ISTIHSAN · Istihsan adalah sumber ajaran Islam yang sifatnya sekunder, berbeda dengan Al-Qur’an,...

12
ISTIHSAN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ushul Fiqh Dosen Pengampu: Muhammad Syaifuddien Zuhriy, M. Ag Disusun Oleh: 1. Zumrotul Muniroh 1504026018 2. Agus Ahmad Hanif 1504026035 3. Bayu Hermawan 1504026044 JURUSAN TAFSIR HADITS C-2 FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2016

Transcript of ISTIHSAN · Istihsan adalah sumber ajaran Islam yang sifatnya sekunder, berbeda dengan Al-Qur’an,...

ISTIHSAN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Ushul Fiqh

Dosen Pengampu: Muhammad Syaifuddien Zuhriy, M. Ag

Disusun Oleh:

1. Zumrotul Muniroh 1504026018

2. Agus Ahmad Hanif 1504026035

3. Bayu Hermawan 1504026044

JURUSAN TAFSIR HADITS C-2

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2016

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran Islam yang pertama

adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

dengan atas dasar inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul

dimasyarakat Islam ketika itu.

Ternyata tidak semua persoalan yang ada dalam masyarakat Islam kala itu

dapat diselesaikan dengan wahyu Allah. Dalam keadaan seperti ini, Nabi

menyelesaikan dengan pemikiran, pendapat beliau dan terkadang pula melalui

permusyawaratan dengan para sahabat. Dan inilah yang kemudian dikenal sebagai

Sunnah Rasul. Memang Al qur’an memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak

menjelaskan sesuatu dengan terperinci.

Dengan demikian persoalan yang belum ada dalam nash Al-qur’an dan

Hadits, para ulama’ mencoba menberikan solusi atau diistinbatkannya suatu

hukum dengan berbagai metode, walaupun metode dalam berijtihad itu berbeda

antara satu dengan yang lain. Misal metode berijtihad dengan cara Istihsan,

Istishab, Istidhal, marsalah mursalah dan lain-lain.

Maka dari itu pemakalah akan membahas tentang persoalan metode

berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan akan

difokuskan pada persoalan berijtihad dengan cara yang Istihsan saja.

B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian Istihsan?

b. Apa macam-macam Istihsan?

c. Bagaimana kehujjahan Istihsan menurut para Madzhab?

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan

Istihsan, secara etimologis mengandung arti menganggap sesuatu itu baik.

Secara terminologis, Istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntunan

qiyas yang jelas ‘illatnya (qiyas jaliy) kepada tuntunan qiyas yang samar ‘illatnya

(qiyas khafiy) berlandaskan dasar pemikiran tertentu yang rasional atau

berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukum kulliy (umum) kepada tuntutan

hukum juz’iy (spesifik) berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.

Menurut Ibn al-Arabi, Istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil

dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsah karena berbeda hukumnya

dalam beberapa hal.1

Dikalangan madzhab Imam Hanafi, Imam Abu al-Hasan al-Karkhi,

mengemukakan definisi bahwa Istihsan ialah: “penetapan hukum dari seorang

mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang

diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat

yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu”.2

Menurut Ibnu Rusyd, Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa Istihsan ialah

meninggalkan qiyas dalam menetapkan suatu hukum, karena qiyas itu

menimbulkan ketentuan hukum yang terkesan berlebihan atau tidak wajar.3

Dalam hal ini Imam asy-Syatibi al-Maliki berkata, “Al-Istihsan bagi kami

dan ulama Hanafi adalah melakukan atau melaksanakan berdasarkan yang paling

kuat diantara dua dalil, yang umum apabila berjalan terus dan dengan qiyas

apabila tidak ada dalilnya.4

1 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm 110-111. 2 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm 401. 3 Asmawi, Op.cit. hlm 111. 4 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih praktis ba gi kehidupan modern, (Jakarta: Gema Insani

Press), hlm 71.

3

B. Macam-macam Istihsan

Dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu al-Arabi memberikan

pengertian yang lebih luas terhadap istihsan, berpegang kepada dalil apapun yang

bertentangan dengan keumuman nash atau qiyas.

Maka dari itu Ibnu al-Arabi membagi istihsan kepada empat macam, yaitu:

1. Istihsan dengan ‘Urf

Imam Malik mengatakan bahwa madzhabnya meninggalkan dalil umum

karena adanya 'urf.

Contoh: apabila si A bersumpah tidak akan memasuki rumah, maka

menurut qiyas lughawiy, dengan memasuki setiap tempat yang bernama rumah,

misalnya masjid, si A berarti telah melanggar sumpahnya. Akan tetapi,

berdasarkan Istihsan Imam Malik masuk masjid tidaklah melanggar sumpah

tersebut karena masjid menurut 'Urf tidak dinamakan rumah.

2. Istihsan dengan al-Maslahah

Meninggalkan dalil umum dengan dasar al-maslahah.

Contoh: Dalam kasus beban penjaminan buruh yang berkongsi.

Berdasarkan kaidah al-asl, buruh yang berkongsi (buruh yang hasilnya dibagi dua)

merupakan orang terpercaya, dan orang demikian tidak perlu dibebani

penjaminan, kecuali orang tersebut sudah kelihatan khianatnya. Tetapi

berdasarkan dalil istihsan, Imam Malik berpandangan bahwa buruh berkongsi

tersebut tetap dibebani penjaminan.

3. Istihsan dengan Ijma’

Meninggalkan kaidah umum atau dalil umum dengan dasar ijma'.

Contoh: Kasus orang yang memotong ekor keledai tunggangan untuk

membayar seluruh harga keledai itu. Jika si B memotong ekor keledai

tunggangan, dia wajib membayar kerugian sebesar harga yang berkurang dari

keledai itu sebagai akibat perbuatannya. Ini merupkan kaidah al-asl, akan tetapi

Ijma’ menyatakan keledai tunggangan yang digunakan untuk kendaraan bila

dicacatkan sebagian tubuhnya, maka harus diganti secara keseluruhan.

4

4. Istihsan dengan Kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah

Menghilangkan kesulitan atau kesukaran, ini merupakan kaidah yang

bersifat qath’iy.

Contoh: Kasus pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah

harga sewa, lama masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan. Menurut

kaidah umum kasus demikian dilarang sebab mengandung sewa menyewa

(gharar). Berdasarkan Istihsan, kasus demikian dibolehkan dengan dasar

pertimbangan menghilangkan kesulitan/kesukaran (Raf’ al-Harj wa al-

Massyaqah) karena pemakaian kamar mandi umum seperti demikian sudah

menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dihindari. 5

Pembagian istihsan menurut Madzhab Hanafi:

1. Istihsan dengan Nash

Yang dimaksud ini ialah: penyimpangan suatu ketentuan hukum

berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketetapan hukum yang berlawanan dengan

yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan Sunnah.

Contoh: tentang jual beli akad salam (pemesanan barang). Jual beli salam yaitu

barang yang dijual-belikan sebetulnya belum ada, tetapi harganya sudah

ditetapkan dan dibayar lebih dahulu sesuai perjanjian yang telah disepakati oleh

kedua belah pihak, seperti jual beli buah-buahan yang belum jelas wujudnya.

2. Istihsan dengan Ijma’

Yang dimaksud ini ialah: meninggalkan keharusan menggunakan qiyas

pada suatu persoalan karena ada ijma’.

Contoh: pesanan seseorang kepada orang lain untuk di buatkan suatu barang.

3. Istihsan dengan Darurat

Yang dimaksud ini ialah: seorang mujtahid meninggalkan keharusan

pemberlakuan qiyas atas suatu masalah karena berhadapan dengan kondisi

darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk

memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan.

5 Asmawi, Op.cit., hlm 111-113.

5

Contoh: air sumur yang terkena najis tidak boleh digunakan, akan tetapi dalam

kondisi darurat maka bisa digunakan dengan syarat menambahkan beberapa air

galon ke dalam sumur, agar orang tidak menemukan kesulitan untuk memenuhi

kebutuhan terhadap air.

4. Istihsan dengan al-‘Urf

Yang dimaksud ini ialah: penyimpangan atau pemalingan penetapan

hukum yang berlainan (berlawanan) dengan ketentuan qiyas, karena adanya ‘urf

yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam masyarakat.

Contoh: menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan

makan, minum dan pakaian.

5. Istihsan dengan qiyas khafi

Memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas

kepada ketentuan hukum qiyas yang samar-samar dan tidak jelas, tetapi

keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.

Contoh: tentang aurat wanita. Sesungguhnya aurat wanita itu ialah mulai dari

ujung kepala sampai kedua ujung kakinya, kemudian diperbolehkan melihat

bagian tubuhnya sekedar dibutuhkan; seperti melihat kebaikannya.

Pembagian istihsan menurut Madzhab Maliki:

1. Istihsan dengan al-‘Urf

Contoh yang dikemukakan oleh madzhab Maliki terhadap Istihsan ialah

seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging kalau ia makan daging ikan,

maka tidaklah dianggap melanggar sumpah walaupun di dalam Al-qur'an

dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging.

2. Istihsan dengan al-Maslahat

Istihsan jenis ini ialah mengenyampingkan pemberlakuan ketentuan

hukum qiyas karena pertimbangan maslahat yang lebih penting.

Contoh: jika seorang menyewa barang, kemudian barang tersebut rusak

bukan kesalahan penyewa, maka menurut ketentuan qiyas penyewa tidak

menanggung resiko atas kerusakan tersebut. Akan tetapi, ketentuan ini tidak

berlaku, karena demi kemaslahatan penyewa di tuntut untuk mengganti atas

kerusakan.

6

3. Istihsan dengan Raf’ul Haraj

Yang di maksud dengan istihsan ini ialah didasarkan pada meninggalkan

kesulitan yang dihadapi. Istihsan jenis ini sebenarnya tidak beda jauh dengan

istihsan pada jenis kedua, namun istihsan jenis ini berkisar pada masalah

muamalah dan ibadah.6

Contoh yang berhungan dengan ibadah: jika seseorang melakukan ibadah

puasa (senin, kamis) karena terbiasa kemudian pada suatu hari ketika

melaksanakan puasa sunah (senin, kamis) ia sakit dan akhirnya ia meninggalkan

puasa sunah tersebut demi kesehatan jasmani.

C. kehujjahan Istihsan

Madzhab Hanafi, Maliki, dan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa

istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa

alasan.7 Kelompok ini mengatakan bahwa: “Sesungguhnya (istihsan) itu adalah

salah satu dalil hukum syara’ dan istihsan dipergunakan untuk menetapkan

berbagai hukum ketika berlawanan dengan qiyas atau kaidah nash umum yang

berlaku.”8

Untuk mendukung pandangan ini, mereka mengemukakan argumen-

argumen al-Qur’an, Hadits, dan Ijma, seperti berikut ini:

1. Surah az-Zumar (39): 18:

هن س ح ا ن و ع ب ت ي ف ل و ق ال ن و ع م ت س ي ن ي ذ ال

Artinya: (yaitu) mereka yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa

yang paling baik di antaranya.

.

2. Surah az-Zumar (39): 55:

ا و ات ب ع بك م ح ا و ر ن م م ا ل ي ك اا ن ز ل م س ن

6 Romli, Studi perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm 199-208.

7 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 145. 8 Romli, Op.cit., hlm 209-210.

7

Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu

(Al Qur’an) dari Tuhanmu.”

3. Hadits

بل(إبنحنماراهالمسلمونحسنافهوعنداهللحسن)رواهأ حمد

Artinya: “apa yang dipandang baik oleh kaum muslim maka hal itu juga

baik di sisi Allah.” (H.R. Ahmad bin Hanbal).

4. Ijma’

Ijma’ yang mereka jadikan argument ialah ijma’ kebolehan akad

pemakaian kamar mandi umum tanpa ada kejelasan kadar air yang

digunakan dan lamanya pemakaian.9

Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum yaitu Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i menyatakan dalam kitabnya yang berjudul al-Risalah bahwa:

“Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa

alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang

dianggap baik. Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah

membuat ketentuan baru yang mempedomani ketentuan yang telah digariskan

sebelumnya.”10 Untuk mendukung pola pikirannya Imam Syafi’i mengemukakan

argumen-argumen sebagai berikut:

1. Surat al-Ahzab (33): 2:

ل ىللا ت و ع ك ل و ك ي ا و ى ىب اهلل ك ◌و

Artinya: “Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu

kerjakan.”

2. Surah al-Qiyamah (75): 36:

س د ى ك يت ر ا ن ان ن س ال س ب ◌ا ي ح

Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja

(tanpa pertanggungjawaban)?”

9 Asmawi, Op.cit., hlm 118-119. 10 Romli, Op.cit., hlm 212-213.

8

3. Hadits

أمماأمركمللابهإلوقدأمرتكمبهولشيأممانهاكمعنهإلوقداتركتشيم

نهيتكمعنه

Artinya: “Aku tidak membiarkan sesuatu yang Allah perintahkan

kepadamu kecuali aku juga sungguh-sungguh

memerintahkannya kepadamu; demikian juga aku tidak

membiarkan sesuatupun yang Allah larang terhadapmu (untuk

mengerjakannya) kecuali aku pun melarangnya juga

terhadapmu.” (HR. Al-Syafi’i)11

Dalam pemakaian Istihsan, sebenarnya tidak terjadi perselisihan

antara golongan Hanafiyah dan golongan Syafi’iyah sebagaimana

dijelaskan Wahab Khalaf. Hanya saja, mereka tidak sama dalam

mendefinisikan Istihsan. Istihsan yang dimaksudkan Hanafi tidak sama

dengan istihsan yang dimaksudkan Syafi’iyah.12

D. Refleksi

Istihsan adalah sumber ajaran Islam yang sifatnya sekunder,

berbeda dengan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang bersifat primer.

Semua kalangan ulama’ mengakui bahwa Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan

Qiyas itu benar sebagai sumber ajaran Islam yang pertama tanpa adanya

pertentangan.

Istihsan adalah suatu sumber ajaran islam yang diperselisihkan

oleh para ulama ahli fiqh, tapi kenyataannya para ulama menggunakannya

meskipun dengan cara yang praktis.

Istihsan merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah

kebaikan untuk umat Islam, tentunya sangat dibutuhkan meskipun hanya

untuk meredakan permasalahan yang baru terjadi.

Ulama’ yang menjadikan istihsan sebagai sumber istinbath hukum

diantaranya yaitu imam Hanafi, imam Malik dan sebagian pengikut imam

Hanbali. Sedangkan Imam Syafi’i dan sebagian pengikut Imam Hanbali

11 Asmawi, Op.cit., hlm. 120-221. 12 Ahmad Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 160.

9

tidak menjadikannya sebagai metode istinbath hukum. Bahkan Imam

Syafi’i menolak keras untuk menggunakan istihsan sebagai metode

Istinbath. Menurut Imam Syafi’i istihsan merupakan cara istinbat hukum

dengan hawa nafsu yang hanya mencari enaknya saja.

Imam Syatibi juga menjelaskan bahwa istihsan yang di maksud

golongan Imam Hanafi bukanlah menguatkan dengan dasar perasaan

semata atau dengan hawa nafsu seperti apa yang dianggap oleh Imam

Syafi’i, tetapi menguatkan dengan dasar adanya kemaslahatan dalam hal

yang dikuatkan, dan mengandung penolakan terhadap kerusakan.

Semua para mujtahid yang melakukan ijtihadnya tanpa adanya

penyandaran kepada Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ maupun Qiyas, maka

ijtihad itu disebut dengan Istihsan, sebab para mujtahid menetapkan suatu

hukum berdasarkan apa yang baik menurut mereka, dan jihad yang

dilakukan seperti itu (istihsan) adalah batal (tidak berlaku).

10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istihsan ialah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum islam.

Berbeda dengan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah

disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, Istihsan adalah salah stu

metodologi yang digunakan hanya sebagian ulama saja, tidak semuanya. Ulama

yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum ialah madzhab Hanafi, Maliki,

dan sebagian pengikut imam Hanbali. Sedangkan yang menolak Istihsan dijadikan

sebagai sumber hukum ialah madzhab Syafi’i.

Pengertian Istihsan ialah tindakan meninggalkan satu hukum kepada

hukum lainnya disebabkan karana ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan

untuk meninggalkannya.

Macam-macam Istihsan menurut Madzhab Hanafi:

1. Istihsan dengan Nash

2. Istihsan dengan Ijma’

3. Istihsan dengan Darurat

4. Istihsan dengan al-‘Urf

5. Istihsan dengan Qiyas Khafi

Pembagian istihsan menurut Madzhab Maliki:

1. Istihsan dengan al-‘Urf

2. Istihsan dengan al-Maslahat

3. Istihsan dengan Raf’ul Haraj

Dasar hukum Istihsan

a) Surah al-Zumar (39):18

b) Surah az-Zumar (39):55

c) Hadits

d) Ijma’

11

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2002. Fiqih praktis bagi kehidupan modern. Jakarta: Gema

Insani Press.

Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Djalil, Ahmad Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.

Effendi, Satria. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Romli. 2014. Studi perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.