RESPON PERAWATAN PULPA VITAL PADA GIGI PERMANEN DEWASA
Oleh :
Fitri Yunita Batubara, drg
DEPARTEMEN ILMU KONSERVASI GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011
Universitas Sumatera Utara
RESPON PERAWATAN PULPA VITAL PADA GIGI PERMANEN DEWASA
PENDAHULUAN
Dalam praktik klinis, metode yang digunakan untuk mengevaluasi hasil
perawatan pulpa vital pada gigi permanen dan kriteria yang digunakan untuk
memisahkan antara perawatan yang berhasil dan gagal tetap tidak berubah selama
bertahun-tahun. Sedikit rasa nyeri saat disentuh atau nyeri dengan durasi singkat
selama beberapa minggu pertama setelah perawatan, tidak adanya rasa sakit
dinyatakan sebagai tanda keberhasilan perawatan.
Perubahan radiografis sebelum dan setelah perawatan paling sedikit
diperhatikan dalam diagnosis dan perawatan pulpa. Periodontitis apikal yang terlihat
lebih radiolusen, penebalan ligemen periodontal, dan disintegrasi lamina dura dapat
terlihat dari waktu ke waktu segera setelah pulpektomi vital. Perawatan diasumsikan
berhasil jika perubahan periapikal menghilang. Walaupun demikian, persistensi
peningkatan densitas tulang secara umum tidak dianggap sebagai kegagalan
perawatan. Setelah kaping pulpa, perawatan yang berhasil juga termasuk respon
positif pada tes elektrik atau termal.
1
Pada tulisan ini akan dibahas tentang respon perawatan pulpa vital pada gigi
permanen dewasa, yaitu: kaping pulpa, pulpotomi parsial dan pulpektomi vital.
1
Universitas Sumatera Utara
MEKANISME PENYEMBUHAN INJURI JARINGAN PULPA
Pulpa vital merespon kelainan dalam beberapa cara. Pembukaan atau
pengangkatan pulpa bagian atas secara bedah adalah prosedur yang bahkan dalam
keadaan sangat baik sekalipun dapat berakibat pada inflamasi sementara. Terbukanya
pulpa sebagai akibat karies atau gigi yang fraktur adalah keadaan klinis yang
membutuhkan perawatan optimal. Bukti eksperimental menyarankan bahwa
keterampilan, tingkat injuri, pemilihan instrumentasi, pemilihan bahan medikamen
dan asepsis memainkan peranan penting dalam perkembangan penanganan inflamasi
awal. Potensi penyembuhan dengan pembentukan jembatan dentin adalah baik
dengan pulpa yang tidak mengalami inflamasi.
Hal-hal yang terjadi setelah injuri dapat dibagi dalam fase hemostasis,
inflamasi, proliferasi dan remodelling. Meskipun demikian, penyembuhan inflamasi
adalah proses berkelanjutan di mana awal dan akhir tiap tahap tidak dapat ditentukan
dengan jenis dan bisa bertumpang tinding. Tahapan yang diamati dari reaksi awal
pulpa adalah yang terjadi ketika jaringan ikat terinflamasi. Kegagalan untuk
menghilangkan inflamasi setelah terjadinya injuri akan berakibat pada inflamasi
kronis tanpa penyembuhan dan jaringan pulpa akan memberi respon yang sama
dengan tidak adanya penyembuhan jaringan keras.
1
Awalnya, jaringan yang berdekatan dengan pulpa yang terbuka dicirikan
dengan banyaknya jaringan nekrotik, sel-sel inflamasi dan eritrosit ekstravasasi.
Cedera awal memicu eksudasi fibrinogen dan koagulasi darah dan respon akut yang
1,2
Universitas Sumatera Utara
didominasi oleh granulosit neutrofil. Kedua partikel dari bahan kaping dan sisa dentin
digeser ke dalam jaringan pulpa di bawahnya.
Trauma dan bakteri menstimulasi dilepasnya sitokin proinflamatori dalam
jaringan ikat. Perubahan vaskular dan infiltrasi sel inflamatori diaktivasi untuk
mengeliminasi molekul yang mengiritasi. Interaksi adhesi molekul antara leukosit
darah dan endotelium memungkinkan perpindahan dari dalam ke luar dinding
pembuluh sebagai respon sinyal kemotaksis. Komponen bakterial, seperti endotoksin
dan komponen dinding sel lainnya, aterlibat sebagai patogen pada inflamasi pulpa.
1
Host merespon terhadap antigen dengan produksi antibodi dan respons imun
diperantarai sel. Respon antibodi melibatkan produksi immunoglobin yang beredar di
tubuh yang terikat secara spesifik dengan antigen asing yang menginduksinya.
Respon imun diperantarai sel melibatkan dihasilkannya sel khusus yang bereaksi
dengan antigen asing di permukaan sel host, yaitu di lymph nodes. Mekanisme
pertahanan non-spesifik melawan bakteri dan organisme penyerang melepaskan
enzim dan metabolit toksik. Sistem komplemen adalah sistem protein multifaktorial
dan fungsi utamanya adalah aktivasi mekanisme pertahanan seluler, opsonisasi
partikel asing untuk fagositosis dan penghancuran sel target. Pelepasan metabolit
toksik menimbulkan dihasilkannya bagian yang sangat aktif, yaitu radikal oksigen,
halogen dan hypoclorous yang juga dapat merusak sel host dihasilkannya spesies
reaktif dari granulosit dan makrofag yang berakumulasi selama tahap inflamatori
adalah keadaan yang penting dalam keberhasilan pertahanan host.
1,2
Penyembuhan injuri pada jaringan pulpa telah dipelajari dalam hubungannya
dengan aplikasi kalsium hidroksida. Bahan-bahan yang mengandung kalsium
1
Universitas Sumatera Utara
hidroksida yang digunakan pertama sekali oleh Hermann pada tahun 1930 telah
digunakan dengan luas sejak saat itu. Efek kalsium hidroksida pada jaringan pulpa
yang terbuka telah diteliti selama beberapa dekade pada hewan percobaan dan juga
manusia. Aplikasi kalsium hidroksida pada jaringan pulpa sehat yang terbuka
menghasilkan ion hidroksida dengan efek bakterisidal, diikuti oleh kombinasi
nekrosis lisis dan koagulasi di permukaan injuri. Lapisan nekrotik ini membentuk
membran yang di bawahnya terjadi proses inflamatori dan reparatif. Mungkin sebagai
hasil dari pH kalisum hidroksida yang tinggi, efek bakterisidal dapat tercapai.
Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa kaping pulpa menggunakan berbagai
bahan, contohnya dengan pH yang tinggi, rendah, atau normal dapat diikuti dengan
stimulasi pembentukan jembatan dentin. Efek menguntungkan kalsium hidroksida
dinyatakan sebagai hasil dari efek baterisid dan injuri kimia yang dibatasi oleh zona
nekrosis, yang menimbulkan sedikit iritasi pada jaringan vital dan menstimulasi pulpa
untuk bertahan dan memperbaiki diri.
Kaping pulpa menggunakan kalsium hidroksida juga menginduksi apoptosis
pada pulpa di bawahnya. Apoptosis adalah mekanisme kematian sel non-inflamatori
yang terkontrol, di mana nekrosis menginduksi respons pro-inflamatori.
1-3
3,4
Keseimbangan aktivitas tersebut setelah kaping pulpa mungkin memiliki pengaruh
penting pada respons inflamatori selanjutnya. Beberapa jam setelah aplikasi kalsium
hidroksida pada jaringan pulpa, sel-sel inflamatori bermigrasi menuju jaringan
nekrotik, dan infiltrasi inflamatori berlangsung selama beberapa hari. Berbagai usaha
telah dilakukan untuk menemukan formula yang meminimalkan aksi pro-inflamatori
tersebut dan pada waktu yang sama menstimulasi pembentukan jembatan dentin.3
Universitas Sumatera Utara
KAPING PULPA DIREK DAN PULPOTOMI PARSIAL
Ketika demineralisasi karies pada dentin telah mencapai pulpa, biasanya
terlihat perubahan inflamatori yang parah sehubungan dengan tubulus dentin yang
terpengaruh (affected). Sekitar 95% keberhasilan setelah kaping pulpa direk dan
pulpotomi parsial pada molar remaja yang karies telah dilaporkan, bahkan pada kasus
dengan perubahan periapikal. Teorinya adalah bahwa dengan melaksanakan
pulpotomi parsial atau total, bagian pulpa yang paling superfisial, yang mungkin
ditandai dengan perubahan inflamatori dan infiltrasi bakteri dibuang melalui prosedur
tersebut dan oleh karena itu injuri akibat tindakan akan berada pada jaringan ikat
yang sehat dan reaktif. Dalam suatu penelitian retrospektif dinyatakan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam keberhasilan klinis antara prosedur
kaping yang dilakukan akibat terbukanya pulpa akibat preparasi kavitas atau
perforasi akibat ekskavasi dentin karies pada gigi tanpa nyeri preoperatif.
Tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dari kaping pada pasien muda dengan
jaringan pulpa yang cukup reaktif diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan
kaping jaringan pulpa pada pasien yang lebih tua di mana jaringan pulpa kaya
dengan serat tetapi sedikit mengandung sel dan pembuluh darah. Beberapa penelitian
mendukung sudut pandang ini, walaupun penelitian lain gagal memperlihatkan
korelasi negatif antara usia pulpa dan tingkat keberhasilan.
1,2
Yamamura (1985) cit. Bindslev PH, Lǿvschall H (2002) meringkaskan reaksi
pulpa terhadap kaping pulpa dengan kalsium hidroksida pada gigi anjing dalam
empat tahap : tahap eksudatif (1-5 hari), tahap proliferatif (3-7 hari), tahap
2
Universitas Sumatera Utara
pembentukan osteodentin (5-14 hari), dan tahap pembentukan dentin tubular (setelah
14 hari).
Eksudasi fibrin terjadi di bawah bahan kaping dalam jaringan pulpa selama
empat hari. Setelah 3-6 hari, infiltrasi inflamatori digantikan oleh migrasi jaringan
granulasi yang berasal dari bagian tengah pulpa. Jaringan granulasi tersusun
sepanjang permukaan injuri dan terutama terdiri atas fibrobas yang baru terbentuk
dan pambuluh darah kapiler yang berproliferasi dan tumbuh menjadi jaringan yang
rusak. Lapisan fibroblas bertambah ketebalannya di sekeliling lesi. Pembentukan
serat kolagen baru sepanjang jaringan nekrosis terdeteksi dari 4 hari setelah aplikasi
kalsium hidroksida murni. Sel yang dikelilingi oleh matriks baru, termasuk nodul
yang terkalsifikasi, ditemukan setelah 7 hari. Prespitasi inisial mineral dihubungkan
dengan deteksi vesikel matriks, yang mengindikasikan kemiripan yang dekat dengan
mineralisasi pada tulang. Mineral ditemukan berasal dari suplai darah. Setelah 11
hari, matriks baru dihubungkan dengan sel-sel kuboid dan beberapa sel dengan
diferensiasi yang menyerupai odontoblas. Setelah 14 hari, terlihat adanya susunan
yang menyerupai odontoblas. Setelah 1 bulan, jembatan dentin dapat dilihat di sekitar
daerah trauma yang menggambarkan permukaan defensif antara zona nekrotik dan
lapisan odontoblas yang baru. Evaluasi mikroskopik memperlihatkan 89% dari semua
jembatan dentin mengandung tunnel deffect.
1
Sekresi matriks dari sel yang baru dibentuk melibatkan adanya diskontinuitas
dalam struktur tubular dengan reduksi lanjutan pada permeabilitas dentin. Respon
non-spesifik menimbulkan deposisi matriks dentin yang ditutupi oleh sel-sel kuboid
atau poligonal yang menyerupai preodontoblas, dan inklusi sel yang menyerupai
1
Universitas Sumatera Utara
osteosit ditemukan pada matriks mineral padat yang disebut osteodentin. Di bawah
cedera pulpa, odontoblas postmitotik yang bertahan merespon dengan deposisi dentin
reaksioner sepanjang dinding dentin. Pada situasi sedemikian, terlihat bahwa matriks
dentin reaksioner dengan ketebalan tubular yang lebih sedikit daripada dentin
primer.
Dentinogensis reparatif menggambarkan tahapan yang rumit dari proses-
proses biologis. Rangkaian reaksi penyembuhan injuri terjadi secara simultan di
dalam jaringan pulpa, termasuk reaksi inflamatori vaskular dan seluler serta
pengambilan sel-sel yang kompeten. Interaksi sel-sel pulpa dengan sitokin dan
komponen matriks ekstraseluler selama berlangsungnya kompleks tahapan reaksi
penyembuhan injuri mempengaruhi potensi dentinogenik pulpa.
1,4
1,4
PULPEKTOMI
Riwayat nyeri spontan atau yang berlangsung lama akibat stimulus
mengindikasikan adanya perubahan inflamatori irreversibel dan meluas pada jaringan
pulpa dan perwatan yang lebih radikal harus dilakukan. Dalam istilah etiologi, infeksi
pulpa telah mencapai suatu level di mana eliminasinya tidak mungkin dilakukan
tanpa pembuangan seluruh jaringan pulpa.1
Pulpektomi vital diterima sebagai metode pilihan dibandingkan dengan
metode pulpektomi mortal yang sebelumnya lebih disukai, setelah beberapa
penelitian yang diterbitkan pada periode sekitar 1940-1970. Pulpektomi mortal telah
ditinggalkan karena beberapa alasan. Pertama, perawatan vital dipertimbangkan lebih
Universitas Sumatera Utara
dapat diterima secara biologis karena sulit untuk mengendalikan penyebaran
medikamen mumifikasi yang dari waktu ke waktu mengakibatkan nyeri yang serius
dan kehilangan tulang pendukung. Kedua, pulpektomi vital dapat dilakukan dalam
sekali kunjungan, sehingga mengurangi ketidaknyamanan bagi pasien.
Tujuan klinis pulpektomi vital adalah pengangkatan seluruh jaringan pulpa
hingga dekat ke apeks klinis, diikuti dengan pengisian yang dapat menahan bakteri,
biokompatibel dan stabil. Dengan perawatan ini, jaringan yang terinfeksi (infected)
dan juga non-infected serta tidak terinflamasi diambil sampai batas apikal di mana
permukaan injuri dapat dijaga minimal, jaringan pulpa sisa memiliki vaskularisasi
yang baik, dan kondisi penyembuhan optimal, memungkinkan seluruh perawatan
dilakukan dalam kondisi asepsis. Reaksi jaringan segera setelah ekstirpasi dan saluran
akar memperlihatkan reaksi inflamatori dalam sisa jaringan pulpa dengan resorpsi
dinding saluran. Setelah beberapa bulan, aposisi jaringan keras di atas garis resorpsi
dan hanya sedikit sel-sel inflamatori yang dapat terlihat dekat dengan pengisi saluran
akar pada kasus yang berhasil.
1,2
Pada kasus pulpitis vital, bagian apikal jaringan pulpa biasanya bebas bakteri,
tetapi penyimpangan prosedur asepsis selama perawatan endodontik dapat
memasukkan bakteri ke saluran akar, yang dapat membahayakan perawatan,
menyebabkan infeksi jaringan periapikal. Penelitian menyatakan indikasi kuat bahwa
tindakan asepsis yang tidak tepat selama perawatan pulpa vital dapat menyebabkan
reaksi inflamatori periapikal.
1
Faktor lain yang penting untuk keberhasilan perawatan pulpektomi
kelihatannya adalah jarak dari apeks anatomis ke ujung pengisi akar. Sehingga,
1,2
Universitas Sumatera Utara
penelitian telah memperlihatkan bahwa jarak dari apeks radiografis ke pengisi akar
melebihi 3 mm mengurangi tingkat keberhasilan dibandingkan dengan ujung bahan
pengisi yang hanya berjarak 0-3 mm dari apeks radiografis. Secara teoritis,
penempatan injuri ditujukan pada daerah yang dinamakan konstriksi apikal.
Meskipun demikian, keadaan asli tidak selalu sesuai dengan teori dan jika daerah
tersebut sulit dipastikan dengan sentuhan, jarak 1-2 mm dari apeks radiografis dapat
diterima. Tetapi harus dipertimbangkan bahwa pengukuran histologis dari pulpa sisa
seringkali lebih pendek daripada yang diperlihatkan radiografi, dan bahwa perubahan
inflamasi kronis dapat terjadi pada sisa pulpa walaupun tanpa gejala klinis dan
radiografis. Hal ini menekankan fakta bahwa kriteria klinis dan radiografis yang
secara normal diterima untuk evaluasi mungkin tidak menggambarkan situasi yang
sebenarnya.
Kelebihan bahan pengisi yang terdorong ke jaringan periapikal yang dari
radiografi terlihat mengalami inflamasi juga dapat berakibat pada penyembuhan yang
lebih lama dan inflamasi yang berkepanjangan, mungkin karena kombinasi reaksi
benda asing dan toksisitas bahan.
1,4
Beberapa penelitian memperlihatkan gambaran jaringan keras yang lebih
banyak setelah pengisian saluran akar dengan semen kalsium hidroksida
dibandingkan dengan bahan lain tetapi hanya pada keadaan yang jarang berupa
konstriksi apikal total dengan jaringan keras. Salah satu alasan mungkin bahwa
walaupun pekerjaan dilakukan dengan sangat hati-hati pada pelaksanaan pulpektomi,
teknik yang baik pada perawatan injuri yang dapat dilakukan pada bagian koronal
pulpa tidak mungkin dilakukan pada daerah apikal.
4,5
1,3,5
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN
Pulpa vital merespon kelainan yang terjadi dalam beberapa cara. Pembukaan
atau pengangkatan pulpa bagian atas secara bedah adalah prosedur yang bahkan
dalam keadaan sangat baik sekalipun dapat berakibat pada inflamasi sementara.
Terbukanya pulpa sebagai akibat karies atau gigi yang fraktur adalah keadaan klinis
yang membutuhkan perawatan optimal. Sering kali reaksi inflamatori di koronal atau
apikal pulpa bisa tetap terjadi setelah perawatan walaupun tanpa adanya kelainan
secara klinis atau radiografis. Fakta ini penting untuk tetap diingat sewaktu perawatan
diputuskan, prognosis didiskusikan dan hasil perawatan dievaluasi.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Bindslev PH, Lǿvschall H. Treatment outcome of vital pulp treatment.
Endodontic Topics 2002;2:24–34.
2. Tronstad L. Clinical Endodontics. 2nd
3. Olsson H, Petersson K , Rohlin M. Formation of a hard tissue barrier after pulp
capping s in humans. A systematic review. International Endodontic Journal 2006;
39: 429–442.
revised ed. New York: Thieme, 2003:84-
103.
4. Løvschall H, Mosekilde L. Apoptosis. cellular and clinical aspects. Nord Med
1997; 112: 133–137.
5. Tziafas D, Belibasakis G, Veis A, Papadimitriou S. Dentin regeneration in vital
pulp therapy: design principles. Adv Dent Res August 2001;15:96-100.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara