PEMERIKSAAN FISIK MORBUS HANSEN
Pervinder Singh, S.Ked
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
I. PENDAHULUAN
` Morbus Hansen (MH) atau kusta adalah penyakit infeksi kronik
granulomatosa dan sekuele yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
terutama mengenai saraf perifer dan kulit, namun boleh mengenai organ atau
jaringan lain seperti mata, mukosa traktus respiratorius atas, otot, tulang, sendi
dan testis.1 Gejala klinis dari penyakit MH meliputi lesi kulit hipopigmentasi
atau eritem, mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu dan rasa nyeri
pada persarafan.5 Gejala tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
Tanda cardinal MH merupakan anestesia pada daerah yang terkena, penebalan
saraf tepi, lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa), dan terdapat bakteri tahan
asam (BTA).6
Menurut WHO, jumlah penderita MH baru di dunia pada tahun
2012 adalah sekitar 232.857 orang dan di Indonesia 22.390 orang. Jumlah kasus
penderita MH di Kota Palembang yang terdata oleh Dinas Kesehatan Kota
Palembang tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 sebanyak 170 kasus dengan
penemuan penderita kasus tertinggi tahun 2011 dengan 43 kasus dan terendah
dengan jumlah 7 kasus.4 Penyakit MH merupakan masalah kesehatan masyarakat
di dunia.2 Kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru mengenai penyakit
MH dan deformitas yang ditimbulkan menyebabkan ketakutan bagi masyarakat.
1
Saraf tepi merupakan fokus utama infeksi penyakit MH dimana
pemeriksaan saraf tepi juga termasuk dalam salah satu tanda kardinal MH serta
banyaknya pasien yang terkadang datang setelah mengalami gangguan pada saraf
tepi yang tanpa disadari sebelumnya dan telah mengalami kecacatan. Pemeriksaan
saraf tepi pada pasien MH yang tepat diharapakan akan banyak membantu dengan
cepat menegakan diagnosis pasien MH yang memiliki manifestasi klinis yang
masih meragukan atau belum memenuhi tanda kardinal MH sehingga dapat segera
mendapat penatalaksanaan yang adekuat guna menurunkan angka morbiditas dan
kecacatan yang terjadi.
Oleh itu, pada refrat ini akan dibahas mengenai pemeriksaan fisik pada
MH yang bertujuan agar dapat lebih memahami tentang cara pemeriksaan fisik
pada pasien MH.
II PEMBAHASAN
Definisi
Morbus hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri ini bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Etiologi
Bakteri penyebab MH adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Bakteri tersebut sampai sekarang
tidak dapat dibiakkan dalam media artifisial. Myocobacterium Leprae berbentuk
basil dengan ukuran 3-8 Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-
positif.
2
Gambar 1 : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen
Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. Tuberkuloid
indefinite adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang
stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa
polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe
borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.
Borderline lepromatous adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. Borderline tuberculoid dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang
BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
3
yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Zona
spektrum MH menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.
Tabel 1: Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Morbus Hansen PB adalah MH dengan Batang Tahan Asam (BTA)
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut
klasifikasi Ridley-Jopling. Sedangkan MH MB adalah semua penderita tipe
BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya degan BTA positif.
Tabel 2: Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
Pausibasiler Multibasiler
Lesi kulit ( makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/
eritema
- Distribusi yang tidak
simetris
- Hilangnya sensasi
yang jelas
- >5 lesi
- Distribusi yang
simetris
- Hilangnya sensasi
kurang jelas
Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena)
- Hanya satu cabang
saraf
- Banyak cabang
saraf
4
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
PEMERIKSAAN FISIK MORBUS HANSEN
Berbagai masalah bisa timbul pada pasien MH, keluarga ataupun masyarakat
sekitar pasien. Bila ada keraguan pada diagnosis, pasien harus berada dibawah
pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas mendukung bahwa penyakit ini
benar-benar merupakan suatu penyakit MH. Diagnosis MH dan klasifikasi harus dilihat
secara menyeluruh dari klinis, bakteriologis, immunologis dan histopatologis namun
untuk diagnosis MH di lapangan cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis
(pemeriksaan fisik dan saraf tepi).3
Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang dilakukan dimulai dengan anamnesis. Pada pasien MH
ditanya tentang keluhan pasien berobat, kelainan kulit, adanya rasa mati rasa atau
gangguan pada fungsi saraf. Selain itu, riwayat kontak lama dengan pasien MH yang
lain, latar belakang keluarga dan keadaan social ekonomi juga ditanyain pada pasien.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi : Inspeksi dimulai pada saat berinteraksi dengan penderita dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih lanjut. Ruangan
membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar
petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh. Dengan
penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga
kerusakan kulit.
: Kelainan kulit, nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus khususnya
pada tangan dan kaki.
: Kelainan saraf
5
PEMERIKSAAN SARAF TEPI
Pemeriksaan saraf tepi, yang diperlukan ialah untuk memerhatikan apakah
terjadi pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Beberapa saraf yang diperiksa
yaitu Nervus(n)ulnaris, Nervus (n)medianus, Nervus(n).peroneus, Nervus(n).aurikularis
magnus, Nervus(n).fasialis, Nervus(n).poplitea lateralis dan Nervus(n).tibialis posterior.
Pada pemeriksaan saraf tepi juga dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan
Nervus Ulnaris
Lokasi saraf di belakang siku. Pemeriksa berhadapan dengan pasien, untuk
memeriksa saraf ulnaris kiri, tangan kiri pemeriksa bersalaman dengan tangan kiri
pasien, siku kiri pasien sedikit dibengkokan; raba dibawah siku penderita dengan tangan
kanan pemeriksa, jari tangan kanan memeriksa saraf di sekitar belakang siku dari arah
luar lengan kedalam. Pemeriksa akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi
median (dalam) pada sulkus ulnaris. Raba pembesaran saraf dengan ujung jari, tidak
terlalu kuat karena pasien akan merasa kesakitan, lakukan sebaliknya untuk memeriksa
saraf ulnaris lengan kanan
Nervus Medianus
Untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan tangan penderita dengan
telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengah-tengah pergelangan.
Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya nyeri tekan tetap dapat
terditeksi.8
Nervus Peroneus
Untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita duduk di kursi dan
kemudian pemeriksa duduk atau berlutut di depannya. Gunakan tangan kiri pemeriksa
untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan lekukan sekitar tulang di
bawah lutut. Gunakan tangan kanan pemeriksa untuk memeriksa saraf peroneus kiri.
Letak saraf ini tepat dibawah lutut.8,11
6
Nervus Aurikularis Magnus
Putar kepala pasien ke satu sisi, maka saraf akan teregang melewati
sternomastoid.10 Pasien disuruh menoleh kesamping semaksimal mungkin, maka saraf
yang terlihat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga sudah bisa terlihat bila
saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan
menemukan jaringan seperti kabel atau kawat, jangan lupa membandingkan antara yang
kiri dan yang kanan.
Fungsi Saraf Sensorik
Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada telapak tangan, daerah yang
disarafi oleh n. ulnaris dan n. medianus pada daerah telapak kaki untuk daerah yang
disarafi oleh n. tibialis posterior.8,9,10
1.) Tes raba
Alat : Kapas yang dilancipkan
Cara : Dengan kapas dilancipkan menyinggung kulit. Bercak-bercak dikulit
harus diperiksa ditengahnya dan jangan dipinggirnya. Perlihatkan
kepada pasien apa yang akan dilakukan. Sentuh dengan lembut kulit
pasien. Minta pada pasien untuk menunjuk kulit yang disentuh.
Kemudian minta pasien untuk menutup mata sehingga tidak melihat
yang dilakukan pemeriksa. Sentuh dengan lembut bagian tengah lesi,
minta pasien menunjuk tempat yang disentuh. Ulangi lagi pada kulit
normal dan pada bercak yang sama. Jika bercak tidak terasa tanda ada
gangguan sensorik (sensibilitas).
2.) Tes nyeri
Alat : Jarum atau pena
7
Cara : Diperiksa dengan memakai jarum atau pena. Pemeriksa menusuk kulit
pasien dengan ujung jarum/pena yang tajam dan dengan pangkal
tungkainya yang tumpul. Pasien dalam keadaan sambil menutup mata
harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang mana yang
tumpul.
Fungsi Saraf Motorik
Gangguan fungsi motorik diperiksa dengan menggunakan Voluntary Muscle Test
(VMT)11
1. Nervus Fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola mata
Kerusakan mata pada pasien MH dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata (madarosis), juga
dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh
rusaknya n. fasialis yang dapat membuat paralisis n. orbikularis
palpebrum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara
sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Pasien diminta untuk menutup mata, adanya gangguan pada n.
orbikularis palpebrum mengakibatkan mata pasien tetap terbuka
(lagoftalmus).
2. Nervus Ulnaris dengan memeriksa kekuatan Musculus abductor pollicis minimi
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien.
Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah
pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya, tarulah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas
tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan
untuk mengetahui kekuatan ototnya.
3. Nervus medianus dengan memeriksa kekuatan Musculus abductor pollicis brevis
8
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta
pasien mengangkat ibu jarinya keatas. Perhatikan ibu jari pasien apakah
benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat
melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian
telapaknya.
4. Nervus radialis dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakan
pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba
menahan gerakan tersebut.
5. Nervus peroneus dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki
baik pada daerah eversi maupun inverse
Periksa fungsi saraf peroneus communis dengan meminta pasien
melakukan gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien
untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan
mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
6. Nervus tibialis posterior dengan memeriksa kekuatan otot truceps surae, tibialis
posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus. 8,9,10
Fungsi Saraf Otonom
Fungsi otonom diperiksa dengan memegang tangan atau kaki penderita untuk
menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi kelenjar keringat). Pemeriksaan
bersama dengan gerak olahraga. 8,9,10
Merupakan tes anhidrosis (gangguan berkeringat pada lesi MH):
1. Tes pensil tinta (tes Gunawan)
Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada tengah lesi akan lebih tebal bila dibandingkan dengan
9
kulit normal, atau pada kulit normal tidak ada bekas tinta (bekas tinta
menyebar), sedang pada lesi akan nampak jelas.
2. Tes histamin (histamin subkutan)
Teteskan 0.001 % histamine acid phosphate pada daerah lesi dan teteskan juga
pada daerah kulit normal. Kulit ditusuk menggunakan jarum pada tiap tetesan
dalam waktu yang bersamaan, intensitas dan luas flare akan tampak setelah 10
menit kemudian. Pada kulit gelap tes ini mungkin sulit untuk dilakukan.10
3. Tes Pilokarpin
Daerah kulit pada lesi dan perbatasannya disuntik 0.1ml pilokarpin 0.06 % dan
juga pada daerah kulit normal. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit
normal berkeringat sedangkan daerah anhidrosis tetap kering (tampak kulit
normal berkeringat, sebaliknya pada lesi MH tidak berkeringat).10
GAMBARAN LESI MORBUS HANSEN
Tabel 3: Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)
SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk
Jumlah
Makula, Infiltrat
Difus, Papul, Nodul
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Makula, Plakat,
Papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Plakat, Dome
Shaped (Kubah),
Punched Out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas ada
Asimetris
10
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Simetris
Halus Berkilat
Tidak Jelas
Biasanya Tak Jelas
Hampir simetris
Halus Berkilat
Agak Jelas
Tak Jelas
Agak Kasar/berkilat
Agak Jelas
Lebih Jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Banyak (ada globus)
Banyak (ada globus)
Banyak
Biasanya Negatif
Agak Banyak
Negatif
Tes
Lepromin
Negatif Negatif Biasanya negatif
Tabel 4: Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT TT BT I
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Makula saja, makula
dibatasi infiltrat
Satu, dapat beberapa
asimetris
Makula dibatasi
infiltrat
Beberapa, atau
satu dengan satelit
Masih asimetris
Hanya makula
Satu atau beberapa
variasi
11
Permukaan
Batas
Anestesia
kering bersisik
Jelas
Biasanya Tak Jelas
Kering bersisik
Jelas
Tak Jelas
halus agak berkilat
jelas/tidak
tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Negatif
Banyak (ada globus)
Negatif/positif 1
Biasanya Negatif
Biasanya negatif
Negatif
Tes
Lepromin
Positif kuat (3+) Positif lemah Positi lemah sampai
negatif
KESIMPULAN
Morbus Hansen (MH) atau kusta adalah penyakit infeksi kronik granulomatosa
dan sekuele yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae terutama mengenai saraf
perifer dan kulit, namun dapat juga mengenai organ atau jaringan lain seperti mata,
mukosa traktus respiratorius atas, otot, tulang, sendi dan testis. Diagnosis penyakit MH
dibangun dengan ditemukannya tiga tanda kardinal, yaitu : lesi kulit yang mati rasa,
penebalan saraf tepi, dan terdapat bakteri tahan asam (BTA).
Pemeriksaan pada pasien MH dimulai dengan anamnesis dan dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik yang mencakup pemeriksaan saraf tepi termasuk fungsi saraf
sensorik, fungsi saraf motorik, dan fungsi saraf otonom.
Pemeriksaan saraf tepi yang termasuk dalam salah satu tanda cardinal MH
sangat membantu penegakan diagnosis yang cepat dan tepat sehingga pasien yang
terdiagnosis MH dapat segera mendapat penatalaksanaan yang dapat menurunkan angka
morbiditas dan kecacatan yang terjadi.
12
REFERENSI
1.) Fitzpatrick TB, dkk. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine, 8th
edition. New York: McForaw-Hill Companies.
2.) Prasad PVS. All About Leprosy. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher,
2005.
3.) Kosasih A, Wisni IM, Sjamsoe-Daili E, Mendali SL. Kusta. Dalam: Djuanda A,
Hamza M, Aisah S, editor, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ketiga.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. Hal.73-88.
4.) Dinas Kesehatan Kota Palembang: Profil Kesehatan Kota Palembang Tahun
2012, (Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, 2013).
13
5.) Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Nail and
Griffiths Christopher (editor). Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Vol. 2.
Wiley Blackwell, 2010: 29.1-32.19.
6.) Rook’s textbook of Dermatology, seventh edition, Chapter 29 Leprosy
7.) Daili, dkk. 2003. Kusta. UI PRES. Jakarta.
8.) Djuanda A., Menaldi SL., Wisesa TW., dan Ashadi LN. (1997). Kusta :
9.) Prof Soenarto. 2012. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri
10.) Sjamsoe-Daili, Emmy, dkk. 2003. Kusta Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Hal 22-23
11.) Putz R, Pabts R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobota: Tabel Otot, Sendi, dan
Saraf. Edisi 22. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
14