Contoh makalah sastra

28
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana dalam perkembangannya sastra selalu menghadirkan hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Peristiwa yang digambarkan dalam karya sastra bisa terjadi dalam kehidupan nyata maupun di luar alam nyata. Sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan melalui bahasa. Dalam hal ini, sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa, juga mampu mengajak pembaca untuk berkontemplasi menemukan nilai-nilai dan menghayati kekompleksitasan kehidupan secara mendalam (Sugiarti, 2002:1). Sehubungan dengan hal ini, Sugiarti (2002:2) berpendapat, bahwa karya sastra merupakan khasanah intelektual dengan caranya sendiri merekam dan menyuarakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, karya sastra berbeda dengan teori-teori, tidak hanya berbicara kepada intelek pembacanya melainkan secara keseluruhan kepribadiannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat dikatakan sebagai bagian integral yang penting dari proses sosial dan kebudayaan. Macam-macam karya sastra meliputi puisi, roman, novel, drama, dan cerpen. Mempelajari dan meneliti karya sastra terdapat

Transcript of Contoh makalah sastra

Bab I

Pendahuluan

1.1       Latar Belakang

Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana

dalam perkembangannya sastra selalu menghadirkan hidup dan

kehidupan dalam masyarakat. Peristiwa yang digambarkan dalam

karya sastra bisa terjadi dalam kehidupan nyata maupun di luar

alam nyata. Sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi yang

disampaikan melalui bahasa. Dalam hal ini, sastra selain

menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa, juga

mampu mengajak pembaca untuk berkontemplasi menemukan nilai-nilai

dan menghayati kekompleksitasan kehidupan secara mendalam

(Sugiarti, 2002:1).

Sehubungan dengan hal ini, Sugiarti (2002:2) berpendapat,

bahwa karya sastra merupakan khasanah intelektual dengan caranya

sendiri merekam dan menyuarakan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat. Selain itu, karya sastra berbeda dengan teori-teori,

tidak hanya berbicara kepada intelek pembacanya melainkan secara

keseluruhan kepribadiannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat

dikatakan sebagai bagian integral yang penting dari proses sosial

dan kebudayaan.

Macam-macam karya sastra meliputi puisi, roman, novel,

drama, dan cerpen. Mempelajari dan meneliti karya sastra terdapat

unsur-unsur pembangun, baik unsur intrinsik maupun unsur

ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun

karya sastra berkaitan dengan peristiwa cerita, plot, penokohan,

tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya

bahasa

1.2       Rumusan Masalah

1. Apa itu sastra?

2. Bagaimana sifat karya sastra?

3. Apa saja manfaat karya sastra?

1.3       Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui tentang apa itu sastra.

2. Untuk mengetahui sifat-sifat karya sastra.

3. Untuk mengetahui manfaat karya sastra.

 

 

 

Bab II

Pembahasan

2.1       Pengertian Sastra

A. Teeuw (1984) dan Luxemburg (1986) mengemukakan bahwa

belum ada seorang pun yang memberikan jawaban yang ketat untuk

pertanyaan tentang definisi sastra. Hal senada diungkapkan pula

oleh B. Rahmanto (2000), Suminto A. Sayuti (2002), dan seorang

sastrawan Malaysia, Ali Ahmad, dalam sebuah tulisan berjudul

“Mencari Definisi Kesusastraan” (dalam Hamzah Hamdani 1988:19-

26).

Lebih jauh Luxemburg (1986:3-4) mengemukakan bahwa usul

untuk mendefinisikan sastra banyak sekali jumlahnya tetapi usul-

usul yang memuaskan tidak banyak. Ia mengemukakan alasan-

alasannya sebagai berikut: (1) Sering orang ingin mendefinisikan

terlalu banyak sekaligus. Sering dilupakan bahwa ada suatu

perbedaan antara sebuah definisi deskriptif mengenai sastra—yang

memberi jawaban terhadap pertanyaan: sastra itu apa?—dan sebuah

definisi evaluatif yang ingin menilai apakah suatu karya sastra

termasuk karya sastra yang baik atau tidak; (2) Sering orang

mencari sebuah definisi “ontologis” mengenai sastra, yaitu sebuah

definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil

melupakan bahwa sastra hendaknya didefinisikan di dalam situasi

para pemakai dan pembaca sastra; (3) Yang berkaitan dengan itu,

sering anggapan mengenai sastra terlalu ditentukan oleh contoh

sastra Barat, khususnya sejak zaman Renaissance, tanpa

menghiraukan bentuk-bentuk sastra yang khas seperti terdapat

dalam lingkungan kebudayaan di luar Eropa, di dalam zaman-zaman

tertentu atau di dalam lingkungan sosial tertentu. Misalnya,

konsep tentang sastra yang diterapkan bagi zaman klasik Eropa dan

bagi lingkungan kebudayaan di luar Eropa sekaligus juga mau

diterapkan bagi lingkungan kebudayaan Eropa-Amerika modern; (4)

Pernah diberikan definisi-definisi yang kurang lebih memuaskan

berkaitan dengan sejumlah jenis sastra, tetapi yang kurang

relevan diterapkan pada sastra pada umumnya. Demikian misalnya

disajikan sebuah definisi yang cocok bagi puisi, sedangkan yang

dicari ialah sebuah definisi yang tepat bagi sastra pada umumnya.

Pendek kata, dalam pandangan Luxemburg, pengertian-

pengertian tentang sastra sendiri sering dimutlakkan dan

dijadikan sebuah tolok ukur atau parameter universal padahal

perlu diperhatikan kenisbian historis sebagai titik pangkal.

Menurut Luxemburg (1986:9-11) tidak mungkin memberikan

sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah

sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang

dengan alasan tertentu diberikan pada sejumlah hasil tertentu

dalam suatu lingkungan kebudayaan. Luxemburg menyebut sejumlah

faktor yang mendorong para pembaca untuk menyebut teks ini sastra

dan teks itu bukan sastra. Sejumlah faktor itu adalah sebagai

berikut: (1) yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-

teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan

komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk

sementara waktu saja. Secara agak dibuat-buat hasil sastra

dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur oleh suatu

lingkungan kebudayaan tertentu; (2) bagi sastra Barat dewasa ini

kebanyakan teks drama dan cerita mengandung unsur fiksionalitas;

(3) puisi lirik tidak begitu saja kita namakan “rekaan”. Di sini

Luxemburg lebih suka menggunakan kategori konvensi distansi; (4)

dalam sastra bahannya diolah secara istimewa. Ini berlaku bagi

puisi maupun prosa; (5) sebuah karya sastra dapat kita baca

menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda…. Sejauh mana tahap-

tahap arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya

sastra tergantung pada mutu karya sastra yang bersangkutan dan

kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra; (6) juga

karya-karya sastra yang bersifat nonfiksi dan yang juga tidak

dapat digolongkan pada puisi, karena ada kemiripan, digolongkan

pada karya sastra; (7) terdapat karya-karya yang semula tidak

dianggap sebagai suatu karya sastra tetapi kemudian dimasukkan ke

dalam kategori sastra.

Luxemburg (1986:11-12) lebih jauh menilai sastra sebagai

berikut: (1) karena sifat rekaannya, sastra secara langsung tidak

mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugah

kita untuk langsung bertindak. Justru oleh karena itu sastra

memberikan kemungkinan dan keleluasaan untuk memperhatikan dunia-

dunia lain, kenyataan-kenyataan yang hanya hidup dalam angan-

angan, sistem-sistem nilai yang tidak dikenal atau yang bahkan

tidak dihargai; (2) sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat

mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh, dengan orang lain;

(3) bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka

batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru atau mengajak kita

untuk mengatur pengalaman tersebut dengan suatu cara baru; (4)

selain itu, bahasa sastra dan sarana-sarana sastra masih

mempunyai nilai tersendiri; (5) dalam lingkungan kebudayaan

sastra merupakan sebuah sarana yang sering dipergunakan untuk

mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam masyarakat.

Sementara itu, Yus Rusyana (1984:298) mengemukakan bahwa

sastra adalah bentuk kegiatan kreatif manusia yang mempergunakan

bahasa sebagai mediumnya. Batasan itu berada dalam suatu cahaya

pemikiran yang sama dengan Wellek dan Austin (1983:3) yang

menyebutkan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, suatu

karya seni. Sedangkan Jakob sumardjo dan Saini KM (1988:3)

mendefinisikan sastra: ungkapan pribadi manusia yang berupa

pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam

suatu bentuk gambararan kongkret yang membangkitkan pesona dengan

alat bahasa.

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988:16-17) terdapat

tiga hal yang membedakan karya sastra dengan bukan karya sastra.

Ketiga hal itu adalah: (1) sifat khayali sastra; (2) adanya

nilai-nilai seni; dan (3) adanya cara penggunaan bahasa yang

khas. Karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang

indah. Karya sastra juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa

ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Berdasarkan semua itu,

penilaian terhadap suatu karya sastra sebagai bermutu (atau tidak

bermutu) harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi, dan

bahasanya. Sebenarnya unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri-

sendiri. Semuanya merupakan suatu kesatuan yang tidak mungkin

dipisah-pisahkan. Hanya demi kepentingan analisislah bentuk karya

sastra yang bermutu tadi perlu dibeda-bedakan.

Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988:5-8) mengajukan sepuluh syarat

karya sastra dapat disebut sebagai karya sastra bermutu, yaitu

sebagai berikut: (1) karya sastra adalah suatu usaha merekam isi

jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa; (2)

sastra adalah komunikasi; (3) sastra adalah sebuah keteraturan.

Karya sastra memiliki peraturan sendiri dalam dirinya; (4) sastra

adalah penghiburan; (5) sastra adalah sebuah integrasi; (6) karya

sastra yang bermutu merupakan suatu penemuan; (7) karya sastra

yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya; (8) karya sastra

yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat; (9) karya sastra

yang bermutu merupakan penafsiran kehidupan; dan (10) karya

sastra yang bermutu adalah sebuah pembaruan.

Perihal karya sastra merupakan penafsiran kehidupan,

penemuan dan pembaruan, menjadi pemikiran banyak sastrawan

terkemuka dan menjadikannya sebagai filosofi kerja dalam

aktivitas kesastrawanan mereka. Secara eksplisit hal itu antara

lain dikemukan sastrawan penerima Hadiah Nobel Sastra 2001 asal

Trinidad keturunan India, V.S. Naipaul (2003) dalam pidato

kehormatan yang disampaikannya di Universitas Manhattan yang

diberi judul “Our Universal Civilization”, dan sastrawan penerima

Hadiah Nobel Sastra 1991 asal Afrika Selatan, Nadine Gordimer

(1995).

Terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya-

karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali

(fictionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic values) dan

adanya cara penggunaan bahasa yang khas (special use of

language). Dalam uraian lebih jauh tentang fictionality, esthetic

values dan special use of langauge yang membedakan karya sastra

dengan karya-karya tulis lainnya, Jakob Sumaardjo dan Saini KM

(1988:13) mengemukakan bahwa sifat khayali sastra merupakan

akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptakan dengan daya

khayal; dan walaupun karya sastra hendak berbicara tentang

kenyataan-kenyataan dan masalah kehidupan yang nyata, karya

sastra itu terlebih dulu menciptakan dunia khayali sebagai latar

belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat

direnungkan dan dihayati pembaca. Mengapa sastrawan mempergunakan

dunia khayali sebagai latar belakang kenyataan atau masalah yang

ingin disajikannya kepada pembaca? Jawabnya ialah karena dengan

melalui dunia khayali itu pembaca dapat menghayati kenyataan-

kenyataan dan masalah-masalah di dalam bentuk kongkretnya, dan

yang tersentuh oleh masalah itu tidak hanya pikirannya saja, akan

tetapi juga perasaan dan daya khayalnya. Dengan demikian, pembaca

dapat menjawab (memberi response) terhadap kenyataan atau masalah

yang disajikan dengan seluruh kepribadiannya. Response seperti

itu berbeda dengan yang diberikan pembaca pada karya-karya yang

bukan sastra, misalnya karya-karya ilmiah atau filsafat.

Adanya nilai-nilai seni (estetika) bukan saja merupakan

persyaratan yang membedakan karya sastra dari yang bukan karya

sastra, akan tetapi justru dengan bantuan nilai-nilai itulah

sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas-jelasnya,

sedalam-dalamnya, dan sekaya-kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu

meliputi: keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman (unity

in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan

tekanan yang tepat (right emphasis).

Keutuhan maksudnya ialah suatu karya sastra (puisi, novel,

cerita pendek, drama, atau esai) harus utuh; artinya, setiap

bagian atau unsur yang ada padanya menunjang pada usaha

pengungkapan isi hati sastrawan. Keseimbangan ialah unsur-unsur

atau bagian-bagian karya sastra, baik dalam unsur maupun

bobotnya, harus sesuai atau seimbang dengan faal atau fungsinya.

Keselarasan berkenaan dengan hubungan satu unsur atau bagian

karya sastra dengan unsur atau bagian lain; artinya, unsur atau

bagian itu harus menunjang daya ungkap unsur atau bagian lain

dengan citra atau lambang lain, dan seterusnya. Akan halnya

tekanan yang tepat, unsur atau bagian yang penting harus mendapat

penekanan yang lebih daripada unsur atau bagian yang kurang

penting. Unsur yang penting itu akan dikerjakan sastrawan dengan

lebih saksama, sedangkan yang kurang penting mungkin hanya berupa

garis besar dan bersifat skematik saja.

2.2       Sifat Karya Sastra

1.         Karya sastra bersifat khayal(fictionality).

2.         Karya sastra memiliki nilai-nilai seni(Aestic Values) yang

meliputi keutuhan(unity), kesatuan dan keragaman(Unityin

Variety), keseimbangan(Balance), keselarasan(Harmoni) dan

Tekanan/focus yang tepat(Right emphasis).

3.      Penggunaan bahasa yang khas sebagai media sastra(special us of

language).

2.3.      Manfaat Karya Sastra

1.         Memberikan kesadaran kepada pembaca mengenai keberan

kebenaran hidup.

2.         Memberikn kepuasan dan kegembiraan kepada pembaca.

3.         Memberikan peluang kerja untuk penulis.

4.         Sastra sebagai Karya Sastra Memiliki Nilai

Estetik Universal

a.         Imajinasi(Imajination)

Imajinasi merupakan unsure yang menjadikan karya sastra itu

sebagai karya fiksi.

b.      Penciptaan(creation) Penciptaan selalu diakaitkan dengan

proses kreatif.

2.4       Unsur- unsur Karya Sastra

Kita pasti sering membaca salah satu di antara karya

berikut: puisi, cerpen/novel, dan drama. Atau bisa jadi Anda

sering membaca ketiga-tiganya. Ketiga karya tersebut termasuk

dalam jenis tulisan karya sastra. Karya yang bersifat fiksi dan

mempunyai sisi keindahan, baik bahasa maupun isinya.

Karya sastra mempunyai unsur pembangun, yaitu unsur

ekstrinsik dan unsur intrinsik sastra.

2.4.1    Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk karya sastra di luar

karya sastra, meliputi latar belakang pengarang dan keadaan

sosial budaya saat karya itu ditulis.

Unsur ekstrinsik berupa segala sesuatu yang menginspirasi

penulisan karya sastra dan mempengaruhi karya sastra secara

keseluruhan. Unsur ekstrinsik ini meliputi: latar belakang

kehidupan penulis, keyakinan dan pandangan hidup penulis, adat

istiadat yang berlaku pada saat itu, situasi politik (persoalan

sejarah), ekonomi, dsb

2.4.2        Unsur intrinsik

Unsur imstristik adalah unsur yang terkandung di dalam karya

sastra itu sendiri.

Sementara unsur intrinsik terdiri atas:

1.                  Tema

Pokok persoalan dalam cerita.

2.                  Karakter

Tokoh dalam cerita. Karakter dapat berupa manusia, tumbuhan

maupun benda

Karekter dapat dibagi menjadi:

         Karakter utama: tokoh yang membawakan tema dan memegang

banyak peranan dalam cerita

         Karakter pembantu: tokoh yang mendampingi karakter utama

         Protagonis : karakter/tokoh yang mengangkat tema

         Antagonis : karakter/tokoh yang memberi konflik pada tema dan

biasanya berlawanan dengan karakter protagonis. (Ingat, tokoh

antagonis belum tentu jahat)

         Karakter statis (Flat/static character) : karakter yang tidak

mengalami perubahan kepribadian atau cara pandang dari awal

sampai akhir cerita.

         Karakter dinamis (Round/ dynamic character): karakter yang

mengalami perubahan kepribadian dan cara pandang. Karakter ini

biasanya dibuat semirip mungkin dengan manusia sesungguhnya,

terdiri atas sifat dan kepribadian yang kompleks.

3.                  Karakterisasi

Cara penulis menggambarkan karakter. Ada banyak cara untuk

menggali penggambaran karakter, secara garis besar karakterisasi

ditinjau melalui dua cara yaitu secara naratif  dan dramatik.

Teknik naratif  berarti karakterisasi dari tokoh dituliskan

langsung oleh penulis atau narator. Teknik dramatik dipakai

ketika karakterisasi tokoh terlihat dari antara lain: penampilan

fisik karakter, cara berpakaian, kata-kata yang diucapkannya,

dialognya dengan karakter lain, pendapat karakter lain, dsb.

4.                  Konflik

Konflik  adalah pergumulan yang dialami oleh karakter dalam

cerita. Konflik ini merupakan inti dari sebuah karya sastra yang

pada akhirnya membentuk plot. Ada empat macam konflik, yang

dibagi dalam dua garis besar:

a.                   Konflik internal

Individu-diri sendiri: Konflik ini tidak melibatkan orang lain,

koflik ini ditandai dengan gejolak yang timbul dalam diri sendiri

mengenai beberapa hal seperti nilai-nilai. Kekuatan karakter akan

terlihat dalam usahanya menghadapi gejolak tersebut

b.                  Konflik eksternal 

(1) Individu – Individu: konflik yang dialami seseorang dengan

orang lain, (2) Individu – alam: Konflik yang dialami individu

dengan alam. Konflik ini menggambarkan perjuangan individu dalam

usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam. (3)

Individu- Lingkungan/ masyarakat : Konflik yang dialami individu

dengan masyarakat atau lingkungan hidupnya.

5.                  Latar

Keterangan tempat, waktu dan suasana cerita

6.                  Plot

Jalan cerita dari awal sampai selesai

         Eksposisi : penjelasan awal mengenai karakter dan seting

         Rising action: bagian cerita yang mulai memunculkan konflik/

permasalahan

         Klimaks : puncak konflik/ ketegangan

Falling action: penyelesaian

7.                  Simbol

Simbol digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak.

Contoh: burung gagak (kematian)

8.                  Sudut pandang

Sudut pandang yang dipilih penulis untuk menyampaikan

ceritanya.

         Orang pertama: penulis berlaku sebagai karakter utama cerita,

ini ditandai dengan penggunaan kata “aku”. Penggunaan teknik ini

menyebabkan pembaca tidak mengetahui segala hal yang tidak

diungkapkan oleh sang narator. Keuntungan dari teknik ini adalah

pembaca merasa menjadi bagian dari cerita.

         Orang kedua: teknik yang banyak menggunakan kata ‘kamu’ atau

‘Anda.’ Teknik ini jarang dipakai karena memaksa pembaca untuk

mampu berperan serta dalam cerita.

Orang ketiga: cerita dikisahkan menggunakan kata ganti

orang ketiga, seperti: mereka dan dia.

9.                  Teknik penggunaan bahasa

Dalam menuangkan idenya, penulis biasa memilih kata-kata

yang dipakainya sedemikian rupa sehingga segala pesannya sampai

kepada pembaca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa yang baik

juga membuat tulisan menjadi indah dan mudah dikenang. Teknik

berbahasa ini misalnya penggunaan majas, idiom dan peribahasa

2.5       Bentuk- bentu Karya Sastra

2.5.1    Prosa

Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat sajak, rima,

baris). Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam

kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama

dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra

bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra

prosa baru.

a.         Prosa Lama

Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat

pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya

dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama

ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat.

Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan

sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula- mula timbul

disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya

bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan

kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal

tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu

pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra

Indonesia mulai ada.

1          Bentuk- bentuk sastra prosa lama

a.         Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur

ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi

Roro Kidul

b.         Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya

suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang

c.         Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang.

Contoh: Kancil

d.         Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya

berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para

dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah Hikayat, Si Miskin, Hikayat Indra

Bangsawan

e.         Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh:

Cerita Pak Belalang.

f.          Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat

cerita lagi yang  dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh:

Seribu Satu Malam

2.         Ciri- cirri prosa lama

a.         Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan

masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.

b. I       stanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga

raja, bersifat feodal).

c.         Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng.

Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi.

d.         Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.

e.         Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)

f.          Milik bersama

b.         Prosa Baru

Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah

mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul

sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan

abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah

karangan H. Moekti.

1.         Ciri- cirri prosa baru

a.         Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai

dengan perkembangan masyarakat)

b.         Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari

kehidupan masyarakat sehari-hari)

c.         Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di

dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan

d.         Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat

e.         Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan

jelas

f.          Tertulis

2.         Jenis- jenis prosa

1.         Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari

kecil sampai mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu

masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang,

banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan

atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh:

karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota

Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam

2.         Cerpen adalah jenis prosa yang berisi cerita sebuah

peristiwa kehidupan sang pelaku pada suatu saat, yang tidak

memungkinkan adanya digresi. Pertikaian yang terjadi tidak

menimbulkan perubahan nasib pelaku.

3.         Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih

beberapa orang.

Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi

4.         Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti

cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna

sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar –

Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.

5.         Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang

menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-

orang. Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya

2.5.2    Puisi

Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma,

ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat.

a.         Unsur- unsur puisi

1.         tema adalah tentang apa puisi itu berbicara

2.         amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada

pembaca

3.         rima adalah persamaan-persamaan bunyi

4.         ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang

teratur

5.         metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang

dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris

6.         majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek

estetis maupun maksimalisasi ekspresi

7.         kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih,

haru, mencekam, berapi-api, dll.)

8.         diksi adalah pilihan kata/ungkapan

9.         tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi

b.         Puisi Lama

1.         Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.

2.         Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra

lisan

3.         Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap

bait, jumlah suku kata maupun rima.

c.         Puisi Baru

Puisi baru masuk dalam kesusasteraan Indonesia sebagai

akibat pengaruh kebudayaan bangsa Eropa yang menjajah bangsa

Indonesia. Puisi ini sangat berbeda dengan yang dikenal bangsa

Indonesia. Puisi baru populer di tahun 1930, yakni pada masa

Pujangga Baru.

d.         Puisi Modern

Berbeda dengan puisi lama atau puisi baru yang masih terikat

oleh aturan jumlah baris atau irama, puisi modern merupakan

bentuk puisi yang benar-benar bebas. Puisi modern lebih

mengutamakan isi, bentuk tidak dipentingkan. Oleh sebab itu,

tidaklah mengherankan apabila ada puisi modern yang hanya berisi

beberapa kata atau satu kalimat saja.

2.5.3    Drama

Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek

sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah

drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik

keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan, plot/alur,

perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make

up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara,

busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan

akting (peragaan gerak para pemain).

2.6       Aliran- Aliran Karya Sastra

2.6.1    Realisme

Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan

suatu keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh

aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk

menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan

subjektif. Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan

perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya,

dengan tidak memihak memberi simpati atau antipati. Pengarang

sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.

Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan

seperti kaum romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak

yang berkisar pada golongan

masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur

dan sebagainya.

2.6.2    Naturalisme

Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari

realisme. Jika realisme menyajikan kejadian yang nyata daam

kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung melukiskan kenyataan

tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme adalah

sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun

perbedaannya pada seleksi materi.

2.6.3    Impresionisme

Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang

penyair atau pengarang terhadap sesuatu yang dilihatnya.

Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail, sampai yang

sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme.

2.6.4    Ekspresionisme

Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia

batin, imaji tentang sesuatu yang dipikirkan. Dalam

ekspresionisme ini, pengarang menyatakan sikap jiwanya, emosinya,

tanggapan subyektifnya tentang masalah manusia, ketuhanan,

kemanusiaan. Dalam sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan

kisah, tetapi ia langsung berteriak, menyatakan curahan hatinya.

2.6.5        Absurdisme

Aliran sastra ini munyuguhkan pada ketidakjelasan kenyataan.

Pada dasarnya, yang dihadirkan adalah realitas manusia tetapi

selalu hal-khal yang irasonal, tidak masuk akal. Mengapa

demikian? Karena bentuk sastra absurdisme ini memberi ruang yang

terbuka bagi para apresiator untuk memberi tafsiran masing-masing

dan semuanya dikembakiakan kepada pembaca. Aliran absurdisme

dapat kita temui dalam karangan  Putu Wijaya, Sitor Situmorang,

Budi Darmadan Iwan Simatupang.

2.6.6    Romantisme

Romantisme adalah aliran kesenian kesusasteraan yang

mengutamakan perasaan. Oleh karena itu, romantisme bisa dikatakan

aliran yang mementingkan penggunaan bahasa yang indah.dan bisa

mengharukan.

2.6.7    Determinisme

Determinisme merupakan aliran kesusasteraan yang menekankan

pada takdir.dalam determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-

unsur biologis dan lingkungan bukan oleh sesuatu yang gaib

seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme

berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa

tuhanlah yang menakdirkan demikian. Akan tetapi, takdir itu

diakibatkan oleh sifat biolgis dari orangtua dan linkungan

keadaan masyarakat. TokohYah dalamBelen ggu, Atheis,Neraka Dunia,

Katak Hendak Menjadi Lembu dan Pada Sebuah Kapal adalah beberapa

contoh determinisme.

2.6.8        Idealisme

Idealisme merupakan cabang dari aliran romantik. Rahasia

alam semesta dan misteri kehidupan , dalam realisme dan

naturalisme mengandalkan pada realitas. Sebaliknya, idealisme

menekankan pada ide atau cita-cita. Aliran idealisme adalah

aliran romantik yang mendasarkan citanya pada cita-cita si

peniulis atau pada pengarangnya semata. Pengarang idealisme

memandang jauh ke masa yang akan datang, dengan segala

kemungkinannya yang sangat diharapkan akan terjadi. Pada

dasarnya, idealisme ini mirip ramalan. Pengarang mirip tukang

ramal yang menujumkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ide atau

cita-citanya sendiri. Pengarang merasa yakin bahwa fantasinya

mampu direfleksikan ke dalam realitas, sebagaimana tokohTuti

dalam Layar terkembang, Siti Nurbaya, Katak Hendak Menjadi Lembu,

Pertemuan Jodoh.

2.6.9    Satirisme

Karya sastra yang dimaksudkan untuk menimmbulkan cemooh,

nista, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan

manusia serta pranata; tujuannya untuk mengoreksi penyelewengan

dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa bercampur dengan

kecaman dan ketajaman. Beberapa cerita pendek Budi Darma misalnya

“ Kecap Nomor Satu di Sekeiling Bayi”, dan A.A Navis dalam

kumpulan cerita pendeknya“Robohnya Surau Kami” mrupakan bentuk

dari contoh karya sastra aliran absurdisme di Indonesia.

2.6.10  Lokalisme

Adalah istilah lain untuk jenis cerita lokal. Karya sastra

ini menggambarkan corak atau ciri khas suatu masa atau daerah

tertentu serta pemakainan bahasa atau kata kata daerah yang

bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik atau

keasliannya tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut

mendukung corak setempat.

2.6.11  Didaktikisme

Corak didakitisme merupakan salah satu bentuk sastra

bertendens, yaitu karya sastra yang ditulis dengan maksud

tertentu. Yang diutamakan dalam aliran ini adalah bagaimana

pengarang menyakinkan pembacanya sehingga pembaca itu mampu

mengambil teladan dan makna dari karya sastra itu. Pada zaman

Angkatan Balai Pustaka para pengarang menyajikan bentuk karangan

yang menentang adat dan tradisi.

2.612   Atavisme

Atavisme merupaka suatu ciri bila pengarang atau sastrawan

menampikan kembali bentuk dan unsur sastra lama di dalam

karyanya. Seperti penggunaan pantun, atau mantra.

2.613       Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah aliran di dalam kesusasteraan yang

mula-mula dikenal dalam dunia filsafat. Pada dasarnya aliran

eksistensialisme ini menganut paham bahwa manusia ditentukan oleh

dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh faktor luar diri, seperti

Tuhan, nasib, masyarakat dan keturunan. Eksistensialisme karya

sastra yang menegaskan bahwa pembentukan sifat tabiat manusia

adalah tanggung jawabnya sendiri. Dalam arya sastra ini gaya

bahasa yang khas bukannah sesuatu yang terpenting. Yang

terpenting adalah pandangan pengarang tentang kehidupan dan

keberadaan manusia.

2.6.14             Detektivisme

Cerita detektif merupakan genre fiksi yang menekankan cerita

pada misteri dan teka teki serta ketegangan. Karya ini

mengungkapkan sebuah misteri melalui kumpulan dan tafsiran

isyarat-isyarat tertentu. Hukum yang lazimnya berlaku dalam

cerita detektif adalah bahwa isyarat-isyarat yang menuju

penyelesaian harus diungkapkan tepat ketika sang detektif

menemukan isyarat-syarat tersebut

2.6.15  Popularisme

Cerita Populer merupakan salah satu jenis fiksi yang paling

banyak dibaca dan digemari oleh para pebaca karena sifat utamanya

memberi hiburan. Cerita popular ini sering disebut cerita

picisan. Cerita picisan ini bila ditinjau dari sudut seni sastra

tidak bermutu karena pada umumnya memperlihatkan corak suatu

usaha tidak kearah kepentingan mencari uang belaka. Namun jenis

bacaan popular ini menjadi kesukaan para pembaca karena sifatnya

yang ringan dan gampang dicerna.

2.6.17 Tragedisme

Cerita tragedisme melukiskan pertentangan daintara

protagonis dengan kekuatan yang luar biasa, yang berakhir dengan

keputusasaan atau kehancuran sang protaginis. . karangan dramatik

sering berbentuk sajak, bertema serius dan seih, yang tokoh

utamanya menemui kehancuran karena suatu kelemahan seperti

keangkuhan atau iri hati. Bentuk karya tragedi lebih merupakan

bencana yang dialami para tokoh cerita seperti halnya tokoh-toko

cerita Tohs Mohtar, Motinggo Busye, Bur Rasuanto dan sebagainya.

2.6.18 Ironis- Sarkasme

Karya sastra beraliran ini pemakaiannya untuk mencemooh yang

bersangkutan dengan kontras dari apa yang sebenarnya.

2.6.19 Eksotisisme

Karya sastra yang menunjukkan cirri-ciri eksotisme adalah

yang bersangkut paut dengan latar, tokoh, dan peristiwa yang

mengasyikan, mempesona, dan asing. Dengan kata lain, eksotisime

menunjukkan suatu cirri khas yang sangat spesifik daam penampilan

setting, dimana setting yang dipih terasa aneh dan asing bagi

pembaca.

2.6.20 Futurisme

Aliran dalam sastra yang menganjurkan agar neninggalkan

segala bentuk ekspresi gaya baru, bentuk baru, pokok baru dengan

menekankan pentingnya pengganmbaran kecepatan, kekuatan

dankekerasan. Menurut kaum futuris, karya sastra hendaknya

menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat.

BAB III

 PENUTUP

A. KESIMPULAN

1.         Karya sastra Indonesia memiliki 3 bentuk. Yaitu : bentuk

prosa, bentuk Puisi dan bentuk drama

2.         Prosa adalah karangan bebas. Sedangkan puisi adalah

karangan yang terikat oleh aturan. Dan drama adalah sastra dalam

bentuk pementasan.

3.         Karya sastra memiliki banyak aliran-aliran.

4.         kritik sastra Indonesia memiliki masing-masing zamannya,

masing-masing

pelopornya dan banyak teori baru.

DAFTAR PUSTAKA

1.                  Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta :

Grasindo.

2.                  Ulfah, Suroto. 2000. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra

Indonesia. Jakarta : Erlangga.

3.                  Layun Rampan, Korrie. 1999. Aliran-Jenis Cerita

Pendek. Jakarta : Balai Pustaka.

4.                  Sardjono Pradotokusumo, Partini. 2005. Pengkajian Sastra.

Jakarta : Gramedia.

5.                  Lazarescu Lisa R. “Elements of Literature”. 31 January

2006. 10 September 2006.

http://web.cocc.edu/lisal/literaryterms/elements_of_literature.ht

m