QIYAS SEBAGAI METODE ISTINBAT HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Amin Farih
Disusun Oleh :
1. Chyntia Ayu Puspaningtyas 133911061
2. Lina Indah Nurmalita 133911063
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang mana
atas rahmat dan karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk hidup dan
masih di izinkan untuk menikmati dan melihat keindahan ciptaan-Nya.
Shalawat beserta salam marilah kita kirimkan kepada nabi kita Muhammad SAW,
yang mana beliau telah membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman
yang penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing,
yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ushul fiqih ini. Dan apabila makalah ini masih kurang sempurna, penulis meminta
kritik dan saran kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Semarang, 27 Mei 2014
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu
dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad, upaya ilmiah menggali
dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara
tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah). Dengan demikian,
sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain
dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber
sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man
qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat
(al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam
al-quran maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin
banyak permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara`
seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu penganalogian masalah
hukum dengan tetap memperhatikan al-quran dan hadits sebagai acuan pokok
menjadi sangat penting untuk menghindari perpecahan dan kebutaan umat
terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan Qiyas sebagai sumber
hukum islam yang ke 4 oleh sebab itu, pada pembahasan makalah kami ini
akan memaparkan sedikit tentang qiyas.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalahnya pada
hal-hal sebagai berikut :
1. Pengertian Qiyas
2. Syarat-Syarat Qiyas
3. Macam - Macam Qiyas
2
4. Qiyas sebagai metode istinbat hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas berarti “menyamakan” sedang menurut istilah
ahli ushul, qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada
hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash,
karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di
ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui
dilalah-dilalah bahasanya.
Sebenarnya, pengertian qiyas syar’i di atas di ambil dari pengertian
bahasanya. Sebab qiyas menurut bahasa, berarti menyamakan. Perbedaan
antara dua defenisis di atas adalah bahwa defenisi yang pertama menjelaskan
bahwa qiyas dengan pengertian yang hakiki. Qiyas dalam pengertian ini
adalah merupakan hujjah ilahiyah yang datang dari sisi Allah untuk
mengetahui hukum-Nya, dan bukan perbuatan yang di datangkan bagi
seseorang.
Adapun defenisi kedua,ia menegaskan makna qiyas secara majazi, yang
merupakan amalan para mujahid, yang di tegakkan untuk membistimbathkan
hukum syara’. Illat qiyas itu tidak dapat di ketahui dalam semata-mata
memahami lafad dan maknanya tetapi memerlukan pada pencerahan pikiran
dalam memperhaikan, beristidlal dan beristinbath hukum secara akal.1
B. Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas memiliki syarat-syarat di antaranya :
1. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak
dianggap qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’ atau perkataan
1 Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grapindo,2000, hlm 24
3
shohabat jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan
qiyas yang bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai
anggapan yang rusak ( االعتبار .(فاسد
Contohnya : dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan bisa
mengurus diri sendiri, pent) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali,
diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali.
2. Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma’. Jika hukum ashl-nya
itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi
diqiyaskan dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut
adalah lebih utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang
lainnya yang dijadikan ashlkadang-kadang tidak shohih. Dan karena
mengqiyaskan kepada cabang, kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl;
menjadi panjang tanpa ada faidah.
Contohnya : dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras, dan
berlaku pada beras diqiyaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini tidak
benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan
gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.
3. Pada hukum ashl terdapat ‘illah (sebab) yang diketahui, agar
memungkinkan untuk dijama’ antara ashl dan cabang padanya. Jika
hukum ashl-nya adalah perkara yang murni ta’abbudi (peribadatan yang tidak
diketahui ‘illah-nya, pent), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya.
Contohnya : dikatakan daging burung unta dapat membatalkan wudhu
diqiyaskan dengan daging unta karena kesamaan burung unta dengan unta,
maka dikatakan qiyas seperti ini adalah tidak benar karena hukum ashl-nya
tidak memiliki ‘illah yang diketahui, akan tetapi perkara ini adalah
murni ta’abbudi berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab
al-Imam Ahmad rohimahulloh, pent).
4
5. ‘Illah-nya mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang
penetapan ‘illahtersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar’i,
seperti ‘illah memabukkan padakhomer.
Jika maknanya merupakan sifat yang paten (tetap) yang tidak ada
kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah
menentukan ‘illahdengannya, seperti hitam dan putih.
Contohnya : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma : bahwa Bariroh diberi
pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata :
suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam.
6. Illat tersebut ada pada cabang sebagaimana ‘illat tersebut juga ada dalam
ashl, seperti menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan
mengatakan “uf/ah”. Jika ‘illat tidak terdapat pada cabangnya maka qiyas
tersebut tidak sah.
Contohnya : dikatakan ‘illah dalam pengharoman riba pada gandum adalah
karena ia ditakar, kemudian dikatakan berlaku riba pada apel dengan
diqiyaskan pada gandum, maka qiyas seperti ini tidak benar,
karena ‘illah (pada ashl-nya, pent) tidak terdapat pada cabangnya, yakni apel
tidak ditakar.2
C. Macam - Macam Qiyas
1. Qiyas Aulawi
Yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada qiyas (furu’) lebih aula (utama) dari
pada illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (ashl).
Seperti mengqiaskan memukul kepada kata-kata “ah” pada ibu bapak, karena
‘illatnya menyakiti maka hukumnya sama-sama berdosa. Sesuai Q.S Al
Isra’:23
2 Satria Effendi, M, zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005 ), hlm:335
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia[850].
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama
apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih
kasar daripada itu.
2. Qiyas Musawi
Yaitu ‘illat yang terdapat bpada yang qiyaskan (furu’) sama dengan illat yang
ada pada tempat mengqiaskan (ashl). Karena itu hukum keduanya sama.
Seperti, mengqiaskan membakar harta anak yatim dengan memakan harta
anak yatim, karena illatnya sama-sama menghabiskan (melenyapkan). Sesuai
Q.S Al Isra’:23
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
3. Qiyas Dalalah
Yaitu illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak
diwajibkan baginya (furu’). Seperti, mengqiaskan wajib zakat pada harta anak-
anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai nisab, tetapi bagi anak-
anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiaskan pada haji tidak diwajibkan
atas anak - anak. Rasulullah SAW bersabda “Tidak wajib zakat, kecuali dari
orang kaya.” (Bukhari dan Ahmad)
6
4. Qiyas Syabab
Yaitu menjadikan yang diqiaskan (furu’) dikembalikan kepada antara dua ashl
yang lebih banyak persamaan antara keduanya. Seperti mengqiyaskan budak
dengan orang merdeka, atau budak dengan benda (budak dapat dijual,
diwaqafkan, diwariskan dan jaminan). Jadi furu’nya budak dapat
dikembalikan kepada dua ashl : manusia merdeka dan harta kekayaan, tetapi
budak itu lebih banyak persamaaannya dengan harta benda,. Jadi qiyasnya
budak lebih tepat kepada harta kekayaan. Contoh lainnya seperti pembunuhan
tidak sengaja terhadap hamba yang dimiliki oleh orang lain. sesuai Q.S
AnNisa:92
92. dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja, dan Barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
7
penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
5. Qiyas Adwan
Yaitu yang diqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat
mengqiaskan, seperti mengqiaskan memakai perak bagi laki-laki sama halnya
seperti memakai emas. انما ا والفضة الذهب انية فى وبشرب يأكل لذين
مسلم ( رواه نارجهنم بطنه فى )يجرجو
Artinya: orang yang makan dan minum dalam bejana emas dan perak,
sesungguhnya bergejolak pada perutnya api neraka jahanam.(HR.Muslim).3
D. Syarat – syarat Ashal
Syarat ashal
a) Hukum ashal itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung
kemungkinan dinaskhkan (diganti atau dibatalkan)
b) Hukum itu ditetapkan berdasarkan syarak.
c) Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak
bersifat umum
d) Ashal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
e) Hukum ashal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
E. Syarat – syarat Furu’
Syarat-syarat furu’
a) Tidak ada nash dan ijma yang menetapkan hukum furu’ sebab qiyas ketika
terdapat nash atau ijma yang bertentangan dengannya, maa qiyas tersebut
merupakan qiyas yang batal (fasid) dan berdasarkan kepada illat yang
tidak di benarkan.
b) Antara furu’ dan ashal harus sama illat hukumnya, tidak ada berbedaan
antara keduanya, sehingga tidak ada mengqiyaskan sesuatu dengan
berbeda.
3 Sapiudin shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana , 2011) hlm 12-138
F. Syarat – syarat Illat
Syarat-syarat illat
Syarat-syarat illat yang telah di sepakati para ulama ushul itu ada empat
macam:
a) Illat itu berupa sifat yang jelas
b) Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
c) Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah hukum
d) Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.
G. Syarat – syarat Hukum Ashal
Syarat hukum ashal
a) Hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh Al-Qur’an seperti keharaman
khamar sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya atau hukum ashal
hendaknya di tetapkan oleh hadist
b) Hukum ashal itu hendaknya dapat di salami akal (ma’kulul ma’na).
Maksudnya akal mampu menentukan illatnya seperti keharaman khamar.
c) Hukum ashal hendaknya bukan merupakan hukum yang khusus. Sebab
hukum yang khusus tidak bisa di berlakukan kepada furu’ dengan cara
qiyas.4
H. Dalil-Dalil Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama telah mendatangkan dalil-dalil dari syariat untuk mendukung
kehujjahan qiyas, dan sekaligus membantah golongan-golongan yang
mengingkari dan peniadaan kehujjahan qiyas dalam syari’at golongan terakhir
ini disebut nuffatul qiyas (penolak qiyas).Berikut ini adalah dalil-dalil
kehujjahan qiyas :
1. Bahwa syari’at islam datang untuk mengatur kehidupan manusia;
memelihara hubungan mereka secar khusus maupun yang umum di antara
individu dan masyarakat; Allah yang maha suci tidaklah mengutus para
4 Satria Effendi, M, zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005 ), hlm:419
nabi dan rasul kepada manusia kecuali sebagai rahmat alam semesta.Allah
berfirman:
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu ( muhammad ) malainkan
sebagai rahmat bagi alam semesta (al-anbiya’:107)”.
2. Bahwa al-qur’an telah mempergunakan qiyas dalam mencukupkan dan
menetapkan hujjah serta menjelaskan sebagai hukum dan menetapkannya
jika sama, dan menghilangkannya jika berbeda.
3. Bahwa al-qur’an telah banyak menyuruh manusia untuk mengambil I’tibar
(pelajaran) dalam berbagai peristiwa.
4. Bahwa para sahabat telah berjima’ atas kehujjahan qiyas.
5. Bahwa nash-nash al-qur’an dan as sunnah adalah terbatas dan sudah
selesai sedangkan peristiwa-pristiwa atau kejadian-kejadian zaman tiada
henti-hentinya terjadi.5
I. Qiyas sebagai Metode Istinbat Hukum Islam
Para pakar ushul fikih mengemukakan beberapa kritikan atas kelemah-
an qiyds dalam menghasilkan suatu hukum dari kasus yang sedang dihadapi.
Ada beberapa kritikan terhadap qiyas antara lain :
1. Man'u al-hukm fi al-ashal. Maksudnya, seorang mujtahid mengemukakan
kritik bahwa ia tidak menerima adanya hukum pada ashal. Misalnya, pakar
Syafi'iyyah mengqiyaskan hukum wajib mencuci bejana yang dijilat babi
sebanyak tujuh kali pada hukum mencuci bejana sebanyak tujuh kali
apabila dijilat anjing.
2. Man'u wujud al-wasfi fi al-ashal. Maksudnya, seorang mujtahid tidak
mengakui keberadaan sifat pada ashal tempat mengqiyaskan. Misalnya,
pakar ushul Syafi'iyyah dan sebagian pakar Malikiyyah mengatakan bahwa
tata urutan (tertib) dalam mencuci anggota wudhu adalah wajib dan wudhu
batal karena adanya hadas. Mereka mengqiyaskan wajibnya tertib dalam
berwudhu kepada tertib amalan yang dilakukan dalam salat, karena
keduanya sama-sama ibadah. Akan tetapi, pakar Hanafiyyah dan sebagian
5 Satria Effendi, M, zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005 ), hlm:3910
pakar Malikiyyah mengemukakan kritikan bahwa sifat hadas\ dalam al-
ashal, yaitu salat, tidak ada, karena hadas\ itu sendiri, menurut mereka
tidak membatalkan salat. Yang membatalkan oleh hadas
adalah taharah, sekalipun dengan batalnya taharah yang membatalkan
shalat.
3. Man'u kaun al-wasfi 'illatan. Maksudnya pengkritik mengatakan ia tidak
menerima sifat yang dianggap sebagai ‘illat itu sebagai ‘illat. Misalnya,
pakar Hanafiyyah mengatakan, wanita budak yang dimerdekakan orang
merdeka mempunyai hak pilih sebagaimana berlaku bagi budak laki-laki.
4. Mu'aradah fi al-ashal. Misalnya, pakar ushul Syafi'iyyah mengqiyaskan
apel pada gandum dalam hal pemberlakuan riba fadl, karena keduanya
mempunyai ‘illat yang sama, yaitu jenis makanan. Akan tetapi, pakar
ushul Malikiyyah mengatakan bahwa "jenis makanan"
bukanlah ‘illat, karena yang menjadi ‘illat pada gandum itu, menurut
mereka adalah "makanan pokok" dan apel bukan sebagai makanan pokok.
5. Mu'aradah wujud al-wasfi fi al-furu’. Maksudnya pengkritik menyatakan
penolakannya terhadap kevalidan suatu sifat yang dijadikan ‘illat pada
ashal. Misalnya, pakar Malikiyyah mengatakan memberi upah kepada
orang lain untuk menghajikan seseorang yang telah wafat adalah boleh,
dengan alasan bahwa haji adalah suatu pekerjaan yang bisa dikerjakan
orang lain; sama halnya dengan tukang jahit yang menerima upah jahitan
baju.
6. Mu'aradah fi al-far'u min mayaqtadi naqid al-hukm. Maksudnya,
pengkritik mengemukakan bahwa terdapat pertentangan dalam furu’yang
membawa kepada pembatalan hukum ashal. Misalnya, pakar Syafi'iyyah
mengatakan bahwa seseorang yang berhutang, apabila mempunyai harta,
wajib membayar zakat dengan mengqiyaskan pada orang yang tidak
mampu. 'Illatnya,menurut mereka adalah sama-sama memiliki harta.
Akan tetapi, pakar Hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukakan kritikan
11
mereka dengan mengatakan bahwa terdapat pertentangan
pada furu’ yaitu adanya hutang.6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada
hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash,
karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di
ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui
dilalah-dilalah bahasanya. Dengan demikian qiyas bisa dipandang sebagai
prosese berfikir dalam rangka mengeluarkan hukum (istimbath), disamping itu
qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya
hukum oleh suatu kaidah yang sudah diakui kekuatan dan kebenarannya.
B. Saran
Demikian apa yang dapat disajikan oleh pemakalah, semoga dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu makalah yang
singkat ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik
dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini dan
yang selanjutnya.
6 Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grapindo,2000, hlm 54-56
12
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, I. Nurol Aen. Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grapindo, 2000.
Effendi,Satria, M, zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
Shiddiq Saipudin, Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana , 2011.
13
Top Related