1
Prinsip Dasar Inflamasi dan
Reaksi Imunologi di Kulit
Nah teman-teman, sekarang kita akan membahas mengenai inflamasi dan imunologi pada
kulit. Berhubung bagian dan fungsi kulit sudah dibahas sebelumnya, maka kita akan langsung
mempelajari inti dari kuliah kali ini.
Imunitas adalah kemampuan untuk mencegah kerusakan atau penyakit melalui pertahanan
tubuh kita. Semua organisme multiseluler memiliki sistem pertahanan tubuh. Pada
vertebrata khususnya manusia, imunitas dapat dibagi menjadi:
Imunitas Bawaan (Innate Immunity/ nospecific)
-Imunitas ini telah diperoleh semenjak lahir. Tergolong nonspesifik karena tidak
mengenal secara spesifik mikroba dan melawan semua mikroba dengan cara yang
sama. Oleh karena itu, imunitas ini tidak memiliki sel memori.
-Muncul sebagai pertahanan pertama sampai munculnya imunitas adaptif.
-Terdiri dari pertahanan garis pertama yaitu kulit dan membran mukosa.
Pertahanan garis kedua yaitu substansi antimicrobial, sel natural killer dan
fagositosit, inflamasi, dan demam.
-Lapisan epitel merupakan barier pertama dari infeksi. Adapun jalur masuknya dapat melalui
epitel pada saluran pernapasan, saluran gastrointestinal dan genitourinary, kulit yang terluka
(terbakar), gigitan nyamuk, jarum suntik yang kotor, dan lain-lain.
-Lapisan epitel sebagai sawar pertama akan mencegah infeksi dengan:
Mukus dan silia= paru dan usus
pH asam= lambung
Peptide antimicrobial (dihasilkan oleh sel epitel)= usus halus dan saluran paru
Bakteri komensal bersaing dengan bakteri pathogen= kulit
-Inflamasi sebagai garis pertahanan yang kedua:
Inflamasi bersifat nonspesifik, respons protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas serta membuang sel dan jaringan nekrotik
yang disebabkan kerusakan jaringan asal.
Oleh karena bersifat nonspesifik, maka respons inflamasi terhadap kulit yang terluka akan
sama dengan kulit yang terbakar, terpapar radiasi, dan invasi bakteri/ virus (ingat bahwa
pertahanan nonspesifik akan melawan dengan cara yang sama).
Perlu diketahui bahwa inflamasi bukan penyakit, melainkan manifestasi dari
penyakit.
Inflamasi memiliki aspek yang menguntungkan: mengencerkan, menghancurkan, dan
menetralkan agen berbahaya (toksin dan bakteri), mencegah penyebaran bakteri, dan
membantu proses penyembuhan jejas.
Tanda-tanda inflamasi:
o Kalor (panas): vasodilatasi arteriol menyebabkan aliran darah kulit terasa panas.
o Rubor (merah): karena pelebaran pb. darah.
o Tumor (bengkak): akumulasi cairan ekstraseluler akibat hilangnya cairan kaya protein
ke dalam ruang perivaskular tekanan osmotik intravaskular sedangkan tek.
osmotik cairan interstitial .
o Dolor (nyeri): karena adanya peningkatan tekanan akibat edema dan keluarnya
mediator inflamasi seperti bradykinin (bekerja singkat lalu diinaktivasi oleh kininase
degradatif yg terdpt pd plasma dan jaringan).
o Functio laesa (kehilangan fungsi): karena perluasan mediator dan kerusakan yg
diperantarai leukosit.
2
Dapat dibagi menjadi inflamasi akut dan kronik. Mari kita bahas satu per satu !
Gambar di atas memperlihatkan bahwa inflamasi baik akut maupun kronik melibatkan sel
dan protein dalam sirkulasi, endotel, dan ECM.
INFLAMASI AKUT
- Merupakan respons segera dan dini terhadap jejas yang dirancang untuk mengirimkan
leukosit ke tempat jejas.
- Memiliki 2 komponen utama yaitu perubahan vaskular (vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskular) dan berbagai kejadian seluler (rektrutmen dan aktivasi seluler).
-Penyebab: infeksi (virus, piogenik penghasil nanah, bakteri), reaksi hipersensitivitas (
parasit dan bacillus tuberkel), agen fisik (trauma, radiasi ionisasi, panas, dan dingin), agen
kimia (asam, basa, agen reduksi, dan toksin), dan nekrosis jaringan (infark).
-Akibat inflamasi akut:
o Resolusi destruksi bersifat terbatas dan kecil serta terjadi pada jaringan yg mampu
beregenerasi sehingga memungkinkan perbaikan terhadap normalitas histologis dan
fungsional. Prosesnya meliputi pembuangan mediator kimiawi, penormalan permeabilitas
vaskular, dan penghentian emigrasi leukosit .
o Scar (jaringan parut/ fibrosis) destruksi pada jaringan tidak mampu beregenerasi
dan bersifat meluas. Eksudat fibrinosa meluas, pembentukan jaringan ikat penyebab
fibrosis, dan pembentukan abses akibat meluasnya infiltrat neutrofil. Jaringan granulasi
menunjukkan ciri yang khas: adanya proliferasi pb.darah dan adanya netrofil masih bisa
sembuh dengan cara nekrosis kulit dibuang dan luka dibersihkan.
o Kemajuan ke arah inflamasi kronik bisa terjadi setelah inflamasi akut meski tanda
inflamasi kronik dpt muncul pd awal jejas seperti pada infeksi virus dan penyakit
autoimun.
-Melibatkan serangkaian proses melalui komponen:
o Vaskular: hyperemia.
o Eksudatif: kebocoran cairan kaya protein.
o Seluler: aktivasi leukosit, khususnya PMN.
o Proliferatif: regenerasi jaringan, granulasi, dan penyembuhan jaringan.
3
-Tahapan awal (Early Stages)
adanya edema, fibrin, dan PMN di ruang ektstra vaskular.
meliputi 3 proses, yaitu:
o Perubahan pada kaliber pembuluh darah aliran darah .
Penjelasan gambar Pada keadaan normal: kebanyakan pembuluh kapiler kosong, gak
ada darah, karena sfingter antara arteriole dan kapiler tertutup.
Pada inflamasi akut: sfingter tadi terbuka jadi darah mengalir ke semua kapiler.
o Peningkatan permeabilitas vaskular peningkatan tekanan hidrostatik dan
pergerakan cairan berupa transudat (ultrafiltrat plasma darah yg mengandung sedikit
protein) dan eksudat (pergerakan cairan kaya protein).
Penjelasan gambar Pada keadaan normal: ultrafiltrasi cairan melintasi dinding
pembuluh darah kecil dalam keadaan seimbang.
Pada inflamasi akut: hilangnya cairan dan protein plasma ke ruang ekstraseluler
menyebabkan edema.
o Munculnya berbagai kejadian pada sel emigrasi PMN ke ruang
ekstravaskular.Pergerakan PMN memiliki tahapan yang dimulai dari:
-marginasi: proses akumulasi leukosit di endotel akibat aliran darah mendorong sel
leukosit ke pinggir sehingga memudahkan interaksi dengan endotel.
-rolling: gerakan berguling-guling leukosit pada endotel yang diperantai oleh selektin.
-adhesi:leukosit melekat kuat pada permukaan endotel yg dibantu ICAM dan VCAM.
-transmigrasi: perembesan leukosit melalui intercellular junction yg dibantu oleh
PECAM. Gambarnya di bawah ini! :D
4
Fagosit
Eh ternyataproses inflamasi juga mengaktivasi fagosit. Fagositosis merupakan tugas dari
makrofag + mikrofag (neutrofil). Makrofag namanya beda-beda: langaerhans (kulit),
microglia (otak), dan kuppfer (hati). Eosinofil sendiri bersifat fagositik lemah dan lebih
menonjol sebagai pertahanan terhadap cacing parasit. Klo sel mast (=basofil pada
jaringan) dapat mengikat dan menelan bakteri dalam range yang luas.
Mekanisme
o Pengenalan dan perlekatan partikel pada leukosit yang difasilitasi oleh opsonin (protein
serum).
o Pseudopod mengelilingi antigen (partikel asing) lalu menelannya melalui endositosis dan
masuk ke dalam fagosom (vakuola fagositik yang terbentuk dari perpanjangan
pseudopodia).
o Fagosom (berisi antigen) berfusi dengan lisosom membentuk fagolisosom.
o Pembunuhan dan degradasi antigen melalui enzim proteolitik.
o Debris sisa cerna antigen dikeluarkan melalui eksositosis.
-Tahapan Akhir (Late Stages)
Molekul adhesi telah muncul di permukaan sel.
Kemotaksis dan aktivasi leukosit.
Zat yang bersifat kemotaktik terhadap leukosit adalah 1) produk bakteri yg dpt larut
seperti peptida dengan N-formil-metionin termini, 2) sistem komplemen terutama
C5A, 3) produk metabolisme asam arakidonat terutama leukotrien B4, dan 4)
sitokin, terutama kelompok kemokin seperti IL-8.
Apa sih fungsi kemotaksis? Ternyata pengikatan molekul kemotaksis ke reseptor aktivasi
fosfolipase C keluar deh second messenger (IP3 dan DAG). Nah, IP3 ini meningkatkan
kalsium intrasel yang dibutuhkan untuk kontraksi pseudopodia. Selain itu, kemotaksis
mengaktivasi leukosit.
Tahap ini telah melibatkan mediator. Perlu diketahui bahwa (bisa dibaca di robbins):
o Mediator dapat bersirkulasi di dalam plasma (khususnya yg disintesis oleh hati) atau
dihasilkan secara lokal oleh sel tempat terjadinya inflamasi. Mediator yang berasal dari
plasma seperti komplemen, kinin, dan faktor koagulasi beredar dalam bentuk
prekursor inaktif (butuh pemecahan proteolitik aktif). Sedangkan mediator dari
sel, disimpan di dalam granul yang akan disekresikan begitu teraktivasi.
o Sebagian besar mediator menginduksi efeknya dengan berikatan pada reseptor spesifik
pada sel target. Tetapi ROS dan protease lisosom memiliki efek enzimatik langsung
yang bersifat toksik.
o Mediator dapat merangsang sel target untuk melepaskan molekul efektor sekunder.
Mediator sekunder dapat bersifat memperkuat atau melawan respons utama yg
disebabkan o/ efektor primer.
o Mediator hanya dapat bekerja pada satu atau beberapa target, mempunyai aktivitas
luas, dan hasilnya bergantung jenis sel yang dipengaruhi.
o Fungsi mediator diatur secara ketat. Sekali teraktivasi/ dilepaskan dari sel, mediator
akan cepat didegradasi.
5
o Alasan utama check and balance adalah sebagian mediator berpotensi untuk
menyebabkan efek yang berbahaya.
Mediator dibagi menjadi (kata dokternya, mw gak mw dihafal):
1)Lokal
Mediator praformasi di dalam granul sekretoris merespons paling awal.
o Histamin: sel mast, platelet, dan basofil
Peran: vasodilator arteriol dan mediator utama pd peningkatan permeabilitas
vaskular fase cepatmenginduksi kontraksi endotel venula dan inter-endothelial
gap.
o Serotonin: platelet
Peran: efek sama dengan histamine.
o Enzim lisosomal: netrofil dan makrofag
Baru disintesis (Newly synthesized) jika radang berlanjut.
o Prostaglandin: semua leukosit (sl), trombosit, sel endotel (se)
Peran: vasodilatasi dan menimbulkan rasa nyeri.
o Leukotrien: sl
Peran: kemotaksis (leukotrien B4); vasokonstriksi, bronkospasme, dan peningkatan
permeabilitas (leukotrien C4,D4,E4).
o Faktor pengaktivasi trombosit: sl, se
Peran: terbentuk dari membrane fosfolipid membrane netrofil, monosit,basofil, dan
endotel yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan merangsang trombosit.
o Spesies oksigen teraktivasi: sl
Peran:menyebabkan kerusakan jaringan.
o Nitrat oksida: makrofag
Peran: vasodilatasi, antagonisme aktivitas trombosit, menurunkan rekrutmen
leukosit pada sel radang, dan agen mikrobisidal.
o Sitokin: limfosit, makrofag, se
Peran:sitokin adalah produk polipeptida ex: kemokin dan interleukin.Berdasarkan
cara kerja sitokin dibagi menjadi 5 yaitu:
-sitokin yang mengatur fungsi limfosit
-sitokin yg terdapat pada imunitas bawaan ex:TNF dan IL-1
-sitokin yg mengaktifkan sel radang ec: interferon dan IL-2
-kemokin yang memiliki aktivitas kemotaksis.
-sitokin perangsang hematopoeisis GM-CSF dan IL-3.
Bold: paling utama
2)Sistemik (plasma)
Aktivasi faktor XII (faktor Hageman)
o Sistem kinin (bradikinin)
o Sistem fibrinolisis/ koagulasi
Aktivasi komplemen
o C3a dan C5a: anafilatoksin
o C3b
o C5b-9: kompleks penyerang membran
o Selama infeksi, bisa diaktivasi melalui dua jalur yaitu klasik pembentukan
kompleks antibody-antigen. Jalur alternativeo/ endotoksin bakteri
gram negative.
6
o Produk kinin dan sistem fibrinolitik aktivasi komplemen.
Dalam inflamasi akut, terdapat peranan dari:
Peran Makrofag Jaringan
-Menghasilkan banyak mediator kimiawi
-Namun sitokin yang paling utama adalah IL-I dan TNF (tumor necrosis factor).
-Adanya selektin E pada makrofag dapat memfasilitasi adhesi.
Peran Limfatik
-Dilatasi pembuluh darah limfatik dapat mengurangi edema.
Peran PMN
-Pergerakan
-Adhesi ke mikroorganisme
-Fagositosis
-Intracelluler killing mo
-Mekanisme bergantung oksigen
-Mengeluarkan produk lisosomal
Peran sel mast
-Dibawah pengaruh C3a dan C5a.
-Mengeluarkan histamine.
INFLAMASI KRONIK
Inflamasi kronik bisa dianggap sebagai inflamasi yang bisa terjadi dalam waktu lama
dan memanjang dan secara simultan akan berusaha untuk melakukan perbaikan jaringan.
Pada inflamasi kronik tidak meninggalkan adanya eksudat (protein-protein dan sel-sel yang
merembes keluar dari intravascular menuju ekstravaskular). Reaksi selular pada inflamasi
kronik tidak sama dengan inflamasi akut. Inflamasi kronik ditandai dengan adanya peristiwa
berikut:
- Infiltrasi sel mononuclear yang mencakup limfosit, makrofag, dan sel plasma.
- Destruksi jaringan sebagian besar diatur oleh sel radang
- Repair/perbaikan melibatkan proliferasi pembuluh darah baru (angiogenesis) dan
terbentuknya jaringan granulasi atau jaringan parut
Inflamasi kronik bisa disebabkan oleh beberapa hal:
1. Perkembangan dari inflamasi akut. Hal ini bisa terjadi jika respons akut tidak teratasi
karena agen cedera yang menetap atau karena gangguan proses penyembuhan normal.
2. Penolakan pada saat transplantasi
3. Inflamasi akut yang berulang
4. Infeksi virus,mikroba persisten, maupun pajanan yang lama terhadap agen yang
berpotensi toksik
5. Penyakit autoimun
6. Kerusakan yang signifikan pada jaringan
Jadi, bisa disimpulkan nih perbedaan inflamasi akut dan kronik di dalam tabel..
INFLAMASI AKUT INFLAMASI KRONIK
Stimulusnya sementara Stimulusnya menetap atau persisten
Durasinya sebentar Durasinya lama dan memanjang
Fagosit yang berperan adalah neutrofil Fagosit yang berperan adalah makrofag
7
Karakteristik utamanya adalah panas,
kemerahan, bengkak, dan nyeri
Karakteristik utamanya adalah
terjadinya proliferasi sel
Akan terbentruk pus atau nanah Akan terbettuk granuloma, makrofag,
dan jaringan fibrosis
Dari gambar di samping bisa dilihat
bentuk-bentuk sel yang terlibat dalam
inflamasi kronik, antara lain ada sel
plasma, sel limfosit, fibroblast, makrofag,
dan ada yang namanya multinukleat
giant cell.
a. Makrofag
Merupakan sel yang berasal dari
monosit dalam sirkulasi darah yang
beremigrasi ke jaringan
Di hati disebut sel kupffer, di
limpa dan kelenjar getah bening disebut
histiosit sinus, di SSP disebut sel microglia, di kulit disebut Sel Langerhans, dan di paru-paru
disebut makrofag alveolus.
Bertindak sebagai penyaring terhadap benda berukuran partikel, mikroba, dan sel-sel
yang mengalami kematian.
Jika teraktivasi yaitu jika berhasil memfagosit benda asing, maka benda asing
tersebut akan dicerna atau di pecah menjadi kecil-kecil oleh enzim lisosom.
Bekerja untuk memperingatkan komponen spesifik sistem imun (limfosit T dan B)
terhadap rangsang yang berbahaya
Makrofag mensekresi produk yang aktif secara biologis, antara lain protease asam
dan protease netral, komponen komplemen dan faktor koagulasi, Spesies oksigen reaktif, NO,
Eikosanoid, serta sitokin seperti IL-1 dan TNF.
2. Limfosit
Limfosit T dan B, keduanya bermigrasi ke tempat inflamasi dengan menggunakan
beberapa pasangan molekul adhesi dan kemokin.
Dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik (infeksi) dan pada
inflamasi non imun (infark atau trauma jaringan)
Limfosit T teraktivasi karena adanya makrofag yang menyajikan antigen
mengeluarkan mediator
3. Sel Plasma
Merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang mengalami diferensiasi akhir.
Bisa menghasilkan antibody yang diarahkan untuk melawan antigen di tempat
radang atau melawan komponen jaringan yang berubah.
Inflamasi Granulomatosa
Merupakan suatu pola inflamasi kronik khusus yang ditandai dengan kumpulan makrofag
teraktivasi yang gambarannya menyerupai sel skuamosa (epiteloid) kenapa inflamasi
granulomatosa bisa terjadi? Penyebabnya antara lain:
a. Respons sel T yang persisten terhadap mikroba tertentu, misalnya Mycobacterium
tuberculosis, Treponema Pallidum.
b. Respons terhadap benda asing yang relative inert, misalnya benang dan serpihan-
serpihan.
c. Reaksi terhadap tumor
d. Penyakit imun, misalnya penyakit Sarcoid dan Crohns.
Selulitis
Merupakan kelainan pada kulit yang memiliki gambaran kemerahan pada kulit (eritema) yang
disebabkan karena dilatasi pembuluh darah
Eczema atau Eksim
Meruapakan kondisi kulit yang mengalami inflamasi yang memiliki begitu banyak
macam faktor penyebab munculnya.
Memiliki pola reaksi, merupakan penyakit yang secara pathogenesis berbeda-beda.
8
Manifestasi klinisnya adalah pembengkakan pada epidermis.
Karakteristiknya adalah ditandai dengan adanya inflamasi dan spongiosis (terjadi
karena pemisahan keratinosit dan akumulasi cairan)
PENYAKIT INFLAMASI NON-INFEKSI
A. Urtikaria
Merupakan suatu gangguan umum pada kulit sebagai akibat reaksi vascular dan
penyebabnya bermacam-macam. Ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan
hilang secara perlahan-lahan, berwarna pucat kemerahan, meninggi di permukaan kulit,
sekitarnya dapat dikelilingi halo.
B. Lupus Erythematosus
Merupakan penyakit autoimun, mempengaruhi jaringan penyambung, merupakan
penyakit sistemik yang melibatkan ginjal.
Lesi pada kulit meliputi daerah epidermis dan adneksa kulit.
C. Psoriasis
Penyakit yang terpaut genetic
Penyakit yang penyebabnya autoimun
Parakeratosis berwarna abu-abu
Bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak eritema berbatas tegas
dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, berdarah bila digaruk
Polimorfik
Akantotik, papilla dermal hanya dilapisi oleh selapis tipis epidermis, tidak sempurnya
maturasi sel, dan akumulasi dari keratin
D. Lichen Planus
Tidak ada faktor genetic yang mempengaruhi
Merupakan papul polygonal yang gatal
Terjadi di dermo-epidermal junction
Sering meninggalkan hiperpigmentasi pascainflamasi
Lesi di kulit berupa papula datar keunguan yang gatal yang mungkin menyatu
membentuk plak.
Pathogenesis belum diketahui pasti, namun diduga ada kemungkinan bahwa
pengeluaran antigen di lapisan sel basal dan taut dermoepidermidis memicu respons imun
sitotoksik yang diperantarai oleh sel.
Gambar-gambar penyakitnya bisa diliat sendiri di slide kuliah yaa.. ayo rajin-rajin buka slide
kuliah atau buku merah dan patologi robbins, karena gimanapun itu yang paling lengkap
HIPERSENSITIVITAS
Sistem imun spesifik terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Sistem imun spesifik humoral, yang berperan adalah sel limfosit T atau sel B. Bila sel
dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan mengalami proliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi. Antibody yang dilepas bisa
ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibody adalah mempertahankan tubuh terhadap
infeksi bakteri, virus, dan melakukan netralisasi toksin.
b. Sistem imun spesifik selular, yang berperan adalah limfosit T atau sel T. Fungsi
umumnya ialah:
- membantu sel B memproduksi antibodi
- mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
- mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
9
TIPE HIPERSENSITIVITAS
Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi,
timbul segera sesudah badan terpapar terhadap alergen. Biasanya terjadi pada individu yang
atopik. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun
dengan dibentuknya IgE.
Pada hipersensitivitas tipe I, secara berurutan:
1. Produksi IgE oleh sel B sebagai respons terhadap antigen paparan pertama
2. Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan
basofil
3. Interaksi antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang
mengakibatkan aktivasi sel yang bersangkutan dan pelepasan berbagai mediator yang
tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut (karena sinyal yang mengganggu dinding sel
sehingga granul keluar).
Paparan ulang pada IgE yang telah melekat pada mastosit dan basofil oleh alergen
spesifik mengakibatkan alergen diikat oleh IgE sedemikian rupa sehingga alergen tersebut
membentuk suatu jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel, hal ini disebut sebagai
crosslinking. Namun, crosslinking hanya bisa terjadi dengan antigen yang bivalen atau
multivalen dan tidak terjadi pada antigen yang univalen. Crosslinking yang sama dapat terjadi
bila fragmen Fc-IgE bereaksi dengan anti-IgE, atau apabila reseptor FcRI dihubungkan satu
sama lain oleh anti-reseptor F. Crosslinking inilah yang merupakan mekanisme awal untuk
degranulasi basofil.
Sifat khusus IgE adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel
mast dan basofil. Pada saat sel mast dan basofil mengeluarkan beberapa bahan seperti
histamin, SRS-A, substansi kemotaktik eosinofil, protease, substansi kemotaktik netrofil,
heparin dan faktor pengaktif trombosit. Substansi-substansi ini menyebabkan suatu fenomena
seperti dilatasi pembuluh darah setempat, penarikan eosinofil dan netrofil menuju tempat
yang reaktif, kerusakan jaringan setempat karena protease, peningkatan permeabilitas kapiler
dan hilangnya cairan ke dalam jaringan, dan kontraksi otot polos setempat.
Reaksi Hipersensitivitas tipe II
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut
mengaktifkan sel K sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya
ikatan antigen-antibodi dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b
memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah destruksi sel darah
merah akibat transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada
penyakit autoimun.
Pada hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau
jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel
sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan
mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:
1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan
menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan
basofil untuk memproduksi molekul yang menatikdan mengaktivasi sel efektor lain.
2. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi dan C3d pada
membran sel sasaran.
3. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan membrane
attack complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.
Reaksi Hipersensitivitas tipe III
Reaksi tipe III ini disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan
komplemen. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat
tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Kompleks imun dibentuk di vaskular. Jadi antigen dijebak untuk masuk ke pembuluh
darah halus, percabangan, atau pembuluh darah yang berfilter.
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear,
terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran
kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat
10
dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks imun kecil dan
larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.
Antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen-
antibodi yang kemudian dapat mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh.
Aktivasi sitem komplemen, menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian merangsang
penglepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi
PMN yang menghancurkan kompleks. Di lain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga
sel-sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim-enzim proteolitik di antaranya
proteinase, kolagenase dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi
tersebut mengendap di jaringan, prosdes di atas bersama-sama dengan aktivasi komplemen
dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks karena terjadi oklusi/penyumbatan
jaringan iskemik nekrosis terbentuk ulkus bisa terjadi vaskulitis (kerusakan pembuluh
darah) karena terbentuk mikrotrombus.
Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, Cell Mediated Immunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah
disensitisasi terhadap antigen tertentu. Di sini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi
tersebut, sel T mengeluarkan limfokin, antara lain Macrophage Inhibition Factor (MIF) dan
Macrophage Activation Factor (MAF). Makrofag yang diaktifkan mengumpul terbentuk
indurasi (benjolan padat).
Untuk reaksi tipe IV diperlukan masa sensitisasi selama 1-2 minggu, yaitu untuk
meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus
dipresentasikan dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan serentetan reaksi
yang menimbulkan kelainan khas CMI.
Pada hipersensitivitas tipe IV, terdapat 3 macam reaksi penting, yaitu :
1. Reaksi kontak
Fase sensitasi sel Langerhans membawa antigen ke area parakortikal kelenjar getah
bening regional mempresentasikan antigen yang telah diproses (bersama MHC kelas II)
kepada sel CD4+ dan menghasilkan populasi sel CD4+ memori.
Fase elisitasi degranulasi dan pelepasan sitokin oleh sel mastosit segera setelah kontak.
TNF- dan IL-1 yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel, khusunya makrofag, merupakan faktor
yang poten untuk menginduksi molekul adhesi endotel. Penglepasan sitokin lokal ini
merupakan sinyal bagi sel-sel mononuklear untuk bermigrasi ke kulit dan menimbulkan reaksi
kontak. Supresi reaksi inflamasi dapat diperantarai oleh berbagai sitokin. Makrofag dan
keratinosit menghasilkan Prostaglandin E yang menghambat produksi IL-1 dan IL-2; sel T
mengikat keratinosit yang aktif dan konjugat hapten mengalami degradasi enzimatik.
2. Reaksi tuberkulin
Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan
adanya agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama
beberapa minggu. Pemaparan ulang sel T memori pada kompleks antigen MHC kelas II yang
ditampilkan oleh APC merangsang sel T CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai
pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari populasi limfosit teraktivasi
mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag ke tempat bersangkutan. Dalam hal
ini makrofag adalah APC utama yang berperan, di samping adanya sel-sel CD1+ yang
membuktikan keterlibatan sel Langerhans dalam reaksi ini.
3. Reaksi granuloma
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas jenis lambat yang paling penting karena dapat
menyebabkan berbagai keadaan patologis pada penyakit-penyakit yang melibatkan respons
imun selular. Biasanya reaksi ini terjadi karena makrofag tidak mampu menyingkirkan
mikroorganisme atau partikel yang ada di dalamnya, sehingga partikel menetap. Kadang-
kadang reaksi ini juga diakibatkan oleh kompleks imun yang persisten. Proses ini
mengakibatkan pembentukan granuloma. (herli dan monika)
Sumber:
Kumar K, Cotran RS, Robbins SL. Robbins basic pathology 7th ed. New York:Elsevier Inc;
2003.
Slide inflamasi akut modul sel gen.