psikologi keluarga

8
KESETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga Dosen pengampu : Dra. Laili Rahmah Disusun Oleh : Mukhlisin ( 052092282 ) FAKULTAS AGAMA ISLAM

description

psikologi

Transcript of psikologi keluarga

Page 1: psikologi keluarga

KESETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDERDALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga

Dosen pengampu : Dra. Laili Rahmah

Disusun Oleh :

Mukhlisin ( 052092282 )

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2011

Page 2: psikologi keluarga

KESETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDERDALAM PERSPEKTIF ISLAM

Masalah gender belakangan ini, banyak mencuat ke permukaan. Salah satu faktor

yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan bermacam-

macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Banyak orang yang

menyamakan gender dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan) serta peran dan

tanggung-jawabnya masing-masing. Selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad, lama

kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang gender dan mana yang sex. Bahkan

peran gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang

diberikan Tuhan.

Sebagai akibat dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara

laki-laki dan perempuan, baik secara langsung –berupa perlakuan/sikap, maupun tidak

langsung –berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah

menimbulkan berbagai ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam sejarah,

adat-istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.

Ketidak-adilan ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran

yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak

hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki; walau

secara menyeluruh ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak

menimpa kaum perempuan.

Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris “gender”, dalam Kamus Bahasa Inggris-

Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadili, berarti “jenis kelamin”. Melalui

pengertian ini, sebenarnya kurang tepat, karena seolah-olah gender disamakan

pengertiannya dengan sex (yang berarti jenis kelamin). Istilah gender ini lebih populer di

lingkungan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian untuk

memudahkan pemahaman kita terhadap kata gender tersebut, ada baiknya merujuk pada

penjelasan pemerintah melalui Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagaimana

juga yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, sebagai berikut:

Gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab serta

kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya

(konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman

(menurut waktu dan ruang). Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung-

jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan

sosial dan budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab

keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai

1

Page 3: psikologi keluarga

dengan tuntutan perubahan zaman. Gender bukanlah kodrat dan ketentuan Tuhan. Oleh

karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan

dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur oleh ketentuan sosial dan budaya di

tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan peran dan tanggung-

jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang

digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-

biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi

perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak

berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan

hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.

Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis

dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan

maskulinitas atau feminitas seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan

perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan .

Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang

perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks

umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual,

selebihnya digunakan istilah gender.

Sebelum menguraikan bagaimana pandangan Islam terhadap gender, perlu

dikemukakan terlebih dahulu pandangan masyarakat dunia secara umum terhadap

perempuan, terutama sebelum turunnya kitab suci Alquran. Kemudian baru ditelaah

bagaimana pandangan Alquran terhadap gender.

Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan yang adil,

karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum laki-laki diberi

kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan para

perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa

adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan itu.

Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda dengan Yunani, menjadikan

perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan

pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,

menganiaya dan membunuh. Peristiwa tragis ini berlangsung sampai pada abad V Masehi.

Segala hasil usaha perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.

2

Page 4: psikologi keluarga

Pada zaman Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit perubahan dengan

diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa setiap

transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga (suami/ayah).

Pada peradaban Hindu juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi seorang perempuan

yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri terkadang harus

dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad

XVII Masehi.

Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap sangat memperihatinkan, sampai

dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris masih mengakui hak suami untuk menjual

istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggeris belum lagi mempunyai hak

kepemilikan harta benda secara penuh, termasuk hak menuntut ke pengadilan.

Dengan latar belakang yang demikian, maka di Barat timbul gerakan emansipasi

wanita. Mereka menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan karena mereka

diperlakukan tidak adil. Di depan hukum mereka ingin hak mereka diakui sebagaimana laki-

laki dapat melakukan perbuatan hukum tanpa harus minta izin.

Hal yang sama tidak terjadi dalam agama Islam. Untuk dapat mengetahui

keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, kita harus memahami sosial budaya bangsa

Arab sebelum dan ketika Alquran diturunkan. Misi Alquran dapat dipahami secara utuh

setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan boleh jadi, sejumlah ayat

dalam Alquran (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan gender), dapat disalah-pahami tanpa

memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab.

Mata pencaharian penduduk Arab kebanyakan beternak bagi mereka yang mendiami

kawasan tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan yang subur.

Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran dalam masyarakat

sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam. Laki-laki bekerja sebagai pencari

nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan dan kehormatan kabilah (sektor publik),

dan perempuan bekerja mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga (sektor

domestik).

Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima sepenuh

hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Alquran, mulai dari

sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu

membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.

3

Page 5: psikologi keluarga

Demikian kondisi serta pola kehidupan bangsa Arab sebelum turunnya agama Islam,

selanjutnya akan ditelaah ayat-ayat Alquran dan pemahamannya, terutama yang

menyangkut masalah gender.

Bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah

memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka

tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak menerima warisan, malah termasuk

barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam

mendudukkan perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan

tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah

pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda

dan diskriminatif, juga telah menjadi catatan historis dan kajian para ahli.

Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang

menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS.

An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-

wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara

laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan

istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk

memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan

material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin

dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran

tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya

untuk menambah penghasilan.

Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan

perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-

Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai

hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar

kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian

kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya

dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-

laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS.

An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam

hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah

pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-

4

Page 6: psikologi keluarga

Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki

dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka

menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah:

71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam

kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian,

setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat

agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari

pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga

mengabaikan petunjuk kitab suci. Wallahu A’lamu bi al-Shawaab.

5