BAB I
PENDAHULUAN
Paru adalah organ tubuh yang berperan dalam sistem pernafasan yaitu proses
pengambilan oksigen (O2) dari udara bebas saat menarik nafas, melalui bronkus
sampai dinding alveoli O2 akan ditransfer ke pembuluh darah yang didalamnya
mengalir antara lain sel-sel darah merah untuk dibawa ke sel-sel berbagai organ tubuh
lain sebagai energi dalam proses metabolisme. Kelainan pada perkembangan paru
dapat terjadi pada mekanisme embriologi melalui proses genetik, molekuler, dan
varietas faktor pertumbuhan (Thurlbeck and Churg, 1995).
Agenesis paru kongenital/aplasia merupakan kasus yang sangat jarang. Lebih
dari 50% pasien agenesis paru meninggal pada usia 5 tahun pertama kehidupan.
Beberapa individual menunjukkan gejala asimptomatik selama hidupnya. Pada kasus
agenesis unilateral, tidak ditemukan cavitas pleura pada sisi yang terkena. Jantung
dan paru yang normal akan memenuhi seluruh rongga toraks, serta terjadi pergeseran
mediastinum dan rotasi jantung (Kumar et al., 2008).
Hipoplasia paru merupakan kelainan yang ditandai dengan perkembangan yang
tidak lengkap dari jaringan paru. Hipoplasia paru merupakan persoalan yang serius
pada periode perinatal dengan tingkat kematian yang signifikan. Lebih dari 50% dari
kasus ini mengalami malformasi jantung, GI, genitourinari, dan skeletal (Chin, 2012).
Dalam kasus ketuban pecah dini pada usia kehamilan 25 minggu, kejadian
hipoplasia paru dilaporkan berkisar 9-28 % (13% pada kebanyakan studi ) dengan
tingkat kematian 71-95 % dan meningkat bila keadaan ketuban pecah dini terjadi
pada usia gestasi kurang dari 25 minggu dan juga pada keadaan oligohidramnion
lebih dari 2 minggu (Moretti and Papoff, 2012). Agenesis atau hipoplasia paru
bilateral merupakan keadaan yang tidak memungkinkan untuk hidup sedangkan
agenesis atau hipoplasia unilateral memiliki gejala asimptomatik dan mengakibatkan
hanya sepertiga kasus saja yang terdiagnosis selama hidup. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan thoraks X-ray atau dideteksi saat autopsy (Behrman et al., 1999;
Rajshekar et al., 1997).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Paru
2.1.1 Rongga Toraks
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa
pembuluh dasah besar memisahkan paru tersebut (Gambar 2.1). Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronkial,
bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan
membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar daripada paru kiri dan dibagi menjadi
tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus (Price, 2006).
Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan
segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri
dibagi menjadi 9 segmen (Gambar 2.1). Suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung
kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura
parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viselaris). Di antara pleura
parietaslis dan viselaris terdapat suatu lapusan tipis cairan pleura yang berfungsi
untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan dan untuk
mencegah pemisahan toraks dan paru, yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca
objek yang saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeser satu
dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan (Price, 2006).
2
3
Gambar 2.1 Rongga toraks dan segmen bronkopulmonar Sumber: Price, 2006
2.1.2 Saluran Pernafasan
Saluran penghantar udara yang membawa udara kedalam paru adalah hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus (Gambar 2.2). Saluran pernafasan dari
hiduung sampai bronkiolus dilapisi membran mukosa bersilia. Ketika masuk ringga
hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembapkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama dari mukosa respurasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia,
dan bersel goblet (Gambar 2.2 B). Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang
disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh
rambut-rambut yang terdapat dalam lubangg hidung, sedangkan partikel yang halus
akan terjerat dalam laipsan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke
posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior didalam sistem pernapasan bagian
bawah menuju faring. Dari sini pertikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar.
Lapisan mukus memberikan air untuk kelembapan, dan banyaknya jaringan
pembuluh darah di bawahnya akan menyuplai panas ke udara inspirasi. Jadi udara
inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga udara yang mencapai faring
hampir bebas debu, bersuhu mendeketai suhu tubuh, dan kelembapannya mencapai
100% (Price, 2006).
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-ototdan mengandung pita
suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glostis) bermuara ke dalam
trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glotis
merupakan pemisah antara saluran nafas pernafasan bagian atas dan bawah.
Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya
sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring
keatas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk daun
pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke
dalam esofagus. Jika benda asing masih mampu melampaui glotis, fungsi batuk yang
dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran
pernfasan bagian bawah (Price, 2006).
4
Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang
panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus dianalogkan
dengan sebuah pohon, oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Permukaan
posterior trakea agak pipih dibandingkan dengan sekelilingnya karena cincin tulang
rawan di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di depan esofagus. Tempat
trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina.
Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan brronkospasme dan batuk
berat jika dirangsang (Price, 2006).
5
Gambar 2.2 Sistem pernafasan. Inset A, Asinus, atau unit fungsional paru. Inset B, membrane mukosa bersilia.
Sumber: Price, 2006
Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris (Gambar 2.2). Bronkus utama
kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan
merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus
utama kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan dengan bronkus utama kanan
dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam (Price, 2006).
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris
dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus
yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu
saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus
tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga
ukurannya dapat berubah (Price, 2006).
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru, yaitu tempat pertukaran gas (Gambar 2.2 A). Asinus terdiri dari (1) bronkiolus
respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada
dindingnya; (2) duktus alveolaris terminalis, yaitu struktur akhir paru. Asinus atau
kadang-kadang disebut dengan lobulus primer memiliki garis tengah kira-kira 0,5
sampai 1,0 cm. terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus
alveolaris terminalis. Dalam setiap paru terdapat 300 juta alveolus (Price, 2006).
Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: pneumosit tipe I, merupakan lapisan tipis
yang menyebar dan menutupi lebih dari 90% daerah permukaan, dan pneumosit tipe
II, yang bertanggung jawab terhadap sekresi sufkatan. Gambar 2.3 memperlihatkan
struktur mikroskopik sebuah duktus alveolaris dan alveolus-alveolus berbentuk
poligonal yang mengitarinya (Price, 2006).
6
Gambar 2.3 Perubahan structural pada sakus alveolaris terminalis (potongan melintang) selama siklus respirasi.
Sumber: Price, 2006
2.2 Agenesis Paru
2.2.1 Definisi
Agenesis paru adalah suatu keadaan tidak terbentuknya satu atau kedua sisi
paru termasuk bronkus, bronkiolus, dan parenkim paru. Kelainan ini terjadi karena
perkembangan yang terhenti sehingga sama sekali tidak ditemukan bekas brankial
atau vaskular dan jaringan parenkim (Sjamsuhidajat, 2010).
Schneider (1912) mengklasifikasikan agenesis menjadi tiga kelompok, dan
dimodifikasi oleh Boyden (1955), berdasarkan tahap perkembangan paru-paru,
agenesis paru diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
a. Tipe 1 (Agenesis) – bronkus dan paru tidak terbentuk sama sekali serta tidak
adanya suplai pembuluh darah.
b. Tipe 2 (Aplasia) – cabang trakea dan bronkus terbentuk dengan parenkim
paru yang tidak lengkap.
c. Tipe 3 (Hipoplasia) – cabang brongkus, parenkim paru dan pembuluh darah
terbentuk sempurna namun ukurannya sangat kecil (Kisku et al., 2008).
7
Gambar 2.4 A. Normal lungs. B. Pulmonary aplasia, with complete absence of both bronchial and alveolar tissue. C and D, Pulmonary dysplasia. Some bronchial elements are present, but there are no alveoli. Enlargement of the sound lung and the resulting displacement of the heart and mediastinum are not shown.Sumber : Chin, 2012
Moretti and Papoff (2012) mengklasifikasikan agenesis paru berdasarkan pada
seberapa luas daerah yang tidak mempunyai jaringan bronkopulmonal, berikut
kategori klasifikasinya:
a. Agenesis paru bilateral,
b. Agenesis paru unilateral,
1) Bronkus dan paru pada 1 sisi tidak terbentuk sama sekali serta tidak
terdapat suplai pembuluh darah
2) Bronkus utama terbentuk, namun parenkim paru tidak terbentuk
(aplasia)
3) Beberapa cabang bronkus, parenkim paru, dan pembuluh darah
terbentuk (hipoplasia)
c. Agenesis lobaris
8
Gambar 2.5 A to C. Pulmonary hypoplasia. Tree conditions of different embryogenesis that all result in a smaller than normal lung. A, Alveolar tissue not fungctional. B, Reduced size of one lung. C, Hypoplasia resulting from lobar dysplasia. The accompanying mediastinal shift is not shown. D to F. Pulmonary ectoplasia. Part or all of one lung is attached to the esophagus and usually is supplied by a systemic artery. D, Bronchoesophageal fistula. E, Sequestration of right lower lobe. F, Sequestration of lower lobe and dysplasia of upper lobe.Sumber : Chin, 2012
Dari klasifikasi diatas, angka kejadian agenesis lobaris lebih sering ditemukan
daripada agenesis paru unilateral total dan agenesis kiri lebih sering terjadi terutama
pada lobus atas dan tengah (Moretti and Papoff, 2012)
Agenesis paru bilateral atau hipoplasia yang bermakna merupakan keadaan
yang tidak memungkinkan untuk hidup. Hampir 50% agenesis paru disertai dengan
anensefali, hernia diafragmatika, kelainan saluran kencing, kelainan jempol,
deformitas spina torakalis dan kerangka iga (distrofi toraks), anomali ginjal
(oligohidroamnion), malformasi jantung sisi kanan dan efusi pleura kongenital.
Hipoplasia bilateral ditemukan pada 10% dari semua autopsi neonatus (30% dari
bayi-bayi yang umurnya kurang dari 1 minggu); hipoplasia ini memainkan peran
penting pada kematian, banyak penderita dengan keadaan yang telah dituliskan
sebelumnya (Behrman et al., 1999; Kisku et al., 2008).
Agenesis atau hipoplasia unilateral dapat hanya mempunyai sedikit gejala dan
tanda-tanda nonspesifik, mengakibatkan hanya sepertiga kasus yang terdiagnosis
selama hidup. Lesi sisi kiri lebih lazim ditemukan. Pada agenesis unilateral, seluruh
parenkim paru dan struktur pendukung serta saluran pernafasan tidak ada dibawah
jajaran karina. Anak dengan hipoplasia paru unilateral biasanya mempunyai satu paru
kecil yang tidak dapat dikembangkan. Pergeseran mediastinum yang diakibatkannya,
serta mortalitas terkait, lebih besar bila hipoplasia atau agenesis meliputi paru kanan
(Behrman et al., 1999).
2.2.2 Epidemiologi
Angka kejadian yang sebenarnya adalah tidak diketahui, namun dari etiologi
(dalam urutan frekuensi) di Amerika Serikat dilaporkan bahwa dalam kasus ketuban
pecah dini pada usia kehamilan 15-28 minggu, kejadian agenesis paru berkisar 9-28%
(13% pada kebanyakan studi). Agenesis paru juga terjadi pada hernia diafragma yang
diperkirakan 0,08-0,45 kasus per 1000 kelahiran (Chin, 2012).
Prevalensi kasus agenesis berkisar 0,0034-0,0097 dan berdasarkan autopsi
didapatkan 1 dari 15.000 orang (Kurjak et al., 2007).
9
Dalam studi yang berbeda, dilaporkan tingkat kematian pada pasien dengan
agenesis paru adalah 71-95% selama periode perinatal. Kondisi berikut meningkatkan
risiko kematian:
Ketuban pecah dini pada usia kehamilan kurang dari 25 minggu
Oligohidramnion berat (indeks cairan ketuban <4) selama lebih dari 2 minggu
Persalinan prematur (Chin, 2012).
2.2.3 Etiologi
Tidak ada etiologi yang pasti pada agenesis paru namun proses ini
kemungkinan terjadi oleh karena faktor genetika, teratogenik dan faktor mekanik
(Yetim et al, 2011).
Hipoplasia paru dapat bersifat primer ataupun sekunder, dan yang sering terjadi
adalah hipoplasia paru sekunder. Penyebab hipoplasia paru primer belum
diidentifikasi. Berdasarkan penelitian eksperimental menunjukkan bahwa adanya
kekurangan dalam faktor transkripsi tertentu atau faktor pertumbuhan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan paru (Chin, 2012).
Penyebab hipoplasia paru sekunder meliputi:
1. Volume toraks janin Kecil
CDH (Congenital Diafragma Hernia)
CAM (Congenital Adenomatoid Malformation)
Efusi pleura dengan fetal hydrops
Malformasi thoraks
Achondroplasia
Osteogenesis imperfecta
Thoracic neuroblastomas
Hydrothorax
Massa pada abdomen
2. Prolonged oligohydramnios
Fetal renal agenesis
Urinary tract obstruction
10
Bilateral renal dysplasia
Bilateral cystic kidneys
Prolonged rupture of membranes
3. Ketuban pecah dini
4. Oligohydramnios yang berat (amniotic fluid index < 4)
5. Fase latent memanjang
6. Decreased fetal breathing
Lesi SSP
Lesi dari sumsum tulang belakang, batang otak, dan saraf phrenicus
Penyakit neuromuskular (misalnya dystrophy myotonic, atrofi otot
tulang belakang)
Arthrogryposis multiplex congenital
Obat-obatan yang menganggu kehamilan
7. Penyakit jantung bawaan dengan aliran darah paru yang buruk
Tetralogi of Fallot
Hipoplasia jantung kanan
Hipoplasia arteri paru
Scimitar syndrome, menyebabkan hipoplasia paru sisi kanan
unilateral
Trisomi 18, 13, dan 21 (Chin, 2012).
2.2.4 Patofisiologi
Pada pengembangan paru yang normal, ruang fisik di dada janin harus
memadai, dan cairan ketuban harus dibawa ke paru-paru oleh gerakan pernapasan
janin yang pada akhirnya menyebabkan distensi paru, dan paru mengembang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi volume dan komposisi cairan ketuban, adalah
sebagai berikut:
1. Volume dan tekanan
11
Volume cairan di paru ditentukan oleh cairan yang disekresi di epitel paru
(4-5mL/kg/jam) dan cairan yang mengalir dari trakea ke dalam faring janin.
Tekanan dalam trakea janin biasanya sekitar 2 mmHg lebih tinggi daripada dalam
cairan ketuban.
Setiap perubahan dalam volume dan tekanan cairan ketuban dalam trakea dan paru
selama tahap canalicular perkembangan paru janin pada usia kehamilan 15-28
minggu dapat menyebabkan hipoplasia.
2. Komposisi cairan paru-paru
Pengembangan paru diatur oleh beberapa faktor transkripsi, seperti faktor
transkripsi tiroid 1 (TTF - 1), kumpulan inti hepatosit, dan faktor pertumbuhan.
Adanya faktor pertumbuhan dalam cairan ketuban menunjukkan bahwa
pengembangan paru bukan hanya karena tekanan. Sinyal dari faktor-faktor
pertumbuhan yang terintegrasi dengan pengaruh lingkungan, seperti volume cairan
paru-paru dan hyperoxia, menyebabkan proliferasi sel dan diferensiasi. Faktor
pertumbuhan dihasilkan oleh jaringan mesenchymal dan terdapat dalam cairan
ketuban.
3. Peran ginjal dalam pertumbuhan paru-paru
Pengembangan paru dimulai selama midtrimester dengan percabangan
morfogenesis dan postnatal dengan perkembangan alveoli. Urin janin merupakan
komponen penting dari cairan ketuban selama akhir kehamilan dan memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan paru-paru. Selama perkembangan janin, ginjal
juga merupakan sumber utama prolin. Prolin membantu dalam pembentukan
kolagen dan mesenkim di paru, sehingga menjelaskan hipoplasia paru berat jika
terdapat agenesis ginjal dan displasia. Hipoplasia paru mengurangi berat paru,
jumlah alveolar, generasi lebih sedikit dari saluran udara dan hipoplasia dari arteri
pulmonalis (Chin, 2012).
2.2.5 Manifestasi Klinis
12
a. Anamnesis
Pada pasien dengan hipoplasia paru, gambaran gejala klinis bervariasi tergantung
pada sejauh mana hipoplasia dan anomali lainnya (Berger et al., 2012). Riwayat
lainnya termasuk gerakan janin yang tidak baik selama kehamilan, kebocoran
cairan ketuban juga oligohidramnion. Pada neonatus mungkin asimtomatik atau
dengan gangguan pernapasan berat juga apnea yang memerlukan dukungan
ventilasi yang adekuat. Pada anak-anak yang lebih tua, dyspnea dan sianosis dapat
muncul pada aktivitas, atau riwayat infeksi pernafasan berulang (Morokuma et
al., 2010).
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dada bisa tampak normal atau kecil dengan atau tanpa scoliosis.
Pergeseran mediastinal terlihat ke sisi yang sakit, dan terdengar redup pada
perkusi. Pada hipoplasia sisi kanan, jantung bergeser ke kanan, yang dapat
menyebabkan diagnosis keliru sebagai dekstrokardia. Suara nafas dapat menurun
atau tidak ada di sisi hipoplasia, terutama dasar paru dan daerah axilla
(Morokuma et al., 2010).
Pneumotoraks spontan atau yang berhubungan dengan ventilasi mekanis dapat
terjadi. Cacat kompresi akibat oligohidramnion berkepanjangan, kontraktur, dan
arthrogryposis dapat muncul. Potter fasies (hypertelorism, epicanthus,
retrognathia, nasal bridge tertekan, letak telinga rendah) menunjukkan hipoplasia
paru-paru yang terkait dengan cacat ginjal (Morokuma et al., 2010).
Jika etiologi hipoplasia adalah penyakit neuromuskuler, pasien juga memiliki
wajah miopati dengan mulut berbentuk V, kelemahan otot, dan gangguan
pertumbuhan. Massa perut, seperti penyakit ginjal kistik dan kandung kemih
membesar harus dicari. Anomali terkait kardiovaskular, GI (misalnya fistula
trakeo, anus imperforata), dan sistem genitourinari, serta anomali skeletal dari
tulang-tulang vertebra, costae, dan tungkai atas, juga dapat ditemukan pada
pemeriksaan (Morokuma et al., 2010).
2.2.6 Gambaran Radiologi
13
a. Radiography
14
Gambar 2.6 Chest X-ray of a neonate with agenesis of the right lung. Black arrows show the right lobar bronchi ending blindly. Mediastinum shifts to be right side
Sumber: Chin, 2012
Gambar 2.7 A chest radiograph of a 14-year-old child with primary pulmonary hypoplasia of the right side causing secondary scoliosis
Sumber: Chin, 2012
Gambar 2.8 Hypoplasia of the left side Sumber : Chin, 2012
Hipoplasia paru biasanya unilateral tetapi kadang-kadang terlihat bilateral.
Volume dada berkurang pada sisi yang sakit, paru-paru yang sakit lebih kecil,
dan mediastinum bergeser ke sisi paru-paru hipoplasia (lihat gambar 2.6, 2.8).
Ada juga pergeseran mediastinal ipsilateral yang meningkat selama inspirasi
karena peningkatan volume paru-paru kontralateral. Selain itu, sering didapatkan
tulang rusuk cacat, paru-paru lebih lusen dari biasanya (homogen opacity juga
dapat dilihat), dan hilus kecil karena pembuluh arteri paru hipoplasia atau
aplastik. Hal lain yang terkait kelainan ini adalah anomali vertebral (Chin, 2012).
b. Computerized Tomography Scan
Pada CT scan thorax dapat diperhatikan penurunan volume pada sisi yang sakit,
kompensasi overinflation dari sisi yang berlawanan, pergeseran mediastinum
ipsilateral, hipoplasia saluran udara, dan kelainan tulang rusuk (lihat gambar di
bawah).
15
Gambar 2.9 Lateral view with primary pulmonary hypoplasia of the right lung showing one dome of the diaphragm. Sumber: Chin, 2012
Gambar 2.10 Computed tomography pemindaian menunjukkan hipoplasiaparu di sisi kiri. Sumber: Chin, 2012
Gambar 2.11 Computed tomography scan (mediastinum window) menunjukkan hipoplasia paru kiri. Sumber: Chin, 2012
16
Dengan teknologi CT scanner multisection, CT angiography dapat dilakukan
dalam beberapa menit dengan bahan kontras intravena dan gambar dapat
direkonstruksi dalam berbagai bidang. Penelitian ini dilakukan secara noninvasive
untuk menilai pembuluh darah paru, yang dibandingkan dengan angiografi
konvensional. Perhatikan pembuluh arteri pada paru hipoplasia, pembuluh darah
yang menyimpang, serta kelainan terkait jantung, scimitar sindrom, kelainan
diafragma, kelainan gastrointestinal dan kelainan urogenital (Chin, 2012).
17
Gambar 2.12 Contrast-enchanced computed tomographic image of the cest obtained at age 2 month showing the mediastinal shift and the absence of left pulmonary tissue. Sumber: Chin, 2012
Gambar 2.13CT scan of chest showing volume loss with ipsilateral shift of heart and mediastnal contents and the lower lobe bronchus on the left side. The left upper lobe bronchus is indistinct. Sumber: Chin, 2012
c. Magnetic Resonance Imaging
Saat ini MRI janin semakin sering digunakan untuk memprediksi adanya
hipoplasia paru (Duncan et al., 1999). Faktor-faktor yang digunakan untuk
memprediksi hipoplasia paru adalah (1) volume paru janin, (2) volume paru-paru
relatif, dan (3) rasio volume paru-paru berat badan (yang merupakan rasio yang
paling banyak digunakan) (Ruano et al., 2006; Cannie et al., 2006).
Volume paru janin diukur dengan memperoleh bagian tipis dari paru-paru. Luas
penampang dihitung dengan menggambar garis besar paru-paru dan
memperkirakan daerah di dalamnya. Volume dari setiap bagian diperoleh dengan
mengalikan luas daerah dengan ketebalan bagian. Untuk menentukan volume
paru-paru relatif, persentase volume paru dihitung relatif terhadap volume paru
yang diharapkan untuk usia kehamilan pasien. Parameter ini tidak berlaku pada
janin makrosomia atau down sindrom (Ruano et al., 2006; Cannie et al., 2006).
Kombinasi MRI dan USG juga dapat digunakan untuk memprediksi
perkembangan hipoplasia paru. Tanigaki et al menggunakan rasio volume paru
janin diukur dengan menggunakan MRI dan berat badan janin diperkirakan
melalui ultrasonografi untuk tujuan ini. Pada bayi postnatal, MR angiography
merupakan metode yang dapat diandalkan untuk menilai pembuluh darah paru,
yang dapat hipoplasia dan abnormal, tetapi tidak benar-benar ada (tidak seperti
agenesis) (Tanigaki et al., 2004).
d. Ultrasonography
Sebagaimana dibahas di bagian MRI, ultrasonografi antenatal dapat digunakan
untuk memprediksi perkembangan hipoplasia paru. Fitur yang berguna dalam
memprediksi hipoplasia paru adalah (1) daerah paru-paru, (2) rasio luas paru-paru
ke daerah dada, (3) rasio thoraks ke lingkar perut, dan (4) volume paru, yang
dapat diukur dengan menggunakan banyak teknik, termasuk USG 3-dimensi
(Osada et al., 2002).
Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai faktor yang berkontribusi terhadap
hipoplasia paru, seperti oligohidramnion, agenesis ginjal, obstruksi ginjal, kista
18
Gambar 2.14 Gambaran vaskularisasi dan jantung pada agenesis paru. Sumber : Zhang et al,2012
ginjal, displasia ginjal, hernia diafragma, massa di thoraks dan perut, dan efusi
pleura. Malformasi kongenital terkait juga dapat terlihat (Osada et al., 2002;
Vintzileos et al., 1989; Gerards et al., 2008; Gorincou et al., 2007; Gerards et al.,
2007).
Tingkat kepercayaan
Visualisasi langsung dari hipoplasia mungkin dengan teknik yang tepat dan
ultrasonografi terlatih. Anomali terkait yang berkontribusi terhadap
pengembangan hipoplasia paru, juga dapat dideteksi (Osada et al., 2002).
Gambar 2.15 Gambaran pembuluh darah pada hipoplasia paru (Gabarre et al., 2005)
19
e. Nuclear Imaging
Scan perfusi diperoleh dengan menggunakan mikrosfer albumin dapat
menunjukkan cacat akibat penurunan vaskularisasi paru. Jenis scanning bukan
investigasi penting dalam hipoplasia paru. Namun, pencitraan nuklir ini dapat
digunakan untuk membedakan Swyer-James syndrome (unilateral diperoleh
hyperlucent paru akibat obliteratif bronchiolitis / konstriktif) dan gangguan arteri
paru proksimal, yang dapat memiliki penampilan radiografi yang sama. Dalam
Swyer-James sindrom, scan perfusi normal, tapi ada obstruksi ekspirasi
dipandang sebagai cacat mengisi scan ventilasi. Resolusi tinggi CT scan saja
biasanya cukup untuk membuat diagnosis. Dalam gangguan arteri paru proksimal,
ada tidak lengkap serapan perfusi scan, tapi ventilasi scan normal (Chin, 2012).
f. Angiography
Di masa lalu, angiografi umumnya digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis
hipoplasia paru. Temuan termasuk paten dan arteri paru hipoplasia (tidak seperti
di agenesis, di mana tidak ada) dan hubungan dengan arteri pulmonalis proksimal
terganggu dengan cabang intraparenchymal paten yang beranastomosis dengan
pembuluh darah kolateral sistemik. Penyimpangan dan terkait sindrom pedang
juga dapat dideteksi. Dengan munculnya CT angiography dan magnetic resonance
angiography, angiografi konvensional tidak lagi diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis (Chin, 2012).
Tingkat kepercayaan
Meskipun angiografi dulunya sangat berguna dalam mendiagnosis status vaskular
pada hipoplasia paru, sekarang berkurang karena CT dan MR angiography adalah
non-invasif dan sama-sama sensitive (Chin, 2012).
20
2.2.7 Penatalaksanaan
a. Medical Care
Pada janin dengan hipoplasia paru, sebelum pengiriman dan tergantung pada lesi
yang mendasarinya, beberapa intervensi dapat dilakukan untuk meningkatkan
volume paru-paru janin dan meningkatkan pengembangan paru-paru.
- Ketuban pecah dini tanpa tanda-tanda gawat janin atau infeksi intrauterin
dilakukan secara konservatif dengan atau tanpa tokolitik, antibiotik, dan
steroid dalam berbagai kombinasi. Upaya telah dilakukan untuk
mengurangi cacat dalam membran dengan transcervically menggunakan
“lem fibrin" Namun, teknik ini membutuhkan cerclage awal,
meningkatkan risiko infeksi, dan mempengaruhi keberhasilan.
- Amnioinfusions Serial semakin digunakan dalam kasus-kasus ketuban
pecah dini pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu.
Prosedur ini, jika berhasil telah terbukti mengurangi risiko hipoplasia paru
dan secara signifikan meningkatkan hasil pada perinatal.
Setelah dilahirkan, bayi membutuhkan dukungan pernapasan, yang bisa berkisar
dari memasok oksigen tambahan untuk ventilasi mekanis, termasuk ventilasi
frekuensi tinggi dan oksigenasi membran extracorporeal (ECMO). Strategi
ventilasi telah berbelok ke arah penggunaan hypercapnia permisif, terutama
dalam kasus hernia diafragma kongenital (CDH), dengan tingkat kelangsungan
hidup meningkat dalam beberapa laporan. Ventilasi cair parsial juga telah
digunakan, tanpa keuntungan yang pasti.
- ECMO terutama diindikasikan pada bayi dengan hernia diafragma yang
terkait dengan hipoplasia paru dan ketika hipoplasia ringan dipersulit oleh
hipertensi pulmonal persisten. Sebuah respon menurun menjadi oksida
nitrat diyakini terjadi dengan hipertensi paru terkait dengan hipoplasia.
- Pemberian surfaktan dari 4 mL/kg di hipoplasia paru sekunder CDH telah
terbukti manjur dalam meningkatkan oksigenasi, mengurangi kebutuhan
untuk ECMO, dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup jika
21
profilaksis diberikan pada saat lahir. Penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa surfaktan secara signifikan meningkatkan mekanik
paru dan pertukaran gas dan yang menyimpan jaringan paru-paru dari B
protein surfaktan dan fosfatidilkolin yang rendah pada hernia diafragma.
- Dialisis untuk mendukung fungsi ginjal disediakan dalam beberapa kasus,
tetapi harus dimulai hanya setelah pertimbangan yang hati-hati. Pasien
dengan gangguan ginjal kronis yang parah dengan hipoplasia paru
memiliki prognosis buruk, hasil akhir sulit untuk diperbaiki, bahkan
dengan dukungan ginjal dan pernafasan optimal.
- Beberapa studi menunjukkan bahwa pengendalian infeksi yang ketat dapat
meningkatkan hasil neonatus dengan CDH tanpa perlu ECMO (Morikawa
et al., 2008).
CDH telah dikaitkan dengan kerusakan kronis paru serta penyakit kardiovaskular,
penyakit GI, gagal tumbuh, cacat dan kelainan muskuloskeletal dan neurokognitif
(Peetsold et al., 2009).
Manajemen dari salah satu kelainan paru-paru cystic kongenital seperti
malformasi adenomatoid kistik (CAM) perlu mempertimbangkan perbaikan
spontan dan resolusi kemungkinan jangka panjang di banyak lesi ini (Fitzgerald,
2007).
- Manajemen mereka harus individual dengan lesi yang sangat besar
mengakibatkan hipoplasia paru-paru atau hidrops janin dengan
kemungkinan operasi janin yang diperlukan (Nicolai, 2009)
- Dalam kebanyakan kasus lesi paru janin, melanjutkan observasi dengan
terapi pascakelahiran (Wilson, 2008).
b. Surgical Care
Pada pasien dengan CAM berat yang memiliki prognosis yang sangat buruk,
operasi janin mungkin di pusat-pusat tertentu. Sebuah tim multidisiplin dengan
keahlian dalam operasi janin harus mengevaluasi baik janin dan ibu hamil.
Sebuah indikasi utama untuk operasi janin adalah adanya hidrops dan kehamilan
22
kurang dari 32 minggu. Thoracocentesis dapat memungkinkan drainase cairan
dari CAM, tapi cairan biasanya cepat terkumpul kembali (Chin, 2012).
Percutaneous janin oklusi trakea endoluminal (Feto) dengan balon, dimasukkan
pada usia kehamilan 26-28 minggu, dapat dipertimbangkan untuk bayi CDH
terisolasi dengan prognosis buruk. Prosedur ini ditemukan minimal invasif, dapat
mengurangi perubahan hipoplasia paru, dan dapat meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup dalam kasus ini sangat dipilih. Selain itu, saluran udara dapat
dikembalikan sebelum kelahiran (Chin, 2012).
- Pada hewan percobaan, oklusi trakea janin (TO) menginduksi
pertumbuhan paru-paru dan pematangan morfologi. Fetoscopic TO
dengan klip dapat menyebabkan pertumbuhan paru-paru dipercepat dan
mencegah hipoplasia paru. Namun, satu studi menunjukkan bahwa janin
TO digunakan untuk mengobati CDH parah menghasilkan peningkatan
sederhana dalam fungsi paru neonatal tetapi signifikansi klinis
dipertanyakan
- Setelah melahirkan, operasi untuk memperbaiki hernia diafragma, untuk
memperbaiki CAM, dan untuk dekompresi efusi pleura mungkin
menyelamatkan jiwa dan kuratif dalam beberapa kasus.
Manajemen dari salah satu kelainan paru-paru cystic bawaan seperti CAM perlu
mempertimbangkan perbaikan spontan dan resolusi kemungkinan yang terjadi
untuk jangka panjang. Risiko kanker selanjutnya dan tingkat kompensasi
pertumbuhan paru-paru juga tidak didefinisikan dengan baik (Chin, 2012).
2.2.8 Prognosis
Lebih dari 50% pasien agenesis paru meninggal pada usia 5 tahun pertama
kehidupan. Hipoplasia sisi kanan memiliki prognosis yang lebih buruk daripada
hipoplasia sisi kiri, mungkin karena hilangnya massa paru kanan lebih besar dan
pergeseran mediastinum lebih parah. Sebuah volume paru minimal 45%
dibandingkan dengan subyek kontrol usia yang sama telah terbukti menjadi prediktor
bertahan hidup pada neonatus dengan hernia diafragma diobati dengan membran
23
extracorporeal oksigenasi (ECMO). Demikian pula, kapasitas residual fungsional dari
12,3 mL/kg, sekitar satu setengah kapasitas normal, telah dianggap sebagai prediktor
bertahan hidup di hipoplasia paru dengan hernia diafragma kongenital (CDH) (Chin,
2012).
24
BAB III
KESIMPULAN
Agenesis paru adalah suatu keadaan tidak terbentuknya satu atau kedua sisi
paru termasuk bronkus, bronkiolus, dan parenkim paru. Berdasarkan tahap
perkembangan paru-paru, agenesis paru diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
Tipe 1 (Agenesis)
Tipe 2 (Aplasia)
Tipe 3 (Hipoplasia)
Agenesis paru bilateral atau hipoplasia yang bermakna merupakan keadaan
yang tidak memungkinkan untuk hidup Dalam sebuah studi, dilaporkan tingkat
kematian pada pasien dengan hipoplasia paru adalah 71-95% selama periode
perinatal. Hipoplasia paru biasanya unilateral tetapi kadang-kadang terlihat bilateral.
Volume dada berkurang pada sisi yang sakit, paru-paru yang sakit lebih kecil, dan
mediastinum bergeser ke sisi paru-paru hipoplasia. Pada CT scan thorax dapat
diperhatikan penurunan volume pada sisi yang sakit, kompensasi overinflation dari
sisi yang berlawanan, pergeseran mediastinum ipsilateral, hipoplasia saluran udara,
dan kelainan tulang rusuk Pada MRI janin digunakan untuk memprediksi adanya
hipoplasia paru. Faktor-faktor yang digunakan untuk prediksi adalah (1) volume paru
janin, (2) volume paru-paru relatif, dan (3) rasio volume paru-paru berat badan (yang
merupakan rasio yang paling banyak digunakan).
Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai faktor yang berkontribusi
terhadap hipoplasia paru, seperti oligohidramnion, agenesis ginjal, obstruksi ginjal,
kista ginjal, displasia ginjal, hernia diafragma, massa di thoraks dan perut, dan efusi
pleura. Malformasi kongenital terkait juga dapat terlihat. Dengan munculnya CT
angiography dan magnetic resonance angiography, angiografi konvensional tidak lagi
diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Prognosis pada hipoplasia sisi kanan lebih buruk daripada hipoplasia sisi kiri,
disebabkan oleh hilangnya massa paru kanan lebih besar dan pergeseran mediastinum
lebih parah.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Berger RM, Beghetti M, Humpl T, Raskob GE, Ivy DD, Jing ZC, et al. Clinical features of paediatric pulmonary hypertension: a registry study. Lancet. Feb 11 2012;379(9815):537-46.
2. Morokuma S, Anami A, Tsukimori K, Fukushima K, Wake N. Abnormal fetal movements, micrognathia and pulmonary hypoplasia: a case report. Abnormal fetal movements. BMC Pregnancy Childbirth. Aug 17 2010;10:46.
3. Osada H, Iitsuka Y, Masuda K, et al. Application of lung volume measurement by three-dimensional ultrasonography for clinical assessment of fetal lung development. J Ultrasound Med. Aug 2002;21(8):841-7.
4. Vintzileos AM, Campbell WA, Rodis JF, et al. Comparison of six different ultrasonographic methods for predicting lethal fetal pulmonary hypoplasia. Am J Obstet Gynecol. Sep 1989;161(3):606-12.
5. Duncan KR, Gowland PA, Moore RJ, et al. Assessment of fetal lung growth in utero with echo-planar MR imaging. Radiology. Jan 1999;210(1):197-200.
6. Ruano R, Martinovic J, Aubry MC, Dumez Y, Benachi A. Predicting pulmonary hypoplasia using the sonographic fetal lung volume to body weight ratio--how precise and accurate is it?. Ultrasound Obstet Gynecol. Dec 2006;28(7):958-62.
7. Cannie M, Jani JC, De Keyzer F, Devlieger R, Van Schoubroeck D, Witters I, et al. Fetal body volume: use at MR imaging to quantify relative lung volume in fetuses suspected of having pulmonary hypoplasia.Radiology. Dec 2006;241(3):847-53.
8. Tanigaki S, Miyakoshi K, Tanaka M, et al. Pulmonary hypoplasia: prediction with use of ratio of MR imaging-measured fetal lung volume to US-estimated fetal body weight. Radiology. Sep 2004;232(3):767-72.
9. Gerards FA, Twisk JW, Fetter WP, Wijnaendts LC, van Vugt JM. Predicting pulmonary hypoplasia with 2- or 3-dimensional ultrasonography in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol. Jan 2008;198(1):140.e1-6.
10. Gorincour G, Eurin D, Avni FE. Prenatal prediction of pulmonary hypoplasia: US and MR imaging working together. Radiology. Nov 2007;245(2):608-9.
11. Gerards FA, Twisk JW, Fetter WP, Wijnaendts LC, Van Vugt JM. Two- or three-dimensional ultrasonography to predict pulmonary hypoplasia in pregnancies complicated by preterm premature rupture of the membranes. Prenat Diagn. Mar 2007;27(3):216-21.
26
12. Morikawa N, Kuroda T, Honna T, et al. The impact of strict infection control on survival rate of prenatally diagnosed isolated congenital diaphragmatic hernia. Pediatr Surg Int. Oct 2008;24(10):1105-9.
13. Peetsold MG, Heij HA, Kneepkens CM, Nagelkerke AF, Huisman J, Gemke RJ. The long-term follow-up of patients with a congenital diaphragmatic hernia: a broad spectrum of morbidity. Pediatr Surg Int. Jan 2009;25(1):1-17.
14. Fitzgerald DA. Congenital cyst adenomatoid malformations: resect some and observe all?. Paediatr Respir Rev. Mar 2007;8(1):67-76.
15. Nicolai T. Management of the upper airway and congenital cystic lung diseases in neonates. Semin Fetal Neonatal Med. Feb 2009;14(1):56-60.
16. Wilson RD. In utero therapy for fetal thoracic abnormalities. Prenat Diagn. Jul 2008;28(7):619-25.
17. Fitzgerald DA. Congenital cyst adenomatoid malformations: resect some and observe all?. Paediatr Respir Rev. Mar 2007;8(1):67-76.
18. Price, S.A and Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi ke-6. EGC. Jakarta.
19. Behrman, R.E; Kliegman, R.M and Arvin, A.M. 1999. Ilmu Kesehatan Anak : Nelson. Vol 2. EGC. Jakarta
20. Chin, T.W. 2012. Pediatric Pulmonary Hypoplasia . [online] Medscape J. http://emedicine.medscape.com/article/1005696-overview [diakses November 2012].
21. Kisku, K.H; Panigrahi, M.K; Sudhakar, R; Nagarajan, A; Ravikumar, R and Daniel, JR. 2008. Agenesis of Lung – A Report of Two Cases. Lung India, 25(1): 28–30.
22. Thurlbeck, W.M and Churg, A.M. 1995. Pathology of the Lung. Thieme Medical Publisher. New York.
23. Kumar et al., 2008. Right Lung Agenesis. African Journal of Pediatric Surgery, 5(2), 102-104.
24. Rajshekar, B; Gomber,S and Khrisnan, A. 1997. Pulmonary Agenesis. Indian Pediatric, 34, 534-538.
25. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Ed.3. Jakarta. EGC
26. Gabarre et al., 2005. Isolated Unilateral Pulmonary Agenesis. J Ultrasound Med, 24:865-868.
27