BAB I
PENDAHULUAN
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali
menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain.
Di Amerika Serikat, insiden disentri basiler dilaporkan kurang dari
500.000 kasus tiap tahunnya. Angka kejadian disentri basiler
dilaporkan 5% dari 3.848 orang penderita diare berat menderita disentri
basiler (Sya’roni, 2007).
Disentri basiler endemik di seluruh dunia dimana bertanggung
jawab pada sekitar 120 juta kasus disentri yang parah dengan darah dan
lendir dalam tinja, mayoritas terjadi di negara berkembang dan
melibatkan anak-anak kurang dari lima tahun. Sekitar 1,1 juta orang
diperkirakan meninggal akibat infeksi Shigella setiap tahun, dengan
60% dari kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun (Selvi
Nafianti, Atan B Sinuhaji, 2005)
Dengan tidak adanya vaksin yang efektif yang tersedia,
peningkatan frekuensi antimikroba-tahan strain Shigella di seluruh
dunia telah menjadi sumber utama keprihatinan. Selama survei dari
600.000 orang dari segala usia di Bangladesh, Cina, Pakistan,
Indonesia, Vietnam dan Thailand, Shigellas terisolasi di 5% dari
episode diare 60.000 terdeteksi antara 2000 dan 2004 dan sebagian
besar isolat bakteri resisten terhadap amoksisilin dan kotrimoksazol.
Demikian pula, selama penelitian surveilans 36-bulan di sebuah distrik
pedesaan di Thailand, di mana kejadian Shigellosis diukur untuk
4/1000/year dalam waktu kurang dari 5 tahun usia, 95% dari S sonnei
dan flexneri S isolat resisten terhadap tetrasiklin dan kotrimoksazol,
dan 90% dari isolat S flexneri juga resisten terhadap ampisilin dan
kloramfenikol (WHO, 2009).
1
Temuan serupa dibuat di Jakarta Utara, Indonesia, dimana sebuah
penelitian surveilans yang dilakukan antara Agustus 2001 dan Juli 2003
menemukan bahwa anak usia 1 sampai 2 tahun memiliki insiden tinggi
Shigellosis (32/1000/year) dengan 73% sampai 95% dari isolat resisten
terhadap ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, kloramfenikol dan
tetrasiklin (WHO, 2009).
Tujuan penulisan referat ini untuk dapat mengetahui definisi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan gejala klinis sehingga dapat
menegakkan diagnosis disentri serta penatalaksanaannya secara tepat.
Manfaat dari penulisan referat ini adalah pembaca diharapkan
mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan gejala
klinis sehingga dapat menegakkan diagnosis disentri serta
penatalaksanaannya secara tepat pada disentri basiler.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan
enteron (usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala
meluas dengan gejala buang air besar dengan tinja berdarah, diare
encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur
lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus) (Sya’roni,
2007).
Disentri basiler merupakan peradangan pada usus besar yang
ditandai dengan sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus
menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah yang disebabkan
oleh kuman genus Shigella (Nathania, 2007).
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap
tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centers for
Disease Control (CDC). Di dunia, sekurangnya 200 juta kasus dan
650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun. Angka kejadian disentri sangat bervariasi di
beberapa negara. Di Bangladesh dilaporkan selama sepuluh tahun
(1974-1984 ) angka kejadian disentri berkisar antara 19,3%-42 % . Di
Thailand dilaporkan disentri merupakan 20 dari pasien rawat jalan
rumah sakit anak di Bangkok, di Indonesia dilaporkan dari hasil survei
evaluasi tahun 1989-1990 diperoleh angka kejadian disentri sebesar
15%. Kebanyakan kuman penyebab disentri basiler ditemukan di negara
berkembang dengan kesehatan lingkungan yang masih kurang. Hal ini
dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi
3
lingkungan dan kondisi sosial ekonomi serta kultural yang menunjang.
Penyakit ini biasanya menyerang anak dengan usia lebih dari 5 tahun
(Sya’roni, 2007)
C. Etiologi
Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil
non motil, gram negatif, family enterobacteriaceae. Ada 4 spesies
Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat
43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang
mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat
bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali
oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel
epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103
organisme. Penyakit ini kadang-kadang bersifat ringan dan kadang-
kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan
mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda
berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan
tenesmus (Sya’roni, 2007).
D. Patofisiologi
Disentri basiler merupakan salah satu dari berbagai gangguan yang
ditandai dengan peradangan usus, terutama kolon dan disertai nyeri
perut, tenesmus dan buang air besar yang sering mengandung darah dan
lendir. Habitat alamiah kuman disentri adalah usus besar manusia,
dimana kuman tersebut dapat menyebabkan disentri basiler. Infeksi
Shigella terbatas pada saluran pencernaan, invasi dalam darah sangat
jarang. Shigella menimbulkan penyakit yang sangat menular. Dosis
infektif kurang dari 103 organisme (Nathania, 2007).
Shigella memasuki host melalui mulut. Karena secara genetik
bertahan terhadap PH yang rendah, mereka dapat melewati barier asam
4
lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, lalat yang
tercemar oleh lalat, dan pembawa hama (carrier). Adapun Patofisiologis
disentri basiler adalah sebagai berikut :
1. Masa Inkubasi dan Klinis
Setelah masa inkubasi yang pendek (1-3 hari) secara mendadak
timbul nyeri perut, demam, dan tinja encer. Tinja yang encer
tersebut berhubungan dengan kerja eksotoksin dalam usus halus.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri
abdomen, demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal
terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah,
kemudian feses berdarah setelah 3–5 hari kemudian. Lamanya gejala
rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih
parah menetap selama 3–4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
2. Masa Laten dan Periode Infeksi
Setelah timbul gejala, sehari atau beberapa hari kemudian, karena
infeksi meliputi ileum dan kolon, maka jumlah tinja meningkat, tinja
kurang encer tapi sering mengandung lendir dan darah. Tiap gerakan
usus disertai dengan “mengedan” dan tenesmus (spasmus rektum),
yang menyebabkan nyeri perut bagian bawah. Demam dan diare
sembuh secara spontan dalam 2-5 hari pada lebih dari setengah
kasus dewasa. Namun, pada anak-anak dan orang tua, kehilangan air
dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, dan bahkan
kematian. Kebanyakan orang pada penyembuhan mengeluarkan
kuman disentri untuk waktu yang singkat, tetapi beberapa
diantaranya tetap menjadi pembawa kuman usus menahun dan dapat
mengalami serangan penyakit berulang-ulang. Pada penyembuhan
infeksi, kebanyakan orang membentuk antibody terhadap Shigella
dalam darahnya, tetappi antibody ini tidak melindungi terhadap
infeksi.
5
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lendir,
mikroabses pada dinding usus besar dan ileum terminal yang cenderung
mengakibatkan nekrosis selaput lendir, ulserasi superfisial, perdarahan,
pembentukan “pseudomembran” pada daerah ulkus. Ini terdiri dari
fibrin, lekosit, sisa sel, selaput lendir yang nekrotik, dan kuman. Waktu
proses berkurang, jaringan granulasi mengisi ulkus dan terbentuk
jaringan parut (Sya’roni, 2007).
Semua Shigella mengeluarkan lipopolisakarida yang toksik.
Endotoksin ini mungkin menambah iritasi dinding usus. Selain itu
Shigella dysentriae tipe 1 menghasilkan eksotoksin yang tidak tahan
panas yang dapat menambah gambaran klinik neurotoksik dan
enterotoksik yang nyata (Kroser, 2007).
E. Gejala
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7
hari sampai 4 minggu. Setelah masa inkubasi yang pendek (1-3 hari)
secara mendadak timbul nyeri perut, demam yang mencapai 400C, dan
tinja encer. Tinja yang encer tersebut berhubungan dengan kerja
eksotoksin dalam usus halus. Sehari atau beberapa hari kemudian,
karena infeksi meliputi ileum dan kolon, maka jumlah tinja meningkat,
tinja kurang encer tetapi sering mengandung lendir dan darah. Tiap
gerakan usus disertai dengan “mengedan” dan tenesmus (spasmus
rektum), yang menyebabkan nyeri perut bagian bawah. Demam dan
diare sembuh secara spontan dalam 2-5 hari pada lebih dari setengah
kasus dewasa. Namun, pada anak-anak dan orang tua, kehilangan air
dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, dan bahkan
kematian (Kroser, 2007).
Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah
dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Bentuk klinis dapat
bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Sakit
6
perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran
tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung.
Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S.
dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat,
berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu
badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat
meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit
kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka
menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah
meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas,
dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria
dan koma uremik. Angka kematian tergantung pada keadaan dan
tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan
keadaan darurat, misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini
selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan
waktu penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan
gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat
mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang ringan,
keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang
menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun.
Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik
(Sya’roni, 2007).
Kebanyakan penderita pada penyembuhan mengeluarkan kuman
disentri untuk waktu yang singkat, tetapi beberapa diantaranya tetap
menjadi pembawa kuman usus menahun dan dapat mengalami serangan
penyakit berulang-ulang. Pada penyembuhan infeksi, kebanyakan orang
membentuk antibodi terhadap Shigella dalam darahnya, tetapi antibodi
ini tidak melindungi terhadap reinfeksi (Nathania, 2007).
7
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada disentri basiler meliputi :
1. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta
biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan
pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil
shigella mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara
luas.
3. Enzim immunoassay
Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar
penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang
dihasilkan E.coli.
4. Sigmoidoskopi
Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah
sigmoid. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.
5. Aglutinasi
Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua,
maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi
dinyatakan positif pada pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri
aglutinasi antibody sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak
strain maka jarang dipakai.
6. Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang
terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat.
Sebagian besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara
progresif berkurang di segmen proksimal usus besar (Sya’roni,
2007).
8
G. Komplikasi
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada
pasien yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya
kejadian ini dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan
S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat
infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah Haemolytic Uremic Syndrome (HUS).
Haemolytic Uremic Syndrome (HUS) diduga akibat adanya penyerapan
enterotoksin yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul
pada akhir minggu pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri
basiler mulai membaik. Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria,
penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif
timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung.
Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro
liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter), hiponatremia,
hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat seperti
ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya
muncul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar
terutama lutut. Hal ini dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana
cairan sinovial sendi mengandung leukosit polimorfonuklear.
Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artriitis dapat
berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat
pula terjadi iritis atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus
sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi
usus, walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi
setelah serangan S.dysentriae yang toksik namun hal ini jarang sekali
terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan
perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi
9
jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah
serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin
pula terjadi pada beberapa tempat yang mempunyai angka kematian
tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid
(Sya’roni, 2007).
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada disentri basiler adalah radang kolon yang
disebabkan oleh kuman enterohemoragik dan enteroinvasif E.coli,
Complybacter jejuni, Salmonella entereditis serotype, Yersinia
enterocolitica, Clostridium difficile, dan protozoa Entamoeba
histolytica.
Diagnosis banding yang tidak berhubungan dengan infeksi yaitu
colitis ulseratif atau Chron’s colitis (Sya’roni, 2007).
I. Pengobatan
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat,
mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat
diberikan antibiotika (Sya’roni, 2007).
1. Cairan dan elektrolit
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan
rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi
akan terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini
perlu diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan cairan yang
hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat
diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu atau oralit
(Sya’roni, 2007).
2. Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5
kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada
kemajuan.
10
3. Pengobatan Spesifik
Dalam sebuah studi baru-baru ini (Diniz-Santos et al. 2005)
spesies Shigella memiliki tingkat resistensi yang sangat tinggi untuk
trimetoprim-sulfametoksazol (90,1%), ampisilin (22%) atau dalam
kombinasi dengan sulbaktam, dan piperasilin (Peirano, Gisele,
Flávia dos Santos Souza, Dalia dos Prazeres Rodrigues., 2006).
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigellosis
pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan
menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak
ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Resistensi
terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin
hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap
ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman
terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan
dosis 4x500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan trimethoprim
sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2x960 mg/hari selama 3-5
hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler
karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon
seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin berhasil pada
pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai
adalah 2x500 mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin
diberikan 1 gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama 5
hari (Niyogi, 2005).
J. Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat serta kepekaan terhadap obat yang diberikan.
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila
11
mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang,
biasanya angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan
masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk
S.flexneri mempunyai angka kematian yang rendah (Sya’roni, 2007).
K. Pencegahan
Penyakit disentri basiler ini dapat dicegah dengan cara :
1. Selalu menjaga kebersihan dengan cara mencuci tangan dengan
sabun secara teratur dan teliti.
2. Mencuci sayur dan buah yang dimakan mentah.
3. Orang yang sakit disentri basiler sebaiknya tidak menyiapkan
makanan.
4. Memasak makanan sampai matang.
5. Selalu menjaga sanitasi air, makanan, maupun udara.
6. Mengatur pembuangan sampah dengan baik.
7. Mengendalikan vector dan binatang pengerat.
(Nathania, 2007)
12
BAB III
KESIMPULAN
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang
bercampur lendir dan darah. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp.
Shigella adalah basil non motil, gram negatif, family enterobacteriaceae.
Masa tunas Shigella berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala
rata-rata 7 hari sampai 4 minggu. Setelah masa inkubasi yang pendek (1-3
hari) secara mendadak timbul nyeri perut, demam yang mencapai 400C, dan
tinja encer.
Pemeriksaan penunjang pada disentri basiler meliputi :Pemeriksaan
tinja, Polymerase Chain Reaction (PCR), Enzim immunoassay,
Sigmoidoskopi, Aglutinasi, endoskopi.
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan disentri basiler adalah
istirahat, mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat
diberikan antibiotika. Studi menggunakan cefixime, generasi ketiga
cephalosporin, pada orang dewasa dengan Shigellosis tidak mengesankan
dengan hanya memberikan tingkat keberhasilan sebesar 53%. Namun
percobaan klinis di Israel, menunjukkan bahwa sefiksim dan ceftriaxone,
tingkat kesembuhan memiliki baik pada bakteriologis dan klinis dan aman
untuk digunakan pada anak-anak
13
DAFTAR PUSTAKA
Cruz, O.I.M, Janeiro, R., 2006. Frequency of Serovars and Antimicrobial Resistance in Shigella spp.
Kroser A. J., 2007. Shigellosis. Diakses dari http:/ /www.emedicine.com/ med / topic2112. Htm diakses paa tanggal 5 Oktober 2012
Nathania, D., 2007. Shigella dysentriae. Diakses dari http :// mikrobia. files.wordpress .com/ 2008/ 05/devi-nathania-0781141271.pdf pada tanggal 5 Oktober 2012
Niyogi, S.K., 2005. Shigellosis. Diakses dari The Journal of Microbiology tanggal 5 Oktober 2012
Peirano, Gisele, Flávia dos Santos Souza, Dalia dos Prazeres Rodrigues., 2006. Frequency of serovars and antimicrobial resistance in Shigella spp. . Diakses dari http:/ /www.emedicine.com/ med / topic2112. Htm diakses paa tanggal 12 Oktober 2012
Sya’roni., 2007. Disentri Basiler. Sudoyo W. Aru, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi keempat. FKUI: Jakarta. Pp 1817-19
Nafianti, Selvi, Atan BS., 2005. Resisten Trimetoprim Sulfametoksazol terhadap Shigellosis. The Journal of Microbiology tanggal 12 Oktober 2012
14