10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Resiliensi
a. Pengertian
Terdapat banyak definisi mengenai resiliensi, hal ini terjadi karena
para ahli atau peneliti tersebut menekankan aspek yang berbeda dari
resiliensi itu sendiri. Menurut Masten dkk (2005), resiliensi dipandang
sebagai kapasitas untuk bertahan dan memulihkan diri dari gangguan
terhadap keseimbangan seseorang atau stres berat yang diakibatkan oleh
pengalaman yang tidak menyenangkan.
Kimberly Gordon (dalam Emilia Astuty Hutapea, 2006)
mengemukakan bahwa resiliensi merupakan suatu proses tidak hanya
memfokuskan pada kesulitan atau trauma masa lalu melainkan juga pada
kesulitan atau trauma masa kini dan antisipasi terhadap kesulitan atau
trauma masa depan sehingga pada akhirnya seseorang dapat meningkatkan
kualitas hidupnya.
Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat
kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai
peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi
terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Menurut
Block (dalam Papalia, 2001) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah
satu tipe kepribadian dengan ciri-ciri, kemampuan penyesuaian yang baik,
11
percaya diri, mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu
dan berpusat pada tugas.
Dengan demikian, resiliensi tidak hanya dikaitkan dengan
kemampuan seseorang yang pernah mengalami suatu pengalaman trauma
melainkan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang, baik yang
mengalami pengalaman traumatik atau pun tidak, dengan tingkat
kemampuan yang berbeda-beda. Resiliensi dapat digunakan untuk
membantu seseorang dalam menghadapi serta mengatasi situasi sulit
sekaligus dapat digunakan untuk mempertahankan serta meningkatkan
kualitas hidupnya.
b. Aspek-aspek resiliensi
Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi,
aspek-aspek tersebut adalah pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls,
optimisme, kemampuan menganalisis masalah, empati, efikasi diri, dan
pencapaian. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1) Pengaturan emosi
Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan individu
untuk mengatur emosi sehingga tetap tenang meskipun berada dalam
situasi di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan dalam
pengaturan emosi yang baik dapat mengembangkan kemampuan dan
menolong mereka dalam mengendalikan emosi, perhatian, dan tingkah
laku mereka. Individu yang memiliki kemampuan dalam pengaturan
emosi biasanya dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal
12
serta dapat mengatasi rasa cemas, sedih atau marah sehingga
mempercepat dalam proses pemecahan masalah tersebut (Rahmawati,
2009).
Pengaturan emosi ini sangat penting dalam hubungan yang
intim, sukses dalam pekerjaan, dan mempertahankan kesehatan fisik.
Tidak semua emosi harus dikendalikan karena pengekspresian emosi
sebenarnya merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan
dilakukan sesuai dengan konteks yang terjadi. Seseorang yang
memiliki kesulitan dalam pengaturan emosi akan cenderung menjadi
kurang efektif dalam mengatasi kesulitan dan pemecahan masalah
serta sulit dalam mempertahankan dan membangun hubungan dengan
orang lain maupun sulit untuk berkomunikasi dalam bekerja.
Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di
antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau
menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas,
khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh
seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita
terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi
seorang yang pemarah.
Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan terdapat dua
hal penting yang terkait dengan pengaturan emosi, yaitu ketenangan
(calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola
kedua keterampilan ini dapat membantu mereka dalam meredakan
13
emosi yang ada dan memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu
serta mengurangi stress.
2) Kontrol terhadap impuls
Kontrol terhadap impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan dalam dirinya,
kemampuan mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan
berpikir yang jernih dan akurat. Pengaturan emosi memiliki hubungan
dengan kontrol terhadap impuls, apabila kontrol terhadap impuls
tinggi maka pengaturan emosi yang dimiliki pun cenderung tinggi.
Kontrol terhadap impuls ini bukan hanya berhubungan erat
dengan pengaturan emosi, tetapi juga berhubungan dengan kebutuhan
ataupun keinginan tertentu dari individu yang dapat mengganggu
ataupun menghambat perkembangannya (Reivich & Shatte, 2002).
Individu dengan kontrol terhadap impuls yang rendah pada umumnya
percaya pada pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi
sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut.
Reivich dan Shatte (dalam Rahmawati, 2009) juga
menyebutkan bahwa individu dengan kontrol terhadap impuls rendah
sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Hal ini mengakibatkan
individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah
marah, impulsif dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang
tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa
14
kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam
hubungan sosial.
3) Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu
ini percaya bahwa suatu hal yang mereka hadapi dapat berubah
menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan untuk masa depan dan
percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Optimisme
berarti bahwa kita percaya akan adanya kemampuan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan yang akan menghadang (Reivich & Shatte, 2002).
Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan
individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik
serta lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih
produktif dalam bekerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga
(Reivich & Shatte, 2002).
Individu yang optimis percaya bahwa mereka dapat
menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.
Hal ini sangat berhubungan dengan self-efficacy, yaitu kepercayaan
individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalahnya sendiri dan menguasai dunianya. Menurut Reivich,
optimisme dan self-efficacy adalah dua hal yang terjadi secara
bersamaan. Hal ini disebabkan optimisme memotivasi individu untuk
mampu mencari solusi dan bekerja keras untuk memperbaiki situasi
yang dihadapi individu. Reivich dan Shatte (dalam Rahmawati, 2009)
15
mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa
depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan
membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang
terjadi.
4) Kemampuan menganalisis masalah
Kemampuan menganalisis masalah adalah kemampuan
mengidentifikasi secara akurat penyebab dari suatu masalah. Apabila
seseorang tidak dapat menemukan penyebab dari suatu masalah secara
akurat, maka masalah yang sama akan terjadi terus menerus (Reivich
& Shatte, 2002). Kemampuan menganalisis masalah dilakukan
individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Individu dapat
melihat penyebab sebagai suatu hal menurut tiga dimensi gaya
berpikir, yaitu: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak
selalu), dan pervasive (meluas-tidak meluas) sebagai cara berpikir.
Individu yang menjelaskan masalah dengan dimensi personal
saya, meyakini bahwa masalah yang dihadapi berasal dari dirinya
sendiri. Kemudian, individu yang menjelaskan masalah dengan
dimensi selalu akan menjelaskan masalah sebagai hal yang akan
berlangsung terus dan tidak dapat diubah. Sedangkan, individu yang
menjelaskan masalah dengan dimensi meluas, menjelaskan masalah
sebagai hal yang berdampak pada semua aspek kehidupannya
(Reivich & Shatte, 2002).
16
Individu yang merefleksikan sesuatu sebagai saya, selalu,
seluruhnya akan selalu menganggap penyebab sebagai suatu kejadian
berasal dari dirinya sendiri. Sedangkan individu yang merefleksikan
sesuatu sebagai bukan saya, tidak selalu, tidak seluruhnya akan
selalu menganggap penyebab dari suatu kejadian berasal dari faktor di
luar dirinya.
Hal ini kemudian berkaitan dengan locus of control. Locus of
Control (LoC) terbagi menjadi 2 jenis, yaitu LoC internal dan LoC
eksternal. Individu dengan LoC eksternal meyakini bahwa perilakunya
diarahkan oleh takdir, keberuntungan atau kejadian lain di luar
dirinya. Sedangkan individu dengan LoC internal mempercayai bahwa
perilakunya dikendalikan oleh upaya-upaya sendiri dan berdasarkan
keputusan mandiri.
Individu yang dianggap memiliki resiliensi yang tinggi
adalah yang memiliki karakteristik locus of control internal, dimana
orang yang memiliki LoC internal adalah orang yang memiliki
kemampuan kognitif yang fleksibel dan dapat mengidentifikasi
penyebab panting dari setiap masalah yang dihadapi tanpa harus
terikat dengan gaya berpikir tertentu. Individu tersebut realistis
sehingga tidak menghiraukan faktor-faktor yang permanen dan
pervasif. Mereka tidak merefleksikan kesalahan dengan menyalahkan
orang lain terhadap kesalahan mereka hanya untuk mempertahankan
harga diri mereka Reivich dan Shatte (dalam Rahmawati, 2009).
17
5) Empati
Empati merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca
dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain. Beberapa
individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh
orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan
mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain.
Individu yang mempunyai kemampuan empati rendah
cenderung mengulangi tingkah laku yang menunjukkan
ketidakresiliensian dengan tidak memahami perasaan orang lain.
Dengan kemampuan ini individu dapat memahami bagaimana cara
menghadapi orang lain sehingga mampu mengatasi permasalahan
yang dihadapinya (Reivich & Shatte, 2002). Oleh karena itu,
seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki
hubungan sosial yang baik.
6) Efikasi diri
Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai
keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan efektif. Hal ini dapat menggambarkan
kepercayaan bahwa seseorang dengan kemampuannya dapat
menyelesaikan suatu masalah dengan berhasil dan sukses. Individu
dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan
masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa
18
strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil Revich dan Shatte
(dalam Rahmawati, 2009).
Menurut Bandura (1997), individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu
tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan
kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan
mampu bangkit dari keagagalan yang ia alami. Dengan keyakinan
yang dimiliki individu, ia pasti akan mampu bertahan dan menjadi
individu yang resilien.
7) Pencapaian
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi
lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan
untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun
lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih
aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa atau
biasa disebut dengan pencapaian.
Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk
meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang
mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala
ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Menurut
Revich dan Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang
meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang
meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua
19
aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang
realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta
mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu
meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi
permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan
interpersonal dan pengendalian emosi.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Everall, et al., (2006) memaparkan tiga faktor yang
mempengaruhi resiliensi, yaitu :
1) Faktor individual
Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu,
konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu.
Menurut Holaday (dalam Emelia Astuty Hutapea, 2006), keterampilan
kognitif berpengaruh penting pada resiliensi individu. Inteligensi
minimal rata-rata dibutuhkan bagi pertumbuhan resiliensi pada diri
individu karena resiliensi sangat terkait erat dengan kemampuan untuk
memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat,
kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliensi juga
dihubungkan dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari
trauma dengan menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang
ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan.
20
2) Faktor keluarga
Faktor-faktor keluarga yang berhubungan dengan resilensi,
yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki
kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif
bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang berkecukupan,
memiliki hubungan harmonis dengan anggota keluarga-keluarga lain.
3) Faktor komunitas
Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan
kesempatan kerja. Menurut Isaacson (dalam Rahmawati, 2009),
menambahkan bahwa dukungan sosial yang diberikan oleh komunitas
(dalam hal ini tetangga, teman, penolong) merupakan penanda
kesuksesan bagi individu. Komunitas resilien adalah sebuah
komunitas yang terfokus pada faktor protektif yang mendorong
anggotanya untuk memiliki kemampuan resiliensi yang baik.
Menurut Krovetz (1999), komunitas ini memiliki beberapa
sifat, diantaranya yaitu sangat memperhatikan dan memberikan kasih
sayang kepada anggotanya, memiliki harapan dan dukungan yang
tinggi, memberikan kesempatan yang selalu terbuka untuk ikut
berpatisipasi seluas-luasnya pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh komunitas tersebut.
21
2. Mahasiswa
a. Pengertian
Menurut Sarwono (2002), mahasiswa adalah kelompok masyarakat
yang statusnya terikat dengan Perguruan Tinggi. Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Nugraha, 2001)
mendefinisikan mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar
untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di Perguruan Tinggi dengan batas
usia 18-30 tahun.
Sedangkan Perguruan Tinggi dalam pengertian di atas adalah
satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi (Nugraha,
2001). Sarwono (dalam Nugraha, 2001) menjelaskan bahwa Perguruan
Tinggi adalah lembaga pendidikan formal di atas sekolah lanjutan atas
yang terutama memberikan pendidikan teori dari suatu ilmu pengetahuan
disamping mengajarkan keterampilan (skill) tertentu.
Berdasarkan batas usia yang dijelaskan oleh Sarwono (dalam
Nugraha, 2001), maka mahasiswa yang berada di tahun pertama
perkuliahan ( 18 tahun) berada pada tahap perkembangan remaja akhir
dan transisi menuju dewasa muda. Oleh sebab itu, yang menjadi ciri khas
dan tugas perkembangan mahasiswa baru adalah dalam masa transisi
meninggalkan kehidupan remaja dan menuju kehidupan dewasa muda,
sehingga mereka sedang beralih dari tugas perkembangan remaja menuju
tugas perkembangan dewasa muda
22
Masalah dan situasi yang dihadapi oleh mahasiswa mungkin
berbeda dengan yang dihadapi oleh selain mahasiswa atau pekerja.
Tekanan bisa timbul dari tuntutan untuk mendapatkan nilai yang tinggi,
gelar, pekerjaan rumah yang berlebihan, tugas yang tidak jelas, dan ruang
kelas yang tidak nyaman (Kohn & Frazer dalam Emelia Astuty Hutape,
2006).
Tugas yang banyak yang diberikan oleh dosen membuat mahasiswa
sangat terbebani. Apalagi yang sudah menggunakan kurikulum berbasis
kompetensi (kurikulum sistem blok), hampir setiap hari ada pembuatan
paper, makalah atau laporan praktikum. Hal ini sangat menyita waktu yang
cukup banyak pada mahasiswa. Dinamika kampus yang beragam
membawa berbagai dampak bagi mahasiswa; baik negatif maupun positif,
fisik, maupun psikologis selama proses menyelesaikan tugas. Selama
proses mengerjakan tugas misalnya makalah, mahasiswa ditantang dan
dilatih untuk melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan yang bersifat
ilmiah, seperti pencarian suatu problem dan pemecahannya yang
berlandaskan pada suatu teori dan juga langkah-langkah atau metode yang
ilmiah disertai pola pikir yang kritis (critical thinking) diharapkan akan
dimiliki mahasiswa Greenberg (dalam Utami, 2012)
b. Permasalahan yang dihadapi mahasiswa
Ketika seseorang memasuki dunia Perguruan Tinggi dan menjadi
mahasiswa, maka ada perubahan-perubahan yang harus dihadapi.
Perubahan-perubahan ini kemudian dapat dinilai sebagai permasalahan
23
yang harus dihadapi dan diatasi oleh mahasiswa agar tidak mempengaruhi
kelancaran proses pendidikan mereka.
Menurut Gunarsa (1995), mahasiswa baru perlu menyesuaikan diri
dengan beberapa perubahan, yang juga terkait dengan tugas
perkembangannya, antara lain:
1) Perbedaan sifat pendidikan SLTA dan perguruan tinggi
Perbedaan sifat pendidikan ini terdiri dari beberapa hal, yaitu:
a) Kurikulum
Kurikulum Perguruan Tinggi lebih sedikit dibanding SLTA,
tapi lebih mendalam. Bidang eksakta juga lebih ketat dibanding
non eksakta. Jika mahasiswa menyukai jurusan yang ia pilih, maka
kemungkinan besar mahasiswa tersebut dapat menjalani masa
pendidikannya dengan lancar. Tetapi, jika ternyata bidang studi
yang ia pilih tidak sesuai dengan minat mahasiswa, maka
kegairahan akan menurun, studi tidak lancar, bahkan bisa
menimbulkan gangguan pada kepribadian dan fungsi organis.
b) Disiplin
Perguruan Tinggi tidak seketat SLTA dalam menerapkan
disiplin, karena mahasiswa dianggap sudah lebih dewasa sehingga
dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Melonggarnya
disiplin tentu saja mempengaruhi cara belajar mahasiswa, yang
lebih bebas dan hal ini bisa menyebabkan kesulitan tersendiri.
24
c) Hubungan dosen-mahasiswa
Pola hubungan juga sangat berbeda antara di Perguruan Tinggi
dan SLTA. Dialog langsung jarang dilakukan pada tingkat-tingkat
awal ketika jumlah mahasiswa dalam satu kelas masih sangat besar.
Mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan cara dosen memberi
mata kuliah yang mungkin masih bayak mempergunakan cara
tradisional, yaitu dosen hanya menerangkan tanpa mempedulikan
apakah mahasiswa paham atau tidak. Pada tingkat-tingkat yang
lebih tinggi, saat jumlah mahasiswa dalam satu kelas berkurang
atau sistem SKS (Satuan Kredit Semester) diberlakukan, hubungan
dosen-mahasiswa bisa terjalin dalam bentuk yang lain, yaitu
kemungkinan terjadi dialog langsung.
2) Hubungan sosial
Pola pergaulan juga bergeser dari pola antara sesama jenis ke
arah pola pergaulan heteroseksual. Seiring pula dengan pergeseran
dari dependensi ke independensi, mahasiswa merasa lebih bebas untuk
bergaul. Masalah pergaulan bisa menjadi masalah yang pelik, baik
mengenai percintaan, kesuliatan penyesuaian diri dan keterlibatan
terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa bersifat negatif.
3) Masalah ekonomi
Pada umumnya, mahasiswa belum memiliki penghasilan
sendiri, sehingga masih bergantung secara ekonomi pada orang tua.
Kelonggaran untuk menggunakan uang ternyata tidak sebebas tingkah
25
laku dan sikapnya yang bisa menentukan sendiri berbagai hal. Kalau
studi lancar dan orang tua cukup mampu membiayai, maka masalah
keuangan mungkin tidak banyak timbul. Akan tetapi, kalau yang
terjadi adalah sebaliknya, maka bisa timbul konflik antara keinginan
meneruskan kuliah atau bekerja. Banyak yang kemudian
mendahulukan keinginan yang satu dengan akibat yang lain kurang
diperhatikan.
4) Pemilihan bidang studi-jurusan
Antara bakat, minat dengan kesempatan yang ada sering
menimbulkan masalah yang cukup rumit. Ada beberapa mahasiswa
yang memasuki Perguruan Tinggi dan menjalani jurusan yang dirasa
salah pilih, yang berakibat mengendurnya motivasi untuk menjalani
perkuliahan. Terkadang mahasiswa mencoba-coba masuk ke jurusan
tertentu dengan harapan bisa pindah ke jurusan lain, namun bisa saja
keinginan tersebut terhalang oleh prosedur dan kesempatan yang ada.
c. Strategi pembelajaran pada sistem blok
Dalam proses pembelajaran dengan sistem blok terdapat beberapa
strategi yang digunakan, seperti yang dikutip dari buku panduan
mahasiswa blok di Jurusan Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman,
antara lain:
1) Lecturing
Lecturing adalah suatu cara mengajar yang digunakan untuk
menyampaikan informasi atau uraian tentang suatu pokok
26
permasalahan secara lisan atau biasa disebut dengan metode ceramah.
Menurut Waji Sholikhul (2002) metode ceramah murni adalah suatu
metode yang menekankan penjelasan atau menerangkan materi
pelajaran dari dosen kepada mahasiswa secara lisan tanpa
menggunakan perantara atau media lainnya.
2) Discovery learning (DL)
Discovery Learning merupakan suatu metode pembelajaran yang
dilakukan oleh mahasiswa dengan bertanya dan merumuskan jawaban
mereka sendiri yang bersifat sementara (model hipotesis) serta
menyimpulkan prinsip umum (to deduce general principles) dari
contoh yang praktis atau pengalaman. Pelaksanaan discovery learning
tidak hanya menghasilkan penguasaan prinsip-prinsip umum suatu
topik tetapi juga pengembangan suatu sikap ke arah pembelajaran dan
penyelidikan, ke arah tebakan dan firasat, ke arah kemungkinan dan
memecahkan masalah pada diri mereka sendiri.
3) Small group dscussion (SGD)
SGD merupakan sarana diskusi mahasiswa yang didampingi tutor
untuk mengasah kemampuan analisa dan pendalaman materi tertentu
yang terarah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4) Problem based learning (PBL)
Menurut Duch (dalam Budianto, 2010), PBL adalah metode
pendidikan yang mendorong siswa untuk mengenal cara belajar dan
bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-
27
masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk
mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari
sesuatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berfikir secara kritis
dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan
secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
5) Praktikum
Praktikum diadakan sesuai jadwal. Mahasiswa diwajibkan
menggunakan seragam praktikum dan hadir 15 menit sebelim
praktikum dimulai. Sebelum praktikum dimulai, mahasiswa
mengerjakan soal pretest sebagai dasar penilaian kesiapan mahasiswa
sebelum mengikuti praktikum. Apabila mahasiswa belum siap
(ditujukan dengan nilai pretest
28
menjadi stres karena banyaknya tugas tetapi ada juga yang menganggap
sistem blok ini adalah tantangan tersendiri buat mereka sehingga mereka
merasa sistem blok bukan sesuatu hal yang menakutkan.
Kemudian peneliti menanyakan mengenai nilai Indeks Prestasi
(IP) mereka ternyata nilai akademik mereka berada di atas 3,5 ada
sebagian yang mengatakan nilai akademik turun dari semester ke semester
tetapi ada juga yang nilai akademik mereka naik. Dapat diartikan bahwa
walaupun mahasiswa tersebut merasa stres dengan sistem blok ini tetapi
mahasiswa blok ini masih bisa beradaptasi dengan keadaan, bahkan ada
juga mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh jurusan
atau pun menjadi asisten praktikum dalam suatu mata perkuliahan.
29
B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan teori menurut Reivich & Shatte (2002) dan Utami
(2012), maka dibentuk kerangka penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Aspek-aspek resiliensi
Pengaturan
emosi
Kontrol
terhadap
impuls
Optimisme Kemampuan
menganalisis
masalah
Empati Efikasi
diri
Pencapaian
Resiliensi
Permasalahan yang dihadapi mahasiswa blok
Faktor Akademik Faktor Intrapersonal
30
C. Kerangka Konsep
Penelitian ini telah meneliti variabel bebas yaitu aspek resiliensi dan
variabel terikat yaitu resiliensi, sedangkan variabel pengganggu tidak akan diteliti,
untuk lebih jelasnya kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Keterangan:
: diteliti
Variabel terikat:
Resiliensi
Variabel bebas:
Pengaturan emosi,
kontrol terhadap
impuls, optimisme,
kemampuan
menganalisis
masalah,
empati,efikasi diri
dan pencapaian
31
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atau pertanyaan
penelitian yang harus di uji validitasnya secara empiris (Sastroasmoro, 2002).
Dalam penelitian ini dapat dirumuskan suatu hipotesis yaitu:
1. Aspek pengaturan emosi mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan
2010 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Aspek kontrol terhadap impuls mempengaruhi resiliensi mahasiswa
angkatan 2010 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.
3. Aspek optimisme mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman.
4. Aspek kemampuan menganalisis masalah mempengaruhi resiliensi
mahasiswa angkatan 2010 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.
5. Aspek empati mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010 Jurusan
Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas
Jenderal Soedirman.
6. Aspek efikasi diri mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman.
32
7. Aspek pencapaian mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman.
8. Terdapat satu faktor dominan dari ketujuh aspek yang mempengaruhi
resiliensi mahasiswa angkatan 2010 Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.
Top Related