mengunakan
adat lahi kawin hukumnya boleh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adat lahi kawin yang
ditaati oleh masyarakat Rejosari ini tidak begitu saja diklaim
sebagai suatu produk hukum yang diharamkan atau mengandung ‘urf
fasid namun harus diperhatikan pila ketika adat lahi kawin ini
81
didasarkan pada faktor ekonomi dan proses pelaksanaan adat lahi
kawin.
Esensi dari adat lahi kawin adalah untuk mencapai suatu
kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Maka adat lahi
kawin pun masih relevan untuk digunakan, karena dalam hukum Islam
perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun
nikah. Apabila adat lahi kawin tersebut dilaksanakan dengan
mengunakan tata tertib dan aturan yang ada maka adat tersebut
tidak mengandung nilai kemafsadatan, bila kedua unsure tersebut
terdapat dalam sebuah perbuatan, maka yang menjadi standar adalah
nilai mana yang banyak manfaatnya dan sedikit madharatnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penyusun mendeskripsikan dan menganalisis tinjauan
hukum Islam terhadap adat lahi kawin di Rejosari, Pamenang,
Merangin, Jambi dalam pembahasan penelitian ini, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor atau alasan yang menyebabkan terjadinya adat lahi kawin
di Rejosari adalah faktor ekonomi dan faktor tidak adanya
persetujuan dari orang tua.
2. Tata-cara Adat lahi kawin masih ada dan ditaati oleh masyarakat
Rejosari. Mereka beranggapan bahwa tata-cara adat lahi kawin sah
menurut norma sosial yang berlaku pada masyarakat tetapi
mencenderai kemaslahatan dan ketertiban masyarakat tersebut.
3. Tidak ada nâs yang mengatakan bahwa adat lahi kawin itu halal
atau haram. Dengan demikian pada dasarnya aturan tersebut adalah
mubah dan boleh dilakukan oleh masyarakat Rejosari. Walaupun
demikian, adat lahi kawin melanggar norma sosial dalam masyarakat.
B. Saran-saran
1. Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan
tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu
dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan
hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat,
bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada
masyarakat lainnya.
2. Demi menciptakan masyarakat yang tentram dan damai terutama
dalam berkeluarga, harus ada keterbukaan, dengan adanya sikap
saling terbuka tersebut satu sama lainnya bisa saling mengerti
keinginan dari masing-masing pihak, maka perselisihan bisa
diminimalisir.
3. Walaupun adat lahi kawin sah menurut hukum Islam, tapi hal ini
tidak sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial karena
ada beberapa hak yang dilanggar di dalam pelaksanaan adat lahi
kawin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Bandung: Lubuk Agung, 1989.
B. Hadis
Bukhãri, al-, Sahîh al-Bukhărî,3 jilid Beirut: Dăr al-Hadis, 2000M.
Hăfiz, al-Imam Ibn al-a’rabi al-Maliki, “Aridah al-Ahwazi bi Syarh at-Tirmizi”, 5
jilid, Beirut: Dăr Ilya’ at-Turas al-‘Arabi, 1415H/1995M.
Muslim, Sahîh Muslim, 3 jilid, Bairut: Dār al-Fikr, t.t. II.
Tirmizi, At-, Sunan at-Tirmizî, Beirut: Dăr al-Fikr,t.t. II.
C. Fiqh/Ushul Fiqh
Abidin Slamet dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Adji, Sution Usman, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, cet. ke-2, Yogyakarta:
Liberty, 2002.
Abdul Haq dkk., Formalitas Nalar Fiqh (Telaah Fiqh Konseptual), Surabaya: khalista,
2005.
AF, E Mustofa, Islam Membina Keluarga Islam dan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
Yogyakarta: Kota Kembang, 1987.
Ali,Zainiddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet-2, Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. Ke-5, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1987.
______, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Islam,
Bandung: Mandar Maju, 1990.
Djazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), cet. Ke-III, Bandung: Orba Shakti, 1992.
Fathurrahman dan Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, 1986.
Ghazali, Al-, Menyingkap Hakikat Perkawinan, Penerjemah Muhammad Al-Baqir Bandung,
1999.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum
Islam, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Khallaf. Abd Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh Jilid 1), alih bahasa Moch
Tolchah Mansur, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980.
Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2008.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera, 2008.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1Edisi Revisi, Yogyakarta: Tazzafa, 2005.
Nur. Djamar, Fiqh Munakahat Semarang: Toha Putra, 1993.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), cet. Ke-4, Jakarta: Bumi Aksara,
2002.
Sabiq, As-Sayyīd, Fiqih Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-
Arabi,1990.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (undang-undang No. 1
Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet. Ke-4, Yogyakarta: Liberty,1999.
Syafe’i, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
D. Undang-undang
Kompilasi Hukum Islam, Cet. Ke-2, Bandung: Fokusmedia, 2007.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
E. Lain-lain
Soekanto. Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1981.
Sudiyat. Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, cet. Ke-2, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Thalib. M, Liku-Liku Perkawinan, Yogyakarta: Hidayat, 1986.
F. Kelompok Kamus dan Ensiklopedi
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Insonesia edisi 3, Jakarta:
Balai Pustaka, 2001.
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa Pustaka,
1998.
Purwadarmita W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1985.
Diposkan oleh dek_titi di 02.37 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke FacebookPosting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Entri (Atom)