8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Pelayanan
1. Pengertian Kualitas Pelayanan
Pelayanan menurut Kasmir (2017: 47) adalah tindakan atau perbuatan
seseorang atau suatu organisasi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan,
sesama karyawan, dan juga pimpinan. Pelayanan dan pemberian dukungan kepada
pelanggan menurut Armistead dan Clark (1999: 56-57) adalah kemampuan
karyawan dalam melaksanakan tugasnya yaitu memberikan layanan dan dukungan
dengan penuh komitmen serta kemampuan memecahkan masalah pada saat
pemberian layanan itu berlangsung. Rusydi (2017: 39) berpendapat bahwa
kualitas pelayanan adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan
terbaik yang bermutu dibandingkan dengan pesaingnya.
American National Standards Institute (ANSI) dan American Society for
Quality (ASQ) (dalam Haksever dkk, 2000: 330-331) berpendapat bahwa kualitas
adalah totalitas dari setiap fitur dan karakteristik dari suatu produk atau jasa yang
mengandalkan pada tiap-tiap kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan
konsumen. Kualitas layanan dapat dijelaskan sebagai konsepsi multidimensional
yang dibangun melalui evaluasi terhadap kosntruksi dari sejumlah atribut yang
terkait dengan jasa (Utami, 2006: 245). Lewis dan Booms (dalam Tjiptono 2017:
142) mengemukakan bahwa kualitas layanan bisa diartikan sebagai tolak ukur
9
seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi
atau harapan dari pelanggan.
Menurut Lovelock dan Wright (2002: 265-266) mengatakan bahwa persepsi
tentang kualitas didasarkan dalam waktu yang jangka panjang, evaluasi kognitif,
dan proses pemberian layanan. Manfaat dari kualitas layanan terakumulasi dari
waktu ke waktu atau dapat dikatakan dalam jangka panjang sehingga perusahaan
jasa harus mengidentifikasi upaya pemberian kualitas pelayanan yang tepat dan
melaksanakannya secara efektif. Garvin (dalam Lovelock dan Wirtz, 2004: 407)
mengidentifikasi perspektif mengenai kualitas dalam lima arti yang berbeda
sesuai dengan konteksnya, salah satu diantaranya adalah definisi dalam kacamata
konsumen, yang berarti kualitas diawali dengan sebuah jaminan bahwa kualitas
terletak dimata orang yang melihatnya. Perspektif ini cenderung bersifat
subjektif, karena berorientasi pada permintaan dan mengakui bahwa pelanggan
yang berbeda memiliki keinginan serta kebutuhan yang berbeda.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas
pelayanan adalah tindakan dan kemampuan karyawan dalam suatu perusahaan
yang dilakukan dengan penuh komitmen untuk memberikan pelayanan yang
terbaik dan bermutu kepada konsumen, sesama karyawan, maupun pimpinan
perusahaan.
2. Dimensi Kualitas Pelayanan
Menurut Gronroos (dalam Utami, 2006: 246) menyatakan bahwa kualitas
layanan terdiri dari dua dimensi, yaitu:
10
a. Dimensi kualitas teknis (techincal quality), yaitu apa saja yang diperoleh
konsumen,
b. Dimensi fungsional (functional quality), yaitu dengan cara bagaimana
konsumen memperoleh jasa.
Menurut Brady dan Cronin (dalam Utami, 2006: 252) menyatakan adanya
tiga dimensi utama sebagai alternatif dari dimensi kualitas layanan, yaitu:
a. Kualitas interaksi (interaction quality): kontak yang terjadi pada proses
penyampaian jasa dalam pertemuan antara penyedia jasa dengan konsumen,
dan hal tersebut merupakan kunci penentu dari evaluasi yang dilakukan
konsumen terhadap kualitas layanan.
b. Kualitas hasil (outcome quality): didefinisikan sebagai evaluasi yang dilakukan
konsumen terhadap hasil dari aktivitas layanan jasa yang diterimanya,
termasuk ketepatan waktu dalam pelayanan jasa.
c. Kualitas lingkungan (environment quality) terkait dengan seberapa jauh dan
seberapa besar fitur berwujud (tangible feature) dari proses penyampaian
layanan yang kemudian memainkan peran dalam mengembangkan persepsi
konsumen terhadap kualitas layanan jasa secara keseluruhan.
Menurut Davis dan Heineke (2003: 295) kualitas layanan itu sendiri adalah
suatu konsep yang sangat luas yang mencakup banyak dimensi diantaranya
adalah:
a. Keramahan karyawan pada saat melayani pelanggan,
b. Kemudahan akses untuk mendapatkan layanan,
c. Pengetahuan karyawan,
11
d. Kecepatan pelayanan kepada pelanggan,
e. Kenyamanan saat menunggu pelayanan.
Menurut Lovelock dan Wright (2002: 266-267) membagi kualitas pelayanan
ke dalam lima dimensi sebagai berikut:
a. Keandalan (reliability) adalah perusahaan yang dapat diandalkan dalam
memberikan layanan seperti yang telah dijanjikan dari waktu ke waktu.
b. Berwujud (tangibles) adalah terkait apa saja yang dilakukan oleh penyedia
layanan atau perusahaan yang dapat berupa fasilitas fisik, situs website,
peralatan pekerja, dan penyampaian komunikasi.
c. Ketanggapan (responsiveness) adalah kemampuan yang dimiliki oleh
karyawan dalam suatu perusahaan untuk memberikan bantuan dan layanan
yang cepat kepada konsumen.
d. Jaminan dan Kepastian (assurance) adalah karyawan yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam memberikan pelayanan, sopan, kompeten,
dan dapat dipercaya oleh konsumen.
e. Empati (empathy) adalah kemampuan karyawan suatu perusahaan dalam
memberikan layanan yang penuh perhatian kepada konsumen.
Garvin (dalam Haksever dkk, 2000: 331) mengidentifikasi dimensi kualitas
pelayanan menjadi delapan dimensi, yaitu:
a. Kinerja adalah karakteristik dimensi dasar yang dimiliki oleh karyawan dan
dapat diukur.
b. Fitur dapat dikatakan sebagai suatu tambahan ekstra yang melengkapi
pemberian produk.
12
c. Keandalan mengacu pada kemungkinan bahwa suatu produk akan menjalankan
fungsi yang dimaksudkan untuk suatu periode waktu tertentu dalam kondisi
lingkungan tertentu pula.
d. Kesesuaian adalah dimana adanya suatu kesesuaian antara produk dengan
spesifikasi yang dimilikinya.
e. Daya tahan adalah jumlah penggunaan yang didapat konsumen dari suatu
produk sebelum secara fisik memburuk atau penggunaan dari suatu produk
yang bersifat berkelanjutan.
f. Kemampuan melayani mengacu pada kemudahan dan kecepatan perbaikan dan
pelayanan serta kesopanan karyawan dalam melayani konsumen.
g. Estetika termasuk sifat-sifat subjektif konsumen seperti bentuk produk yang
terlihat, terasa, suara, rasa atau bau dari produk tersebut.
h. Kualitas yang dirasakan adalah persepsi yang telah terbentuk dalam pemikiran
konsumen sebagai akibat dari iklan, promosi merek, dari mulut ke mulut, atau
pengalaman pribadi yang digunakan.
Swan dan Combs (dalam Palmer, 2001: 208) membagi dua dimensi penting
dalam kualitas pelayanan yaitu:
a. Dimensi Instrumental : merupakan aspek fisik atau berwujud dari suatu
layanan.
b. Dimensi Expressive : berkaitan dengan aspek-aspek tidak berwujud atau aspek-
aspek psikologis.
Zeithaml, dkk (dalam Lovelock dan Wirtz, 2004: 409) mengidentifikasi
sepuluh kriteria dalam mengevaluasi kualitas layanan, diantaranya adalah:
13
a. Kredibilitas; berupa kepercayaan dan kejujuran yang diberikan oleh penyedia
layanan.
b. Keamanan; berupa kebebasan dari rasa takut atau bahaya, resiko dan keragu-
raguan yang dirasakan oleh konsumen.
c. Akses; mudah didekati dan kemudahan dalam menghubungi atau melakukan
kontak kepada penyedia jasa.
d. Komunikasi; mendengarkan apa yang dikatakan oleh konsumen, dan
membantu konsumen untuk mendapatkan informasi sesuai dengan bahasa yang
dimengerti oleh konsumen.
e. Mengerti konsumen; memunculkan upaya untuk mengenal dan memahami
konsumen, serta mengerti apa yang dibutuhkan oleh konsumen.
f. Berwujud; penampilan berupa fasilitas-fasilitas fisik, peralatan yang digunakan
karyawan, dan pemberian materi dalam berkomunikasi dengan baik.
g. Keandalan; kemampuan untuk memberikan layanan yang telah dijanjikan
kepada konsumen dengan handal dan akurat.
h. Ketanggapan; kesediaan untuk mau membantu konsumen dan kemampuan
untuk memberikan pelayanan yang cepat kepada konsumen.
i. Kompetensi; memiliki keterampilan dan pengetahuan terkait produk yang
dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kepada konsumen.
j. Kesopanan; sikap sopan atau rasa hormat yang diberikan oleh penyedia jasa
kepada konsumen, penuh pertimbangan dalam bertindak, dan keramahan
karyawan saat melakukan kontak dengan konsumen.
14
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi-
dimensi kualitas pelayanan meliputi ketanggapan, pengetahuan kepastian dan
jaminan, kesopanan serta sikap empati dalam melakukan pelayanan.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas Pelayanan
Faktor–faktor yang memengaruhi kualitas layanan agar dapat menyediakan
layanan yang melebihi standar menurut Utami (2006: 263-264) adalah:
a. Memberi informasi dan pelatihan; karyawan toko atau penyedia jasa harus
memahami barang dagangan yang ditawarkan, maupun kebutuhan pelanggan
sehingga dengan informasi ini karyawan dapat menjawab pertanyaan dan
menyarankan produk ke pelanggan.
b. Menyediakan dukungan emosional; layanan penyedia jasa harus mempunyai
pendukung untuk menyampaikan layanan yang diinginkan oleh pelanggan.
c. Meningkatkan komunikasi internal dan menyediakan pendukung; ketika
melayani pelanggan, karyawan sering harus mengatur konflik antara kebutuhan
pelanggan dan kebutuhan perusahaan. Ketika karyawan yang bertanggung
jawab diberi untuk menyediakan layanan diberi hak untuk membuat keputusan
penting, biasanya kualitas layanannya justru meningkat.
d. Menyediakan perangsang; beberapa ritel menggunakan perangsang, seperti
membayar komisi pengawas, memberikan komisi untuk target penjualan untuk
memotivasi karyawan, dan perangsang ini dapat memotivasi tingginya kualitas
layanan.
15
Faktor yang memengaruhi Pelayanan menurut Kasmir (2017: 6-7)
diantaranya adalah:
a. Jumlah tenaga kerja; banyaknya tenaga kerja yang ada dalam suatu perusahaan.
b. Kualitas tenaga kerja; meliputi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh tenaga kerja.
c. Motivasi karyawan; suatu dorongan yang dimiliki oleh karyawan untuk
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.
d. Kepemimpinan; proses mempengaruhi individu, biasanya dilakukan oleh
atasan kepada bawahan supaya dapat bertindak sesuai dengan kehendak atasan
demi tercapainya tujuan perusahaan.
e. Budaya organisasi; sebuah sistem dalam suatu perusahaan yang dianut oleh
semua anggota organisasi dan menjadi pembeda antara organisasi yang satu
dengan organisasi yang lain.
f. Kesejahteraan karyawan; pemenuhan kebutuhan-kebutuhan karyawan oleh
suatu perusahaan.
g. Lingkungan kerja dan faktor lainnya meliputi sarana dan prasarana yang
digunakan, teknologi, lay out gedung dan ruangan, kualitas produk dan lain
sebagainya.
Menurut Tjiptono (2017: 160-164) faktor–faktor yang memengaruhi
kualitas layanan adalah sebagai berikut:
a. Produksi dan konsumsi yang terjadi secara simultan; salah satu karakteristik
unik dari jasa atau layanan adalah inseparability, yang artinya jasa atau layanan
diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan sehingga hal ini kerap kali
16
membutuhkan kehadiran dan partisipasi pelanggan dalam proses penyampaian
layanan. Sehingga hal ini dapat memunculkan berbagai macam persoalan yang
berhubungan dengan interaksi antara penyedia layanan dan pelanggan layanan
bisa saja terjadi. Beberapa hal yang mungkin dapat memunculkan dampak
negatif terhadap persepsi kualitas layanan adalah:
1) Tidak terampil dalam melayani pelanggan,
2) Cara berpakaian karyawan kurang sesuai dengan konteks,
3) Tutur kata karyawan kurang sopan atau bahkan menyebalkan,
4) Bau badan karyawan yang mengganggu kenyamanan pelanggan,
5) Karyawan selalu cemberut atau pasang tampang “angker”.
b. Intensitas tenaga kerja yang tinggi; keterlibatan karyawan secara intensif dalam
penyampaian layanan dapat pula menimbulkan masalah kualitas, yaitu berupa
tingginya variabilitas layanan yang dihasilkan. Misalnya terkait masalah upah
rendah, pelatihan yang kurang memadai, atau bahkan tidak sesuai dengan
kebutuhan organisasi, tingkat perputaran karyawan terlalu tinggi, motivasi
kerja karyawan rendah, dan lain-lain.
c. Dukungan terhadap pelanggan internal kurang memadai; dukungan tersebut
bisa berupa peralatan (perkakas atau peralatan, material, pakaian seragam),
pelatihan keterampilan, maupun informasi (misalnya prosedur operasi), selain
itu juga pemberdayaan karyawan seperti kemampuan untuk mengendalikan dan
menguasai cara melaksanakan pekerjaan dan tugasnya, memahami konteks
dimana pekerjaannya dilaksanakan dan kesesuaian pekerjaannya dalam
rerangka pekerjaan yang lebih luas (big picture), bertanggung jawab atas
17
output kerja pribadi dan mengemban tanggung jawab bersama atas kinerja unit
dan organisasi.
d. Gap komunikasi; gap komunikasi bisa berupa:
1) Penyedia layanan memberikan janji yang terlalu berlebihan, sehingga tidak
mampu untuk memenuhinya,
2) Penyedia layanan tidak bisa selalu atau salah menyajikan informasi terbaru
kepada para pelanggan, misalnya yang berkaitan dengan perubahan
prosedur atau aturan, perubahan susunan barang di rak pajangan pasar
swalayan, perubahan kemasan, perubahan harga, dan lain–lain.
3) Pesan komunikasi yang disampaikan oleh penyedia layanan tidak dipahami
pelanggan,
4) Penyedia layanan tidak memperhatikan atau tidak segera menindaklanjuti
keluhan dan atau saran yang disampaikan oleh para pelanggan.
e. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama; hal ini
memunculkan tantangan bagi penyedia layanan dalam hal kemampuan
memahami kebutuhan spesifik pelanggan individual dan memahami perasaan
pelanggan terhadap penyedia layanan dan layanan spesifik yang diterima.
f. Perluasan atau pengembangan layanan secara berlebihan; bila terlampau
banyak layanan baru dan tambahan terhadap layanan yang sudah ada, hasil
yang didapatkan belum tentu optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan
timbul masalah–masalah seputar standar kualitas layanan.
g. Visi bisnis jangka pendek; misalnya orientasi pada pencapaian target penjualan
dan laba tahunan, penghematan biaya sebesar-besarnya, peningkatan
18
produktivitas tahunan, dan lain – lain bisa merusak kualitas layanan yang
sedang dibentuk untuk jangka panjang.
Selain itu, Lovelock dan Wright (2002: 267) juga megungkapkan faktor-
faktor yang dapat memengaruhi karyawan dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggan diantaranya adalah:
a. Faktor internal: karena setiap orang berbeda-beda kepribadiannya,
kemampuannya, dan perilakunya.
b. Faktor situasional: seperti perilaku yang dimunculkan oleh setiap pelanggan,
komplesitas tugas, serta kondisi fisik dan mental karyawan.
Berdasarkan beberapa pegertian di atas disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi kualitas pelayanan meliputi pelatihan dan pemberian
informasi kepada karyawan, motivasi kerja karyawan, kemampuan komunikasi,
pemberian dukungan kepada pelanggan, kepribadian seseorang, dan pengaruh
faktor situasional.
B. Motivasi Kerja
1. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Wardoyo, 2017: 47)
motivasi adalah dorongan-dorongan yang timbul pada diri seseorang baik secara
sadar maupun secara tidak sadar yang berfungsi untuk melakukan suatu tindakan
dengan tujuan tertentu. Menurut American Encyclopedia (dalam Hasibuan, 2007:
143) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kecenderungan yang ada dalam
diri seseorang yang dapat membangkitkan topangan dan mengarahkan tindak-
19
tanduknya. Menurut Rue dan Byars (2005: 271) motivasi selalu membutuhkan
motif yang mengarah pada pencapaian tujuan, sehingga motivasi kerja adalah hal-
hal yang berfungsi untuk mendorong perilaku seseorang, mengarahkan perilaku
tersebut ke arah tujuan tertentu, dan mengatur bagaimana perilaku ini
dipertahankan. Motivasi kerja adalah suatu keadaan di mana usaha dan kemauan
keras yang dimiliki oleh seseorang dapat diarahkan kepada pencapaian hasil–hasil
atau tujuan tertentu, hasil–hasil yang dimaksudkan disini dapat berupa
produktivas, kehadiran atau perilaku kerja kreatif lainnya. (Sopiah, 2008: 170).
Motivasi kerja menurut Sofyandi dan Garniwa (2007: 99) adalah suatu dorongan
untuk meningkatkan usaha seseorang dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi,
dalam batas-batas kemampuan yang dimiliki untuk memberikan suatu kepuasan
atas kebutuhan seseorang.
Moorhead dan Griffin (2013: 86), mengatakan bahwa motivasi kerja adalah
serangkaian kekuatan yang menyebabkan orang untuk terlibat dalam suatu
perilaku, bukan beberapa perilaku lainnya. Menurut Kertonegoro (dalam
Darodjat, 2015:188) berpendapat motivasi kerja merupakan kemauan yang
dimiliki oleh seseorang untuk melakukan tingkat upaya yang tinggi untuk
mencapai tujuan organisasi, sepanjang upaya itu juga memenuhi kebutuhan
individunya. Motivasi kerja mengacu pada proses dimana usaha seorang
karyawan diberi energi atau dorongan, kemudian diarahkan, dan terus menerus
secara berkelanjutan menuju tercapainya suatu tujuan yang hendak dicapai.
(Robbins dan Coulter, 2010:109). Motivasi kerja menurut Daft (2010: 373) dapat
18
diartikan sebagai kekuatan atau energi yang muncul dari dalam diri seorang
karyawan maupun dari luar diri
19
seorang karyawan dan membangkitkan semangat serta ketekunan untuk mencapai
sesuatu yang diinginkan. Menurut Hariandja (2007: 321) motivasi kerja adalah
faktor–faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan
seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha
yang keras atau lemah. Sedangkan menurut Duncan (dalam Darodjat, 2015: 187)
dalam perspektif atau pandangan manajemen, motivasi kerja adalah usaha sadar
yang dilakukan seseorang untuk memengaruhi perilakunya agar supaya mengarah
tercapainya tujuan organisasi.
Menurut Newstrom (dalam Wibowo, 2013: 110) menyatakan bahwa
motivasi kerja adalah hasil dari beberapa kumpulan kekuatan internal dan
eksternal yang menyebabkan pekerja memilih jalan untuk bertindak yang sesuai
dan menggunakan perilaku-perilaku tertentu. Menurut Flippo (dalam Hasibuan,
2007: 143) menyatakan bahwa motivasi kerja adalah suatu keahlian yang dimiliki
oleh seseorang atau atasan, dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau
bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi
dapat tercapai sekaligus. Menurut Campbell (dalam Makmur, 2008: 179)
menyatakan bahwa motivasi kerja berhubungan dengan arah perilaku seseorang,
kekuatan respon atau usaha seseorang setelah karyawan memilih mengikuti
tindakan tertentu, dan ketahanan perilaku, atau berapa lama orang terus menerus
berperilaku menurut cara tertentu.
Motivasi artinya sebab, alasan dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang
untuk berbuat suatu tindakan; atau suatu ide pokok yang selalu berpengaruh besar
terhadap tingkah laku manusia. Motivasi bekerja tidak hanya berwujud kebutuhan
20
ekonomis saja atau dalam bentuk uang, tetapi bisa juga dalam bentuk kebutuhan
psikis untuk aktif berbuat atau melakukan sesuatu (Kartono, 2002: 147). Menurut
Colquitt, dkk (dalam Wibowo, 2013:111) memberikan definisi motivasi kerja
sebagai sekumpulan kekuatan energetik seseorang yang berawal baik dari dalam
maupun diluar pekerja, dimulai dari usaha yang berkaitan dengan proses
melakukan pekerjaan, dan mempertimbangkan arah, intensitas dan ketekunannya.
Kretner dan Kinicki (2005: 248) mengemukakan bahwa motivasi kerja adalah
proses-proses psikologis yang meningkatkan dan mengarahkan perilaku para
karyawan, menetapkan tindakan-tindakan sukarela yang mengarah pada tujuan
atau sasaran organisasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
motivasi kerja adalah sekumpulan dorongan atau usaha yang mengarahkan
perilaku seseorang agar dapat mencapai hasil atau tujuan yang diharapkan.
2. Aspek-aspek Motivasi Kerja
Aspek-aspek dalam motivasi kerja menurut Sopiah (2008: 169-170) antara
lain:
a. Usaha
Karakteristik pertama dari motivasi kerja, yakni usaha, menunjuk kepada
kekuatan yang dimiliki seseorang untuk memunculkan perilaku kerja atau
jumlah yang ditunjukkan oleh seseorang dalam pekerjaannya. Tegasnya hal ini
melibatkan berbagai macam kegiatan atau upaya baik yang nyata maupun yang
kasat mata.
23
b. Kemauan keras
Karakteristik pokok motivasi kerja yang kedua menunjuk kepada tekad atau
kemauan keras yang ditunjukkan oleh seseorang ketika menerapkan usahanya
kepada tugas–tugas pekerjaannya. Dengan memiliki kemauan keras, maka
apabila segala usaha akan dilakukan mengalami kegagalan maka tidak akan
membuat orang tersebut patah arang untuk terus berusaha sampai tercapainya
tujuan.
c. Arah atau tujuan
Karakteristik motivasi kerja yang ketiga berkaitan dengan arah yang hendak
dituju oleh usaha dan kemauan keras yang dimiliki oleh seseorang.
Aspek-aspek motivasi kerja menurut Wood, dkk (2010: 78) antara lain:
a. Tingkatan (level) yaitu jumlah usaha yang dilakukan oleh individu,
b. Arah (direction) dapat diartikan sebagai usaha individu dalam mengarahkan
perilaku dengan mempertimbangkan perilaku apa yang akan dimunculkan
dengan melihat alternatif-alternatif yang ada,
c. Ketekunan (presistence) yaitu dengan melihat seberapa lama individu dapat
memunculkan perilaku tersebut.
Robbins dan Judge (2015: 127-128) menyatakan tiga aspek dalam motivasi
kerja diantaranya adalah:
a. Kekuatan (intensity) menggambarkan seberapa kerasnya seseorang dalam
berusaha,
b. Arahan (direction) memberikan hasil kinerja agar dapat disalurkan dalam suatu
arahan (direction) yang memberikan keuntungan bagi organisasi,
24
c. Ketekunan (persistence) mengukur berapa lama seseorang dapat
mempertahankan upayanya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas disimpulkan bahwa aspek-aspek
motivasi kerja meliputi usaha, kemauan keras, dan tujuan yang hendak dicapai
oleh karyawan maupun organisasi.
C. Hubungan antara Motivasi Kerja Pramuniaga dengan Kualitas
Pelayanan Robinson Department Store
Semarang
Keberadaan kualitas pelayanan menjadi sangat penting bagi setiap
perusahaan karena dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
konsumen dapat meningkatkan kepuasan konsumen serta daya tarik produk demi
tercapainya tujuan organisasi. Selain itu, kualitas pelayanan sangat terkait dengan
proses evaluasi yang dilakukan oleh konsumen. Kasmir, (2017: 64) berpendapat
bahwa kualitas pelayanan adalah kemampuan dari suatu perusahaan dalam hal
memberikan pelayanan yang memberikan dampak langsung terhadap kepuasan
kepada pelanggan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Kemampuan
memberikan kepuasan tersebut ditunjukkan oleh kemampuan sumber daya
manusia dalam melayani dan ketersediaan sarana serta prasarana yang dimiliki
suatu perusahaan untuk menunjang proses pemberian pelayanan tersebut.
Kualitas pelayanan yang buruk di Robinson Department Store Semarang
tampak dari pemberian pelayanan yang lambat, kurang adanya ketanggapan
kepada konsumen, membeda-bedakan standar pelayanan antara konsumen satu
27
dengan yang lainnya, tidak melaksanakan standar pelayanan konsumen yang
sudah ada di perusahaan, ketidaktepatan pemberian informasi terkait produk.
Sugiyanti dalam Muttaqin, dkk (2013: 248), juga berpendapat bahwa faktor
manusia dalam pemberian layanan sangat berpengaruh terhadap kepuasan total
pelanggan, sehingga untuk itu maka dalam memberikan pelayanan, motivasi dari
pemberi layanan merupakan hal yang mendasari. Motivasi kerja menurut Bangun,
(2012: 312) adalah suatu kondisi yang mendorong orang lain untuk dapat
melaksanakan tugas–tugas sesuai dengan fungsinya dalam organisasi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pebriyanti, dkk (2017: 265) yang
mengukur pengaruh kompetensi dan motivasi kerja terhadap kualitas layanan
pada KPKNL Palu, menunjukkan bahwa motivasi kerja mempunyai peranan yang
penting dalam meningkatkan kualitas layanan. Adanya standar kualitas pelayanan
di suatu perusahaan, karyawan akan dapat memberikan pelayanan-pelayanan yang
berkualitas dan kepuasan konsumen juga akan terpenuhi. Kemampuan
memberikan pelayanan yang berkualitas sangat erat kaitannya dengan motivasi
kerja. Menurut Lupiyoadi dalam Lase, Dani T (2018: 15-16), kualitas pelayanan
yang ditampilkan oleh setiap karyawan merupakan gambaran dari motivasi kerja
yang dimiliki oleh karyawan itu sendiri, sehingga agar kualitas pelayanan
karyawan semakin meningkat maka karyawan perlu untuk memiliki motivasi
kerja.
Kualitas pelayanan dapat dikembangkan melalui peningkatan motivasi kerja
karyawan dan dukungan terhadap pelanggan internal yang memadai (Tjiptono,
2017: 160-164). Intensitas tenaga kerja yang tinggi mengakibatkan karyawan
24
terlibat secara intensif dalam penyampaian suatu layanan sehingga peningkatan
motivasi kerja dapat berdampak langsung terhadap peningkatkan kualitas
pelayanan. Dukungan terhadap pelanggan internal yang memadai juga merupakan
ujung tombak sistem penyampaian layanan. Misalkan karyawan mengikuti
kegiatan pemberdayaan karyawan seperti pelatihan untuk memiliki kemampuan
dalam mengendalikan dan menguasai cara melaksanakan pekerjaan dan tugasnya
maka karyawan tersebut akan memperoleh pengetahuan untuk menerapkannya di
lingkungan kerjanya sebagai salah satu bentuk perilaku pemberian layanan yang
berkualitas kepada konsumen. Kualitas pelayanan yang baik seperti ketanggapan
dalam melayani konsumen, kemampuan komunikasi yang baik kepada konsumen,
pemahaman dan pengetahuan informasi mengenai produk akan membantu
menciptakan pelayanan yang berkualitas dengan pencapaian hasil yang maksimal.
Kualitas pelayanan sangat penting untuk kemajuan dan pertumbuhan
organisasi serta dapat digunakan terutama untuk memotivasi karyawan agar dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada konsumen agar tercapainya
tujuan individu maupun tujuan organisasi. Menurut Haksever, dkk (2000: 329)
kualitas pelayanan bermanfaat untuk meningkatkan loyalitas konsumen,
meningkatkan pangsa pasar dan hasil yang lebih tinggi kepada investor,
persaingan harga walaupun dengan memerlukan biaya yang rendah.
Pengawasan pemberian pelayanan yang berkualitas kepada konsumen terus
menerus dilakukan oleh manajemen agar karyawan termotivasi untuk memberikan
pelayanan secara konstan dan sesuai dengan standar atau peraturan yang ada di
perusahaan. Kualitas pelayanan sangat erat korelasinya dengan kepuasan
25
konsumen dan juga motivasi kerja karyawan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Talle (2016: 210) menunjukkan adanya pengaruh motivasi kerja terhadap kualitas
pelayanan. Motivasi Kerja berpengaruh secara signifikan pada kualitas pelayanan
pada Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Mamuju Utara. Kualitas pelayanan
memberikan sumbangan yang lebih besar daripada komunikasi interpersonal,
sehingga kualitas pelayanan lebih berperan penting dalam upaya peningkatan
kepuasan konsumen, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Weningtyas dan Suseno (2012: 40). Penelitian terkait motivasi kerja juga
dilakukan oleh Setiawan (2015: 52) dan hasilnya menunjukkan bahwa motivasi
kerja karyawan memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja karyawan level
pelaksana di Divisi Operasi PT. Pusri Palembang. Menurut Wibowo (2013: 109-
111), motivasi kerja merupakan kombinasi kekuatan psikologis yang kompleks
dalam diri masing–masing orang serta dorongan untuk bertindak terhadap
serangkaian proses perilaku manusia dengan mempertimbangkan arah, intensitas,
dan ketekunan pada pencapaian tujuan. Penelitian yang dilakukan oleh Aminanda,
Vivi A (2016: 74) juga menunjukkan bahwa semakin termotivasi karyawan dalam
melakukan pekerjaan, maka kualitas pelayanan karyawan tersebut akan tinggi,
demikian pula sebaliknya apabila karyawan tidak termotivasi dalam suatu
pekerjaan maka produktivitas kinerja karyawan rendah, dan motivasi juga dapat
dijadikan sebagai penggerak dalam meningkatkan kualitas pelayanan karyawan.
Perusahaan dalam memotivasi karyawan dilakukan dengan memberikan tanggung
jawab dan kesempatan yang luas bagi karyawan untuk mengambil keputusan
dalam menyelesaikan pekerjaannya. Motivasi bekerja karyawan akan meningkat
26
apabila karyawan diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk menunjukkan
kemampuannya. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan pembinaan,
pengembangan, dan pengarahan sumber daya manusia disertai peningkatan
motivasi yang tinggi dari karyawan karena hal tersebut merupakan salah satu
tujuan dari motivasi kerja yaitu meningkatkan kualitas pelayanan.
D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka peneliti mengajukan
hipotesis sebagai berikut: ada hubungan positif antara motivasi kerja dengan
kualitas pelayanan. Semakin tinggi skor motivasi kerja maka semakin tinggi
kualitas pelayanan, demikian pula sebaliknya.
Top Related