KURIKULUM SEJARAH LOKAL
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, karena melalui
proses pendidikan akan memunculkan manusia-manusia yang memiliki
kompetensi yang berbeda-beda. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Manusia ingin meningkatkan semua potensi di
dalam dirinya sebagai makhluk yang memiliki akal dan budi pekerti agar
mempunyai makna dalam kehidupan bermasyarakat, salah satu upaya untuk
mencapainya adalah dengan pendidikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1, ayat 1 menyatakan
bahwa:
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan penjelasan di atas, pendidikan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi-potensi
setiap individu dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Mengingat pentingnya
arti pendidikan bagi kehidupan manusia, maka pendidikan ini harus dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya sehingga akan diperoleh hasil (output) yang diharapkan.
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan
meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu upaya untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional, terutama sebagai upaya untuk
mengembangkan pengetahuan tentang sejarah nasional maupun umum, agar siswa
dapat mengembangkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sejarah membicarakan kejadian-kejadian manusia di masa lalu. Ismaun (1999)
1
mengatakan bahwa sejarah merupakan kenangan pengalaman umat manusia.
Sejarah dapat membantu siswa untuk memahami perilaku manusia pada masa
lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Kegiatan belajar mengajar
sejarah merupakan salah satu wahana untuk mendorong siswa memperkaya
wawasan dan mengembangkan potensinya.
Pendidikan Sejarah merupakan media pendidikan yang paling ampuh
untuk memperkenalkan kepada peserta didik tentang bangsanya di masa lampau.
Melalui pelajaran sejarah peserta didik dapat melakukan kajian mengenai apa dan
bila, mengapa, bagaimana, serta akibat apa yang timbul dari jawaban masyarakat
bangsa di masa lampau tersebut terhadap tantangan yang mereka hadapi serta
dampaknya bagi kehidupan pada masa sesudah peristiwa itu dan masa kini.
Tindakan apa yang dilakukan para pelaku sejarah yang tidak mampu mencapai
tujuan sehingga dapat dianggap sebagai suatu kesalahan atau bahkan kegagalan,
perbuatan apa yang mereka lakukan yang mampu mencapai tujuan sehingga
dianggap sebagai suatu keberhasilan dan memberikan dampak positif bagi
kehidupan kebangsaan sesudahnya mau pun masa kini (Hasan, 2010).
Melalui pelajaran sejarah, peserta didik akan diperkenalkan tentang
peristiwa-peristiwa masa lalu yang mengiringi terbentuknya masyarakat dan
bangsa dimana mereka hidup saat ini (Hasan, 1996). Dengan demikian, maka
sejarah memiliki fungsi utama dalam mengembangkan dan membentuk kesadaran
peserta didik terhadap sejarah bangsa dan negaranya. Kesadaran sejarah, menurat
Kartodirdjo (1999), sangat potensial untuk membangkitkan sense of pride
(kebanggaan) dan sense of obligation (tanggungjawab dan kewajiban) peserta
didik.
Selama ini sejarah yang diajarkan di sekolah kurang bermakna bagi siswa.
Ironis sekali, siswa diajak untuk mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak
memahami asal usul daerahnya sendiri. Disisi lain juga muncul persoalan terkait
dengan kecurigaan dari kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam
kurikulum. Dengan demikian objektivitas karya sejarah juga perlu diperhatikan.
Guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran sejarah juga tidak memiliki
kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan materi dan metode
2
pembelajaran, karena guru kurang memiliki pemahaman teori dan metodologi
sejarah. Disinilah persoalan pembelajaran sejarah menjadi semakin rumit. Siswa
sebagai salah satu komponen dalam sistem pembelajaran juga merasa bosan
karena belajar sejarah hanya menghafalkan nama-nama tokoh, angka-angka tahun,
dan benda-benda peninggalan yang kusam. Oleh karena itu, perlu sekali merubah
paradigma dalam pembelajaran sejarah yang cukup memberikan stimulus siswa
untuk mempelajari sejarah, diantaranya siswa diajak untuk mampu
memparalelkan sejarah dunia dengan sejarah nasional dan sejarah lokal dengan
metode yang inovatif.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan keleluasaan kepada
guru untuk mengembangkan indikator-indikator dan itu bukan sesuatu yang
diharamkan,tetapi merupakan kewajiban guru untuk mengadopsi potensi-potensi
yang ada didaerah. Untuk itu, makalah ini akan membahas tentang paradigma
kurikulum sejarah lokal, sehingga pembelajaran sejarah di sekolah menjadi lebih
bermakna.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk memberikan contoh materi
Sejarah Lokal mulai dari Konsep Sejarah Lokal, Ruang lingkup dan contoh-
contoh judul materi beserta metodologi sejarah lokal secara sederhana. Penyajian
itu dengan ada kesamaan persepsi serta solusi dalam menyusun historiografi
sejarah lokal.
B. Konsep Sejarah Lokal
Para ahli sejarah membagi pengertian sejarah atas sejarah sebagai
peristiwa, sebagai cerita dan sejarah sebagai ilmu (Ismaun, 1991). Sejarah sebagai
peristiwa karena mengukapkan kehidupan masyarakat di masa lampau. Sesuai
dengan konsep : "lokal", bahasanya membicarakan kehidupan masyarakat
lokal/setempat di masa lampau. Dengan demikian uraian sejarah lokal
mengandung konsep dasar: waktu dan ruang. Di samping itu juga memuat
konsep-konsep lain seperti konsep kausalita dan pengulangan. Uraian sejarah
merupakan rangkaian sebab dan akibat. Konsep akibat akan menjadi sebab
3
peristiwa berikutnya. Peristiwa perulangan, sering dalam durasi waktu tertentu
terjadi peristiwa yang polanya sama dengan peristiwa sebelumnya.
Kehidupan masyarakat manusia di masa lampau sangat luas dan kompleks.
Oleh karenanya para ahli sejarah membagi sejarah atas tema-tema tertentu,
misalnya sejarah : perekonomian, sosial, budaya, politik, dan seterusnya, Sejarah
politik dianggap yang lebih tua karena berkaitan dengan keberadaan masyarakat
manusia dalam berkehidupan dan bemegara. Selain tema kehidupan masyarakat,
para ahli sejarah juga membagi sejarah menurut dimensi waktu. Pembagian ini
dikenal dengan nama periodisasi. Berdasarkan periodenya, maka kita mengenal
periode sejarah: Prasejarah, Jaman Hindu-Budha, Jaman Islam, Jaman
Kebangkitan Nasional, Jaman Kemerdekaan, dan sebagainya.
Sejarah sebagai cerita karena uraian sejarah merupakan hasil rekonstruksi
sejarawan terhadap peristiwa kehidupan masyarakat masa lampau berdasarkan
fakta-fakta sejarah yang dimilikinya. Oleh karena itu didalamnya terdapat pula
penafsiran sejarah terhadap makna suatu peristiwa. Buku-buku sejarah yang kita
baca, baik berupa buku pelajaran di sekolah, karya ilmiah di perguruan tinggi,
maupun buku-buku sejarah lainya adalah merupakan bentuk kongkrit dari sejarah
sebagai cerita.
Berdasarkan konsep ruang/tempat, kita mengenal adanya sejarah: lokal,
nasional, regional dan dunia. Sejarah lokal adalah peristiwa kehidupan masyarakat
manusia yang terjadi pada lokal geografi tertentu (Ismaun, 1991). Bisa jadi
peristiwa itu hanya mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyaraskat daerah
itu saja, tetapi mungkin juga berpengaruh secara nasional. Contoh: sejarah P.
Diponegoro (Tegalrejo, Magelang), peristiwa lokal pengruhnya sampai tingkat
nasional.
Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas
sejarah yang dibatasi oleh keruangan yang bersifat administratif belaka, seperti
sejarah propinsi, sejara kabupaten, sejarah kecamatan dan sejarah desa” (Agus
Mulyana dan Restu Gunawan, 2007). Lokal disini juga lebih dijelaskan lagi oleh
Taufik Abdullah (2005) bahwa:
4
“Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah ‘tempat, ruang’. Jadi ‘sejarah lokal’ hanyalahh berarti sejarah dari suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’, yang batasannya ditentukan oleh ‘perjanjian’ yang diajukan penulis sejarah”. Batasan geografisnya dapat suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah mencangkup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku bangsa Jawa, umpamanya) dan dapat pula suatu kota, atau malahan suatu desa”.
C. Ruang Lingkup Sejarah Lokal
Sejarah lokal adalah sejarah setempat. Peristiwa kehidupan masyarakat
setempat di masa lampau. Ruang lingkup sejarah lokal dapat diaplikasikan sebagai
peristiwa, cerita atau kajian ilmu sejarah setempat.
Lokal/tempat merupakan kriteria atas panggung sejarah. Menurut
Suharmawan bahwa ruang lingkup sejarali lokal meliputi peristiwa sejarah yang
terjadi di: Kampung, Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota sampai Provinsi.
Sejarah/silsilah keluarga termasuk dalam Sejarah Lokal. Diantara sejarah lokal itu
sering ada yang meonjol/berpengaruh ke tingkat yang lebih luas, sehingga dari
tingkat lokal menjadi nasional atau bahkan umum/dunia. Misalnya: Sejarah
Mataram, Peristiwa Palagan Ambarawa, Pertemuan 5 Hari di Semarang, Bandung
Lautan Api, Pertempuran 10 Nopember di Surabaya, dan sebagainya.
Sehubungan dengan ruang lingkup di atas, maka perlu diidentifikasi
peristiwa apa yang terjadi di masa lampau di tempat tertentu. Perlu diingat bahwa
tempat yang dimaksud adalah tempat di mana sekolah itu berada. Itulah sebabnya
topik-topik sejarah lokal diimplementasikan pada status administrasi daerah (desa,
kecamatan, dan seterusnya). Materi essensialnya bisa sama tetapi macamnya dapat
berbeda dan mungkin ada hubungan kausalitas antara daerah satu dengan lainnya.
Perbedaan itu dapat disebabkan oleh keadaan geografi dan perkembangan
masyarakat manusianya.
D. Metodologi Sejarah Lokal
Sejarah sebagai ilmu menuntut langkah-langkah tertentu untuk
memperoleh kepastian/kebenaran dari peristiwa kehidupan masyarakat di masa
lampau, demikian pula sejarah lokal. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai
berikut:
5
Langkah Pertama: Kehidupan masa lampau niscaya meninggalkan jejak-
jejak kehidupannya. Para sejarawan/guru sejarah mulai kegiatannya dengan
mencari/menemukan jejak-jejak itu. Langkah penelitian ini disebut Heuristik.
Kegiatan menemukan bukti-bukti/sumber-sumber sejarah kemudian
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sumber sejarah yang berupa benda
b. Sumber sejarah yang berupa tulisan
c. Sumber sejarah yang berupa informasi hasil wawancara.
Sumber sejarah dapat dibedakan pula atas: sumber sejarah primer yakni
sumber sejarah yang berupa keterangan yang langsung diperoleh dari orang yang
menyaksikan peristiwa kehidupan itu. Tulisan sejarah yang banyak menggunakan
sumber primer akan lebih tinggi tingkat objektivitasnya daripada yang
menggunakan sumber sejarah sekunder.
Implementasi langkah pertama dalam pembelajaran sejarah lokal dalam
ruang lingkup yang sempit (misalnya, untuk kelas-kelas awal belajar sejarah),
yakni sejarah singkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, terutama menggunakan
sumber primer. Di samping menginventarisasi/menemukan bukti-bukti/situs
peninggalan sejarah dari hasil pembangunan masyarakat setempat. Hal ini
dilakukan guna mengingat panduan pembelajaran sejarah lokal pada umumnya
belum ada. Sumber primer dapat dilakukan guru dengan mengadakan pendekatan
kepada instansi setempat (Perangkat Desa/Kelurahan, pemuka masyarakat atau
tokoh-tokoh yang dipandang mengetahui tentang perkembangan masyarakat di
daerah itu pada masa sebelumnya.
Di tingkat yang lebih luas, selain mengumpulkan informasi dari sumber
primer, dapat juga sumber sejarah yang berupa benda. Sumber sejarah berupa
benda, merupakan sisa kehidupan di masa lalu, misalnya: area, alat-alat rumah
tangga, senjata, bangunan dan sebagainya.
Sumber sejarah berupa benda, pada umumnya disimpan dalam museum
atau koleksi pribadi. Sumber sejarah berupa benda termasuk dokumen/arsip yang
juga disimpan di museum. Setelah melakukan kegiatan ini, kemudian ditanamkan
nilai-nilai pentingnya arti benda-benda peninggalan sejarah dari suatu keluarga
6
bagi keturunannya. Melalui peninggalan sejarah keluarga, keturunannya akan
menghargai jasa orang tua/para pendahulunya.
Termasuk dokumen sejarah lokal adalah sejarah sekolah setempat.
Biasanya pada saat pergantian Kepala Sekolah, dokumen sejarah sekolah
disertakan.
Langkah Kedua adalah kritik. Kritik yang dimaksud adalah kegiatan untuk
menilai apakah sumber sejarah itu memang dibutuhkan dalam rangka penilaian
sejarah. Dalam menilai sumber sejarah kita pertanyakan :
a. Adakah sumber sejarah itu asli atau tidak.
b. Apakah sumber sejarah itu masih utuh atau sudah berubah.
Langkah ketiga adalah penafsiran. Adakah penafsiran / interprestasi /
sintesa terhadap fakta-fakta seajrah menjadi suatu kisah sejarah. Pada penafsiran
ini sering terjadi pengaruh subjektif yang mengakibatkan penulisan sejarah tidak
objektif, karena tidak semua fakta sejarah dimasukkan dalam penulisan sejarah.
Pemilihan fakta-fakta tergantung pada sintesis penulis sejarah.
Langkah keempat adalah historiografi. Historiografi adalah kegiatan untuk
menuliskan cerita sejarah secara periodisasi, masuk akal dan selaras. Secara
diagramatis langkah-Iangkah metodologi sejarah tersebut di atas adalah :
Keempat langkah di atas setidaknya dapat dipakai sebagai petunjuk
sederhana dalam rangka mendesign mated sejarah lokal, khususnya utuk ruang
lingkup yang relatif sempit. Sedangkan sejarah lokal tingkat propinsi, cukup
banyak sumber-sumber sejarah yang dapat dipakai sebagai pegangan
pembelajaran.
Sifat desain materi, senantiasa diuji keaktualannya. Dalam kurun waktu
tertentu, materi sejarah mengalami perubahan. Oleh karenanya peristiwa dan
pelaku sejarah, sumber, bukti-bukti yang lebih aktual akan dapat mempengaruhi
7
Aktualita
Sejarah
Manusia
Heuristik
Kritik
Interpretasi
Historiograf
i
kebenaran sejarah lokal. Minimnya bukti-bukti sejarah, dapat berakibat fatal.
Sejarah bisa jadi hanya sebagai dongeng.
Penyajian sejarah lokal bertujuan agar siswa mengetahui perkembangan
kehidupan masyarakat dan bangga terhadap para pemimpin atau pahlawan
daerahnya. Sedangkan fungsinya adalah membekali siswa dengan ilmu
keterampilan dan sikap sehingga meningkatkan wawasan sebagai dasar warga
negara yang baik.
E. Urgensi Sejarah Lokal dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah
Walaupun sebagian dari kalangan awam baik itu orang tua murid maupun
siswa di sekolah mempertanyakan tentang adanya kegunaan pelajaran sejarah
yang secara umum mereka ketahui hanyalah sebuah “cerita atau dongeng tentang
masa lalu”, padahal secara kenyataannya bukan seperti itu, para ahli telah
menyatakan bahwa sejarah itu memiliki kegunaan. Secara garis besar setidaknya
terdapat tiga kegunaan sejarah, yaitu: guna edukatif, guna inspiratif, dan guna
rekreatif dan instruktif.
Sejarah memiliki guna edukatif karena sejarah dapat memberikan kearifan
bagi yang mempelajarinya, yang secara singkat dirumuskan oleh Bacon: “histories
make man wise”. Sejarah yang memberikan perhatian pada masa lampau tidak
dapat dipisahkan dari kemasakinian, karena semangat dan tujuan untuk
mempelajari sejarah ialah nilai kemasakiniannya. Hal ini tersirat dari kata-kata
Croce bahwa “all history is contemporary history”, yang kemudian dikembangkan
oleh Carr bahwa sejarah adalah “unending dialogue between the present and the
past” (Widja, 1988). Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan
bahwa apabila kita dapat memproyeksikan masa lampau ke masa kini, maka kita
dapat menemukan makna edukattif dalam sejarah.
Sejarah memiliki guna inspiratif karena sejarah dapat memberikan
inspirasi kepada kita tentang gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dapat
digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, khususnya yang
berkaitan dengan semangat untuk mewujudkan identitas sebagai suatu bangsa dan
pembangunan bangsa.
8
Sejarah memiliki guna rekreatif karena dengan membaca tulisan sejarah
kita seakan-akan melakukan “perlawatan sejarah” karena menerobos batas waktu
dan tempat menuju zaman masa lampau untuk “mengikuti” peristiwa yang terjadi.
Sementara itu guna instruktif merupakan kegunaan sejarah untuk menunjang
bidang-bidang ketrampilan tertentu (Notosusanto, 1979).
Dalam hubungannya dengan guna edukatif dan inspiratif dari sejarah,
dapat dikemukakan bahwa sejarah memiliki kaitan yang sangat erat dengan
pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter bangsa pada khususnya.
Melalui sejarah dapat dilakukan pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu ke
generasi masa kini. Dari pewarisan nilai-nilai itulah akan menumbuhkan
kesadaran sejarah, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan
watak bangsa (nation character building).
Pewarisan nilai-nilai dari generasi ke generasi ini dapat dilakukan dengan
penggalian dan penyampaian sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah disekolah.
Atas dasar nilai guna yang dimilikinya, tidak mengherankan apabila sejarah perlu
diberikan kepada seluruh siswa di sekolah (dari SD sampai SMA) dalam bentuk
mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan
watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran
lainnya. Namun demikian, tujuan pembelajaran sejarah itu tidak sepenuhnya dapat
tercapai yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkaitan dengan proses
pembelajarannya. Oleh karena itu, sepanjang seluruh eksponen dan komponen
bangsa masih menginginkan eksistensi sebuah bangsa dan negaranya, upaya-
upaya peningkatan kualitas pembelajaran sejarah sampai kapan pun masih
menemukan signifikansinya. Dalam hal ini guru menduduki posisi yang penting
dan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran sejarah. Sehubungan
dengan hal itu, guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan
profesionalismenya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah, dengan
memperhatikan empat pilar pembelajaran sebagaimana telah dideklarasikan oleh
Unesco (1988), yaitu: 1) learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to
do (pembelajaran untuk berbuat), 3) learning to be (pembelajaran untuk
9
membangun jati diri, dan 4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup
bersama secara harmonis) (Setiadi, 2007).
Selain itu, dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 40 Ayat 1 butir disebutkan bahwa “pendidik dan
tenaga kependidikan berhak memperoleh ‘kesempatan menggunakan sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
tugas”. Pasal ini memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dengan dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas yang memadai.
Pasal ini dipertegas oleh kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan yang
tertuang dalam pasal 40 Ayat 2 butir a yang menyatakan bahwa pendidik
berkewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis”, sehingga interaksi belajar yang monolog dan komunikasi
satu arah tidak lagi menjadi satu-satunya model pembelajaran. Pendekatan
pembelajaran yang bersifat indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan
kreativitas siswa, sehingga menjadikannya pribadi yang pasif (Setiadi dkk., 2007).
Berdasarkan uraian di atas, maka guru dituntut untuk selalu
mengembangkan diri agar meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah kepada
siswa, sehingga tujuan pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah dapat tercapai.
F. Kendala dalam Pembelajaran Sejarah Lokal
Ada banyak sekali kendala dalam pembelajaran Sejarah Lokal, baik itu
yang berkenaan dengan konseptual maupun praktis. Secara konseptual salah satu
kendalanya adalah seperti yang diutarakan oleh Said Hamid Hasan (2007) pada
jenjang pendidikan menengah terutama untuk sekolah umum (SMA) yang
mempersiapkan peserta didik untuk meniti pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi, maka kemampuan pemahaman maupun skills yang diperlukan dalam
disiplin sejarah sudah selayaknya diperkenalkan. Selain itu tujuan pembelajaran
sejarah berikutnya yaitu seperti apa yang dikemukakan oleh NCHS yaitu
historical thinking, historical analysis and interpretation, dan historical research
capabilities dapat dikembangkan sebagai fokus utama. Selain itu juga dalam
10
konteks yang diusulkan Departemen Pendidikan New York maka tujuannya
adalah:
1. The skill of historical analysis include the ability to: explain the significance
of historical evidence; eigh the importance, reliability, and validity of
evidence; understand the concept of multiple causation; understand the
importance of changing and competing interpretations of different historical
developments.
2. Establishing time frames, exploring different periodizations, examining
themes across time and within cultures, and focusing on important turning
points inworld history help organize the study of world cultures an
civilizations.
Kemampuan seperti diatas, menerut Hamid Hasan (2007) tidak
mendapatkan perhatian dalam KURIKULUM SEJARAH SMA dan MA 2004.
Pemahaman terhadap peristiwa sejarah memang menonjol tetapi skills dalam
sejarah serta pengembangan wawasan belum mendapatkan tempat yang
seharusnya.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam pengembangan sejarah lokal
adalah ketersediaan sumber. Tulisan-tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah
lokal belum banyak tersedia. Hal ini menjadi kendala dalam pembelajaran sejarah
lokal.
Selain itu, kendala dalam pembelajaran sejarah lokal adalah waktu dan
biaya. Maksudnya, dikarenakan sumbernya yang minim, dibutuhkan waktu dan
biaya yang cukup menyita perhatian para guru sejarah. Hal inilah yang
menyebabkan kurang antusiasmenya guru sejarah untuk menggali potensi sejarah
lokal di daerahnya.
G. Penutup
Sebagai penutup, ada beberapa simpulan penting yang dapat dikemukakan
adalah:
1. Sejarah lokal adalah ungkapan kejadian / peristiwa kehidupan masyarakat
manusia di masa lampau yang terjadi di lingkungan setempat.
11
2. Ada 2 konsep dasar dalam sejarah lokal, yakni waktu dan ruang.
3. Kendala bagi para mahasiswa PGSD dalam pembelajaran sejarah lokal adalah:
a. Kurangnya buku pegangan/sumber belajar bagi sebagian besar lingkungan
sejarah lokal.
b. Bagi sejarah lokal lingkungan provinsi sebenarnya cukup banyak namun
mereka kurang terampil untuk mendesign dan beberapa buku sumber.
c. Guru kurang percaya diri untuk merumuskan materi ensensial sejarah
lokal.
4. Pendekatan pembelajaran dengan metode inkuiri dapat lebih efektif dalam
pembelajaran sejarah lokal.
5. Sejarah lokal bertujuan agar siswa mengenal perkembangan masyarakat
daerahnya dan memupuk rasa bangga atas perjuangan dan hasil-hasil
pembangunan yang dicapai di daerahnya.
6. Melalui Sejarah Lokal Keluarga dapat ditanamkan nilai-nilai peninggalan
sejarah bagi tiap individu siswa akan jasa orang tua/pendahulunya berkenaan
dengan keberadaan keluarga masing-masing.
Berdasarkan simpulan di atas, ada 3 hal yang penulis sarankan kepada para
pembaca umumnya dan para guru pada khususnya.
Pertama, mengenai materi kajian. Dalam makalah, skope materi kajian
hanya mencakup dari lingkungan desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi,
dimana sekolah itu berada. Sebelum itu dalam Pokok Bahasan Lingkungan
Keluarga perlu sekali ditanamkan materi kajian sejarah yang berupa silsilah
keluarga. Selain mengenal konsep lingkungan keluarga, siswa perlu memahami
sejarah dinasti keluarganya sendiri. Hal ini mengingat bahwa generasi muda
sekarang sering kurang mengerti terhadap para pendahulunya. Dalam hal ini
identifikasi, peranan dan implementasi peninggalan sejarah keluarga menjadi
sangat penting artinya sebagai media antara siswa secara individual dengan
pendahulunya. Apapun bentuknya, perlu ada, diselamatkan dan dirawat.
Diupayakan untuk menanamkan nilai sejarah keluarga kepada siswa, agar mereka
menghargai jasa-jasa para pahlawan keluarganya masing-masing.
12
Kedua, berkenaan dengan metodologi. Kebenaran materi sejarah lokal
sangat didukung oleh perolehan dan penafsiran sumber-sumber sejarah baik
primer maupun skunder. Lingkup yang sempit hendaknya didukung sumber
sejarah primer. Sedangkan sejarah lokal: Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat
diusahakan melalui referensi buku-buku sejarah yang baku. Misalnya: Panggung
Sejarah, Sejarah Nasional Indonesia, dan lain-lain sebagai sumber sejarah
sekunder.
Ketiga, Pembelajaran Sejarah Lokal. Dalam penyajian kegiatan
pembelajaran sejarah, konsep-konsep utama seperti: waktu, tempat, kausalitas,
kronologi dan sistimatis hendaknya selalu dijadikan acuan pembelajaran.
13
DAFTAR PUSTAKA
Daliman, A. 1998. Standardisasi pendidikan sejarah dalam rangka menghadapi
globalisasi abad XXI. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan,
LPM Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi khusus bulan Mei.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berdasarkan Kompetensi, Jakarta: Puskur.
Hasan, Said Hamid. 1991. Pendidikan IPS2, Jakarta: UT.
Hasan, Hamid. 2005. Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal.
http://.upi.edu%2FDirektori%2FB%2520-%2520FPIPS%2FJUR.%2520
PEND.%2520SEJARAH%2F194403101967101%2520-%2520SAID%2520
HAMID%2520HASAN%2FMakalah%2FKurikulum%2520Sejarah
%2520dan%2520Pendidikan%2520Sejarah
%2520Lokal.pdf&ei=VWnkTNjCEs6s8AbR6pigDQ&usg=AFQjCNGqUa
BIdTdx9kYd7-q3dzpRDYkwlw&sig2= ab2V3D T-h1vZ9fEJK3P7Bw.
Diakses tanggal 21 Mei 2011.
Hasan, Said Hamid. 2007. Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal
dalam Sejarah Lokal; Penulisan dan Pembelajaran Sejarah. Bandung:
Salamina Press.
Hayati, Chusnul dkk. 1985. Sejarah Indonesia, Jakarta: Kamnika/UT.
Kartodirdjo, Sartono. 1994. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme,
Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: UI press.
Penadi, Radix. 1990. Penulis Sejarah Lokal Purworejo, Purworejo: Lembaga
Study dan Pengembangan Sosial Budaya Pemda.
Redaksi, KTSP Sejarah Sangat Kacau, http://www.uny.ac.id/home/data .php?
m=951da6b7179a4f697cc89d36acf74e52&i=1&k=5128, Diakses tanggal
16 September 2010.
Sjamsuddin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: Rajawali Press.
14
Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan
Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman
Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insist
Press.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
Widja, G. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana.
15
Top Related