TUGAS
KEPERAWATAN KOMUNITAS III
PELAYANAN KESEHATAN PRIMER (PHC)
DOSEN : YAESAR WAWAN, SKM, MPH
DISUSUN OLEH :
NAMA : JONATHAN EFRAIM
NIM : 2010.C.02A.0050
TINGKAT : III/A
SEMESTER : VI (ENAM)
YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2013
PELAYANAN KESEHATAN PRIMER (PHC)
A. PENDAHULUAN
Pelayanan Kesehatan Primer / PHC adalah strategi yang dapat dipakai
untuk menjamin tingkat minimal dari pelayanan kesehatan untuk semua
penduduk. PHC menekankan pada perkembangan yang bisa diterima,
terjangkau, pelayanan kesehatan yang diberikan adalah essensial bisa diraih,
yang essensial dan mengutamakan pada peningkatan serta kelestarian yang
disertai percaya pada diri sendiri disertai partisipasi masyakarat dalam
menentukan sesuatu tentang kesehatan.
Adalah Pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metoda
dan tehnologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik
oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat, melalui partisipasi mereka
sepenuhnya, serta deengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan
negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam
semanggat untuk hidup mandiri ( Self reliance ) dan menntukan nasib sendiri
(self Determination).
Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan
kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang
pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan
kesehatan atau kecelakaan. Primary health care pada pokoknya ditunjukan
kepada masyarakat yang sebagian besarnya bermukim di pedesaan, serta
masyarakat yang berpenghasilan rendah di perkotaan. Pelayanan kesehatan
sifatnya berobat jalan (Ambulatory Services).
Fungsi kognitif merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir,
mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan
kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta
kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan
melakukan evaluasi.
Berdasarkan prediksi, Indonesia akan menjadi negara dengan kecepatan
pertumbuhan lansia tertinggi di dunia, yaitu mengalami perubahan sebesar
414% dalam kurun waktu 1990 – 2020. Hal ini diiringi pula dengan
meningkatnya usia harapan hidup dari 66,7 tahun menjadi 70,5 tahun.1
Dengan meningkatnya usia lanjut di populasi, diperkirakan gangguan fungsi
kognitif dan penyakit demensia akan menjadi penyakit yang umum ditemui
pada pelayanan kesehatan primer.
Dokter umum dan petugas kesehatan di tingkat pelayanan primer
memegang peranan penting dan mempunyai kesempatan sangat besar untuk
mendeteksi secara dini, karena awal keluhan yang menyangkut demensia akan
menjadi lebih sering ditemui pada pelayanan kesehatan primer dan
kesempatan dokter umum untuk kontak yang sering dengan pasien maupun
keluarganya. Saat ini, deteksi dini demensia menjadi semakin penting.
Semakin dini dideteksi, semakin besar kemungkinan terapi menjadi lebih
efektif, seperti intervensi sosial, tata laksana pada keadaan premorbid, dan
penggunaan obat-obatan untuk demensia.2,8,9 Selain itu, dapat pula dilakukan
beberapa program pada tingkat pelayanan primer, seperti: (1) Promosi
kesehatan dan membantu masyarakat untuk perawatan diri mereka sendiri
secara lebih efektif; (2) Mengenali gejala dini demensia; (3)
Memformulasikan rencana perawatan dan pendukung terhadap perawatan di
keluarga; (4) Merujuk ke pelayanan spesialis sebagaimana mestinya.
B. GLOBALISASI
Sarana pelayanan kesehatan primer di era globalisasi ini, berupaya
meningkatkan kualitas jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Hal ini
disebabkan karena kualitas jasa dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai
keunggulan kompetitif. Implementasi kualitas jasa yang dilakukan oleh sarana
pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik bagi
pasien dengan tujuan menciptakan kepuasan pasien.
Dengan berkembangnya jumlah rumah sakit, masyarakat memiliki
banyak pilihan untuk menentukan rumah sakit mana yang akan mereka pilih.
Masyarakat akan memilih rumah sakit yang mereka pandang memberikan
kepuasan maksimal bagi mereka. Oleh karena itu diharapkan setiap rumah
sakit hendaknya berorientasi pada kepuasan pasien untuk dapat bersaing
dengan rumah sakit lainnya. Di dalam hal ini rumah sakit harus
mengutamakan pihak yang dilayani yaitu pasien, maka banyak sekali manfaat
yang diperoleh suatu rumah sakit bila mengutamakan kepuasan pasien.
Diantaranya yaitu terciptanya citra positif dan nama baik rumah sakit karena
pasien yang puas tersebut akan memberitahukan kepuasannya kepada orang
lain. Hal ini secara akumulatif akan menguntungkan rumah sakit karena
merupakan pemasaran secara tidak langsung, dan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan rumah sakit, seperti perusahaan asuransi akan lebih
menaruh kepercayaan pada rumah sakit yang mempunyai citra positif.
Metode yang dikembangkan oleh Zeithalm, Parasuman, dan Berry
(1990) banyak dipakai sebagai landasan konsep penelitian tentang kepuasan
pasien di banyak tempat. Model ini menyebutkan bahwa pertanyaan mendasar
yang cukup sensitif untuk mengukur pengalaman konsumen mendapatkan
pelayanan tercakup dalam lima dimensi kualitas pelayanan, yaitu : reliability
(kehandalan), yaitu kemampuan menampilkan pelayanan yang dijanjikan
dengan segera dan akurat, responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan
untuk membantu konsumen dan meningkatkan kecepatan pelayanan,
assurance (jaminan kepastian), yaitu kompetensi yang dimiliki sehingga
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, resiko atau keraguan dan kepastian
yang mencakup pengetahuan, perilaku dan sikap yang dapat dipercaya,
emphaty (perhatian), yaitu sifat dan kemampuan untuk memberikan perhatian
penuh kepada pasien, kemudahan melakukan kontak dan komunikasi yang
baik, tangible (wujud nyata), yaitu penampilan fisik dari fasilitas, peralatan,
sarana informasi atau komunikasi dan petugas atau pegawai( Zeithalm,
Parasuman, dan Berry, 1990 dalam Suryawati,2004).
Lima dimensi kualitas pelayanan tersebut dapat dijadikan alat oleh
Rumah Sakit untuk meningkatkan kepuasan pasien. Untuk mengetahui faktor-
faktor yang paling mempengaruhi tiap-tiap dimensi kepuasan pasien
digunakan metode analisis faktor. Analisis faktor merupakan salah satu bagian
dari analisis interdependensi. Analisis faktor digunakan untuk mereduksi
jumlah variabel yang banyak menjadi variabel baru (faktor) yang jumlahnya
lebih sedikit (Supranto, 2004). Jika pihak Rumah Sakit menggunakan metode
ini untuk mengetahui tingkat kepuasan pasiennya, maka Rumah Sakit tidak
perlu lagi fokus atau memperhatikan pada banyak variabel karena sudah
disarikan (extracted) dari banyak variabel menjadi beberapa faktor, sehingga
pihak Rumah Sakit dapat lebih efisien dalam mengambil keputusan untuk
meningkatkan kepuasan pasien.
Usaha pelayanan kesehatan dengan kegiatan pemasarannya tidak
terhindar dari persaingan dan berhadapan dengan pesaing di bidang usaha
yang mengandung urusan komersial, karena badan usaha pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan oleh masyarakat perlu topangan permodalan,
manajemen dan pengorganisasian yang dilaksanakan oleh sumber daya
manusia yang profesianal dalam kesehatan. Perubahan pandangan dan pola
pengobatan paternalistik-karikatif cenderung menjadi transaksi terapeutik dan
pengaruh dari pertumbuhan masyarakat sekunder yang bergaya
konsumerisme, maka perkembangan pengobatan terhadap sipenderita menjadi
usaha pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh tenaga profesi kesehatan,
maka penyelenggaran kesehatan masih terikat dengan “kepentingan
kemanusiaan”.
Menghadapi peluang dan tantangan pemeliharaan kesehatan dalam era
globalisasi yang disertai makin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi memerlukan suatu jawaban dengan memperhitungkan aspek
kepentingan, aspek manfaat dan aspek dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Profesi kodokteran secara khusus menjadi salah satu bagian dari
penyelenggara pemeliharaan harus ikut memperhitungkan ketiga aspek
tersebut dalam pengendalian arus dari era globalisasi dan kemajuan iptek.
Tugas profesi kedokteran yang demikian itu dalam arti perlu mengikuti
arus akan tetapi tidak hanyut dalam putaran arus tanpa kendali. Dengan
demikian tugas profesi kedokteran sebagai pelayan kesehatan dalam
masyarakat harus mampu menghadapi persaingan untuk mengambil bagian
dari peleliharaan kesehatan global dan memilih kemajuan iptek dibidang
kedokteran tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai budaya dalam upaya untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Namun tugas profesi
kedokteran tersebut harus terkendali agar tidak terjadi bahaya, derita dan
kerugian karena hanyut dalam putaran arus globalisasi dan kemajuan iptek
yang menjurus pada penyimpangan tugas keprofesiannya.
Banyak cara yang dapat dipakai untuk sarana pengendalian potensi
penyimpangan tugas profesi tergantung pada permasalahan yang timbul dari
konflik yang tumbuh dan terjadinya ketidak-seimbangan antara aspek
kepentingan, aspek manfaat dan aspek dampak yang menyertainya. Salah satu
cara pengendalian tersebut diantaranya adalah sudut pandang tatanan sosial
dan berupa kaidah hukum yang tumbuh dan berkembang secara dinamis.
Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum telah tumbuh dari
pola pikir konservatif tentang hukum berubah kearah pola pikir yang dinamik
tentang hukum untuk menyesuaikan dengan kemajuan zaman yang ditandai
dengan tumbuhnya berbagai ilmu pengetahuan terutama kemajuan ilmu-lmu
sosial dan humaniora. Pengaruh kemajuan ilmu-ilmu sosial dan humaniora
terhadap hukum semakin besar, dan dalam kepustakaan ilmu hukum
dinyatakan sebagai hubungan antar hukum dengan “social behavioral
sciences” yang menghasilkan pola pikir tentang sistem hukum terbuka.
Melalui sistem hukum terbuka inilah telah terjadi banyak perubahan
tentang hukum secara terus menerus (law reform) untuk menghadapi berbagai
perubahan kehidupan masyarakat berserta perubahan akan kebutuhan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan hukum telah
bergeser dari dalil-dalil hukum yang bersifat relatif statis –dinamis dalam arti
kehidupan kehidupan hukum secara anatomik mempunyai fungsi kontrol
namun disamping itu baik dalam doktrin maupun dalam perundang-undangan
selalu dikejar oleh kejadian yang tumbuh ditengah masyarakat yang
mengandung potensi dinamis.
Perkembangan dinamika hukum kesehatan di Indonesia yang demikian
itu dapat mendorong pertumbuhan “law sciences tree” bahwa untuk
kepentingan pengembangan profesi kedokteran diberikan tempat bagi satu
cabang ilmu “hukum kedokteran” yang kemudian diperluas menjadi cabang
hukum kesehatan. Sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20
pertumbuhan hukum kedokteran (medical law) dan hukum kesehatan (health
law) dengan adanya dua pemahaman tersebut ada cenderung para pakar
maupun ahli hukum dan profesional menganggap bahwa hukum kesehatan
adalah merupakan hukum kedokteran akan tetapi dapat dilihat bahwa hukum
kesehatan ini menyangkut dengan pelaksanaan hukum kesehatan secara umum
dimana subyek hukum nya adalah rumah sakit, pasien dan tenaga-tenaga
kesehatan yang bekerja pada instansi pelayanan kesehatan tersebut sedangkan
hukum kedokteran (medical law) lebih cenderung pada praktek secara
profesional dari para tenaga-tenaga kesehatan diantaranya adalah dokter,
tenaga perawat kebidanan dll.
Atas dasar pengembangan konsepsional tentang hukum kesehatan dan
hukum kedokteran yang bersifat khusus, maka status sebagai hukum
komplementer untuk menyempurnakan kaidah hukum umum dan bukan
hukum suplementer sekedar pelengkap terhadap hukum umum. Hukum
kesehatan dan hukum kedokteran sebagian kaidahnya mempunyai
penyimpangan dari kaidah hukum umum, terutama dalam menentukan
kesalahan profesi jika terjadi malpraktek profesi kedokteran mengandung
kualifikasi tertentu. Dengan demikian perkembangan hukum kesehatan dalam
era globalisasi sangat dibutuhkan dan dapat membantu upaya pelayanan
kesehatan di Indonesia.
C. FAKTOR-FAKTOR PERSAINGAN GLOBALISASI
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam
pembangunan negara dan bangsa. SDM yang diharapkan adalah SDM mampu
bersaing dalam percaturan global dalam kualitas dan ketrampilan standar
dunia kerja. Demikian pula SDM bidang kesehatan, diharapkan dapat berperan
besar dalam pembangunan kesehatan dan mengangkat harkat dan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia.
Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM Kes) merupakan faktor penting
dalam pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu. Oleh karena itu,
pengembangan SDM Kesehatan merupakan faktor kunci dalam pencapaian
tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) dan peningkatan status
kesehatan masyarakat.
Berdasarkan World Health Organization (WHO), SDM kesehatan adalah
semua orang yang kegiatan pokoknya ditujukan untuk meningkatkan
kesehatan. Mereka terdiri dari orang-orang yang memberikan pelayanan
kesehatan seperti dokter, perawat, apoteker, teknisi laboratorium,manajemen
serta tenaga pendukung seperti bagian keuangan, sopir dan lain sebagainya.
Secara kasar, WHO memperkirakan terdapat 59.8 juta tenaga kesehatan di
dunia dan dari jumlah tersebut diperkirakan dua pertiga (39.5 juta) dari jumlah
keseluruhan tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan dan
sepertiganya (19.8 juta) merupaakan tenaga pendukung dan managemen
(WHO 2006).
Di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini maka cara pandang
kita terhadap kesehatan juga mengalami perubahan. Dahulu kita
mempergunakan paradigma sakit yakni kesehatan hanya dipandang sebagai
upaya menyembuhkan orang yang sakit dimana terjalin hubungan dokter
dengan pasien (dokter dan pasien). Namun sekarang konsep yang dipakai
adalah paradigma sehat, dimana upaya kesehatan dipandang sebagai suatu
tindakan untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan individu ataupun
masyarakat (SKM dan masyarakat). Dengan demikian konsep paradigma sehat
H.L. Blum memandang pola hidup sehat seseorang secara holistik dan
komprehensif. Peranan Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam hal ini
memegang kendali dominan dibandingkan peranan dokter. Sebab hubungan
dokter dengan pasien hanya sebatas individu dengan individu tidak secara
langsung menyentuh masyarakat luas. Ditambah lagi kompetensi dalam
memanagement program lebih dikuasai lulusan SKM sehingga dalam
perkembangannya SKM menjadi ujung tombak program kesehatan di negara-
negara maju.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia justru, paradigma sakit yang
digunakan. Dimana kebijakan pemerintah berorientasi pada penyembuhan
pasien sehingga terlihat jelas peranan dokter, perawat dan bidan sebagai
tenaga medis dan paramedis mendominasi. Padahal upaya semacam itu sudah
lama ditinggalkan karena secara financial justru merugikan Negara. Anggaran
APBN untuk pendanaan kesehatan di Indonesia semakin tinggi dan sebagian
besar digunakan untuk upaya pengobatan seperti pembelian obat, sarana
kesehatan dan pembangunan gedung. Seharusnya untuk meningkatan derajat
kesehatan kita harus menaruh perhatian besar pada akar masalahnya dan
selanjutnya melakukan upaya pencegahannya. Untuk itulah maka upaya
kesehatan harus fokus pada upaya preventif (pencegahan) bukannya curative
(pengobatan).Namun yang terjadi anggaran untuk meningkatkan derajat
kesehatan melalui program promosi dan preventif dikurangi secara signifikan.
Akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya masyarakat yang kekurangan gizi,
biaya obat untuk puskesmas meningkat, pencemaran lingkungan tidak
terkendali dan korupsi penggunaan askeskin. Dampak sampingan yang terjadi
tersebut dapat timbul karena kebijakan kita yang keliru.
Seperti yang kita ketahui bahwa semua negara di dunia menggunakan
konsep Blum dalam menjaga kesehatan warga negaranya. Untuk Negara maju
saat ini sudah fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sehingga asupan makanan anak-anak mereka begitu dijaga dari segi gizi
sehingga akan melahirkan keturunan yang berbobot. Kondisi yang
berseberangan dialami Indonesiasebagai Negara agraris, segala regulasi
pemerintah tentang kesehatan malah fokus pada penanggulangan kekurangan
gizi masyarakatnya. Bahkan dilematisnya banyak masyarakat kota yang
mengalami kekurangan gizi. Padahal dari hasil penelitian membuktikan
wilayah Indonesia potensial sebagai lahan pangan dan perternakan karena
wilayahnya yang luas dengan topografi yang mendukung.Ada apa dengan
pemerintah?. Satu jawaban yang pasti seringkali dalam analisis kesehatan
pemerintah kurang mempertimbangkan pendapat ahli kesehatan masyarakat
(public health) sehingga kebijakan yang dibuat cuma dari sudut pandang
kejadian sehat-sakit.
Hal inilah yang menyebabkan dalam pasar tenaga kerja di dalam negeri,
SDM bidang kesehatan masih belum mencukupi dalam upaya pelayanan
kesehatan pada seluruh pelosok negeri. SDM bidang kesehatan seperti dokter,
bidan dan perawat relatif sudah menyebar, namun SDM tenaga kesehatan
seperti epidemiolog, nutrisionist dan tenaga profesi kesehatan masyarakat
lainnya belum terdistribusi secara memadai. Bila tenaga kesehatan seperti
dokter, bidan dan perawat berfungsi dalam pelayanan kesehatan bersifat
kuratif, maka SDM tenaga profesi kesehatan masyarakat bersifat promotif-
preventif.
Problem SDM Kesehatan di Indonesia saat ini adalah jumlah yang tidak
memadai dan distribusi yang tidak merata. Hal ini berdampak terhadap
kualitas dan aksesbilitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.
Kebutuhan mendesak tenaga kesehatan terutama sangat dirasakan oleh daerah
terpencil dan tertinggal yang jauh dari pusat kota.
Guna meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan,
pemerintah dituntut untuk menyediakan tenaga kesehatan, terutama di daerah
terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Dari 364 puskesmas
di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi, ada 184
buah puskemas (51 persen) belum memiliki tenaga kesehatan (dokter).
Didaerah terpencil, layanan kesehatan kerap dirangkap oleh perawat dan bidan
desa untuk tugas medis yang seyogyanya dilakukan oleh seorang dokter,
seperti pemberian obat-obatan kepada pasien.
Data Departemen Kesehatan (Depkes) 2006, jumlah tenaga medis
(dokter spesialis, umum dan gigi) tercatat 68.227 orang, bidan 79.152 orang
dan perawat 316.306 orang. Target hingga tahun 2010 jumlah kebutuhan SDM
tenaga dokter adalah 117.969 orang, bidan 176.954 orang, tenaga keperawatan
587.487 orang, tenaga kesehatan masyarakat 42.649 orang, dan tenaga gizi
42.469 orang. Tenaga kerja perawat adalah salah satu SDM Indonesia yang
mulai mampu bersaing di pasar tenaga kerja global. Media di Jepang pada hari
Jumat 25 Maret 2011 sebagaimana dilaporkan Tori Minamiyana, pewarta
warga Kompasiana memberitakan bahwa Kementerian Kesehatan, Tenaga
Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mengumumkan kelulusan 15 orang perawat
asal Indonesia yang telah sukses menempuh Ujian Nasional Keperawatan
Jepang yang diselenggarakan pada pada tanggal 20 Februari 2011 yang lalu
dan diikuti oleh 250 perawat Indonesia yang bekerja di Jepang dalam
kerangka perjanjian ekonomi Indonesia - Jepang (IJEPA), baik dari
Gelombang I dan II. Pada ujian keperawatan tahun 2010 lalu, hanya 2 perawat
asal Indonesia yang lulus ujian. Mereka adalah peserta program kerjasama
Indonesia - Jepang, dalam rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA).
Program ini didasari kepentingan kedua Negara, yaitu dari pihak Jepang
memang kekurangan tenaga perawat dan pengasuh lanjut usia karena
menurunnya populasi dan semakin banyaknya para lansia, sedangkan dari
pihak Indonesia karena tersedianya banyak tenaga kerja yang bisa memenuhi
kebutuhan itu dan perlunya memberi pengalaman para perawat Indonesia
meningkatkan kemampuannya di negara matahari terbit tersebut.
Salah satu program kesehatan dunia yang saat ini telah menjadi topic
global bahkan telah banyak diterapkan pada Negara-negara maju yaitu e-
health yakni sebuah sistem yang mengintegrasikan database kesehatan
seseorang dalam sebuah kartu, dan dengan kartu ini diharapkan pasien akan
semakin mudah dan cepat dalam mendapatkan akses layanan kesehatan.
Rencananya sistem layanan e-Health tersebut akan dimulai tahun 2016, pada
saat sistem e-KTP generasi pertama selesai.. Penerapan e-health sendiri
ditandai dengan SDM kesehatan yang memiliki nilai kompetitif. Namun,
untuk yang satu ini, Indonesia memang agak ketinggalan dengan negara lain,
sistem layanan digitalisasi data riwayat kesehatan pasien, e-Health memang
belum bisa diterapkan dalam waktu dekat. Hal itu disebabkan sumber daya
manusia (SDM) industri kesehatan yang ada belum menguasai teknologi
secara keseluruhan. Beberapa yang harus dikuasai sebelum e-Health ini
diterapkan adalah masalah informasi dan teknologi (IT). Hingga saat ini tidak
semua rumah sakit hingga puskesmas memiliki infrastruktur IT memadai.
Padahal, untuk menerapkan sistem layanan e-Health tersebut dibutuhkan
infrastruktur IT yang cukup, koneksi dan integrasi antara pihak rumah sakit
hingga masalah kecepatan akses bandwidth internet. Sebenarnya buta IT ini
juga tidak dialami oleh pihak rumah sakit saja. Para dokter yang bekerja di
rumah sakit tersebut juga harus menguasai IT.
D. KONSEP PHC (PRIMARY HEALTH CARE)
PHC merupakan hasil pengkajian, pemikiran dan pengalaman dalam
pembangunan kesehatan di banyak negara yang di awali dengan kampanye
masal pada tahun 1950-an dalam pemberantasan penyakit menular. Pada tahun
1960 teknologi kuratif dan preventif mengalami kemajuan. Oleh karena itu,
timbullah pemikiran untuk mengembangkan konsep upaya dasar kesehatan.
Tahun 1977 pada sidang kesehatan dunia dicetuskan kesepakatan untuk
melahirkan “Health for Allby the Year 2000”, yang sasaran utamanya dalam
bidang sosial pada tahun 2000 adalah tercapainya derajat kesehatan yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial maupun ekonomi.
1. Definisi PHC
PHC adalah pelayanan kesehatan pokok berdasarkan kepada metode
dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum,
baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat melalui partisipasi
mereka sepenuhnya serta biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan
negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam
semangat untuk hidup mandiri (self reliance) dan menentukan nasib sendiri
(self determination).
2. Tujuan PHC
1) Tujuan umum
Mencoba menemukan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
yang diselenggarakan, sehingga akan tercapai tingkat kepuasan pada
masyarakat yang menerima pelayanan.
2) Tujuan khusus
a. Pelayanan harus mencapai keseluruhan penduduk yang dilayani.
b. Pelayanan harus dapat diterima oleh penduduk yang dilayani.
c. Pelayanan harus berdasarkan kebutuhan medis dari populasi yang
dilayani
d. Pelayanan harus maksimal, menggunakan tenaga dan sumber daya
lain dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
3. Fungsi PHC
PHC hendaknya memenuhi fungsi-fungsi sebagai berikut: 1)
Pemeliharaan kesehatan; 2) pencegahan penyakit ; 3) diagnosis dan
pengobatan ; 3) pelayanan tindak lanjut; 5) pemberian sertifikat.
4. Tiga Unsur Utama PHC
1) Mencangkup upaya-upaya dasar kesehatan.
2) Melibatkan peran serta masyarakat.
3) Melibatkan kerja sama lintas sektoral.
5. Elemen PHC
Dalam pelaksanaan PHC paling sedikit harus memiliki delapan
elemen, sebagai berikut.
1) Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan penyakit
serta pengendaliannya.
2) Peningkatan penyediaan makanan dan perbaikan gizi.
3) Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar.
4) Kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana.
5) Imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi utama.
6) Pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat.
7) Pengobatan penyakit umum dan ruda paksa.
8) Penyediaan obat-obat esensial.
6. Ciri-ciri PHC
Berikut ini adalah ciri-ciri PHC:
1) Pelayanan yang utama dan intim dengan masyarakat.
2) Pelayanan yang menyeluruh.
3) Pelayanan yang terorganisasi.
4) Pelayanan yang mementingkan kesehatan individu maupun mayarakat.
5) Pelayanan yang berkesinambungan.
6) Pelayanan yang progesif.
7) Pelayanan berorientasi kepada keluarga.
8) Pelayanan tidak berpandangan kepada salah satu aspek saja.
7. Tanggung Jawab Perawat Dalam PHC
Tanggung jawab perawat dalam PHC lebih dititikberatkan kepada
hal-hal berikut ini.
1) Mendorong partisipasi aktif masyarakat.
2) Bekerja sama dengan mayarakat, keluarga, dan individu.
3) Mengajarkan konsep kesehatan dasar dan teknik asuhan diri sendiri pada
masyarakat.
4) Memberikan bimbingan dan dukungan kepada petugas pelayanan
kesehatan dan kepada masyarakat.
5) Koordinasi kegiatan pengembangan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarak, Wahit Iqbal. Nurul Chayatin. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori
dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
Trisnantoro L, Sastrowijoto S, Ferry D. 2008. Kajian terhadap insfrastruktur
pendukung FK dan RS Pendidikan: Implikasinya terhadap kebijakan
pendanaan. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM.
Top Related