REFRESHINGSEPSIS
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter SMF Ilmu Bagian Bedah
Oleh:
Gustiayu Putri 2011730138
Pembimbing :
dr.H. Wiyoto Sukardi, Sp. B
BAGIAN ILMU BEDAH
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR
CIANJUR
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan rahmatnya
serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan refreshing dengan
judul “SEPSIS”. Refresing ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit Bedah di RSUD Cianjur.
Penulis menyadari bahwa refreshing ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat dr. H. Lili K.D, Sp.B, atas keluangan waktu dan bimbingan yang telah
diberikan, serta kepada teman sesama kepaniteraan klinik ilmu bedah dan perawat yang selalu
mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat
terselesaikannya refreshing ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun refreshing ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang
diberikan demi kesempurnaan refreshing ini. Semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Amin...
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
Cianjur, 6 Januari 2015
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
I. Definisi dan Terminologi..................................................................................................5
II. Epidemiologi.....................................................................................................................7
III. Patogenesis........................................................................................................................8
IV. Gejala klinis.....................................................................................................................16
V. Penatalaksanaan..............................................................................................................21
BAB III..........................................................................................................................................28
PENUTUP.....................................................................................................................................28
BAB IV..........................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................29
BAB I PENDAHULUAN
Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan fisik pasien-pasien
bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut menunjukkan pola gejala-gejala klinis
takipnea, takikardi, demam, diaforesis dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi
lokal yang parah, bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari
keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan suatu diagnosis
“sepsis” atau “septikemia”. Istilah ini secara tradisional memberikan pengertian suatu
manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi invasif yang tidak terkendali yang akibatnya
menjadi suatu manifestasi sistemik penyakit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa
proses infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-bukti telah
menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan reaksi spesifik atas suatu jenis
mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifik host (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat
mendatangkan respon sistemis yang sama pada host.
Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua peristiwa ini.
Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi inflamasi, walaupun secara
lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar) bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi
sistemik yang menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis “sepsis”, tanpa ditemukannya mikroba
patogen sebagai penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “sepsis” yang disebabkan
infeksi mikroba dan aseptik “sepsis” yang disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis
yang serupa yaitu suatu respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.
Kata “sepsis” pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua milenium yang
lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan dengan hasil akhir penyakit, bau yang
tidak sedap dan kematian. Sepsis merupakan lawan dari “pepsis” yang berarti proses penguraian
jaringan yang memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau
fermentasi anggur untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil diidentifikasikannya
mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata sepsis lalu mempunyai pengertian infeksi
mikroba yang berat, sementara septikemia mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri di
dalam sirkulasi.
BAB IIPEMBAHASAN
I. Definisi dan Terminologi Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensi
American Collage of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992, yang
menghasilkan suatu konsensus :
Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya invasi terhadap
jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil produk dari mikroorganisme tersebut
(toksin).
Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus infeksi yang
disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam sistem sirkulasi.
SIRS (systemic inflammatory respons syndrome) merupakan respon inflamasi sistemik yang ditandai oleh adanya dua atau lebih tanda berikut :
- Hipertermia > 380C atau hipotermia <360C- Takikardia > 90 x/menit- Takipnea > 20 kali/menit atau PaCO2 <4,3 kPa- Neutrofilia >12 x 10-91-1 atau neutropenia < 4 x 10-91-1
Sindrome sepsis adalah keadaan SIRS dengan bukti adanya infeksi, Infeksi gram (-) atau, lebih jarang, gram (+). Syok sepsis adalah sepsis dengan syok sistemik.
Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi
jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat, oliguria, gangguan status
mental/kesadaran) atau hipotensi.
Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan tanda-tanda perfusi
jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria,
gangguan status mental/kesadaran).
Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan fungsi organ dengan
ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.
MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem organ sistemik
pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan stabilisasi homeostasis.
II. EpidemiologiDari studi epidemiologis yang dilakukan Martin et al (2003), menunjukan bahwa di
Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 (22 tahun) dilaporkan terdapat
10.319.418 kasus sepsis (merupakan 1.3% dari semua kasus rawat inap). Jumlah pasien sepsis
yang dirawat setiap tahun meningkat dari 164.072 pada tahun 1979 menjadi 659.935 pada tahun
2000 (meningkat 13,7% per tahun). Karakteristik demografi dan kondisi yang menyertai pada
populasi pasien sepsis dari masing-masing subperiode dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Usia
rata-rata pasien sepsis meningkat dari 57, 4 tahun pada subperiode pertama menjadi 60,8 tahun
pada subperiode terakhir. Usia rata-rata pasien wanita yang terkena sepsis adalah 62,1 tahun
sedangkan pada pria adalah 56,9 tahun.
Dari penelitian ini juga diketahui bahwa dari tahun 1979 sampai 1987, bakteri penyebab
sepsis yang dominan adalah bakteri Gram negatif, sedangkan pada subperiode berikutnya adalah
bakteri Gram positif. Diantara mikroba yang menyebabkan sepsis pada tahun 2000, bakteri Gram
positif merupakan 52,1% kasus, sedangkan bakteri Gram negatif 37,6%, infeksi polimikroba
4,7%, anaerob 1% dan infeksi jamur 4,6%.
Selama penelitian tersebut, didapat angka kematian akibat sepsis rata-rata adalah 27,8%
pada subperiode pertama dan menurun menjadi 17,9% pada subperiode terakhir. Proprosi pasien
sepsis yang mengalami kegagalan organ, suatu petanda keparahan sepsis, meningkat dari 19,1%
pada 11 tahun pertama menjadi 30,2% pada tahun-tahun terakhir. Kegagalan organ terjadi pada
33,6% pasien selama subperiode terakhir (1995 – 2000). Kegagalan organ juga mempengaruhi
angka mortalitas: kurang lebih 15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal dunia, sementara
70% pasien dengan kegagalan 3 organ atau lebih meninggal dunia. Organ yang paling sering
mengalami kegagalan adalah paru-paru (18%) dan ginjal (15%); sedangkan yang lebih jarang
adalah kegagalan kardiovaskular (7%), kegagalan hematologis (7%), kegagalan metabolik (7%)
dan kegagalan neurologis (2%).
III. Patogenesis
Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area yang cedera atau
destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau membatasi penyebab trauma dan
kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang
berbeda) selalu melibatkan aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines
intraseluler dan mediator-producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan :
- aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis
- respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag, sel mast. Tipe sel
efektor yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada tipe pemicu cedera (perdarahan,
iskemia, kontaminasi bakteri). Sel efektor melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals,
histamin, eicosanoid, faktor koagulasi.
Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan (up-
regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory mechanism) yang
sangat komplek. Walaupun pemicunya berbeda, tetapi patofisiologinya tidak lepas dari
penyebabnya adalah infeksi atau non-infeksi dan bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu
saat ini mekanisme seperti itu disebut sebagai common pathway of inflamatory respons.
Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi lokal respon inflamasi
tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut. Intensitas dari respon inflamasi
tersebut merupakan refleksi biologik yang bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang
terjadi atau berat-ringannya infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan
menyebabkan respon inflamasi lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome).
Namun apabila luka traumatik tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi
respon inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Respon
inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada organ jauh (remote organ) akibat
dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi sistemik akan mengakibatkan terjadinya MODS
(Multiple Organ Dysfunction Syndrome).
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu proses
inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
(1) Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi
sistemik.
(2) Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam sirkulasi
sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.
(3) Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas respon lokal
sangat hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke
sirkulasi sistemik (sitokin kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin
1,6,8,12,18, interferon-g, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived
mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO),
eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events (activators), yaitu :
1. Mikroorganisme
Mekanisme pertahanan normal tubuh terhadap infeksi terdiri dari pertahanan fisik (kulit-
membran mukosa), pertahanan kimia, sistem fagosit (PMNs, makrofag, monosit), humoral
immunity (sistem antibodi, komplemen) dan cellular immunity.
Faktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh mikroorganisme pada individu adalah
patogenitas mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan dan benda asing.
2. Endotoksin dan eksotoksin
Endotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdiri dari lapisan
membran dalam dan luar. Pada lapisan luar terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang
mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor, seperti
pemicu lepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor (mediator primer). Target sel utama
atau efektor utama yang dipicu endotoksin adalah sel endotel dari pembuluh darah.
Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara langsung atau melalui
aktivasi bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi dengan membran sel sel makrofag melalui
terjadinya reaksi reseptor-antigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam
sitokin.
3. Jaringan nekrotik
- Merupakan aktivator untuk aktifnya makrofag
- Memberikan lingkungan baik bagi pertumbuhan maupun invasi kuman
4. Trauma jaringan lunak
- Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan pelepasan mediator
sekunder atau sinyal pada sel efektor.
5. Ischaemic-reperfusion
- Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga oksigenisasi jaringan
akan berkurang, yang berakibat timbulnya perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob di
tingkat seluler.
- Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi disertai dengan
oksigenisasi yang baik pada sel/jaringan pasca iskemia.
Aktivator-aktivator tersebut akan memicu aktivasi 5 inisiator inflamasi. Inisiator tersebut akan
memicu pula pelepasan mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung
jawab sebagai elemen-elemen dari komponen respon inflamasi. Kelima inisiator tersebut akan
saling mempengaruhi dan saling meningkatkan respon fisiologik yang spesifik dalam bentuk
berbagai elemen komponen inflamasi, yaitu :
1. Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).
Merupakan prinsip, bahkan yang terpenting sebagai inisiator inflamasi. Cedera pada
jaringan dan pembuluh darah kecil akan merangsang terjadinya kaskade pembekuan
(coagulation cascade) untuk mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein koagulasi akan
menghasilkan produk yang dapat merangsang terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII (juga
dikenal sebagai Faktor Hageman) yang aktif adalah suatu mediator penting untuk terjadinya
perubahan mikrosirkulasi pada luka. Walaupun efek langsungnya minimal, namun faktor ini
sangat berpengaruh dalam stimulasi dan penguatan inisiator yang lain.
2. Platelet aktif.
Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya diasosiasikan dengan proses
trombosis dan hemostasis. Platelet yang aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon
inflamasi. Larutan platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten bila disuntikkan
pada jaringan hewan percobaan. Peran vasoaktif produk platelet telah diketahui, terutama
tromboxan A2 sebagai vasokonstriktor yang poten.
3. Sel mast
Mast sel yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet merangsang
dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel akan
segera merelaksasi otot polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada
jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler,
peningkatan aliran darah dan penurunan kecepatan aliran darah.
4. Contact activating system.
Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh
stimulus yang tepat. Keberadaan faktor XII yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein
menjadi kalikrein. Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan bradikinin
dari kininogen berat molekul tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada
endotel reseptor dan merangsang pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini
akan berdifusi ke otot polos pembuluh darah dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi
sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi
dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan histamin.
5. Kaskade komplemen (complement cascade).
Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara konvensional dan cara
alternative. Aktivasi ini akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel
patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan
produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif dan chemoattractant. Hal yang menarik
adalah aktivasi protein komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, mast sel
dan secara tidak langsung produksi bradikinin.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan
mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah : peningkatan permeabilitas
mikrovaskuler, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan
edema jaringan lunak. Yang terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim protein yang
dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini menciptakan situasi lokal disekitar trauma yang kaya akan
chemoattracttant.
Menurut teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang terjadinya MOF
(Multiple Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka trauma sederhana atau infeksi
jaringan lunak yang tampak tenang diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk
terjadinya SIRS maupun sekuele-nya.
Berikut ini adalah 10 langkah dalam hipotesis tersebut :
1. Aktivasi reaksi inflamasi.
Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi
sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya
SIRS. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang
terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi. Tidak seperti pada trauma,
proses infeksi adalah proses yang berlangsung terus menerus hingga mempunyai kemungkinan
besar pada suatu saat akan melewati batas ambang yang menyebabkan terjadinya reaksi sistemik.
Namun perlu digarisbawahi bahwa penyebaran kuman pathogen atau produk kuman tersebut
bukan merupakan syarat untuk terjadinya reaksi sistemik.
Aktivasi inflamasi sistemik biasanya bukan karena insult tunggal, biasanya disebut “two-
hit” hipotesis dari gagal organ. Hipotesis ini menyebutkan dibutuhkannya dua pencetus sebelum
terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Insult inisial seperti perdarahan, trauma berat atau operasi
besar akan menimbulkan reaksi inflamasi yang bila diikuti oleh aktivator kedua (seperti infeksi,
perdarahan ulang, operasi ulang) dalam jangka waktu yang pendek akan mengakibatkan SIRS.
2. Aktivasi inisiator
Aktivasi kaskade pembekuan (Coagulation Cascade) akan mengakibatkan DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation) tanpa tanda klinis perdarahan. Pasien akan mengalami
pemanjangan PT (Prothrombine Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time)
sebagai akibat penggunaan protein koagulasi. Biasanyan juga terjadi trombositopenia. Juga
terjadi aktivasi protein komplemen. Efek bradikinin dan histamin akan terlihat jelas pada fase
ketiga.
3. Konsekuensi sistemik fase pertama
Mediator yang dihasilkan pada fase pertama, seperti bradikinin dan histamin akan
mengakibatkan vasodilatasi pada mikrosirkulasi, baik arteri maupun vena, dengan akibat
menurunnya tahanan vaskuler sistemik dan meningkatnya kapasitas vaskuler. Bila tidak ada
dukungan preload yang cukup maka pasien akan mengalami hipotensi karena hipovolemia
relative. Bila ada dukungan preload yang cukup maka akan terjadi peningkatan Cardiac Index.
Perubahan ini juga menghasilkan peningkatan permeabilitas mikrosirkulasi dengan akibat
terjadinya edema sistemik.
4. Distribusi sistemik chemoattracttant dan kode Sitokin Proinflamasi (Proinflamatory
cytokine).
Aktivasi inisiator akan mengakibatkan didistribusikannya chemoattracttant secara
sistemik. Produk hasil penguraian protein dan enzim sel yang biasanya hanya ada pada jaringan
lunak didistribusikan secara sistemik. Chemoattracttant ini akan menempel pada netrofil dan
akan memberikan kode pada seluruh sel endotel maupun monosit. Monosit ini menjadi diliputi
oleh chemoattracttant dan tidak bergerak ke daerah trauma namun menghasilkan sitokin
proinflamasi yang disekresi ke cairan ekstrasel.
5. Penempelan netrofil.
Distribusi sistemik chemoattracttant mengakibatkan aktivasi proses adhesi sel endotel
dengan netrofil. Proses ini bias terjadi pada seluruh mikrosirkulasi namun nampak lebih banyak
terjadi pada sirkulasi viseral daripada sirkulasi sistemik. Sistem organ yang menjadi target
MODS (yaitu paru, hati, usus) nampak mempunyai tingkat penempelan netrofil yang terbesar.
6. Aktivasi penuh penempelan netrofil oleh chemoattracttant.
Seperti disebutkan diatas, pada luka yang normal, netrofil seharusnya berperan sebagai
proses fagositosis, tetapi rangsangan sitokin proinflamasi seperti TNF mengakibatkan kekacauan
perilaku fagositosis termasuk pelepasan zat reaktif oksigen dan enzim lisosom. Zat beracun ini
segera dikeluarkan di luar dinding pembuluh darah, peroksidase lemak dan “self-digestion”
mulai terjadi.
7. Trauma dan vasokonstriksi pada mikrosirkulasi.
Pelepasan zat toksik lisosom dari netrofil yang terstimulasi trauma pada sel endotel dan
merupakan tambahan rangsang bagi kaskade inflamasi. Trauma pada sel endotel mengakibatkan
hilangnya regulasi otot polos pembuluh darah. Reaksi pembekuan teraktivasi dan agregasi
platelet terjadi pada tempat trauma kimiawi oleh zat reaktif oksigen dan enzim toksik lisosom
yang lain. Respon yang dihasilkan adalah vasokonstriksi yang mungkin disebabkan oleh
thromboxane A2. Terbentuk juga trombus lokal pada tempat trauma endotel di dalam
mikrosirkulasi.
8. Terhentinya mikrosirkulasi.
Efek gabungan dari vasokonstriksi dan pembentukan trombus pada mikrosirkulasi adalah
penurunan yang drastic atau bahkan penghentian aliran darah pada mikrosirkulasi. Walaupun
trombosis total dan vasokonstriksi merupakan strategi yang normal dalam melokalisir trauma
dan infeksi, trombosis dan vasokonstriksi ini dapat menjadi dasar terjadinya gangguan fungsi
suatu organ.
9. Nekrosis fokal.
Akibat proses trombosis dan vasokonstriksi adalah hilangnya perfusi efektif dengan
akibat nekrosis fokal. Nekrosis fokal ini terjadi karena jumlah netrofil yang jauh lebih kecil dari
jumlah sel endotel, namun seiring dengan berlangsungnya reaksi inflamasi yang akan terus
memproduksi netrofil dengan akibat makin banyak jaringan fungsioanl yang mengalami nekrosis
sehingga proses disfungsi pada MODS terus berlangsung.
10. Proses “self-energizing” dan “self-recycling”
Hipotesis berhentinya mikrosirkulasi ini nampak sederhana, dengan dihilangkannya
rangsang atau aktivator, maka seharusnya produksi chemoattracttant akan berhenti dan seluruh
proses juga akan menurun. Namun pada kenyataannya proses inflamasi sistemik ini
menghasilkan trauma pada jaringan dan nekrosis yang juga mengakibatkan inflamasi sistemik.
Dengan demikian lesi pada suatu end-organ juga merupakan aktivator baru terhadap reaksi
inflamasi.
Sejalan dengan patofisiologi diatas, maka mediator reaksi inflamasi dapat diidentifikasi
dan dapat digunakan untuk mengetahui adanya reaksi sepsis. Peningkatan beberapa kadar sitokin
seperti TNF-a (Tumor nekrosis Faktor - a), Interleukin (IL-6, IL-8 dan IL-10) memang
terlihat pada pasien sepsis dan biasanya berhubungan dengan outcome yang jelek. Interleukin-6
biasanya digunakan sebagai indicator dalam penelitian pengobatan sepsis.
Pertanda biologis lain yang paling terkenal dan paling umum dipakai adalah CRP (C-
reactive Protein). CRP adalah protein yang diproduksi di hati pada fase akut, kadarnya dalam
plasma meningkat dalam keadaan infeksi sebagai respon adanya sitokin dalam plasma. CRP
disebut sebagai pertanda yang sangat berguna pada sepsis dan lebih peka dibandingkan lekosit
dan suhu tubuh.
Prokalsitonin, precursor kalsitonin juga disebut sebagai salah satu pertanda sepsis. Kadar
plasma prokalsitonin digunakan untuk membedakan infeksi dari proses inflamasi yang lain, juga
dilaporkan mempunyai nilai prediksi yang lebih baik dibandingkan CRP maupun IL-6. Peneli
lain melaporkan prokalsitonin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik
dibandingkan dengan CRP, leukosit maupun suhu tubuh pada peningkatan kadar TNF dan IL-6.
Pertanda yang lain adalah neopterin, elastase dan fosfolipase A2.
IV. Gejala klinisDalam suatu penelitian yang melibatkan sejumlah besar pasien dengan respon septik
(yaitu SIRS), Siegel et al. mengidentifikasi adanya empat tahap perubahan patofisiologi
hemodinamik dan metabolik. Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap
sepsis, namun data ini bias, dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini dengan teliti
menunjukkan bahwa SIRS adalah suatu yang berkelanjutan tergantung respon pasien terhadap
suatu rangsang dan kemampuan cadangan fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan
fisiologis umum yang terjadi.
Keempat tahap tersebut adalah :
1. Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)
Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi berat, trauma
atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskuler sistemik dan
peningkatan COP yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti
keadaan normal.
Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang
sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal
ini merupakan respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau
operasi besar.
Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari
reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan
penyakit.
2. Tahap B (Fase MODS)
Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi penurunan tajam
dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung untuk meningkatkan COP. Akibat
dari keadaan tersebut, maka dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload
jantung (sebaiknya dengan cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan
mengalami hipotensi. Sementara itu selisih antara kadar oksigen arteri dan vena mulai
menyempit, yang diikuti dengan meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
telah terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena abnormalitas enzim
metabolisme sel.
Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat meningkat dan
terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat diatas nilai normal. Pada
masa sebelum penggunaan metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa
lambung menunjukkan cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum
kreatinin mulai naik diatas 1,0 mg/dL.
3. Tahap C (Fase Dekompensasi)
Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan kompensasi
jantung tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload
yang sangat drastis. Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan
tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi
akan terjadi meskipun tekanan preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut
septik syok atau keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan
suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.
4. Tahap D (Fase Terminal)
Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal. Keadaan
sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana hal ini akan
menyebabkan respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan
tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen
sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer,
cardiac output yang tidak adekuat dan vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi
sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian akibat fase ini.
Tabel 2. Tahapan SIRS
Fase COP SVR Laktat
Transien ↑ ↓ N
MODS ↑↑↑ ↓↓ ↑
Dekompensasi N ↓↓↓ ↑↑
Terminal ↓↓↓ ↑↑↑ ↑↑
Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan klinis pasien dengan
sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis)
atau dalam keadaan hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).
Tabel 3. Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (Syok septik)
Hiperdinamik Hipodinamik
Klinis
Suhu ↑, Menggigil ↑ / ↓
Kulit Kering, hangat Dingin
Jantung Takikardi Takikardi
Paru Takipneu Takipneu
Tekanan darah ↓ ↓
Status mental Berubah Obtudansi
Produksi urin Variabel Oliguri
Laboratorium
Lekosit ↑ ↑ / ↓, geser ke kiri
Keasaman Asidosis metabolik Asidosis metabolik
Gula darah Hiper/Hipoglikemia
Laktat 1,5 – 2,0 mM/L > 2,0 mM/L
Trombosit Trombositopenia
VO2 ↑ ↓
(A-V) O2 Normal / ↓ ↓
Tekanan baji Normal / ↓ Bervariasi
Fisiologi
COP ↑ Tidak adekuat
SVR ↓ ↑
Mikrovaskuler Kerusakan lokal Kerusakan lokal
Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik (terjadi sindrom sepsis).
Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik,
yang membutuhkan penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan DO2 dan
tekanan perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali nilai normal yang
diiringi dengan penurunan tahanan vaskuler yang disebabkan oleh produk a dan β agonist. Hal
ini akan mengakibatkan hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai
terjadi. Bila gangguan aliran darah tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke organ vital akan
mengakibatkan kerusakan jaringan. Perubahan status neurologis juga terjadi dimana pasien
menjadi letargi.
Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak dapat dipertahankan dan
terjadi penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh pada keadaan hipodinamik syok (syok
septik) dan keadaan ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.
Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang esensial sehubungan dengan
tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi
organ harus segera dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi.
Dengan demikian penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan progresifitas kerusakan
organ dapat segera dihentikan.
Tabel 4. Gejala awal MOF
ORGAN EFEK TANDA KLINIK
Paru
Tahanan vaskuler pulmoner ↑ Takipneu, hipoksia
ARDS akut Takipneu, hipokarbia
Atelektasis Alkalosis respiratorik
Emboli paru Takipneu
Pneumonia Takipneu, suhu tinggi
Hati
Hipoalbuminemia Gangguan koagulasi
Bilirubinemia Ikterus
Asam amino ↑ Hepatomegali
Saluran cerna
Tukak lambung Hematemesis/melena
Gastritis hemoragik Nyeri perut, syok
Kolesistitis akut Nyeri perut, suhu ↑
Trombosis v.mesenterika Nyeri perut, syok
Ginjal
Kreatinin ↑ Oligouria / anuria
Nitrogen ↑ Retensi cairan
Osmolaritas urin ↓ Edema
Kardiovaskuler
CO ↑, gagal, atau ↓ Syok
Tahanan vaskuler Asidosis metabolik
Koagulasi
Trombositopenia Ekimosis
Fibrinogen ↑ (dini), ↓ (lanjut) Perdarahan difus
PT ↑
V. PenatalaksanaanTerapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan
tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap
sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang
terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan
terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :
1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik
1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan
mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang
adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen
arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).
b. Ekspansi cairan
Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan
tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali
mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi
oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid
isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan
koloid. Albumin juga berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga
sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena
itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.
c. Inotropik
Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila
ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi
sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun
pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan
cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan
pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.
d. Transfusi darah
Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang
muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD
membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan
pembentukan sel darah merah.
e. Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan
tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik
dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah
golongan nitroprusid.
f. Vasokonstriktor
Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90
mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup
tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin
atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari
pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi
yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan
mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
Hal ini dapat dicapai dengan :
a. Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :
1. Meminimalkan trauma lebih lanjut
2. Debridemen yang agresif
3. Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
4. “second-look procedure”
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang
menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas
secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.
b. Modifikasi respon stress hormonal
Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam
terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang
merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan
metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis
sedang dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera
kepala.
c. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya
diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi
nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada
operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri
yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu
dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia
splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk
mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.
Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon
stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier
mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada
pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic
Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat
proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.
Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :
Organ Komplikasi
Paru-paru ARDS karena infeksi nosokomial
Pneumonia nosokomial
Barotrauma
Keracunan O2
Hipervolemia
Usus Cedera karena infeksi / endotoksin
Malnutrisi
Keracunan obat
Kolitis pseudomembran
Hipovolemia
Hati Cedera karena infeksi / endotoksin
Overfeeding
Keracunan obat
Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksin
Keracunan obat
Hipovolemia
Sistemik Malnutrisi
Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat
Modalitas Terapi Baru
Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil
memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan
injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi
tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM,
namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif.
Obat ini terutama dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga
berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan
studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.
Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu
memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena
endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik
yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada
sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra atau antagonis IL-1.
Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih
dilakukan.
Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan
PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis
bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai
NMMA (N-monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini
adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.
Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator
menggunakan cara plasmapheresis (PE).
Konsep Baru Pengobatan Sepsis
Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang berbentuk rekombinan Protein C
teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis.
APC menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi
pembentukan thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet,
penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung,
termasuk menghambat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun
demikian, masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama berhubungan dengan
efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya pada pasien sepsis berat
dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami ancaman kegagalan organ berat dan
mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.
Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den Berghe et al, menunjukkan
bahwa pemberian terapi insulin intesif yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 –
110 mg/dL menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi
konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 – 200 mg/dL.Terapi insulin
mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang
riwayat diabetes melitus pasien tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum
diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia ternyata dapat
diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah apoptosis sel-sel mati akibat
berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2-kinase-akt.
Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-directed therapy oleh Rivers
et al menunjukkan bahwa terapi cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload
dan kontraktilitas jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien.
Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan tranfusi darah
untuk meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien –pasien dalam penelitian ini mendapat lebih
banyak cairan, inotropik dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada
6 jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien
pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar
laktat yang lebih rendah dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok
kontrol.
Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya:
metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara pasien-
pasien sepsis dan dapat memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder.
Penelitian oleh Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten yang
membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan klinis karena pemberian
kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid
melalui down-regulation reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui
efek reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik.
Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan insufisiensi adrenal relatif.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
1. Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ Failure
Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag,
New York, 2000:3-11.
2. Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome :
Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy.
Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.
3. Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ
Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-
Verlag, New York, 2000:92-100.
4. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J Med
2003, 348; 138-50.
5. Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They
Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist
E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.
6. Martin GS, Mannino, DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the United
States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003, 348; 1546-54.
7. Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment of
Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77.