JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
1
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA LINTASAN HIJAU HALIMUN SALAK
Marisca Wulansari1 Indra Lestari Fawzi2
ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan tentang sebuah program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh Star Energy Geothermal Salak, Ltd bekerjasama dengan Yayasan KEHATI dalam program yang berjudul Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk pengorganisasian CSR, peran Yayasan KEHATI dalam implementasi CSR serta peluang, hambatan serta tantangan dalam Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian studi kasus yang menggunakan teknik pemilihan sampel purposif. Penggalian data dilakukan dengan wawancara mendalam semi terstruktur terhadap perwakilan Star Energy Geothermal Salak, Ltd, perwakilan Yayasan KEHATI, perwakilan Balai Taman Nasional Halimun Salak dan perwakilan salah satu penerima manfaat, Jarmaskor. Dari hasil penelitian didapati pengorganisasian CSR dijalankan dalam dua bentuk yaitu secara kolaboratif di fase pertama program (tahun 2011-2016) dan secara alih daya (outsource) secara filantropis di fase kedua ( tahun 2018-2021). Dalam Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak, Yayasan KEHATI berperan sebagai katalisator dalam kerjasama yakni dengan menyeimbangkan kepentingan perusahaan maupun taman nasional dalam kemitraan, menjadi mediator dengan menghubungkan perusahaan dengan NGO lokal yang mampu melakukan pekerjaan teknis restorasi, memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan stakeholder terkait demi keberlanjutan program serta brokering capacity dalam meningkatkan kapasitas teknis masyarakat dan membangun kapasitas keuangan NGO lokal dan kelompok masyarakat. Faktor pendukung KEHATI dalam kerjasama ini adalah pengalaman dan reputasi KEHATI sedangkan faktor penghambat dalam kerjasama ini adalah belum adanya platform kerjasama multipihak antara perusahaan, KEHATI, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Pergantian Staf KEHATI yang tinggi dalam program ini serta perbedaan pandangan terkait pengelolaan proyek antara perusahaan dan KEHATI. KATA KUNCI : Corporate Social Responsibility, Kemitraan, NGO, Lingkungan
ABSTRACT This study describes a Corporate Social Responsibility (CSR) program conducted by Star Energy
Geothermal Salak, Ltd. in collaboration with the KEHATI Foundation in a program entitled Green Coridor Initatives Halimun Salak. This study aims to look at type of CSR governance, the role of the KEHATI in CSR activities as well as opportunities, obstacle and challenges in the Green Coridor Initiaves Halimun Salak. This is a qualitative research with a case study design using purposive sampling techniques. Data mining was carried out with a semi-structured in-depth interview with representatives of the Star Energy Geothermal Salak, Ltd., representatives of the KEHATI Foundation, representatives of the Halimun Salak National Park and representatives of one of the beneficiaries, Jarmaskor. The results of the study found that CSR governance is carried out in two forms, namely collaboratively in the first phase of the program (in 2011-2016) and outsourced through philanthropy in the second phase (2018-2021). In the Green Coridor Initiaves Halimun Salak Program, KEHATI acts as a catalyst in cooperation by balancing the interests of companies and national parks in partnerships, becoming a mediator by connecting companies with local NGOs that are able to carry out technical restoration work, facilitating community collaboration with relevant stakeholders for the sustainability of the program and brokering capacity in increasing the technical capacity of the community and building the financial capacity of local NGOs and community groups. KEHATI supporting factors in this collaboration are KEHATI's experience and reputation while the inhibiting factors in this collaboration are the absence of a multi-stakeholder collaboration platform between the company, KEHATI, and Mount Halimun Salak National Park, the high turnover of KEHATI staff in this program and differences in views regarding project management between company and KEHATI. KEY WORDS : Corporate Social Responsibility, Partnership, NGO, Community Development, Environment
1 Mahasiswa Program Magister Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. 2 Star Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)
2
PENDAHULUAN Pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development) telah membangun
kesadaran bahwa untuk menciptakan masa depan
yang lebih baik, semua permasalahan yang
dihadapi oleh umat manusia tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh satu pihak melainkan
memerlukan kolaborasi berbagai pihak. Kesadaran
inilah yang membangun inisiatif kerjasama oleh
berbagai sektor dan salah satunya adalah kerjasama
antara dunia bisnis dan NGO. Kerjasama ini
dimungkinkan karena keduanya memiliki
sumberdaya yang saling melengkapi. Perusahaan
membutuhkan reputasi, keahlian teknis dan
legitimasi yang dimiliki NGO sedangkan NGO
membutuhkan sumber daya berupa kemampuan
organisasi dan pendanaan yang dimiliki
perusahaan (Yaziji and Doh 2009; Glasbergen and
Groenenberg 2001; Austin 1998; Kanter 1999
dalam Graf dan Rothlauf, 2012). Beberapa faktor
pendorong kerjasama antara perusahaan dan NGO
antara lain: adanya kecocokan dalam hal misi,
strategi dan nilai; Adanya hubungan dan koneksi
personal; adanya nilai baru yang ingin diciptakan
bersama (value creation), adanya harapan bersama
yang ingin dicapai melalui kerjasama; adanya
proses komunikasi yang baik (Austin dan
Hesselbein, 2000). Lebih lanjut, NGO dapat
menjadi mitra yang potensial dalam pengelolaan
isu lingkungan karena perannya untuk mengawal
perubahan iklim, pemanfaatan energi, pengelolaan
limbah, polusi, keanekaragaman hayati dan
penggunaan lahan (Asfaw, Botes dan Mengesha,
2017).
Sebenarnya peluang kerjasama antara
perusahaan dan NGO telah diidentifikasi sebagai
salah satu pola pelaksanaan CSR. Menurut Saidi
dan Abidin (2004:64-65) setidaknya ada empat
model pola pelaksanaan CSR yaitu: (1)
Keterlibatan langsung dimana perusahaan
menjalankan program CSR secara langsung
dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial
atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa
perantara. Biasanya CSR seperti ini dilakukan
oleh bagian corporate secretary atau Public
Relations. (2) Melalui yayasan atau organisasi
sosial yang didirikan oleh perusahaan sendiri.
Model CSR seperti ini merupakan model yang
lazim diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di
negara maju contohnya Yayasan Coca Cola
Company, Yayasan Dharma Bhakti Astra,
Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund (3) Bermitra
dengan pihak lain seperti melalui kerjasama
dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah
(NGO/ LSM), instansi pemerintah, universitas atau
media massa, baik dalam mengelola dana maupun
dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. (4)
Mendukung atau bergabung dalam suatu
konsorsium. Dalam model ini perusahaan turut
mendirikan atau menjadi anggota atau mendukung
suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan
sosial tertentu. Dibandingkan dengan model
lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian
hibah perusahaan yang bersifat “hibah
pembangunan” (Pujiyono, Wiwoho, Triyanto,
2016).
Pola pelaksanaan CSR atau CSR governance
mengacu pada pengorganisasian kegiatan CSR
yang mana aktivitas CSR yang efektif adalah
aktivitas CSR yang mampu menghasilkan dampak
sosial yang besar dengan biaya yang efisien. Dalam
kaitannya dengan hal ini setidaknya ada 3 pilihan
pengorganisasian CSR yaitu alih daya (outsource)
aktivitas CSR, internalisasi (in-house) aktivitas
CSR dan melakukan aktivitas CSR yang
kolaboratif (Husted, 2003). Pengorganisasian CSR
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
3
melalui alih daya dilakukan dengan “membeli”
atau menyediakan sejumlah pendanaan kepada
pihak lain dan sering kali hal ini dilakukan melalui
kegiatan filantropis kepada NGO.
Pengorganisasian CSR secara in –house biasanya
dilakukan oleh divisi CSR perusahaan sendiri atau
Yayasan yang dibentuk dan dimiliki oleh
perusahaan dan Pengorganisasian CSR secara
kolaboratif biasanya dilakukan dengan membentuk
proyek kolaboratif bersama NGO atau pemerintah
(Husted et al, 2010).
Kemampuan NGO untuk bekerja dengan
berbagai pihak termasuk juga perusahaan telah
mendorong beberapa penelitian untuk melihat
lebih mendalam peran yang dapat dijalankan oleh
NGO dalam kerjasamanya dengan perusahaan.
Dalam sebuah studi yang berjudul “Cross -Sector
Social Partnership for Social Change: The Roles of
Non Governmental Organization” (Yan, Lin dan
Clarke, 2018) ditemukan setidaknya ada 3
kelompok peran NGO dalam proses kemitraan
yaitu sebagai peran enabling, peran coordinating
dan peran sebagai fasilitasi perubahan. Dalam
penelitian lain tentang peran NGO dalam bisnis
inklusif ditemukan bahwa NGO setidaknya
menjalankan peran sebagai fasilitasi, co –design,
legitimasi dan enabling. (Nahi, 2017).
Fokus dari penelitian ini adalah kerjasama
antara Star Energy Geothermal Salak, Ltd (SEGS)
dengan Yayasan KEHATI dalam sebuah program
yang berjudul Prakarsa Lintasan Hijau Halimun-
Salak (Green Corridor Initiatives Halimun –
Salak). Kerjasama antara Star Energy Geothermal
Salak Ltd (SEGS) dengan Yayasan KEHATI ini
dijalankan dalam sebuah proyek yang berjudul
Restorasi Ekosistem Berbasis Masyarakat dan
Peningkatan Penghidupan Masyarakat di Koridor
Halimun Salak. Program ini berlangsung selama
dua fase. Fase pertama berlangsung selama lima
tahun yang dimulai dari 15 Desember 2011 sampai
dengan 15 Desember 2016 sedangkan fase kedua
berlangsung selama 3 tahun, yang dimulai dari
tahun 9 Juli 2018 sampai dengan 31 Juli 2021.
Lokasi intervensi utama program Prakarsa
Lintasan Hijau Halimun- Salak adalah hutan
koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
yang secara geografis terletak diantara 2 kabupaten
yaitu kabupaten Bogor dan kabupaten Sukabumi.
Hutan koridor Halimun-Salak merupakan hutan
yang menghubungkan dua kawasan konservasi
penting yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak.
Hutan koridor tersebut memiliki fungsi ekologis
yang khas dan penting bagi kelestarian Kawasan,
hutan ini menjaga konektivitas dan integritas
keseluruhan Kawasan konservasi Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Sebagai hutan
penghubung, hutan koridor merupakan saluran
pergerakan satwa dan penyaluran tumbuhan dari
hutan Gunung Salak menuju Gunung Halimun dan
sebaliknya, dengan kata lain hutan koridor
merupakan saluran bagi pertukaran genetik
(genetic flow) diantara species flora dan fauna yang
ada di kedua kawasan konservasi tersebut. Hutan
koridor juga berfungsi sebagai daerah penyangga
air, pencegah tanah longsor, dan penghasil oksigen
bagi masyarakat Jakarta, Bogor dan Sukabumi.
Bagi masyarakat sekitar, hutan koridor merupakan
penyedia air khususnya untuk air bersih dan
pertanian. Namun perubahan status kawasan,
pertambahan jumlah penduduk telah membuat
tekananan yang sangat besar bagi hutan koridor
maka tidak mengherankan jika hutan koridor
mengalami degradasi dan deforestrasi. Dalam
upaya untuk mengatasi kondisi koridor Taman
Nasional Gunung Halimun -Salak yang terus
mengalami degradasi dan deforestrasi maka pihak
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)
4
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
mengeluarkan Rencana Aksi Restorasi Koridor
Halimun-Salak (2009-2013). Pada saat itu, pihak
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak
sangat menyadari bahwa upaya pemulihan koridor
Taman Nasional Gunung Halimun Salak tidak
dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah dan butuh
dukungan dari para stakeholder terkait. Salah satu
stakeholder di kawasan TNGHS adalah Star
Energy Geothermal Salak, Ltd yang memiliki
lokasi-lokasi tambang panas bumi (geothermal),
dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak.
Penelitian ini menarik untuk diteliti karena
konteks program CSR Prakarsa Lintasan Hijau
Halimun Salak ini dilakukan di lokasi yang
merupakan wilayah pemerintah yaitu kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Beberapa
penelitian sebelumnya tentang kegiatan CSR di
dalam kawasan Taman Nasional menunjukan
bahwa pengelolaan proyek CSR di dalam kawasan
taman nasional sering belum menunjukan adanya
keterkaitan antara CSR untuk masyarakat dan CSR
untuk lingkungan dan CSR lingkungan yang
dilakukan juga belum memperhatikan status dan
fungsi kawasan hutan (Utomo et al.,2010). Dalam
penelitian lainnya tentang CSR di daerah
penyangga Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango juga menunjukan bahwa CSR yang
dilakukan masih sekedar charity dan belum
adanya pendampingan masyarakat yang intensif
(Nurdianto et al, 2014). Yang membedakan
program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak
dengan proyek CSR lainnya adalah Program ini
dianggap sebagai salah satu praktek terbaik (best
practice) pengelolaan CSR di dalam kawasan
taman nasional (Meijaard et al.,2019). Program ini
juga berhasil menghantarkan Star Energy
Geothermal Salak, Ltd untuk mendapatkan Proper
Emas pada tahun 2012 dan 2015. Pencapaian yang
diperoleh program CSR ini mendorong peneliti
untuk mengetahui bagaimana program CSR ini
dijalankan? Untuk menjawab hal ini peneliti
menguraikan implementasi CSR melalui 3 aspek
yaitu bentuk pengorganisasian CSR yang
diterapkan perusahaan, peran yang dijalankan
NGO selaku rekan kerjasama implementasi CSR
serta faktor pendukung ,hambatan dan tantangan
dalam pelaksanaan CSR.
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut
maka penelitian ini memiliki tujuan untuk ;
a. Menganalisa bentuk pengorganisasian CSR
yang dilakukan oleh Star Energy Geothermal
Salak, Ltd dalam kerjasamanya dengan
Yayasan KEHATI.
b. Menganalisa peran –peran Yayasan KEHATI
dalam program Prakarsa Lintasan Hijau
Halimun Salak
c. Menjelaskan faktor pendukung , hambatan-
hambatan serta tantangan dalam pengelolaan
program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun –
Salak.
METODOLOGI PENELITIAN
Peneliti menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif melalui desain penelitian studi
kasus (Case study). Studi kasus bertujuan untuk
menyediakan deskripsi dan analisis mendalam
tentang suatu kasus dan berusaha memahami kasus
secara menyeluruh (Ylikoski dan Zahle, 2019).
Teknis pengambilan sampel yang dilakukan adalah
melalui purposive sampling/judgemental sampling
sebagai tehnik pemilihan sampel. Pada dasarnya
dalam purposive sampling, pemilihan sampel
/partisipan dilakukan berdasarkan tujuan penelitian
dan sampel/ responden dipilih karena kualitas
tertentu yang dimilikinya. Ciri sampel dalam
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
5
sampel purposif meliputi: individu atau kelompok
individu yang kaya akan informasi dan
pengalaman serta memahami fenomena yang
dibahas dalam penelitian, bersedia untuk terlibat
dalam penelitian, mampu mengkomunikasikan
pengalaman dan pendapat dengan ekspresif
sekaligus reflektif (Ilker, Musa dan Alkassim,
2016). Pada penelitian ini, peneliti melakukan
wawancara mendalam semi terstruktur terhadap
perwakilan Star Energy Geothermal Salak Ltd
(SEGS),perwakilan Yayasan KEHATI, perwakilan
masyarakat penerima manfaat dan perwakilan
pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (BTNGHS). Pengambilan data sekunder
dilakukan dengan menganalisa laporan –laporan
yang pelaksanaan program Prakarsa Lintasan Hijau
Halimun Salak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Star Energy Geothermal Salak, Ltd
(SEGS) merupakan salah satu perusahaan yang
memproduksi energi panas bumi yang memiliki
area kerja yang beririsan dengan area Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan
hal inilah yang membuat pihak Balai Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS)
menjadi salah satu stakeholder kunci bagi SEGS.
Kesadaran SEGS menjalankan bisnis yang
bertanggung jawab mendorong SEGS untuk
merespon kebutuhan BTNGHS untuk membantu
memulihkan hutan koridor Gunung Halimun Salak
melalui kegiatan restorasi dan pengembangan
masyarakat koridor.
SEGS sangat menyadari untuk mewujudkan
CSR yang berfokus pada lingkungan sekaligus
mengembangkan masyarakat diperlukan mitra
implementasi yang memiliki pengetahuan untuk
melakukan pemulihan hutan sekaligus melakukan
pengembangan masyarakat dan karenanya untuk
menjaring mitra potensial, SEGS melakukan
tender tertutup dengan mengundang organisasi-
organisasi yang dipercaya memiliki dua
kemampuan ini. Berdasarkan hasil penilaian dan
rekomendasi dari stakeholder kunci maka Yayasan
KEHATI yang terpilih sebagai partner
implementasi CSR Star Energy Geothermal
Salak,Ltd. Yang membedakan Yayasan KEHATI
dengan NGO lain dalam implementasi CSR adakah
karena Yayasan KEHATI merupakan grant-
making NGO, yang fokus utama kegiatannya
adalah menyalurkan hibah terutama bagi
konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Bagaimana bentuk pengorganisasian CSR
antara SEGS dan Yayasan KEHATI? Menurut
Husted (2010) pemilihan bentuk pengorganisasian
CSR dipengaruhi oleh centrality yang mengacu
pada keterkaitan antara aktivitas CSR dengan
tujuan, misi, sumber daya yang miliki serta
kompetensi utama perusahaan. Dalam proyek
Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak,
manajemen perusahaan memutuskan untuk
melakukan inovasi dengan melakukan restorasi
kawasan hutan. Restorasi merupakan upaya untuk
memulihkan kondisi hutan alam sebagaimana
sedia kala sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai
hutan baik ekonomis maupun ekologis. Sebagai
perusahaan energi panas bumi, SEGS tidak
memiliki kompetensi untuk melakukan restorasi
sehingga wajar jika manajemen perusahaan
memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak lain
untuk melakukan proyek CSR yang dalam hal ini
ada 2 kemungkinan bentuk pengorganisasian CSR
yang dipilih yaitu mengalihdayakan CSR melalui
kegiatan filantropis atau berkolaborasi.
Selama dua fase kerjasama antara Star
Energy Geothermal Salak, Ltd dengan Yayasan
KEHATI yaitu fase pertama pada tahun 2011-2016
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)
6
dan fase kedua pada tahun 2018-2021 terdapat
perubahan pengorganisasian CSR. Pada fase
pertama, pengorganisasian CSR dilakukan melalui
pengelolaan proyek kolaboratif. Pengelolaan
proyek kolaboratif ditandai dengan tingginya
tingkat negosiasi dan adaptasi diantara SEGS dan
Yayasan KEHATI. Salah satu buktinya adalah
adanya komitmen dana tambahan dari SEGS untuk
mendukung pembelian lahan untuk pembangunan
pusat pembelajaran (learning center). Pusat
pembelajaran ini berupa pembangunan aula
sebagai tempat pertemuan yang di dalam lahan
pusat pembelajaran tersebut akan dikembangkan
demplot pertanian terpadu dan pusat pembibitan
tanaman hutan. Dalam jangka panjang pusat
pembelajaran ini dibangun sebagai strategi
keberlanjutan (sustainability) program.
Gambar 1. Pusat Pembelajaran (Learning Center)
Sementara pada fase kedua,
pengorganisasian CSR dilakukan melalui
pengelolaan yang bersifat filantropis yang mana
kontrol administratif yang diterapkan SEGS ke
KEHATI sangat ketat khususnya dalam hal
pendanaan. Salah satu sumberdaya penting yang
diberikan perusahaan kepada NGO dalam sebuah
kerjasama CSR adalah dana sehingga kontrol yang
terlalu ketat atas pendanaan dapat membuat
terhambatnya proyek di tingkat lapangan karena
akan sulit bagi NGO untuk membiayai dulu
kegiatan di lapangan. Perubahan bentuk
pengorganisasian CSR ini disebabkan oleh
beberapa hal diantara perubahan strategi CSR
SEGS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak
SEGS diketahui di fase pertama prioritas CSR
adalah reputasi perusahaan dan CSR dijalankan
dalam bentuk investasi sosial melalui kemitraan
sementara di fase kedua prioritas CSR bergeser ke
social license to operate yang mana CSR yang
dijalankan lebih berfokus pada pemberdayaan
masyarakat secara langsung.
Pada kedua fase, peran yang dijalankan
KEHATI dalam CSR adalah sebagai pelaksana
kegiatan di lapangan atau implementator.
Meskipun demikian dari hasil wawancara
mendalam dan penggalian data melalui dokumen
didapati adanya perbedaan titik awal masuknya
keterlibatan KEHATI dalam aktivitas CSR. Pada
fase pertama, Yayasan KEHATI terlibat mulai dari
perencanaan program, eksekusi program dan
monitoring dan evaluasi program sedangkan di
fase kedua , Yayasan KEHATI lebih berperan
sebagai eksekutor program dan tidak terlibat dalam
perencanaan awal program.
Pada fase pertama, KEHATI terlibat
langsung dalam tahap perencanaan program
dengan mengorganisasikan beberapa lokakarya
dengan NGO lokal dan universitas untuk
mengidentifikasi kegiatan –kegiatan apa saja yang
dapat dilakukan di lokasi program. Pihak SEGS
hanya menentukan target program yaitu restorasi
seluas 500 Ha dan keluarga sasaran terdampak
sebanyak 250 kepala keluarga sementara KEHATI
diberi kebebasan untuk menentukan lokasi
kegiatan program. Dari hasil beberapa lokakarya
dan studi yang dilakukan, KEHATI kemudian
membuat logical framework dan Rencana Kerja
yang akhirnya menjadi panduan dalam
menjalankan program. Untuk menjalankan
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
7
program, selama 5 tahun program, KEHATI
menyalurkan dana hibah ke berbagai lembaga yang
terdiri atas NGO, KSM dan Universitas untuk
menjalankan kegiatan. Penentuan lembaga
penerima hibah dilakukan melalui proses seleksi
proposal yang mana proposal yang diajukan oleh
calon lembaga penerima hibah akan dinilai oleh
tim seleksi yang terdiri atas perwakilan dari
stakeholder program Prakarasa Lintasan Hijau
Halimun Salak yaitu SEGS, Balai Taman Nasional
Gunung Halimun Salak dan Yayasan KEHATI.
SEGS menyadari salah satu faktor
pendukung kerjasama di dalam sebuah kegiatan
multistakeholder adalah adanya keberadaaan
social capital (Mulia, Satria dan Pranadikusumah,
2019) dan sebagai grant-making NGO, KEHATI
memiliki linking social capital. Linking social
capital merujuk pada relasi antara individu-
individu dan kelompok yang memiliki perbedaan
strata sosial dalam sebuah hierarki dimana kuasa,
status sosial dan kekayaan diakses oleh beberapa
kelompok yang berbeda. (Healy and Cote 2001).
Bagi SEGS, social capital yang dimiliki KEHATI
ini merupakan katalisator penyeimbang
kepentingan perusahaan dan pemerintah
khususnya Taman Nasional dalam pengelolaan
hutan koridor, sebagaimana terungkap melalui
hasil wawancara “..itulah KEHATI, katalisatornya
maupun stabilisatornya juga . Kan gini bisa jadi
kayak tadi pemerintah melakukan ngga mau tapi
kan advokasi dilakukan oleh kehati akhirnya ya
udah di masyarakatnya tetap jalan akhirnya itu jadi
semacam katalis dan stabilisator nah..” (DM,
SEGS, 27/03/2020).
Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, SEGS melakukan aktivitas CSR yang
berbeda jauh dengan kegiatan yang biasa
dilakukannya dan kenyataannya memang tidak
mudah bagi perusahaan ekstraktif di bidang panas
bumi untuk secara langsung harus mengurusi
restorasi hutan yang membutuhkan pengetahuan
spesifik sehingga adanya lembaga seperti KEHATI
membantu menghubungkan SEGS dengan NGO
lokal yang memiliki kapasitas untuk melakukan
pekerjaan restorasi diantaranya dengan RMI
(Rimbawan Muda Indonesia), YAPEKA (Yayasan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan
Konservasi Alam) dan Jarmaskor ( Jaringan
Masyarakat sekitar Hutan Koridor). Tidak hanya
itu jaringan kerja yang dimiliki KEHATI dengan
berbagai pihak juga berkontribusi menghubungkan
masyarakat dengan berbagai stakeholder program
untuk keberlanjutan kegiatan di masyarakat paska
berakhirnya program seperti Dinas Kehutanan
Sukabumi dan Dinas Pertanian Sukabumi. Dengan
melakukan hal ini, KEHATI menjalankan
perannya sebagai mediator dan fasilitator.
Dalam menjalankan program Prakarasa
Lintasan Hijau Halimun Salak, KEHATI
memberikan hibah tidak hanya kepada NGO tetapi
juga kepada Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM). Berbeda dengan NGO yang memiliki
kapasitas teknis dalam melakukan pekerjaannya di
lapangan, KSM sering kali tidak memiliki
kapasitas teknis, hanya saja keberadaannya
menjadi salah satu faktor penting untuk
memastikan keberlanjutan kegiatan di masyarakat.
Untuk memperlengkapi dan meningkatkan
kapasitas NGO ini, KEHATI memperlengkapi
KSM dengan berbagai mendatangkan beberapa
ahli pertanian dan peternakan untuk memberikan
pendampingan peningkatan kemampuan teknis
dalam hal pertanian, peternakan dan pertanian
terpadu. Perwakilan Jarmaskor mengungkapkan;
“..ibaratnya dengan tujuan akhirnya gitu jadi
lembaga KEHATI sangat memberikan kesempatan
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)
8
untuk masyarakat mengelola program secara
mandiri salah satu contohnya ya ke Jarmaskor.
Jarmaskor kan lembaga lokal yang ada ee. apa
disekitaran lingkungan Star Energy misalnya. Nah
diberi kesempatan untuk mengelola secara mandiri
gitu kan, secara lokal masyarakat. Nah kalo
lembaga lain kan tetap tidak diberikan… apa ya?
diberikan kegiatan yang sifatnya untuk berpikir
sendiri gitu. Masyarakat itu ya..artinya mereka
lembaga lain punya ..punya apa ya..punya
konsep..punya ..punya ee program yang mereka
bawa diimplementasikan bersama-sama dengan
masyarakat gitu aja sih mungkin bedanya mbak..”
(D, Jarmaskor, 27/03/2020).
Bagi SEGS yang dilakukan KEHATI ini
merupakan bentuk brokering capacity. KEHATI
memberikan akses kepada mitranya untuk
memiliki pengalaman bekerja sama dengan swasta
sekaligus menambah pengetahuan tidak hanya
pengetahuan terkait lingkungan tetapi juga
pengalaman mengelola dana hibah demi peluang
pendanaan di masa mendatang. Pada fase pertama
ini, KEHATI mampu menjalankan perannya secara
maksimal karena pengorganisasian CSR dengan
bentuk kolaboratif memungkinkan adanya
fleksibilitas dalam pengelolaan program.
Berbeda dengan fase pertama, di fase
kedua, KEHATI tidak terlibat di awal perencanaan
program sehingga KEHATI masuk ke dalam
program hanya sebagai pelaksana kegiatan. Dalam
fase kedua ini juga perusahaan lebih berfokus pada
social license to operate melalui upaya
pengembangan masyarakat langsung ditujukan ke
masyarakat di ring 1 maka tidak mengherankan
jika perusahaan kerap kali meminta KEHATI
melakukan kegiatan –kegiatan tambahan diluar
yang telah disepakati dalam perjanjian dan hal
inilah yang seringkali membuat KEHATI seperti
kontraktor. Perbedaan antara pengelolaan Program
Prakarsa Lintasan Hijau Halimun Salak di fase
pertama dan kedua menunjukan bahwa peran yang
dijalankan sebuah NGO dalam CSR sangat
dipengaruhi oleh bentuk pengorganisasin CSR dan
tujuan dari CSR yang ditetapkan perusahaan dan
pilihan pengorganisasian perusahaan dapat
berubah dari waktu ke waktu.
Tiap kerjasama khususnya sebuah
program memiliki kisah dan tantangannya
tersendiri. Salah satu alasan kuat mengapa SEGS
memilih KEHATI sebagai implementor CSR
adalah karena reputasi dan pengalaman KEHATI.
Bagi SEGS, secara kapasitas teknis yang
membedakan KEHATI dengan NGO lain adalah
KEHATI dianggap memiliki pengelolaan
organisasi yang lebih baik dibanding NGO lain
ditandai dengan KEHATI merupakan lembaga
yang selalu diaudit dan bahkan KEHATI memiliki
sertifikat ISO 9001 terkait sistem manajemen
mutu. KEHATI juga memiliki reputasi sehingga
memudahkan SEGS berinteraksi dan
mempengaruhi stakeholder lain khususnya pihak
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hal lain yang merupakan pendukung dalam
kerjasama ini adalah pengalaman KEHATI selama
lebih dari 20 tahun telah membuat KEHATI
memiliki pengetahuan teknis yang memampukan
KEHATI memberikan masukan kepada SEGS
dalam merancang keberlanjutan program. Salah
satu perwakilan perusahaan mengatakan banyak
NGO dapat melakukan pekerjaan teknis di
lapangan namun hanya sedikit NGO yang dapat
memberikan masukan dan menjadi rekan berpikir
bagi perusahaan dalam merancang strategi
keberlanjutan.
Perjalanan kerjasama SEGS dengan
KEHATI juga menghadapi sejumlah tantangan dan
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
9
hambatan. Beberapa hambatan dalam kerjasama
ini adalah: Pertama, Pada dasarnya restorasi adalah
pekerjaan pemerintah dan saat pihak swasta
bersedia berpartisipasi melalui CSR dengan
pelibatan NGO maka kerjasama yang terjalin
harusnya kerjasama multipihak. Namun
kenyataannya perjanjian kerjasama sama yang
dibuat hanya parsial hanya antara SEGS dengan
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan
antara Balai Taman Nasional Gunung Halimun
Salak dengan Yayasan KEHATI. Ketiadaan
perjanjian bersama oleh ketiga pihak membuat
tidak terbangunnya mekanisme penyelesaian
konflik ketika ada beberapa pihak yang berselisih.
Salah satu bukti nyata adalah dipenghujung akhir
periode kerjasama tahap pertama, BTNGHS
memutuskan penghentikan kegiatan restorasi
akibat adanya konflik diantara salah satu staf
SEGS dengan Balai Taman Nasional dan juga
kesalahpahaman antara Balai Taman Nasional
Halimun Salak dengan KEHATI dan ketiadaan
perjanjian tiga pihak membuat tidak ada satu pun
pihak yang mampu menjadi penengah ditengah
kesalahpahaman. Selain itu pemerintah masih
memberlakukan birokrasi yang rumit terkait
pengelolaan kawasan hutan dan kerumitan
birokrasi ini terkadang mempengaruhi kecepatan
implementasi proyek.
Kedua adalah ketidakkonsistenan Yayasan
KEHATI dalam mengelola sumber daya manusia
di dalam program ini. Pada fase kegiatan kedua,
salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi
kinerja program adalah pergantian personel
KEHATI yang sangat tinggi. Perwakilan SEGS
mengungkapkan: “… orang di KEHATI ganti-
ganti jadi kalau kita udah build ganti orang, build
ganti orang jadi akhirnya ngga jadi –jadi build kan
karena bagaimana pun juga walaupun institusi,
yang menimbulkan saling kerjasama orangnya.”
(DM, SEGS, 27/02/2020). Hal ini sangat
berpengaruh karena bagi SEGS, pergantian
personel KEHATI yang berkali-kali dalam
program membuat terputusnya alur koordinasi dan
kesulitan membangun kepercayaan antara
perwakilan SEGS dan KEHATI. Hal yang sama
juga berdampak bagi masyarakat. Bapak D dari
Jarmaskor mengungkapkan “…Kalau di KEHATI
kan orangnya ganti-ganti ya Mbak, ganti-ganti
direktur, ganti-ganti staf lainnya, seringkali yang
datang tidak tahu karakteristiknya masyarakat,
tidak tahu perjalanan awalnya seperti apa, ya..main
masuk dan tanpa komunikasi yang jelas sehingga
itu juga menimbulkan apa ya..? tidak nyambung
informasinya tidak tersalurkan, tidak teruruslah
menurut saya, pola komunikasinya sehingga main
potong kompas, yang seharusnya tidak terjadi
kesalahpahaman berpotensi menjadi salah paham.”
(D, Jarmaskor,27/03/2020). Pergantian personel
KEHATI yang menangani program membuat
seringkali mematahkan kepercayaan yang sudah
dibangun di masyarakat. Dari hasil wawancara
mendalam dengan pihak SEGS dan KEHATI
didapati banyak kesalahpahaman akibat
komunikasi yang buruk dan komunikasi yang
buruk ini sangat dipengaruhi akibat tidak adanya
transfer informasi di dalam program ini.
Ketiga, perbedaan cara bekerja.
Perusahaan seperti SEGS dijalankan dalam sebuah
struktur project management yang ketat termasuk
dalam pengorganisasian kegiatan CSRnya.
Sayangnya NGO memiliki pemahaman project
management yang berbeda dengan pihak swasta.
Perbedaan ini membuat adanya perbedaan tafsir
terhadap perjanjian kerjasama dan sering kali
persyaratan-persyaratan administratif yang diminta
oleh perusahaan dipandang menyulitkan.
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)
10
Salah satu tantangan bagi SEGS dalam
program CSR ini adalah bagaimana nama
perusahaan dikenal oleh masyarakat. Sebenarnya
dalam setiap kegiatan –kegiatan yang dilakukan ke
masyarakat, KEHATI maupun NGO penerima
hibah selalu mencantumkan nama perusahaan
namun sayangnya bagi masyarakat yang mereka
kenal adalah orang yang memang terjun langsung
bekerja mendampingi mereka dan hal-hal seperti
ini sangat lazim terjadi apabila perusahaan tidak
terjun langsung melakukan pekerjaan
pendampingan masyarakat. Sementara bagi
KEHATI, tantangan terbesar adalah dalam segi
pendanaan. Sebagai grant-making NGO, KEHATI
mengelola beberapa program dari beberapa donor
namun pendanaan dari donor-donor ini biasanya
merupakan pendanaan yang restriktif dalam arti
uang yang diberikan kepada KEHATI hanya dapat
digunakan untuk mengelola proyek sesuai tujuan
donor. Selain itu praktek yang umumnya dilakukan
didalam pengelolaan hibah dengan NGO adalah
pembayaran dimuka artinya donor harus bersedia
memberikan dana di depan agar program berjalan
dan di fase kedua program Prakarasa Lintasan
Hijau Halimun Salak, SEGS melakukan perubahan
pola pembayaran yang semula pembayaran dimuka
menjadi pola kombinasi pembayaran di muka
dengan reimburse sehingga ketidaksepahaman
terkait pendanaan ini membuat beberapa aktivitas
di lapangan mundur.
KESIMPULAN Perusahaan seperti Star Energi Geothermal
Salak, Ltd bekerja dalam dunia bisnis yang tidak
statis dan kondisi masyarakat sebagai salah satu
stakeholder yang dikelola perusahaan juga kerap
kali berubah, tentu saja hal ini membuat
perusahaan kerap melakukan penyesuaian terhadap
pengorganisasian CSRnya. Dalam periode pertama
kerjasama antara SEGS dan Yayasan KEHATI,
program Prakarasa Lintasan Hijau Halimun Salak
diorganisasikan secara kolaboratif namun
perubahan kondisi politik lokal mendorong
perusahaan mengubah pengorganisasian CSRnya
di fase kedua menjadi pengalihdayaan ke NGO
dalam bentuk kegiatan filantropis. Yang menjadi
pembeda antara kedua bentuk pengorganisasian
CSR ini adalah kontrol administrative yang
diterapkan perusahaan ke NGO. Dalam
pengalihdayaan CSR , perusahaan menerapkan
kontrol administratif yang lebih tinggi.
Program Prakarsa Lintasan Hijau Halimun
Salak menunjukan ada berbagai peran yang dapat
dijalankan dalam NGO dalam CSR Perusahaan.
Dalam program ini KEHATI menjalankan peran
sebagai katalisator penggerak kerjasama antara
SEGS dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Pengalaman kerja KEHATI yang cukup
lama telah membuat KEHATI memiliki jaringan
baik dengan NGO lokal maupun stakeholder di
area Salak sehingga KEHATI menjadi mediator
dengan menghubungkan SEGS dengan NGO lokal
yang dapat melakukan pekerjaan di lapangan dan
bagi masyarakat KEHATI memfasilitasi
masyarakat untuk terhubung dengan berbagai
stakeholder yang dapat membantu pendanaan
masyarakat dan pada akhirnya dapat berkontribusi
bagi keberlangsungan kegiatan di masyarakat.
Salah satu peran penting lainnya yang dijalankan
oleh KEHATI adalah sebagai brokering capacity.
Hal ini dilakukan KEHATI dengan memfasilitasi
beberapa pelatihan untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat dalam pertanian,
peternakan dan pertanian terintegrasi KEHATI
juga memberikan keterampilan pengelolaan
pendanaan yang di masa yang akan datang dapat
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
11
menjadi modal bagi NGO dan KSM agar dapat
dipercaya calon pemberi dana.
Beberapa faktor pendukung program ini
adalah reputasi dan pengalaman kerja yang
dimiliki KEHATI. Pengalaman KEHATI selama
bertahun-tahun mengelola hibah dan bekerja
dengan berbagai donor membuat KEHATI
menyadari pentingnya menjadi lembaga yang
kredibel dan salah satu bentuk bukti KEHATI
melakukan pengelolaan dana yang transparan
adalah dengan secara rutin melakukan audit
keuangan dan mendaftarkan diri sebagai lembaga
yang dikelola melalui sistem manajemen mutu (
ISO 9001). Selain faktor pendukung, KEHATI
juga menghadapi beberapa hambatan diantaranya
birokrasi yang belum cukup jelas dan belum
adanya pengaturan kerjasama multipihak saat
harus bekerja sama dengan Balai Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Selain itu bagi SEGS dan
masyarakat , pergantian personel KEHATI yang
cukup tinggi juga membuat terputusnya koordinasi
dan kesulitan menjalin kepercayaan antara SEGS
dengan KEHATI maupun antara KEHATI dan
masyarakat. Faktor penghambat berikutnya adalah
perbedaan dalam implementasi project
management dan hal ini membuat KEHATI dan
perusahaan memiliki beberapa penafsiran yang
berbeda dalam menjalankan proyek.
Dalam pengorganisasian CSR ini, bagi
SEGS tantangan yang harus dihadapi adalah
bagaimana memastikan masyarakat mengenal
keberadaan perusahaan karena pada kenyataannya
masyarakat lebih mengenal KEHATI dan NGO
lokal mitra KEHATI karena memang lazimnya
masyarakat lebih mengenal pihak yang bekerja
langsung terjun ke masyarakat. KEHATI selalu
memastikan nama SEGS diperkenalkan dalam
setiap kegiatan di masyarakat namun memang
sangat sulit membuat perusahaan terekognisi di
masyarakat saat perusahaan hanya muncul sesekali
ke masyarakat. Faktor penghambat lainnya dalam
kerjasama ini adalah pendanaan. Sebagian besar
NGO adalah nirlaba yang memperoleh pendanaan
dari hibah dan akan cukup sulit bagi NGO jika
harus membiayai dahulu pekerjaan di lapangan.
REKOMENDASI Salah satu cita-cita ideal dari semua pihak
yang terlibat dalam Program Prakarsa Lintasan
Hijau Halimun Salak ini adalah keberlanjutan
namun keberlanjutan ini tidak dapat dicapai tanpa
adanya perencanaan yang baik dan pendanaan
berkesinambungan. Jika memang program ini
diharapkan dapat berkesinambungan maka Star
Energy Geothermal Salak,Balai Taman Nasional
Gunung Halimun Salak dan KEHATI harus duduk
bersama-sama dan saling mengkomunikasikan
harapan masing-masing sehingga semua pihak
memiliki kejelasan posisi dan peran yang harus
dijalankan untuk mencapai program Prakarsa
Hijau Halimun Salak yang berkelanjutan. Selain itu
semua pihak perlu juga mempersiapkan sedari
awal strategi pendanaan melalui penggalangan
dana (fund raising).
Pada dasarnya perjanjian kerjasama antara
perusahaan dengan NGO tidak pernah sekedar
kerjasama formal yang dituangkan dalam
perjanjian kerjasama dan ada pertukaran uang dan
jasa yang diberikan tetapi juga tentang hubungan
diantara manusia-manusia yang terlibat dalam
kerjasama sehingga adalah penting untuk
memastikan masing-masing pihak menempatkan
sumber daya manusia yang tepat dalam program
CSR yang dikerjakan bersama. Faktor manusia
menjadi sangat penting karena terkadang negosiasi
diantara perusahaan dan NGO tidak hanya terjadi
secara formal tetapi juga secara informal sehingga
PERAN YAYASAN KEHATI DALAM PROGRAM PRAKARSA (MARISCA WULANSARI, INDRA LESTARI FAWZI)
12
penting untuk menjalin hubungan yang baik
diantara personel-personel yang mengelola
program maupun diantara top level manajemen
perusahaan dan NGO.
Salah satu faktor penting dalam
keberlanjutan sebuah NGO adalah keberlanjutan
pendanaan dan salah satu sumber pendanaan bagi
NGO adalah perusahaan. Jika NGO ingin
mengakses dana perusahaan maka NGO harus
memahami cara bekerja perusahaan dan
menyesuaikan diri dengan cara bekerja
perusahaan, salah satu caranya dengan
membangun sistem project management yang
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Austin, J. E. The Collaboration Challenge: How
Nonprofits and Business Succeed through
Strategic Alliances. San Francisco, CA:
Jossey-Bass, 2000.
Becker, Erick.2016. The Influence of
Environmental NGOs in the Global Society.
Butler
Chapter 2 in Andriof, J., Waddocl, S., Husted, B,
and Sutherland Rahman, S. 2003. Unfolding
Stakeholder Thinking 2: Relationships,
Communication, Reporting and
Performance. Sheffield: Greenleaf: 39-52,
2003University.
Conley, John M. and Williams, Cynthia A.,
Engage, Embed, and Embellish: Theory
Versus Practice in the Corporate Social
Responsibility Movement (March 23, 2005).
UNC Legal Studies Research Paper No. 05-
16. Available at SSRN:
https://ssrn.com/abstract=691521or
http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.691521
Etikan, Ilker. (2016). Comparison of Convenience
Sampling and Purposive Sampling.
American Journal of Theoretical and
Applied Statistics. 5. 1.
10.11648/j.ajtas.20160501.11.
Garriga, E. & Melé, D. Journal of Business Ethics
(2004) 53: 51.
https://doi.org/10.1023/B:BUSI.000003939
9.90587.34
Gray, Jennifer R. Grove, Susan K. Grove,
Sutherland, Suzanne. Burns and Grove's The
Practice of Nursing Research - E-Book:
Appraisal, Synthesis, and Generation of
Evidence, Ed8. Elsevier Health Sciences,
2016.
Glassbergen, P dan R.Groenenberg(2001).
Environmental Partnership in sustainable
energy. European Environment, 11(1).1-3
Healy, Tom. and Sylvain Cote. 2001. The Well-
Being of Nations : The Role of Human and
Social Capital. Organisation for Economic
Co-operation and Development.
Husted, Bryan. (2003). Governance Choices for
Corporate Social Responsibility: to
Contribute, Collaborate or Internalize?.
Long Range Planning. 36. 10.1016/S0024-
6301(03)00115-8.
Husted, B. W., Allen, D. B., & Rivera, J. E. (2010).
Governance Choice for Strategic Corporate
Social Responsibility: Evidence From
Central America. Business & Society, 49(2),
201–215.
https://doi.org/10.1177/0007650308315504
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 1-13
13
Laporan Kemajuan Yayasan KEHATI untuk
disubmit kepada Chevron sampai dengan
Mei 2015.
Martens, K. VOLUNTAS: International Journal
of Voluntary and Nonprofit Organizations
(2002) 13: 271.
https://doi.org/10.1023/A:1020341526691
Mazurkiewicz, Piotr. 2004. Corporate
environmental responsibility : Is a common
CSR framework possible? (English).
Washington, DC: World Bank.
http://documents.worldbank.org/curated/en/
577051468339093024/Corporate-
environmental-responsibility-Is-a-common-
CSR-framework-possible
Meijaard, E., Dennis, R.A., Saputra, B.K.,
Draugelis, G.J., Qadir, M.C.A., and
Garnier, S. 2019. Rapid Environmental and
Social Assessment of Geothermal Power
Development in Conservation Forest Areas
of Indonesia. PROFOR, Washington, DC.
Nahi, T. Co‐creation for sustainable development:
The bounds of NGO contributions to
inclusive business. Bus Strat Dev. 2018; 1:
88– 102. https://doi.org/10.1002/bsd2.14
Nurdianto, Ahmad, et al. "Kajian
Implementasi Program Corporate Social
Responsibility (CSR) di Daerah
Penyangga Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (Studi Kasus di
Kampung Sarongge Desa Ciputri
Kecamatan Pacet Kab. Cianjur)." Jurnal
Nusa Sylva, vol. 14, no. 1, 2014, pp. 20-
31
Saidi dan Abidin, 2004. Corporate Social
Responsibility „Alternatif bagi
Pembangunan Indonesia. Jakarta: ICSD.
T. S. Asfaw, V. Botes, & L. G. Mengesha. (2017).
The Role of NGOs in Corporate
environmental responsibility practice:
evidence from ethiopia.
Utomo, N.A., Limberg, G., Moeliono, M.M.,
Indriatmoko, Y., Mulyana, A., Iwan, R., &
Saparuddin (2010). Peraturan saja tidak
cukup: pelajaran dari program tanggung
jawab sosial dan lingkungan (CSR) di
Taman Nasional Kutai dan gagasan
perbaikan ke depan.
Wadham, Helen.2009. Talking across
boundaries:Business and NGO perspectives
on sustainable development and
partnership.
Weber, K. (2009). Michael Yaziji and Jonathan
Doh: NGOs and Corporations: Conflict and
Collaboration. Administrative Science
Quarterly, 54(4), 668–670.
https://doi.org/10.2189/asqu.2009.54.4.668
Yan, X.; Lin, H.; Clarke, A. Cross-Sector Social
Partnerships for Social Change: The Roles
of Non-Governmental Organizations.
Sustainability 2018, 10, 558.
Ylikoski, P., & Zahle, J. (2019). Case Study
Research in the Social Sciences. Studies in
History and Philosophy of Science Part A,
78, 1-4.
Top Related