Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana
dalam perkembangannya sastra selalu menghadirkan hidup dan
kehidupan dalam masyarakat. Peristiwa yang digambarkan dalam
karya sastra bisa terjadi dalam kehidupan nyata maupun di luar
alam nyata. Sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi yang
disampaikan melalui bahasa. Dalam hal ini, sastra selain
menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa, juga
mampu mengajak pembaca untuk berkontemplasi menemukan nilai-nilai
dan menghayati kekompleksitasan kehidupan secara mendalam
(Sugiarti, 2002:1).
Sehubungan dengan hal ini, Sugiarti (2002:2) berpendapat,
bahwa karya sastra merupakan khasanah intelektual dengan caranya
sendiri merekam dan menyuarakan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Selain itu, karya sastra berbeda dengan teori-teori,
tidak hanya berbicara kepada intelek pembacanya melainkan secara
keseluruhan kepribadiannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat
dikatakan sebagai bagian integral yang penting dari proses sosial
dan kebudayaan.
Macam-macam karya sastra meliputi puisi, roman, novel,
drama, dan cerpen. Mempelajari dan meneliti karya sastra terdapat
unsur-unsur pembangun, baik unsur intrinsik maupun unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun
karya sastra berkaitan dengan peristiwa cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya
bahasa
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu sastra?
2. Bagaimana sifat karya sastra?
3. Apa saja manfaat karya sastra?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui tentang apa itu sastra.
2. Untuk mengetahui sifat-sifat karya sastra.
3. Untuk mengetahui manfaat karya sastra.
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Sastra
A. Teeuw (1984) dan Luxemburg (1986) mengemukakan bahwa
belum ada seorang pun yang memberikan jawaban yang ketat untuk
pertanyaan tentang definisi sastra. Hal senada diungkapkan pula
oleh B. Rahmanto (2000), Suminto A. Sayuti (2002), dan seorang
sastrawan Malaysia, Ali Ahmad, dalam sebuah tulisan berjudul
“Mencari Definisi Kesusastraan” (dalam Hamzah Hamdani 1988:19-
26).
Lebih jauh Luxemburg (1986:3-4) mengemukakan bahwa usul
untuk mendefinisikan sastra banyak sekali jumlahnya tetapi usul-
usul yang memuaskan tidak banyak. Ia mengemukakan alasan-
alasannya sebagai berikut: (1) Sering orang ingin mendefinisikan
terlalu banyak sekaligus. Sering dilupakan bahwa ada suatu
perbedaan antara sebuah definisi deskriptif mengenai sastra—yang
memberi jawaban terhadap pertanyaan: sastra itu apa?—dan sebuah
definisi evaluatif yang ingin menilai apakah suatu karya sastra
termasuk karya sastra yang baik atau tidak; (2) Sering orang
mencari sebuah definisi “ontologis” mengenai sastra, yaitu sebuah
definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil
melupakan bahwa sastra hendaknya didefinisikan di dalam situasi
para pemakai dan pembaca sastra; (3) Yang berkaitan dengan itu,
sering anggapan mengenai sastra terlalu ditentukan oleh contoh
sastra Barat, khususnya sejak zaman Renaissance, tanpa
menghiraukan bentuk-bentuk sastra yang khas seperti terdapat
dalam lingkungan kebudayaan di luar Eropa, di dalam zaman-zaman
tertentu atau di dalam lingkungan sosial tertentu. Misalnya,
konsep tentang sastra yang diterapkan bagi zaman klasik Eropa dan
bagi lingkungan kebudayaan di luar Eropa sekaligus juga mau
diterapkan bagi lingkungan kebudayaan Eropa-Amerika modern; (4)
Pernah diberikan definisi-definisi yang kurang lebih memuaskan
berkaitan dengan sejumlah jenis sastra, tetapi yang kurang
relevan diterapkan pada sastra pada umumnya. Demikian misalnya
disajikan sebuah definisi yang cocok bagi puisi, sedangkan yang
dicari ialah sebuah definisi yang tepat bagi sastra pada umumnya.
Pendek kata, dalam pandangan Luxemburg, pengertian-
pengertian tentang sastra sendiri sering dimutlakkan dan
dijadikan sebuah tolok ukur atau parameter universal padahal
perlu diperhatikan kenisbian historis sebagai titik pangkal.
Menurut Luxemburg (1986:9-11) tidak mungkin memberikan
sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah
sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang
dengan alasan tertentu diberikan pada sejumlah hasil tertentu
dalam suatu lingkungan kebudayaan. Luxemburg menyebut sejumlah
faktor yang mendorong para pembaca untuk menyebut teks ini sastra
dan teks itu bukan sastra. Sejumlah faktor itu adalah sebagai
berikut: (1) yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-
teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan
komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk
sementara waktu saja. Secara agak dibuat-buat hasil sastra
dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur oleh suatu
lingkungan kebudayaan tertentu; (2) bagi sastra Barat dewasa ini
kebanyakan teks drama dan cerita mengandung unsur fiksionalitas;
(3) puisi lirik tidak begitu saja kita namakan “rekaan”. Di sini
Luxemburg lebih suka menggunakan kategori konvensi distansi; (4)
dalam sastra bahannya diolah secara istimewa. Ini berlaku bagi
puisi maupun prosa; (5) sebuah karya sastra dapat kita baca
menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda…. Sejauh mana tahap-
tahap arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya
sastra tergantung pada mutu karya sastra yang bersangkutan dan
kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra; (6) juga
karya-karya sastra yang bersifat nonfiksi dan yang juga tidak
dapat digolongkan pada puisi, karena ada kemiripan, digolongkan
pada karya sastra; (7) terdapat karya-karya yang semula tidak
dianggap sebagai suatu karya sastra tetapi kemudian dimasukkan ke
dalam kategori sastra.
Luxemburg (1986:11-12) lebih jauh menilai sastra sebagai
berikut: (1) karena sifat rekaannya, sastra secara langsung tidak
mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugah
kita untuk langsung bertindak. Justru oleh karena itu sastra
memberikan kemungkinan dan keleluasaan untuk memperhatikan dunia-
dunia lain, kenyataan-kenyataan yang hanya hidup dalam angan-
angan, sistem-sistem nilai yang tidak dikenal atau yang bahkan
tidak dihargai; (2) sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat
mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh, dengan orang lain;
(3) bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka
batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru atau mengajak kita
untuk mengatur pengalaman tersebut dengan suatu cara baru; (4)
selain itu, bahasa sastra dan sarana-sarana sastra masih
mempunyai nilai tersendiri; (5) dalam lingkungan kebudayaan
sastra merupakan sebuah sarana yang sering dipergunakan untuk
mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam masyarakat.
Sementara itu, Yus Rusyana (1984:298) mengemukakan bahwa
sastra adalah bentuk kegiatan kreatif manusia yang mempergunakan
bahasa sebagai mediumnya. Batasan itu berada dalam suatu cahaya
pemikiran yang sama dengan Wellek dan Austin (1983:3) yang
menyebutkan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, suatu
karya seni. Sedangkan Jakob sumardjo dan Saini KM (1988:3)
mendefinisikan sastra: ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam
suatu bentuk gambararan kongkret yang membangkitkan pesona dengan
alat bahasa.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988:16-17) terdapat
tiga hal yang membedakan karya sastra dengan bukan karya sastra.
Ketiga hal itu adalah: (1) sifat khayali sastra; (2) adanya
nilai-nilai seni; dan (3) adanya cara penggunaan bahasa yang
khas. Karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang
indah. Karya sastra juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa
ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Berdasarkan semua itu,
penilaian terhadap suatu karya sastra sebagai bermutu (atau tidak
bermutu) harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi, dan
bahasanya. Sebenarnya unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri-
sendiri. Semuanya merupakan suatu kesatuan yang tidak mungkin
dipisah-pisahkan. Hanya demi kepentingan analisislah bentuk karya
sastra yang bermutu tadi perlu dibeda-bedakan.
Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988:5-8) mengajukan sepuluh syarat
karya sastra dapat disebut sebagai karya sastra bermutu, yaitu
sebagai berikut: (1) karya sastra adalah suatu usaha merekam isi
jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa; (2)
sastra adalah komunikasi; (3) sastra adalah sebuah keteraturan.
Karya sastra memiliki peraturan sendiri dalam dirinya; (4) sastra
adalah penghiburan; (5) sastra adalah sebuah integrasi; (6) karya
sastra yang bermutu merupakan suatu penemuan; (7) karya sastra
yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya; (8) karya sastra
yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat; (9) karya sastra
yang bermutu merupakan penafsiran kehidupan; dan (10) karya
sastra yang bermutu adalah sebuah pembaruan.
Perihal karya sastra merupakan penafsiran kehidupan,
penemuan dan pembaruan, menjadi pemikiran banyak sastrawan
terkemuka dan menjadikannya sebagai filosofi kerja dalam
aktivitas kesastrawanan mereka. Secara eksplisit hal itu antara
lain dikemukan sastrawan penerima Hadiah Nobel Sastra 2001 asal
Trinidad keturunan India, V.S. Naipaul (2003) dalam pidato
kehormatan yang disampaikannya di Universitas Manhattan yang
diberi judul “Our Universal Civilization”, dan sastrawan penerima
Hadiah Nobel Sastra 1991 asal Afrika Selatan, Nadine Gordimer
(1995).
Terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya-
karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali
(fictionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic values) dan
adanya cara penggunaan bahasa yang khas (special use of
language). Dalam uraian lebih jauh tentang fictionality, esthetic
values dan special use of langauge yang membedakan karya sastra
dengan karya-karya tulis lainnya, Jakob Sumaardjo dan Saini KM
(1988:13) mengemukakan bahwa sifat khayali sastra merupakan
akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptakan dengan daya
khayal; dan walaupun karya sastra hendak berbicara tentang
kenyataan-kenyataan dan masalah kehidupan yang nyata, karya
sastra itu terlebih dulu menciptakan dunia khayali sebagai latar
belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat
direnungkan dan dihayati pembaca. Mengapa sastrawan mempergunakan
dunia khayali sebagai latar belakang kenyataan atau masalah yang
ingin disajikannya kepada pembaca? Jawabnya ialah karena dengan
melalui dunia khayali itu pembaca dapat menghayati kenyataan-
kenyataan dan masalah-masalah di dalam bentuk kongkretnya, dan
yang tersentuh oleh masalah itu tidak hanya pikirannya saja, akan
tetapi juga perasaan dan daya khayalnya. Dengan demikian, pembaca
dapat menjawab (memberi response) terhadap kenyataan atau masalah
yang disajikan dengan seluruh kepribadiannya. Response seperti
itu berbeda dengan yang diberikan pembaca pada karya-karya yang
bukan sastra, misalnya karya-karya ilmiah atau filsafat.
Adanya nilai-nilai seni (estetika) bukan saja merupakan
persyaratan yang membedakan karya sastra dari yang bukan karya
sastra, akan tetapi justru dengan bantuan nilai-nilai itulah
sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas-jelasnya,
sedalam-dalamnya, dan sekaya-kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu
meliputi: keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman (unity
in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan
tekanan yang tepat (right emphasis).
Keutuhan maksudnya ialah suatu karya sastra (puisi, novel,
cerita pendek, drama, atau esai) harus utuh; artinya, setiap
bagian atau unsur yang ada padanya menunjang pada usaha
pengungkapan isi hati sastrawan. Keseimbangan ialah unsur-unsur
atau bagian-bagian karya sastra, baik dalam unsur maupun
bobotnya, harus sesuai atau seimbang dengan faal atau fungsinya.
Keselarasan berkenaan dengan hubungan satu unsur atau bagian
karya sastra dengan unsur atau bagian lain; artinya, unsur atau
bagian itu harus menunjang daya ungkap unsur atau bagian lain
dengan citra atau lambang lain, dan seterusnya. Akan halnya
tekanan yang tepat, unsur atau bagian yang penting harus mendapat
penekanan yang lebih daripada unsur atau bagian yang kurang
penting. Unsur yang penting itu akan dikerjakan sastrawan dengan
lebih saksama, sedangkan yang kurang penting mungkin hanya berupa
garis besar dan bersifat skematik saja.
2.2 Sifat Karya Sastra
1. Karya sastra bersifat khayal(fictionality).
2. Karya sastra memiliki nilai-nilai seni(Aestic Values) yang
meliputi keutuhan(unity), kesatuan dan keragaman(Unityin
Variety), keseimbangan(Balance), keselarasan(Harmoni) dan
Tekanan/focus yang tepat(Right emphasis).
3. Penggunaan bahasa yang khas sebagai media sastra(special us of
language).
2.3. Manfaat Karya Sastra
1. Memberikan kesadaran kepada pembaca mengenai keberan
kebenaran hidup.
2. Memberikn kepuasan dan kegembiraan kepada pembaca.
3. Memberikan peluang kerja untuk penulis.
4. Sastra sebagai Karya Sastra Memiliki Nilai
Estetik Universal
a. Imajinasi(Imajination)
Imajinasi merupakan unsure yang menjadikan karya sastra itu
sebagai karya fiksi.
b. Penciptaan(creation) Penciptaan selalu diakaitkan dengan
proses kreatif.
2.4 Unsur- unsur Karya Sastra
Kita pasti sering membaca salah satu di antara karya
berikut: puisi, cerpen/novel, dan drama. Atau bisa jadi Anda
sering membaca ketiga-tiganya. Ketiga karya tersebut termasuk
dalam jenis tulisan karya sastra. Karya yang bersifat fiksi dan
mempunyai sisi keindahan, baik bahasa maupun isinya.
Karya sastra mempunyai unsur pembangun, yaitu unsur
ekstrinsik dan unsur intrinsik sastra.
2.4.1 Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk karya sastra di luar
karya sastra, meliputi latar belakang pengarang dan keadaan
sosial budaya saat karya itu ditulis.
Unsur ekstrinsik berupa segala sesuatu yang menginspirasi
penulisan karya sastra dan mempengaruhi karya sastra secara
keseluruhan. Unsur ekstrinsik ini meliputi: latar belakang
kehidupan penulis, keyakinan dan pandangan hidup penulis, adat
istiadat yang berlaku pada saat itu, situasi politik (persoalan
sejarah), ekonomi, dsb
2.4.2 Unsur intrinsik
Unsur imstristik adalah unsur yang terkandung di dalam karya
sastra itu sendiri.
Sementara unsur intrinsik terdiri atas:
1. Tema
Pokok persoalan dalam cerita.
2. Karakter
Tokoh dalam cerita. Karakter dapat berupa manusia, tumbuhan
maupun benda
Karekter dapat dibagi menjadi:
Karakter utama: tokoh yang membawakan tema dan memegang
banyak peranan dalam cerita
Karakter pembantu: tokoh yang mendampingi karakter utama
Protagonis : karakter/tokoh yang mengangkat tema
Antagonis : karakter/tokoh yang memberi konflik pada tema dan
biasanya berlawanan dengan karakter protagonis. (Ingat, tokoh
antagonis belum tentu jahat)
Karakter statis (Flat/static character) : karakter yang tidak
mengalami perubahan kepribadian atau cara pandang dari awal
sampai akhir cerita.
Karakter dinamis (Round/ dynamic character): karakter yang
mengalami perubahan kepribadian dan cara pandang. Karakter ini
biasanya dibuat semirip mungkin dengan manusia sesungguhnya,
terdiri atas sifat dan kepribadian yang kompleks.
3. Karakterisasi
Cara penulis menggambarkan karakter. Ada banyak cara untuk
menggali penggambaran karakter, secara garis besar karakterisasi
ditinjau melalui dua cara yaitu secara naratif dan dramatik.
Teknik naratif berarti karakterisasi dari tokoh dituliskan
langsung oleh penulis atau narator. Teknik dramatik dipakai
ketika karakterisasi tokoh terlihat dari antara lain: penampilan
fisik karakter, cara berpakaian, kata-kata yang diucapkannya,
dialognya dengan karakter lain, pendapat karakter lain, dsb.
4. Konflik
Konflik adalah pergumulan yang dialami oleh karakter dalam
cerita. Konflik ini merupakan inti dari sebuah karya sastra yang
pada akhirnya membentuk plot. Ada empat macam konflik, yang
dibagi dalam dua garis besar:
a. Konflik internal
Individu-diri sendiri: Konflik ini tidak melibatkan orang lain,
koflik ini ditandai dengan gejolak yang timbul dalam diri sendiri
mengenai beberapa hal seperti nilai-nilai. Kekuatan karakter akan
terlihat dalam usahanya menghadapi gejolak tersebut
b. Konflik eksternal
(1) Individu – Individu: konflik yang dialami seseorang dengan
orang lain, (2) Individu – alam: Konflik yang dialami individu
dengan alam. Konflik ini menggambarkan perjuangan individu dalam
usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam. (3)
Individu- Lingkungan/ masyarakat : Konflik yang dialami individu
dengan masyarakat atau lingkungan hidupnya.
5. Latar
Keterangan tempat, waktu dan suasana cerita
6. Plot
Jalan cerita dari awal sampai selesai
Eksposisi : penjelasan awal mengenai karakter dan seting
Rising action: bagian cerita yang mulai memunculkan konflik/
permasalahan
Klimaks : puncak konflik/ ketegangan
Falling action: penyelesaian
7. Simbol
Simbol digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak.
Contoh: burung gagak (kematian)
8. Sudut pandang
Sudut pandang yang dipilih penulis untuk menyampaikan
ceritanya.
Orang pertama: penulis berlaku sebagai karakter utama cerita,
ini ditandai dengan penggunaan kata “aku”. Penggunaan teknik ini
menyebabkan pembaca tidak mengetahui segala hal yang tidak
diungkapkan oleh sang narator. Keuntungan dari teknik ini adalah
pembaca merasa menjadi bagian dari cerita.
Orang kedua: teknik yang banyak menggunakan kata ‘kamu’ atau
‘Anda.’ Teknik ini jarang dipakai karena memaksa pembaca untuk
mampu berperan serta dalam cerita.
Orang ketiga: cerita dikisahkan menggunakan kata ganti
orang ketiga, seperti: mereka dan dia.
9. Teknik penggunaan bahasa
Dalam menuangkan idenya, penulis biasa memilih kata-kata
yang dipakainya sedemikian rupa sehingga segala pesannya sampai
kepada pembaca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa yang baik
juga membuat tulisan menjadi indah dan mudah dikenang. Teknik
berbahasa ini misalnya penggunaan majas, idiom dan peribahasa
2.5 Bentuk- bentu Karya Sastra
2.5.1 Prosa
Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat sajak, rima,
baris). Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam
kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama
dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra
bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra
prosa baru.
a. Prosa Lama
Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat
pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya
dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama
ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat.
Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan
sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula- mula timbul
disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya
bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan
kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal
tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu
pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra
Indonesia mulai ada.
1 Bentuk- bentuk sastra prosa lama
a. Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur
ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi
Roro Kidul
b. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya
suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
c. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang.
Contoh: Kancil
d. Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya
berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para
dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah Hikayat, Si Miskin, Hikayat Indra
Bangsawan
e. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh:
Cerita Pak Belalang.
f. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat
cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh:
Seribu Satu Malam
2. Ciri- cirri prosa lama
a. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan
masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.
b. I stanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga
raja, bersifat feodal).
c. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng.
Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi.
d. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.
e. Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)
f. Milik bersama
b. Prosa Baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah
mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul
sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan
abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah
karangan H. Moekti.
1. Ciri- cirri prosa baru
a. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai
dengan perkembangan masyarakat)
b. Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari)
c. Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di
dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan
d. Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
e. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan
jelas
f. Tertulis
2. Jenis- jenis prosa
1. Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari
kecil sampai mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu
masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang,
banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan
atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh:
karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota
Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam
2. Cerpen adalah jenis prosa yang berisi cerita sebuah
peristiwa kehidupan sang pelaku pada suatu saat, yang tidak
memungkinkan adanya digresi. Pertikaian yang terjadi tidak
menimbulkan perubahan nasib pelaku.
3. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih
beberapa orang.
Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
4. Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti
cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna
sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar –
Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.
5. Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang
menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-
orang. Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya
2.5.2 Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma,
ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat.
a. Unsur- unsur puisi
1. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
2. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada
pembaca
3. rima adalah persamaan-persamaan bunyi
4. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang
teratur
5. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang
dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris
6. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek
estetis maupun maksimalisasi ekspresi
7. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih,
haru, mencekam, berapi-api, dll.)
8. diksi adalah pilihan kata/ungkapan
9. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
b. Puisi Lama
1. Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
2. Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra
lisan
3. Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap
bait, jumlah suku kata maupun rima.
c. Puisi Baru
Puisi baru masuk dalam kesusasteraan Indonesia sebagai
akibat pengaruh kebudayaan bangsa Eropa yang menjajah bangsa
Indonesia. Puisi ini sangat berbeda dengan yang dikenal bangsa
Indonesia. Puisi baru populer di tahun 1930, yakni pada masa
Pujangga Baru.
d. Puisi Modern
Berbeda dengan puisi lama atau puisi baru yang masih terikat
oleh aturan jumlah baris atau irama, puisi modern merupakan
bentuk puisi yang benar-benar bebas. Puisi modern lebih
mengutamakan isi, bentuk tidak dipentingkan. Oleh sebab itu,
tidaklah mengherankan apabila ada puisi modern yang hanya berisi
beberapa kata atau satu kalimat saja.
2.5.3 Drama
Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek
sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah
drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik
keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan, plot/alur,
perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make
up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara,
busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan
akting (peragaan gerak para pemain).
2.6 Aliran- Aliran Karya Sastra
2.6.1 Realisme
Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan
suatu keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh
aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk
menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan
subjektif. Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan
perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya,
dengan tidak memihak memberi simpati atau antipati. Pengarang
sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.
Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan
seperti kaum romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak
yang berkisar pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur
dan sebagainya.
2.6.2 Naturalisme
Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari
realisme. Jika realisme menyajikan kejadian yang nyata daam
kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung melukiskan kenyataan
tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme adalah
sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun
perbedaannya pada seleksi materi.
2.6.3 Impresionisme
Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang
penyair atau pengarang terhadap sesuatu yang dilihatnya.
Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail, sampai yang
sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme.
2.6.4 Ekspresionisme
Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia
batin, imaji tentang sesuatu yang dipikirkan. Dalam
ekspresionisme ini, pengarang menyatakan sikap jiwanya, emosinya,
tanggapan subyektifnya tentang masalah manusia, ketuhanan,
kemanusiaan. Dalam sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan
kisah, tetapi ia langsung berteriak, menyatakan curahan hatinya.
2.6.5 Absurdisme
Aliran sastra ini munyuguhkan pada ketidakjelasan kenyataan.
Pada dasarnya, yang dihadirkan adalah realitas manusia tetapi
selalu hal-khal yang irasonal, tidak masuk akal. Mengapa
demikian? Karena bentuk sastra absurdisme ini memberi ruang yang
terbuka bagi para apresiator untuk memberi tafsiran masing-masing
dan semuanya dikembakiakan kepada pembaca. Aliran absurdisme
dapat kita temui dalam karangan Putu Wijaya, Sitor Situmorang,
Budi Darmadan Iwan Simatupang.
2.6.6 Romantisme
Romantisme adalah aliran kesenian kesusasteraan yang
mengutamakan perasaan. Oleh karena itu, romantisme bisa dikatakan
aliran yang mementingkan penggunaan bahasa yang indah.dan bisa
mengharukan.
2.6.7 Determinisme
Determinisme merupakan aliran kesusasteraan yang menekankan
pada takdir.dalam determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-
unsur biologis dan lingkungan bukan oleh sesuatu yang gaib
seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme
berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa
tuhanlah yang menakdirkan demikian. Akan tetapi, takdir itu
diakibatkan oleh sifat biolgis dari orangtua dan linkungan
keadaan masyarakat. TokohYah dalamBelen ggu, Atheis,Neraka Dunia,
Katak Hendak Menjadi Lembu dan Pada Sebuah Kapal adalah beberapa
contoh determinisme.
2.6.8 Idealisme
Idealisme merupakan cabang dari aliran romantik. Rahasia
alam semesta dan misteri kehidupan , dalam realisme dan
naturalisme mengandalkan pada realitas. Sebaliknya, idealisme
menekankan pada ide atau cita-cita. Aliran idealisme adalah
aliran romantik yang mendasarkan citanya pada cita-cita si
peniulis atau pada pengarangnya semata. Pengarang idealisme
memandang jauh ke masa yang akan datang, dengan segala
kemungkinannya yang sangat diharapkan akan terjadi. Pada
dasarnya, idealisme ini mirip ramalan. Pengarang mirip tukang
ramal yang menujumkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ide atau
cita-citanya sendiri. Pengarang merasa yakin bahwa fantasinya
mampu direfleksikan ke dalam realitas, sebagaimana tokohTuti
dalam Layar terkembang, Siti Nurbaya, Katak Hendak Menjadi Lembu,
Pertemuan Jodoh.
2.6.9 Satirisme
Karya sastra yang dimaksudkan untuk menimmbulkan cemooh,
nista, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan
manusia serta pranata; tujuannya untuk mengoreksi penyelewengan
dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa bercampur dengan
kecaman dan ketajaman. Beberapa cerita pendek Budi Darma misalnya
“ Kecap Nomor Satu di Sekeiling Bayi”, dan A.A Navis dalam
kumpulan cerita pendeknya“Robohnya Surau Kami” mrupakan bentuk
dari contoh karya sastra aliran absurdisme di Indonesia.
2.6.10 Lokalisme
Adalah istilah lain untuk jenis cerita lokal. Karya sastra
ini menggambarkan corak atau ciri khas suatu masa atau daerah
tertentu serta pemakainan bahasa atau kata kata daerah yang
bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik atau
keasliannya tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut
mendukung corak setempat.
2.6.11 Didaktikisme
Corak didakitisme merupakan salah satu bentuk sastra
bertendens, yaitu karya sastra yang ditulis dengan maksud
tertentu. Yang diutamakan dalam aliran ini adalah bagaimana
pengarang menyakinkan pembacanya sehingga pembaca itu mampu
mengambil teladan dan makna dari karya sastra itu. Pada zaman
Angkatan Balai Pustaka para pengarang menyajikan bentuk karangan
yang menentang adat dan tradisi.
2.612 Atavisme
Atavisme merupaka suatu ciri bila pengarang atau sastrawan
menampikan kembali bentuk dan unsur sastra lama di dalam
karyanya. Seperti penggunaan pantun, atau mantra.
2.613 Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran di dalam kesusasteraan yang
mula-mula dikenal dalam dunia filsafat. Pada dasarnya aliran
eksistensialisme ini menganut paham bahwa manusia ditentukan oleh
dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh faktor luar diri, seperti
Tuhan, nasib, masyarakat dan keturunan. Eksistensialisme karya
sastra yang menegaskan bahwa pembentukan sifat tabiat manusia
adalah tanggung jawabnya sendiri. Dalam arya sastra ini gaya
bahasa yang khas bukannah sesuatu yang terpenting. Yang
terpenting adalah pandangan pengarang tentang kehidupan dan
keberadaan manusia.
2.6.14 Detektivisme
Cerita detektif merupakan genre fiksi yang menekankan cerita
pada misteri dan teka teki serta ketegangan. Karya ini
mengungkapkan sebuah misteri melalui kumpulan dan tafsiran
isyarat-isyarat tertentu. Hukum yang lazimnya berlaku dalam
cerita detektif adalah bahwa isyarat-isyarat yang menuju
penyelesaian harus diungkapkan tepat ketika sang detektif
menemukan isyarat-syarat tersebut
2.6.15 Popularisme
Cerita Populer merupakan salah satu jenis fiksi yang paling
banyak dibaca dan digemari oleh para pebaca karena sifat utamanya
memberi hiburan. Cerita popular ini sering disebut cerita
picisan. Cerita picisan ini bila ditinjau dari sudut seni sastra
tidak bermutu karena pada umumnya memperlihatkan corak suatu
usaha tidak kearah kepentingan mencari uang belaka. Namun jenis
bacaan popular ini menjadi kesukaan para pembaca karena sifatnya
yang ringan dan gampang dicerna.
2.6.17 Tragedisme
Cerita tragedisme melukiskan pertentangan daintara
protagonis dengan kekuatan yang luar biasa, yang berakhir dengan
keputusasaan atau kehancuran sang protaginis. . karangan dramatik
sering berbentuk sajak, bertema serius dan seih, yang tokoh
utamanya menemui kehancuran karena suatu kelemahan seperti
keangkuhan atau iri hati. Bentuk karya tragedi lebih merupakan
bencana yang dialami para tokoh cerita seperti halnya tokoh-toko
cerita Tohs Mohtar, Motinggo Busye, Bur Rasuanto dan sebagainya.
2.6.18 Ironis- Sarkasme
Karya sastra beraliran ini pemakaiannya untuk mencemooh yang
bersangkutan dengan kontras dari apa yang sebenarnya.
2.6.19 Eksotisisme
Karya sastra yang menunjukkan cirri-ciri eksotisme adalah
yang bersangkut paut dengan latar, tokoh, dan peristiwa yang
mengasyikan, mempesona, dan asing. Dengan kata lain, eksotisime
menunjukkan suatu cirri khas yang sangat spesifik daam penampilan
setting, dimana setting yang dipih terasa aneh dan asing bagi
pembaca.
2.6.20 Futurisme
Aliran dalam sastra yang menganjurkan agar neninggalkan
segala bentuk ekspresi gaya baru, bentuk baru, pokok baru dengan
menekankan pentingnya pengganmbaran kecepatan, kekuatan
dankekerasan. Menurut kaum futuris, karya sastra hendaknya
menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Karya sastra Indonesia memiliki 3 bentuk. Yaitu : bentuk
prosa, bentuk Puisi dan bentuk drama
2. Prosa adalah karangan bebas. Sedangkan puisi adalah
karangan yang terikat oleh aturan. Dan drama adalah sastra dalam
bentuk pementasan.
3. Karya sastra memiliki banyak aliran-aliran.
4. kritik sastra Indonesia memiliki masing-masing zamannya,
masing-masing
pelopornya dan banyak teori baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta :
Grasindo.
2. Ulfah, Suroto. 2000. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra
Indonesia. Jakarta : Erlangga.
3. Layun Rampan, Korrie. 1999. Aliran-Jenis Cerita
Pendek. Jakarta : Balai Pustaka.
4. Sardjono Pradotokusumo, Partini. 2005. Pengkajian Sastra.
Jakarta : Gramedia.
5. Lazarescu Lisa R. “Elements of Literature”. 31 January
2006. 10 September 2006.
http://web.cocc.edu/lisal/literaryterms/elements_of_literature.ht
m