Download - Skizofrenia Referat Tiwi - Iis

Transcript

C. Penatalaksanaana. Terapi biologi

Terapi biologi skizofrenia mengalami kemajuan pesat terutama setelah ditemukan obat antipsikotik generasi kedua (APG - II). Obat APG II mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Orang dengan skizofrenia lebih nyaman dengan APG II karena kurangnya efek samping ekstrapiramidal, misalnya distonia, parkinsonisme, dan akatisia. Manfaatnya lebih terasa pada penggunaan jangka panjang karena jarangnya terjadi tardive diskinesia.Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu :

Fase akut Fase ini ditandai dengan gejala psikotik yang membutuhkan penatalaksanaan segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode pertama atau ketika terjadi kekambuhan skizofrenia dan biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Fokus terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik.

Agitasi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada fase akut skizofrenia. Pada agitasi terlihat adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan respon terhadap stimulus internal maupun eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan.Pada fase akut, skizofrenia, perilaku agresif juga sering terlihat. Agresif merupakan sikap melawan secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atau orang lain. Risiko terjadinya perilaku agresif meningkat bila ia berkomorbiditas dengan penyalahgunaan alkohol atau zat, kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan, dan gangguan neurologi serta riwayat kekerasan sebelumnya. Ide-ide kejaran dan atau halusinasi perintah dikaitkan dengan agresivitas.Pemeriksaan awal misalnya riwayat lengkap tentang kondisi medik umum dan psikiatri, pemeriksaan fisik dan status mental, hendaklah dilakukan pada setiap orang dengan skizofrenia. Beberapa faktor yang sering berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan adalah ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika, penyalahgunaan zat dan adanya stressor kehidupan.Kondisi medik yang juga berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan dievaluasi dengan menanyakan riwayat medik, pemeriksaan neurologi, fisik, radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan berat badan dan tanda-tanda vital, misalnya denyut nadi, tekanan darah, frekuensi nafas, dan temperatur harus pula dilakukan. Pemeriksaan laboratorium, lainnya misalnya pemeriksaan darah tepi, pengukuran elektrolit darah, glukosa, kolesterol, trigliserida, fungsi hati, ginjal dan tiroid dapat pula dilakukan. Bila diduga ada indikasi, penentuan status HIV dan hepatitis C, harus pula dilaksanakan.

Adanya potensi bunuh diri dan halusinasi berbentuk perintah, perlu diperhatikan. Faktor risiko bunuh diri lainnya, misalnya ansietas, ketidakberdayaan, efek samping ekstrapiramidal (akatisia), gangguan penyalahgunaan zat, perlu pula diketahui. Adanya penyalahgunaan zat dapat pula meningkatkan risiko kekerasan.

Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain, mengedalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya, misalnya agitasi, agresi, dan gaduh gelisah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya yaitu keputusan untuk memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau penempatan pasien di ruang isolasi mungkin diperlukan dan hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Fase stabilisasi

Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau pasien terpapar stressor. Berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnya gejala akut. Selama fase stabilisasi, tujuan terapi adalah mengurangi stress pada pasien dan memberikan dukungan untuk mengurangi kekambuhan, meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat, memfasilitasi pengurangan gejala secara terus menerus dan meningkatkan proses penyembuhan. Bila pasien memiliki perbaikan dengan obat tertentu, obat tersebut dapat dilanjutkan dan dipantau selama 6 bulan. Penurunan dosis atau penghentian pengobatan pada fase ini dapat menyebabkan kekambuhan.

Fase stabil atau rumatan

Penyakit pada fase ini dalam keadaan remisi. Terapi selama fase stabil bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Penilaian yang terus menerus membuat pasien atau semua yang berinteraksi dengan pasien dapat membantu setiap perubahan gejala dan fungsi.Penggunaan antipsikotika pada fase stabil dapat mengurangi risiko kekambuhan hingga 30% per tahun. Tanpa terapi rumatan, sekitar 60% - 70% pasien akan mengalami kekambuhan dalam satu tahun. Dalam dua tahun, kekambuhan dapat mencapai 90%. Obat APG II dapat digunakan pada dosis terapeutik karena ia tidak akan menginduksi efek samping ekstrapiramidal. b. Intervensi PsikososialPendekatan psikososial diterapkan secara individual sesuai dengan kebutuhan spesifik dari masing-masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang dianggap efektif untuk skizofrenia adalah :1. Psikoedukasi

2. Intervensi keluarga

3. Terapi kognitif perilaku (Cognitive-behavioral therapy)

4. Pelatihan keterampilan social5. Terapi vokasional

6. Remediasi kognitif

7. Dukungan kelompok sebaya

a. Psikoedukasi

Psikoedukasi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman orang dengan skizofrenia dan keluarga tentang perjalanan penyakit, pengenalan gejala, pengelolaan gejala, pengobatan (tujuan pengobatan, manfaat dan efek samping), peran orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam pengobatan.

Psikoedukasi juga bertujuan untuk memperkenalkan orang dengan skizofrenia dan keluarga terhadap perencanaan hidup yang lebih realistik. Psikoedukasi merupakan suatu rangkaian pembelajaran berkesinambungan seyogyanya mampu memberikan pengetahuan yang memadai bagi orang dengan skizofrenia dan keluarganya dalam menghadapi setiap tahap dari perjalanan penyakitnya.

b. Intervensi Keluarga

Intervensi keluarga hendaknya dimulai dengan penilaian terhadap relasi dan fungsi keluarga. Intervensi keluarga meliputi edukasi keluarga, meningkatkan keterampilan koping dan penyelesaian masalah, memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga, reduksi stress dan membangun dukungan.c. Intervensi Kognitif Perilaku

Terapi kognitif perilaku pada orang dengan skizofrenia lebih ditujukan untuk mengembangkan pemahaman orang dengan skizofrenia tentang gejala-gejala penyakit dan mengajak orang dengan skizofrenia terlibat secara aktif untuk mengelolanya.

Pendekatan ini mengajarkan pada orang dengan skizofrenia untuk mengenali faktor-faktor yang dapat mencetuskan gejala, melatih dan memperkuat keterampilan orang dengan skizofrenia dalam mengelola gejala, melatih keterampilan meredakan ketegangan dan mengembangkan strategi penyelesaian masalah (problem solving strategy)d. Rehabilitasi

Meliputi terapi vokasional, pelatihan keterampilan sosial dan remediasi kognitif. Modalitas ini dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dalam keterampilan bersosialisasi, menjalin relasi interpersonal, integrasi ke komunitas dan memperoleh keterampilan kerja.

e. Dukungan sebaya

Self-help groups for people withschizophreniaand their families are becoming increasingly common. Although professional therapists are not involved, the group members are a continuing source of mutual support and comfort for each other, which is also therapeutic. People in self-help groups know that others are facing the same problems they face, and no longer feel isolated by their illness or the illness of their loved one. The networking that takes place in self-help groups can also generate social interaction. Families working together can advocate for more research and additional hospital and community treatment programs, and patients acting as a group may be able to draw public attention to the discriminations many people with mental illnesses still face in today's world.