BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang
utama Epilepsi juga merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di
masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan
ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Epilepsi sering dihubungkan
dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat
bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma
sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak(1,2). Pada tahun
2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37
juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara
berkembang(1,2). Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2
orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka
insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan
lebih tinggi di negara-negara berkembang(3).
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik(4). Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan
yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa
anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan
dalam mengikuti pendidikan formal(5). Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap
terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi(3).
.
1
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4 Menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) danI n t e r n a t i o n a l Bureau for Epilepsy (IBE)
pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh
adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi
sebelumnya.5 Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau
kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.5
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi
lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar
50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000
kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).9 Menurut Irawan
Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai
16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.1 0
2
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita
epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada
usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat –
alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against
Epilepsy (ILAE) 1981:
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
3
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A.I d i o p a t i k
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
4
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C.S i m t o m a t i k
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.5 PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan
patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga
membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah
5
besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat
khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan.
Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah
kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
6
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai
usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong”
dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke
normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai
absans yaitu antara lain absans berasal darithalam us, hipotesis lain mengatakan
berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga
terjadi akibat perubahan pada sirkuit antarathalam us dan korteks serebri. Pada absans
terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium
sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal
aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi
yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian
besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized
epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions. Pada kanal
ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks)
dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan
repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada kanal
Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka
terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula
sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat
atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign
familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi
efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron
(gambar 1C)
7
2. Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus
temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus
terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada
keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel
granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam
(inner layer molecular) (gambar 2). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap
aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari
korteks entorhinal. Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber
balik ke lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers
yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara
membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu
interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal
mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus. Suatu
bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus
dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya
terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah
terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal,
reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan
menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada
8
epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula
dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat
dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang
dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu
mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan
menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan
dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit
dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi
hipereksitabilitas neuron.
3. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak
normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi(focus ) di
otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak
sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang
biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi
maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa
disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi
terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.7 Beberapa
penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub
unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium
9
dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada
hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.9
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan
ion- ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan
keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam
komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion
tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita
epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam
hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid
(GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang
sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin
yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan
proses belajar. (Fitri Octaviana, 2008)
2.6 GEJALA
• Kejang parsial simplek
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
• Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
10
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
-Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
• Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien
dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat
berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap
tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena
otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam
atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.
11
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan
tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
12
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
-Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
b. Rekaman video EEG
13
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang
ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya
belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi
pembedahan.
14
2.8 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun
kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan
tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit
Algoritme manajemen status epileptikus
15
16
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:
•
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua
kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan
pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
•
Terapi dimulai dengan monoterapi
•
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
•
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada
EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai
penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
• Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
• Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl
atau aktivitas neurotransmiter.
Penghentian pemberian OAE
17
Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2
tahun bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
• Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
• Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
• Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama
Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai
pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi
mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada
obat kejang lainnya seperti retensi urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and
Drug Administration's (FDA's) masih mempertimbangkan obat in
18
19
Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom
Obat epilepsi untuk anak
20
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat
singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam
otak lebih dominan dari pada proses inhibisi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi
selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari
narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam process
kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang epilepsi mungkin juga
karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap
belum diketahui.
.
B. Saran
Disarankan kepada pembaca agar menghindari faktor resiko penyebab
epilepsi karena epilepsi dapat ditimbulkan karena kebiasaan yang salah.
22
Daftar pustaka
Ø Harsono.2007.Epilepsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Ø Sidharta, Priguna M.D.,Ph. D.1999. Neurology klinis dalam praktek umum, Dian
Rakyat, Jakarta.
Ø http//epilepsi.web.//www.google.co.id//2009
Fitri Octaviana. 2008. Epilepsi.
http://www.dexamedica.com/images/publication_upload09010917063600123147290
6MEDICINU S_NOV_DES%2708.pdf . Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo. Jakarta
Bahrudin, M. 2008. Catatan Kuliah Dasar-Dasar Neurologi.
23