Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

58
NASKAH AKADEMIS RUU TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA) DISUSUN OLEH TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONAL JAKARTA, OKTOBER 2010

description

NASKAH AKADEMISRUU TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI(PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA)DISUSUN OLEH TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONALJAKARTA, OKTOBER 2010iPENGANTAR    Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Naskah Akademis RUU tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Penyempurnaan UU No 5 Tahun 1

Transcript of Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

Page 1: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

NASKAH AKADEMIS

RUU TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

(PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA)

DISUSUN OLEH TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II

KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONAL

JAKARTA, OKTOBER 2010

Page 2: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

i

PENGANTAR   

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Naskah Akademis RUU tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Penyempurnaan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya) dapat diselesaikan pada waktunya.

Derasnya perubahan lingkungan strategis yang terjadi dalam 20 tahun terakhir telah menyebabkan penyelenggaraan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya (KSDAHE) di Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 berjalan kurang efektif, oleh karena itu perlu segera dilakukan penyempurnaan. Memperhatikan kondisi di atas, Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) telah bersepakat untuk melakukan kajian perubahan UU No. 5 Tahun 1990, dengan terlebih dahulu menyusun naskah akademis (NA).

Guna memudahkan pelaksanaan kajian dimaksud, DKN membentuk Tim Ad-hoc Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II, beranggotakan perwakilan kamar yang ada di DKN. Mereka adalah para praktisi dan penggiat kegiatan konservasi SDA&E, serta para penyusun kebijakan perundangan di Kementerian Kehutanan.

Tim ad-hoc telah bekerja efektif sejak Januari 2010. Kajian dilakukan melalui pertemuan focus group discussion (FGD), studi pustaka, kunjungan lapangan, maupun konsultasi publik dengan para pihak. NA perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan mampu mendorong segera direalisasikannya naskah UU konservasi yang baru, yang mampu menjawab tantangan terkini serta tantangan 20 tahun ke depan di bidang konservasi.

Akhirnya kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Direktorat Jendral PHKA dan Biro Hukum SetJen Kementerian Kehutanan, WWF Indonesia dan Orangutan Conservation Service Program (OCSP) yang telah memberikan dukungan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Demikian pula ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang telah berperan serta dalam mensukseskan penyusunan NA perubahan UU No. 5 Tahun 1990. Semoga Tuhan memberkati.

Jakarta, 11 Oktober 2010 a/n Dewan Kehutanan Nasional

I Made Subadia Gelgel Ketua Tim Ad-hoc Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II

Page 3: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

ii

Daftar Nama Anggota Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II  

 No. Nama Asal Instansi

1. Tim Pengarah (SC)

Hariadi Kartodihardjo DKN/IPB Hadi S Pasaribu Staf Ahli Menteri Kehutanan Darori Dirjen PHKA Kementerian Kehutanan Wahyudi Wardoyo TNC Andi Novianto Kemenko Perekonomian Nana Suparna Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Dian Achmad Kosasih WWF Indonesia Jamartin Sihite OCSP Bambang Suharsono DKN 2. Tim Ad-hoc

I. Made Subadia Gelgel Kementerian Kehutanan Wiratno Kementerian Kehutanan Bambang Eko Prayitno Kementerian Kehutanan Eppy Agusfin Kementerian Kehutanan Samedi KEHATI Fathi Hanif WWF Indonesia Arbi Valentinus OCSP Andiko HUMA Hedar Laudjeng DKN Harry Alexander WCS Harri Purnomo DKN

Page 4: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

iii

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II. LANDASAN UMUM ................................................................................ 3

A. Landasan Filosofis ................................................................................................ 3 B. Landasan Yuridis .................................................................................................. 3 C. Landasan Sosial ................................................................................................. 15

BAB III. PERUBAHAN PARADIGMA ............................................................... 16

A. Kondisi Lingkungan Strategis ........................................................................... 16 B. Masalah Konservasi ........................................................................................... 17

BAB IV. MATERI MUATAN .............................................................................. 29

I Ketentuan Umum ................................................................................................ 29 II Perlindungan Keanekaragaman Hayati .......................................................... 31 III Pengawetan Keanekaragaman Hayati ............................................................ 39 IV Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati .......................................................... 41 V Pemulihan Ekosistem dan Populasi Spesies ................................................. 43 VI Kelembagaan ...................................................................................................... 44 VII Partisipasi Pengelolaan Kehati ......................................................................... 47 VIII Pengamanan dan Penyidikan ........................................................................... 50 IX Larangan dan Sanksi ......................................................................................... 51

BAB V. KESIMPULAN ................................................................................................. 54

Page 5: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. SDAH ini merupakan sumberdaya strategis, dikuasai negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, dicerminkan oleh keanekaragaman jenis satwa dan flora Indonesia. Dalam tataran global, walau luas daratan Indonesia hanya 1% dari luas daratan dunia, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi tiga besar bersama dengan Brazil dan Zaire (Republik Demokrat Kongo). Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia (12% dari total jumlah mamalia dunia), 511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia), 1.531 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis tumbuhan berbunga.

Sumberdaya alam tersebut jumlahnya tidak tak terbatas, dan walaupun mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable), SDAH mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam keberadaan sumberdaya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya.

Guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu diatur bahwa sebagian dari SDAH tersebut harus dilindungi secara ketat, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan secara proporsional dan berkelanjutan. Konservasi SDAH merupakan keseimbangan antara perlindungan ketat dan pemanfaatan yang berkelanjutan tersebut sehingga keberadaannya tetap bisa dipertahankan dan dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kemakmuran masyarakat baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.

Pengaturan konservasi SDAH melalui peraturan perundangan diharapkan akan mampu menjamin adanya kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan SDAnya, terjaminnya pemenuhan hak hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan SDA, serta terjaminnya distribusi manfaat SDAH secara adil dan berkelanjutan.

Dewasa ini telah ada UU yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini telah berumur hampir 20 tahun, dan selama masa tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam hasil-hasil konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil kesepakatan baik bilateral, regional maupun multilateral.

Page 6: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

2

Belakangan ini telah terjadi kecendrungan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan, dimana sebagian besar sumberdaya alam kita mengalami degradasi, termasuk di dalamnya kawasan hutan konservasi yang telah ditetapkan oleh negera sebagai wilayah konservasi ekosistem, maupun konservasi jenis dan genetik. Meningkatnya laju degradasi kawasan konservasi serta degradasi populasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dan endemik, erat kaitannya dengan kurang efektifnya kebijakan/perundangan di bidang konservasi dan pelaksanaannya.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tentang konservasi belum mampu menjamin terwujudnya kelestarian ekosistem (kawasan), jenis dan genetik; terbukti dengan terus meningkatnya laju degradasi, serta belum mampu menjamin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah konservasi.

Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 48 juta masyarakat yang hidup di dalam/di sekitar hutan, dan sebagian dari mereka hidup dalam keadaan miskin dan tidak berdaya (CIFOR 2006). Dalam banyak kasus, masyarakat lokal merasa tidak dilibatkan dan tidak menerima manfaat dari pengelolaan kawasan konservasi, sehingga tidak berminat untuk ikut berpartisipasi, atau cenderung menolak kehadiran kawasan konservasi.

Kondisi di atas, serta memperhatikan tantangan ke depan seperti menguatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan konservasi, meningkatnya jumlah penduduk -yang memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor- memerlukan legislasi nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang perlu untuk melakukan perubahan UU 5 Tahun 1990 tentang konservasi.

B. Tujuan Kajian perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan akan menghasilkan sebuah

UU konservasi yang mampu menjamin konservasi pada tingkat genetik, tingkat jenis, dan tingkat ekosistem dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, transparan, partisipatif dan akuntabel, sehingga tujuan konservasi dapat diwujudkan dengan lebih efektif.

Page 7: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

3

BAB II

LANDASAN UMUM

A. Landasan Filosofis

1. Bahwa sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan.

2. Bahwa sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam strategis yang dikuasai oleh negara serta merupakan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan rakyat.

3. Bahwa pembangunan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.

4. Bahwa unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

5. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat berlangsung dengan secara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.

6. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sesuai dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya nasional, serta kerjasama atau hubungan internasional.

B. Landasan Yuridis

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan sebagian dari undang–undang di sektor kehutanan yang mempunyai materi muatan pengurusan konservasi di Indonesia. Disamping itu tercatat ada beberapa perundangan sektor lain maupun UU ratifikasi konvensi internasional, yang mempunyai materi yang berhubungan dengan pengurusan konservasi. Undang–undang tersebut adalah:

Page 8: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

4

1. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3) dan (4)

Sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian pengurusan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah.

2. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan “United Nations Convention the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut)”

Bagi Bangsa Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan (archipelagic state) yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut antara lain memuat ketentuan tentang:

a. Kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial.

b. Ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land teritory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar Laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut.

c. Sebagian melahirkan rezim-rezim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.

Dalam penjelasan undang-undang ini juga menyebutkan bahwa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini juga mengatur mengenai konservasi kekayaan alam hayati yang terdapat dalam Laut Teritorial, Zona Tambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif, mengatur masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Laut Lepas yang dahulu diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang perikanan dan konservasi sumber kekayaan hayati di Laut Lepas.

Dalam undang-undang ini juga menyebutkan konvensi ini menganjurkan antara lain agar negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup/setengah tertutup mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi sumber kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut, dan juga mengatur mengenai konservasi dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan laut dalam rangka pengembangan dan alih teknologi.

Page 9: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

5

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity)

Undang-undang ini terdiri dari 2 pasal mengenai Konvensi Keanekaragaman Hayati. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara, kepala pemerintahan atau wakil negara di Rio de Janeiro, Brazil.

Dalam penjelasan undang-undang ini menyebutkan mengenai tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan yang terdapat dalam batang tubuh naskah konvensi dan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dengan diratifikasinya konvensi ini yaitu pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan kemampuan dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Pasal 8 mengenai konservasi in-situ dalam huruf j dikatakan bahwa: ”menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan. Inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam itu”. Pasal 15 butir 4 dikatakan: akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumberdaya).

Meratifikasi konvensi ini, tidak berarti negera kehilangan kedaulatan atas sumberdaya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum internasional, mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alam keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak merusak lingkungan.

4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 No. 73)

Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 terdiri dari 7 bab dengan 27 pasal antara lain wilayah perairan Indonesia, hak lintas kapal-kapal asing (hal lintas damai, hak lintas alur kepulauan, hak lintas transit dan hak akses dan komunikasi), pemanfaatan pengelolaan perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan, penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,

Bab IV Pasal 23 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional

Page 10: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

6

5. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003)

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 terdiri dari 11 bab dan 39 pasal. Undang-undang ini mengatur mengenai kekuasan negara terhadap pengelolaan keuangan negara yang meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, hak dan kewajiban negara, penerimaan dan pengeluaran negara dan juga daerah, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.

Pasal 9 antara lain menetapkan: menteri/pimpinan lembaga mempunyai tugas melaksanakan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menyetorkannya ke kas negara.

6. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 2006 No. 92)

Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 terdiri dari 13 bab dan 41 pasal. Undang-undang ini mengatur tentang upaya revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Revitalisasi akan berhasil jika didukung antara lain oleh adanya sistem dan lembaga penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sistem penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan perundang-undangan yang kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan jaminan kepastian hukum serta keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh.

Undang-undang ini memerintahkan dibentuknya lembaga penyuluhan di tingkat pusat, propinsi maupun daerah, dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat di bidang konservasi dapat diharapkan akan semakin efektif pelaksanaannya, karena dilaksanakan oleh satu kesatuan lembaga yang didukung oleh sistem penyuluhan yang memadai.

7. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 84)

Undang-undang ini terdiri dari 19 bab dan 80 pasal, antara lain berisi: proses pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian, penelitian dan pengembangan, pendidikan pelatihan dan penyuluhan, kewenangan, mitigasi bencana, hak kewajiban dan peran serta masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penyelesaian sengketa, gugatan perwakilan, penyidikan, sanksi administratif, ketentuan pidana.

Undang-undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut

Page 11: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

7

sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

Dalam ketentuan umum undang-undang ini yang dimaksud dengan kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya dan kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. Selain itu dalam juga disebutkan mengenai rencana zonasi yaitu rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.

Pasal 7 Ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya. Pasal 10 butir a menyebutkan bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi terdiri atas pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut. Pasal 22 menyebutkan bahwa hak pengusahaan Perairan Pesisir tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Pasal 23 ayat (2) mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:

a. Konservasi; b. Pendidikan dan pelatihan; c. Penelitian dan pengembangan; d. Budidaya laut; e. Pariwisata; f. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan lestari; g. Pertanian organik; dan/atau Peternakan.

Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib (Pasal 23 Ayat 3):

a. Memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; b. Memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta c. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Page 12: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

8

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat.

Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumberdayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan yang terdiri dari:

a. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).

b. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

c. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. d. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau

kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

8. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 68).

Undang-undang ini terdiri dari 13 bab dan 80 pasal. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa dalam rangka kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang sedangkan pemanfaatannya berupaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya sehingga menciptakan pengendalian pemanfaatan ruang yang tertib tata ruang.

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Penataan

Page 13: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

9

ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak: mengetahui rencana tata ruang; menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Setiap orang wajib: menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.

Undang–undang juga mengatur bahwa ruang dapat dibedakan menjadi fungsi lindung dan fungsi budidaya. Fungsi lindung meliputi hutan lindung, kawasan suaka alam (KSA), serta kawasan pelestarian alam (KPA). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali setiap lima tahun sekali, dengan demikian klasifikasi wilayah konservasi masih harus mengacu kepada kriteria KPA dan KSA.

9. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 2009 No. 11)

UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disahkan pada tanggal 16 Januari 2009 terdiri dari 17 bab dan 70 pasal. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pengusaha. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, social dan budaya, pemberdayaan SDA, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

UU ini memiliki 11 asas, seperti salah satunya partisipatif dan kemandirian dengan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan

Page 14: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

10

pendapatan negara untuk kesejahteraan masyarakat. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya merupakan salah satu dari 10 tujuan yang terlampir dalam UU ini.

Pembangunan kepariwisataan meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi pariwisata; c. pemasaran, dan; d. kelembagaan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional. Pemerintah dan Pemda mendorong penanaman modal dalam negeri maupun asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk kepariwisataan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek, termasuk (i) sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik aspek, (ii) potensi pasar, (iii) lokasi strategis dalam menjaga persatuan dan kesatuan, (iv) perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, (v) lokasi strategis dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya, (vi) kesiapan dan dukungan masyarakat, dan (vii) kekhususan wilayah.

Usaha Pariwisata terdiri dari daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa transportasi wisata, penyelenggaran kegiatan hiburan dan rekreasi, wisata tirta dan spa yang merupakan bagian dari usaha pariwisata. Pemerintah dan Pemda wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang pariwisata dengan cara membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata dan memfasilitasi kemitraan dengan usaha skala besar.

Terkait kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pemerintah diantaranya memiliki kewenangan untuk (i) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, (ii) mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi, (iii) menyelenggaraan kerjasama internasional di bidang kepariwisataan, (iv) menetapkan daya tarik wisata nasional, dan (v) menetapkan destinasi pariwisata nasional. Sementara itu, kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi beberapa hal, diantaranya mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan kabupaten/kota, menetapkan destinasi pariwisata provinsi dan daya tarik wisata provinsi, melakukan dan memfasilitasi promosi wisata provinsi serta memelihara aset wisata tingkat provinsi. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi beberapa hal, termasuk menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota, melakukan pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata, mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya dan menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata. Setiap perseorangan /lembaga pemerintah/organisasi pariwisata serta badan usaha yang berprestasi luar biasa dalam partisipasi pembangunan kepariwisataan yang dibuktikan dengan fakta nyata maka diberikan penghargaan dalam bentuk pemberian piagam, uang atau bentuk lainnya yang bermanfaat.

Page 15: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

11

Pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha dan masyarakat dengan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Pemda mengalokasikan sebagian pendapatan pariwisata untuk kegiatan pelesatarian alam dan budaya.

10. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 No. 140)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal. Undang-undang ini mengatur mengenai pentingnya lingkungan hidup dimana lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus serasi, selaras, seimbang dengan fungsi lingkungan hidup, dan upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan.

Dalam undang-undang ini mengatur mengenai bahwa proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya terdapat pada pasal 23. Pasal 43 Ayat (2) undang undang ini juga mengatur mengenai instrumen pendanaan lingkungan hidup dimana terdapat dana amanah/bantuan untuk konservasi. Pemeliharaan lingkungan hidup yang terkait dengan konservasi terdapat pada Pasal 57 Ayat (1), (2), dan (5) yang menyebutkan bahwa pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam dan/atau pelestarian fungsi atmosfer dimana konservasi sumber daya alam yang dimaksud meliputi kegiatan perlindungan sumber daya alam, pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam.

Selain itu, undang-undang ini juga mengatur: a. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup. b. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah. c. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup. d. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup.

Page 16: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

12

e. Perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

f. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian. g. Pendayagunaan pendekatan ekosistem. h. Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan

global. i. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses

partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

j. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas. k. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

yang lebih efektif dan responsif. l. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik

pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

11. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 32 tahun 2004 terdiri dari 16 bab dan 240 pasal. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Penjelasan UU ini, antara lain menyatakan bahwa: penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pembagian tersebut meliputi: urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, yaitu urusan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, serta urusan pemerintah yang bersifat concurrent, yaitu urusan yang dilaksanakan bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah atas dasar kriteria externalitas, akuntabilitas dan efesiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintah.

Selain itu penjelasan undang-undang ini juga menyatakan antara lain bahwa: “Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional misalnya: kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis dan seterusnya”.

Page 17: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

13

Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa: "Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Memperhatikan hal di atas, yang kemudian telah ditetapkan pula dalam Peraturan Pemerintah No. 38, konservasi adalah urusan yang bersifat khusus sehingga pembentukan dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah, serta penyelenggaran urusannya dilakukan secara bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

12. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

UU No. 7 Tahun 2004 memberikan pengertian, bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut. UU ini juga mengatur pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan, hak guna usaha air, serta konservasi sumber daya air. Dengan demikian UU konservasi yang akan dibentuk harus sinkron dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 7 tersebut.

13. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disingkat dengan KUHAP

Penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP termuat dalam Bab IV Bagian Kesatu dan Ketiga, sedang tata cara implementasi dari kewenangan, termuat dalam Bab V sampai dengan Bab VII, Bab XIV dan Bab XV, mengatur bahwa:

(1) Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

(2) Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

(3) Penyidik, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

(4) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Page 18: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

14

Berdasarkan pengertian penyelidik dan penyelidikan tersebut di atas, berarti bahwa penyelidik merupakan bagian dari upaya para penegak hukum untuk membuat pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum yang berlaku di depan hakim.

Agar penyelidik dapat melaksanakan tugas-tugas penyelidikan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, maka penyelidik harus benar-benar memahami tentang dasar pemikiran pembentuk undang-undang mengenai pembentukan KUHAP dan undang-undang yang melarang suatu perbuatan.

Larangan perbuatan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tidak tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), demikian juga ancaman hukumannya. Misal, tindak pidana pencurian (Pasal 362-367 KUHP), dalam undang-undang konservasi pencurian dibatasi hanya untuk jenis tumbuhan atau satwa dan wilayah tertentu yang dilakukan upaya konservasi ekosistem.

Pasal 6 KUHAP menetapkan Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 (Pasal 2) tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menetapkan:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari departemen yang membawahkan pegawai tersebuit. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 7 Ayat (2) KUHAP menetapkan bahwa: (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b

mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut Pasal 6 Ayat (1) huruf a.

Koordinasi dan pengawasan sebagaiana dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 39 (3) mengamanatkan bahwa:

(3) Penyidik POLRI dalam melaksanakan koordinasi dengan dan pengawasan terhadap PPNS, tidak membawahi PPNS, akan tetapi bersifat pembinaan. Penyidik POLRI baik diminta atau tidak diminta wajib memberikan pembinaan kepada PPNS.

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan: a. Mengingat konservasi adalah ilmu pengetahuan yang terus berkembang,

maka dituntut tersedianya PPNS yang mampu meningkatkan/ mengembangkan pengetahuan, dan pemahanannya di bidang konservasi sesuai dengan kondisi terkini.

Page 19: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

15

b. Posisi PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik, bukan berarti PPNS adalah bawahan penyidik POLRI, dengan demikian sudah seharusnya dalam perubahan UU mendatang PPNS Kehutanan harus diberi fleksibilitas dalam pelaksanaan tugasnya, tidak harus melapor sebagai bawahan kepada penyidik POLRI tetapi cukup berkoordinasi dalam arti cukup menyampaikan pemberitahuan setiap proses pelaksanaan tugas yang bersangkutan.

C. Landasan Sosial UUD 1945, Pasal 27 sampai Pasal 34 menjamin bahwa setiap warga negara RI

mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal ini hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta kewajiban untuk menjaga, melindungi dan melestarikannya. Hak dan kewajiban ini dilaksanakan secara seimbang bagi kelestarian dan kesejahteraan bangsa.

Tujuan pembangunan adalah mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam wadah NKRI. Pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negera dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Memperhatikan hal di atas, landasan sosial konservasi SDAH, ke depan adalah: 1. Penguasaan sumberdaya alam hayati oleh negara diselenggarakan oleh

Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di masa sekarang maupun masa yang akan datang.

2. Penyelenggaraan konservasi SDAH dilaksanakan dengan tetap menjamin sepenuhnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sehingga menunjang upaya-upaya perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera secara materil dan spiritual, dengan menghormati keberadaan wilayah desa-desa setempat berikut hak asal usul yang dimilikinya.

3. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dengan tetap menjaga daya dukung lingkungan serta penetapan wilayah keterwakilan ekosistem di Indonesia, baik di wilayah pegunungan, maupun di wilayah dataran rendah; serta penetapan perlindungan/pengawetan serta pengendalian pemanfaatan terhadap satwa/ tumbuhan liar yang menjadi kekayaan Indonesia.

4. Perkembangan pembangunan wilayah yang menimbulkan wilayah administrasi baru (pemekaran) di kawasan konservasi dan munculnya/meningkatnya berbagai kepentingan non konservasi di kawasan konservasi.

Page 20: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

16

BAB III

PERUBAHAN PARADIGMA

A. Kondisi Lingkungan Strategis

Dewasa ini dunia sedang mengalami perubahan yang mendasar, dimana kepedulian masyarakat akan pentingnya melestarikan sumberdaya alam semakin menguat sejalan meningkatkan upaya untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan (sustainable development), tujuan pembangunan milenium (MDGs), serta menguatnya pengaruh isu pemanasan global, perdagangan bebas (free trade), monopoli sumberdaya alam yang tidak terbarukan oleh negara-negara maju, perubahan politik di tingkat nasional (desentralisasi, demokratisasi, isu HAM, pemekaran wilayah dan pemerintahan daerah, isu tata kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi), konflik antar sektor terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lahan, seperti pengembangan tanaman kelapa sawit, pertambangan dan Hutan Tanaman Industri.

Pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilarnya yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan telah mendorong negara-negara di dunia ini untuk mengharmoniskan ketiga pilar tersebut dalam setiap pembangunan, termasuk di dalam pembangunan sumberdaya alam yang berpegang pada prinsip bahwa pembangunan ekonomi tidak berdampak pada rusaknya tatanan sosial serta memburuknya lingkungan, atau sebaliknya.

Kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesehatan anak/ibu serta perbaikan kondisi lingkungan, adalah beberapa target perbaikan yang harus dibangun oleh setiap negara berkembang, karena kondisi tersebut apabila dibiarkan akan dapat mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) sangat relevan dengan upaya konservasi sumberdaya alam karena masalah konservasi sering berhimpitan dengan masalah kemiskinan, kependudukan dan lingkungan.

Isu pemanasan global juga telah mendorong negara-negara di dunia untuk segera menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), meningkatkan rosot karbon (carbon stock), dengan berbagai langkah seperti menanam kembali hutan yang gundul, mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, disamping mengurangi penggunaan energi berbahan dasar hidrokarbon dan menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan.

Pada tingkat internasional, melalui konvensi mengenai keanekaragaman hayati, konservasi keanekaragaman hayati pada saat ini telah menjadi salah satu dari 3 pilar pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu: (1) Konservasi, (2) pemanfaatan lestari (berkelanjutan), dan (3) pembagian yang adil dari pemanfaatan genetik dan unsur keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini telah membuat fokus baru yang lebih terarah dibanding dengan Strategi Konservasi Dunia yang digalang oleh IUCN pada tahun 1982 yang diadopsi oleh UU No. 5 Tahun 1990, yang mendasarkan konservasi pada 3P (Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah, dan Pemanfaatan berkelanjutan). Di tingkat internasional, 3P tersebut telah dijabarkan lebih lanjut menjadi: (1) Pengelolaan keanekaragaman hayati (yang diatur melalui

Page 21: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

17

Konvensi Keanekaragaman Hayati/CBD), (2) Pencegahan penggurunan dan degradasi lahan (yang diatur melalui Konvensi Pencegahan Pengurunan/UNCCD), serta (3) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (yang diatur melalui UNFCCC).

Berubahnya lingkungan strategis internasional di atas telah mendorong dibangunnya upaya bersama untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip pertumbuhan hijau (green growth) atau dikenal juga dengan green economy yaitu pembangunan ekonomi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta terbangunnya program ramah lingkungan, seperti pengurangan penggunaan /konservasi lahan gambut dan hutan alam, perluasan penanaman, restorasi kawasan, konservasi jenis/genetik, dll.

Secara nasional, perubahan lingkungan strategis yang paling menonjol adalah berubahnya sistem pemerintahan RI dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan perubahan ini sebagain besar penyelenggaraan pembangunan termasuk pembangunan yang berkaitan dengan sumberdaya alam telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan telah ditetapkan prinsip concurency dengan memperhatikan externalitas, dampak serta efisiensinya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi seperti taman nasional secara tegas memang masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat); sedang kegiatan lainnya termasuk konservasi diluar kawasan hutan negara seharusnya menjadi kewenangan daerah. Pada tingkat Pemerintah (pusat), pembagian kewenangan antar sektor juga menjadi isu yang strategis, terutama dengan diberlakukannya beberapa undang-undang sektoral baru yang nampaknya justru melemahkan upaya konservasi. Namun demikian pembagian kewenangan dalam urusan konservasi tidak disertai dengan meningkatnya keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri, sehingga perlu pengaturan yang lebih tegas di tingkat undang-undang.

Disamping berubahnya sistem pemerintahan, perubahan yang juga menonjol di tingkat nasional adalah reformasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik, pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, serta menguatnya kelembagaan masyarakat adat, menguatnya peran DPR/DPRD dan DPD serta peran NGO dalam mendorong arah pembangunan ke depan.

Perubahan strategis ini mendorong perlunya peningkatan peran para pihak, dan masyarakat serta keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat dalam pengurusan konservasi di Indonesia tanpa mengorbankan konservasi sumberdaya alam itu sendiri.

B. Masalah Konservasi Selama ini akibat berbagai kondisi dan pelaksanaan upaya konservasi di

lapangan, telah menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa peraturan perundangan konservasi yang berlaku saat ini belum mampu mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Konservasi masih dipandang sebagai pelarangan dan pembatasan hak masyarakat. Kondisi ini menyebabkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas konservasi lemah. Kondisi ini menjadi penyebab memburuknya kondisi kawasan konservasi, demikian pula tingkat kelangkaan tumbuhan dan satwa liar semakin meningkat.

Page 22: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

18

Negatifnya persepsi masyarakat dipengaruhi oleh banyak sebab, diantaranya adalah lemahnya kebijakan bidang konservasi serta implementasinya. Beberapa kelemahan peraturan-perundangan yang telah ada, diantaranya meliputi:

1. Kurangnya keberpihakan kebijakan terhadap hak-hak masyarakat, baik itu hak sosial ekonomi masyarakat sekitar, maupun hak masyarakat adat.

a. Hak sosial ekonomi

Perundang-undangan bidang konservasi yang saat ini ada sangat membatasi hak sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi; hampir tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi dari sebuah kawasan konservasi. Situasi ini kurang sejalan dengan Konvensi HAM yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, Kovenan Hak Ekososbud (ICESCR/ International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Hak atas perlindungan bagi keluarga (Pasal 10), hak atas standar hidup yang layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal (Pasal 11), Konvensi mengatur bahwa, negara tidak boleh melakukan hal-hal yang mengakibatkan tercegahnya akses hak bersangkutan/mencegah melakukan sesuatu yang dapat menghambat warga memanfaatkan sumber-sumber daya alam materil yang tersedia, serta mengharuskan negara untuk melakukan tindak proaktif yang bertujuan memperkuat akses masyarakat atas sumber-sumber daya. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang menuntut intervensi negara (positive measures) sehingga terjamin hak setiap orang atas kesempatan memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi melalui usaha sendiri. Disamping kewajiban dasar negara di atas, negara diatur untuk menahan diri (negative rights) dan intervensi agar pemenuhan hak tercapai (positive rights). Oleh karena itu, pelanggaran hak ekososbud dapat berupa pelanggaran by ommission (melalui tindakan pembiaran) maupun by commission (dengan sengaja melakukan tindakan itu sendiri). Maastrich Guideline memberi sejumlah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran by commission, beberapa di antaranya meniadakan aturan yang sangat penting bagi pemenuhan hak ekososbud, adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif.

Memperhatikan konvensi di atas, wajib hukumnya bagi negara untuk membangun perundangan bidang konservasi yang menjamin terpenuhinya hak ekonomi dan sosial budaya masyarakat, tidak diskriminatif; perundangan yang mengatur secara jelas keberpihakannya kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

b. Hak masyarakat hukum adat

Di Indonesia, paradigma pengakuan terhadap hak masyarakat adat ini sejatinya sudah lama ada. Namun demikian dalam perkembangan pembentukan hukum sektoral, maupun UU konservasi ini, esensi pengakuan hak masyarakat adat ini hampir hilang.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya meletakkan pentingnya konservasi dengan alasan

Page 23: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

19

diantaranya: (1) unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem, dan (2) untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.

Undang-undang ini mengatur tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAHE) yang diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Titik tekan undang-undang ini adalah kegiatan teknis (KSDAHE) yang bertumpu pada tiga kegiatan utama yaitu:

(1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya; (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan

ekosistemnya.

Dalam kegiatan-kegiatan konservasi, karena UU hanya mengatur teknis KSDAHE, keberadaan masyarakat-masyarakat atau pemukiman-pemukiman yang ada dalam kawasan konservasi tidak diatur secara baik. Di lapangan ditemui banyak perkampungan-perkampungan, desa-desa yang ditinggali oleh masyarakat berpuluh-puluh tahun, bahkan sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Paling tidak ada tiga pasal yang menyentuh posisi masyarakat dalam kawasan maupun kegiatan konservasi ini, pasal tersebut adalah Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 37.

Pasal 3 menyebutkan: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.”; dan Pasal 4 menyebutkan: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.”

Pada Bab IX mengatur khusus tentang peran serta rakyat dalam kegiatan konservasi. Pasal 37 menyebutkan:

(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar

Page 24: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

20

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada tahun 2009, Kementrian Kehutanan melakukan sebuah penelitian mengenai desa-desa yang ada dalam kawasan hutan, termasuk di dalam kawasan konservasi. Penelitian ini menghasilkan laporan resmi, terdapat kurang lebih 1631 desa dalam kawasan konservasi di 17 provinsi yang diteliti (Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan Tahun 2008, Departemen Kehutanan).

Sejumlah masyarakat yang hidup di kawasan konservasi di atas, tunduk kepada ketentuan Bab IX yang mengatur khusus tentang peran serta rakyat dalam kegiatan konservasi, khususnya diatur dalam kegiatan-kegiatan yang dicantumkan pada Pasal 37. Namun sayang, pengaturan ini dalam implementasinya, tidak cukup memberikan perlindungan kepada hak-hak masyarakat yang hidup dalam kawasan konservasi tersebut, apalagi peraturan pemerintah sebagai turunan pasal ini tidak pernah dibuat sampai hari ini.

Pada dasarnya, masyarakat tidaklah anti terhadap kegiatan konservasi. Di tingkat mereka, terutama masyarakat adat, memiliki pengaturan-pengaturan ruang kehidupan yang diantaranya juga diatur mengenai kawasan-kawasan yang berfungsi konservasi yang dijaga secara adat. Model ini terutama hidup dan berkembang pada masyarakat-masyarakat adat. Bahkan lebih jauh, akibat penetapan-penetapan fungsi hutan, seringkali kawasan yang berfungsi konservasi ini, berada pada kawasan produksi, bahkan kawasan produksi konversi. Akibatnya mereka tidak dapat mempertahankan kawasan tersebut dari konversi-konversi untuk kepentingan non konservasi.

Dalam konteks masyarakat yang hidup dalam kawasan konservasi, UU ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi mereka untuk meng-implementasikan model konservasi yang sudah lama mereka kenal. Model konservasi yang sah adalah semata model yang ditentukan oleh UU ini. Dalam konteks wilayah konservasi masyarakat yang berada di luar kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah, UU ini tidak memberikan proteksi yang cukup agar kawasan tersebut dapat dijaga fungsi dan kelestariannya.

Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam konteks konservasi, selama ini didekati dengan pendekatan formal UU No. 41 Tahun 1999 (UU tentang Kehutanan); karena UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur masalah ini dengan jelas. Untuk memberikan landasan berpikir kepada pembentukan UU konservasi baru yang lebih akomodatif terhadap masyarakat, khususnya masyarakat adat.

Penjelasan mengenai istilah ‘masyarakat hukum adat’ pun tidak cukup memadai. Dalam bagian Penjelasan Pasal 67 UU No. 41 dikatakan bahwa

Page 25: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

21

masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

(1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeen-schap).

(2) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya. (3) Ada wilayah hukum adat yang jelas. (4) Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang

masih ditaati. (5) Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ada beberapa persoalan timbul ketika mencermati kelima kriteria tersebut. Pertama, mengenai bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap). Dalam konteks ini yang menjadi penting untuk diperiksa adalah kriteria-kriteria yang digunakan oleh masyarakat tersebut untuk mendefinisikan diri dan sejauh mana syarat-syarat tersebut masih dipenuhi. Sementara di sisi lain perlu juga memeriksa syarat-syarat pengakuan yang hendak didorong oleh Negara. Hal ini penting bahkan sangat penting karena dari perspektif historis, terminologi ‘masyarakat hukum adat’ adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh para ahli hukum kolonial untuk memberi identitas sekaligus ruang politik bagi kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang memiliki sistem sosial politik dan tradisi hukum yang berbeda sekaligus untuk membedakannya dengan kelompok yang menggunakan sistem dan tradisi hukum Eropa dan Timur lainnya (Rikardo Simarmata dalam makalah berjudul “Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat”). Pemeriksaan kriteria-kriteria yang digunakan oleh masyarakat maupun syarat pengakuan yang didorong oleh Negara menjadi penting karena dua alasan. Pertama, situasi sosial politik sekarang sudah berubah dengan masa kolonial, dan kedua masyarakat berkembang menurut dinamika tantangan internal dan eksternal yang dihadapinya. Dengan dua alasan ini dapat dibayangkan bahwa sistem sosial politik dan tradisi hukum dalam sebuah masyarakat juga mengalami perkembangan. Hal itu akan tercermin dalam bagaimana mereka mengidentifikasi diri dan menempatkan diri dalam perhadapan dengan Negara.

Kedua, syarat adanya hukum adat, peradilan adat yang masih ditaati dan kelembagaan adat yang berkaitan dengan itu. Logika yang digunakan dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 adalah masyarakat tidak pernah diberi otonomi untuk mengurus dirinya sendiri, dan sementara itu masyarakat diminta untuk membuktikan keberadaan dirinya dengan menunjukkan bahwa mereka otonomi, baik dalam sistem hukum, pengurusan, kelembagaan, dan sistem sosial budayanya. Tidak diakuinya otonomi komunitas masyarakat hukum adat juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tidak memberi ruang bagi prinsip yang disebut dengan self-identification. Pengakuan yang diberikan oleh Negara atas keberadaan sebuah komuntias masyarakat hukum adat ditentukan oleh prosedur dan substansi yang diatur oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah-lah yang mempunyai otoritas

Page 26: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

22

membentuk tim identifikasi dan memberikan pengukuhan. Sekali lagi hal ini membuktikan tidak konsistennya penyelenggaraan sistem hukum di Indonesia.

Ketiga, meskipun UU No. 41 Tahun 1999 tidak secara eksplisit menyebutkan kelima kriteria tersebut kumulatif atau tidak, namun berdasarkan interpretasi atas penggunaan kata ‘dan’ maka disimpulkan bahwa kelima kriteria tersebut bersifat kumulatif. Artinya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan sehingga jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka tidak akan mendapatkan pengakuan. Dengan demikian, pertanyaan utama untuk kriteria keberadaan masyarakat adat adalah apakah cukup kriteria tersebut ada secara konseptual ataukah ia juga harus sudah efektif dalam pelaksanaannya.

Kelemahan kriteria dalam penjelasan tentang masyarakat hukum adat adalah: kesimpulan tentang ada atau tidaknya masyarakat (hukum) adat dikonsepsikan untuk ditarik dari sejumlah kesimpulan (yaitu kriteria-kriteria dalam Penjelasan Pasal 67) yang belum dibuktikan kebenarannya.

Pengaturan mengenai hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat dalam UU No. 41 Tahun 1999 dilatari oleh pernyataan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara (HMN) tidak akan meniadakan hak-hak masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Karena itu penitikberatan dilakukan dengan urut-urutan sebagai berikut: [1] pengaturan mengenai syarat dan prosedur pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat; [2] hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat yang telah ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat. Dengan hanya mencakup kedua hal di atas, UU No. 41 Tahun 1999 memilih untuk melupakan cakupan atau materi lain yang terbilang amat penting. Materi yang dilupakan tersebut adalah syarat dan prosedur pemberian hak atau izin kepada masyarakat hukum adat. Apakah masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat dan mengikuti prosedur yang sama dengan subyek hukum yang lain dalam mendapatkan hak atau izin. Pada tingkatan empirik, ketentuan yang mengharuskan masyarakat setempat untuk terlebih dahulu mendapatkan izin pemanfaatan hutan dari pejabat apabila hendak melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, telah mendatangkan hambatan.

Perhatian terhadap peran masyarakat seharusnya semakin meningkat terutama setelah Kongres Konservasi Dunia pada sidangnya yang ke-4 di Barcelona, Spanyol, 5-14 Oktober 2008. Kongres telah menghimbau anggota IUCN (Indonesia), agar:

(1) Mengakui sepenuhnya wilayah konservasi masyarakat adat berupa lanskap/lanskap laut dan tempat-tempat suci, yang pengelolaannya diatur dan dikelola oleh masyarakat adat.

(2) Mereformasi perundang-undangan nasional, kebijakan dan praktek sehingga relevan dengan: Durban Accord, CBD Program Kerja pada kawasan lindung, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Page 27: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

23

(3) Memastikan bahwa kawasan lindung yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi tanah masyarakat adat, wilayah, sumber daya alam dan budaya, tidak diubah secara bebas, tanpa persetujuan masyarakat adat sebelumnya. Masyarakat berhak mendapatkan informasi untuk memastikan pengakuan terhadap hak-haknya, dalam hal ini termasuk hak-hak kepemilikan sumber daya akses.

(4) Mendorong instansi pemerintah terkait, pelaku swasta, bisnis dan aktor-aktor masyarakat sipil untuk memantau dampak kegiatan konservasi terhadap hak asasi manusia sebagai bagian dari pendekatan berbasis hak;

(5) Mendorong dan membentuk mekanisme untuk memastikan bahwa sektor swasta sepenuhnya menghormati semua hak asasi manusia, termasuk hak-hak masyarakat adat, dan mengambil tanggung jawab karena untuk kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka menimbulkan dalam kegiatan mereka, dan

(6) Meningkatkan pemahaman tentang tanggung jawab dan sinergi antara hak asasi manusia dan konservasi;

Memperhatikan hal di atas ada indikasi keberpihakan kepada masyarakat lokal maupun masyarakat adat dalam memenuhi kesejahteraannya masih sangat terbatas, hal ini apabila tidak dilakukan perubahan dikhawatirkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat/lokal akan terus terjadi sehingga kegiatan konservasi tidak dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan.

Pengelolaan KSDAHE ke depan harus mampu melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat/lokal yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, mampu menumbuh kembangkan partisipasi dalam pengelolaan konservasi, serta menjamin distribusi manfaat secara adil.

2. Lemahnya pengaturan mengenai penegakan hukum

Lemahnya penegakan hukum ada kaitannya dengan lemahnya penyidikan dan penyelidikan, hal ini berkaitan dengan kewenangan PPNS serta wilayah kerjanya serta lemahnya pengaturan tentang sanksi.

a. Penyelidikan dan penyidikan

Penyelidikan dan penyidikan adalah tugas dan kewenangan pejabat tertentu di bidang kehutanan, hal ini sejalan dengan:

(1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I, mengatur bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara R.I yang dibantu oleh: kepolisian khusus (yang dimaksud dengan ”kepolisian khusus” ialah instansi atau badan pemerintah yang oleh kuasa undang-undang/peraturan perundang-udangan diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya

Page 28: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

24

masing-masing) serta penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan/atau serta bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud di atas dapat dipahami sebagai melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mejadi dasar hukumnya masing-masing, untuk melakukan penyelidikan secara langsung maupun tidak langsung terhadap ancaman: kehidupan masyarakat/ keselamatan umum, kelangkaan jenis manfaat jenis bagi kehidupan manusia, kerentanan terhadap perubahan ekosistem dan sebab-sebab lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan pemahaman di atas, jelas UU No. 2 Tahun 2002 memungkinkan adanya aparatur yang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang konservasi, yaitu wewenang penyelidikan kepada Polisi Khusus Kehutanan.

(2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 6 (1) b., mengatur pegawai negeri sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam prakteknya pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana kehutanan, termasuk keanekaragaman hayati (kehati), tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena adanya perintah UU yakni penjelasan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mensyaratkan berkoordinasi dengan penyidik POLRI. Hal ini juga sejalan dengan Keputusan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, BAB I. Huruf A. Angka 4.d. POLRI sebagai penyidik utama wajib mengkoordinasikan penyidik pegawai negeri sipil dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan. Koordinasi di sini dalam praktek lapangan dipahami sebagai bentuk hubungan atasan-bawahan, dimana PPNS/Polhut harus melaporkan setiap kasus yang akan ditangani kepada penyidik utama (POLRI).

Karena sifatnya yang spesifik, sering kali koordinasi dalam rangka mambangun kesepahaman antara PPNS dan POLRI memakan waktu yang cukup lama. PPNS harus menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis di bidang konservasi jenis dan ekosistem dengan aparatur kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain barang bukti peristiwa pidana biasanya mudah rusak/mati, dan memerlukan biaya perawatan yang cukup besar apabila tidak segera dikembalikan ke alam atau dititipkan di lembaga konservasi. Disamping itu tindak pidana konservasi merupakan kejahatan yang bersifat transnasinal, maka dimungkinkan wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi tidak terbatas hanya dalam satu wilayah propinsi. Situasi ini menyebabkan proses penegakan hukum belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Page 29: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

25

Kondisi di atas lebih diperburuk lagi oleh adanya kenyataan UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur secara kongkrit mengenai peran/tupoksi polisi khusus/PPNS dalam penegakan hukum kehati; hal ini sering menimbulkan kendala kewenangan di lapangan.

b. Sanksi

Sanksi pidana bagi setiap tindakan melawan hukum, sesuai dengan Buku Kesatu KUHP, Pasal 10, ada 7 (tujuh) jenis hukuman/sanksi; 4(empat) jenis hukuman utama dan 3 (tiga) jenis hukuman tambahan, yakni: hukuman mati; hukuman penjara; hukuman kurungan; hukuman denda; pencabutan hak tertentu; serta perampasan barang yang tertentu. Dengan demikian agar diperoleh efek jera disamping sanksi hukuman harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Terhadap kejahatan konservasi dikenakan juga pidana denda, sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap lingkungan (konservasi jenis dan kawasan), serta sanksi pembiaran (guilt of omission).

Sanksi bagi tindak pidana konservasi seyogyanya minimal lima tahun, karena tindak pidana tersebut dapat membahayakan keamanan umum. Kondisi ini sejalan dengan UU PPLH yang telah mengatur adanya ancaman pidana minimum, serta Buku Kedua KUHP, Pasal 187-208, menyatakan antara lain, bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, yang menimbulkan bahaya umum bagi barang atau nyawa orang lain, ancaman hukuman paling rendah 5 (lima) tahun atau seumur hidup”.

Tindak pidana konservasi biasanya sangat kompleks karena disamping dampaknya luas, juga karena konservasi pada kenyataannya meliputi pula kegiatan pemanfaatan lestari yang dilakukan oleh pihak ketiga; oleh karena itu perlu ada pemisahan saksi secara jelas yaitu kelompok tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Disamping itu perlu juga diatur pengenaan sanksi administrasi. Sanksi administrasi dimaksudkan untuk menegakan hak dan kewajiban bagi para pihak yang diberi izin oleh pemerintah untuk terlibat dalam pelaksanaan perizinan di bidang konservasi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menggolongkan tindak pidana ada dua, yaitu tindak pidana yang masuk dalam golongan kejahatan atau “misdrijven” (Buku II) serta tindak pidana yang masuk dalam golongan pelanggaran atau “overtredingen” (buku III). Wirjino Projodikoro (19…), dalam Azas-azas Hukum Pidana Indonesia (halaman 35), menyatakan bahwa sesuai dengan kenyataan bahwa terdapat beberapa perbedaan prinsip yang termuat dalam KUHP yang hanya berlaku bagi pelanggaran atau berlaku secara berlainan, misal: (1) Perbuatan percobaan (poging) dan pembantuan (medelplictheid) untuk pelanggaran pada umumnya tidak merupakan tindak pidana; (2) Tenggang waktu daluwarsa untuk kejahatan lebih panjang dari pada pelanggaran; (3) Kemungkinan keharusan adanya pengaduan untuk penuntutan dimuka hakim, hanya ada pada kejahatan, sedang terhadap pelanggaran tidak ada.

Page 30: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

26

Sistem perundang-undangan yang akan dibangun seharusnya akan memperkuat penyidikan dan penyelidikan, dengan meningkatkan kewenangan PPNS termasuk wilayah kerjanya serta lebih merinci norma larangan dan mengefektifkan ancaman sanksi pidana.

c. Pengaturan tentang penanganan barang bukti hasil sitaan dan rampasan

Barang bukti dalam tindak kejahatan ini biasanya terdiri dari benda mati/tidak bergerak dan benda hidup. Selama ini khususnya dalam hal barang bukti spesies satwa yang masih hidup, aparat penegak hukum kesulitan penanganan karena keterbatasan tempat. Hal ini mengakibatkan seringkali satwa sakit atau bahkan mati sebelum kasusnya selesai diputus lembaga peradilan. Barang bukti hasil rampasan/sitaan sering menjadi sumber perdagangan ilegal. Pengaturan tentang barang bukti hasil rampasan, sitaan dan temuan masih bersifat umum dan tidak spesifik sesuai dengan tahapan-tahapan yang berbeda. Pemusnahan barang bukti yang membahayakan kesehatan masyarakat, tumbuhan dan satwa belum dilakukan pengaturan.

3. Kelemahan dalam penetapan kawasan konservasi.

IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai: “Suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait.”

IUCN membedakan aneka macam kawasan konservasi ke dalam enam kategori, yakni:

• Kategori Ia - Strict Nature Reserve Yakni suatu wilayah daratan atau lautan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau fisiologis, dan/atau spesies tertentu, yang penting bagi ilmu pengetahuan atau pemantauan lingkungan.

• Kategori Ib - Wilderness Area Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang

masih memiliki atau mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya, tanpa adanya hunian yang permanen atau signifikan dilindungi dan dikelola untuk mempertahankan kondisi alaminya.

• Kategori II - National Park Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i)

melindungi integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii) menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus selaras secara lingkungan dan budaya.

Page 31: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

27

• Kategori III - Natural Monument Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam

atau budaya yang merupakan nilai yang unik atau luar biasa yang disebabkan oleh sifat kelangkaan, keperwakilan, atau kualitas estetika atau nilai penting budaya yang dipunyainya.

• Kategori IV - Habitat/Species Management Area Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk

memelihara fungsi-fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies tertentu.

• Kategori V - Protected Landscape/Seascape Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana

interaksi masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik yang tradisional ini bersifat vital bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud.

• Kategori VI - Protected area with sustainable use of natural resources Kategori VI melestarikan kawasan lindung ekosistem dan habitat, bersama

dengan nilai-nilai budaya terkait dan sistem pengelolaan sumberdaya alam tradisional. Kawasan ini umumnya besar, dengan sebagian besar daerah tersebut dalam kondisi alami, di mana proporsi yang berada di bawah pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan industri yang rendah dalam menggunakan sumberdaya alam, kegiatan produksi yang sejalan dengan konservasi alam dipandang sebagai salah satu tujuan utama dari kawasan ini.

Kategori pengelolaan kawasan konservasi ke depan selain disesuaikan dengan kategorisasi oleh IUCN (6 kategori) di atas, sebaiknya juga mengakomodir kategori berdasar tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola yang disepakati dalam pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona yaitu:

a. Governance by government (kawasan konservasi sepenuhnya dikelola oleh pemerintah).

b. Shared governance (kawasan konservasi yang dikelola secara bersama-sama oleh pemerintah dan kelompok non pemerintah).

c. Private governance (kawasan konservasi yang dikelola individu, perusahaan, organisasi non pemerintah/lsm).

d. Governance by indigenous peoples and local communities (pengelolaan oleh masyarakat lokal/masyarakat asli setempat), termasuk dalam kelompok ini adalah Community Conserved Areas (CCAs)

Penyesuaian Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dengan kategorisasi dan tata kelola di atas diharapkan mampu menghilangkan kelemahan perundangan di bidang konservasi yang berkaitan dengan: (a) Kategorisasi kawasan konservasi, (b) Kriteria dan mekanisme penetapan kawasan konservasi, (c) Pengaturan ekosistem esensial termasuk lahan basah, HCVF di luar hutan konservasi, (d)

Page 32: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

28

Kerja sama internasional dalam konservasi, dan (e) Efektivitas pengelolaan kawasan dan pengelolaan kolaboratif. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dipisahkan dengan kawasan penyangga yang berada diluarnya. Kawasan penyangga dapat berupa kawasan hutan maupun kawasan non hutan. Kawasan penyangga selama ini tidak mendaptatkan pengaturan secara komprehensif, dari sisi hak dan kewajiban penanggung jawab kawasan dan system pengelolaan terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi.

4. Kelemahan pengaturan lainnya

Selain ketiga hal yang sudah disampaikan di atas, isu penting lain yang juga merupakan kelemahan dalam pelaksanaan konservasi selama ini yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyusunan undang-undang KSDAHE ke depan, meliputi:

a. Pengaturan spesies migrasi yang belum dilindungi.

b. Spesimen dilindungi yang pada saat didapatkan/dimiliki belum dilindungi.

c. Pemanfaatan spesimen jenis seperti pertukaran, peragaan, perdagangan.

d. Pengaturan medis konservasi.

e. Pengaturan tentang konservasi sumberdaya genetik (termasuk akses dan pembagian keuntungan yang adil).

f. Pengaturan pendanaan konservasi/pendapatan negara.

g. Pengaturan dan pembagian peran Pemerintah serta Pemerintah Daerah.

h. Kerjasama pengelolaan serta penggunaan kawasan konservasi untuk pembangunan sarana strategis.

i. Pengelolaan kawasan konservasi oleh pihak ketiga.

j. Pengaturan pemulihan dan perubahan fungsi kawasan.

Page 33: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

29

BAB IV

MATERI MUATAN

I. KETENTUAN UMUM

A. Ruang Lingkup

Ruang lingkup perubahan undang-undang ini meliputi:

1. Konservasi keanekaragaman hayati, dalam hal sumberdaya alam genetik, jenis dan ekosistem termasuk jasa ekosistem.

2. Ruang lingkup konservasi yang dikecualikan dari ruang lingkup butir satu di atas adalah: a. Konservasi energi b. Konservasi sumberdaya alam non hayati c. Konservasi tanah dan air d. Konservasi cagar budaya(situs-situs purbakala)

3. Konservasi keanekaragaman hayati mencakup yurisdiksi NKRI baik berupa daratan dan perairan, termasuk di dalamnya ZEE dan Landas Kontinental.

4. Perlindungan terhadap spesies dan genetik yang diatur oleh konvensi internasional, berasal dari luar negeri dan berada di dalam wilayah yurisdiksi NKRI.

B. Asas

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan kelestarian, keseimbangan, keserasian, kemanfaatan yang berkelanjutan, keterpaduan, tranparansi dan akuntabilitas.

1. Asas lestari merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang.

2. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

3. Asas manfaat berkelanjutan adalah dimaksudkan agar penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, secara merata dan adil serta peningkatan kelestarian sumberdaya alam hayati. Pemanfaatan sumber daya tidak

Page 34: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

30

melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati.

4. Asas keterpaduan adalah mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam konservasi sumberdaya alam hayati.

5. Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang konservasi sumberdaya alam hayati, dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Dengan demikian masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan mempunyai kesempatan untuk berperan serta, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dan penegakan hukum.

6. Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

7. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

8. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

C. Prinsip

Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan dengan prinsip:

1. Keterpaduan, sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dengan tujuan terjaminnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat.

2. Penguatan fungsi sosial, lingkungan dan ekonomi, yang diwujudkan dan diselenggarakan oleh pemerintah sesuai dengan daya dukungnya.

3. Memperhatikan serta mengakui hak masyarakat hukum adat, hak masyarakat lokal atas sumberdaya alam yang ada dan diatur sampai batas tidak membahayakan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri sejalan dengan prinsip free and prior informed consent (FPIC).

Page 35: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

31

4. Pelaksanaannya oleh pemerintah bersama masyarakat, melalui kegiatan:

a. Perlindungan kehati, meliputi usaha-usaha perlindungan terhadap genetik, spesies dan ekosistem melalui penetapan status perlindungan.

b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengawetan merupakan usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan ini pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

II. PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Perlindungan keanekaragaman hayati dilaksanakan oleh pemerintah, dan/atau masyarakat; dilaksanakan melalui penetapan kawasan konservasi, penetapan status perlindungan spesis dan genetik.

Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi: 1. Perlindungan genetik. 2. Perlindungan spesies. 3. Perlindungan ekosistem.

A. Perlindungan Genetik

Penetapan jenis target bagi perlindungan genetik ditetapkan oleh pemerintah cq menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas keilmuan”. Ruang lingkup perlindungan sumberdaya genetik: Sumberdaya genetik hutan dan yang beasal dari spesies-spesies liar, termasuk jasad renik (micro organism).

a. Kategorisasi jenis target:

(1) Jenis yang terancam punah sehingga unsur-unsur genetiknya perlu dilindungi untuk kepentingan pemulihan populasi spesies itu sendiri maupun untuk kepentingan lainnya, seperti budidaya;

(2) Jenis yang secara langsung mempunyai nilai komersial sehingga keragaman genetiknya perlu dijaga agar tidak mengalami penurunan karena masalah-masalah seperti kepunahan lokal;

Page 36: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

32

(3) Jenis untuk mendukung budidaya pertanian (peternakan, tanaman pangan dan hortikultura) harus dilakukan perlindungan genetik untuk menjaga keanekaragamannya sehingga peluang-peluang untuk menciptakan varitas unggul tetap tinggi.

b. Kriteria jenis target:

(1) Terancam punah a. Jenis yang populasi di alamnya telah terancam punah dan

dilindungi mutlak (KATEGORI I). b. Jenis-jenis yang endemik.

(2) Mempunyai nilai komersial a. Jenis yang secara langsung dieksploitasi dan/atau jenis yang

unsur-unsur genetiknya dimanfaatkan secara tradisional (asosiated traditional knowledge).

b. Jenis yang unsur-unsur genetiknya merupakan public domain (publicly accessible).

(3) Mendukung budidaya a. Jenis yang saat ini diketahui digunakan untuk meningkatkan

keunggulan mutu genetik tanaman pertanian pangan dan hortikultura atau hewan domestik dan budidaya

b. Memiliki nilai strategis bagi kelangsungan hidup manusia, termasuk untuk pengembangan obat-obatan dan mendukung ketahanan pangan (virus flu burung, human patogen, genetik yang penting dibawah konvensi internasional)

c. Tata cara penetapan: diatur lebih lanjut dalam PP.

d. Norma dan larangan: (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan

kerusakan dan/atau hilangnya sumber daya genetik. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan, kerusakan dan/atau hilangnya genetik yang hampir punah dan endemik.

(2) Setiap orang dilarang mengambil sumberdaya genetik tanpa ijin, dan melakukan akses terhadap sumberdaya genetik dengan tidak memenuhi syarat-syarat PIC (prior informed consent) dan MAT (mutual agreed terms).

(3) Setiap orang dilarang membawa sumberdaya genetik keluar negeri tanpa adanya MTA (material transfer agreement).

(4) Setiap orang dilarang melepaskan varitas hasil rekayasa genetik ke habitat alam.

(5) Setiap orang dilarang mengawin-silangkan satwa KATEGORI I yang berlainan jenis (spesies) tanpa ijin Menteri.

Page 37: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

33

B. Perlindungan Spesies

Penetapan kategori perlindungan spesies dilakukan oleh pemerintah cq menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas keilmuan”.

a. Kategori perlindungan spesies: (1) Kategori I yaitu spesies yang harus dilindungi mutlak. (2) Kategori II meliputi spsesies yang dikontrol pemanfaatannya. (3) Kategori III yang merupakan spesies yang pemanfaatannya wajib

dipantau.

b. Kriteria penetapan kategorisasi spesies:

(1) Dilindungi mutlak (CITES Appendix I, dan IUCN Endangered dan Critically Endangered): a. Spesies yang punah dialam liar (masih ada di lingkungan ex

situ). b. Spesies yang terancam punah di wilayah RI. c. Spesies yang endemik.

(2) Dikontrol (CITES Appendix II, III, IUCN Vulnerable atau IUCN Endangered): a. Spesies rentan (yang dimanfaatkan melalui perdagangan atau

dimanfaatkan secara tradisional, atau akibat bencana alam). b. Spesies yang saat ini belum terancam punah di wilayah RI

tetapi akan dapat menjadi terancam punah bila tidak dilakukan kontrol pemanfaatan atau perdagangannya.

c. Spesies kategori I hasil perkembangbiakan satwa atau hasil perbanyakan buatan tumbuhan untuk tujuan komersial.

d. Spesies yang di negara lain dilindungi (e.g. CITES Appendix III).

(3) Wajib dipantau Spesies yang populasinya masih melimpah tetapi merupakan public domain (publicly accesible) dan dimanfaatkan atau diperdagangkan.

c. Tata cara penetapan: diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

d. Norma dan larangan:

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan, kerusakan dan/atau hilangnya sumberdaya spesies.

(2) Terhadap tumbuhan yang dilindungi mutlak (KATEGORI I: spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya), setiap orang dilarang untuk: a. Mengambil, menebang, memindahkan, merusak, atau

memusnahkan tumbuhan yang berasal dari tanah negara. b. Mengangkut atau membawa. c. Menjual, membeli, atau memperdagangkan.

Page 38: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

34

d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, menukar atau menerima tukaran, atau menerima titipan.

e. Mengeluarkan spesimen tumbuhan ke luar negeri (ekspor) dan/atau memasukkan spesimen tumbuhan dari luar negeri (impor) ke wilayah Republik Indonesia.

(3) Terhadap satwa yang dilindungi mutlak (KATEGORI I: spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya), setiap orang dilarang untuk: a. Mengambil, menangkap, melukai, membunuh, memiliki,

menguasai, memelihara, memasang jerat, memburu, atau memusnahkan satwa.

b. Mengangkut, membawa, atau memindahkan. c. Menjual, membeli, atau memperdagangkan. d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, menukar atau

menerima tukaran, atau menerima titipan. e. Mengeluarkan spesimen satwa ke luar negeri (ekspor)

dan/atau memasukkan spesimen satwa dari luar negeri (impor) ke wilayah Republik Indonesia.

f. Melakukan tindakan yang dapat merusak sebagian atau seluruh habitat termasuk mengganggu pola makan, pola berkembang biak, serta pola jelajah.

(4) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas (KATEGORI II) yang pemanfaatannya dikendalikan secara ketat setiap orang dilarang melakukan aktivitas sebagaimana butir (2) tanpa izin terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas (KATEGORI II) yang pemanfaatannya dikendalikan secara ketat. Setiap orang tanpa izin dilarang untuk: a. Mengambil, menebang, memiliki, menguasai, menerima titipan,

memusnahkan, memelihara, mengangkut, menjual atau membeli, memperdagangkan, menghadiahkan atau menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup tumbuhan.

b. Menangkap, mengambil, melukai, membunuh, memiliki, menguasai, memelihara, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup satwa liar.

c. Mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau memasukkan dari luar negeri ke wilayah Indonesia (impor) spesimen tumbuhan dan/atau satwa liar.

d. Menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual, membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen mati tumbuhan dan/atau satwa liar.

Page 39: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

35

(5) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang pemanfaatannya dipantau (KATEGORI III), setiap orang tanpa izin dilarang untuk memperdagangkan atau mengeluarkan spesimen tumbuhan dan/atau satwa liar ke luar negeri (ekspor) dan memasukkan ke dalam wilayah Indonesia (impor).

(6) Terhadap spesimen tumbuhan dan satwa liar yang telah dan sedang dimanfaatkan sebelum ditetapkannya spesies itu didalam status perlindungan perlu diatur mekanismenya dalam aturan peralihan (spesimen pra perlindungan).

Pengecualian dari larangan KATEGORI I tersebut di atas hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatan jenis populasi atau individu suatu jenis tumbuhan dan satwa liar, peminjaman dalam rangka penyelamatan atau pemulihan populasi satwa liar di dalam atau ke luar negeri, pemusnahan untuk menghindari bahaya yang lebih besar terhadap lingkungan maupun manusia, dan/atau pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri yang aslinya berasal dari Indonesia untuk kepentingan reintroduksi.

Pengecualian dari larangan menangkap, melukai dan membunuh satwa liar KATEGORI I dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa liar KATEGORI I tersebut membahayakan kehidupan manusia dan kehidupan populasi satwa liar, atau bagi satwa liar yang dikelola sebagai satwa buru untuk kepentingan olahraga berburu.

Pengecualian dari larangan spesies KATEGORI I di atas dapat dilakukan bagi spesimen yang telah dibuktikan merupakan hasil pengembangbiakan satwa liar dan/atau spesimen hasil perbanyakan tumbuhan di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol, yang dalam hal ini secara otomatis masuk ke dalam spesimen dari spesies KATEGORI II.

Kekecualian sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi beberapa jenis yang prestisius untuk dikomersialkan keluar negeri kecuali hanya dengan peminjaman atau dengan izin presiden.

Pengecualian dari larangan memiliki, memelihara dan menguasai dapat dilakukan bagi spesimen yang dapat dibuktikan diperoleh secara sah sebelum jenis bersangkutan dinyatakan sebagai jenis KATEGORI I (yang dilindungi mutlak).

C. Perlindungan Ekosistem

Perlindungan ekosistem dilakukan melalui penetapan keterwakilan-keterwakilan ekosistem di dalam jaringan kawasan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah cq. Menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan usulan masyarakat atau lembaga ilmiah, termasuk perguruan tinggi melalui proses konsultasi publik.

Masyarakat dapat mengusulkan suatu wilayah tertentu untuk ditetapkan sebagai ekosistem yang dilindungi.

Page 40: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

36

Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberikan pengakuan terhadap sistem perlindungan ekosistem yang dilakukan oleh masyarakat adat.

a. Kategori kawasan perlindungan ekosistem: (1) Kawasan konservasi meliputi kawasan konservasi yang dilindungi

secara maksimal. Kawasan ini meliputi dan sesuai dengan kriteria penetapan KPA dan KSA yang saat ini ada, yaitu kawasan konservasi dengan kategori I, II, III dan IV IUCN.

(2) Kawasan ekosistem esensial. Kawasan ini meliputi ekosistem-ekosistem yang mempunyai nilai konservasi tinggi, namun masih belum “clear and clean” sehingga belum dapat ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Kawasan ini diantaranya adalah: koridor satwa, buffer zones, Kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCVA), ekosistem gambut, sebagian lahan basah, karst, dll.

(3) Kawasan yang dilindungi secara nasional/ daerah. Kawasan ini meliputi hutan lindung, hutan produksi yang dikelola untuk kepentingan konservasi (e.g. restorasi ekosistem hutan produksi), sempadan sungai/laut, mata air, danau, dll.

(4) Kawasan perlindungan ekosistem oleh masyarakat (community conserved areas/ CCA).

b. Kategorisasi kawasan konservasi dan kriterianya: (1) Kawasan konservasi dengan kategori I (Suaka Alam), kategori II

(Taman Nasional), kategori III (Suaka Margasatwa dan Taman Buru), kategori IV (Taman Wisata Alam/bentang alam yang dilindungi); sesuai kriteria I-IV IUCN.

(2) Kawasan ekosistem esensial yaitu kawasan-kawasan dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang tinggi namun masih ada kegiatan produksi secara terbatas, terutama oleh masyarakat lokal; kawasan konservasi dengan kategori V dan VI IUCN.

(3) Kawasan yang dilindungi secara nasional/daerah (sesuai kriteria penetapan hutan lindung, hutan produksi yang berfungsi juga untuk konservasi seperti restorasi hutan produksi dan kawasan lindung lainnya).

(4) Kawasan perlindungan oleh masyarakat (wilayah kelola konservasi masyarakat adat/lokal).

c. Tata cara penetapan:

Kategorisasi kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem dilakukan sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Perubahan dari satu kategori ke kategori lainnya dapat dilakukan apabila kriteria tujuan pengelolaannya sudah tidak dapat dipenuhi (downgraded) atau apabila persyaratannya dipenuhi (upgraded). Tata cara penetapan perlindungan ekosistem diatur lebih lanjut dalam PP.

Page 41: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

37

d. Norma dan larangan:

(1) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI I (Cagar Alam) dan KATEGORI III (Suaka Margasatwa dan Taman Buru), setiap orang dilarang: a. Mengambil atau memindahkan benda apapun baik hidup

maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan. b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, menganggu

satwa liar dengan cara dan alat apapun, dan/atau merusak sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang bukan merupakan jenis yang secara alami hidup atau pernah hidup di dalam kawasan.

e. Mengubah bentang alam, bentuk lahan atau kontur lahan yang dapat berakibat kerusakan dan/atau hilangnya fungsi ekosistem.

f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan.

g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau perubahan pada unsur-unsur non-hayati.

h. Menduduki, mengerjakan, menguasai, menjual, atau membeli lahan kawasan.

i. Memindahkan, merusak, atau menghilangkan tanda batas kawasan.

(2) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI I dan KATEGORI III, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat dianggap dan/atau patut diduga sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas, diantaranya: a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah. b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,

menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan atau mengangkut tumbuhan, satwa liar dan/atau benda-benda lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 tidak termasuk: a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan

penyelamatan populasi satwa liar di dalam suaka margasatwa. b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan

pengembangan budidaya. c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan

kawasan.

Page 42: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

38

(4) Kekecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 dapat dilakukan bagi masyarakat hukum adat, masyarakat lokal yang secara nyata kehidupannya bergantung hanya pada sumberdaya alam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan spesimen sebagaimana dimaksud dalam butir 3 huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(6) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI II (Taman Nasional) dan Kategori IV (Taman Wisata Alam), setiap orang dilarang: a. Mengambil dan/atau memindahkan benda apapun baik hidup

maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan. b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, menganggu

satwa liar dengan cara apapun, dan/atau merusak sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak membawanya ke luar kawasan.

d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang bukan asli.

e. Mengubah kontur, bentang atau bentuk lahan. f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan

yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan. g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau

perubahan pada unsur-unsur non-hayati. h. Menduduki, menguasai, atau merambah lahan kawasan. i. Memotong, memindahkan, merusak, atau menghilangkan

tanda batas kawasan.

(7) Di dalam Kawasan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat dianggap dan/atau patut diduga sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 6, diantaranya: a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah. b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,

menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan, dan/atau mengangkut tumbuhan, satwa liar, dan/atau benda-benda lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 6 dan 7 tidak termasuk: a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan

penyelamatan populasi di zona-zona selain zona inti Taman Nasional.

b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan pengembangan budidaya.

Page 43: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

39

c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan kawasan.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan spesimen sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

III. PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pengawetan keanekaragaman hayati dilaksanakan melalui pengelolaan genetik, jenis dan ekosistem sesuai dengan kategorisasi perlindungannya.

A. Pengawetan Genetik

Ruang lingkup pengawetan genetik adalah bagi jenis-jenis liar dengan kategorisasi sesuai dengan jenis target. Pengawetan genetik dilaksanakan melalui pengelolaan genetik bagi spesies-spesies target yaitu spesies terancam punah, spesies yang bernilai komersial, dan spesies untuk mendukung budidaya, sebagai berikut:

1. Bagi spesies-spesies target wajib dilakukan inventarisasi dan pengembangan basis data genetiknya.

2. Pengelolaan genetik bagi spesies terancam punah dilaksanakan secara insitu dan eksitu untuk tujuan mengembalikan keanekaragaman genetik di tingkat spesies untuk kepentingan pemulihan populasi maupun untuk pemanfaatan.

3. Pengelolaan genetik bagi spesies yang bernilai komersial dilakukan secara insitu maupun eksitu untuk tujuan menjaga keanekaragaman dan kemurnian genetik bagi spesies-spesies yang diperdagangkan.

4. Pengelolaan genetik bagi spesies untuk mendukung budidaya dilakukan secara insitu maupun eksitu dengan tujuan untuk meningkatkan mutu genetik spesies-spesies budidaya dan menciptakan varitas atau baru yang unggul dari segi budidaya.

5. Pengaturan dan kontrol bagi spesies-spesies yang mengalami perlakuan rekayasa genetik atau pemuliaan agar tidak dikembalikan ke habitat alam.

6. Pengaturan dibedakan antara pengembangbiakan atau perbanyakan buatan dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik spesies liar dengan kegiatan budidaya yang di dalamnya ada rekayasa genetik karena untuk menciptakan varitas atau kultivar baru sehingga kemurnian genetik bukan menjadi tujuan.

B. Pengawetan Spesies

Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan sesuai dengan kategorisasi perlindungan spesies yaitu kategori I, kategori II dan kategori III.

Page 44: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

40

Pengawetan spesies kategori I: 1. Spesies kategori I dilarang untuk ditangkap, diburu, dipelihara,

diperdagangkan. Kekecualian hanya dari hasil pengembangbiakan dan/atau perbanyakan tumbuhan buatan.

2. Spesies kategori I dikelola secara insitu maupun eksitu. Pengelolaan insitu ditujukan untuk memulihkan populasi spesies di habitat alamnya. Pengelolaan eksitu ditujukan untuk mendukung pemulihan populasi insitu di habitat alamnya.

3. Pelanggaran dan kejahatan terhadap ketentuan ini dihukum penjara dan didenda.

Pengawetan spesies kategori II: 1. Spesies kategori II dikelola untuk mendukung pemanfaatan yang

berkelanjutan sehingga pemanfaatan spesies kategori II diatur melalui pembatasan-pembatasan baik insitu maupun eksitu.

2. Pelanggaran dan kejahatan terhadap pengaturan pembatasan-pembatasan tersebut dihukum penjara dan didenda.

3. Pengelolaan spesies kategori II dilakukan untuk menetapkan tingkat pemanfaatan yang tidak merusak populasi di alam.

4. Pengelolaan spesies kategori II dilakukan secara insitu untuk meningkatkan populasi dan mengendalikan pemanfaatan langsung dari habitat alam.

5. Pengelolaan spesies kategori II eksitu dilakukan untuk menurunkan tekanan bagi populasi di alam akibat pemanfaatan.

6. Pelanggaran terhadap ketentuan spesies kategori II dihukum pidana dan denda.

Pengawetan spesies kategori III: 1. Spesies kategori III dikelola dengan pemantauan populasi di habitat alam

dan pemantauan serta pengaturan terhadap pemanfaatannya. 2. Pelanggaran terhadap pengaturan pemanfaatan spesies kategori III

dihukum denda.

C. Pengawetan Ekosistem

1. Pengawetan ekosistem bertujuan untuk melindungi dan mengelola keterwakilan ekosistem baik di darat maupun di perairan di dalam jaringan kawasan-kawasan konservasi;

2. Pengawetan ekosistem dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan setiap kategori kawasan konservasi secara efektif;

3. Keefektifan pengelolaan kawasan konservasi diukur melalui perubahan-perubahan 6 unsur pengelolaan kawasan konservasi secara efektif (pedoman IUCN), yaitu: Konteks (kondisi keanekaragaman hayati, tekanan dan ancaman, sistem legislasi); Perencanaan (kondisi yang diinginkan); Input (sumberdaya yang dialokasikan untuk mencapai tujuan di dalam perencanaan); Proses (pelaksanaan kegiatan sesuai dengan

Page 45: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

41

rencana dan input yang ada); Output (hal-hal yang dicapai dalam pelaksanaan); dan Outcome (dampak yang terjadi).

4. Pelanggaran dan kejahatan terhadap aturan-aturan yang ada (dalam sistem legislasi) dihukum penjara dan didenda.

IV. PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak melebihi daya dukungnya. Pemanfaatan dilakukan melalui perijinan dan pengembangan sistem kontrol pemanfaatan kecuali untuk spesies yang masuk kategori dipantau. Ijin diterbitkan oleh menteri teknis dan/atau pejabat kepala daerah; khusus untuk pemanfaatan genetik dan spesies serta bagian-bagiannya diberikan dengan memperhatikan rekomendasi “otoritas keilmuan”.

A. Pemanfaatan Genetik

Pemanfaatan sumberdaya genetik dilakukan dengan memperhatikan hak kepemilikan atas sumberdaya genetik, akses terhadap sumberdaya genetik, hak kepemilikan intelektual atas hasil rekayasa genetik, keamanan hayati atas hasil rekayasa genetik, kaidah-kaidah etika dan agama dalam rekayasa genetik.

Pemanfaatan sumberdaya genetik digunakan untuk tujuan penelitian dan pengembangan, mendukung budidaya, koleksi tukar menukar, bioprospeksi, pelestarian dan tujuan lain (pertanian, farmasi/obat-obatan).

Pemanfaatan sumberdaya genetik harus memperhatikan ijin akses dan pembagian keuntungan yang adil (access to genetic resources and equitable benefit sharing).

Pemanfaatan sumberdaya genetik sebagaimana yang dimaksud di atas harus didahului dengan FPIC/PADIATAPA (free and prior informed consent/persetujuan yang harus diinformasikan di awal) dan MAT (Mutual Agreed Terms).

Pemanfaatan sumberdaya genetik yang menghasilkan produk yang dipatenkan: penemuan-penemuan berbasis sumberdaya genetik dapat diajukan untuk mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual. Pengajuan paten harus mengajukan asal usul sumberdaya genetik.

Tata cara permohonan ijin pemanfaatan sumberdaya genetik diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan-undangan.

B. Pemanfaatan Spesies

Pemanfaatan sumberdaya spesies digunakan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, perdagangan, perburuan terkendali, peragaan (lembaga konservasi), tukar-menukar, pemeliharaan untuk kesenangan, budidaya dan keperluan tradisional.

Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori I ditujukan untuk penelitian, peragaan, mendukung budidaya dan sumber benih serta untuk

Page 46: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

42

kepentingan religi. Pemanfaatan dapat bersumber dari populasi yang berada di habitat alam maupun dari hasil pengelolaan eksitu, seperti pengembangbiakan (captive breeding) dan artificial propagation (tumbuhan).

Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori II dan kategori III ditujukan untuk penelitian, pengembangan, pengkajian, peragaan, mendukung budidaya, perburuan, tukar menukar, kesenangan, keperluan tradisional.

Pemanfaatan untuk sumberdaya spesies kategori II dapat bersumber dari pengelolaan eksitu, termasuk pembesaran, pengelolaan populasi di habitat alam.

Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori III dapat bersumber dari alam liar.

Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori I dilaksanakan melalui perijinan oleh menteri teknis atas rekomendasi “otoritas keilmuan”.

Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori II dan III dilaksanakan melalui perijinan oleh menteri teknis.

Pemanfaatan atas sumberdaya alam hayati dikenakan iuran dan pungutan.

Selain iuran dan pungutan, pemanfaatan atas sumberdaya alam hayati tertentu dikenakan pungutan dari breeding loan (terutama untuk spesies kategori I) dan dana konservasi.

Tata cara pengenaan pungutan dari breeding loan dan dana konservasi serta tata cara permohonan ijin pemanfaatan sumberdaya spesies diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

C. Pemanfaatan Ekosistem

Pemanfaatan ekosistem digunakan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, perburuan terkendali, pemanfaatan jasa wisata alam, air, karbon, geothermal dan jasa lingkungan lainnya, penunjang budidaya, budidaya tradisional, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

Penggunaan kawasan konservasi untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi seperti sarana telekomunikasi komersial, jalur listrik tegangan tinggi, dll hanya dapat dilakukan secara terbatas melalui keputusan menteri, setelah mendapatkan rekomendasi dari otoritas ilmiah.

Tata cara permohonan ijin pemanfaatan ekosistem diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Page 47: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

43

V. PEMULIHAN EKOSISTEM DAN POPULASI SPESIES

Terhadap ekosistem yang mengalami degradasi maupun spesies yang terancam bahaya kepunahan, maka perlu dilakukan pemulihan. Pemulihan dilakukan baik melalui rehabilitasi maupun restorasi.

A. Rehabilitasi

B. Restorasi

1. Restorasi Spesies

Restorasi spesies ditujukan untuk memulihkan populasi (recovery) spesies-spesies terancam punah agar kembali pada tingkat populasi yang lestari dalam jangka panjang (viable), aman dari bahaya kepunahan.

Restorasi spesies dilakukan melalui usaha-usaha seperti: a. Reintroduksi spesimen dari spesies-spesies terancam punah baik

yang bersumber dari spesimen hasil tangkapan di alam (wild caught) dan telah dipelihara manusia setelah melalui upaya rehabilitasi, maupun dari hasil pengembangbiakan yang dikembalikan ke habitat alam.

b. Penyelamatan populasi atau individu melalui relokasi individu maupun populasi yang tidak viable, terisolasi untuk digabungkan dengan populasi lain di habitat yang aman sehingga populasinya dapat berkembang secara alami

c. Restorasi habitat dengan perbaikan sumber pakan dan tempat-tempat kritis bagi perkembangbiakan, seperti: daerah sarang, daerah perlindungan, daerah breeding dan daerah feeding.

Restorasi spesies dilaksanakan dengan: a. Restorasi spesies dilaksanakan oleh Pemerintah dan dapat

bekerja sama dengan masyarakat. b. Restorasi spesies dilaksanakan di habitat alaminya baik di dalam

kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi. c. Restorasi spesies wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada

kaidah-kaidah ilmiah dan kesehatan hewan untuk menghindari penurunan mutu dan keanekaragaman genetik serta penularan penyakit dari hewan yang dikembalikan ke alam kepada hewan penghuni.

d. Pemerintah menetapkan peraturan perundangan tentang tata cara pelaksanaan restorasi spesies.

2. Restorasi Ekosistem

Restorasi ekosistem dilakukan guna memperbaiki kawasan perlindungan ekosistem yang mengalami degradasi atau rusak untuk dikembalikan seperti aslinya sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.

Page 48: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

44

Restorasi ekosistem dilakukan melalui: a. Menjaga, memelihara, mengembangbiakan, pengkayaan spesies

yang secara alami telah atau pernah ada, baik tumbuhan maupun hewan (termasuk hewan pakan bagi satwa predator), yang bersumber dari alam maupun hasil pengembangbiakan eksitu.

b. Memanfaatkan secara lestari jasa ekosistem dan hasil lainnya sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.

c. Kawasan Cagar Alam (kawasan perlindungan ekosistem KATEGORI I) yang mengalami degradasi luar biasa sehingga tidak memenuhi syarat ditetapkan sebagai Cagar Alam tidak dapat dilakukan kegiatan restorasi, tetapi dievaluasi dan ditetapkan menjadi kawasan dengan kategori di luar kategori 1 sesuai dengan hasil penelitian oleh tim terpadu.

d. Pemerintah menetapkan pedoman restorasi ekosistem berdasarkan kajian ilmiah, termasuk kriteria status degradasi luar biasa pada kawasan perlindungan ekosistem KATEGORI I.

VI. KELEMBAGAAN

Konservasi keanekaragaman hayati menjadi tanggung jawab seluruh Warga Negara Indonesia, dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

A. Penyelenggaraan Urusan Konservasi

1. Penyelenggaraan konservasi kehati di kawasan hutan negara, baik terestrial maupun perairan, dilaksanakan oleh Pemerintah.

2. Konservasi spesies dan genetik di luar kawasan hutan negara diselenggarakan oleh Pemerintah bersama Pemerintah Daerah sesuai dengan prinsip konkurensi.

3. Pemerintah atau Pemerintah Daerah, bersama para pihak dan masyarakat setempat menetapkan zonasi, koridor spesies, dalam penyelenggaraan konservasi ekosistem dan penyelenggaraan pembinaan habitat/perlindungan spesies di luar kawasan konservasi.

4. Penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara, baik terestrial maupun perairan, termasuk daerah penyangga kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah propinsi dan/atau kabupaten/kota.

5. Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat membentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan urusan konservasi kehati.

6. Konservasi kehati dalam wilayah hak milik dilakukan oleh pemegang hak, dalam hal ini Pemerintah/Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitasi.

Page 49: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

45

7. Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi kehati kepada pemerintah propinsi, atau kepada pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah desa.

8. Pemerintah propinsi dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara kepada pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah desa.

9. Pemerintah kabupaten/kota dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara kepada pemerintah desa.

10. Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengakui keberadaan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan kawasan konservasi masyarakat (Community Conserved Areas/CCA)

11. Pemerintah mengatur tata cara pelimpahan dan pengakuan penyelenggaraan konservasi.

B. Kerjasama Pengelolaan Konservasi.

1. Pemerintah melaksanakan kerjasama internasional sesuai dengan prinsip politik bebas aktif dengan negara, orang/kelompok, organisasi internasional, lembaga/organisasi non-pemerintah asing, perusahaan asing, dalam rangka penyelenggaraan konservasi kehati.

2. Kerjasama internasional meliputi kerjasama teknik, maupun kerjasama pengelolaan.

3. Pemerintah membentuk lembaga multipihak dalam rangka kerjasama internasional.

4. Pemerintah/Pemerintah Daerah sebagai pengelola kawasan sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasani, dapat melakukan kerjasama pengelolaan dengan:

a. Organisasi non pemerintah (internasional, lokal) b. Masyarakat c. Sektor swasta (BUMS, BUMN, BUMD) d. Perorangan

5. Kerjasama pengelolaan dapat meliputi kerjasama pengelolaan seluruh wilayah atau sebagian wilayah kawasan konservasi.

6. Kerjasama pengelolaan dilaksanakan dengan prinsip pembagian kewenangan, peran, tanggung jawab dan manfaat/keuntungan.

7. Kerjasama pengelolaan dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kapasitas masyarakat dan/atau efektifitas pengelolaan kawasan.

C. Pemulihan Ekosistem

1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan rehabilitasi kawasan konservasi yang mengalami degradasi.

2. Pemerintah, Pemerintah Daerah serta BUMS/BUMN/BUMD melakukan kegiatan restorasi ekosistem dan/atau spesies di dalam kawasan konservasi maupun kawasan hutan.

Page 50: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

46

3. Restorasi oleh pihak selain Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan melalui pemberian ijin.

4. Restorasi ekosistem wajib dilaksanakan berpedoman pada kaidah-kaidah ilmiah guna menghindari penurunan mutu dan keanekaragaman ekosistem.

5. Pemerintah dapat memberikan hak pengelolaan pada sebagian atau satu kesatuan unit kawasan konservasi yang terdegradasi dan/atau daerah terpencil/aksesibilitas rendah dimana kapasitas pemerintah belum mampu menjangkaunya.

6. Pemerintah menetapkan peraturan perundangan tentang tata cara pelaksanaan restorasi ekosistem.

D. Penegakan Hukum

1. Untuk melaksanakan/ keberhasilan penegakan hukum wilayah Negara RI dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, dengan mempehatikan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi Khusus/PPNS.

2. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun berjenjang dan komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan dalam rangka pengamanan kekayaan negara.

3. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik, ditentukan secara fleksibel, karena kejahatan kehutanan sangat dinamis dan terkadang melibatkan jaringan internasional.

4. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

5. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana merupakan kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah kepabeanan.

6. Guna menyelesaikan konflik akibat “keterlanjuran pemanfaatan ruang untuk kepentingan non konservasi” dimana pemanfaatan tersebut telah ada sebelum kawasan konservasi ditetapkan, maka pemerintah membentuk lembaga khusus penanganan konflik. Lembaga adhoc khusus dapat terdiri dari unsur-unsur lintas sektor dan dibentuk melalui Keputusan Presiden.

Yang termasuk kepentingan non-konservasi adalah: a. Kepentingan komersial: semua yang menghasilkan keuntungan

ekonomi (BTS, sutet, pipa gas/minyak, geotermal, tambang mineral)

b. Kepentingan non komersial: sarana ibadah, jalan.

Penyelesaian keterlanjuran dapat berupa: a. Mengembalikan status dan fungsi kawasan konservasi; Kegiatan

non-konservasi dikeluarkan.

Page 51: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

47

b. Melepas kawasan. c. Menetapkan sebagai zona “khusus”. d. Restorasi fungsi. e. Penetapan wilayah khusus transmigrasi lokal.

E. Penyelesaian Sengketa

1. Penyelesaian sengketa di bidang konservasi kehati didorong untuk diselesaikan melalui musyawarah.

2. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan upaya-upaya pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa negosiasi, mediasi dan rekonsiliasi.

4. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan gugatan ke pengadilan dengan mekanisme gugatan biasa, gugatan perwakilan (class action), gugatan organisasi (legal standing), hak gugat warga negara (citizen sue).

VII. PARTISIPASI PENGELOLAAN KEHATI

Dewasa ini, sejalan dengan rumusan pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona, dikenal beberapa tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola, hal ini mendorong adanya perubahan paradigma penyelenggaraan konservasi ke depan, yaitu konservasi tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah tetapi juga dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat, serta pemerintah dengan swasta.

Memperhatikan perubahan paradigma di atas, ke depan pengaturan mengenai partisipasi masyarakat serta kerjasama pengelolaan konservasi harus diatur secara lebih tegas, dalam berbagai bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:

1. Partisipasi pasif dalam pengelolaan konservasi yang tanggung jawab utama berada di tangan pemerintah ( konservasi berbasiskan pemerintah).

2. Partisipasi aktif dimana penyelenggaraan konservasi dilakukan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat (konservasi berbasiskan masyarakat, swasta).

1. Partisipasi pada konservasi berbasiskan pemerintah

Konservasi berbasiskan pemerintah yang dimaksudkan pada bagian ini adalah konservasi yang tanggung jawab pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Konservasi jenis ini adalah satu-satunya konservasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. Dalam perjalanannya, hubungan pemerintah sebagai penyelenggara konservasi ini dengan masyarakat seringkali mengalami ketegangan-ketegangan. Karena itu ke depan, diperlukan perubahan pengaturan hubungan pemerintah dengan masyarakat, terutama masyarakat adat yang hidup di kawasan konservasi tersebut. Hal-hal yang berkenaan dengan peran pemerintah dalam

Page 52: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

48

meningkatkan kapasitas masyarakat, serta pengakuan desa atau masyarakat dalam kawasan konservasi perlu diatur secara jelas.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan pemerintah, pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, antara lain meliputi: • Pengakuan • Fasilitasi • Insentif • Kompensasi • Rehabilitasi

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat diberikan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah sepanjang kenyataannya masih ada. Keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan melalui wilayah hukum. Pengakuan terhadap kegiatan dan wilayah konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat diberikan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, Pemerintah/ Pemerintah Daerah wajib melakukan fasilitasi pengembangan kegiatan masyarakat hukum adat serta kegiatan konservasi oleh masyarakat lokal.

Pemerintah wajib memberikan insentif kepada masyarakat yang telah melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati, memberikan kompensasi kepada masyarakat yang dirugikan/terkena dampak penetapan kawasan konservasi ekosistem dan konservasi spesies, melakukan rehabilitasi terhadap hak-hak masyarakat hukum adat tertentu yang terlanggar dan/atau tercabut oleh penetapan kawasan konservasi dilakukan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Undang-undang konservasi kehati ke depan perlu dilakukan pelimpahan kewenangan dalam pengaturan konservasi dan pengakuan masyarakat lokal/adat.

Partisipasi masyarakat dalam membangun konservasi pada kondisi ini antara lain dapat berupa : • Pemberian saran dan mengusulkan perlindungan jenis/genetik

/ekosistem, kepada Pemerintah melalui Pemerintah Daerah setempat. • Berkolaborasi dalam pengelolaan ekosistem/jenis. Kolaborasi meliputi

pembagian peran, kewenangan tertentu, tanggung jawab serta pembagian keuntungan dan manfaat (benefit).

• Melaksanakan perlindungan dan pengawetan kehati dan melaporkan kejadian yang berhubungan dengan kehati (melaporkan kejadian, menjaga kelestarian jenis dan genetik, ikut dalam unit pengamanan seperti wildlife crime unit/WCU, RPU, dst).

• Gugatan perwakilan (class action). Masyarakat berhak melakukan gugatan perdata melalui gugatan perwakilan.

• Hak gugat LSM (legal standing). Organisasi non pemerintah/LSM dapat melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem /spesies/genetik

Page 53: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

49

• Hak gugat warga negara (citizen sue). Warga negara Indonesia dapat melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem/spesies /genetik.

2. Partisipasi aktif konservasi berbasiskan masyarakat

Konservasi berbasiskan masyarakat dalam konteks pembahasan UU konservasi ke depan adalah menyangkut kawasan-kawasan yang secara adat ataupun pengelolaan sehari-hari telah dilakukan oleh masyarakat, difungsikan sebagai kawasan-kawasan yang dijaga (termasuk Community Conserved Areas).

Berdasarkan kriteria IUCN, setidaknya ada 3 (tiga) indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan ini yaitu : • Komunitas erat hubungannya dengan ekosistem (atau untuk suatu

spesies dan habitatnya), budaya dan/atau karena ketergantungan untuk kelangsungan hidup dan mata pencaharian;

• Keputusan-keputusan manajemen masyarakat dan upayanya terhadap ekosistem tersebut mengarah pada konservasi habitat ekosistem itu, spesies, ekologis dan terkait erat dengan nilai-nilai adat dan budaya mereka.

• Masyarakat adalah pemain utama dalam pengambilan keputusan (governance) dan implementasi tentang manajemen situs, menyiratkan bahwa lembaga-lembaga masyarakat memiliki kemampuan untuk menegakkan peraturan. Dalam banyak situasi mungkin ada pemangku kepentingan lain dalam kerjasama atau kemitraan, tapi dasar pembuatan keputusan terletak pada masyarakat yang peduli terhadap konservasi tersebut.

Kawasan ini seringkali tidak berada pada kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan konservasi sehingga terancam karena kegiatan-kegiatan konversi kehutanan maupun non kehutanan, dan kawasan semacam ini banyak ditemui di Indonesia.

Dalam konteks ini, UU konservasi ke depan mesti mengatur hak-hak masyarakat untuk memiliki, mengatur dan mengelola kawasan-kawasan konservasi mereka sendiri. Sehingga dalam konteks ini pemerintah harus memberikan: • Pengakuan dan perlindungan hukum. • Pemberian fasilitas pembiayaan dan peningkatan sumberdaya

manusia. • Memfasilitasi untuk berkerjasama dengan pihak ketiga.

Page 54: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

50

VIII. PENGAMANAN DAN PENYIDIKAN

Pengamanan konservasi keanekaragaman hayati dilaksanakan melalui berbagai upaya, meliputi: pencegahan, penindakan (termasuk penyelidikan, penyuluhan), serta penyidikan.

Pengamanan dilakukan untuk menjaga terjaminnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, dan hak-hak negara, masyarakat dan perorangan terhadap sumberdaya alam dan dalam upaya-upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemmnya. Petugas yang bertindak sebagai ujung tombak pengamanan maka terhadap pejabat tertentu diberi wewenang kepolisian khusus (policing) atau khusus sebagai penyidik.

Polisi Khusus

Tugas kepolisian khusus yang diemban oleh pejabat pemerintah, antara lain pencegahan dan penyelidikan.

Pencegahan yaitu upaya untuk merintangi/mengikhtiarkan agar seseorang tidak melakukan atau melakukan perbuatan yang dilarang ditetapkan oleh undang-undang, antara lain meliputi:

1. Penyuluhan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

2. Melakukan monitoring, patroli/perondaan di dalam areal yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau wilayah hukumnya.

3. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan konservasi dan lain-lain.

Kewenangan melakukan tindakan penyelidikan yaitu kewenangan untuk mencegah tindak pidana atau mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan.

Penyelidikan sebagai suatu keseluruhan upaya untuk membuat terang apakah suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana sehingga pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut hukum atau bukan, antara lain :

1. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan tumbuhan atau satwa wilayah hukumnya.

2. Menerima, membuat dan menandatangani laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.

3. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.

4. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang.

5. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.

6. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. 7. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Page 55: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

51

8. Melakukan pengamatan secara tertutup terhadap dugaan adanya tindak pidana KSDAH.

9. Atas perintah PPNS Kehutanan dapat melakukan tindakan berupa: a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penahanan. b. pemeriksaan dan penyitaan surat. c. membawa dan menghadapkan seseorang kepada PPNS. d. memberi tanda pengamanan dan mengamankan barang bukti.

e. melakukan pengamatan secara tertutup terhadap dugaan adanya

tindak pidana kehutanan.

Kewenangan melakukan tindakan penyelidikan yaitu kewenangan untuk mencegah tindak pidana atau mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan, yang dalam hal ini adalah penangaman di bidang konservasi, dimana organisasi pengamanan meliputi struktur dan wilayah kerja. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun berjenjang dan komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan dalam rangka pengamanan kekayaan negara.

Untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan efisien, wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenagnya dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi Khusus.

Penyidik

Wilayah hukum Penyelidik dan Penyidik, perlu diperjelas dan diperluas karena bentuk kejahatan yg dinamis dan terkadang melibatkan jaringan internasional. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana merupakan kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah kepabeanan.

Perlu adanya peluang yang memungkinkan PPNS melakukan gelar perkara di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tembusan kepada Penyidik POLRI, dalam rangka koordinasi pengawasan.

IX. LARANGAN DAN SANKSI

Tindakan yang secara sah melanggar ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Bab III diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi.

Page 56: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

52

Sanksi Pidana

Sanksi pidana berupa hukuman penjara, hukuman denda, pencabutan hak perdata tertentu dan perampasan barang.

Besarnya sanksi pidana ditetapkan berupa sanksi minimal dan sanksi maksimal untuk setiap tindak pelanggaran dengan mempertimbangkan :

a. Kategori jenis/ekosistem, semakin tinggi kategorinya maka ancaman sanksi semakin berat, dan/atau;

b. Dampak yang ditimbulkan terhadap manusia dan kelestarian jenis/spesies.

Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat diperberat dalam hal: 1. Pengurus, direksi, anggota atau pegawai suatu badan hukum yang

memperoleh ijin yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. 2. Penyelenggara negara, pegawai negeri, yang diberi kewenangan untuk

melakukan pengamanan. 3. Anggota, pengurus organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang

konservasi keanekaragaman hayati. 4. Seseorang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan

keahliannya.

Ketentuan pidana ini juga menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi (coorporate liability).

Besarnya sanksi pidana penjara dengan sanksi minimal 6 (enam) bulan sampai dengan maksimal seumur hidup/hukuman mati.

Sanksi denda diberikan kepada terpidana yang mengakumulasikan terhadap hukuman penjara. Banyaknya denda paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak 50 milyar rupiah.

Sanksi pencabutan hak perdata adalah satu larangan yang diberikan lembaga peradilan kepada terpidana dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan konservasi dan kehutanan. Beberapa bentuk pencabutan hak perdata antara lain:

a. Larangan kepada perorangan untuk menjabat dalam badan usaha yang berhubungan dengan kehutanan.

b. Larangan kepada badan usaha untuk melakukan aktivitas pada periode tertentu (“bank beku operasi”).

Sanksi perampasan barang dikenakan berupa penyitaan barang bukti yang dipakai dan/atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana, baik berupa spesies dan spesimennya, alat yang dipergunakan maupun barang yang dihasilkan [termasuk uang/rekening].

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

Page 57: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

53

Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran yang dilakukan pemegang ijin terhadap kewajiban administrasi. Pengaturan mengenai sanksi administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.

Pengecualian

Sanksi pidana dan sanksi administrasi tidak berlaku atau dikecualikan terhadap perbuatan:

a. Untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Termasuk kegiatan penyelamatan spesies dapat berupa pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.

b. Perbuatan guna melindungi kehidupan manusia yang terancam nyawanya oleh satwa yang dilindungi.

Ketentuan tata cara, persyaratan dan lain-lain mengenai pengecualian diatur dengan Peraturan Perundangan.

Page 58: Na Ruu Kehati Dkn Okt 2010

54

BAB V

KESIMPULAN

Memperhatikan pesatnya perubahan lingkungan strategis, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 sudah tidak mampu menjawab tantangan dan masalah konservasi terkini, maka dari itu perlu dilakukan percepatan perubahan dengan memperhatikan perubahan paradigma yang terjadi masa kini dan yang akan datang.

Beberapa pengaturan harus dibuat baru atau diperkuat, seperti ruang lingkup konservasi ke depan yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, termasuk dalam hal ini pengaturan konservasi genetik.

Mengingat sistim penyangga kehidupan mempunyai materi yang luas dan menyangkut oleh berbagai sektor serta telah tercantum dalam undang-undang sektor tersebut, antara lain sektor kehutanan, pertanian, kelautan, perkebunan, kesehatan dan lingkungan hidup serta perkembangan paradigma konservasi terkini yang fokus pada konservasi keanekaragaman hayati, maka perlindungan sistem penyangga kehidupan tidak menjadi bagian dari pengaturan RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati ke depan.

Tujuan konservasi harus sejalan dengan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat saat ini maupun masa akan datang. Guna mewujudkan tujuan penyelenggaraan konservasi tersebut perlu diatur secara tegas pengaturan mengenai: kelembagaan, partisipasi masyarakat, kerjasama pengelolaan kawasan oleh masyarakat, kerjasama internasional, serta penguatan bidang penegakan hukum.