REFLEKSI KASUS
CONGESTIVE HEART FAILURE e.c
HIPERTENSI KRONIS
Penyusun :
M. Rizki Darmawan M, S.Ked
(0918011060)
Pembimbing :
dr. Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F
KEPANITERAAN KLINIK
KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK PROPINSI LAMPUNG
2014
REFLEKSI KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Nama Dokter Muda/NPM : M. Rizki Darmawan M / 0918011060
Stase : Kedokteran Forensik dan Medikolegal
A. Identitas Pasien
Nama / Inisial : Tn. W
Umur : 62 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Diagnosis/ kasus : Congestive Heart Failuire (CHF) NYHA II e.c
Hipertension Heart Disease (HHD)
B. Jenis Refleksi
a. Aspek Keilmuan
b. Aspek Kaidah bioetik
C. Form uraian
1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap
pasien/kasus yang diambil)
Tn. W, laki-laki, 62 tahun, datang ke Puskesmas Karang Anyar pada
tanggal 26 April 2014 dengan tujuan untuk kontrol penyakit jantung
yang dialaminya. Penyakit jantung telah diderita oleh pasien selama
12 tahun dan rutin kontrol ke puskesmas setiap satu bulan sekali.
Saat ini tidak ada keluhan yang dirasakan mengenai penyakitnya.
Adapun keluhan yang pernah dialaminya adalah sesak nafas.
Keluhan ini akan muncul dan semakin memberat apabila pasien
melakukan aktivitas berat.
Riwayat merokok selama tiga puluh tahun sebelum mengalami
penyakit jantung. Riwayat penyakit dahulu, pasien menyatakan
menderita penyakit darah tinggi sebelum didiagnosa oleh dokter
menderita penyakit jantung, namun pasien tidak rutin berobat dan
tetap merokok. Beberapa tahun kemudian pasien sering mengalami
sesak nafas terutama jika setelah melakukan aktivitas berat hingga
mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Keluhan terseut berkurang
setelah pasien rutin kontrol dan minum obat yang diberikan oleh
dokter setiap bulan.
Data Klinis
Pemeriksaan Fisik :
Keadaaan umum: tampak sakit ringan; suhu: 37,6 oC; tekanan darah:
180/100 mmHg; frek. nadi: 90 x/menit; frek. nafas: 23 x/menit; berat
badan: 50 kg; tinggi badan: 170 cm; status gizi: normoweight.
Status generalis : kepala, telinga, hidung, mulut, leher, paru, jantung
dan semua dalam batas normal.
Status lokalis :
Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, cekung (+/+)
Bibir dalam batas normal.
Leher : JVP 5 + 3 mmHg
Thoraks (Cor)
I : Ictus cordis terlihat pada 3 tiga jari ke kiri
ICS V linea midclavicularis sinistra.
P : Ictus cordis teraba pada 3 jari ke kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra.
P : Batas jantung kiri melebar
A : BJ I/II +/+ reguler, murmur (-) gallop(-)
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium (26 April 2014)
Hb : 11,5
Ht : 34,5
Leukosit : 8000
Kolesterol : 138
Diagnosa pasien ini adalah CHF e.c Hipertensi kronis. Pasien ini
diberi pengobatan Captopril 2x25 mg, Furosemid 2x40 mg, ISDN
1x10 mg.
2. Latar belakang/alasan ketertarikan pemilihan kasus
Menurut American Heart Association, Gagal jantung merupakan
sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak
sanggup memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik
jaringan.
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah
satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1%
dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75
tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau
lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang yang
didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika
Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada
sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih umum
di antara Amerika Afrika dari kulit putih. Hal ini menunjukkan
adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.
Hasil pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SIRS, Sistem
Informasi Rumah Sakit) di Indonesia pada tahun 2007 menunjukan
bahwa gagal jantung merupakan kasus ketiga terbanyak dari seluruh
penyakit jantung dengan jumlah kasus baru kunjungan rawat jalan
sebanyak 34.438 orang dengan proporsi 9,88% dan kunjungan rawat
inap sebanyak 18.585 orang dengan proporsi 18,23% sedangkan
Case Fatality Rate (CFR) 13.420 per 100.000.
Data di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita menunjukan peningkatan
penderita gagal jantung yaitu dari 30 pasien perhari pada tahun 1999,
meningkat menjadi 600 orang per hari pada tahun 2000. Menurut
survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukan
bahwa ada 100 per 100.000 penduduk di Indonesia yang mengalami
gagal jantung. Jumlah tersebut meningkat tajam pada tahun 2000
menjadi 3000 per 100.000 penduduk.
Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif
akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi mayarakat
global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun
kedepan angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi
medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor risiko utama
yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu
adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun
biopsikososial.
Berdasarkan hal tersebut, kasus ini penulis angkat sebagai salah satu
bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal
penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori
pengobatan yang rasional.
3. Penatalaksanaan Kasus Seharusnya
Penatalaksanaan pada gagal jantung menurut AHA 2013 dikelompokan
berdasarkan gejala dan kelainan struktur jantung, yaitu :
Klasifikas Keterangan
i
Resiko Tinggi Gagal Jantung
STAGE A Resiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa kelainan struktur
jantung ataupun gejala gagal jantung.
STAGE B Terdapat kelainan struktur jantung tetapi tanpa tanda atau
gejala gagal jantung.
Gagal Jantung
STAGE C Terdapat kelainan struktur jantung disertai gejala gagal
jantung sebeleumnya atau masih berlangsung saat ini.
STAGE D Gagal jantung refrakter.
Berdasarkan klasifikasi diatas, maka pasien ini termasuk dalam
kelompok stage c yaitu pasien gagal jantung dengan adanya kelainan
struktur jantung disertai gejala gagal jantung yang masih berlangsung
sampai saat ini. Tujuan penatalaksanaan pada pasien gagal jantung
disertai dengan adanya penuruanan fraksi ejeksi pada stage C
adalah mengontrol gejala, edukasi pasien, mencegah perawatan di
rumah sakit dan mencegah mortalitas. Adapun obat-obatan yang rutin
yang dianjurkan pada kelompok pasien stage c dibedakan menjadi dua
kategori pasien yaitu :
1. Gagal jantung tidak disertai penurunan fraksi ejeksi
2. Gagal jantung disertai penurunan fraksi ejeksi
Fraksi ejeksi merupakan indikator klinis yang dianggap telah umum
dipakai untuk menilai fungsi ventrikel kiri. Pengukuran fraksi ejeksi
dapat dilakukan dengan menggunakan angiografi dan radiografi
ventrikulografi akan tetapi biaya pemeriksaan tersebut cukup mahal
dan merupakan tindakan invasif yang memiliki resiko tinggi. Menurut
Eagle dalam Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 3,
membuktikan adanya korelasi yang kuat antara kardiomegali, gambaran
hipertensi arteri pulmonalis, denyut apeks ventrikel kiri yang lama dan
bunyi jantung III dengan penurunan fraksi ejeksi. Pada pasien ini
ditemukan adanya kardiomegali sehingga dapat diduga pasien ini
mengalami penurunan fraksi ejeksi. Adapun rekomendasi obat yang
rutin digunakan untuk pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi
ejeksi adalah adalah diuretik, ACE-Inhibitor dan ARB, Beta Blocker
dan antagonis aldosteron.
Pemberian furosemid pada CHF sebagai diuretik. Dosis oral furosemid
yang dianjurkan adalah 0,5-1,0 mg/KgBB/hari atau 20-40 mg satu atau
dua kali sehari dengan dosis maksimum 600 mg per hari.
Pemberian ACE-Inhibitor perlu diperhatikan oleh seorang dokter
terutama pada pasien dengan tekanan darah sistolik <80 mmHg,
terdapat peningkatan kreatinin serum >3mg/dl, stenosis arteri renalis
bilateral, atau peningkatan kadar kalium darah >5,0 mEq/L.
Pemberian digoxin sebagai golongan inotropik positif dapat
dipertimbangkan pada tahap awal terapi untuk memperbaiki
kemampuan jantung dalam memompakan darah serta mengontrol laju
respon ventrikel. Pemberian digoxin memiki peranan penting pada
kasus gagal jantung yang memiliki irama sinus normal. Adapun dosis
digoxin yang dianjurkan pada pasien ini adalah 0,125-1,25 mg per hari.
Antagonis aldosteron seperti spironolakton direkomendasikan oleh
AHA dalam penatalaksanaan kasus CHF. Obat ini diberikan untuk
meretensi kalium agar tetap berada di dalam darah selama pemberian
diuretik lain seperti furosemid yang boros kalium.
4. Penatalaksanaan Kasus saat waktu tersebut
Pada pasien ini diberikan pengobatan Captopril 2x25 mg, Furosemid
2x40 mg, ISDN 1x10 mg. Pemberian captopril 2x12,5mg. Captopril
merupakan golongan ACE-Inhibitor. Dalam pemberian ACE-Inhibitor,
AHA merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaaan fungsi ginjal
dan kadar kalium darah pada satu atau dua minggu awal terapi serta
secara berkala pada penggunaan selanjutnya (AHA, 2013). Pada pasien
ini tidak ada kontraindikasi pemberian ACE-Inhibitor sehingga
pemberian captopril sebagai ACE-Inhibitor sudah tepat dan sesuai
indikasi, namun pemantauan berkala terhadap pasien ini tidak
dilakukan.
Pasien ini diberikan pengobatan Isosorbid dinitrat (ISDN) 2x10 mg.
Pemberian ISDN pada pasien ini kurang tepat. Menurut AHA 2013,
pemberian ISDN tidak dianjurkan pada pasien gagal jantung yang
sebelumnya menggunakan terapi antagonis neurohumoral standard dan
tidak juga dianjurkan sebagai terapi subtitusi pada penggunaan ACE-
Inhibitor dan ARB yang toleransi terhadap terapi obat-obatan tersebut
tanpa penyulit.
5. Refleksi Aspek Kaidah Bioetik
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di
bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro,
masa kini dan masa mendatang. Dalam bioetik dikenal empat kaidah
bioetik yaitu beneficence, non malaficence, autonomy dan justice.
Pada kasus ini sanagt erat kaitannya dengan kaidah non malaficence.
Non-maleficence bermaksud tidak merugikan adalah berdasarkan
prinsip Primum non nocere yang bermaksud above all do no harm atau
yang terpenting tidak merugikan. Ini adalah prinsip dasar yang diambil
dari tradisi Hipokratik. Asas non-malificence ialah kita berkewajiban
untuk tidak mencelakakan. Kerugian yang harus dihindar terutama
adalah kerugian fisik atau bisa meliputi juga kerugian terhadap
kepentingan seseorang. Metode tradisional untuk memeriksa boleh
tidak adanya resiko atau efek-efek yang merugikan adalah prinsip
double effect. Prinsip double effect ini harus memenuhi empat syarat.
Pertama, apa yang mau kita lakukan tidak boleh bersifat tidak baik dari
segi moral. Kedua, kerugian yang sedang kita pertimbangkan itu tidak
boleh menjadi sarana untuk mencapai efek yang baik. Ketiga, efek yang
tidak baik atau merugikan itu tidak boleh dimaksudkan. Dan yang
keempat, harus ada alasan proposional untuk melakukan perbuatannya,
bagaimanapun akibat perbuatan itu. Kewajiban dokter untuk menganut
ini berdasarkan hal seperti pasien dalam keadaan sangat darurat atau
beresiko hilangnya sesuatu yang penting, dokter sanggup mencegah
bahaya atau kehilangan tersebut, tindakan dokter tadi efektif, dan
bermanfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter.
Jika dikaitkan dengan kasus ini maka seorang dokter tidak boleh
melakukan suatu tindakan yang merugikan bagi pasien. Pemberian obat
yang rational merupakan hak pasien agar pasien tidak dirugikan,
sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terjadinya pelanggaran
kaidah bioetik aspek non maleficence.
6. Langkah anda jika mengalami kasus serupa
Jika saya dalam sebagai dokter di puskesmas Karang Anyar, saya akan
memberikan pengobatan yang sesuai dengan pedoman penatalaksanaan
yang telah ditetapkan baik oleh kolegium spesialis jantung nasional
maupun internasional seperti guideline yang direkomendasikan oleh
AHA dan konsultasi dengan spesialis penyakit jantung. Kasus ini
memang telah dikembalikan ke puskesmas oleh dokter spesialis jantung
yang menangani pasien di RSAM provinsi lampung. Dokter di
puskesmas telah mendapatkan resep yang direkomendasikan dokter di
RSAM untuk diberikan kepada pasien setiap bulannya. Jika saya berada
diposisi tersebut maka saya akan konsultasi ke dokter spesialis setempat
jika ditemukan adanya pengobatan yang kurang rasional. Adapun obat
yang akan saya berikan pada pasien ini adalah Captopril 2x12,5 mg,
furosemid 2x20 mg, digoxin 0,125 mg.
Pemberian captopril sebagai ACE-Inhibitor pada pasien gagal jantung
direkomendasikan oleh AHA dengan Level of Evidence A. ACE-
Inhibitor harus diberikan pada semua pasien gagal jantung, kecuali
terdapat kontraindikasi dimana ACE-Inhibitor digunakan bersamaan
dengan Beta Bloker.
Furosemid digunakan sebagai diuretik pada pasien CHF. Pemberian
diuretik sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan yang ada dari
tubuh sehingga alirah darah balik ke jantung (preload) menurun.
Pemberian digoxin perlu diberikan pada pasien ini. Menurut pedoman
penatalaksanaan gagal jantung AHA 2013, pemberian digoxin dapat
memperbaiki gejala serta toleransi terhadap aktivitas fisik pada pasien
dengan gagal jantung ringan sampai berat. Selain itu, pemberian
digoxin selama dua sampai lima tahun tidak menunjukan adanya
mortalitas dan menurunkan angka kematian serta perawatan di rumah
sakit pada pasien gagal jantung kelas fungsional NYHA II-IV.
7. Sikap Anda dalam berkolaborasi dengan Konsulen, Senior,
sejawat, pasien dan keluarga Pasien.
a. Konsulen
Kasus ini memang telah dikembalikan ke puskesmas oleh dokter
spesialis jantung yang menangani pasien di RSAM provinsi
lampung. Dokter di puskesmas telah mendapatkan resep yang
direkomendasikan dokter di RSAM untuk diberikan kepada
pasien setiap bulannya, namun pada karena pada saat itu tidak
ada spesialis dan dokter umum setempat menyarankan
pemberian resep sepert obat yang dikonsumsi sebelumnya, maka
penulis tetap melanjutkan pengobatan rutin tersebut.
b. Sejawat
Panuilis bekerjasama dengan sejawat lain untuk pemantauan
dalam setiap mengobati pasien tersebut. Hal ini dikarenakan
pasien rutin mengambil obat satu bulan sekali di puskesmas,
sehingga perlu adanya catatan khusus bagi pasien ini.
c. Pasien
Penulis melakukan pemantauan berkala terhadap pasien tersebut.
Follow up dilakukan setiap kunjungan ke rumah pasien dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pasien juga
perlu diberikan edukasi mengenai pengobatan yang diberikan,
baik jenis obat, kegunaan dari masing-masing obat, cara
mengkonsumsi obat serta memberikan edukasi hal-hal yang
perlu dilakukan dalam mencegah agar tidak terjadi komplikasi
lebih lanjut pada penyakitnya.
d. Keluarga Pasien
Penulis selain membantu memberi sedikit bantuan pengarahan
bagi keluarga juga memberikan motivasi kepada keluarga,
hingga akhirnya dapat teratasi dan keadaaan pasien membaik.
D. KESIMPULAN
Dari kasus diatas dokter harus tetap melaksanakan kewajibannya sesuai
sumpah dokter yang melayani pasien dengan tidak memandang status
sosial, budaya, agama, politik dan ekonomi sesuai kaidah bioetik.
Dokter harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan keilmuannya
dan sesuai kebaikan pengobatan pasien
Umpan balik dari pembimbing
Dokter Pembimbing
dr. Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F
DAFTAR PUSTAKA
1) Anderson, K K Ho., Kannel, WB dkk. 1993. Survival after the onset of congestive heart failure in Framingham Heart Study subjects. Dallas: AHA Circulation.
2) Benowitz, L. 2002. Obat Antihipertensi, dalam Katzung, B. G., 2002, Basic and Clinical Farmacology, ed ke-3, Penerjemah: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Penerbit Salemba Medika.
3) Brunner, Lilian S dkk, 2008. Brunner and suddarth textbook of medical-surgical nursing. New York: Lipincott Williams & Wilkins.
4) Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., Cushman W.C., Green L.A., Izzo J.L., Jr., et al. 2003. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA;289:2560-72.
5) Cole, Robert T., Kalogeropoulos, AP. 2011. Hydralazine and Isosorbid Dinitrate in Heart Failure: Historical Perspective, Mechanisms, and Future Directions. Dallas: AHA Circulation.
6) Corwin, Elizabeth, 2005. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.7) Departement of Health and Human Service, 2010. Seventh Report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. National Institute of Health. http://www.nhlbi.nih.gov. Update terakhir 2011..
8) Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006. Pharmeceutical Care Hipertensi. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 14-15 http://ebooks.lib.unair.ac.id. Diakses Update terakhir 2006.
9) Felker GM, O’Connor CM, Barunwald E. 2009. Loop Diuretics in Acute Decompensated Heart Failure: Necessary? Evil? A Necessary Evil ?. Dallas: AHA Circulation.
10) Gavras, H., Faxon, DP dkk. 1978. Angiotensin converting enzyme inhibition in patients with congestive heart failure. Dallas: AHA Circulation.
11) Gusmão JL, Mion Jr. D, Pierin AMG. Health-related quality of life and blood pressure control in hypertensive patients with and without complications. Clinics. 2009;64(7):619-28.
12) Halim, 2003. Diet Sehat Untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: PT. Rhineka Cipta.
13) Humayum et al. 2009.Relation of Hypertension with Body Mass Index and Age in Male and Female Population of Peshawar, Pakistan. Department of Physiology, Khyber Medical College, Peshawar.
14) Jurca, Tunde dan Laura Vicas. 2010. Complexs of The ACE-Inhibitor Captopril. Oradea University, Faculty of Medicine and Pharmacy, Speciality of Pharmacy, Department of Inorganic Chemistry, 29 Nicolae Jiga Street,410028, Oradea, România.
15) May, CW., Diaz MN. 2008. The Role of Digoxin in the Treatment of Heart Failure. Dallas: AHA Circulation.
16) Mencari Penyebab Gagal Jantung. (2006). Ethical Digest, No.28, Th IV; 14
17) Yancy CW, Jessup M dkk, 2013. ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guideline. Dallas: AHA-Circulation.
PENATALAKSANAAN CHF MENURUT REKOMENDASI AHA 2013