MENGUKUR PRODUKSI TERNAK
I. PERTUMBUHANKata pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ,
jaringan, seekor ternak maupun populasi ternak. Pertumbuhan
menurut Williams (1982) adalah perubahan bentuk atau ukuran seekor
ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun
massa. Menurut Swatland (1984) dan Aberle et al.(2001) pertumbuhan
dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan
bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi
pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak.
Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan
peningkatan yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh
merupakan fungsi dari volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek
yaitu: menyangkut peningkatan massa persatuan waktu, dan
pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai
akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh
Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear,
bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat
tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu: proses-
proses dasar pertumbuhan sel, diferensiasi sel-sel induk menjadi
ektoderm, mesoderm dan endoderm, dan mekanisme pengendalian
pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan
sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau
material-material non protoplasma. Pertumbuhan dimulai sejak
terjadinya pembuahan, dan berakhir pada saat dicapainya
kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi
pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah
terjadi kelahiran (postnatal) .
Pertumbuhan prenatal dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu
periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Pada domba periode
ovum dimulai saat ovulasi sampai terjadinya mplantasi, periode embrio
dimulai dari implantasi sampai terbentuknya organorgan utama seperti
otak, kepala, jantung, hati dan saluran pencernaan, periode fetus
berlangsung sejak hari ke-34 masa kebuntingan sampai terjadinya
kelahiran
Pertumbuhan post natal biasanya dibagi menjadi pertumbuhan pra
sapih dan pasca sapih. Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada
jumlah dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya Pada domba,
pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh genotip, bobot lahir, produksi
susu induk, litter size, umur induk, jenis kelamin anak dan umur
penyapihan. Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan
oleh bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan
bobot sapih serta lingkungan misalnya suhu udara, kondisi kandang,
pengendalian parasit dan penyakit lainnya.
Pertumbuhan hewan yang diukur dalam berat tubuh atau berat
karkas maupun organ, jaringan atau bagaian tubuh tertentu, bila diplot
pada kertas grafik terhadap umurnya, merupakan suatu kurva
berbentuk sigmoid, dengan persamaan :
Disini Wt Ukuran tubuh pada waktu t, A
adalah ukuran maksimum yang dapat dicapai pada waktu t tak hingga,
sedangkan a, b, dan k adalah suatu kontanta yang mempunyai arti
tertentu dalam pertumbuhan dan e adalah bilangan logaritma alami
yang besarnya 2,71828…………
Pertumbuhan terdapat dua fase, yaitu: fase pertama self
accelerating phase, dimana kecepatan tumbuh meningkat, dengan
persamaan Wt = W0ekt , disini W0 ukuran tubuh pada saat lahir atau
menetas dan k adalah kecepatan pertumbuhan
Fase kedua self inhibiting phase dimana pertambahan ukuran tubuh
per unit waktu turun sampai pertambahan ukuran tubuh tersebut
menjadi nol atau mencapai ukuran maksimum, dan dalam keadaan
ini ukuran tubuh dewasa telah tercapai dengan persamaan Wt = A -
bekt. Titik antara kedua fase ini disebut titik balik (“inflection point”).
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
0 20 40 60 80 100
Umur(t)
Uku
ran
Tu
bu
h (
Wt)
Brody (1945) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diukur
dengan tigacara, yakni: (1) laju pertumbuhan kumulatif (cumulative
growth rate), (2) laju pertumbuhan relative (relative growth rate) dan
(3) laju pertumbuhan absolute (absolute growth rate).
a. Pertumbuhan Kumulatif
Kurva laju pertumbuhan kumulatif adalah kurva bobot badan versus
waktu, bentuk urva ini sigmoid. Menurut Tulloh (1978) pertumbuhan
sapi jantan
di bawah kondisi lingkungan yang terkendali dapat digambarkan
sebagai kurva yang berbentuk sigmoid (Gambar 1).
Kurva pertumbuhan kumulatif diperoleh dengan cara menimbang
bobot hidup ternak sesering mungkin, selanjutnya dibuat kurva dengan
aksisnya adalah umur dan ordinatnya adalah bobot hidup. Di bawah
kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan
meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi
sampai dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai bobot badan
A
meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin
menurun, dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah
dicapai kedewasaan. Pertumbuhan selanjutnya adalah pertumbuhan
negatif atau tidak terjadi lagi penambahan bobot badan bahkan terjadi
penurunan bobot badan karena ketuaan .
b. Pertumbuhan Absolut
Menurut Brody (1945) adalah pertambahan bobot badan per unit
waktu atau laju pertumbuhan absolut (LPA). Dapat digambarkan
dengan rumus :
.Dimana : W1 = bobot badan pada umur t1 W2 = bobot badan
pada umur t2 Kurva ini diperoleh dengan cara menggambarkan
pertambahan bobot badan harian versus umur. Pada saat lahir sampai
pubertas terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang semakin
meningkat. Setelah dicapai pubertas, pertambahan harian menurun
sampai dicapai titik nol setelah dicapainya kedewasaan. Setelah
kedewasaan laju pertumbuhannya menjadi negative..
Gambar 1. Kurva pertumbuhan sejak lahir sampai ternak mati
Keterangan :Y = Bobot hidup, Pertambahan bobot badan harian atau persen laju ertumbuhanX = Umur C = Pembuahan B = Kelahiran P = PubertasM = Dewasa tubuh D = Mati
c. Pertumbuhan RelatifMenurut Brody (1945) laju pertumbuhan relatif (LPR) pada “self
accelerating phase” didefinisikan sebagai kecepatan tumbuh absolut
dibagi dengan setengah jumlah bobot badan awal dan bobot badan
akhir pengamatan. Dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut :
(W2 – W1) / (t2 – t1) (ln W2 – ln W1)
LPR = k = --------------------------- atau k = ------------------------
½ (W2 + W1) (t 2 – t1)
Persen laju pertumbuhan selalu menurun sepanjang hidup ternak, laju
pertumbuhan tertinggi dicapai saat terjadinya pembuahan. Meskipun
laju pertumbuhannya sama, ternak yang lebih kecil tumbuh tiga kali
lebih cepat bila perbandingan dibuat dalam persen laju pertumbuhan
(Tabel 1). Ternak dari bangsa yang besar kerangka tubuhnya meskipun
pertambahan bobot badan hariannya lebih tinggi tetapi persen laju
pertumbuhannya lebih kecil bila dibandingkan dengan bangsa yang
kerangka tubuhnya kecil (Tabel 2). Sebagai gambaran untuk
memperjelas penyataan tersebut disajikan data pertumbuhan sapi
bobot 100 dan 300 kg dengan pertambahan bobot badan harian
(PBBH) yang sama (1,0 kg).
Tabel 1. Laju pertumbuhan relatif sapi pada bobot potong 100 dan 300 kg
Bobot Potong Laju PertumbuhanPBBH (kg) % Laju
Pertumbuhan100 1,0 1,0300 1,0 0,3
Sumber : Tulloh (1978)
Tabel 2. Laju pertumbuhan relatif sapi bangsa A dan bangsa B
Bangsa Bobot Potong Laju PertumbuhanPBBH (kg) % Laju
PertumbuhanA 200 0,5 0,25B 500 1,0 0,20
Sumber : Tulloh (1978)
d. Pertumbuhan Alometri
Perkembangan tubuh ternak dapat dipelajari dengan mengukur
pertumbuhan relatif komponen-komponen tubuh dan biasanya
dilakukan dengan teknik pemotongan ternak secara beruntun
(Butterfield, 1988). Dengan menggunakan persamaan alometrik
Huxley (1932) yaitu Y = aXb, dapat diketahui gambaran pertumbuhan
organ atau komponen tubuh secara kuantitatif. Transformasi logaritma
persamaan Huxley akan menghasilkan garis lurus untuk setiap
komponen tubuh terhadap bobot tubuh. Bentuk tranformasi
logaritmanya adalah :
log Y = log a + b log X. atau ln Y = ln a + b ln X
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
b>1
b=1
b<1B
Menurut Natasasmita (1979) dengan mengetahui besaran nilai
koefisien pertumbuhan relatif (b) dari suatu bagian komponen tubuh
(Y) terhadap bobot tubuh (X) di dalam persamaan Alometrik Huxley,
dapat dipelajari fenomena pertumbuhan komponen bersangkutan. Jika
prinsip allometrik Huxley diaplikasikan secara tepat pada sejumlah
individu hewan, kita akan menghasilkan hewan yang mempunyai
komposisi karkas dan bobot yang spesifik selama pertumbuhan
(McDonald et al., 1975). Bila slope atau koefisien pertumbuhan relatif
b=1, maka kedua komponen tubuh tumbuh dengan laju yang sama.
Bila b<1 berarti komponen tubuh (yang diwakili pada sumbu Y)
tumbuh lebih lambat dari bobot tubuh (yang diwakili pada sumbu X),
dan bila b>1 menunjukkan komponen tubuh (Y) bertambah sejalan
dengan peningkatan bobot tubuh (X), atau dapat diinterpretasikan
bahwa kecepatan pertumbuhan relatif komponen tubuh (Y) lebih
tinggi, bila dibandingkan dengan peningkatan bobot tubuh (X)
Koefisisen ini menunjukkan bahwa waktu perkembangan komponen
tubuh (Y) termasuk masak lambat, sehingga potensi pertumbuhan
relatif dari komponen tubuh (Y) termasuk potensi tinggi.
Penggunaan persamaan ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan
relative komponen tubuh selama pertumbuhan lebih tergantung pada
bobot hidup, dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk
mencapai ukuran tersebut dan pakan (Tulloh.1963). Hal ini berarti
bahwa umur fisiologis (berdasarkan bobot hidup) lebih berpengaruh
dari pada umur kronologis (Natasasmita, 1978). Kemudian untuk
mengetahui karakteristik tumbuh kembang komponen tubuh,
Natasasmita (1979) mencoba menginterpretasikan dengan menguji
nilai b terhadap satu dengan formula : (b-1) / Sb. Untuk mencegah
penyimpangan hasil yang didapat dalam analisis ini, dianjurkan agar
pemotongan ternak secara serial, sesuai dengan masa pertumbuhan
atau pada selang bobot potong yang tidak terlalu besar. Tulloh (1963)
menganjurkan pemakaian persamaan alometrik Huxley dalam bentuk
linier dengan alasan penggunaan ratio ataupun persentase dari bagian
tubuh terhadap bobot tubuh secara keseluruhan, dapat memperoleh
gambaran tentang perubahan komponen tubuh selama pertumbuhan
seekor ternak tidak terlalu besar. Hasil penelitian Murray dan Slezacek
(1976) dan Wood et al. (1980) pada domba, mendapatkan bahwa
persentase tulang karkas berkurang sesuai dengan pertambahan umur
maupun bobot tubuh karena nilai koefisien pertumbuhan relative
(b<1) Pulungan dan Rangkuti (1981) .dan Herman (1993) meneliti
domba jantan didapat bahwa persentase tulang berkurang dengan
meningkatnya bobot karkas. Hasil penelitian Hendri (1986) pada
kambing Kacang dan domba Priangan pada tingkat umur yang berbeda
mendapatkan bahwa pertumbuhan komponen tulang dan jaringan ikat
tergolong masak dini, lemak karkas masak lambat dan jaringan daging
tanpa lemak (lean) masak sedang, sehingga persentase bobot tulang
karkas dan jaringan ikatnya berkurang, persentase bobot lemak
meningkat dan persentase daging tanpa lemak (lean) relatif konstan
dengan meningkatnya umur.Herman (1993) dalam penelitian tumbuh-
kembang karkas domba Priangan dan Ekor Gemuk menyatakan bahwa
dengan meningkatnya bobot hidup maka persentase karkas meningkat
(b>1). Dengan meningkatnya bobot karkas, maka persentase otot,
tulang dan jaringan pengikat berkurang (b<1), sedangkan persentase
lemak meningkat (b>1). Dengan meningkatnya lemak karkas pada
domba Priangan maka persentase lemak subkutan konstan (b=1),
lemak intermuskuler berkurang (b<1), lemak ginjal dan lemak pelvis
meningkat (b>1), 21 sedangkan pada domba Ekor Gemuk persentase
lemak subkutan, intermuskuler, ginjal dan pelvis konstan (b=1)
dengan semakin meningkatnya lemak karkas. Secara umum
persentase otot, tulang dan jaringan pengikat selalu lebih tinggi,
sedangkan persentase lemak selalu lebih rendah pada domba Priangan
dibandingkan dengan domba Ekor Gemuk. Bangsa domba sangat
nyata berpengaruh pada intersep bobot otot, tulang, lemak dan
jaringan ikat, sedangkan pada distribusi lemak menunjukkan koefisien
pertumbuhan lemak subkutan, intermuskuler, lemak abdomen, lemak
ginjal dan lemak pelvis tidak nyata dipengaruhi oleh bangsa
domba.Dari segi depot lemak, Herman (1993) menyatakan bahwa
dengan meningkatnya bobot tubuh, maka persentase lemak tubuh
domba Priangan dan Ekor Gemuk semakin meningkat (b>1). Pada
domba Priangan persentase lemak subkutan dan lemak ginjal
meningkat (b>1), lemak intermuskuler, lemak pelvis, lemak rongga
thorax berkurang (b<1) dan lemak rongga abdomen dan lemak ekor
konstan (b=1) dengan meningkatnya lemak tubuh. Pada domba Ekor
Gemuk, lemak subkutan dan lemak rongga abdomen meningkat (b>1),
lemak intermuskuler, lemak pelvis, lemak rongga thorax dan lemak
ekor berkurang (b<1) serta lemak ginjal konstan (b=1) dengan
meningkatnya lemak tubuh. Kempster (1980) menyatakan bahwa pada
sapi, babi dan domba, lemak subkutan berkembang lebih cepat
dibandingkan dengan lemak intermuskuler.Urutan pertumbuhan depot
lemak relatif terhadap total lemak tubuh adalah (1) lemak rongga
perut, (2) lemak subkutan dan (3) lemak intermuskuler. Menurut
Soeparno (1992) lemak menumpuk diberbagai depot dengan
kecepatan yang berbeda dan mempunyai urutan : (1) lemak
mesenterium, (2) lemak ginjal, (3) lemak intermuskuler, dan (4) lemak
subkutan dan yang terakhir tumbuh adalah lemak diantara ikatan
serabut otot yaitu lemak intramuskuler atau marbling.Berdasarkan laju
pertumbuhan maksimumnya, jaringan tubuh mempunyai urutan
pertumbuhan berdasarkan umurnya yaitu (1) jaringan syaraf, (2)
tulang, (3) otot dan (4) lemak.
II. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN TERNAK.
Tumbuh-kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis
kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen. Beberapa faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan sebelum lepas sapih adalah
genotipe, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak perkelahiran,
umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih . Laju pertumbuhan
setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain potensi
pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang
tersedia . Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh
faktor bangsa, heterosis (hybrid vigour) dan jenis kelamin. Pola
pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen
(pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia,
kesehatan dan iklim.
III. SELEKSI TERNAK
Penampakan ekspresi potensi ternak secara mendasar dipengaruhi oleh dua
faktor utama yang sating terkait satu dengan yang lainnya, yakni faktor genetic
dan lingkungan termasuk didalamnya manajemen pemeliharaan secara
menyeluruh. Telah diketahui bahwa lingkungan dan penanganan manajemen
yang memadai atau sesuai dengan kebutuhan ternak tidak akan memberikan
ekpresi produksi (kualitas maupun kuantitas) yang diharapkan jika tidak didukung
dengan potensi genetic ternak yang baik. Begitu pula sebaliknya jika ternak
memiliki potensi genetic yang baik tidak akan terekspresikan secara optimal bila
tidak didukung oleh lingkungan dan manajemen yang maksimal. Dengan
demikian kedua faktor tersebut hendaknya memperoleh perhatian yang sama
seriusnya dalam pemeliharaan komoditas temak yang dilakukan. Pemeliharaan
ternak yang mempunyai nilai genetk tinggi disertai dengan manajemen yang baik
tentunya akan memberikan hasil yang optimal baik dari segi produksi dan
efisiensi usaha.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daging adalah :
1. Pakan.
Pakan yang berkualitas dan dalam jumlah yang optimal akan berpengaruh baik terhadap
kualitas daging. Perlakuan pakan dengan NPB akan meningkatkan daya cerna pakan
terutama terhadap pakan yang berkualitas rendah sedangkan pemberian VITERNA Plus
memberikan berbagai nutrisi yang dibutuhkan ternak sehingga sapi akan tumbuh lebih
cepat dan sehat
2. Faktor Genetik.
Ternak dengan kualitas genetik yang baik akan tumbuh dengan baik/cepat sehingga
produksi daging menjadi lebih tinggi.
3. Jenis Kelamin.
Ternak jantan tumbuh lebih cepat daripada ternak betina, sehingga pada umur yang sama,
ternak jantan mempunyai tubuh dan daging yang lebih besar.
4. Manajemen.
Pemeliharaan dengan manajemen yang baik membuat sapi tumbuh dengan sehat dan
cepat membentuk daging, sehingga masa penggemukan menjadi lebih singkat
Pemuliann dan Pembibitan Ternak
Pemuliaan adalah merupakan suatu usaha untuk memperbaiki atau
meningkatkan mutu genetik ternak melalui pengembanganbiakan ternak-temak
yang memiliki potensi genetik yang baik sehingga diperoleh kinerja atau potensi
produksi yang diharapkan.
Sedangkan arti pembibitan adalah suatu tindakan manusia untuk
menghasilkan ternak bibit, dimana yang dimaksud dengan temak bibit adalah
ternak yang memenuhi persyaratan dan karakter tertentu untuk
dikembangbiakan dengan tujuan standar produksi /kinerja yang ditentukan.
Seorang peternak dapat menentukan dua hat yang berpengaruh terhadap
peningkatan mutu genetic temaknya yakni
melalui
- Memilih ternak yang dipakai sebagai tetua.
- Memilih ternak yang akan dikawinkan,
Alat atau metode yang dapat digunakan antara lain berupa
1 . Seleksi
2. Mengendalikan sistim perkawinan untuk ternaknya.
Dalam pemuliaan temak, seorang peternak cenderung untuk merubah atau
menentukan hat-hat yang terlihat seperti produktifitas ternak pada tingkatan
tertentu yang diinginkan. Untuk melakukannya diperlukan informasi atau data
mengenai sifat-sifat yang akan diturunkan tersebut atau sering disebut dengan
sifat-sifat genetic misalnya seperti bobot badan, produksi telur, warna bulu dan
sebagainya. Beberapa perbedaan sifat-sifat genetika tersebut sangat mudah dan
dapat dilihat, dibedakan dan dikelompokkan, misalnya ternak bertanduk dengan
yang tidak bertanduk, warna kulit tubuh merah ataupun hitam dan sebagainya.
Sifatsifat seperti itu dikenal sebagai sifat kualitatif dan dikontrol oleh sejumlah
kecil gen. Sedangkan kebanyakan sifat-sifat produktif yang menjadi pengamatan
peternak adalah dikontrol oleh pasangan-pasangan gen dan termodifikasi oleh
lingkungan yang dihadapi oleh ternak bersangkutan. Sifat-sifat produksi Jim
dikenal sebagai sifat kuantitatif dan tidak dapat dikelompokkan secara tegas
misalnya produksi daging, susu dan bulu (wool).
1. Sistim Perkawinan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dasar dalam pemuliaan
ternak adalah untuk meningkatkan produksi dan produktifitas ternak melalui
perbaikan atau peningkatan mutu genetiknya. Cara atau metode yang digunakan
terdiri dari sistim perkawinan dan sistim seleksi. Sistim perkawinan yang selalu
dan sering digunakan untuk meningkatkan mutu genetic ternak antara lain :
a. Perkawinan dengan tujuan meningkatkan homosigotas (Inbreeding).
b. Perkawinan dengan tujuan meningkatkan heterogositas (Outbreeding).
2. Sistim Seleksi
Seleksi adalah istilah dalam pemilihan ternak yang menggambarkan proses
pemilihan secara sistimatis ternak-ternak dari suatu populasi untuk dijadikan
tetua generasi berikutnya.
Pada dasarnya seleksi dibagi menjadi dua bentuk yakni:
a. Seleksi Alam Yaitu pemilihan hewan atau ternak menjadi tetua untuk generasi
selanjutnya, yang dilakukan oleh alam. Seleksi alarn yang berlangsung beratus
tahun akan menghasilkan ternak yang mempunyai daya adaptasi dengan
lingkungan alarn sekitar yang berlaku setempat.
b. Seleksi Buatan Seleksi yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan tertentu.
Seleksi buatan selanjutnya dapat dibedakan menjadi
a. Seleksi Individual (Mass Selection)
Yaitu seleksi untuk ternak bibit yang didasarkan pads catatan produkti fitas
masing-masing ternak. Seleksi individual pada ternak sapi adalah cara seleksi
yang paling sederhana dan mudah dilakukan di pedesaan dengan dasar bobot
sapih anak sapi yang ada dan sebagainya.
b. Seleksi Kekerabatan (Family Selection)
Yaitu seleksi individu atas dasar performans kerabat-kerabatnya (misalnya
saudara tiri sebapak atau saudara kandung). Seleksi kerabat dilakukan untuk
memilih calon pejantan sapi perah dengan tujuan untuk meningkatkan produksi
susu yang tidak dapat diukur pada ternak sapi jantan, dengan mengukur
produksi kerabat-kerabat betinanya yang menghasilkan susu.
c. Seleksi Silsilah (Pedigree Selection)
Seleksi yang dilakukan berdasarkan pada silsilah seekor ternak. Seleksi in]
dilakukann untuk memilih ternak bibit pada umur muda, sementara hewan muda
tersebut beium dapat menunjukkan sifat-sifat produksinya. Pemilihan Bibit
Ternak (contoh : ternak knmbing/domba) Pemilihan bibit ternak bertujuan untuk
memperoleh bangsa-bangsa ternak yang memiliki sifat-sifat produktif potensial
seperti memiliki persentase kelahiran anak yang tinggi, kesuburan yang tinggi,
kecepatan tumbuh yang baik serta ppersentasi karkas yang baik dan
sebagainya. Kriteria - kriteria yang biasa dipergunakan sebagai pedoman dalarn
rangka melaksanakan seleksi atau pemilihan bibit ialah : bangsa ternak,
kesuburan dan persentase kelahiran anak, temperamen dan produksi susu
induk, produksi daging dan susu, recording dan status kesehatan temak
tersebut.
1. Bangsa
Pemilihan jenis ternak (kambing/domba) yang hendak diternakan biasanya dipilih
dari bangsa ternak kambing/domba unggul
2. Kesuburan dan persentase kelahiran anak yang tinggi
Seleksi calon induk maupun pejantan yang benar jika dipilih dan turunan yang
beranak kembar dan mempunyai kualitas kelahiran anak yang baik.
3. Temperamen dan jumlah produksi susu induk
Induk yang dipilih hendaknya sebaiknya memiliki temperamen yang baik, mau
merawat anaknya serta selalu siap untuk menyusui anaknya.
4. Penampilan Eksterior
Penampilan eksterior ternak bibit harus menunjukkan kriteria yang baik untuk
bibit baik ternak jantan maupun betinanya (induk). Untuk memberikan penilaian
keadaan atau penampilan eksterior dapat dilakukan dengan melakukan
perabaan/pengukuran ataupun pengamatan.