Reaksi hipersensitivitas

24
REAKSI HIPERSENSITIVITAS PENDAHULUAN Respons imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. 1 I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi 1 A. Reaksi cepat Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal. B. Reaksi intermediet Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa : i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fatalis dan anemia neolitik autoimun ii. Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrosis, glomerulonefritis, artritis rematoid dan LES Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel netrofil atau sel NK. C. Reaksi lambat Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, Sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. 1

description

a

Transcript of Reaksi hipersensitivitas

Page 1: Reaksi hipersensitivitas

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

PENDAHULUAN

Respons imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.1

I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi1

A. Reaksi cepatReaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.

B. Reaksi intermedietReaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa :i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fatalis dan anemia neolitik autoimunii. Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis

nekrosis, glomerulonefritis, artritis rematoid dan LES

Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel netrofil atau sel NK.

C. Reaksi lambatReaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, Sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan tandu.

II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs1

Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi- Tipe 1 : Reaksi IgE atau reaksi anafilaktik- Tipe 2 : Reaksi sitotoksik- Tipe 3 : Reaksi kompleks antigen-antibodi- Tipe 4 : rekasi hipersensitivitas tertunda/terlambat atau reaksi selular 1,2

1

Page 2: Reaksi hipersensitivitas

1. Hipersensitivitas tipe 1Reaksi hipersensitivitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen.

Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen.3

Reaksi ini sering disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtikaria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitivitas yang paling sering terjadi.4,5

Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin.

Sementara itu ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitivitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan.3

Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I

Hipersensitivitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi atau asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4 ++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.

Gambar 2. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe I

2

Page 3: Reaksi hipersensitivitas

Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :I. Fase Sensitisasi

Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mas/basofil.

Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata, dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjukkan gejala klinis setelah terpapar alergen dari udara. Respon-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA, terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oelh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).

Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.

II. Fase AktivasiFase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik dan sel mas/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE

Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembarang alergen menunjukkan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu, respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.

Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.

Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa :1. Hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE2. Hubungan silang dengan antibodi anti IgE3. Hubungan silang dengan antibodi-antiresptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya. Anafilaktosin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anfilaktoid. Faktor fisik seperti suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.

Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat

3

Page 4: Reaksi hipersensitivitas

degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.

III. Fase EfektorFase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai

efek mediator-mediator yang dilepas sel mas/basofil dengan aktivitas farmakologik.Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik

aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

Gambar 3. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe I

Sel mast dan mediator pada reaksi tipe I1

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti L T dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya sebagai berikut :

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.

Spasme otot polos : Leukotriens C4 D4 E4, histamin, prostaglandin, PAF Infiltrasi seluler : sitokin (kemokin, TNF), Leukotriens B4, faktor kemotaktik eosinofil

dan netrofila. Mediator jenis pertama (histamin dan faktor kemotaktik)

Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi akibat glikolisis dan beberpa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilaktosis, c3a dan c5a.

4

Page 5: Reaksi hipersensitivitas

Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin menunjukkan berbagai efek.

Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin diantaranya adalah bintul dan kemerahan kulit disamping pengaruh lain seperti peransangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontraksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan.

Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut.

Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara capat saat mastosit teraktivasi. Ada 2 macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (netrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam 2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil, dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit.

Meski dilepaskan secara cepat, infiltrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.

b. Mediator jenis keduaMediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada

kenaikan kadar NaCL. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IF-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan.

Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang dilepaskan akan berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil.

c. Mediator jenis ketigaSelain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang

bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leukotrien C,D dan E seringkali disebut sebagai SRS-A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.

LT berperan dalam bronkokontriksi, peningkatan permebilitas vaskular dan produksi mukus. Leukotrien B4 mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut.

Diantara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepas mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon infeksi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu.3

5

Page 6: Reaksi hipersensitivitas

Gambar 4. Kejadian biokimiawi pada aktivitas sel mast

2. Hipersensitivitas tipe 2Reaksi hiersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi

karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh rekasi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.

Gambar 5. Reaksi hipersensitivitas tipe II

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik

Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang

6

Page 7: Reaksi hipersensitivitas

dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan sekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit pejamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antobodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti grave’s disease, Dimana antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.

Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi anti jaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuen jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada beberapa kasus yang parah, plasmafaresis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal, dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B dependen sel Th)

Reaksi tranfusiSejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai

gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat tranfusi golongan darah B terjadi reaksi tranfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbukan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravakular. Reaksi dengan cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang dan hemoglobinuria.

Reaksi tranfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat tranfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah tranfusi. Darah yang ditranfusikan memacu pembentukan IgG terhadap antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan rhesus, kidd, Kell dan duffy.

7

Page 8: Reaksi hipersensitivitas

Gambar 6. Tiga mekanisme utama hipersensitivitas tipe II

Hemolytic disease of the newborn (HDN)Terjadi ketidaksesuaian faktor rhesus (rhesus incompatibiliy) dimana anti-D IgG yang

berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki rhesus negatif dan mempunyai janin dengan rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis)

Anemia hemolitikAntibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif

8

Page 9: Reaksi hipersensitivitas

Tabel 1. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi antibodi (hipersensitivitas tipe II)

3. Hipersensitivitas tipe 3Hipersensitivitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang

mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Dimana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen-komponen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.1

9

Page 10: Reaksi hipersensitivitas

Gambar 7. Reaksi hipersensitivitas tipe III

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (arthritis), atau pembuluh darah kecil pada kulit.3 Reaksi hipersensitivitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikkan ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat. Kompleks imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respons peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.

Hipersensitivitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu :2,3

Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imunPengenalan antigen protein memicu respons imun yang membuat

dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu Minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, dimana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi

Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian

10

Page 11: Reaksi hipersensitivitas

Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu reposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti Turin dan cairan sinovial lebih seiring terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dana sendi

Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul di daerah pengendapan

Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selulerKompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi

inflamasi akut. Selama fase ini sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (artralgia), pembesaran nodus limfe, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi terjadi pada sendi dan sebagainya.

Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa sebelas IgG) menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.

Jika penyakit berasal dari eksposure terhadap antigen tunggal yang besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposure antigen berulang atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit SLE yang berkaitan dengan respons antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan reposisi kompleks imun, tetapi antigennya tidak diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.

Sementara itu, reaksi arthus merupakan nekrosis jaringan dengan area terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada kulit. Secara eksperimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan satu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukkan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.3

4. Hipersensitivitas tipe 4Sebagian besar hipersensitivitas tape IV dipercaya merupakan penyebab dari

autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau bisanya tidak iskemik. Jejas jaringan dapat juga mengiringi respons sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada tuberkulosis, terdapat respons imun terhadap M. Tuberkulosis dan responnya menjadi kronik karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab

11

Page 12: Reaksi hipersensitivitas

utama dari jejas pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyababkan jejas pada liver.

Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang dimediasi oleh CD4+ atau isis dari sel pejam oleh limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan dan menyekresi Sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autologi dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang termediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen pejamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas jaringan.

Sel T melepas Sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.

Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap Sitokin seperti TNF, dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk Sitoli seperti IL-2, dan agen yang jeblok kostimulator seperti B7.

Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell mediated cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+

Gambar 8. Mekanisme dari reaksi hipersensitivitas tipe IV

12

Page 13: Reaksi hipersensitivitas

Tabel 2. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi sel T (hipersensitivitas tipe IV)

Delayed Type hypersensitivity tipe IVContoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi

intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear di sekililing vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah “perivascular cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang disebakan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan reposisi fibrin di interstitial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH, pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau hiperplasia endotel.

Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang terakumulasi sering kali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasi granulomatosa.

Tahapan seluler dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberkulin. Ketika seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein tuberkel bacilli, sel CD4+ T naive mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naive menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal terpenting karena ekspresi DTH bergantung pada sebagian besar Sitokin yang diskresi oleh sel TH1. Beberapa sel Th1 akan memasuki sirkulasi dan tetap berada pada polo memori sel T untuk waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberkulin pada seseorang yang sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, Diana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 akan menyekresi Sitokin, terutama IFN-y, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb :

IL-2, Sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel dendritik menyekresi IL-2, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya Sitoki lain, yang diebutkan dibawah ini. IL-2

13

Page 14: Reaksi hipersensitivitas

juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN-y oleh sel T dan sel NK. IFN-y akan memperbanyak diferensiasi sel Th1.

IFN-y memilik banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling penting adalah merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis.

IL-2 menyebabkan proliferasi parafin dan autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi di situs DTH.

TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel endotel : (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.

Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut labih banyak lagi leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.

Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan beragam patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu dan juga berperan dalam rejeksi tranplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan urushiol, komponen antigen dari posion ivy atau poison lak dan bermanifestasi dalam bentuk dermatitis vaskuler. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberkulin. Pada pajanan berulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan Sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel-sel ini dan pembentukan vesikel intraepidermal.

Gambar 9. Sensitivitas kontak

14

Page 15: Reaksi hipersensitivitas

Gambar 10. Formasi granuloma pada hipersensitiitas tipe IV

T cell-mediated cytotoxicity

Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel target antigen. Sel detektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting dalam rejeksi Graf. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan molekul kelas 1 didalam sel, dan keduanya ditranportasikan ke permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+ sitotoksik. Isis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.

Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui : (1) perforin-granzyme-dependent kiliing, dan (2) bas-fas ligand-dependent Kipling.

Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel target, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protese yang disebut dengan granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang disebut perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perfori n menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan isis osmotik. fas dependen Kipling juga menginduksi apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas Lian, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang diekspresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadinya apoptosis.

15

Page 16: Reaksi hipersensitivitas

Gambar 11. Mekanisme penyakit yang terjadi melalui sel T

16

Page 17: Reaksi hipersensitivitas

KESIMPULAN

1. Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi inflamasi, dapat humoral atau seluler2. Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam, ditimbulkan

oleh ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mas yang menginduksi pelepasan mediator vasoaktif

3. Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam, melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui komplemen dan atau sel NK/ADCC

4. Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th yang mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan

5. Histamin merupakan komponen utama granul sel mas yang merupakan mediator primer, menunjukkan efek melalui reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi dan efek yang berbeda

6. Reaksi tipe II terjadi bila antibodi dengan determinan antigen pada permukaan sel yang menimbulkan kerusakan sel atau kematian melalui isis dengan bantuan komplemen atau ADCC. Reaksi transfusi dan penyakit neolitik pada bayi baru lahir merupakan reaksi tipe II

7. Reaksi tipe III terjadi melalui pembentukan kompleks imun yang mengaktifkan komplemen. Aktivasi komplemen menghasilkan molekul efektor yang menimbulkan vasodilatasi lokal dan menarik neutrofil. Endapan kompleks imun di dekat antigen masuk dapat menginduksi reaksi arthus; akumulasi neutrofil yang melepas enzim itik, aktivasi komplemen yang menimbulkan kerusakan jaringan setempat

8. Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV (modifikasi Gell dan Coombs) telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell mediated cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+

9. Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen

10. Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran dan penyakit yang ditimbulkannya cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik

11. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme seluler, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk sel antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

17

Page 18: Reaksi hipersensitivitas

DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. 9th De. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010.p.383-9

2. Subowo. Imunologi Klinik : Hipersensitivitas. 2nd De. Jakarta : Sagung Seto;2010.p 31-84

3. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins Ana Cotran : Disease of The Immune System. 8th De. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.p 198-201, 204-5

4. Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. Cellular and Molecular Immunology. 6th De. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.p 423-5

5. Widowati R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Pengetahuan Dasar Imunologi. 5th De. Jakarta: Penerbit FKUI; 2009.p45-6

6. Abbas AK, Lichtmann AH. Basic Immunology. 3rd De. Elsevier Saunders; 2009.p 201-7

18