RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a - yarji’u – ruj’kan yang
berarti kembali dan mengembalikan. Dalam istilah hokum Islam, para fuqaha’ mengenal
istilah “ruju” dan istilah “raj’ah” yang keduanya semakna.
Menurut Al-Mahalli rujuk dalam pengertian fiqih adalah kembali ke dalam
hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain selama masa iddah. Ulama
Hanafiyah member definisi ruju’ sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah
melestarikan pernikahan dalam masa iddah talak (raj’i).
Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut
a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya pengganti
dalam masa iddah, akan tetapi hak milik tersebut akan hilang bila abis masa
iddah.
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat
dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba’in maka
harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dikatakan rujuk.
c. Syafi’iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah
dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri
diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan
orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh
karena itu rujuk menurut golongan Syafi’iyah adalah mengembalikan hubungan
suami istri ke dalam ikatan pernikahan yang sempurna.
d. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak ba’in
kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan
dengan niat ataupun tidak.
Dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum pernikahan
secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya
dalam masa iddah.
2. Dasar Hukum Rujuk
Ibnu Rusyd membagi hukum rujuk menjadi dua, yaitu:
a. Hukum rujuk pada talaj raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada
talak raj’i, selama istri dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan
istrinya. Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj’i ini harus terjadi setelah
dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi.
b. Hukum rujuk pada talak ba’in
Rujuk terhadap wanita yang telah ditalak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang
ditalak melalui khluu, dengan tebusan. Dengan syarat dicampuri dan hendaknya
talaknya tersebut bukan talak tiga. Ulama empat Madzhab sepakat bahwa hukum
wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya
kembali disyaratkan adanya akad, mahar, wali, kesediaan si wanita. Hanya saja dalam
hal ini selesainya iddah tidak dianggap sebagai syarat.
Dalam hukum Islam seorang suami diberi kesempatan untuk merujuk istrinya
dalam masa iddah, masa ini merupakan perenungan terhadap kesalahan dan masa untuk
memilih antara melanjutkan untuk hubungan perkawinan atau memutuskan. Dengan
adanya rujuk menurut ajaran Islam, berarti Islam membuka pintu untuk member
kesempatan untuk membina kembali keluarga bahagia yang diidam-idamkan oleh setiap
orang yang berkeluarga. Para ulama sepakat bahwa suami memilliki hak untuk merujuk
istrinya yang telah diceraikan sebelum habis masa iddahnya. Apabila sudah habis masa
iddahnya, maka suami harus menikahi istrinya dengan akad yang baru dan tetap dihitung
masa iddah istrinya. Dengan demikian, maka hak rujuk bagi suami hanya berlaku pada
talak raj’i saja, sedangkan pada talak bain hak tersebut tidak berlaku lagi, karena hukum
rujuk dalam talak bain adalah sama dengan hukum awal nikah yang di dalamnya
disyaratkan adanya wali, mahar, dan lain-lain.
3. Rukun dan syarat-syarat rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk
terlaksananya perbuatan rujuk tersebut. Rukun dan syarat-syarat rujuk diantaranya:
a. Sighat (lafaz), sighat ada dua, yaitu:
1) Terang-terangan (sharih), misalnya dikatakan “saya kembali kepada istri saya”
atau “saya rujuk padamu”.
2) Melalui sindiran, misalnya dikatakan “saya kawin engkau”.
Disyariatkan ucapan itu tidak bertaqlid, berarti tidak digantungkan. Misalnya “aku
ruju’ engkau jika engkau mau” ruju’ seperti ini tidak sah meskipun istrinya mau.
Rujuk yang terbatas waktunya juga tidak sah, misalnya “aku ruju engkau sebulan”.
b. Istri (perempuan yang dirujuk), adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan adalah:
1) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk. Tidak sah
merujuk perempuan yang bukan istrinya.
2) Istri yang tertentu, kalau suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia ruju’ pada
salah seorang dari mereka denga tidak ditentukan siapa yang dirujukkan, maka
ruju’ nya tidak sah.
3) Talaknya adalah talak raj’i
4) Ruju’ itu terjadi sewaktu istri masih dalam masa iddah. Apabila masa iddahnya
telah berakhir, maka putuslah hubungannya dan dengan sendirinya istri tersebut
tidak boleh lagi dirujuk.
c. Suami. Ruju’ ini dilakukan suami atas kehendaknya sendiri, dan suami tersebut juga
telah menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
4. Hikmah Rujuk
Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa hikmah
yang akan mendatangkan kemashlahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan
dari manusia, juga memberikan kesempatan kepada suami untuk melakukan peninjauan
ulang dan berfikir kembali jika ada rasa penyesalan setelah tindakan menceraikan
istrinya, lalu hendak memperbaiki cara bergaul dengan istrinya.
Top Related