KESETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDERDALAM PERSPEKTIF ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga
Dosen pengampu : Dra. Laili Rahmah
Disusun Oleh :
Mukhlisin ( 052092282 )
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2011
KESETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDERDALAM PERSPEKTIF ISLAM
Masalah gender belakangan ini, banyak mencuat ke permukaan. Salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan bermacam-
macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Banyak orang yang
menyamakan gender dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan) serta peran dan
tanggung-jawabnya masing-masing. Selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad, lama
kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang gender dan mana yang sex. Bahkan
peran gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang
diberikan Tuhan.
Sebagai akibat dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara
laki-laki dan perempuan, baik secara langsung –berupa perlakuan/sikap, maupun tidak
langsung –berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah
menimbulkan berbagai ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam sejarah,
adat-istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidak-adilan ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran
yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak
hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki; walau
secara menyeluruh ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak
menimpa kaum perempuan.
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris “gender”, dalam Kamus Bahasa Inggris-
Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadili, berarti “jenis kelamin”. Melalui
pengertian ini, sebenarnya kurang tepat, karena seolah-olah gender disamakan
pengertiannya dengan sex (yang berarti jenis kelamin). Istilah gender ini lebih populer di
lingkungan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian untuk
memudahkan pemahaman kita terhadap kata gender tersebut, ada baiknya merujuk pada
penjelasan pemerintah melalui Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagaimana
juga yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, sebagai berikut:
Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab serta
kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya
(konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman
(menurut waktu dan ruang). Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung-
jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan
sosial dan budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab
keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai
1
dengan tuntutan perubahan zaman. Gender bukanlah kodrat dan ketentuan Tuhan. Oleh
karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan
dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur oleh ketentuan sosial dan budaya di
tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan peran dan tanggung-
jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-
biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak
berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.
Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis
dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan
maskulinitas atau feminitas seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan
perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan .
Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang
perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks
umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual,
selebihnya digunakan istilah gender.
Sebelum menguraikan bagaimana pandangan Islam terhadap gender, perlu
dikemukakan terlebih dahulu pandangan masyarakat dunia secara umum terhadap
perempuan, terutama sebelum turunnya kitab suci Alquran. Kemudian baru ditelaah
bagaimana pandangan Alquran terhadap gender.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan yang adil,
karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum laki-laki diberi
kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan para
perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa
adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda dengan Yunani, menjadikan
perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan
pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya dan membunuh. Peristiwa tragis ini berlangsung sampai pada abad V Masehi.
Segala hasil usaha perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
2
Pada zaman Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit perubahan dengan
diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa setiap
transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga (suami/ayah).
Pada peradaban Hindu juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi seorang perempuan
yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri terkadang harus
dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad
XVII Masehi.
Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap sangat memperihatinkan, sampai
dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris masih mengakui hak suami untuk menjual
istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggeris belum lagi mempunyai hak
kepemilikan harta benda secara penuh, termasuk hak menuntut ke pengadilan.
Dengan latar belakang yang demikian, maka di Barat timbul gerakan emansipasi
wanita. Mereka menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan karena mereka
diperlakukan tidak adil. Di depan hukum mereka ingin hak mereka diakui sebagaimana laki-
laki dapat melakukan perbuatan hukum tanpa harus minta izin.
Hal yang sama tidak terjadi dalam agama Islam. Untuk dapat mengetahui
keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, kita harus memahami sosial budaya bangsa
Arab sebelum dan ketika Alquran diturunkan. Misi Alquran dapat dipahami secara utuh
setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan boleh jadi, sejumlah ayat
dalam Alquran (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan gender), dapat disalah-pahami tanpa
memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab.
Mata pencaharian penduduk Arab kebanyakan beternak bagi mereka yang mendiami
kawasan tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan yang subur.
Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran dalam masyarakat
sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam. Laki-laki bekerja sebagai pencari
nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan dan kehormatan kabilah (sektor publik),
dan perempuan bekerja mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga (sektor
domestik).
Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima sepenuh
hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Alquran, mulai dari
sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu
membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.
3
Demikian kondisi serta pola kehidupan bangsa Arab sebelum turunnya agama Islam,
selanjutnya akan ditelaah ayat-ayat Alquran dan pemahamannya, terutama yang
menyangkut masalah gender.
Bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah
memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka
tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak menerima warisan, malah termasuk
barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam
mendudukkan perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan
tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah
pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda
dan diskriminatif, juga telah menjadi catatan historis dan kajian para ahli.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang
menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS.
An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-
wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara
laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan
istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan
material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin
dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran
tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya
untuk menambah penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan
perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-
Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai
hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar
kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian
kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya
dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-
laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS.
An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam
hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah
pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-
4
Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka
menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah:
71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam
kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian,
setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat
agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari
pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga
mengabaikan petunjuk kitab suci. Wallahu A’lamu bi al-Shawaab.
5
Top Related