Nama : Debby Mercyanne
NIM : 030.07.059
Dokter Pembimbing : dr. H. Taufik Sp.P
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program
penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut
oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT
diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO)
Tujuan
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh Pasien berobat jalan. Bila pasien mampu
datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai
PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan
koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB
untuk pelaksanaan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3. Suami/Istri/Keluarga/Orangserumah
Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
Langkah Pelaksanaan DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk
mendapat penjelasan tentang DOT
Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan
dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma,
kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :
Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat
jalan, di apotik saat mengambil obat dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga
pasien, masyarakat pengunjung RS dll
Cara memberikan penyuluhan
Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya
sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan
alat peraga (brosur, leaflet dll)
DOTS PLUS
Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS
Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2
DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi
DOTS
Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB
INTERNATIONAL STANDART FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi
guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan rekomendasi
WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 dan
pada tahun 2009 direvisi. Terdapat penambahan standard dari 17 standard menjadi 21 standard
yang terdiri dari :
Standard diagnosis ( standard 1-6 )
Standard pengobatan ( standard 7-13 )
Standard penanganan B dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain ( standard
14-17 )
Standard kesehatan masyarakat ( standar 18-21 )
STANDAR UNTUK DIAGNOSIS
1. Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberculosis
2. Semua pasien yang diduga penderita TB paru(dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-
kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan
berasal dari sputum pagi hari.
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstra paru (dewasa, remaja dan anak) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia
fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan, mikroskopik dan pemeriksaan
histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling
kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto
toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas
(hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga
memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan
pemeriksaan biakan. Pada pasien yang sakit berat atau diketahui atau diduga terinfeksi
HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukung
kearah TB, pengobatan TB harus dimulai.
6. Pada semua anak yang diduga menderita TB intratoraks (paru, pleura,KGB
hilus/mediastinal) konfirmasi bakteriologis harus dilakukan degan pemeriksaan dahak
( dengan cara batuk, bilas lambung, atau induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopis
dan biakan. Jika hasil bakteriologis negative, diagnosis Tb harus didasari pada kelainan
radiografi thoraks sesuai Tb, pajanan kepada Tb yang menularm bukti infeksi Tb (uji
tuberkulin/interferon gamma release assay positi) dan temuan klinis yang mendukung
kearah Tb. Untuk anak yang diduga menderita Tb ekstra paru, specimen dari lokasi yang
dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis, biakan, dan
histopatologi.
STANDAR UNTUK PENGOBATAN
7. Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan
masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya
resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib
memberikan panduan obat yang memadai tapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan
masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan untuk menilai kepatuhan pasien
serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan
obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH,Rifampisin, Pirazinamid dan
etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan
rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan
merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak
dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan
dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination
yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol sangat direkomendasikan.
9. Untuk membina dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu
pendekatan pemberian obat yang berpihak pada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien
dan hubungan yang saling menghormati antara pasien dan pemberi pelayanan seharusnya
dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya berbasis
individu dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan
dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen
utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk
menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak
patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing
masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh
PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab
kepada pasien dan sistem kesehatan.
10. Respon terhadap terapi pada pasien TB paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak
mikroskopis berkala ( dua spesimen ) waktu fase inisial selesai ( dua bulan ). Jika hapus
dahak positif pada akhir fase inisal, apus dahak harus diperiksa kembali pada tiga bulan
dan jika positif biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus
dilakukan. Pada pasien TB ekstra paru dan pada anak, penilaian respons pengobatan
terbaik secara klinis.
11. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu,
pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam
masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji sensitivitas obat seharusnya
dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati,
Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien
gagal pengobatan, putus obat atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai
terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan
uji sensitivitas/esistensi obat setidaknya terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitivitas/ resistensi obat setidaknya
terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan
kemungkinan penularan. Cara-cara pengontrolan infeksi yang memadai seharusnya
dilakukan.
12. Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita TB yang disebabkan kuman
resisten obat ( khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus
yang mengandung obat anti TB lini kedua. Panduan obat yang dipilih dapat distandarisasi
atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau telah terbukti. Paling tidak harus
digunakan empat obat yang masih efektif termasuk obat suntik, harus diberikan paling
tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien
diisyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi
dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien denga
MDR/XDR TB harus dilakukan.
13. Rekaman tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologik dan
efek samping harus ada untuk semua pasien
STANDAR UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV DAN KONDISI
KOMORBID LAIN
14. Uji HIV dn konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau
yang diduga menderita TB. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari managemen
rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam
populasi umum, pasien dengan gejala dan atau tanda kondisi yang berhubungan dengan
HIV dan pasien dengan riwayat resiko tinggi terpajan HIV. Karena terdapat hubungan
yang erat antara Tb dan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan
kedua infeksi.
15. Semua pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu
atau tidaknya pengobatan ARV diberikan selama masa pengobatan TB. Perencanaan
yang tepat untuk mngakse obat anti retro viral seharusnya dibuat untuk pasien yang
memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan Tb tidak boleh ditunda.
Pasien Tb dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan
infeksi lain.
16. Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita Tb
aktif seharusnya diobati sebaga infeksi Tb laten dengan isooazid selama 6-9 bulan.
17. Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap
kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respon atau hasil pengobatan Tb. Saat
rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggra keshatan harus mengidentifikasi
layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien
dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksaan. Rencaba ini harus
mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan peyakit lain
dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan
seperti diabetes mellitus, program berhenti merokok dan layanan pendukung psikososial
lain atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamila atau setelah
melahirkan.
STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT
18. Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien Tb seharusnya memastikan bahwa setiap
orang yang mempunyai kontak erat dengn pasien Tb menular seharusnya dievaluasi dan
ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan
kontak didasarkan pada kecenderungan bahwa kontak: 1) menderita Tb yang tidak
terdiagnosis, 2) berisiko tinggi menderita Tb jika terinfeksi 3) berisiko menderita Tb
berat jika penyakit berkembang dan 4) berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien. Prioritas
tertinggi evaluasi kontak adalah :
Orang dengan gejala yang mendukung kearah Tb
Anak berusia < 5 tahun
Kontak yang menderita atau diduga menderita immunokompramais khususnya
infeksi HIV
Kontak dengan pasien MDR/XDR TB. Kontak erat lainnya merupakan kelompok
proritas yang lebih rendah.
19. Anak berusia < 5 tahun dan orang dari semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki
kontak erat dengan pasien dan yang setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita
Tb aktif, harus diobati sebagai infeksi laten Tb dengan isoniazid.
20. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga
menderita Tb harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengontrolan infeksi Tb
yang memadai.
21. Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus Tb baru maupun
kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor dinas kesehatan setempat
sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku
Kuman yang sering ditemukan pada broenkietaksis
Penyebab infeksi tersering adalah H. Influenza dan P. Aeruginosa. Infeksi oleh
bakteri lain, seperti Klebsiela dan Staphylococus Aureus
Yang menyebabkan mengapa berbau busuk karena infeksi dari kuman-kuman
anaerob seperti Klebsiela, Staphylococus Aureus, dan H. Influenza
DAFTAR PUSTAKA
Konsensus Tuberculosis oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2011
http://emedicine.medscape.com/article/296961-overview#aw2aab6b2b3aa
Top Related