SKRIPSI
FORMULASI SAGU INSTAN
SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI
Oleh:
ANWAR SANUSI
F24101067
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ANWAR SANUSI (F24101067). Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori. Dibawah bimbingan Nuri Andarwulan. 2006.
RINGKASAN
Sagu merupakan salah satu komoditi pangan lokal Indonesia yang tersebar
luas terutama di bagian timur Indonesia seperti Maluku dan Irian Jaya. Sagu memiliki jumlah kalori yang cukup tinggi, sehingga pada awalnya sebagian masyarakat Indonesia menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Namun pemanfaatan sagu dewasa ini sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat lebih memilih beras dari pada sagu, padahal bila dilihat dari kandungan kalorinya, sagu memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda dengan beras. Sagu memiliki kandungan kalori sebesar 353 kkal per 100 g bahan, sedangkan beras mempunyai kandungan kalori sebesar 364 kkal per 100 g bahan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1990). Selama ini produk-produk pangan yang dibuat dari sagu merupakan produk-produk pangan olahan tradisional. Sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan dan peningkatan kembali konsumsi sagu sebagai pangan nasional, maka perlu dikembangkan suatu produk makanan berbasis sagu yang diolah dengan teknologi lebih modern. Salah satu produk yang mungkin dibuat adalah produk sagu instan tinggi kalori. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula sagu instan yang memiliki kandungan kalori yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Formula dibuat dengan menambahkan beberapa bahan lain sehingga diperoleh bentuk pangan instan dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat sebagai pangan tinggi kalori.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : (1) Tahap persiapan, yang meliputi pencucian, pengayakan, dan penyangraian pati sagu, pembuatan tepung kedelai, dan analisis proksimat bahan baku; (2) Formulasi dan pembuatan produk; (3) Uji organoleptik; (4) Analisis sifat fisik, kimia, dan daya cerna; dan (4) Penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi berdasarkan kandungan gizi produk hasil analisis kimia dan daya cerna.
Formulasi sagu instan dibuat dengan menggunakan pati sagu sebagai bahan baku utama, dengan bahan-bahan penyusun lain yaitu : tepung kedelai, skim, gula, dan minyak nabati. Penentuan formula didasarkan pada jumlah kandungan kalori yang harus memenuhi minimal 300 kkal per 100 gram bahan sebagai syarat makanan tinggi kalori. Formula dibuat dengan menggunakan perbandingan komposisi pati sagu dan tepung kedelai.. Pada penelitian ini formulasi dilakukan dalam dua tahap. Formulasi tahap pertama merupakan formulasi awal yang bertujuan membuat formula makanan tinggi kalori yang diharapkan bisa diterima oleh konsumen. Pada tahap ini dibuat lima formula sagu instan dengan komposisi pati sagu : tepung kedelai yaitu, 60 : 0, 55 : 5, 50 : 10, 45 : 15, dan 40 : 20, sisanya merupakan bahan penyusun lain. Setelah formulasi, selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Formulasi tahap kedua merupakan tindak lanjut dari hasil uji organoleptik pertama. Pada formulasi tahap kedua dilakukan sedikit perubahan komposisi bahan penyusun yang dilakukan terhadap ketiga formula terpilih hasi uji organoleptik pertama. Perubahan komposisi dilakukan
dengan tujuan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk. Komposisi pati sagu : tepung kedelai pada ketiga formula sagu instan tahap kedua adalah 50 :5, 45 : 10, dan 40 : 15, sisanya adalah bahan penyususn lain.
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap produk (uji hedonik) serta untuk menentukan formula terbaik (uji rangking hedonik). Parameter mutu sensori yang diuji pada uji organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan tingkat kesukaan netral/biasa hingga suka, sedangkan hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan menunjukkan tingkat kesukaan netral/biasa hingga agak suka. Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa produk cukup diterima oleh konsumen. Hasil uji organoleptik dengan rangking hedonik menunjukkan bahwa formula dengan komposisi 45% pati sagu, 10% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati merupakan formula terbaik.
Analisis proksimat dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua yang merupakan formula terpilih hasil uji organoleptik. Hasil analisis menunjukkan bahwa formula sagu instan mempunyai kadar air berkisar antara 2.76 – 3.36% (bb), kadar abu 2.96 – 3.11% (bk), protein 8.07 – 12.38% (bk), lemak 5.60 – 7.84% (bk), karbohidrat 76.68 – 83.37% (bk), dan serat makanan 5.54 – 9.48% (bk). Dari data tersebut diperoleh nilai kalori produk sebesar 389 – 395 kkal per 100 g bahan (% bk). Nilai kalori tersebut memenuhi standar pangan berkalori menurut BPOM (2004), yaitu minimal harus mempunyai 300 kkal per 100 g bahan.
Analisis daya serap air dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan produk dalam menyerap air, sehingga dapat berguna dalam proses rekonstitusi produk. Hasil pengukuran daya serap air formula sagu instan menunjukkan nilai 3.72 – 4.15 g/g. Dari data terlihat adanya penurunan daya serap air dengan peningkatan penambahan tepung kedelai dalam produk. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan kandungan protein dan lemak dapat menyebabkan penghambatab laju penyerapan air pada produk. Selain daya serap air, dilakukan juga penentuan rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rasio rehidrasi optimum antara bahan dan air adalah 1 : 4 dengan waktu optimum 2.9 – 3.6 menit.
Penentuan daya cerna protein dilakukan dengan metode in vitro menggunakan teknik multi enzim. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya cerna protein formula sagu instan berkisar antara 81.07 – 82.16%. Formula dengan komposisi 40% pati sagu, 15% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati memiliki nilai daya cerna protein paling tinggi yaitu 82.16%. Hal ini terjadi karena formula tersebut mempunyai kandungan protein paling tinggi.
Penentuan daya cerna pati dilakukan secara enzimatis menggunakan enzim α-amilase. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya cerna pati formula sagu instan berkisar antara 31.42 – 56.44%. Formula dengan komposisi 50% pati sagu, 5% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati memiliki nilai daya cerna pati paling tinggi yaitu 56.44%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai daya cerna pati ketiga formula tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah pati dan serat yang terkandung dalam produk. Dari data terlihat adanya penurunan daya cerna pati sesuai dengan penurunan komposisi pati sagu dan peningkatan kadar serat makanan.
Penentuan takaran saji dan Angka Kecukupan Gizi dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua. Penentuan takaran saji didasarkan pada kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per hari. Pada penelitian ini jumlah takaran saji yang dianjurkan adalah 37 g. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang akan dipenuhi meliputi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat. Sebelum dilakukan perhitungan AKG terlebih dahulu dilakukan perhitungan kandungan gizi per takaran saji. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa AKG kalori formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 7.20 – 7.30 %, AKG protein berkisar antara 5.98 – 8.33 %, AKG karbohidrat berkisar antara 8.73 – 9.49 %., AKG lemak formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 3.76 – 5.27 %. AKG protein dan karbohidrat dapat memenuhi minimal 20% dari AKG yang dianjurkan sebagai syarat klaim tinggi apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari.
Kandungan kalori formula sagu instan per takaran saji (37 g) berkisar antara 144 – 146 kkal. Apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari maka dapat memenuhi kalori sebesar 432 – 438 kkal per hari. Nilai ini memenuhi persyaratan klaim sebagai pangan berkalori menurut BPOM (2004) yaitu minimal dapat memberikan kalori sebesar 300 kkal per hari.
FORMULASI SAGU INSTAN
SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ANWAR SANUSI
F24101067
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
FORMULASI SAGU INSTAN
SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ANWAR SANUSI
F24101067
Dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1983
Di Garut
Tanggal lulus: Maret 2006
Menyetujui,
Bogor, Maret 2006
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi
Dosen Pembimbing
Mengetahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 15
Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara, yang lahir dari pasangan Bapak Uyoh Saefuloh dan
Ibu Kokoy Rukoyah.
Pendidikan penulis dimulai di SDN Sindangreret
Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur pada tahun 1989. Pada tahun 1994
penulis pindah sekolah ke SDN Cirapuhan I Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut
sampai tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Selaawi
Kabupaten Garut kemudian pindah sekolah ke SLTPN 2 Sukaluyu sampai tahun
1998. Selanjutnya penulis memasuki jenjang pendidikan menengah di SMUN 1
Ciranjang Kabupaten Cianjur sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di beberapa
organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM
FATETA) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA).
Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan dari beberapa kegiatan yang
diselenggarakan oleh Departemen Teknologi Pangan dan Gizi maupun Fakultas
Teknologi Pertanian. Pada tahun 2004, penulis melakukan Praktek Lapangan (PL)
di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung dengan tema:
“Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Mie Instan di PT Indofood
Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung”.
Penulis menyelesaikan tugas akhir penelitian sebagai salah satu syarat
memperoleh gelah sarjana dengan skripsi berjudul “Formulasi Sagu Instan
Sebagai Makanan Tinggi Kalori” dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan,
MSi.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang
berjudul “Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Padat Kalori” ini merupakan
laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar
sarjana di Instutut Pertanian Bogor.
Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta, adikku tersayang Sulton Arif, serta seluruh
keluargaku atas do’a dan dukungannya.
2. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. sebagai dosen pembimbing akademik
yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.
3. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi.
atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukan-masukannya untuk
perbaikan skripsi.
4. Irma Pratiwi atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, perhatian, dan
dorongan moralnya kepada penulis sehingga menjadi kekuatan bagi
penulis untuk tetap semangat dalam melakukan penelitian. Kau terlahir
hanya untukku.
5. Teman-temanku Jalu, Este, Intan, dan Nandang. Jangan lupakan saat-saat
terindah sewaktu kita bersama.
6. Teman-temanku di kelompok C1 (Fajri, Kidik, dan Pahrudin) atas
kebersamaan dan kekompakannya selama praktikum.
7. Teman-teman satu bimbingan (Daniel, Martantri, dan Pahrudin) yang
selalu memberi masukan berarti kepada penulis
8. Teman-temanku Bro, Udin, Manong, Rahmat, Bangun, dan Pitoy. Kapan
tanding lagi
9. Teman-teman TPG 38, 39, dan 40 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
10. Keluarga besar Tiger Camp terutama Pa’de (Fatkurrahman), terima kasih
atas diskusi-diskusi, pemikiran-pemikiran dan nasehat-nasehat bijaknya.
11. Semua teknisi dan laboran. Pak wahid, Pak Gatot, Pak sobirin, Pak Koko,
Pak Sidik, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Nur, Pak Iyas, Teh Ida, Bu
Rubiyah.Terima kasih atas bantuannya.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian
maupun penulisan skripsi.
Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan
penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG....................................................................... 1
B. TUJUAN ........................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU ................................................................................................ 3
1. Botani Tanaman Sagu ................................................................... 3
2. Pati Sagu ....................................................................................... 4
3. Pemanfaatan Sagu ......................................................................... 8
B. KEDELAI .......................................................................................... 9
1. Komposisi Kimia Kedelai ............................................................. 10
2. Tepung Kedelai ............................................................................. 10
3. Protein Kedelai .............................................................................. 12
4. Lesitin Kedelai .............................................................................. 13
C. MAKANAN TINGGI KALORI ....................................................... 14
D. PANGAN INSTAN .......................................................................... 15
E. PENGERINGAN .............................................................................. 16
1. Teori Pengeringan ......................................................................... 16
2. Alat Pengering Drum .................................................................... 17
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 19
B. METODE PENELITIAN .................................................................. 19
1. Tahap Persiapan ............................................................................ 20
2. Formulasi dan Pembuatan Produk ................................................ 22
3. Penentuan Takaran Saji dan Angka Kecukupan Gizi ................... 24
Halaman
C. PENGAMATAN ............................................................................... 24
1. Kadar Air ....................................................................................... 24
2. Kadar Abu ..................................................................................... 25
3. Kadar Protein ................................................................................ 25
4. Kadar Lemak ................................................................................. 26
5. Kadar Karbohidrat ......................................................................... 26
6. Kadar Serat Makanan .................................................................... 27
7. Penentuan Kalori Makanan ........................................................... 28
8. Daya serap air ................................................................................ 28
9. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi .......................................... 29
10. Daya Cerna Protein ........................................................................ 29
11. Daya Cerna Pati ............................................................................. 30
12. Uji Organoleptik ........................................................................... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TAHAP PERSIAPAN ........................................................................ 32
1. Pencucian dan Pengayakan Pati .................................................... 32
2. Penyangraian Pati .......................................................................... 32
3. Pembuatan Tepung Kedelai .......................................................... 33
B. FORMULASI DAN PEMBUATAN PRODUK ................................ 34
1. Penyusunan Formula ..................................................................... 34
2. Pembuatan Produk Sagu Instan ..................................................... 36
C. UJI ORGANOLEPTIK ...................................................................... 39
1. Nilai Warna ................................................................................... 40
2. Nilai Aroma ................................................................................... 41
3. Nilai Tekstur ................................................................................. 42
4. Nilai Rasa ...................................................................................... 43
5. Nilai Kerenyahan .......................................................................... 45
6. Penerimaan umum ......................................................................... 46
D. MUTU KIMIA SAGU INSTAN ...................................................... 47
1. Kadar Air ....................................................................................... 48
2. Kadar Abu ..................................................................................... 49
Halaman
3. Kadar Protein ................................................................................ 50
4. Kadar Lemak ................................................................................. 51
5. Kadar Karbohidrat ......................................................................... 52
6. Kadar Serat Makanan (Dietary Fiber) .......................................... 52
7. Kandungan Kalori ......................................................................... 54
E. MUTU FISIK SAGU INSTAN ......................................................... 55
1. Daya Serap Air ............................................................................. 55
2. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi .......................................... 56
F. DAYA CERNA SAGU INSTAN ...................................................... 57
1. Daya Cerna Protein ....................................................................... 57
2. Daya Cerna Pati ............................................................................ 59
3. Penentuan Kalori Berdasarkan Daya Cerna .................................. 61
G. PENENTUAN TAKARAN SAJI DAN ANGKA
KECUKUPAN GIZI ......................................................................... 65
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN .................................................................................. 69
B. SARAN .............................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 74
LAMPIRAN................................................................................................... 79
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain ..................... 5
Tabel 2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan ................................. 6
Tabel 3. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3792-1995 ...................... 6
Tabel 4. Komposisi kimia kedelai per 100 g bahan .................................... 11
Tabel 5. Formula sagu instan (dalam 100 g bahan) .................................... 23
Tabel 6. Komposisi kimia bahan penyusun sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk) ................................................. 35
Tabel 7. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap pertama per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis .................................................................. 35
Tabel 8. Formula sagu instan tahap kedua (dalam 100 g bahan) ................ 39
Tabel 9. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap kedua per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis .................................................................. 39
Tabel 10. Komposisi kimia formula sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk) ................................................................ 48
Tabel 11. Kandungan gizi formula sagu instan berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ....................................... 62
Tabel 12. Kandungan gizi formula flakes triple mixed ubi jalar-kecambah kedelai-wheat germ berdasarkan daya cerna protein per 100 g bahan (% bk) .................................................................................. 62
Tabel 13. Kandungan gizi formula pangan semi basah (PSB) dan kue satu dari buah sukun berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ........................................................................ 63
Tabel 14. Kandungan gizi formula bubur bayi dari tepung kecambah kacang tunggak berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ........................................................................ 63
Tabel 15. Kandungan gizi brownies buah kering dan plain cake buah kering berdasarkan daya cerna protein per 100 g bahan (% bk) ... 64
Tabel 16. Angka Kecukupan Gizi untuk acuan pelabelan pangan umum .... 65
Tabel 17. Informasi nilai gizi (nutrition fact) dan Angka Kecukupan Gizi formula sagu instan per takaran saji (37 g) ................................... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan alir pencucian dan pengayakan pati sagu ...................... 20
Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati sangrai ........................................... 21
Gambar 3. Bagan alir pembuatan tepung kedelai metode Illinois ............. 22
Gambar 4. Bagan alir proses pembuatan formula sagu instan ................... 24
Gambar 5. Formula sagu instan ................................................................. 38
Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan warna formula sagu instan...................................... 40
Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan aroma formula sagu instan ....................................... 42
Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur formula sagu instan ...................................... 43
Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan rasa formula sagu instan ........................................... 44
Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan formula sagu instan ............................... 45
Gambar 11. Histogram uji hedonik rangking formula sagu instan .............. 46
Gambar 12. Daya serap air formula sagu instan .......................................... 55
Gambar 13. Histogram pengaruh formulasi terhadap daya cerna protein formula sagu instan .................................................................. 58
Gambar 14. Histogram pengaruh formulasi terhadap daya cerna pati formula sagu instan .................................................................. 60
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data hasil analisis proksimat bahan baku sagu instan ........... 78
Lampiran 2. Data hasil analisis proksimat formula sagu instan ................. 80
Lampiran 3. Formulir uji hedonik dan rangking hedonik ........................... 82
Lampiran 4. Rekapitulasi data uji hedonik pertama .................................... 84
Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik kedua ....................................... 87
Lampiran 6. Rekapitulasi data uji rangking hedonik. ................................. 89
Lampiran 7. Analisis ragam uji hedonik warna formula pertama ............... 90
Lampiran 8. Analisis ragam uji hedonik aroma formula pertama .............. 90
Lampiran 9. Analisis ragam uji hedonik tekstur formula pertama .............. 91
Lampiran 10. Analisis ragam uji hedonik rasa formula pertama .................. 92
Lampiran 11. Analisis ragam uji hedonik kerenyahan formula pertama ...... 92
Lampiran 12. Analisis ragam uji hedonik warna formula kedua .................. 93
Lampiran 13. Analisis ragam uji hedonik aroma formula kedua .................. 94
Lampiran 14. Analisis ragam uji hedonik tekstur formula kedua ................. 94
Lampiran 15. Analisis ragam uji hedonik rasa formula kedua ..................... 95
Lampiran 16. Analisis ragam uji hedonik kerenyahan formula kedua ......... 96
Lampiran 17. Analisis ragam uji rangking hedonik formula kedua.............. 96
Lampiran 18. Rekapitulasi data daya cerna protein sagu instan ................... 97
Lampiran 19. Rekapitulasi data daya cerna pati sagu instan ........................ 98
Lampiran 20. Rekapitulasi data daya serap air formula sagu instan ............. 100
Lampiran 21. Rekapitulasi data rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi formula sagu instan ................................................................ 100
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat seringkali menimbulkan
permasalahan dalam hal ketahanan pangan. Hal ini terjadi bila pertambahan
penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan yang mencukupi. Pola
konsumsi yang hanya bertumpu pada satu jenis bahan pangan pokok menjadi
salah satu penyebab timbulnya masalah tersebut. Salah satu upaya yang harus
dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah ketersediaan pangan adalah
upaya diversifikasi pangan. Upaya diversifikasi pangan adalah upaya
penganekaragaman bahan pangan agar tidak terjadi ketergantungan terhadap
salah satu jenis bahan pangan. Penyedianan bahan pangan alternatif
merupakan aspek penting dalam upaya diversifikasi pangan.
Sagu adalah salah satu bahan pangan lokal Indonesia yang mempunyai
potensi cukup tinggi untuk dijadikan bahan pangan alternatif makanan tinggi
kalori selain beras atau gandum. Sagu tersebar luas terutama di bagian timur
Indonesia seperti Maluku dan Irian Jaya.. Sagu memiliki jumlah kalori yang
cukup tinggi, sehingga sebagian masyarakat Indonesia menjadikan sagu
sebagai makanan pokok. Kandungan kalori sagu adalah sebesar 353 kkal per
100 g bahan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1990). Angka ini
tidak jauh berbeda dengan jumlah kalori beras yaitu 364 kkal per 100 g bahan
yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sebagai makanan dengan jumlah kalori tinggi, sagu berpotensi untuk
dijadikan makanan tinggi kalori seperti makanan darurat atau makanan
pendamping ASI. Makanan tinggi kalori adalah makanan yang mengandung
kalori diatas normal untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dan
meningkatkan berat badan. Penambahan kalori dapat berkisar antara 30%
sampai 100% diatas kebutuhan pada umumnya (Lagua dan Cloudio, 1996).
Pemanfaatan sagu dewasa ini sudah mulai ditinggalkan karena
masyarakat Indonesia lebih memilih beras sebagai makanan pokok. Selain
sebagai makanan pokok, sagu juga diolah menjadi berbagai produk pangan
olahan seperti produk-produk kue basah, kue kering, sirup fruktosa/glukosa,
produk ekstrusi dan bubur sagu. Salah satu upaya pemanfaatan potensi sagu
adalah dengan membuat produk pangan instan berbasis sagu. Pangan instan
adalah produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan
produk pangan yang sering dihadapi misalnya penyimpanan, transportasi, dan
tempat (Hartomo dan Widiatmoko, 1992). Produk pangan berbahan dasar
sagu yang bisa dibuat menjadi pangan instan adalah sagu instan.
Pengembangan produk sagu instan akan memberikan nilai tambah dalam hal
kemudahan dan kepraktisan penyajian disamping bisa digunakan sebagai
makanan darurat karena kandungan kalorinya yang cukup tinggi.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula sagu instan yang
memiliki kandungan kalori yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Formula
dibuat dengan menambahkan beberapa bahan lain sehingga diperoleh bentuk
pangan instan dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat sebagai pangan
tinggi kalori.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU
1. Botani Tanaman Sagu
Tanaman sagu merupakan salah satu tanaman yang pertama kali
digunakan oleh penduduk asia tenggara dan oseania sebagai bahan pangan.
Tanaman ini tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia seperti Maluku,
Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan Barat, Riau dan sebagian kecil Jawa.
Diperkirakan sekitar 2 juta hektar lahan sagu yang tumbuh secara alami dan
dapat menghasilkan sekitar 2.5 – 5 ton tepung sagu kering dari setiap
hektarnya (Flach, 1983).
Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari divisio Spermatophyta, klas
Angiospermae, Subklas Monocotyledae, Ordo Spadiciflorae, Famili Palmae,
Subfamili Lepidocaryoideae dan Genus Metroxylon. Nama genus Metroxylon
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “metra” yang berarti isi
batang (empulur) dan “xylon” yang berarti xylem (Flach, 1983).
Habitat sagu umumnya adalah daerah rawa air tawar, di sekitar
sumber air, dan di sekitar aliran sungai dataran rendah yang lembab. Daerah
berlumpur basah dan bereaksi agak asam adalah lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan tanaman sagu (Flach, 1983). Menurut Cecil et al. (1982), potensi
pengembangan sagu cukup besar mengingat sagu dapat tumbuh di tempat
dimana tanaman lainnya tidak dapat tumbuh, tidak memerlukan pupuk dan
sedikit sekali memerlukan perawatan.
Pohon sagu merupakan tumbuhan yang berkembang biak melalui
tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Pohon ini
termasuk jenis pohon yang berbunga sekali dan berdaun banyak dengan
ketinggian bisa mencapai lebih dari 10 meter dan berdiameter 40 cm
(Sumadiwangsa, 1995). Menurut McClatchey et. al. (2004), pohon sagu dapat
tumbuh dengan cepat, dalam setahun tingginya bertambah lebih dari 1,5 meter
pada kondisi yang optimal.
Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu karena
merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat
menghasilkan pati sagu. Ukuran batang sagu serta kandungan pati yang
terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitat
pertumbuhannya. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas, empulur
sagu mengandung pati sekitar 15 - 20% (Rumalatu, 1981 yang dikutip oleh
Haryanto dan Pangloli, 1992).
2. Pati Sagu
a. Produksi Pati Sagu
Pati merupakan komponen kimia terbesar yang terdapat pada
batang sagu. Pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang
(empulur) tanaman sagu. Menurut Flach (1983), empulur batang sagu
mengandung 20.2 – 29% pati, 50 – 66% air dan 13.8 – 21.3% bahan lain
atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung
54 – 60% pati dan 40 – 46% ampas. Untuk membebaskan granula pati dari
jaringan pengikatnya dibutuhkan perombakan dinding sel dengan
pemarutan atau penggilingan dengan menggunakan air sebagai pelarut.
Kandungan pati dalam batang mencapai maksimal pada saat
sebelum pembungaan. Pada fase pembungaan atau pembuahan,
kandungan pati akan cepat menurun, penurunan tersebut terjadi
dikarenakan pati yang terdapat pada batang sagu akan diubah menjadi
gula (Haska, 1982 dikutip oleh Muwarni, 1989). Haryanto dan Pangloli
(1992) menyatakan bahwa penurunan kandungan pati biasanya ditandai
dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase
primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi
untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan
pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu mati.
Keadaan tersebut dapat mempermudah petani dalam mengetahui
rendemen pati sagu maksimal.
b. Karakteristik dan Komposisi Kimia Pati Sagu
Menurut Flach (1983) pati sagu mengandung 27% amilosa dan
73% amilopektin. Wirakartakusumah et al. (1984) mengemukakan bahwa
pati sagu mengandung 27.4% amilosa dan 72.6% amilopektin.
Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan
dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka
pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air.
Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang
lekat dan mudah menyerap air (higroskopis).
Cecil et al. (1982) menyatakan bahwa granula pati sagu berbentuk
oval dengan ukuran yang cukup besar yaitu 20 – 60 mikron. Pati sagu juga
mempunyai suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69 oC.
Sedangkan menurut Knight (1989), pati sagu memiliki granula yang
berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20 – 60
mikron dan suhu gelatinisasinya berkisar antara 60 – 72 oC. Karakteristik
pati sagu dibandingkan dengan beberapa jenis pati lain dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain
Jenis pati Bentuk granula
Ukuran granula (μm)
Kandungan Kisaran suhu gelatinisasi
(0C) Amilosa Amilopektin
Sagu Ellips 20-60 27 73 60-72
Beras Poligonal 3-8 17 89 61-78
Jagung Poligonal 5-25 26 74 62-74
Kentang Bulat 15-100 24 76 56-69
Tapioka Oval 5-35 17 83 52-64
Gandum Ellips 2-35 25 75 52-64
Ubi jalar Poligonal 16-25 18 82 58-74
Sumber : Knight (1989)
Sebagaimana bahan pangan lain, pati sagu mempuyai kandungan
kimia yang tidak jauh berbeda yaitu terdiri dari karbohidrat, protein,
lemak dan mineral. Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI
(1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit
protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini
tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Komposisi
kimia pati sagi selengkapnya dapt dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Komponen Jumlah
Kalori (kkal) 353
Protein (g) 0.7
Lemak (g) 0.2
Karbohidrat (g) 84.7
Air (g) 14.0
Fosfor (mg) 13
Kalsium (mg) 11
Besi (mg) 1.5
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
Mutu pati sagu sangat ditentukan oleh banyak faktor seperti
ukuran, bentuk, warna, aroma, rasa, serta faktor lainnya. Penentuan
standar mutu pati sagu diperlukan agar dalam penggunaannya sebagai
bahan makanan dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan
Standarisasi Nasional telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI) mengenai standar mutu pati sagu seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3792-1995
Karakteristik Kriteria
Kadar air % (b/b)
Kadar abu % (b/b)
Kadar serat kasar % (b/b)
Derajat asam (ml NaOH 1 N/100 g)
Kadar SO2 (mg/kg)
Jenis pati lain selain pati sagu
Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % (b/b)
Total Plate Count (koloni/g)
Maksimum 13
Maksimum 0.5
Maksimum 0.1
Maksimum 4
Maksimum 30
Tidak boleh ada
Minimum 95
Maksimum 106
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)
c. Fenomena Gelatinisasi Pati
Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengalami
pengembangan volume jika suspensi air-pati dipanaskan. Pada mulanya
pengembangan granula pati bersifat reversible tetapi jika pemanasan telah
mencapai suhu tertentu penembangan granula pati menjadi irreversible
dan terjadi perubahan struktur granula. Proses ini disebut gelatinisasi dan
suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi (Winarno, 1984).
Wirakartakusumah (1981) menyatakan bahwa gelatinisasi sangat
tergantung kepada jumlah air dan panas. Penetrasi air dan panas secara
bersamaan ke dalam granula pati menyebabkan pengembangan volume
dari granula. Pengembangan volume granula ini dimulai dari bagian
amorphus. Energi yang cukup akan memutuskan ikatan hidrogen
intermolekul pada bagian ini menyebabkan granula mengembang tetapi
belum cukup untuk merusak susunan kristal pada bagian lain dari granula.
Menurut Grenwood (1970), pada kisaran suhu gelatinisasi, granula pati
akan kehilangan pola birefringence dan komponen pati akan berdifusi ke
dalam air .
Badenhuizen (1955) menyatakan jika pemanasan terus
berlangsung maka pengembangan granula selanjutnya akan menyebabkan
hilangnya orientasi radial dari misella di dalam granula dan menyebabkan
hilangnya pola birefringence dari granula. Selanjutnya pemanasan akan
lebih meregangkan misella, sehingga air akan lebih banyak terperangkap
dalam granula mengakibatkan granula makin membesar sampai pada
suatu keadaan dimana pati kehilangan struktur kristalnya sama sekali.
Pemanasan campuran granula pati dan air hingga diatas suhu kritis akan
melemahkan ikatan hidrogen struktur pati pada granulanya sehingga
melemahkan integritas strukturnya, dan air menjadi masuk sehingga
terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin (Wuzburg, 1989).
Kulp (1975) menyatakan bahwa selama proses gelatinisasi,
suspensi pati berubah menjadi pasta yang semakin kental dengan semakin
meningkatnya suhu. Granula pati dalam keadaan utuh tahan terhadap
reaksi dengan bahan kimia dan enzim, serta hanya sedikit mengandug air.
Tetapi setelah mengembang, granula menjadi rentan terhadap bahan
kimia, tenaga mekanis dan kerja enzim, serta mampu menyerap air lebih
banyak dari beratnya sendiri. Perubahan ini terjadi pada selang suhu yang
sangat kecil yang disebut selang suhu gelatinisasi.
Proses pemasakan pada bahan yang mengandung pati
menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati. Pati yang mengalami pemasakan
merupakan salah satu bentuk dari pati termodifikasi. Dengan pemasakan
didapatkan produk yang memiliki sifat lebih mudah menyerap dan
mengembang dalam air dingin (Vieira, 1997).
3. Pemanfaatan Sagu
Sagu telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok dan penyerta
ataupun nyamikan dengan beragam kue di kepulauan Maluku sejak ratusan
tahun yang lalu. Sebagai bahan pangan, sagu mempunyai keunggulan
komparatif terhadap bahan pangan lain, antara lain yaitu dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal
musim serta resiko terkena penyakit tanaman kecil (Djoefrie, 1999).
Beberapa penelitian tentang diversifikasi pangan sagu oleh beberapa
instansi telah dilakukan, hasilnya mempunyai prospek untuk dikembangkan
lebih lanjut. Pembuatan empek-empek, bakso, mie, so’un dan makanan kecil
seperti kue kukus, kue bolu, kue lapis, onde-onde, dodol dan cendol dari sagu
telah dapat diterima masyarakat (Djoefrie, 1999).
Hasil penelitian Sidik (1990), menunjukkan bahwa peningkatan
jumlah tepung sagu yang ditambahkan pada selang 5-15% dapat
menurunkan kadar air, kadar urea serta kadar protein bakso ikan cucut
sebelum digoreng. Namun demikian, daya cerna protein dan derajat reaksi
pencoklatan enzimatis dari bakso goreng tidak dipengaruhi oleh peningkatan
jumlah tepung sagu yang digunakan.
Pembuatan roti tawar dan mie basah dengan mensubstitusi terigu
dengan sagu sebesar 10-50% dan 0-40% dilakukan oleh BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Hasilnya substitusi pati sagu sampai
30% masih disukai panelis uji organoleptik (Pangloli dan Royaningsih, 1992
dikutip oleh Djoefrie, 1999). Pangloli dan Royaningsih sebelumnya telah
mencoba mensubstitusi terigu dengan sagu untuk pembuatan biskuit dan
cracker. Substitusi sampai 30% untuk pembuatan biskuit dan 20% untuk
pembuatan cracker ternyata masih disukai panelis terutama mengenai warna,
rasa, dan kerenyahannya. Sebelumnya Clark et al. (1977) dikutip oleh
Djoefrie (1999) menyatakan bahwa substitusi tepung gandum dengan tepung
terigu sebanyak 10% tidak mempengaruhi mutu roti terutama tekstur dan
rasanya.
Hasil penelitian Tasman (1981), menunjukkan bahwa penggunaan
tepung sagu dan tepung kedelai pada pembuatan biskuit berpengaruh terhadap
aroma, warna dan kerenyahan biskuit. Semakin banyak penggunaan tepung
sagu dan tepung kedelai, aroma dan warna biskuit semakin kurang disukai,
sedangkan tekstur biskuit menjadi semakin renyah. Penggunaan tepung sagu
dan tepung kedelai dengan perbandingan 7 : 3 menghasilkan biskuit dengan
rasa, aroma dan warna yang dapat diterima, serta mempunyai kerenyahan
yang lebih baik dari pada biskuit dengan bahan terigu dan susu. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa makin banyak tepung sagu dan tepung
kedelai yang ditambahkan menyebabkan kadar air rendah dan penyerapan air
tinggi, namun tidak berpengaruh terhadap kadar lemak dan kadar gula biskuit.
Ngadiwijaya dan Amos (1996) dikutip oleh Djoefrie (1999),
menyatakan bahwa pemanfaatan pati sagu untuk industri pangan telah
dilakukan untuk pembuatan glukosa, alkohol, dekstrin, sirup, kerupuk,
makanan ringan dan makanan bayi. Hasil penelitian Santosa (1989) tentang
formulasi makanan sapihan menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan
pati sagu, maka semakin besar pula kekambaan produk yang dihasilkan (pada
berat bahan yang sama volume produk lebih besar), viskositas semakin tinggi,
daya serap air juga semakin semakin tingi. Berdasarkan penelitian Harun
(1988), formula 75% pati sagu, 20% kedelai, dan 5% jagung memiliki
kerenyahan produk ekstrusi dan nilai gizi yang baik, sedangkan aroma, rasa
dan warna dapat diperbaiki dengan cara menambahkan zat flavor dan
pewarna.
B. KEDELAI
Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai arti penting dalam
penyediaan sumber protein nabati murah. Di Indonesia, kedelai telah
digunakan secara luas untuk pembuatan makanan seperti tahu, tempe, dan
kecap. Disamping itu kedelai juga dapat digunakan sebagai bahan penolong
dalam pembuatan roti, kue, donat, dan juga sebagai campuran dalam
pembuatan makanan bayi (Hubeis, 1984).
Koswara (1992) menyatakan bahwa produk olahan kedelai dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu makanan terfermentasi dan
makanan nonfermentasi. Makanan terfermentasi dapat berupa hasil
pengolahan tradisional yang terdapat dan berpotensi di pasaran dalam negeri
adalah tempe, kecap dan tauco, sedangkan produk nonfermentasi diperoleh
dari hasil industri tradisional yaitu tahu dan kembang tahu.
1. Komposisi Kimia Kedelai
Menurut Wolf dan Cowan (1975), bagian utama dari kacang kedelai
terdiri dari kulit (8%) dan kotiledon (90%), selain itu terdapat struktur minor
yaitu hipokotil dan plumul dengan persentase keduanya 2%. Kedelai
bervariasi dalam ukuran, warna, bentuk dan komposisi kimianya. Komposisi
kimia kedelai juga bervariasi menurut varietas, keadaan tumbuh, umur pada
saat dipanen dan budidaya penanamannya. Komponen utama yang paling
penting dari kedelai adalah protein (35%) dan lemak (18%).
Kedelai mengandung sekitar 18 – 20% lemak dan 85% dari jumlah
tersebut terdiri dari asam lemak tak jenuh yang bebas kolesterol. Selain itu, di
dalam lemak kedelai terdapat beberapa fosfolipida penting yaitu lesitin,
sepalin, dan lipositol. Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 35% dan
hanya 12 – 14% saja yang dapat digunakan tubuh secara biologis. Secara
umum kedelai merupakan sumber vitamin B yang terdiri dari vitamin B1, B2,
niasin, piridoksin dan lainnya. Kedelai banyak mengandung kalsium dan
fosfor, sedangkan zat besi terdapat dalam jumlah relatif sedikit. Mineral lain
terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (kurang dari 9%) yaitu Boron.
Magnesium, Berilium dan Seng (Koswara, 1992). Komposisi kimia kedelai
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
2. Tepung Kedelai
Tepung kedelai adalah suatu produk yang digiling halus dan berasal
dari biji kedelai atau dari deffated flakes yang mengandung 97 % tepung yang
dapat melalui ayakan dari US Standard Screen nomor 100 (Smith dan Circle,
1978). Secara umum, tepung kedelai dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok berdasarkan pada kandungan lemaknya, yaitu : tepung kedelai
dengan lemak penuh (full fat), tepung kedelai kadar lemak rendah (low fat),
dan tepung kedelai tanpa lemak (deffated flour).
Tabel 4. Komposisi kimia kedelai per 100 g bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (kkal) 331.0
Protein (gram) 34.9
Lemak (gram) 18.1
Karbohidrat (gram) 34.8
Kalsium (mg) 227.0
Fosfor (mg) 585.0
Besi (mg) 8.0
Vitamin A (SI) 110.0
Vitamin B1 (mg) 1.07
Air (gram) 7.5
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990).
Tepung kedelai kadar lemak penuh dihasilkan dari biji kedelai utuh,
sedangkan tepung kedelai dengan kadar lemak rendah dapt dihasilkan dari
proses penepungan soy bean meal (bungkil kedelai) yang dihasilkan dari
pengepresan biji kedelai (setelah diambil minyaknya). Bungkil kedelai yang
dihasilkan kemudian diberi perlakuan panas, dikeringkan, digiling dan diayak
seperti pada pembuatan kadar lemak penuh (Hariyadi, 1997).
Tepung kedelai lemak penuh dibuat dari kedelai tanpa kulit dan
mengandung 40% protein. Albrecth et al. (1967) telah mengembangkan suatu
cara pembuatan tepung kedelai lemak penuh yang murah dan dapat dilakukan
di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Albrecth et al. (1967),
ada tiga cara pemasakan kedelai yang mudah yaitu dengan cara penyangraian,
pengukusan dan perebusan. Pembuatan tepung kedelai lemak penuh meliputi
perendaman, perebusan, pengeringan, pemecahan, pelepasan kulit,
penggilingan, dan pengayakan.
Perendaman dilakukan selama satu malam (± 16 jam) menyebabkan
kedelai mengembang hingga mencapai 2 kali lipat dari volume asalnya dan
bobotnya 2,5 kali bobot semula (Albrecth et al. 1967). Perendaman bertujuan
meningkatkan kadar air awal agar konduktivitas panas biji kedelai makin baik.
Sedangkan menurut Mustakas et al. (1967), perendaman bertujuan untuk
mencapai pemasakan maksimum yang merata serta untuk melarutkan enzim
lipoksigenase. Tetapi menurut Tangenjaya (1976), perendaman yang terlalu
lama yaitu melebihi 8 jam akan menyebabkan banyak bahan padat yang
terlarut di dalam air perendaman. Perendaman selama 24 jam dan 72 jam akan
menurunkan kadar protein menjadi 38.4 dan 34.8%, serta menurunkan kadar
lemak dari 23.5% menjadi 18.85% (Sutantyo, 1976)
Albrecth et al. (1967) melakukan proses pengeringan tidak
menggunakan panas, melainkan menggunakan kipas angin untuk
menggerakkan udara di sekitar kedelai, pengeringan dapat dicapai selama
kurang lebih 18 jam. Penjemuran merupakan cara yang paling praktis dan
paling mudah untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Akan tetapi jika
penjemuran berjalan lambat akan menyebabkan tumbuhnya jamur pada
kedelai dan akan timbul lendir dan bau (Tangenjaya, 1976).
3. Protein Kedelai
Protein merupakan komponen terbesar dan utama pada kedelai.
Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein
cadangan, sisanya terdiri atas enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, urease,
amilase), hemaglutinin, inhibitor protein, dan lipoprotein membran (Kinsella,
1979). Menurut Muchtadi (1989) protein kedelai kaya akan asam amino lisin
tetap kekurangan asam amino sulfur terutama metionin.
Selain merupakan komponen terbesar, protein juga berperan dalam
memberikan sifat-sifat fungsional yang khas pada berbagai produk pangan.
Sifat-sifat fungsional protein kedelai meliputi kemampuan protein mengikat
air dan menahan air, serta mengemulsi dan mengendalikan. Sifat-sifat ini yang
dapat menguntungkan dalam sistem pangan antara lain dalam pembuatan roti
(Wolf dan Cowan, 1975).
Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam
air. Fungsi protein kedelai adalah menstabilkan emulsi bila emulsi ini telah
terbentuk. Hal tersebut disebabkan karena protein kedelai mempunyai sifat
mengadsorpsi air. Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), sifat
mengadsorpsi air disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik sehingga
cenderung menyerap air dan menahan dalam suatu sistem pangan.
4. Lesitin Kedelai
Lesitin merupakan senyawa kimia yang mempunyai struktur seperti
lemak yang mengandung gliserol, asam lemak, asam fosfat, dan kolin. Lesitin
tersebar luas di dalam sel tubuh. Selain itu, senyawa kimia ini juga dikenal
sebagai emulsifier yang berikatan antara air dan lemak. Lestin merupakan zat
padat elastis hingga cairan berwarna kuning muda hingga coklat, tidak berbau
atau berbau khas mirip pala, dan rasanya lemah. Lesitin banyak terdapat pada
biji-bijian dan digunakan untuk jenis emulsi o/w (Hartomo dan Widiatmoko,
1992).
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), lesitin merupakan
emulsifier alami yang berasal dari kedelai. Lesitin kedelai mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu dapat mengikat permukaan dari asam lemak non
polar sehingga daya emulsifiernya tinggi, larut dalam asam lemak, memiliki
gugus polar dan non polar. Ujung bergugus polar bersifat suka air dan
cenderung larut dalam air, sedangkan ujung yang bergugus non polar bersifat
suka lemak dan cenderung larut dalam lemak atau minyak. Adapun kelemahan
lesitin adalah praktis tidak larut dalam minyak. Lesitin sebagai emulsifier
dapat diaplikasikan untuk pembuatan margarin, es krim, coklat, susu, roti, dan
lain-lain.
Lesitin pada kedelai berfungsi sebagai zat penginstan yang bekerja
pada permukaan padatan dan cairan, sebagai pengontrol interaksi hidrofilik-
hidrofobiknya. Adanya lesitin sebagai pengemulsi berfungsi untuk
memoptimumkan dispersi lemak pada fase cair. Lesitin dapat mengurangi
gesekan internal molekul lemak dan karbohidrat sehingga mencegah
terjadinya struktur gumpalam padat (Hartomo dan Widiatmoko, 1992).
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1993), lesitin diperoleh dari
kedelai dengan cara diekstrak, dihilangkan minyaknya, difraksionasi, dan
dimodifikasi sesuai keperluan. Proses pengolahan kedelai menjadi lesitin
mencakup tiga tahap utama, yaitu : 1) menginaktivasi rasa pahit/getir dan
enzimnya, membunuh bakteri, mengurangi kadar air, dan memberi rasa khas
kacang-kacang; 2) meningkatkan nilai gizi dan memperbesar daya cerna
protein; 3) mengaktivasi kompleks lesitin, meningkatkan sifat antioksidan,
memperbesar sifat mengikat serta emulsinya dengan konsistensi baik.
C. MAKANAN TINGGI KALORI
Menurut Lagua dan Cloudio (1996), makanan tinggi kalori adalah
makanan yang mengandung kalori diatas normal untuk memperoleh energi
yang dibutuhkan dan meningkatkan berat badan. Penambahan kalori dapat
berkisar antara 30% sampai 100% diatas kebutuhan pada umumnya.
Menurut NLEA (Nutrition Labelling Education And Act) dikutip oleh
Wijaya (1997), persyaratan klaim tinggi (high) pada label produk pangan
adalah lebih besar atau sama dengan 20% angka kecukupan gizi, Sedangkan
menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), klaim pangan
tinggi kalori (pangan berkalori) digunakan apabila pangan tersebut dapat
memberikan minimum 300 kkal per hari.
Menurut Eriyatno dan Tim Fateta (1998) dalam Shalehin (1999),
pangan darurat merupakan jenis produk pangan tinggi kalori, diproduksi
secara masal dengan biaya murah dan mudah dalam pendistribusiannya.
Produk pangan darurat didesain sedemikian rupa sebagai sumber makanan
pada situasi darurat tertentu seperti bencana alam, badai topan, dan gempa
bumi, yaitu saat asupan makanan sangat kurang.
Beberapa karakteristik penting yang menjadi syarat produk pangan
darurat yang baik adalah: 1) aman dikonsumsi; 2) enak (mutu sensori dapat
diterima konsumen); 3) mudah diperoleh/disalurkan; 4) mudah digunakan
(penyajiannya mudah); 5) nutrisi lengkap (kalori tinggi); 6) umur simpan
panjang (awet); 7) stabil terhadap kerusakan mikrobiologi, kimia dan fisik; 8)
tidak menyebabkan haus; dan 9) menggunakan bahan baku lokal
(www.nap.edu). Adapun sifat-sifat pangan darurat dapat berupa pangan kering
siap santap, produk pangan kering siap hidang, produk pangan semi basah
berkalori tinggi, dan bahan pokok setempat yang awet atau tahan lama.
Salah satu aplikasi produk pangan tinggi kalori adalah pangan militer
(military rations). Produk pangan militer biasanya berbentuk pangan siap saji
yang dikemas khusus sehingga mudah dibawa dalam tas atau kantong
pakaian. Kandungan gizi setiap jenis pangan militer menyediakan kurang
lebih 1250 kkal dengan 13% protein, 36% lemak, dan 51% karbohidrat
(www.olive-drab.com/od_rations.php).
Beberapa penelitian tentang makanan tinggi kalori (pangan darurat)
telah dilakukan, salah satunya adalah formulasi makanan tinggi kalori dari
buah sukun dengan produk kue satu dan pangan semi basah (dodol)
(Sukmaningrum, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk kue satu
memiliki nilai kalori sebesar 372 kkal/100 g, sedangkan produk pangan semi
basah (dodol) memiliki nilai kalori sebesar 324 kkal/100 g. Dari hasil uji
organoleptik diketahui bahwa formulasi dodol dengan komposisi 100% puree
sukun terhadap tepung ketan ternyata paling disukai konsumen, sedangkan
pada formulasi kue satu, penggunaan 100% tepung sukun sebagai bahan baku
utama cukup bisa diterima konsumen.
Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi makanan tinggi kalori
sekaligus sebagai makanan instan dengan bahan baku pati sagu. Formula
dibuat dengan penambahan beberapa bahan lain sehingga diperoleh jumlah
kalori minimal 300 kkal/100 g sebagai syarat makanan tinggi kalori.
Penyusunan formula didasarkan pada perbandingan antara pati sagu sebagai
sumber kalori utama dan tepung kedelai sebagai sumber protein utama.
Formula-formula yang telah dibuat selanjutnya diuji dengan uji organoleptik
untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen.
D. PANGAN INSTAN
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), pangan instan adalah
produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan produk
pangan yang sering dihadapi misalnya penyimpanan, transportasi, dan tempat.
Pada dasarnya pembuatan produk pangan instan dilakukan dengan
menghilangkan kadar air sehingga mudah ditangani dan praktis dalam
penyediaan. Bentuk pangan instan biasanya mudah ditambah air
(dingin/panas) dan mudah larut sehingga mudah disantap.
Pembuatan produk pangan yang memiliki sifat instan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu perlakuan permukaan dengan modifikasi sifat kimia
bahan dan penambahan zat aditif. Perlakuan permukaan dibuat dengan
memberi perlakuan mekanis khusus pada permukaan partikel bahan yaitu
dengan panas dan pengadukan. Dengan perlakuan panas dan pengadukan akan
membuat partikel bubuk diperbesar menjadi aglomerat berstruktur pori.
Penggunaan zat aditif dilakukan dengan menambahkan zat tertentu untuk
membuat sifat produk lebih mudah dibasahi, aglomerat tidak terlalu keras,
partikel mudah mekar (Hartomo dan Widiatmoko, 1992).
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), sifat instan produk pangan
yang baik ditentukan oleh beberapa kriteria tertentu antara lain: 1) Sifat
hidrofilik; 2) Kandungan lapisan gel yang dapat menghambat proses
pembasahan; 3). Waktu pembasahan yang tepat, yaitu harus segera turun
(tenggelam tanpa menggumpal); dan 4). Mudah terdispersi yaitu tidak
membentuk endapan.
E. PENGERINGAN
1. Teori Pengeringan
Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara
simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan digunakan
untuk menguapkan air yang terdapat didalam bahan. Uap air yang berasal dari
bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono,
1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara
karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang
dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai
batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti agar bahan memiliki masa
simpan yang lama (Taib et al. 1988).
Henderson et al. (1976), mengungkapkan bahwa proses pengeringan
memberikan keuntungan: masa simpan produk kering lebih lama, untuk biji-
bijian hasil pertanian, viabilitas biji lebih terjamin, dan memperkecil serta
meringankan volume produk, sehingga memudahkan penanganan
penyimpanan dan transportasi. Namun disisi lain pengeringan memiliki
beberapa kerugian, yaitu rusak atau berkurangnya vitamin-vitamin dan zat
warna, hilangnya flavor yang mudah menguap dan menimbulkan bau gosong
jika kondisi pengeringan tidak terkendali (Desroiser, 1988).
2. Alat Pengering Drum
Pengering drum (drum dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan
dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan
dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain
(Brennan, 1974). Bahan yang akan dikeringkan disebarkan dalam bentuk
lapisan tipis pada permukaan drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum
berputar. Proses pengeringan dapat dilakukan dalam udara terbuka (tekanan 1
atmosfir) atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan
dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengikis pada saat
perputaran drum telah mencapai 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan
ke dalam pertemuan dua permukaan drum. Produk kering tersebut kemudian
digiling menjadi bubuk yang halus (Desrosier, 1988).
Pengering drum sangat fleksibel dalam operasi dan mewakili satu tipe
peralatan proses dimana semua variabel dapat diubah secara mandiri.
Variabel yang terlibat dalam operasi pengering drum yaitu: 1) tekanan uap
atau suhu medium pemanas yang mengatur suhu permukaan drum, 2)
kecepatan putar yang menentukan waktu kontak antara film dan permukaan
drum yang panas, 3) jarak antara drum yang akan menentukan ketebalan film
yang terbentuk, dan 4) kondisi bahan misalnya konsentrasi, karakteristik fisik,
dan suhu larutan yang dikeringkan (Moore, 1995).
Secara umum alat pengering drum memiliki dua tipe, yaitu drum
tunggal dan drum ganda. Pada drum tunggal, pembentukan film atau lapisan
dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan, sedangkan
drum ganda didisain dengan dua drum yang puncaknya paralel dan bahan
yang akan dikeringkan dimasukkan dari bagian atas pada daerah di antara dua
drum (APV Crepaco, 1992). Alat pengering drum ganda digunakan untuk
mengeringkan bahan pangan, kimia, dan farmasi dengan berbagai variasi
bobot jenis dan viskositas. Karakteristik bahan yang dapat dikeringkan
dengan alat pengering drum ganda adalah berbentuk cairan atau pasta, sensitif
terhadap panas, dan dipasarkan dalam bentuk bubuk yang mudah
direhidratasi. Bahan-bahan yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan
dengan baik karena kontak dengan permukaan drum bertemperatur tinggi
berlangsung hanya dalam beberapa detik (Moore, 1995).
Untuk bahan organik yang berbentuk larutan kental (viscous solution),
proses pengeringan dilakukan pada tekanan uap 3-5 bar dan kecepatan putar
drum 2 rpm. Konsentrasi bahan (larutan) yang masuk alat pengering sekitar
28% (Walas, 1988).
Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan
pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Kelemahan
alat pengering ini adalah hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk
bubur atau pasta dan bahan yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu
singkat (Brennan, 1974).
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku utama yang digunakan dalam proses pembuatan formula
sagu instan ini adalah pati sagu yang diperoleh dari industri rumah tangga
pengolahan pati sagu di daerah Kedung Halang Bogor. Bahan-bahan lainnya
yang digunakan adalah tepung kedelai, susu bubuk skim, minyak nabati, gula
halus, dan air minum dalam kemasan.
Bahan-bahan yang digunakan dalam analisa produk adalah aquades,
K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, larutan NaOH-Na2S2O3, HCL 0.02 N, HCl 0.1
N, NaOH 0.1 N, larutan multi enzim (tripsin, kimotripsin, peptidase), larutan
buffer Na-fosfat, pereaksi DNS, larutan maltosa standar, larutan enzim α-
amilase, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, dan heksan.
Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan formula sagu instan
adalah neraca kasar, baskom, tampah bambu, sendok pengaduk, sendok
makan, kompor gas, panci ukuran besar, drum dryer, plastik ukuran 5 kg dan
1 kg, silica gel, pengayak 100 dan 80 mesh, mangkok, piring, cup-cup kecil,
sendok-sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 ml.
Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah pipet tetes, pipet
volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan
alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 dan 100 ml, desikator,
alat destilasi, labu kjeldahl, erlenmeyer 100 ml dan 300 ml, neraca analitik,
magnetic stirer dan hot plate.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap yaitu : (1) Tahap persiapan,
yang meliputi pencucian, pengayakan, dan penyangraian pati sagu, pembuatan
tepung kedelai, dan analisis proksimat bahan baku; (2) Formulasi dan
pembuatan produk; (3) Uji organoleptik; (4) Analisis sifat fisik, kimia, dan
daya cerna; dan (4) Penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi
berdasarkan kandungan gizi produk hasil analisis.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi pencucian, pengayakan dan penyangraian
pati, serta pembuatan tepung kedelai. Berikut akan diuraikan masing-masing
tahap:
a. Pencucian dan pengayakan pati
Tahap pencucian dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah
air ke dalam pati sampai semua pati terendam. Selanjutnya pati diaduk
sehingga semua pati kontak dengan air, lalu didiamkan selama dua jam.
Air rendaman kemudian dialirkan keluar wadah sehingga diperoleh
endapan pati. Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali lalu endapan pati
dijemur dengan sinar matahari kering. Pati selanjutnya diayak dengan
ayakan 100 mesh. Bagan pencucian disertai pengayakan pati dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pati sagu Air
Pengadukan sampai semua pati terendam
Pengendapan pati selama dua jam
Pembuangan air rendaman keluar wadah
Pengulangan sebanyak tiga kali
Penjemuran di bawah matahari hingga kering
Pengayakan dengan ayakan 100 mesh
Pati sagu
Gambar 1. Bagan alir pencucian dan pengayakan pati sagu
b. Pembuatan Pati Sangrai
Pembuatan pati sangrai dilakukan dengan cara memanaskan pati
sagu sambil diaduk sampai suhu 110°C. Pati dipanaskan terus sampai
diperoleh pati sangrai yang tidak berasa mentah dan mudah larut dalam
mulut (kira-kira lamanya 10 menit). Bagan pembuatan pati sangrai dapat
dilihat pada Gambar 2.
Pati sagu
Pemanasan disertai pengadukan sampai suhu 110°C
Pemanasan dilakukan sampai diperoleh pati sangrai yang sudah tidak
berasa mentah dan mudah larut dalam mulut
Pati sangrai
Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati sangrai
c. Pembuatan Tepung Kedelai
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan tepung kedelai dengan
metode Illinois (Samahita, 1980). Proses diawali dengan sortasi biji
berjamur, biji rusak, dan kotoran lain. Setelah itu dilakukan perendaman
di dalam ember plastik bereisi air kran dengan volume 2 kali volume
kedelai. Perendaman dilakukan selama 6 jam hingga mencapai kadar air
40-45%.
Proses selanjutnya adalah perebusan kedelai yang dilakukan di
dalam panci alumunium berisi air mendidih selama 30 menit kemudian
dilanjutkan dengan penirisan. Setelah cukup dingin, biji kedelai dikupas
kemudian dijemur. Penjemuran dilakukan dengan cara meratakan biji
kedelai di atas permukaan nampan dan disimpan di tempat terbuka.
Ketebalan lapisan biji kedelai permukaan nampan sekitar 1 cm.
Penjemuran dilakukan hingga kedelai mencapai kadar air 10-11%.
Bagian kulit yang tersisa waktu pengupasan dibersihkan untuk
memastikan bahwa semua kulit telah terkupas dari biji kedelai.
Proses terakhir adalah penepungan dengan alat Willey mill dan
pengayakan dengan ayakan 60 mesh. Bagan alir proses pembuatan
tepung kedelai dapat dilihat pada Gambar 3.
Kedelai
Pemilihan (sortasi)
Perendaman selama 6 jam
Perebusan selama 30 menit
Pengupasan kulit
Penjemuran di bawah sinar matahari (pengeringan)
Penggilingan dengan Willey mill (penepungan)
Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
Tepung kedelai
Gambar 3. Bagan alir pembuatan tepung kedelai metode Illinois
2. Formulasi dan Pembuatan Produk
a. Penyusunan Formula
Pada tahap ini dilakukan penyusunan formula dan dibuat lima
macam formula sagu instan. Penyusunan formula didasarkan pada
perhitungan jumlah kalori yang harus melebihi 300 kkal sebagai syarat
makanan tinggi kalori. Untuk menyusun formula tersebut diperlukan
data kandungan gizi bahan-bahan penyusun yang meliputi jumlah kalori,
protein, lemak, serta karbohidrat. Kandungan gizi bahan-bahan
penyusun dapat diketahui setelah dilakukan analisis proksimat bahan.
Kelima formula dan perkiraan kandungan gizi sagu instan dapat dilihat
pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Pengamatan yang dilakukan pada tahap formulasi ini adalah uji
organoleptik yang meliputi uji hedonik dan uji rangking hedonik. Uji
organoleptik dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama bertujuan
mengetahui seberapa besar tingkat penerimaan konsumen terhadap
formula yang dibuat serta memilih tiga formula terbaik. Uji organoleptik
tahap kedua dilakukan terhadap tiga formula terpilih yang telah
mengalami sedikit perubahan komposisi. Uji organoleptik tahap kedua
bertujuan untuk menentukan formula terbaik atau yang paling disukai
konsumen. Selanjutnya dilakukan analisis proksimat, daya cerna pati,
dan daya cerna protein.
Tabel 5. Formula sagu instan (dalam 100 g bahan)
Formula
Komposisi bahan penyusun
Pati sagu (g)
Tepung kedelai
(g)
Susu skim (g)
Gula halus (g)
Minyak nabati
(g)
A 60 0 25 10 5
B 55 5 25 10 5
C 50 10 25 10 5
D 45 15 25 10 5
E 40 20 25 10 5
b. Pembuatan Produk
Tahap pembuatan produk dimulai dengan penentuan jumlah air
untuk perebusan. Penentuan jumlah air penting untuk mendapatkan
karakteristik bubur yang baik, yaitu homogen, matang, dan tidak lengket
sewaktu pengeringan dengan drum dryer. Perbandingan jumlah air yang
digunakan adalah antara pati sagu dan air yang terdiri dari empat
perbandingan yang berbeda, yaitu 1:3, 1:5, 1:7, dan 1:9. Penentuan
jumlah air hanya dilakukan pada satu formula yang dianggap mewakili,
yaitu formula C. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah
penentuan produk yang paling baik karakteristiknya. Gambar 4
menunjukkan diagram alir proses pembuatan bubur sagu instan.
Proses selanjutnya adalah pembuatan produk sagu instan yang
dilakukan terhadap kelima formula yang telah disusun. Setelah
dilakukan perebusan dengan menambahkan sejumlah air yang telah
ditentukan, kemudian dilakukan. pengeringan menggunakan alat
pengering drum dryer. Produk kering yang dihasilkan selanjutnya
digiling halus menggunakan Hammer mill.
Pati sagu sangrai
Penambahan tepung kedelai, skim, dan gula halus
Penentuan jumlah air untuk perebusan
(perbandingan pati dan air 1:3, 1:5, 1:7, dan 1:9)
Perebusan disertai pengadukan pada suhu 100 0C
Penambahan minyak nabati
Bubur sagu
Pengeringan dengan drum dryer
Sagu instan
Gambar 4. Bagan alir proses pembuatan formula sagu instan
3. Penentuan Takaran Saji dan Angka Kecukupan Gizi
Penentuan takaran saji didasarkan pada zat gizi yang terkandung
pada produk yang dihasilkan. Penentuan tersebut berdasarkan pada gizi
yang dibutuhkan pada diet orang dewasa terutama kalorinya. Setelah
ditentukan jumlah takaran saji yang dianjurkan, maka dilakukan perhitungan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran saji. Kecukupan gizi yang akan
dipenuhi meliputi kalori, protein, karbohidrat, dan lemak. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui berapa persen produk dapat menyumbang asupan gizi
pada diet orang dewasa.
C. PENGAMATAN
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel
ditimbang kurang lebih sebanyak 2 gram dalam cawan. Cawan beserta isi
dikeringkan dalam oven 1000C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam
desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan
kembali sampai diperoleh berat konstan.
Perhitungan :
Kadar Air (% berat basah) = [W2 - (W3 – W1)] x 100%
W3 - W1
Berat cawan (gram) = W1
Berat sampel (gram) = W2
Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram) = W3
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian
dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu cawan didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram di dalam
cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan
asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu
400 – 600 oC selama 4 – 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau
memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang.
Perhitungan :
Kadar abu (%) = Berat abu (g) x 100%
Berat sampel kering (g)
3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (Apriyantono et al., 1989)
Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Sebanyak 1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, dan 3,8 +
0,1 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl. Batu didih ditambahkan
pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi
jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air
bekas pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer
125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes
indikator, kemudian labu diletakkan di bawah kondensor dengan ujung
kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3
sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan
destilasi sampai didapat destilatnya + 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat
dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N
hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Perhitungan jumlah
nitrogen dilakukan setelah jumlah volume (ml) blanko diperoleh.
Perhitungan :
Jumlah N (%) = (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14.007 x 100 mg sampel kering
Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi Soxhlet
yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C - 1100C
dan kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram
sampel ditimbang dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas
bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi
Soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke
dalam labu Soxhlet secukupnya. Refluks dilakukan selama 5 jam sampai
pelarut yang turun menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak
didestilasi kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C.
Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator,
labu beserta lemak ditimbang, dan perhitungan kadar lemak dilakukan.
Perhitungan :
Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel kering (g)
5. Kadar Karbohidrat (By Difference)
Perhitungan :
Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu +
Kadar lemak + kadar protein)
6. Kadar Serat Makanan secara Enzimatis (Sulaeman et al. 1994)
Sampel basah dihomogenisasi dan diliofilisasi. Semua sampel
digiling menggunakan gilingan laboratorium dengan saringan 0.3 mm.
Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan petroleum eter pada suhu
kamar selama 15 menit (40 ml petroleum eter per gram). Sebanyak 1 g
sampel ditimbang dan dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian
ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl. Erlenmeyer ditutup dengan
alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 100 oC selama
15 menit.
Setelah sampel didinginkan, sebanyak 20 ml air destilata
ditambahkan dan diatur pHnya menjadi 1.5 menggunakan HCl. Kemudian
dilakukan penambahan 100 mg pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi
dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit.
Selanjutnya 20 ml air destilata ditambahkan dan diatur pHnya menjadi 6.8
menggunakan NaOH. Kemudian sampel ditambah dengan 100 mg
pankreatin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air
bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit. Kemudian sampel diatur
pHnya menjadi 4.5 menggunakan HCl lalu disaring menggunakan crucible
(porocity 2). Selanjutnya sampel dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata.
Residu digunakan untuk mengukur kadar serat makanan tidak larut,
sedangkan filtratnya digunakan untuk mengukur kadar serat makanan larut.
Untuk mengetahui kadar serat makanan tidak larut, sampel dicuci
dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton kemudian dikeringkan
pada suhu 105 oC sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah
didinginkan dalam desikator, sampel ditimbang (DI). Selanjutnya sampel
diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam
desikator sampel ditimbang kembali (I2).
Pada pengukuran serat makanan larut, volume filtrat diatur menjadi
100 ml kemudian ditmbahkan 400 ml etanol 95% hangat (60 oC) dan
dibiarkan mengendap selama 1 jam. Kemudian sampel disaring
menggunakan crucible (porocity 2) yang telah diketahui beratnya dan
mengandung 0.5 g celite. Selanjutnya sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol
78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Sampel kemudian
dikeringkan pada suhu 105 oC selama semalam. Setelah didinginkan dalam
desikator, sampel ditimbang (D2). Selanjutnya sampel diabukan pada suhu
550 oC selama 5 jam kemudian setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang kembali (I2).
Blanko untuk serat makanan tidak larut dan serat makana larut
diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tersebut di atas tetapi
tanpa sampel (B1 dan B2).
% serat makanan tidak larut = D1 – I1 – B1 x 100%
W
% serat makanan larut = D2 – I2 – B2 x 100%
W
Total serat makanan dapat diendapkan langsung dengan cara
menambahkan 4 volume alkohol 95% ke dalam hasil digesi setelah tahap
pengaturan pH menjadi 4.5 menggunakan HCl. Selanjutnya sampel disaring
seperti tahap perlakuan filtrat pada pengukuran serat makanan larut.
7. Penentuan Nilai Kalori Makanan
Perhitungan nilai kalori makanan dapat dilakukan dengan
menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak,
protein, serta nilai energi faal makanan tersebut.
Perhitungan :
Nilai Energi = Faktor Atwater x Kandungan Gizi Bahan Pangan
Energi = (4 kkal/g x Kand. Karbohidrat) + (9 kkal/g x Kand. Lemak)
+ (4 kkal/g x Kand. Protein)
8. Daya Serap Air (Sathe dan Salunkhe, 1981)
Sebanyak 1 gam sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 10 ml aquades. Setelah itu, sampel diaduk dengan
menggunakan vorteks sampai semua bahan terdispersi kemudian didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 5000
rpm pada suhu ruang selama 15 menit.
Supernatan yang diperoleh dituangkan secara hati-hati kedalam
wadah lain dan ditimbang beratnya, kemudian dilakukan perhitungan.
Perhitungan :
Daya Serap Air (g/g) = A – B
C
A = berat air mula-mula (g)
B = berat supernatan (g)
C = berat sampel (g)
9. Rasio Rehidrasi dan waktu rehidrasi (Lianawati, 1997)
Pengukuran rasio rehidrasi dilakukan dengan melarutkan bahan
dalam air dengan perbandingan 1 : 2, 1 : 4, 1 : 6, dan 1: 8, kemudian larutan
tersebut didiamkan selama 30 menit. Lalu diamati terjadinya pemisahan
antara air dengan bahan. Pengukuran waktu rehidrasi dilakukan secara
subyektif, yaitu dengan melarutkan bahan dan air dengan perbandingan
yang telah ditentukan sesuai pengukuran rasio rehidrasi. Waktu rehidrasi
adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga
diperoleh tekstur bubur yang homogen dan stabil.
10. Daya Cerna Protein (Muchtadi, 1989)
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram kemudian disuspensikan dalam
60 ml air destilata. Sebanyak 50 ml suspensi sampel dimasukkan dalam
gelas piala kecil, kemudian diatur pHnya menjadi 8.0 dengan menambahkan
HCL atau NaOH 0.1 N. Sampel diinkubasi dalam penangas air bersuhu
37oC dan diaduk menggunakan magnetic stirer selama 5 menit. Larutan
multi enzim sebanyak 5 ml ditambahkan pada suspensi sampel (saat
penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke-0) sambil tetap diaduk dalam
penangas air 37 oC. Kemudian pH suspensi dicatat pada menit ke-10. Daya
cerna protein dapat dihitung dengan menggunakan persamaan y = 210.464 –
18.103x, dimana y adalah daya cerna protein dalam persen dan x adalah
perubahan pH pada menit ke-10.
11. Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi, 1989)
Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam
penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90 0C, kemudian
didinginkan. Sebanyak 2 ml larutan tepung dalam tabung reaksi ditambah 3
ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7.0. kemudian
diinkubasi dalam penangas air 37 0C selama 15 menit. Larutan enzim alfa-
amilase sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan
diinkubasi kembali pada suhu 37 0C selama 30 menit. Larutan enzim alfa-
amilase dibuat dengan konsentrasi 1 mg/ml larutan buffer Na-fosfat 0.05 M,
pH 7.0.
Sebanyak 1 ml campuran reaksi ditempatkan ke dalam tabung reaksi
lain. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat, dan selanjutnya
dipanaskan dalam penangas air 100 0C selama 10 menit. Setelah
didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air
destilata. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dari 1 g 3,5-dinitrosalisilat, 30 g
Na-K-tartarat dan 1.6 g NaOH dalam 100 air destilata. Warna oranye-merah
yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari
campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa
murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan maltosa standar dengan
pereksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna
pati sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai
berikut :
Daya cerna = Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim x 100
Kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzim
12. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan rangking
hedonik. Uji ini dilakukan terhadap 30 panelis dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang diuji.
Parameter yang diuji pada uji hedonik meliputi uji kesukaan terhadap
warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Skala hedonik yang digunakan
mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1) sampai
dengan skala sangat suka (skala numerik = 7). Uji rangking hedonik
bertujuan untuk mengetahui produk mana yang paling disukai dari semua
formula yang diujikan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TAHAP PERSIAPAN
1. Pencucian dan Pengayakan Pati
Pencucian pati merupakan salah satu proses pembersihan dan
pemurnian pati dari berbagai kotoran atau zat non pati. Pencucian dilakukan
dengan menambahkan air ke dalam pati kemudian diaduk hingga semua pati
terendam lalu diendapkan. Air rendaman kemudian dibuang karena di
dalamnya terkandung zat-zat non pati seperti serat dan material-material asing
seperti tanah, kerikil, ataupun logam. Selain itu, pencucian ini berperan dalam
mengurangi kadar tanin yang diduga banyak terdapat pada pati sagu.
Pencucian dilakukan berulang hingga diperoleh pati yang bersih. Pati yang
bersih bisa dilihat dari warna yang lebih putih dibandingkan dengan pati
sebelum dicuci. Setelah diperoleh pati yang bersih, selanjutnya pati dijemur di
bawah sinar matahari hingga kering (kadar air sekitar 14%).
Sisa-sisa kotoran yang tidak hilang saat pencucian dan masih
terkandung dalam pati harus dihilangkan. Semua kotoran ini dapat
dihilangkan melalui proses pengayakan. Setelah didapatkan pati kering hasil
penjemuran, selanjutnya pati diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh.
Pengayakan dilakukan hingga diperoleh pati yang bersih, murni, dan bebas
dari semua kontaminan.
2. Penyangraian Pati
Penyangraian dilakukan dengan memanaskan pati sampai suhu 110°C
sambil diaduk. Penyangraian dilakukan hingga diperoleh pati sangrai yang
matang dengan ciri-ciri cepat larut dalam mulut dan tidak berasa mentah. Dari
penelitian yang dilakukan, untuk memperoleh pati yang matang diperlukan
waktu kurang lebih 10 menit. Pati selanjutnya didinginkan pada suhu ruang
untuk kemudian digunakan pada proses pembutan formula sagu instan.
Penyangraian pati mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: dapat
menginaktifasi enzim, membunuh mikroba, menghasilkan rasa dan aroma
khas sangrai, memperbaiki daya cerna, serta tidak mempengaruhi densitas
kamba (Sunaryo, 1985). Selain itu, penyangraian dipercaya dapat
memperbaiki karakteristik bubur yang dihasilkan. Menurut Abraham et al.
(1983), perbaikan tersebut disebabkan oleh terjadinya partial gelatinisasi,
dehidrasi, dan konversi dari amorphous amylose menjadi bentuk helik. Bentuk
helik ini menjadi bagian yang lemah dari kristal pada pati selama pemasakan.
Hasil penelitian Muharam (1992) menunjukkan bahwa penyangrian
pada tepung singkong menyebabkan terjadinya gelatinisasi parsial namun
tidak diikuti dengan pembengkakan granula pati. Adanya gelatinisai parsial
diketahui dari hilangnya pola birefringence sebagian granula pati setelah
dilihat dengan mikroskop terpolarisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa penyangraian memberikan pengaruh positif terhadap sifat fisik, kimia,
dan fungsional tepung singkong, seperti memperbaiki stabilitas tepung dalam
adonan, meningkatkan kekuatan gel, dan meningkatkan viskositas maksimum
tepung.
Hasil penelitian Susanty (2000) menunjukkan bahwa penyangraian
dapat menurunkan kadar air pati hingga lebih dari 50%. Hal ini terjadi karena
kadar air pati mentah mengalami penguapan selama proses pemanasan. Hasil
analisis menunjukkan kadar air pati sagu sangrai sebesar 3.82%. Nilai tersebut
jauh lebih kecil dari pada nilai kadar air pati sagu mentah yaitu 14%
(Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI). Hasil penelitian Susanty (2000)
juga menunjukkan bahwa penyangraian bisa meningkatkan kadar karbohidrat
dan kadar lemak. Hal ini diduga berhubungan dengan penurunan kadar air,
dimana jika kadar air suatu produk turun maka konsentrasi komponen lainnya
akan meningkat.
3. Pembuatan Tepung Kedelai
Pembuatan tepung kedelai dimulai dengan pemilihan kedelai (sortasi).
Sortasi dilakukan untuk mendapatkan biji kedelai yang baik (utuh) dari biji
kedelai yang cacat, kotoran dan bahan asing. Menurut Wilkens (1967), sortasi
bertujuan untuk mengeliminir biji berjamur, biji rusak atau pecah yang ada
hubungannya dengan kelanguan. Setelah tahap sortasi, dilakukan perendaman
biji kedelai selama 6 jam dalam air dengan tujuan meningkatkan kadar air
awal agar konduktivitas panas kedelai makin baik (Nelson et al., 1971)
Biji kedelai yang telah direndam kemudian direbus dalam air
mendidih selama 30 menit. Perebusan dilakukan dengan beberapa tujuan,
antara lain : menginaktivasi enzim lipoksigenase, membunuh mikroba, dan
membuat daging buah menjadi lebih mudah diolah karena lebih empuk.
Inaktivasi enzim lipoksigenase penting dilakukan karena enzim tersebut dapat
mempercepat timbulnya cita rasa langu akibat terjadinya pemecahan atau
perusakan jaringan kotiledon (Nelson et al., 1971).
Pengupasan dilakukan setelah perebusan dengan maksud agar proses
lebih mudah dilakukan karena jaringan kulit sudah terpisah dari biji bahkan
sebagian ada yang sudah terlepas. Setelah proses pengupasan dilakukan proses
pengeringan dengan cara menjemur biji kedelai dengan sinar matahari.
Menurut Tangenjaya (1976), penjemuran merupakan cara yang paling praktis
dan paling mudah untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Akan tetapi,
penjemuran yang berjalan lambat akan menyebabkan tumbuhnya jamur pada
kedelai dan akan timbul lendir dan bau.
Proses terakhir pembuatan tepung kedelai adalah penggilingan dan
pengayakan. Penggilingan dilakukan dengan Willey mill dan dilakukan
berulang-ulang. Penggilingan berulang bertujuan memisahkan produk yang
sudah halus dan meresirkulasi fraksi yang masih kasar ke penggilingan sampai
diperoleh hasil tepung yang diinginkan. Setelah itu tepung hasil penggilingan
diayak dengan ayakan 60 mesh.
B. FORMULASI DAN PEMBUATAN PRODUK
1. Penyusunan Formula
Pada penelitian ini disusun lima macam formula sagu instan seperti
yang terlihat pada Tabel 5. Perhitungan yang digunakan adalah tiap 100 gram
produk kering diperkirakan akan mengandung energi minimal 300 kkal. Hal
ini sesuai dengan klaim pangan berkalori menurut Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM, 2004) yaitu minimum mengandung 300 kkal per hari.
Untuk menentukan formula yang akan disusun, diperlukan data komposisi
kimia atau kandungan gizi tiap bahan yang digunakan. Oleh karena itu
sebelum dilakukan perhitungan terlebih dahulu dilakukan analisis proksimat
terhadap bahan baku penyusun sagu instan. Data komposisi kimia bahan baku
penyusun sagu instan dan perhitungan kalori tiap formula dapat dilihat pada
Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Komposisi kimia bahan penyusun sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)
Komposisi Pati sagu (g)
Tep. kedelai (g)
Skim (g)
Tep. gula (g)
Minyak * (g)
Air (g) 3.82 7.14 3.66 0.30 0.00
Abu (g) 0.27 3.12 7.83 4.77 0.00
Protein (g) 0.88 37.26 24.27 0.15 0.00
Lemak (g) 0.19 33.36 0.08 0.09 100.00
Karbohidrat (g) 98.66 26.25 67.82 94.98 0.00
Serat pangan (g) 3.83 6.96 - - 0.00
Kalori (kkal) 385 526 370 381 875
* Minyak goreng sawit
Tabel 7. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap pertama per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis
Komposisi Formula
A B C D E
Air (g) 3.24 3.41 3.57 3.74 3.91
Abu (g) 2.60 2.75 2.89 3.03 3.17
Protein (g) 6.62 8.43 10.26 12.08 13.89
Lemak (g) 5.13 6.80 8.46 10.11 11.77
Karbohidrat (g) 85.66 82.03 78.42 74.81 71.17
Serat makanan (g) 2.30 2.46 2.62 2.76 2.92
Kalori (kkal) 406 413 421 427 434
Formulasi sagu instan dibuat dengan pati sagu sebagai sumber
karbohidrat dan kalori utama, tepung kedelai dan susu skim sebagai sumber
protein, minyak nabati sebagai sumber lemak, dan gula sebagai penambah
rasa. Penggunaan tepung kedelai selain sebagai sumber protein juga dipercaya
mempunyai kemampuan dalam memperbaiki karakteristik fisik produk.
Perpaduan antara pati sagu dan tepung kedelai diharapkan dapat saling
mengisi kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga diperoleh produk
yang mempunyai nilai gizi serta karakteristik yang baik. Oleh karena itu
penentuan formula didasarkan pada perbandingan pati sagu dan kedelai,
sementara komposisi bahan-bahan penyusun lainnya tetap sama.
2. Pembuatan Produk Sagu Instan
Sebelum dilakukan pembuatan produk sagu instan terhadap kelima
formula yang telah disusun, terlebih dahulu dilakukan penentuan jumlah air
yang digunakan dalam perebusan. Pada tahap ini digunakan empat
perbandingan antara pati terhadap air yaitu 1 : 3; 1 :5; 1 : 7; dan 1 : 9. Tujuan
dari penentuan jumlah air ini adalah mendapatkan produk bubur dengan
karakteristik fisik yang baik sehingga dihasilkan produk sagu instan yang baik
pula. Ciri-ciri karakteristik bubur yang baik antara lain : tekstur homogen,
tidak lengket, aroma khas, rasa manis, dan tidak berasa mentah.
Penentuan jumlah air dilakukan terhadap satu formula saja yaitu
formula C yang dianggap mewakili semua formula sagu instan yang dibuat.
Hasil percobaan pembuatan bubur sagu dengan menggunakan empat
perbandingan pati dan air yang berbeda menunjukkan bahwa perbandingan 1 :
3 dan 1 : 5 menghasilkan bubur yang tidak homogen, lengket, dan beraroma
tepung mentah, sedangkan perbandingan 1 : 7 dan 1 : 9 menghasilkan bubur
dengan tekstur homogen, tidak terlalu lengket, dan beraroma matang. Bubur
yang dihasilkan dengan perbandingan pati dan air 1 :7 dan 1 : 9 kemudian
dikeringkan dengan drum dryer untuk dilihat produk yang menghasilkan
tepung sagu instan dengan warna dan tekstur yang paling baik. Dari hasil
percobaan diketahui bahwa komposisi air dan pati sagu dengan perbandingan
1 : 7 menghasilkan sagu instan dengan karakteristik paling baik.
Pembuatan sagu instan diawali dengan pembuatan bubur sagu terlebih
dahulu. Proses dimulai dengan pencampuran semua bahan penyusun dengan
pencampuran kering kecuali minyak nabati. Selanjutnya dilakukan proses
pemasakan atau perebusan dengan memanaskan bahan pada suhu kurang lebih
90 oC selama kurang lebih 20 menit. Lamanya waktu pemasakan berbeda-
beda untuk tiap formula tergantung dari jumlah air yang ditambahkan. Proses
ini diakhiri setelah diperoleh produk bubur yang homogen. Dari tahap ini
diharapkan bahan-bahan akan masak atau pati tergelatinisasi sempurna,
sehingga viskositas produk akhir tidak terlalu tinggi (kental), rasanya matang
(well cooked), dan produk siap untuk dikonsumsi.
Setelah melewati proses pemasakan, bubur dikeringkan dengan double
drum dryer. Dalam hal ini diusahakan agar ketebalan lembaran (flake) yang
dihasilkan sekitar 0.1 milimeter dengan mengatur jarak antara dua drum serta
jarak antara drum dengan pisau. Tekanan uap yang digunakan dalam operasi
drum dryer sebesar 5 psi (pound per square inch) yang akan menghasilkan
suhu sekitar 140 oC. Putaran drum diatur sebesar 4 - 6 rpm. Kemudian
lembaran produk yang dihasilkan ditepungkan dengan hammer mill yang
dilengkapi dengan saringan 32 mesh.
Proses pengeringan kelima formula sagu instan yang dicoba pada
penelitian ini secara teknologi ternyata memungkinkan, hanya saja pada
formula A (60 % sagu, 0 % tepung kedelai, 25 % susu skim, 10 % gula halus,
5 % minyak nabati) dan formula B (55 % sagu, 5 % tepung kedelai, 25 % susu
skim, 10 % gula halus, 5 % minyak nabati) terdapat sedikit hambatan, yaitu
produk menempel pada dinding drum dan basah sehingga proses pengeringan
tidak optimal. Hal ini diduga karena komposisi pati sagu yang tinggi pada
kedua formula menyebabkan produk bersifat lengket. Sifat lengket pati sagu
disebabkan karena pengaruh kadar amilopektin yang tinggi yaitu sebesar 73%.
Menurut Wirakartakusumah et al. (1984), semakin besar kandungan
amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket, dan cenderung sedikit
menyerap air.
Setelah proses pengeringan dan penggilingan selesai, selanjutnya
tepung sagu instan halus dicetak dengan cetakan khusus hingga dihasilkan
produk berbentuk tablet-tablet kecil yang siap dikonsumsi. Kelima formula
yang sudah berbentuk tablet tersebut kemudian diuji dengan uji organoleptik
(uji hedonik) untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen.
Gambar 5. Formula sagu instan
Formulasi dilakukan dua tahap. Formulasi tahap pertama merupakan
formulasi awal yang bertujuan membuat formula makanan padat kalori yang
diharapkan bisa diterima oleh konsumen. Pada formulasi tahap pertama
dilakukan uji organoleptik (uji hedonik) awal untuk mengetahui sejauh mana
tingkat penerimaan konsumen serta mengetahui kekurangan yang terdapat
pada produk yang berhubungan dengan sifat dan mutu sensori. Pada uji
organoleptik ini terpilih tiga formula yang paling disukai konsumen yaitu
formula B, C, dan D.
Formulasi tahap kedua merupakan tindak lanjut dari hasil uji
organoleptik pertama. Pada formulasi tahap kedua dilakukan sedikit
perubahan komposisi bahan penyusun yang dilakukan terhadap ketiga formula
terpilih hasi uji organoleptik pertama. Perubahan komposisi dilakukan dengan
tujuan meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk. Ketiga formula
tersebut kemudian diuji kembali dengan uji organoleptik (uji hedonik dan uji
rangking hedonik), analisis proksimat, analisis serat pangan, serta analisis
daya cerna pati dan protein. Pada formulasi tahap kedua juga
dilakukan.perhitungan kandungan gizi berdasarkan data proksimat bahan
penyusun. Formula sagu instan tahap kedua dan perhitungan kandungan gizi
dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9
X Y Z
Tabel 8. Formula sagu instan tahap kedua (dalam 100 g bahan)
Formula
Komposisi bahan penyusun
Pati sagu (g)
Tepung kedelai
(g)
Susu skim (g)
Gula halus (g)
Minyak nabati
(g)
X 50 5 25 15 5
Y 45 10 25 15 5
Z 40 15 25 15 5
Tabel 9. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap kedua per 100
g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis
Komposisi Formula
X Y Z
Air (g) 3.24 3.40 3.57
Abu (g) 2.92 3.11 3.26
Protein (g) 8.39 10.22 12.03
Lemak (g) 6.80 8.46 10.11
Karbohidrat (g) 81.58 77.97 74.35
Serat makanan g) 2.27 2.42 2.57
Kalori (kkal) 412 419 427
C. UJI ORGANOLEPTIK
Menurut Soekarto (1985), pengujian secara organoleptik suatu produk
makanan merupakan kegiatan penilaian dengan alat pengindera yaitu indera
penglihat, pencicip, pembau, dan pendengar. Melalui hasil pengujian
organoleptik akan diketahui daya penerimaan panelis (konsumen) terhadap
produk tersebut.
Uji organoleptik formula sagu instan ini meliputi uji kesukaan (hedonik)
dan rangking hedonik. Parameter mutu yang diuji adalah warna, aroma, tekstur,
rasa, dan kerenyahan. Penilaian dilakukan menggunakan skala hedonik yang
menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap produk. Skala yang digunakan
pada uji hedonik ini adalah skala 1 sampai 7, dimana skala 1 menyatakan sangat
tidak suka dan skala 7 menyatakan sangat suka. Uji organoleptik dilakukan dua
kali yaitu pada formulasi pertama dan formulasi kedua. Pengujian dilakukan
pada 30 orang panelis yang merupakan jumlah minimum panelis pada uji
hedonik. Formulir isian penilaian panelis selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 4, 5, 6.
1. Nilai Warna
Warna memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kesukaan
konsumen terhadap suatu produk. Pembentukan warna pada produk sagu
instan dipengaruhi oleh pati dan gula melalui reaksi pencoklatan selama
pemasakan. Nilai rataan dari kesukaan terhadap warna formula sagu instan
disajikan pada Gambar 6.
4.8 4.45.2 5,25,3
4,04,54,7
01234567
A B C D E X Y Z
Formula sagu instan
Skor
kes
ukaa
n
Keterangan : A = 60% pati sagu: 0% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak B = 55% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak C = 50% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak D = 45% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak E = 40% pati sagu: 20% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan
warna sagu instan
Hasil uji organoleptik terhadap warna formula sagu instan tahap
pertama menunjukkan nilai rataan antara 4.0 – 4.8 (netral - agak suka),
sedangkan uji organoleptik terhadap warna formula sagu instan tahap kedua
menunjukkan nilai rataan antara 5.2 – 5.3 (agak suka – suka). Dari data
tersebut terlihat adanya peningkatan nilai kesukaan yang cukup tinggi
terhadap formula sagu instan tahap kedua. Peningkatan diduga disebabkan
oleh penurunan komposisi pati sagu pada formula tahap kedua, sehingga
pembentukan warna coklat akibat reaksi Maillard antara gugus amino protein
dan gugus karbonil gula pereduksi mengalami penurunan. Hasil analisis sidik
ragam (Lampiran 7 dan 12) menunjukkan bahwa nilai kesukaan terhadap
warna dari kelima formula sagu instan tahap pertama dipengaruhi secara nyata
(P<0.05), sedangkan nilai kesukaan terhadap warna ketiga formula tahap
kedua tidak dipengaruhi secara nyata (P>0.05).
2. Nilai Aroma
Cita rasa suatu produk makanan juga ditentukan oleh faktor aroma.
Menurut Soekarto (1985), industri pangan menganggap sangat penting untuk
melakukan uji aroma karena dapat diketahui dengan cepat bahwa produknya
disukai atau tidak disukai. Aroma formula sagu instan terutama dihasilkan
oleh skim, gula, dan kedelai.
Hasil pengujian terhadap aroma formula sagu instan tahap pertama
menunjukkan nilai rataan antara 4.2 – 4.6 (netral - agak suka), sedangkan
pengujian terhadap aroma formula sagu instan tahap kedua menunjukkan nilai
rataan antara 4.8 – 4.9 (netral – agak suka). Dari data terlihat adanya sedikit
peningkatan nilai kesukaan terhadap aroma formula sagu instan tahap kedua.
Hai ini kemungkinan terjadi karena peningkatan komposisi gula yang
menyebabkan peningkatan karamelisasi produk selama pengolahan.
Karamelisasi menimbulkan aroma khas pada produk sehingga produk lebih
disukai. Hasil analisis ragam (Lampiran 8 dan 13) menunjukkan bahwa nilai
kesukaan terhadap aroma formula sagu instan, baik formula pertama maupun
formula kedua tidak dipengaruhi secara nyata (P>0.05). Rataan dari nilai
kesukaan terhadap aroma formula sagu instan disajikan pada Gambar 7.
4.5 4.3 4.6 4.8 4,94,84,24,2
01234567
A B C D E X Y Z
Formula sagu instan
Skor
kes
ukaa
n
Keterangan : A = 60% pati sagu: 0% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak B = 55% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak C = 50% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak D = 45% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak E = 40% pati sagu: 20% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan
aroma sagu instan
3. Nilai Tekstur
Setiap bahan makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung
pada keadaan fisik, ukuran, dan bentuk sel yang dikandungnya. Penilaian
terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas, atau kerenyahan
(Peckham, 1969). Tekstur formula sagu instan sangat dipengaruhi oleh
komposisi pati sagu dan lemak yang terdapat pada bahan penyusun. Pati sagu
berpengaruh terhadap kelengketan produk, sedangkan lemak berpengaruh
terhadap kelembutan produk. Rataan dari nilai kesukaan terhadap tekstur
formula sagu intan disajikan pada Gambar 8.
Hasil pengujian terhadap tekstur formula sagu instan tahap pertama
menunjukkan nilai rataan antara 4.0 – 4.7 (netral - agak suka), sedangkan
pengujian terhadap tekstur formula sagu instan tahap kedua menunjukkan
nilai rataan antara 4.5 – 5.1 (netral – agak suka). Dari data terlihat adanya
peningkatan nilai kesukaan terhadap tekstur formula sagu instan tahap kedua.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya penurunan komposisi pati sagu
sehingga menurunkan kelengketan produk. Peningkatan komposisi tepung
kedelai yang mempunyai kandungan lemak tinggi juga diduga menyebabkan
peningkatan nilai kesukaan. Hasil analisis ragam (Lampiran 9 dan 14)
menunjukkan bahwa nilai kesukaan terhadap tekstur formula pertama
dipengaruhi secara nyata (P<0.05), sedangkan formula kedua tidak
dipengaruhi secara nyata (P>0.05).
4.2 4.5 4.65.1
4.04.34.44.7
01234567
A B C D E X Y Z
Formula sagu instan
Skor
kes
ukaa
n
Keterangan : A = 60% pati sagu: 0% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak B = 55% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak C = 50% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak D = 45% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak E = 40% pati sagu: 20% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan
tekstur sagu instan
4. Nilai rasa
Faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan konsumen
untuk menerima atau menolak suatu produk makanan adalah rasa. Rasa
dimulai melalui tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera pencicip (lidah),
hingga akhirnya terjadi keseluruhan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa,
dan tekstur sebagai keseluruhan rasa makanan yang dinilai (Nasution, 1980).
Rasa pada produk sagu instan ini terutama disebabkan oleh
penambahan gula disamping rasa khas dari bahan penyusun lain seperti rasa
tepung dan susu. Nilai rataan kesukaan panelis terhadap rasa formula sagu
instan disajikan pada Gambar 9.
4.1 4.5 4.3 4,75,04,34,33,8
01234567
A B C D E X Y Z
Formula sagu instan
Skor
kes
ukaa
n
Keterangan : A = 60% pati sagu: 0% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak B = 55% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak C = 50% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak D = 45% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak E = 40% pati sagu: 20% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan
rasa sagu instan
Hasil pengujian organoleptik terhadap rasa formula sagu instan tahap
pertama menunjukkan nilai rataan antara 3.8 – 4.5 (netral – agak suka),
sedangkan pada formula tahap kedua nilai rataannya berkisar antara 4.3 – 5.0
(netral – agak suka). Data menunjukkan adanya sedikit peningkatan nilai
kesukaan terhadap rasa formula sagu instan tahap kedua. Hal ini diduga terjadi
karena adanya peningkatan komposisi gula pada formula sagu instan tahap
kedua yang menyebabkan terjadinya peningkatan rasa manis sehingga lebih
disukai panelis. Hasil analisis ragam (Lampiran 10 dan 15) menunjukkan
bahwa nilai kesukaan terhadap rasa formula pertama dipengaruhi secara nyata
oleh formula (P<0.05), sedangkan formula kedua tidak dipengaruhi secara
nyata oleh formula (P>0.05).
5. Nilai Kerenyahan
Kerenyahan merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan
mutu produk makanan kering atau makanan yang berbentuk padatan. Formula
sagu instan merupakan salah satu produk makanan padat kalori yang
berbentuk padatan kering, sehingga perlu diuji penerimaan konsumen
terhadap kerenyahannya. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap kerenyahan
formula sagu instan dapat dilihat pada Gambar 10.
4.2 4.6 4.14,7
4,0 4,14,64,3
01234567
A B C D E X Y Z
Formula sagu instan
Skor
kes
ukaa
n
Keterangan : A = 60% pati sagu: 0% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak B = 55% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak C = 50% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak D = 45% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak E = 40% pati sagu: 20% tepung kedelai : 25% skim: 10% gula: 5% minyak X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan sagu instan
Hasil pengujian organoleptik terhadap kerenyahan formula sagu instan
tahap pertama menunjukkan nilai rataan antara 4.0 – 4.6 (netral - agak suka),
sedangkan pengujian terhadap kerenyahan formula sagu instan tahap kedua
menunjukkan nilai rataan antara 4.1 – 4.7 (netral – agak suka). Data
menunjukkan tidak terjadi peningkatan yang signifikan antara formula
pertama dan kedua. Hal ini terjadi karena perubahan yang sangat kecil pada
komposisi bahan penyususn sehingga tidak berpengaruh besar terhadap
kerenyahan produk. Hasil analisis ragam (Lampiran 11 dan 16) menunjukkan
bahwa nilai kesukaan terhadap kerenyahan formula sagu instan baik formula
pertama maupun formula kedua tidak dipengaruhi secara nyata oleh formula
(P>0.05).
6. Penerimaan Umum
Penerimaan umum formula sagu instan dinilai dengan uji rangking
hedonik. Uji rangking hedonik penting dilakukan untuk mengetahui formula
yang paling disukai atau diterima konsumen. Pengujian hanya dilakukan pada
formula tahap kedua karena formula-formula tersebut merupakan terpilih hasil
uji organoleptik pertama dengan sedikit perubahan komposisi bahan. Data uji
rangking hedonik formula sagu instan disajikan pada Gambar 11.
2.11,7
2,2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
X Y Z
Formula sagu instan
Rang
king
Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Gambar 11. Histogram uji hedonik rangking formula sagu instan
Pengujian dilakukan menggunakan skala 1 sampai 3. Skala 1
merupakan skala tertinggi yang menandakan produk tersebut paling disukai,
sebaliknya skala 3 merupakan skala terendah. Berdasarkan hasil pengujian
diketahui bahwa formula Y mempuyai nilai rata-rata terendah yaitu 1.7,
diikuti formula Z dengan nilai rata-rata 2.1 dan terakhir formula X dengan
nilai rata-rata 2.2. Data tersebut menunjukkan bahwa formula yang paling
disukai atau yang paling diterima konsumen secara umum adalah formula Y.
Dari hasil uji organoleptik yang dilakukan, baik itu uji hedonik
maupun uji rangking hedonik, dapat diambil kesimpulan bahwa formula hasil
perubahan komposisi (formula tahap kedua) lebih disukai atau diterima oleh
panelis dibandingkan dengan formula pertama. Peningkatan komposisi tepung
kedelai dan gula dalam produk ternyata bisa meningkatkan nilai kesukaan
panelis terhadap formula sagu instan. Hasil pengujian organoleptik juga
menunjukan bahwa formula Y merupakan formula terbaik karena paling
disukai panelis .Formula Y menjadi formula terbaik karena dari semua
parameter yang diuji hampir semuanya mendapat skor rata-rata tertinggi
kecuali parameter aroma.
D. MUTU KIMIA SAGU INSTAN
Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis yang biasa
dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan komponen
utama pada bahan. Analisis ini meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar
protein, dan kadar lemak. Adapun kandungan karbohidrat ditentukan by
difference, yaitu dengan menghitung selisih antara 100 dengan total kadar air,
kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Hasil analisis proksimat ini hanya
memberikan gambaran umum karena nilai yang dihasilkan hanya berupa nilai
perkiraan, artinya tidak menunjukkan nilai yang sebenarnya, dengan kata lain
akurasi metode ini terbatas.
Pada penelitian ini, analisis proksimat .dilakukan pada formula sagu
instan tahap kedua atau formula yang telah mengalami perubahan komposisi.
Selain penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak, pada
penelitian ini juga dilakukan penentuan kadar serat makanan (dietary fiber)
dengan metode enzimatis. Hasil analisis proksimat dan analisis kadar serat
makanan ketiga formula tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Komposisi kimia formula sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)
Komposisi Formula X Formula Y Formula Z
Air (g) 3.30 3.36 2.76
Abu (g) 2.96 3.06 3.11
Protein (g) 8.07 9.86 12.38
Lemak (g) 5.60 7.09 7.84
Karbohidrat (g) 83.37 79.99 76.68
Serat pangan (g) 5.54 6.95 9.48
Kalori (kkal) 394 395 389
Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
1. Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan yang dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya
tahan makanan (Winarno, 1984).
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air formula sagu
instan berkisar antara 2.76 – 3.36 %. Formula Y mempunyai kadar air yang
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan formula lainnya. Hal ini diduga
karena penambahan tepung kedelai yang lebih banyak menyebabkan
pembentukan kompleks antara pati, protein dari kedelai, dan komponen
lemak, sehingga menghambat keluarnya air pada saat pengeringan. Secara
umum perbedaan kadar air ketiga formula tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi
karena komposisi bahan penyusun juga tidak jauh berbeda. Pada kondisi
pengolahan yang relatif sama, perbedaan kadar air dapat disebabkan oleh
perbedaan kadar air bahan mentah atau perbedaan fisik bahan, terutama
kemampuan daya ikat airnya
Berdasarkan data hasil analisis, diketahui bahwa kadar air formula
relatif kecil, sehingga produk bersifat higroskopis (mudah menyerap air).
Produk dengan kadar air rendah harus dilindungi terhadap masuknya uap air.
Untuk menghambat atau mencegah masuknya uap air diperlukan bahan
pengemas. Menurut Syarief et al. (1989), umumnya produk-produk dengan
kadar air rendah memiliki keseimbangan relatif yang rendah, maka bahan
pengemas harus mempunyai nilai permeabilitas air yang rendah.
Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam kebanyakan
reaksi perusakan bahan pangan. Beberapa kerusakan yang disebabkan oleh
kadar air yang tinggi pada bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, reaksi
pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi lemak. Nilai kadar air formula sagu
instan yang rendah diyakini dapat menghambat terjadinya berbagai kerusakan
tersebut, sehingga mutu produk tetap terjaga. Menurut Winarno (1984), kadar
air pada bahan berkisar 3 – 7 % akan mencapai kestabilan optimum, sehingga
pertumbuhan mikroba dan reaksi-raksi kimia yang merusak bahan seperti
browning, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.
2. Kadar Abu
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96 % terdiri dari bahan
organic dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal
sebagai zat organik atau abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik
terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno,
1984). Kadar abu formula sagu instan sangat dipengaruhi oleh kadar abu
bahan penyusunnya terutama skim dan tepung kedelai.
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar abu formula sagu
instan berkisar antara 2.96 – 3.11 % bk. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan
perkiraan yaitu sebesar 2.92 – 3.26 % bk (Tabel 9), walaupun terjadi sedikit
penyimpangan yaitu sebesar 1.37 – 4.60 %. Dari data terlihat adanya
peningkatan kadar abu sesuai dengan peningkatan komposisi kedelai pada
produk. Hal ini menggambarkan bahwa tepung kedelai berpengaruh terhadap
kadar abu formula sagu instan, mengingat kadar abunya yang relatif tinggi.
Hal ini memperjelas bahwa kadar abu suatu produk olahan pangan sangat
dipengaruhi oleh kadar abu bahan penyusunnya.
3. Kadar Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,
karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-
asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 1984).
Penentuan kadar protein pada penelitian ini dilakukan dengan metode
mikro Kjeldahl. Prinsipnya adalah semua senyawa bernitrogen dalam sampel
diubah menjadi amonium sulfat dengan penambahan asam sulfat pekat.
Selanjutnya dengan destilasi NH3 dapat dipisahkan setelah sebelumnya
ditambahkan basa. Amoniak yang diperoleh ditampung menggunakan asam
borat dan terakhir dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N. perhitungan kadar
protein dilakukan atas dasar asumsi bahwa kandungan nitrogen dalam sampel
adalah sebesar 17.2 % atau lebih rendah.
Data hasil analisis menunjukkan bahwa kadar protein formula sagu
instan yang dihasilkan berkisar antara 8.07 – 12.38 % bk. Nilai ini sedikit
berbeda dengan perkiraan yaitu 8.39 – 12.03 % bk (Tabel 9), dengan persen
penyimpangan sebesar 2.91 – 3.81 %. Dari data hasil analisis, terlihat adanya
peningkatan kadar protein sesuai dengan peningkatan penambahan tepung
kedelai pada produk. Formula Z mempunyai kadar protein paling tinggi
karena penambahan tepung kedelai pada produk juga paling tinggi. Protein
kedelai dipercaya mempunyai mutu yang tinggi karena kaya akan kandungan
asam amino esensial. Menurut Muchtadi (1989) protein kedelai kaya akan
asam amino lisin tetap kekurangan asam amino sulfur terutama metionin.
Berdasarkan data diketahui bahwa jumlah kandungan protein yang
terdapat pada formula sagu instan ini nilainya relatif kecil. Sebagai
perbandingan, kadar protein formula sagu instan sedikit lebih besar
dibandingkan dengan produk makanan tinggi kalori dengan jenis kue satu
hasil penelitian Sukmaningrum (2003), yaitu sebesar 8.76 % bk. Dapat
disimpulkan bahwa pada formulasi makanan tinggi kalori, nilai kadar protein
produk tidak menjadi perhatian utama walaupun mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pemenuhan gizi manusia.
4. Kadar Lemak
Lemak atau minyak merupakan sumber energi yang paling efektif
dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat
menghasilkan kalori sebesar 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya
menghasilkan kalori sebesar 4 kkal. Hampir semua bahan pangan banyak
mengandung lemak dan minyak, terutama bahan yang berasal dari hewan.
Selain sebagai sumber energi, lemak dan minyak berperan penting dalam
penyediaan vitamin A, D, E, dan K dalam tubuh serta pembentukan cita rasa
suatu makanan (Winarno, 1984).
Kadar lemak yang dianalisis pada penelitian ini adalah kadar lemak
kasar, yaitu tidak hanya lemak (true fat), tetapi juga lilin, fosfolipida, sterol,
hormon, minyak atsiri dan pigmen (Ketaren, 1986). Kadar lemak formula
sagu instan hasil analisis menunjukan nilai antara 5.60 – 7.84 % bk. Nilai ini
lebih rendah dari perkiraan yaitu sebesar 6.80 – 10.11 % bk (Tabel 9), dengan
persen penyimpangan sebesar 17.65 – 22.45 %. Penyimpangan yang besar
kemungkinan disebabkan karena pengaruh pengolahan terutama perebusan.
Pada saat perebusan, minyak yang ditambahkan diduga tidak tercampur
dengan sempurna (homogen). Selain itu, penyimpangan juga diduga terjadi
karena proses pemanasan pada saat analisis. Pada saat ekstraksi menggunakan
metode soxhlet, proses pemanasan memicu reaksi antara pati dengan lemak
sehingga terbentuk ikatan yang menyebabkan lemak tidak terekstak secara
optimal.
Dari data hasil analisis terlihat adanya peningkatan kadar lemak sesuai
dengan peningkatan penambahan tepung kedelai. Hal ini disebabkan karena
tepung kedelai mempunyai kadar lemak yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan kadar lemak produk. Secara umum terlihat bahwa formula sagu
instan memiliki kadar lemak yang rendah, yaitu kurang dari 10 %. Kadar
lemak yang rendah mempunyai keuntungan, yaitu dapat mengurangi reaksi
oksidasi selama penyimpanan. Reaksi oksidasi lemak dapat menyebabkan
penurunan mutu produk karena menimbulkan ketengikan pada produk dan
juga pembentukan radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.
5. Kadar Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama dan mempuyai peranan
penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa,
warna, dan tekstur (Winarno, 1984). Karbohidrat dalam makanan terdiri dari
dua jenis, yaitu karbohidrat yang dapat dicerna (pati) dan karbohidrat yang
tidak dapt dicerna (serat) oleh tubuh dalam sistem metabolisme.
Sumber karbohidrat utama pada formula sagu instan berasal dari
kandungan karbohidrat pati sagu. Penentuan kadar karbohidrat dalam
penelitian ini dihitung secara by difference, yaitu dengan menghitung selisih
antara 100% dengan total kadar air, abu, protein, dan lemak. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh kadar karbohidrat formula sagu instan berkisar antara
76.68 – 83.37 % bk. Nilai ini sedikit lebih besar dari perkiraan yaitu 74.35 –
81.58 % bk (Tabel 9), dengan persen penyimpangan sebesar 2.19 – 3.13 %.
Hai ini disebabkan karena terjadi penurunan kadar lemak, protein, dan abu
dari perkiraan, sehingga dengan perhitungan secara by difference kadar
karbohidrat menjadi meningkat. Dari data terlihat adanya penurunan kadar
karbohidrat sesuai dengan penurunan komposisi pati sagu dan peningkatan
komposisi tepung kedelai dalam formula. Hal ini terjadi karena jumlah
kandungan karbohidrat dalam pati sagu jauh lebih besar dari pada jumlah
kandungan karbohidrat tepung kedelai.
Karbohidrat yang terdapat pada formula sagu instan sebagian besar
terdiri dari pati dan sebagian kecil serat. Karbohidrat mempunyai peranan
yang sangat penting dalam menentukan kalori produk karena jumlahnya yang
sangat tinggi. Menurut Winarno (1984), walaupun jumlah kalori yang
dihasilkan oleh I gram karbohidrat hanya 4 kkal, bila dibandingkan dengan
protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah.
6. Kadar Serat Makanan (Dietary Fiber)
Serat makanan (dietary fiber) adalah bahan dalam makanan yang
berasal dari tanaman, yang tahan terhadap pemecahan enzim dalam saluran
pencernaan dan karenanya tidak dapat diabsorpsi. Zat ini terdiri dari selulosa
dengan sedikit lignin dan sebagian kecil hemiselulosa (Gaman dan
Sherrington, 1990). Menurut Sulaeman et al. (1994), istilah serat makanan
berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat kasar adalah bagian dari
makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia seperti H2SO4
1.25% dan NaOH 1.25%.
Analisis serat makanan dalam penelitian ini dilakukan secara
enzimatis. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar serat makanan formula
sagu instan berkisar antara 5.54 – 9.48 % bkj. Kadar serat makanan
mengalami peningkatan sesuai dengan peningkatan penambahan tepung
kedelai. Hal ini disebabkan karena jumlah kandungan serat makanan tepung
kedelai lebih tinggi dibandingkan bahan lain.
Kadar serat makanan formula sagu instan yang dihasilkan nilainya
jauh lebih besar dari perkiraan yaitu sebesar 2.27 – 2.57 % bk (Tabel 9),
dengan persen penyimpangan sebesar 144.05 – 268.87 %. Ada beberapa
macam faktor yang dipercaya dapat meningkatkan komponen serat makanan
dalam bahan pangan. Menurut Fadilah (2004), berbagai penelitian
menyebutkan bahwa pengolahan dengan menggunakan panas, kelembaban,
tekanan seperti pengeringan dan proses ekstrusi dapat meningkatkan
pembentukan resistant starch. Resistant starch adalah fraksi pati yang tidak
dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroba
usus.
Pembentukan komponen resistant starch kemungkinan disebabkan
karena terjadinya retrogadasi pati selama pengolahan. Retrogradasi pati
merupakan proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi.
Kristalisasi terjadi akibat berikatannya molekul-molekul amilosa maupun
amilopektin karena tidak cukup kuatnya energi kinetik melawan
kecenderungan molekul-molekul tersebut untuk bersatu kembali. Pati yang
telah mengalami retrogradasi umumnya tidak dapat dikenali lagi oleh enzim
pencernaan karena telah terjadi perubahan struktur pati (Winarno, 1984).
Faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan komponen serat
dikemukakan oleh Davidek et al. (1990). Menurut Davidek et al. (1990),
selama penepungan terjadi kerusakan granula pati secara fisik sekitar 5 – 10%
akibat putaran dari silinder penggiling. Kerusakan tersebut mengakibatkan
granula pati menjadi relatif tahan terhadap enzim α dan β amilase
Selain disebabkan karena kerusakan pati, peningkatan kadar serat
makanan juga diduga dapat terjadi akibat kerusakan protein. Davidek et al.,
(1990) melaporkan bahwa kerusakan protein yang terjadi karena pemanasan
selama pengolahan dapat meningkatkan kadar serat makanan. Peningkatan
disebabkan karena terjadinya teksturisasi protein menjdi komponen yang
mirip dengan serat alami. Teksturisasi terjadi akibat pengaruh denaturasi
panas secara irreversible. Pada saat teksturisai terjadi pembentukan formasi
ikatan yang lebih tahan terhadap enzim-enzim pencernaan. Kerusakan yang
disebabkan oleh denaturasi meningkat dengan meningkatnya kandungan air,
suhu, dan waktu pemanasan.
7. Kandungan Kalori
Kalori menggambarkan besarnya energi yang dapat digunakan oleh
tubuh untuk melakukan aktivitas dan fungsi tubuh. Kalori dalam makanan
diperoleh dari karbohidrat, protein, dan lemak. Untuk mengetahui nilai kalori
produk diperlukan perhitungan menggunakan faktor konversi yang merupakan
nilai efisiensi penyerapan terhadap zat gizi. Untuk karbohidrat dan protein
digunakan faktor konversi 4 kkal/gram, sedangkan untuk lemak digunakan
faktor konversi 9 kkal/gram
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kandungan kalori formula
sagu instan berkisar antara 389 – 395 kkal per 100 g bahan (% bk). Nilai ini
lebih kecil dari perkiraan, yaitu sebesar 412 – 427 kkal per 100 g bahan (%
bk), dengan persen penyimpangan sebesar 5.58 – 7.49 %. Hal ini terjadi
karena adanya penurunan jumlah kandungan gizi produk selama pengolahan.
Kandungan gizi yang mengalami penurunan adalah protein dengan persen
penyimpangan sebesar 2.91 – 3.81 % dan lemak dengan persen penyimpangan
sebesar 17.65 – 22.45 %. Selain itu, penurunan nilai kalori juga disebabkan
karena peningkatan komponen serat makanan (dietary fiber) yang mengalami
penyimpangan sangat tinggi yaitu sebesar 144 – 268 %. Namun demikian,
nilai kalori formula sagu instan masih memenuhi aturan pangan berkalori
menurut BPOM (2004), yaitu minimum 300 kkal.
E. MUTU FISIK SAGU INSTAN
1. Daya Serap Air
Daya serap air menggambarkan kemampuan suatu bahan dalam
menyerap air. Daya serap air penting dilakukan dalam uji rekonstitusi. Makin
besar daya serap air suatu bahan, makin sempurna pula proses pengolahan
yang dilakukan terhadap bahan tersebut. Dengan demikian proses rekonsitusi
produk juga akan berlangsung dengan sempurnma, yang dicirikan dengan
konsistensi lunak, halus, bebas dari gumpalan-gumpalan, serta mudah
disendok (Anonim, 1985 dikutip oleh Santosa, 1989).
Hasil pengukuran daya serap air formula sagu instan menunjukkan
nilai 3.72 – 4.15 g/g. Formula X memiliki nilai daya serap air tertinggi, yaitu
4.15 g/g, formula Y memiliki nilai daya serap air 3.97 g/g, sedangkan formula
Z memiliki nilai daya serap air terendah, yaitu 3.72 g/g. Data hasil
pengukuran daya serap air selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 12.
4.15 3.97 3.72
0
1
2
3
4
5
X Y Z
Formula sagu instan
Day
a se
rap
air
(g/g
)
Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Gambar 12. Daya serap air formula sagu instan
Berdasarkan data hasil analisis terlihat adanya penurunan daya serap
air formula sagu instan sesuai dengan peningkatan penambahan tepung
kedelai dan penuruanan penambahan pati sagu. Dari hasil analisis proksimat
diketahui bahwa peningkatan penambahan tepung kedelai dapat meningkatkan
kadar protein dan lemak produk. Peningkatan jumlah protein dan lemak
dipercaya menyebabkan penghambatan penyerapan air oleh bahan.
Mercier et al. (1979), mengatakan bahwa semakin tinggi kandungan
lemak menyebabkan penurunan daya serap air suatu bahan, atau dengan kata
lain penurunan kandungan lemak menyebabkan kenaikan daya serap air.
Penurunan daya serap air diduga terjadi akibat pembentukan kompleks lipid-
amilosa selama pengolahan.
Komposisi amilosa dan amilopektin yang terdapat pada pati juga
berpengaruh terhadap sifat penyerapan air suatu bahan. Menurut
Wirakartakusumah et al. (1984), pati sagu mengandung amilosa 27.4 % dan
amilopektin 72.6 %. Semakin besar kandungan amilosa, pati bersifat semakin
kering, kurang lengket, dan cenderung menyerap air lebih banyak.
2. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi
Rasio rehidrasi adalah rasio maksimum antara jumlah bahan dengan
jumlah air yang menyebabkan tidak terjadinya pemisahan antara bahan
dengan air. Pengukuran rasio rehidrasi dilakukan dengan melarutkan bahan
didalam air dengan perbandingan 1 : 2, 1 : 4, 1 : 6, dan 1 : 8. Larutan
kemudian didiamkan selama 30 menit lalu diamati apakah terjadi pemisahan
antara air dengan bahan.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rasio maksimum antara bahan
dan air yang tidak menyebabkan pemisahan adalah 1 : 4, yang berarti pada
rasio tersebut bahan tetap dalam keadaan stabil. Pada rasio 1 : 6 sudah terjadi
pemisahan antara bahan dengan air. Menurut Lianawati (1997), rasio rehidrasi
produk bubur instan yang umum dikonsumsi adalah 1 : 3, yang berarti produk
masih berbentuk suspensi yang homogen dan stabil.
Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh bahan untuk
kembali menyerap air sehingga diperoleh tekstur bubur yang homogen dan
stabil. Pengukuran waktu rehidrasi dilakukan secara subyektif, yaitu dengan
melarutkan bahan dan air dengan perbandingan yang telah ditentukan sesuai
pengukuran rasio rehidrasi. Bahan dan air yang telah tercampur kemudian
diaduk sampai diperoleh tekstur bubur yang homogen dan stabil kemudian
dihitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tekstur tersebut.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa waktu rehidrasi formula sagu instan
adalah berkisar antara 2.9 – 3.6 menit.
F. DAYA CERNA SAGU INSTAN
1. Daya Cerna Protein
Protein yang terkandung dalam makanan setelah dikonsumsi akan
mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim-enzim protease). Nilai gizi
suatu protein ditentukan oleh daya cernanya yang berarti juga menentukan
ketersediaan asam amino secara biologis. Jika suatu protein memiliki daya
cerna tinggi maka sebagian besar asam-asam aminonya dapat dimanfaatkan
oleh tubuh. Sebaliknya, protein yang daya cernanya rendah maka sebagian
besar akan dibuang melalui feses (Muchtadi, 1989).
Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan secara in vivo maupun
in vitro. Metode in vivo seringkali dianggap mahal dan terlalu lama. Metode in
vitro lebih praktis dan dilakukan dengan menggunakan enzim-enzim
pencernaan serta membuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya
terjadi dalam pencernaan manusia (Muchtadi, 1989).
Dalam penelitian ini dilakukan analisis daya cerna protein secara in
vitro dengan teknik multi enzim menggunakan campuran tiga macam enzim
protease, yaitu tripsin, kimotripsin, dan peptidase. Enzim-enzim tersebut
berperan dalam proses hidrolisis protein menjadi asam-asam amino
penyusunnya. Hidrolisis protein oleh enzim protease akan melepaskan
sejumlah ion-ion hidrogen sehingga terjadi penurunan pH. Pengukuran nilai
daya cerna protein dihitung dari seberapa besar perubahan pH yang terjadi
selama proses hidrolisis.
Analisis daya cerna protein dilakukan terhadap tiga formula tahap
kedua. Data hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan data
tersebut dapat diketahui bahwa formula Z memiliki nilai daya cerna protein
paling tinggi yaitu 82.16%, kemudian formula Y dengan nilai 81.75%, dan
terakhir formula X dengan nilai 81.07%. Relatif tidak terdapat perbedaan yang
signifikan nilai daya cerna protein dari ketiga formula tersebut. Hal ini
disebabkan karena komposisi dan kandungan protein produk juga tidak jauh
berbeda.
81.07 81.75 82.16
020406080
100
X Y Z
Formula sagu instan
Day
a ce
rna
prot
ein
(%)
Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Gambar 13. Pengaruh formulasi terhadap daya cerna protein sagu instan
Berdasarkan data hasil analisis, dapat diketahui bahwa protein pada
formula sagu instan memiliki mutu yang baik. Walaupun tidak mencapai 100
%, daya cerna ketiga formula tersebut cukup tinggi, yaitu berada diatas 80 %.
Sebagai perbandingan, nilai daya cerna protein formula sagu instan ini sedikit
lebih rendah dibandingkan dengan formula kue satu yang merupakan formula
makanan padat kalori hasil penelitian Sukmaningrum (2003), yaitu sebesar
86.76%. Namun lebih tinggi dibandingkan dengan formula pangan semi basah
(dodol), yaitu sebesar 52.92 – 58.15%. (Sukmaningrum, 2003).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein, salah
satunya adalah adanya komponen anti nutrisi pada bahan terutama yang
berasal dari kacang-kacangan. Kedelai yang digunakan pada formula sagu
instan diyakini memiliki kandungan anti nutrisi yang dapat menurunkan daya
cerna protein. yaitu anti tripsin. Namun demikian, proses pemanasan selama
pengolahan diduga dapat menginaktivasi anti tripsin tersebut.
Selain faktor anti nutrisi, pengolahan juga berpengaruh terhadap daya
cerna protein, misalnya reaksi Maillard dan adanya pemanasan (Homisah,
1997). Muchtadi (1994) menyatakan bahwa penurunan daya cerna protein
dapat disebabkan karena reaksi antara sisi rantai asam-asam amino yang
terikat dalam protein i dengan senyawa hasil oksidasi lemak. Lemak yang
teroksidasi akan menghasilkan radikal-radikal bebas (terutama dari asam
lemak tidak jenuh), yang kemudian membentuk karbonil atau peroksida.
Kedua senyawa tersebut dapat bereaksi dengan protein membentuk ikatan
silang dalam rantai protein melalui ikatan-ikatan protein-lipid, sehingga
terjadi penurunan nilai gizi protein serta kerusakan asam-asam amino.
2. Daya Cerna Pati
Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam
menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Pengukuran daya cerna
pati dapat dilakukan secara in vitro menggunakan berbagai macam enzim
pada kondisi tertentu seperti pH, buffer, waktu inkubasi dan suhu. Setelah
hidrolisis, jumlah gula yang berhasil direduksi merupakan hasil dari daya
cerna pati (Tharanthan dan Mahadevama, 2003)
Pada penelitian ini digunakan metode pengukuran daya cerna pati
secara in vitro menurut Muchtadi (1989). Dalam metode ini pati dihidrolisis
oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit maltosa. Jumlah maltosa yang
dihasilkan diukur menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan
asam dinitrosalisilat (DNS) melalui kurva standar maltosa (Lampiran 19.b).
Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase terhadap pati murni
(soluble starch). Nilai daya cerna pati formula sagu instan dapat dilihat pada
Gambar 14..
Berdasarkan data dapat dilihat bahwa formula X memiliki nilai daya
cerna pati paling tinggi yaitu 56.44%, kemudian formula Y dengan nilai
33.57%, dan terakhir formula Z dengan nilai 31.42%. Terdapat perbedaan
yang signifikan antara nilai daya cerna protein ketiga formula tersebut. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah pati dan serat yang
terkandung dalam produk. Dari data terlihat adanya penurunan daya cerna pati
sesuai dengan penurunan komposisi pati sagu dan peningkatan kadar serat
makanan.
56.44
33.57 31.42
020406080
100
X Y Z
Formula sagu instan
Day
a ce
rna
pati
(%)
Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Gambar 14. Pengaruh formulasi terhadap daya cerna pati sagu instan
Dari data yang dihasilkan diketahui bahwa daya cerna pati produk
yang dihasilkan nilainya relatif kecil. Beberapa hal yang dapat menyebabkan
penurunan daya cerna pati diantaranya adalah penggunaan suhu yang terlalu
tinggi pada waktu proses pengolahan, interaksi antara pati dengan komponen
non pati, dan jumlah resistant starch yang terdapat dalam pati. Resistant
starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halua
tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Tharanthan dan
Mahadevama, 2003).
Interaksi antara pati dengan komponen lain seperti lipid, protein, dan
pati itu sendiri dapat mempengaruhi daya cerna pati. Perlakuan panas selama
pengolahan diduga dapat meningkatkan interaksi tersebut yang menyebabkan
aktivitas enzim α-amilase dalam menghidrolisis pati menjadi menurun.
Penggunaan suhu tinggi pada proses pengolahan pangan dengan kandungan
pati yang tinggi juga dapat menyebabkan terebentuknya retrogadasi amilosa
menjadi resistant starch. (Tharanthan dan Mahadevama, 2003)
Disamping faktor-faktor diatas, hal yang diduga menyebabkan
rendahnya nilai daya cerna pati formula sagu instan adalah karena kandungan
tanin yang terdapat pada pati sagu. Menurut beberapa penelitian diketahui
bahwa zat tanin yang banyak terdapat pada pati sagu dan aren mampu
menghambat aktivitas enzim α-amilase yang akibatnya dapat menurunkan
daya cerna pati (Fatmawati, 2004). Hal ini menurut Swain (1965) dikutip oleh
Sumaryanti (1994) disebabkan karena tanin mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan protein menbentuk kompleks protein-tanin. Bila ikatan ini
terjadi antara tanin dengan enzim maka akan menghambat aktivitas enzim.
Swain (1965) menyatakan bahwa kompleks protein-tanin merupakan
penyebab kekeruhan, pengendapan, mempunyai sifat anti nutrisi, dan
menghambat aktivitas enzim.
Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan
kadar gula darah (plasma glucose. Puncak kenaikan akan terjadi sekitar 15 –
45 menit setelah dikonsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan
penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar gula darah akan kembali
normal setelah dua sampai tiga jam. Tingkat kenaikan dan penurunan kadar
gula darah setelah mengkosumsi suatu makanan dikenal dengan istilah indeks
glisemik (Whitney et al. 1990 dikutip oleh Bernard, 2005).
Menurut Ragnhild et al. (2004) dikutip oleh Bernard (2005)
menyebutkan bahwa makanan-makanan yang mempunyai indeks glidemik
tinggi menyebabkan kenaikan dan penurunan kadar gula darah yang cepat dan
curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya indeks glisemik suatu
bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dengan protein,
jumlah dan jenis asam lemak, kadar serat pangan, dan bentuk fisik dari bahan
pangan (Ragnhild et al. 2004)
3. Penentuan Kalori Berdasarkan Daya Cerna
Hasil analisis menunjukkan bahwa efisiensi pencernaan protein dan
pati tidak berlangsung dengan sempurna atau kurang dari 100 %. Untuk itu
diperlukan suatu perhitungan jumlah kalori berdasarkan nilai daya cerna
protein dan pati, dengan asumsi pencernaan lemak berlangsung dengan
sempurna atau 100 %. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui berapa
besar jumlah kalori sebenarnya yang bisa digunakan dalam metabolisme
tubuh.
Penentuan kalori berdasarkan daya cerna meliputi penentuan kalori
berdasarkan daya cerna protein dan pati. Selain itu, dicantumkan juga data
kalori berdasarkan daya cerna dari beberapa hasil penelitian lain sebagai
perbandingan. Dari hasil perhitungan dapat diketahui seberapa besar persen
perbedaan antara nilai kalori hasil analisis dengan nilai kalori berdasarkan
daya cerna. Data perbandingan nilai gizi berdasarkan daya cerna dan analisis
proksimat formula sagu instan serta beberapa hasil penelitian lain dapat dilihat
pada Tabel 11, 12, 13, 14, dan 15.
Hasil perhitungan yang tercantum pada Tabel 11. menunjukkan bahwa
jumlah kalori formula sagu instan yang dihasilkan berkisar antara 194 – 252
kkal/100 g bahan. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
kalori yang dihitung berdasarkan analisis proksimat, yaitu berkisar antara 389-
395 kkal/100 g bahan, dengan persen penyimpangan sebesar 36.04 – 50.89 %.
Besarnya persen penyimpangan tersebut disebabkan karena nilai daya cerna
yang dihasilkan sangat kecil terutama daya cerna pati yang hanya bernilai
31.42 – 56.44 %.
Tabel 11. Perbandingan kandungan gizi formula sagu instan berdasarkan daya cerna protein dan pati dengan kandungan gizi hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)
Komposisi
Formula 50% pati sagu,
5% tepung kedelaia
Formula 45% pati sagu,
10% tepung kedelaia
Formula 40% pati sagu,
15% tepung kedelaia
% Perbedaan Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPb
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPb
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPb
Protein (g) 8.07 6.54 9.86 8.06 12.38 10.17 17.85 - 18.96
Lemak (g)c 5.60 - 7.09 - 7.84 - -
Karbohidrat (g)d 77.83 43.93 73.04 24.52 67.20 21.11 43.56 - 68.59
Kalori (kkal) 394 252 395 194 389 196 36.04 -50.89 a Ditambah 25% susu skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati b Daya cerna protein dan pati (lihat Gambar 13 dan 14) c Asumsi daya cerna lemak 100 % d Setelah dikurangi serat makanan - Tidak dilakukan perhitungan
Tabel 12. Perbandingan kandungan gizi formula flakes triple mixed ubi jalar-kecambah kedelai-wheat germ berdasarkan daya cerna protein dengan kandungan gizi hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)*
Komposisi
Formula 42.5% tepung ubi
jalar merah, 42.5% tepung
kecambah kedelai
Formula 51% tepung ubi
jalar merah, 34% tepung
kecambah kedelai
Formula 56.67% tepung ubi
jalar merah, 28.3% tepung
kecambah kedelai % Perbedaan
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Protein (g) 18.91 15.25 17.29 14.29 15.45 12.45 17.35 - 19.41
Lemak (g)b 6.27 - 5.26 - 3.77 - -
Karbohidrat (g)c 43.93 - 50.86 - 56.50 - -
Kalori (kkal) 308 293 320 308 322 310 3.72 - 4.87
* Hasil penelitian Rahayuning (2004) a Daya cerna protein b Asumsi daya cerna lemak 100 % c Setelah dikurangi serat makanan - Tidak dilakukan perhitungan
Tabel 13. Perbandingan kandungan gizi formula pangan semi basah (PSB) dan kue satu dari buah sukun berdasarkan daya cerna protein dan pati dengan kandungan gizi hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)*
Komposisi
Formula PSB 70% puree
sukun
Formula PSB 100% puree
sukun
Formula kue satu 100%
tepung sukun
% Perbedaan Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Protein (g) 3.11 1.81 2.89 1.53 8.76 7.60 13.24 - 47.06
Lemak (g)b 4.91 - 3.88 - 4.75 - -
Karbohidrat (g)c 73.79 3.57 69.49 4.36 73.54 13.61 81.49 - 95.16
Kalori (kkal) 352 66 324 59 372 128 65.59 - 81.79
* Hasil penelitian Sukmaningrum (2003) a Daya cerna protein dan pati b Asumsi daya cerna lemak 100 % c Setelah dikurangi serat makanan - Tidak dilakukan perhitungan
Tabel 14. Perbandingan kandungan gizi formula bubur bayi dari tepung kecambah kacang tunggak berdasarkan daya cerna protein dan pati dengan kandungan gizi hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)*
Komposisi
Formula 14% tepung
kecambah dengan kulit, 21%
tepung beras
Formula 14% tepung
kecambah tanpa kulit, 21%
tepung beras % Perbedaan
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Protein (g) 19.44 16.91 20.48 18.15 11.38 - 13.01
Lemak (g)b 5.41 - 6.17 - -
Karbohidrat (g)c 59.82 38.38 58.50 41.55 28.97 - 35.84
Kalori (kkal) 366 270 372 294 20.97 - 26.23
* Hasil penelitian Fatmawati (2004) a Daya cerna protein dan pati b Asumsi daya cerna lemak 100 % c Setelah dikurangi serat makanan - Tidak dilakukan perhitungan
Tabel 15. Perbandingan kandungan gizi brownies terigu campur buah kering dan plain cake terigu campur buah kering berdasarkan daya cerna protein dengan kandungan gizi hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk)*
Komposisi
Brownies terigu campur buah
kering
Plain cake terigu campur
buah kering
% Perbedaan Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Berdasarkan
analisis
proksimat
Berdasarkan
DCPa
Protein (g) 6.50 5.75 5.80 5.19 10.51 - 11.54
Lemak (g)b 9.30 - 10.60 - -
Karbohidrat (g)c 52.90 - 52.60 - -
Kalori (kkal) 321 318 329 327 0.61 - 0.93
* Hasil penelitian Rahmi (2003) a Daya cerna protein b Asumsi daya cerna lemak 100 % c Setelah dikurangi serat makanan - Tidak dilakukan perhitungan
Hasil perhitungan kalori berdasarkan daya cerna protein dan pati
formula sagu instan serta beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa jumlah
kalori sangat dipengaruhi oleh daya cerna zat gizi. Dari data tersebut dapat
diketahui bahwa jumlah kalori yang dapat digunakan oleh tubuh nilainya jauh
lebih kecil dari nilai kalori hasil analisis kimia tergantung dari daya cerna
protein dan pati. Hal ini menegaskan bahwa dalam penentuan kecukupan gizi
dari suatu produk sebaiknya diperhitungkan nila daya cernanya.
G. PENENTUAN TAKARAN SAJI DAN ANGKA KECUKUPAN GIZI
Takaran saji adalah sejumlah pangan yang biasa dikonsumsi setiap
kali makan yang dinyatakan dalam ukuran yang biasanya dipakai dalam
rumah tangga sesuai dengan jenis pangan tersebut, sedangkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata gizi setiap hari
menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas tubuh
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (BPOM, 2004).
Penentuan takaran saji dilakukan untuk mengetahui besarnya
sumbangan gizi produk dalam memenuhi Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan. Penentuan takaran saji formula sagu instan didasarkan pada
kecukupan gizi yang memenuhi minimal 300 kkal per hari sebagai syarat
pangan berkalori (BPOM, 2004). Selain itu, penentuan takaran saji dilakukan
atas dasar pemenuhan 20% AKG sebagai persyaratan klaim tinggi pada label
atau iklan pangan (BPOM, 2004). Dari hasil perhitungan diperolah jumlah
takaran saji yang memenuhi persyaratan tersebut yaitu sebanyak 37 g.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang akan dipenuhi meliputi kalori,
protein, lemak, dan karbohidrat. Penentuan AKG didasarkan pada diet 2000
kkal sebagai acuan AKG untuk pelabelan umum (BPOM, 2004). Angka
Kecukupan Gizi untuk acuan pelabelan umum selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 16.
Penentuan AKG dilakukan pada kandungan gizi formula sagu instan
hasil analisis proksimat dan hasil perhitungan daya cerna. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui persen AKG mana yang dapat memenuhi persen AKG yang
dianjurkan, sehingga produk dapat diklaim sebagai makanan tinggi kalori.
Sebelum dilakukan perhitungan AKG terlebih dahulu dilakukan perhitungan
kandungan gizi per takaran saji (37 g). Hal ini penting dilakukan karena
informasi nilai gizi (nutrition fact) merupakan salah satu aspek penting dalam
pelabelan pangan. Informasi nilai gizi dan AKG formula sagu instan
berrdasarkan kandungan gizi hasil analisis proksimat dan daya cerna dapat
dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18.
Tabel 16. Angka Kecukupan Gizi untuk acuan pelabelan pangan umum
Zat gizi Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Energi 2000 kkal
Protein 50 g
Lemak total 55 g
Karbohidrat total 325 g
Sumber : Badan Pengawas Obat dan Makanan (2004)
Tabel 17. Informasi nilai gizi (nutrition fact) dan Angka Kecukupan Gizi formula sagu instan berdasarkan kandungan gizi hasil analisis proksimat per takaran saji (37 g)*
Formula Kandungan gizi (%) Angka Kecukupan Gizi (%)
Kalori Protein KH Lemak Kalori Protein KH Lemak
X 146 2.99 30.85 2.07 7.30 5.98 9.49 3.76
Y 146 3.65 29.60 2.62 7.30 7.30 9.12 4.76
Z 144 4.58 28.37 2.90 7.20 8.33 8.73 5.27
*Diet 2000 kkal (BPOM, 2004) Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Tabel 18. Informasi nilai gizi (nutrition fact) dan Angka Kecukupan Gizi formula sagu instan berdasarkan kandungan gizi hasil perhitugan daya cerna protein dan pati per takaran saji (37 g)*
Formula Kandungan gizi (%) Angka Kecukupan Gizi (%)
Kalori Protein KH Lemak Kalori Protein KH Lemak
X 93 2.42 17.41 2.07 4.65 4.84 5.36 3.76
Y 72 2.98 9.93 2.62 3.60 5.96 3.06 4.76
Z 73 3.76 8.91 2.90 3.65 7.52 2.74 5.27
*Diet 2000 kkal (BPOM, 2004) Keterangan : X = 50% pati sagu: 5% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Y = 45% pati sagu: 10% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak Z = 40% pati sagu: 15% tepung kedelai : 25% skim: 15% gula: 5% minyak
Berdasarkan informasi nilai gizi pada Tabel 17 dan Tabel 18.
diketahui bahwa kandungan kalori formula sagu instan hasil analisis
proksimat per takaran saji (37 g) berkisar antara 144 – 146 kkal, sedangkan
hasil perhitungan daya cerna nilainya berkisar antara 72 – 93 kkal. Apabila
produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari maka dapat memenuhi kalori
sebesar 432 – 438 kkal per hari (untuk formula hasil analisis proksimat) dan
216 – 279 kkal per hari (untuk formula hasil penentuan daya cerna). Dari data
tersebut terlihat bahwa jumlah kalori formula sagu instan hasil analisis
proksimat memenuhi persyaratan sebagai pangan berkalori menurut BPOM
(2004) yaitu minimal dapat memberikan kalori sebesar 300 kkal per hari,
sedangkan jumlah kalori hasil perhitungan daya cerna nilainya lebih kecil dari
300 kkal per hari. AKG kalori formula sagu instan per takaran saji berkisar
antara 7.20 – 7.30 % (untuk formula hasil analisis proksimat), dan 3.60 – 4.65
% (untuk formula hasil penentuan daya cerna).
Kandungan protein formula sagu instan per takaran saji berkisar antara
2.99 – 4.58 g (untuk formula hasil analisis proksimat), dan 2.42 – 3.76 g
(untuk formula hasil penentuan daya cerna). AKG protein per takaran saji
berkisar antara 5.98 – 8.33 % (untuk formula hasil analisis proksimat), dan
4.84 – 7.52 % (untuk formula hasil perhitungan daya cerna). Apabila produk
dikonsumsi tiga kali dalam sehari maka dapat memenuhi 17.94 – 24.99 %
AKG per hari (untuk formula hasil analisis proksimat), dan 14.52 – 22.56 %
AKG per hari (untuk formula hasil perhitungan daya cerna). Nilai ini kurang
lebih sudah memenuhi persyaratan klaim tinggi pada label pangan yaitu
minimal memenuhi 20 % AKG per hari (BPOM, 2004).
Kandungan karbohidrat formula sagu instan per takaran saji berkisar
antara 28.37 – 30.85 g (untuk formula hasil analisis proksimat), dan 8.91 –
17.41 g (untuk formula hasil perhitungan daya cerna). AKG karbohidrat
formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 8.73 – 9.49 % (untuk
formula hasil analisis proksimat), dan 2.74 - 5.36 % (untuk formula hasil
perhitungan daya cerna). Apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari
maka dapat memenuhi 26.19 – 28.47 % AKG per hari (untuk formula hasil
analisis proksimat), dan 8.22 – 16.08 % AKG per hari (untuk formula hasil
perhitungan daya cerna). AKG karbohidrat formula sagu instan hasil analisis
proksimat sudah memenuhi persyaratan klaim tinggi pada label pangan yaitu
minimal memenuhi 20 % AKG per hari (BPOM, 2004), sedangkan AKG
karbohidrat formula sagu instan hasil perhitungan daya cerna nilainya lebih
kecil dari 20 % jadi belum memenuhi persyaratan sebagai makanan tinggi
kalori.
Kandungan lemak formula sagu instan per takaran saji nilainya sama
untuk formula hasil analisis proksimat maupun hasil perhitungan daya cerna
yaitu berkisar antara 2.07 – 2.90 g. Hal ini terjadi karena daya cerna lemak
dianggap 100 % sehingga tidak mempengaruhi perhitungan nilai gizi per
takaran sajinya. AKG lemak formula sagu instan per takaran saji berkisar
antara 3.76 – 5.27 %. Apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari maka
dapat memenuhi 11.28 – 15.81 % AKG lemak per hari. Nilai ini lebih kecil
dari 20 % AKG sebagai syarat klaim tinggi pada label pangan (BPOM, 2004).
Hal ini terjadi karena lemak tidak menjadi perhatian utama dalam pemenuhan
AKG formula sagu instan.
Selain dikonsumsi secara langsung dalam bentuk padatan kering, sagu
instan juga dapat dikonsumsi dalam bentuk bubur instan, yaitu dengan cara
menambahkan sejumlah air kemudian diaduk hingga menjadi bubur. Dari
hasil pengukuran rasio rehidrasi diperoleh perbandingan bahan dan air adalah
1 : 4, yang berarti dalam satu kali penyajian (37 g) diperlukan air sebanyak
148 ml agar diperoleh bubur dengan tekstur homogen.
Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa kandungan gizi yang
terdapat pada formula sagu instan tidak sepenuhnya dapat memenuhi Angka
Kecukupan Gizi yang dianjurkan, terutama apabila perhitungan didasarkan
pada nilai daya cernanya. Dengan demikian, penggunaan formula sagu instan
sebagai bahan pangan perlu dikombinasikan dengan bahan pangan lain untuk
memenuhi kecukupan gizinya. Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa
nilai gizi formula sagu instan sangat dipengaruhi oleh nilai daya cerna protein
dan patinya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi tahap
persiapan, formulasi dan pembuatan produk, uji organoleptik, analisis kimia,
analisis daya cerna protein dan pati, serta penentuan takaran saji dan Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Pada tahap persiapan dilakukan pencucian,
pengayakan, dan penyangraian pati sagu, serta pembuatan tepung kedelai.
Setelah semua bahan baku tersedia, kemudian dilakukan analisis kimia untuk
mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada bahan. Analisis kandungan
gizi bahan baku penting untuk perhitungan jumlah kalori formula sagu instan.
Hasil analisis proksimat bahan baku menunjukkan bahwa pati sagu
memiliki kadar air 3.82%, kadar abu 0.27% (bk), protein 0.88% (bk), lemak
0.19% (bk), karbohidrat 98.66% (bk), dan serat makanan 3.83% (bk). Dari
hasil perhitungan diperoleh nilai kalori pati sagu sebesar 385 kkal per 100 g
bahan (% bk). Tepung kedelai memiliki kadar air 7.14%, kadar abu 3.12%
(bk), protein 37.26% (bk), lemak 33.36% (bk), karbohidrat 26.25% (bk), dan
serat makanan 6.98% (bk). Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kalori
tepung kedelai sebesar 526 kkal per 100 g bahan (% bk). Skim memiliki kadar
air 3.66%, kadar abu 7.83% (bk), protein 24.27% (bk), lemak 0.08% (bk), dan
karbohidrat 67.82% (bk). Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kalori skim
sebesar 370 kkal per 100 g bahan (% bk). Sementara itu gula memiliki kadar
air 0.30%, kadar abu 4.77% (bk), protein 0.15% (bk), lemak 0.09% (bk), dan
karbohidrat 94.98% (bk). Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kalori gula
sebesar 381 kkal per 100 g bahan (%bk).
Formulasi sagu instan dibuat dengan menggunakan pati sagu sebagai
bahan baku utama, dengan bahan-bahan penyusun lain yaitu : tepung kedelai,
skim, gula, dan minyak nabati. Penentuan formula didasarkan pada jumlah
kandungan kalori yang harus memenuhi minimal 300 kkal per 100 gram
bahan sebagai syarat makanan tinggi kalori. Formula dibuat dengan
menggunakan perbandingan komposisi pati sagu dan tepung kedelai.. Pada
penelitian ini formulasi dilakukan dalam dua tahap. Formulasi tahap pertama
merupakan formulasi awal yang bertujuan membuat formula makanan padat
kalori yang diharapkan bisa diterima oleh konsumen. Pada tahap ini dibuat
lima formula sagu instan kemudian dilakukan uji organoleptik. Formulasi
tahap kedua merupakan tindak lanjut dari hasil uji organoleptik pertama. Pada
formulasi tahap kedua dilakukan sedikit perubahan komposisi bahan penyusun
yang dilakukan terhadap ketiga formula terpilih hasi uji organoleptik pertama.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk.
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat preferensi
konsumen terhadap produk (uji hedonik) serta untuk menentukan formula
terbaik (uji rangking hedonik). Parameter mutu sensori yang diuji pada uji
organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Hasil uji
organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan tingkat kesukaan
netral/biasa hingga suka, sedangkan hasil uji organoleptik terhadap parameter
aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan menunjukkan tingkat kesukaan
netral/biasa hingga agak suka. Berdasarkan data tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa produk cukup diterima oleh konsumen. Hasil uji
organoleptik dengan rangking hedonik menunjukkan bahwa formula Y
dengan komposisi 45% pati sagu, 10% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula,
dan 5% minyak nabati merupakan formula terbaik.
Analisis proksimat dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua yang
merupakan formula terpilih hasil uji organoleptik. Hasil analisis menunjukkan
bahwa formula sagu instan mempunyai kadar air berkisar antara 2.76 – 3.36%
(bb), kadar abu 2.96 – 3.11% (bk), protein 8.07 – 12.38% (bk), lemak 5.60 –
7.84% (bk), karbohidrat 76.68 – 83.37% (bk), dan serat makanan 5.54 –
9.48% (bk). Dari data tersebut diperoleh nilai kalori produk sebesar 389 – 395
kkal per 100 g bahan (% bk).
Analisis daya serap air dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kemampuan produk dalam menyerap air, sehingga dapat berguna dalam
proses rekonstitusi produk. Hasil pengukuran daya serap air formula sagu
instan menunjukkan nilai 3.72 – 4.15 g/g. Formula X memiliki nilai daya
serap air tertinggi, yaitu 4.15 g/g, formula Y memiliki nilai daya serap air 3.97
g/g, sedangkan formula Z memiliki nilai daya serap air terendah, yaitu 3.72
g/g. Dari data terlihat adanya penurunan daya serap air dengan peningkatan
penambahan tepung kedelai dalam produk. Hal ini diduga disebabkan karena
peningkatan kandungan protein dan lemak dapat menyebabkan penghambatab
laju penyerapan air pada produk. Selain daya serap air, dilakukan juga
penentuan rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi. Hasil pengukuran menunjukkan
bahwa rasio rehidrasi optimum antara bahan dan air adalah 1 : 4 dengan waktu
optimum 2.9 – 3.6 menit.
Penentuan daya cerna protein dilakukan dengan metode in vitro
menggunakan teknik multi enzim. Hasil analisis menunjukkan bahwa formula
Z memiliki nilai daya cerna protein paling tinggi yaitu 82.16%, kemudian
formula Y dengan nilai 81.75%, dan terakhir formula X dengan nilai 81.07%.
Relatif tidak terdapat perbedaan yang signifikan nilai daya cerna protein dari
ketiga formula tersebut. Hal ini disebabkan karena komposisi dan kandungan
protein produk juga tidak jauh berbeda. Formula Z mempunyai nilai daya
cerna protein paling tinggi karena kandungan protein produknya juga paling
tinggi..
Penentuan daya cerna pati dilakukan secara enzimatis menggunakan
enzim α-amilase. Hasil analisis menunjukkan bahwa formula X memiliki nilai
daya cerna pati paling tinggi yaitu 56.44%, kemudian formula Y dengan nilai
33.57%, dan terakhir formula Z dengan nilai 31.42%. Terdapat perbedaan
yang signifikan antara nilai daya cerna protein ketiga formula tersebut. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah pati dan serat yang
terkandung dalam produk. Dari data terlihat adanya penurunan daya cerna pati
sesuai dengan penurunan komposisi pati sagu dan peningkatan kadar serat
makanan.
Penentuan takaran saji dan Angka Kecukupan Gizi dilakukan terhadap
tiga formula tahap kedua. Penentuan takaran saji didasarkan pada kecukupan
gizi rata-rata yang dianjurkan per hari. Pada penelitian ini jumlah takaran saji
yang dianjurkan adalah 37 g. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dipenuhi
meliputi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat. Sebelum dilakukan
perhitungan AKG terlebih dahulu dilakukan perhitungan kandungan gizi per
takaran saji berdasarkan kandungan gizi hasil analisis proksimat dan
kandungan gizi hasil perhitungan daya cerna. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa AKG kalori formula sagu instan berdasarkan analisis proksimat per
takaran saji berkisar antara 7.20 – 7.30 %, AKG protein berkisar antara 5.98 –
8.33 %, AKG karbohidrat berkisar antara 8.73 – 9.49 %, dan AKG lemak
berkisar antara 3.76 – 5.27 %. AKG protein dan karbohidrat dapat memenuhi
minimal 20% dari AKG yang dianjurkan sebagai syarat klaim tinggi apabila
produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari.
Hasil perhitungan AKG berdasarkan daya cerna menunjukkan bahwa
AKG kalori formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 3.60 – 4.75 %,
AKG protein berkisar antara 4.84 – 7.52 %, AKG karbohidrat berkisar antara
2.74 – 5.36 %, dan AKG lemak berkisar antara 3.76 – 5.27 %. nilai-nilai
tersebut belum memenuhi syarat klaim tinggi apabila produk dikonsumsi tiga
kali dalam sehari karena nilainya kurang dari 20% dari AKG yang dianjurkan
per hari.
B. SARAN
Berbagai komentar dan masukan dari panelis saat uji organoleptik
menyatakan bahwa produk cenderung lengket dan menempel di gigi sewaktu
dikunyah. Komposisi pati sagu yang cukup besar diduga menyebabkan tekstur
produk menjadi lengket dan lekat. Hal tersebut juga menyebabkan hambatan
yang cukup serius pada saat pengeringan menggunakan drum dryer, dimana
produk sangat lengket dan menempel di dinding drum sehingga proses
pengeringan tidak optimal. Perlu dikaji suatu cara mengurangi tingkat
kelengketan produk misalnya dengan menambahkan bahan lain atau dengan
suatu proses modifikasi pati sagu.
Formulasi sagu instan yang dibuat pada penelitian ini merupakan
suatu formula sederhana bila dilihat dari bahan-bahan yang ditambahkan serta
parameter proses yang digunakan. Sangat memungkinkan apabila dilakukan
penelitian yang sama dengan menggunakan bahan-bahan berbeda yang bisa
meningkatkan karaktersitik fisik dan nilai sensori produk disamping nilai
gizinya. Selain itu, sangat terbuka luas untuk dilakukan percobaan pembuatan
produk sagu instan dengan menggunakan alat pengeringan lain seperti
ekstruder.
Hasil perhitungan kalori menunjukkan bahwa kalori yang dihasilkan
sangat dipengaruhi oleh daya cerna zat gizinya terutama protein dan pati,
sehingga nilai kalori yang didapatkan lebih kecil dari nilai kalori pada analisis
proksimat. Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan apabila akan dilakukan
penentuan standar dalam pelabelan dan klaim pangan, dimana dalam
penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan,
sebaiknya nilai daya cerna zat gizi diperhitungkan.
Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis mikrobiologi, sehingga
tidak dapat diketahui mikroba-mikroba apa saja dapat tumbuh pada produk
dan kerusakan-kerusakannya. Apabila akan dilakukan penelitian sejenis
disarankan untuk melakukan analisis total mikroba (Total Plate Count),
sehingga dapat diketahui mikroba-mikroba apa saja yang dapat tumbuh pada
produk. Dengan demikian keamanan produk juga akan lebih terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, T. E. K. C. M. Raja, E. P. Monoharan dan A. G. Mathew. 1983. Effect
of heat moisture on textural characteristics of cassava flour. Cereal Chemistry 60 (1) : 7 – 8
Albrectth, W. J., G. C. Mustakas, J. E. Mc Ghee dan E. L. Griffin jr. 1976. A
Sampel method for making full-fat soy flour. Cereal Sci. Today 12 (3) : 81.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical
Chemistry, Inc., Washington D. C. Apriyantono, A. Fardiaz, D. Puspitasari, N.L. dan Budianto, S. 1989. Petunjuk
Laboratorium Analisa Pangan. Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
APV Crepaco. 1992. Dryer : Technology and Engineering. In Hui, Y.H. (Ed.).
Encyclopedia of Food Science and Technology. John Wiley and Sons Inc., Toronto.
Badan POM. 2004. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Direktorat
Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta.
Badenhuizen, N. P. 1959. Chemistry and Biology of The Starch Granule. Springer
Verlag, Vienne. Bernard. 2005. Deskripsi Flavor, Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glisemik Beras
Panjang dari Lahan Gambut Pasang Surut Aluh-Aluh, Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Brennan, J.G. 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publ. Ltd.,
London. Cecil, J. E., G. Lau, S. H. Heng dan C. K. Ku. 1982. The Sago Starch Industry : A
Technical Profile Based on A Prelimentary Study Made in Sarawak. Tropical Produk Institut, Overseas Development Administration, London.
Davidek, J., J. Velisek, dan J. Pokorny. 1990. Chemical Changes during Food
Processing. Avicenum, Czechoslovak Medical Press, Praha. Department of Nutrition, Ministry of Health, and Institute of Health. 1999.
Nutrition Labelling: A Handbook of Nutrient Claims (Singapore). Department of Nutrition, Ministry of Health, and Institute of Health, Singapore.
Desroiser, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1990. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bharata Karya aksara, Jakarta. Djoefrie, H. M. H. B. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil
Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial Dalam Rangka Ketahanan Nasional. Orasi Ilmiah. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 11 September 1999.
Fatmawati, S. 2004. Formulasi Bubur Bayi Berprotein Tinggi dan Kaya
Antioksidan dari Tepung Kecambah Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) untuk Makanan Pendamping ASI. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Fellows, P.J. and Ellis. 1992. Food Processing Technology : Principles and
Practice. Ellis Horwood, England. Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Food
and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Gaman, D. M. dan K. B. Sherrington. 1990. The Science of Food on Introduction
to Food Science, Nutrition and Microbiology. 3rd ed. Pergamon Press, Oxford.
Greenwood, C. T. 1979. Observation on the structure granule. Di dalam J. M. V.
Blanshard dan J. R. Mitchell (ed.). polysaccharides in Food Butterworths, London.
Hariyadi, P. 1997. Produk Ekstrudat, flakes dan tepung kedelai. Makalah
Pelatihan Sehari Menuju Industri Makanan Berbasis Kedelai. Surabaya 31 Maret.
Hartomo, A. J. dan M. C. Widiatmoko. 1992. Emulsi dan Pangan Instant
Berlesitin. Andi Offset, Yogyakarta. Harun, H. 1988. Mempelajari Pembuatan Produk Ekstrusi Dari Bahan dasar
Tepung Sagu (Metroxylon sp.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius,
Yogyakarta. Henderson and Perry. 1976. Agricultural Processing Engineering 3rd Edition. AVI
Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Jakarta.
Knight, J. W. 1989. The Starch Industry. Pergamon Press, Oxford. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kulp, K. 1975. Carbohydrate. Di dalam G. Reed (ed). Enzymes in Food
Processing. Academic Press, New York. Lianawati. 1997. Pemanfaatan Ubi Jalar Merah (Ipomoea batatas) Sebagai Bahan
Dasar Makanan Pelengkap Bayi Kaya Beta Karoten. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
McClatchey, W., H. I.Manner and C. R. Elevitch. 2004. Metroxylon amicarum,
M. M .M paulcoxii, M.sagu, M.salomonense, .M .M vitiense, and M .M .M warburgii (sago palm). Version 1.0, November 2004.
Moore, J.G. 1995. Drum Dryer. Di dalam Mujumdar, A. S. (Ed.). Handbook of
Industrial Drying. Marcel Dekker, Inc., New York. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU
Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Muharam, S. 1992. Studi Karakteristik Fisiko kimia dan Fungsional tepung
Singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyangraian dan Penambahan GMS serta Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Mustakas, G. C., W. J. Albrecth, G. M. Bookwalter dan E. L. Griffin jr. 1967.
Full-fat soy flour by a sample process for villages. Us. Agric. Rs. Serv. Bull ARS 73 – 74 August.
Nasution, A. 1980. Metode Penilaian Citarasa. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Nelson, A. I., L. S. Wei dan M. p. Steinberg. 1971. Food Product from Whole
Soybeans. Soybean Digest, January. Peckham, G. C. 1969. Foundation of Food Preparation. 2nd ed. The Mac Millan
Co. Calier. Mac Millan Ltd., London. Perdana, D. 2003. Dampak Penerapan ISO 9001 Terhadap Peningkatan Mutu
Berkesinambungan Pada Proses Produksi Bubur Bayi Instan Di PT Gizindo Prima Nusantara. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Pramono, L. 1993. Mempelajari Karakteristik Pengeringan The Hitam CTC
(Curling Tearing Crushing) Tipe FBD (Fluidized Bed Dryer). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahayuning, D. P. 2004. Formulasi Flakes Triple Mixed Ubi Jalar-Kecambah Kedelai-Wheat Germ Sebagai Produk Sarapan Fungsional untuk Anak-anak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Rahmi, A. 2003. Wheat Germ-Bran Granola Bars Kaya Nutrisi untuk Kebutuhan
Gizi Ibu Hamil. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Samahita, G. 1980. Mempelajari Pembuatan Tepung Kedelai Tidak Langu dan
Beberapa Penggunaannya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Santosa, C. 1989. Formulasi Makanan Sapihan (Weaning Food) Dengan Bahan
Baku Tepung Sagu (Metroxylon sp.) dan Aspek Fortifikasi Beta-Karoten Didalamnya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Sathe, S. K. dan D. K. Salunkhe. 1981. Isolation Partion, Characterization and
Modification of The Great Northem Bean (Phaseulus vulgaris) Starch. Jurnal Food Science 46 (2) : 617 – 621.
Shalehin, W. 1999. Rekayasa Paket Agroindustri Kecil Pedesaaan Produk Pangan
Darurat dari Ubi Jalar. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor Smith, A. K. dan S. J. Circle. 1978. Processing Soy Protein Concentrates, and
Protein Isolates. Di dalam “Soy Bean” : Chemistry and Technology. Edited by A. K. Smith dan S. J. Circle. The AVI Publishing Co., Wesport, Conecticut.
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Sukmaningrum, A. Formulasi Produk Makanan Berkalori Tinggi (Pangan
Darurat) dari Buah Sukun (Artocarpus altilis). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sulaeman, A., F. Anwar, Rimbawan, dan S. A. Marliyati. 1994. Metode
Penetapan Zat Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. Fateta-IPB, Bogor. Susanty, R. 2002. Kajian Dekstrinasi Pati Garut dan Gelatinisasi Tepung Terigu
untuk Pengembangan Makanan Pendamping Air Susu Ibu dan Makanan Sapihan. Tesis Program Pascasarjana IPN, IPB, Bogor.
Sutantyo, E. 1976. Mempelajari Cara Perendaman dan Pemanasan Kedelai (Glycine Max L.) dalam Pembuatan Tepung Kedelai Menurut Cara Illinois. Skripsi. THP – Fatemeta, IPB, Bogor.
Swain, T. 1965. The Tannins. Didalam Bonner, J. dan J. E. Varner (eds). Plants Biochemistry. Academic Press, New York dan London. 1054 hal
Syarief, R., S. Santausa, dan S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Taib, G., E. Said, dan S. Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada
Pengolahan Hasil Pertanian. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Tangeniaya, B. 1976. Mempelajari Pengaruh Cara Perendaman dan Pemanasan
Kedelai (Glycine max L.) dalam Pembuatan Tepung Kedelai Menurut Cara Illinois. Tesis Sarjana di Dept. THP – Fatemeta, IPB. Bogor.
Tharanathan, R. N. dan S. Mahadevama. 2003. Grain legumes a boon to human
nutition. Trends in Food Science and Technology. Vol. 14 (12) : 507-518. Tasman, A. 1981. Mempelajari Pembuatan Biskuit Dari Campuran Tepung Sagu
dan Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Vieira, E. R. 1997. Elementary Food Science 4th Edition. Department of Food
Science, Nutrition and Culinary Arts Essay Agriculture on Technical Institut Hathirne, Massachussets.
Walas, S.M. 1988. Chemical Process Equipment : Selection and Design.
Butterworth Publ., Boston. Wijaya, H. 1997. Pelabelan Pangan. Makalah pada Pelatihan Pengendalian Mutu
dan Keamanan Pangan bagi Staf Pengajar. Bogor. 21-22 Agustus 1997. PAU Pangan dan Gizi IPB dan Ditjen Dikti Depdikbud.
Wilkens, W. F., L. R., Mattick dan D. B. Hand. 1967. Effect of processing
methode on oxidative off flavors of soybean milk. Food Technology 21: 1630.
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Wirakartakusumah, M. .A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinitation and Water
Absorption in Rice. PhD Disertation. Univ. of Wisconsin, Madison. Wolf, W. J. dan J. C. Cowan. 1975. Soybean As A Food Source. CRC Press.
Cleveland, Ohio. Wurzburg, O. B. 1989. Modified Starches : Properties and Uses. CRC Press. Inc.,
Boca Raton, Florida. www.nap.edu www.olive-drab.com/od_ratios.php
Lampiran 1. Data hasil analisis proksimat bahan baku sagu instan
Lampiran 1. a. Data kadar air bahan baku formula sagu instan
Bahan baku Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
Sagu 3,74 3,90 3,82 0,0116 0,30
Tep kedelai 7,13 7,15 7,14 0,0003 0,00
Skim 3,66 3,65 3,66 4,05x10-5 0,00
Tep gula 0,42 0,18 0,30 0,0283 9,48
Lampiran 1. b. Data kadar abu bahan baku formula sagu instan
Bahan baku Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
Sagu 0,29 0,25 0,26 0,0010 0,39
Tep kedelai 2,90 2,90 2,90 5,12x10-6 0,00
Skim 7,59 7,50 7,54 0,0040 0,05
Tep gula 4,78 4,74 4,76 0,0008 0,02
Lampiran 1 .c. Data kadar protein bahan baku formula sagu instan
Bahan baku Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
Sagu 0,62 1,08 0,85 0,1041 12,21
Tep kedelai 38,94 36,79 37,86 2,3179 6,12
Skim 23,67 22,04 22,85 1,3333 5,83
Tep gula 0,15 0,15 0,15 2,81x10-5 0,09
Lampiran 1. d. Data kadar lemak bahan baku formula sagu instan
Bahan baku Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
Sagu 0,20 0,17 0,18 0,0006 0,31
Tep kedelai 29,37 32,59 30,98 5,1913 16,76
Skim 0,06 0,10 0,08 0,0007 0,88
Tep gula 0,09 0,10 0,09 1,25x10-5 0,01
Lampiran 1. e. Data kadar serat makanan bahan baku formula sagu instan
Bahan baku Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
Sagu 3,61 3,77 3,69 0,0126 0,34
Tep kedelai 6,46 6,45 6,46 4,32x10-5 0,00
Lampiran 2. Data hasil analisis proksimat formula sagu instan
Lampiran 2. a. Data kadar air formula sagu instan
Formula Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X 3,93 2,81
3,30 0,3855 11,70 3,73 2,71
Y 3,92 2,90
3,36 0,3770 11,21 3,86 2,76
Z 3,11 2,47
2,76 0,1721 6,23 3,12 2,34
Lampiran 2. b. Data kadar abu formula sagu instan
Formula Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X 2,82 3,00 2,86
0,0217
0,76
2,67 2,94
Y 2,82 3,07 2,96
0,0193
0,65
2,86 3,09
Z 2,84 3,38
3,02 0,1428 4,72 2,58 3,30
Lampiran 2. c. Data kadar protein formula sagu instan
Formula Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X 7,58 8,22 7,80
0,3847
4,93
7,03 8,38
Y 8,89 9,47 9,53
0,4587
4,81
8,96 10,24
Z 11,21 12,15
12,04 0,8165 6,78 11,53 13,26
Lampiran 2. d. Data kadar lemak formula sagu instan
Formula Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X 5,04 5,72 5,42
0,0973
1,79
5,63 5,30
Y 6,60 6,06 6,85
0,5923
8,64
7,89 6,86
Z 10,97 7,89
7,62 0,0685 0,90 7,61 7,37
Lampiran 2. e. Data kadar serat makanan formula sagu instan
Formula Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X 5,36 5,36 5,36 6,48x10-6 0,00
Y 6,67 6,77 6,72 0,0045 0,07
Z 9,38 9,07 9,22 0,0487 0,53
Lampiran 3. Formulir uji hedonik dan rangking hedonik
UJI HEDONIK
Nama Panelis : Tanggal Pengujian :
Sampel : Formula Sagu Instan
Instruksi : 1. Ciciplah sampel secara berurutan dari kiri ke kanan.
2. Netralkan indera pencicip anda dengan air sebelum mencicipi
sampel berikutnya.
3. Berilah tanda (√) sesuai dengan penilaian anda.
4. Jangan membandingkan antar sampel.
Penilaian Warna Aroma
777 354 939 777 354 939
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral/biasa
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Penilaian Tekstur Rasa
777 354 939 777 354 939
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral/biasa
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Lampiran 3. Form uji hedonik dan rangking hedonik (lanjutan)
Penilaian Kerenyahan
777 354 939
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral/biasa
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
UJI RANGKING HEDONIK
Instruksi : 1. Ciciplah sampel kemudian urutkan tingkat kesukaan anda terhadap
sampel dari yang paling disukai (rangking 1) sampai yang tidak
disukai (rangking 3).
2. Netralkan indera pencicip anda dengan air sebelum mencicipi
sampel berikutnya
Sampel 777 354 939
Rangking
Komentar/saran :
Terima kasih
Lampiran 4. Rekapitulasi data uji hedonik pertama
Panelis Warna Aroma 234 573 436 149 358 234 573 436 149 358
1 5 5 5 6 4 5 5 5 5 6 2 5 5 3 4 3 5 4 6 4 6 3 5 5 5 5 3 4 5 5 5 6 4 4 4 4 3 4 5 5 4 4 5 5 4 4 5 5 3 5 5 5 5 5 6 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 7 6 5 5 4 3 6 4 4 4 5 8 6 5 4 6 3 5 4 5 4 3 9 3 3 3 3 3 3 3 3 5 5 10 5 5 4 4 3 4 4 5 5 6 11 6 5 5 5 4 5 4 4 3 5 12 4 5 3 5 4 4 4 4 4 4 13 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 14 5 5 5 5 5 4 4 4 5 5 15 7 6 6 6 5 4 5 5 6 6 16 4 4 4 3 3 4 3 4 3 3 17 7 6 4 3 1 7 5 4 4 4 18 5 5 5 5 5 5 4 5 4 4 19 3 5 5 5 6 4 4 4 4 4 20 5 4 5 4 6 4 5 3 4 3 21 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 22 5 4 4 2 3 4 4 5 2 3 23 5 6 6 3 5 4 5 3 5 6 24 3 3 3 3 4 5 3 3 3 4 25 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 26 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 27 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 28 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 29 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 30 5 5 5 5 3 5 4 4 4 4
Rata-rata 4,80 4,73 4,53 4,40 4,00 4,50 4,23 4,30 4,23 4,60
Keterangan :
Skala 1= Sangat tidak suka Kode : 234 = Formula A 2= Tidak suka 573 = Formula B 3= Agak tidak suka 436 = Formula C 4= Netral 149 = Formula D 5= Agak suka 358 = Formula E 6= Suka 7= Sangat suka
Lampiran 4. Rekapitulasi data uji hedonik pertama (lanjutan)
Panelis Tekstur Rasa 234 573 436 149 358 234 573 436 149 358
1 6 5 5 5 4 4 7 4 5 5 2 3 3 4 4 5 4 4 3 4 4 3 5 5 5 5 3 3 5 6 5 5 4 5 4 3 3 4 4 3 5 5 5 5 3 3 5 6 6 4 5 5 7 5 6 5 5 5 3 2 5 4 3 4 4 7 6 6 5 3 3 4 4 3 5 4 8 6 5 5 4 5 4 4 5 6 3 9 3 5 6 7 7 3 5 5 5 5 10 5 4 6 3 2 5 4 5 3 4 11 5 4 4 3 3 3 3 4 4 3 12 5 3 4 5 5 4 5 4 4 5 13 4 3 4 4 3 4 5 4 5 4 14 4 5 4 4 3 4 4 4 4 5 15 5 5 6 4 3 3 4 5 4 4 16 5 5 5 5 5 4 4 3 5 5 17 5 3 3 2 5 4 5 4 4 4 18 4 4 5 5 5 5 4 4 5 5 19 6 5 3 3 2 3 4 5 5 5 20 4 3 2 4 5 5 4 5 5 6 21 5 5 5 5 5 3 4 5 5 5 22 5 4 3 4 2 3 5 4 4 3 23 5 5 3 5 5 5 3 3 3 5 24 5 5 4 3 3 3 5 3 5 2 25 5 4 4 4 4 3 2 3 3 3 26 5 5 5 5 4 4 4 4 5 5 27 3 5 3 5 4 3 4 4 3 3 28 5 4 5 5 4 4 5 4 5 4 29 4 5 3 4 5 4 4 3 4 5 30 4 4 4 4 3 4 5 4 4 4
Rata-rata 4,67 4,37 4,27 4,20 3,97 3,83 4,27 4,10 4,50 4,30
Keterangan :
Skala 1= Sangat tidak suka Kode : 234 = Formula A 2= Tidak suka 573 = Formula B 3= Agak tidak suka 436 = Formula C 4= Netral 149 = Formula D 5= Agak suka 358 = Formula E 6= Suka 7= Sangat suka
Lampiran 4. Rekapitulasi data uji hedonik pertama (lanjutan)
Panelis Kerenyahan 234 573 436 149 358
1 5 5 3 4 5 2 2 4 5 4 5 3 3 5 5 4 5 4 3 5 3 3 3 5 5 5 5 5 5 6 5 4 3 5 4 7 3 3 4 5 4 8 5 5 6 4 6 9 3 4 5 6 7 10 6 5 4 4 3 11 4 4 3 5 3 12 4 3 3 2 4 13 5 3 3 3 3 14 5 5 4 5 4 15 5 5 6 4 4 16 6 6 5 3 3 17 4 6 4 6 5 18 4 5 5 5 5 19 3 4 4 3 3 20 4 5 4 5 3 21 5 4 3 3 3 22 5 4 3 5 4 23 5 5 5 3 5 24 5 5 3 5 2 25 4 5 4 4 4 26 4 4 4 3 3 27 3 5 3 5 4 28 5 5 4 5 5 29 3 5 3 5 5 30 5 4 4 3 3
Rata-rata 4,27 4,57 4,00 4,20 4,07
Keterangan :
Skala 1= Sangat tidak suka Kode : 234 = Formula A 2= Tidak suka 573 = Formula B 3= Agak tidak suka 436 = Formula C 4= Netral 149 = Formula D 5= Agak suka 358 = Formula E 6= Suka 7= Sangat suka
Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik kedua
Panelis Warna Aroma Tekstur 777 354 939 777 354 939 777 354 939
1 3 5 4 5 4 6 6 5 3 2 6 6 6 4 4 4 2 5 6 3 7 6 6 6 6 4 6 7 6 4 6 5 5 6 6 5 6 6 5 5 2 6 5 6 4 5 2 5 1 6 6 6 6 4 6 5 5 6 3 7 6 6 4 5 6 6 4 5 3 8 4 4 2 5 4 5 4 4 3 9 5 6 6 5 6 6 5 6 7 10 4 4 4 4 5 5 5 5 5 11 6 5 6 6 6 6 4 5 5 12 5 4 5 4 4 4 4 3 5 13 5 6 4 5 4 4 4 5 4 14 6 6 6 6 6 6 2 2 2 15 5 4 5 4 4 5 4 4 2 16 6 6 6 4 4 4 6 6 6 17 7 6 5 3 7 5 3 6 6 18 5 5 6 6 6 6 3 4 6 19 6 6 6 5 6 6 7 5 2 20 4 3 5 4 3 5 4 5 3 21 6 6 6 6 6 6 5 6 5 22 6 6 6 4 4 4 6 6 6 23 5 4 3 4 4 4 6 6 4 24 6 6 5 5 5 4 5 6 5 25 2 5 5 4 4 4 5 6 5 26 7 3 6 5 5 5 6 6 7 27 6 6 6 6 4 6 4 6 5 28 6 7 6 4 4 4 5 5 6 29 3 6 4 4 3 2 2 3 6 30 5 6 6 4 4 5 5 5 6
Rata-rata 5,20 5,33 5,17 4,77 4,80 4,87 4,50 5,13 4,6
Keterangan :
Skala 1= Sangat tidak suka Kode : 777 = Formula X 2= Tidak suka 354 = Formula Y 3= Agak tidak suka 939 = Formula Z 4= Netral 5= Agak suka 6= Suka 7= Sangat suka
Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik kedua (lanjutan)
Panelis Rasa Kerenyahan 777 354 939 777 354 939
1 6 7 5 6 4 3 2 4 6 5 5 6 7 3 5 6 5 3 6 4 4 6 7 5 5 6 5 5 2 5 4 3 5 1 6 4 6 3 5 6 3 7 5 6 6 7 6 5 8 4 3 2 2 2 1 9 4 5 7 4 6 7 10 6 6 5 6 5 2 11 5 5 6 6 5 4 12 4 3 4 6 4 5 13 5 6 5 6 5 4 14 5 5 5 2 2 2 15 2 3 2 3 2 1 16 2 3 3 2 2 1 17 3 6 7 4 6 6 18 6 5 6 5 6 7 19 5 6 4 7 4 2 20 4 5 6 4 5 2 21 6 6 6 5 5 5 22 4 5 5 5 6 6 23 2 3 3 5 6 7 24 5 5 4 5 5 5 25 5 4 2 5 2 4 26 6 3 5 5 4 6 27 5 6 3 4 6 4 28 2 4 5 3 6 6 29 3 4 6 5 3 2 30 5 5 6 5 6 6
Rata-rata 4,33 4,97 4,67 4,60 4,73 4,10
Keterangan :
Skala 1= Sangat tidak suka Kode : 777 = Formula X 2= Tidak suka 354 = Formula Y 3= Agak tidak suka 939 = Formula Z 4= Netral 5= Agak suka 6= Suka 7= Sangat suka
Lampiran 6. Rekapitulasi data uji rangking hedonik
Panelis Sampel 777 354 939
1 2 1 3 2 3 1 2 3 3 1 2 4 3 1 2 5 2 1 3 6 2 1 3 7 2 1 3 8 1 2 3 9 3 2 1 10 1 2 3 11 1 2 3 12 2 3 1 13 1 3 2 14 3 2 1 15 2 1 3 16 2 1 3 17 3 2 1 18 2 3 1 19 1 2 3 20 2 1 3 21 2 3 1 22 3 1 2 23 3 2 1 24 2 1 3 25 1 2 3 26 2 3 1 27 2 1 3 28 3 2 1 29 3 2 1 30 3 2 1
Rata-rata 2,17 1,73 2,10
Keterangan :
Ranking 1= paling disukai, 3 = paling tidak disukai
Kode 777 = formula X, kode 354 = formula Y, kode 939 = formula Z
Lampiran 7. Analisis sidik ragam uji hedonik warna formula pertama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
3103.360a 34 91.275 149.886 .00062.693 29 2.162 3.550 .00012.160 4 3.040 4.992 .00170.640 116 .609
3174.000 150
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .978 (Adjusted R Squared = .971)a.
SKOR
Duncana,b
30 4.0030 4.4030 4.5330 4.7330 4.80
1.000 .071
SAMPEL54321Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .609.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 8. Analisis sidik ragam uji hedonik aroma formula pertama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
2914.560a 34 85.722 173.116 .00042.293 29 1.458 2.945 .000
3.360 4 .840 1.696 .15657.440 116 .495
2972.000 150
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .981 (Adjusted R Squared = .975)a.
Lampiran 8. Analisis sidik ragam uji hedonik aroma formula pertama (lanjutan)
SKOR
Duncana,b
30 4.2330 4.2330 4.3030 4.5030 4.60
.074
SAMPEL42315Sig.
N 1Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .495.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 9. Analisis sidik ragam uji hedonik tekstur formula pertama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
2824.933a 34 83.086 87.565 .00041.900 29 1.445 1.523 .061
9.533 4 2.383 2.512 .045110.067 116 .949
2935.000 150
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .962 (Adjusted R Squared = .952)a.
SKOR
Duncana,b
30 3.9730 4.20 4.2030 4.23 4.2330 4.37 4.3730 4.73
.151 .054
SAMPEL54321Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .949.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 10. Analisis sidik ragam uji hedonik rasa formula pertama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
2681.893a 34 78.879 132.404 .00037.393 29 1.289 2.164 .002
6.893 4 1.723 2.893 .02569.107 116 .596
2751.000 150
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .975 (Adjusted R Squared = .968)a.
SKOR
Duncana,b
30 3.8330 4.10 4.1030 4.2730 4.3030 4.47
.183 .096
SAMPEL13254Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .596.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 11. Analisis sidik ragam uji hedonik kerenyahan formula pertama
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
2721.240a 34 80.036 96.953 .00044.140 29 1.522 1.844 .012
5.840 4 1.460 1.769 .14095.760 116 .826
2817.000 150
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .956)a.
Lampiran 11. Analisis sidik ragam uji hedonik kerenyahan formula pertama
(lanjutan)
SKOR
Duncana,b
30 4.0030 4.07 4.0730 4.20 4.2030 4.27 4.2730 4.57
.307 .052
SAMPEL35412Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .826.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 12. Analisis sidik ragam uji hedonik warna formula kedua
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
2531,467a 32 79,108 92,630 ,00066,100 29 2,279 2,669 ,001
,467 2 ,233 ,273 ,76249,533 58 ,854
2581,000 90
SourceModelpanelissampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)a.
skor
Duncana,b
30 5,1730 5,2030 5,33
,516
sampel312Sig.
N 1Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = ,854.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.a.
Alpha = ,05.b.
Lampiran 13. Analisis sidik ragam uji hedonik aroma formula kedua
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
2139,156a 32 66,849 129,914 ,00055,789 29 1,924 3,739 ,000
,156 2 ,078 ,151 ,86029,844 58 ,515
2169,000 90
SourceModelpanelissampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,986 (Adjusted R Squared = ,979)a.
skor
Duncana,b
30 4,7730 4,8030 4,87
,615
sampel123Sig.
N 1Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = ,515.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.a.
Alpha = ,05.b.
Lampiran 14. analisis sidik ragam uji hedonik tekstur formula kedua
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
2126,622a 32 66,457 51,823 ,00093,789 29 3,234 2,522 ,001
6,956 2 3,478 2,712 ,07574,378 58 1,282
2201,000 90
SourceModelpanelissampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,966 (Adjusted R Squared = ,948)a.
Lampiran 14. analisis sidik ragam uji hedonik tekstur formula kedua (lanjutan)
skor
Duncana,b
30 4,5030 4,60 4,6030 5,13
,734 ,073
sampel132Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1,282.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.a.
Alpha = ,05.b.
Lampiran 15. Analisis sidik ragam uji hedonik rasa formula kedua
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
2052,356a 32 64,136 61,339 ,00095,656 29 3,298 3,155 ,000
6,022 2 3,011 2,880 ,06460,644 58 1,046
2113,000 90
SourceModelpanelissampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,971 (Adjusted R Squared = ,955)a.
skor
Duncana,b
30 4,3330 4,67 4,6730 4,97
,212 ,261
sampel132Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1,046.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.a.
Alpha = ,05.b.
Lampiran 16. Analisis sidik ragam uji hedonik kerenyahan formula kedua
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
1961,022a 32 61,282 40,401 ,000149,789 29 5,165 3,405 ,000
6,689 2 3,344 2,205 ,11987,978 58 1,517
2049,000 90
SourceModelpanelissampelErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,957 (Adjusted R Squared = ,933)a.
skor
Duncana,b
30 4,1030 4,6030 4,73
,064
sampel312Sig.
N 1Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1,517.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.a.
Alpha = ,05.b.
Lampiran 17. Analisis sidik ragam uji rangking hedonik formula kedua
Ranks
2,171,732,10
skor_1skor_2skor_3
Mean Rank
Test Statisticsa
303,267
2,195
NChi-SquaredfAsymp. Sig.
Friedman Testa.
Lampiran 18. Rekapitulasi data daya cerna protein formula sagu instan
Lampiran 18. a. Data daya cerna protein formula sagu instan
Sampel pH awal PH akhir DC protein (%) DC protein
rata-rata (%) ul 1 ul 2 ul 1 ul 2 ul 1 ul 2
X 8.08 8.08 7.20 7.22 81,57 81,21 81,07
8.05 8.03 7.17 7.24 81,57 79,94
Y 8.10 8.04 7.21 7.14 81,75 81,93 81,75
7.94 8.08 7.14 7.11 80,12 83,20
Z 7.98 8.07 7.15 7.19 80,67 81,57
82,16 8.01 8.02 7.04 7.05 83,20 83,20
Perhitungan :
DC protein : y = 210.464 - 18.103 (8 – x)
Keterangan : y = daya cerna protein (%)
x = selisih pH awal – pH akhir
Lampiran 18. b. Persen ragam daya cerna protein formula sagu instan
Formula Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X
81,57 81,21 81,07
0,5989
0,74
81,57 79,94
Y
81,75 81,93 81,75
1,5973
1,95
80,12 83,20
Z
80,67 81,57 82,16 1,5771 1,92
83,20 83,20
Lampiran 19. b. Kurva standar maltosa untuk pengukuran daya cerna pati
x (konsentrasi maltosa) y (absorbansi)
0 0,000
1 0,119
2 0,222
3 0,262
4 0,394
5 0,445
y = 0,0883x + 0,0196R2 = 0,9828
00,10,20,30,40,5
0 2 4 6Konsentrasi maltosa (mg/10 ml)
abso
rban
si (A
)
Lampiran 19. c. Persen ragam daya cerna pati formula sagu instan
Formula Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ragam Persen
ragam
X 58,24 54,63 56,44 6,5161 11,55
Y 32,55 34,59 33,57 2,0808 6,20
Z 30,72 32,12 31,42 0,9800 3,12
Lampiran 20. Rekapitulasi data daya serap air formula sagu instant
Sampel Berat sampel
(g)
Berat
supernatan
(g)
Berat air
(g)
Daya serap air
rata-rata (g/g)
X 1.0588 5.7774
10 4.1453 1.0054 5.6744
Y 1.0470 5.8831
10 3.9737 1.0562 5.7590
Z 1.0513 6.1938 10 3.7215
1.0418 6.2113
Perhitungan :
Daya serap air = A – B C
Keterangan : A = berat air mula-mula (g)
B = berat supernatant (g)
C = berat sample (g)
Lampiran 21. Rekapitulasi data rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi formula sagu instan
Sampel Berat sampel
(g)
Berat air
(g)
Rasio
rehidrasi
Waktu
rehidrasi
(menit)
X 2.0035 8.00
1 : 4 2.9 2.0056 8.00
Y 2.0121 8.00
1 : 4 3.5 2.0017 8.00
Z 2.0048 8.00
1 : 4 3.6 2.0106 8.00
Top Related